
"Iya." Ricky mengangguk. "Balita cantik rambutnya dikepang dua." Sambil tersenyum kedua tangan Ricky terangkat menggambarkan letak kepang yang ia lihat dalam mimpi, membuat senyuman Alicia lepas begitu saja. "Kalo aja Ricky tahu anak cewek bisa secantik itu, Ricky nggak akan pilih jalan ini." Ricky menunduk menatap billyet deposito di hadapannya. "Ricky bakal pilih jadi laki baik-baik, jadi laki terhormat supaya pantes dipanggil papa. Tapi, semua udah terlambat. Ricky kayaknya bakal sulit lepas...
"Ricky?"
Alicia tertegun menatap kedua mata Ricky yang memerah. Detik berikutnya Ricky mengangkat wajah, seperti berusaha keras menahan diri agar air mata itu tidak tumpah. Alicia beralih menatap sebelah tangannya yang masih berada di dalam genggaman tangan Ricky. Ia juga tidak mengerti, kenapa membiarkan tangannya berada di sana lebih lama lagi.
"Sori Kak, Ricky kebawa perasaan." Ricky menghela napas panjang dan melepaskan sebelah tangan Alicia yang baru saja ia genggam dengan kedua tangannya. Ricky menatap sedih tangannya yang meninggalkan tangan Alicia. Sepertinya hal terbaik bisa ia berikan kepada anak mereka adalah dengan tidak pernah muncul sebagai ayahnya. Tapi membayangkannya saja sudah membuat Ricky ingin menangis. Mungkin kelak anak itu akan tetap mengenalnya, tetapi bukan sebagai ayahnya. Apa ia sanggup? Apa hatinya kuat?
"Ricky, kamu mimpi gendong anak perempuan?" Alicia menatap wajah Ricky dengan hati luruh. Selama ini ia yang mengandung, akan tetapi tidak pernah bermimpi apa pun mengenai anak mereka.
Senyuman getir mengembang di wajah Ricky dan Alicia sungguh tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sendiri saat ini.
"Iya." Ricky mengangguk. "Balita cantik rambutnya dikepang dua." Sambil tersenyum kedua tangan Ricky terangkat menggambarkan letak kepang yang ia lihat dalam mimpi, membuat senyuman Alicia lepas begitu saja. "Kalo aja Ricky tahu anak cewek bisa secantik itu, Ricky nggak akan pilih jalan ini." Ricky menunduk menatap billyet deposito di hadapannya. "Ricky bakal pilih jadi laki baik-baik, jadi laki terhormat supaya pantes dipanggil papa. Tapi, semua udah terlambat. Ricky kayaknya bakal sulit lepas dari Tante Lusy. Ricky nggak tahu sekarang mesti gimana." Ricky menatap Alicia dengan penuh penyesalan.
Bibir Alicia terbuka, tetapi tidak ada yang bisa ia katakan. Tidak, Alicia tetap tidak ingin mengakui jika ia memang mengandung anak Ricky. Ia memilih bertahan dengan keputusannya. Masalahnya sendiri sudah berat, Alicia tidak ingin perasaan iba yang mendadak datang membuatnya terjebak dalam masalah lain. Sebisa mungkin Alicia hanya ingin kedamaian dalam hidupnya yang sudah kacau. Ia hanya ingin membesarkan anak ini dengan perasaan tenang.
Ricky hanya bisa menelan kecewa sekali lagi. Ia sudah tidak menyimpan harapan akan muncul sebagai ayah dari anak mereka. Ia hanya ingin menjaga Alicia dan anak mereka sejauh yang Alicia izinkan sebagai bentuk rasa cinta dan tanggung jawabnya. Akan tetapi, ia sungguh ingin mendengar pengakuan dari bibir Alicia bahwa itu memang anaknya. Ricky tahu ia tidak pernah pantas. Akan tetapi apa telinganya juga tidak pantas mendengar pengakuan jujur Alicia? Ricky tidak pernah menyangka ia demikian hina sehingga tidak pantas mendapat pengakuan jujur Alicia meski anak itu memang benar-benar anaknya. Tetapi Ricky tidak menyalahkan sikap Alicia mengingat ia adalah seorang pekerja seks komersial. Perempuan mana yang sanggup mengakui hamil dengan gigolo?
"Yang sabar ya Ricky." Hanya kalimat klise itu yang bisa Alicia katakan.
Senyuman Ricky mengembang berat sebelum mengangguk pelan. "Ini sudah." Ia menyodorkan dokumen-dokumen ke hadapan Alicia. Sejenak kembali menatap nanar pada billyet deposito senilai 5M. Jika dulu ia begitu takjub melihat nominal demi nominal besar mengalir ke dalam rekeningnya, kini tidak lagi. Nominal-nominal itu kini menjelma bak belenggu yang memasung jiwanya. Ia bagai melakukan pemujaan kepada setan dan harus membayar mahal dengan hidupnya yang kini bergelimang harta tetapi kehilangan makna. "Ada lagi yang perlu ditandatangani?" Ricky beralih menatap Alicia.
"Ini aja." Alicia menghela napas panjang dan memasukkan dokumen-dokumen di atas meja ke dalam map.
"Kak Al sudah makan?"
Alicia mendapati Ricky yang menatapnya sedemikian rupa. Terasa begitu lembut, begitu teduh dan sarat pemujaan meski hanya penolakan demi penolakan yang bisa ia berikan. Tatapan yang masih sama, sejak awal bertemu hingga saat ini.
"Sudah kok. Udah, jangan traktir saya lagi."
"Nanti Ricky kirim makanan ya. Debay lagi pingin apa?"
"Nggak lagi pingin apa-apa."
"Nanti Ricky cariin makanan yang enak. Sori nggak ngabarin tiga hari."
"Ya ampun! Kenapa minta maaf segala?" Alicia menatap geli.
"Kirain kepikiran." Ricky tetap menggoda meski hatinya sedang pahit. "Kalau Ricky kayak Pak Nathan, Kak Al bakal suka Ricky?"
"Kenapa kamu bahas Nathan lagi?"
Ricky tersenyum kecut, tidak berniat menjawab pertanyaan Alicia. "Kalian deket?"
"Kita deket sebatas atasan dan bawahan."
"Ricky cemburu." Ricky membuat wajahnya cemberut.
"Ngapain kamu cemburu sama dia?"
"Dia pasti tipe laki-laki idaman Kak Al."
"Kamu bisa jadi kayak dia kalau kamu mau." Alicia menatap sungguh-sungguh wajah Ricky yang tampak sangsi dengan ucapannya barusan.
"Jadi kayak Pak Nathan? Mana bisa?"
"Yah semua itu butuh proses dan kemauan keras. Tapi Pak Nathan pernah bilang ke saya, kamu sebenernya cocok jadi pegawai bank."
"Ricky pantes jadi pegawai bank?" tanya Ricky dengan dahi berkerut.
"Iya. Kamu good looking, luwes, punya link orang-orang kaya, punya bakat juga. Di bank, kalau bisa nyanyi itu poin plus, sepanjang suara mendukung ya. Suara kamu kan bagus."
"Suara Ricky biasa aja..."
"Suara kamu pas nyanyi kan bagus?"
Ricky memicingkan kedua mata sambil tersenyum samar. "Memangnya Kak Al pernah tahu Ricky nyanyi?" Ricky memiringkan wajah dan melihat raut Alicia yang berubah kaku.
"Ngggg nggak tahu sih, kata Bu Lusy...." Alicia menampakkan cengiran di wajahnya.
Masih aja ngeles. Ricky hanya manggut-manggut sambil menahan senyuman.
"Ya udah Ricky, saya balik ya. Makasih buat waktunya." Alicia segera bangkit dari duduknya.
"Sori Ricky jadi ngerepotin." Ricky turut bangkit dan mengiringi langkah Alicia menuju parkiran.
"Oh ya, kata Pak Tono yang punya studio ini anaknya nasabah prioritas," ungkap Alicia selagi ingat.
"Wisam?"
"Namanya Wisam?"
"Iya, dia temen Ricky. Kalau mau nanti Ricky kasih kontaknya." Ricky melihat mobil Alicia datang dan berniat membukakan pintu mobil, tetapi Alicia terlebih dulu membuka pintu untuk dirinya sendiri.
"Makasih ya Mas Ricky." Alicia kembali bersikap formal di hadapan Tono.
"Sama-sama Bu Al." Ricky mengangguk dan tersenyum kemudian melakukan hal yang sama pada Tono yang juga tersenyum kepadanya dari balik kemudi.
***
"Malem itu dia pulang sama itu tante. Nggak nyangka aja, selama ini dia ternyata simpenan tante-tante. Kita semua juga baru ngeh, dan itu kayaknya udah dari lama. Pas mabok dia ngaku sendiri. Pantes, dia semangat banget nemenin tante-tante minum. Yaa karena dia ternyata gigolo." Chandra menatap raut wajah Helena yang tampak shock mendengar ceritanya. Duduk berdua di rooftop, kali ini Helena berkenan menyempatkan waktu lebih lama bersamanya hanya demi mendengar penggalan kisah kelam Ricky yang telah ia janjikan. Tempo hari ia memang mengirim pesan pada Helena dan mengungkap sedikit sisi kehidupan lain Ricky.
"Jadi Ricky...." Bibir Helena tertahan, sama sekali tidak sanggup mengucapkan profesi yang satu itu. Pantas selama ini Ricky terkesan misterius.
"Pantes dia pindah-pindah apartemen dan kita nggak boleh tahu. Ya karena dia simpenan tante-tante. Tempo hari tantenya nunjukin foto-foto mereka berdua, kayak pingin ngebuktiin ke kita semua kalo Ricky bener-bener simpenan dia." Chandra menambahkan yang membuat Helena semakin tertarik.
"Foto-foto apa?" tanya Helena cemas.
"Ya foto berdua, kayak orang pacaran aja gitu. Bukan foto aneh-aneh sih."
"Oh gue kira foto apaan...." Helena menatap lesu.
"Nggaaak. Tantenya kan wanita terhormat, nggak ada foto aneh-aneh cuma foto berdua biasa aja. Cuma ya itu udah bukti kuat kalo selama ini Ricky emang tinggal seatap sama tantenya."
Helena tertunduk menatap meja dengan raut sedih. Ia menatap sedih map berisi brosur-brosur lembaga kursus fashion designer yang ingin ia berikan untuk Ricky, lengkap dengan rincian biayanya. Beberapa hari yang lalu mereka sempat mengobrol dan Ricky berkata sedang mencari sekolah fashion yang terjangkau bagi Ishana.
Atas inisiatifnya sendiri, Helena menyempatkan membantu Ricky dengan melakukan survey pada beberapa sekolah fashion. Selama ini ia terlanjur menilai Ricky sebagai pemuda perantauan yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia sempat menyimpan kagum karena setahunya sangat sulit bertahan di kota besar jika tidak memiliki latar belakang finansial yang kuat. Ia sempat mengira Ricky sungguh berhasil saat melihat pemuda itu mengendarai mobil mewah. Siapa sangka, ternyata Ricky simpanan tante-tante.
"Helen, gue tahu lo suka Ricky. Lo sekarang udah tahu siapa Ricky. Lo masih suka dia?" Chandra menatap lekat wajah Helena.
Helena hanya menghela napas panjang dengan wajah tertekuk sebagai jawaban. Sebenarnya ia sudah tahu Ricky bukan cowok baik-baik. Sepertinya Ricky menganut gaya hidup bebas dan itu sudah pernah ia dengar dari personil Eijaz lainnya. Tetapi Helena tidak pernah menyangka Ricky adalah seorang gigolo. Fakta ini terlalu jauh dari yang sanggup ia bayangkan. Sungguh di luar perkiraan. Dalam hati masih menyayangkan siapa diri Ricky yang terlanjur menjerat hatinya.
"Satu lagi, tapi ini rahasia." Chandra memelankan nada suaranya padahal hanya ada mereka berdua.
"Apa?" Helena langsung menatap wajah Chandra.
"Ricky, udah bikin pregnant cewek lain."
Bibir Helena terbuka lebih lebar. Sungguh fakta tentang Ricky membuatnya tercengang-cengang. Ia belum siap menerima fakta siapa Ricky, kini ia harus menerima fakta lain yang membuat hatinya harus kecewa lebih jauh lagi.
"Dia ngaku sendiri pas mabok dan lupa kalo udah ngaku. Bentar lagi dia pasti ngaku. Dia mau tanggung jawab sih, tapi dia bilangnya sambil mabok. Kita liat aja." Chandra tersenyum tipis.
"Ya ampun." Helena menyentuh pelan dadanya sendiri.
"Helena, gue tahu lo suka dia. Tapi dia bentar lagi jadi bapak. Kalo bener dia tanggung jawab, dia pasti kawinin tuh cewek. Kalo ternyata dia nggak kawinin tuh cewek, ya you know lah dia cowok kek apaan." Chandra rasanya ingin tertawa saat melihat ekspresi wajah Helena saat ini. "Udah gigolo, terus nanem benih. Mendingan lo cari pandangan lain..." Chandra menutup mulutnya tepat ketika pintu dibuka dan ia melihat Ricky yang sudah kembali setelah menemui seseorang yang mencarinya di bawah.
"Chan!" Ezra muncul di belakang punggung Ricky. "Jadi cari makan nggak?"
"Jadi! Gue makan dulu ya!" Chandra berpamitan pada Helena dan hanya menatap Ricky sekilas sebelum beranjak menyusul Ezra.
Ricky duduk tidak jauh dari Helena, berniat melanjutkan obrolan mereka yang terputus karena mendadak Alicia datang mencarinya. "Sori tadi gue ada tamu," ucapnya sambil meletakkan ponsel ke atas meja.
Helena memaksakan sedikit senyuman saat memberikan brosur-brosur di dalam map plastik yang selama ini ia kumpulkan. Helena tahu Ricky bisa mencarinya sendiri di internet, tapi demi mengesankan Ricky ia rela repot-repot mengumpulkan brosur sekaligus menanyakan biayanya. "Gue tahu lo nggak punya waktu. Ini gue udah sekalian tanyain buat biayanya, barangkali bisa jadi pertimbangan lo."
"Oh." Ricky menerima map dari tangan Helena dengan perasaan takjub. "Lo baik banget."
Helena lagi-lagi hanya memaksakan senyuman di wajahnya. "Pas sekalian jalan. Semoga ada yang cocok buat Ishana."
"Makasih banyak ya." Ricky menatap segan. Tidak menyangka, Helena akan melakukan semua ini untuknya.
"Sama-sama. Gue balik kampus dulu ya." Helena bangkit dan meraih tasnya.
"Hati-hati....." Ricky menatap Helena yang tidak lagi menoleh hingga lenyap di balik pintu. Ricky meletakkan map di tangannya dan menyalakan sebatang rokok. Ia akan mengecek brosur-brosur itu nanti. Sambil membuang asap ia meraih ponsel dan mengaktifkan nomornya kembali. Ricky melipat kedua kaki ke atas sofa dan menghubungi Lusy.
"Halo?" jawab suara di seberang.
"Tante, di mana?"
"Kenapa? Kamu sudah kangen Tante?" Nada pertanyaan Lusy terdengar sinis.
"Tante di mana?" Ricky merasa cemas kini. Ia memang sengaja tidak mengaktifkan nomornya karena merasa buntu dengan keadaan dan hanya ingin rehat sejenak dari hiruk pikuk masalah yang ditimbulkan oleh Lusy. Tempo hari ia marah saat Lusy tiba-tiba berkata telah membukakan deposito berjumlah besar di rekeningnya. Ia tidak menginginkan uang sebanyak itu dan tidak pernah memintanya. Ricky merasa semua hadiah itu berlebihan dan sengaja Lusy berikan untuk menjeratnya lebih jauh lagi.
"Kan aku udah bilang di Bandung."
"Bohong. Tante bohong. Tante ada di Surabaya. Bu Al yang bilang pas dateng ke studio buat minta tanda tangan deposito." Berikutnya Ricky mendengar tawa kecil Lusy. " Tante mau ngapain ke Surabaya?"
"Ada urusan."
"Urusan apa?"
"Tante mau beli rumah di Surabaya. Ada rumah di pinggiran Surabaya...... "
Gerak bibir Ricky tertahan seiring dengan napasnya yang hanya sampai tenggorokan.
"Rumah itu nggak besar. Yaah kayak rumah rakyat biasa. Cat putih, pager item, ada toko kelontongnya. Ada Kijang lama parkir di depan rumah."
"Tante!" Ricky benar-benar panik saat ini ketika Lusy menyebutkan ciri-ciri rumahnya di Surabaya.
"Tadi Tante beli ke situ. Ibunya yang jaga toko ramah... "
Bibir Ricky terbuka lebih lebar. Jadi Lusy sudah mengobrol dengan ibunya?
"Tante lihat ada papan tulisan, di sini jual ayam geprek. Tante pesen satu buat dibawa ke hotel, terus disuruh nunggu di teras. Ibunya baik banget, tante kebelet pipis dan dibolehin numpang di kamar mandinya. Tante lewat ruang tamunya dan ada foto anaknya yang udah jadi sarjana. Tante puji, wah anaknya udah sarjana ya Bu, ganteng anaknya. Ibu itu cerita anaknya kerja di Jakarta, jadi penyanyi kafe. Ibu itu kelihatan bangga banget. Dia dukung banget anaknya jadi penyanyi kafe."
Ricky mendengarkan dengan tubuh kaku. Debaran di dada kian mengencang. Rasanya semua ini terlalu mengerikan.
"Ya udah gitu aja. Habis pesenan jadi, Tante nanya apa rumahnya dijual? Kalo dijual Tante tawarin harga yang bagus."
"Tante tolong jangan ganggu keluarga Ricky!"
"Ganggu kamu bilang? Ganggu? Tante ganggu?" Lusy terdengar tersinggung.
Ricky bungkam seketika.
"Jadi Tante di mata kamu cuma pengganggu?"
"Bukannya gitu." Ricky segera merendahkan nada suaranya. Ia takut Lusy marah dan berbuat nekat di sana. "Maksud Ricky, buat apa Tante ngelakuin ini semua? Buat apa Tante?" tanya Ricky dengan nada frustasi.
"Ricky, anak manis. Pikir lagi. Kamu mau orang tua kamu kecewa karena kamu di Jakarta jadi gigolo atau bangga karena kamu naikin derajat keluarga kamu?"
Ricky menatap hampa rooftop yang sepi.
"Tawaran nikah itu masih berlaku. Pikir lagi baik-baik Sayang. Kamu masih punya waktu sampe kontrak selesai."
"Tante, Ricky ini cuma gigolo. Tante bisa cari laki lain yang jauh lebih oke. Kenapa harus Ricky?"
"Tante cuma mau kamu. Jangan kamu pikir dengan sengaja males-malesan layanin Tante, terus Tante bakal cari gigolo lain. Terakhir kali kamu males-malesan ladenin Tante."
Ricky mendengus kesal. Ia memang sengaja supaya Lusy kecewa dan tidak menginginkan dirinya lagi.
"Tante bakal tetep mau kamu. Tante tetep mau diservis bintang lima. Kamu nggak mau tahu kan, Tante bisa ngelakuin apa aja?"
Panggilan diakhiri oleh Lusy. Dengan tangan gemetaran Ricky menyesap frustasi batang rokoknya. Lusy sudah bertindak jauh di luar batas kewajaran dengan sudah terang-terangan mengancamnya.
Tidak lama kemudian ponselnya berdenting dan Ricky melihat notifikasi pesan masuk.
Ayah
Ricky, ayah baru sampe rumah ibu kamu cerita. Masa ada orang Jakarta, orang kaya Rick tiba-tiba mau beli rumah kita pake harga mahal. Ada-ada aja. Dia minta nomor ibu kamu, katanya kalo mau pesen ayam geprek lagi mau WA. Tapi ibu kamu nggak minta nomernya. Kalau harga bagus ya nggak pa-pa juga kan Rick. Doain aja orangnya hubungi lagi, lumayan buat tambah biaya kuliah Ishana.
Mati. Ricky menjatuhkan ponselnya ke pangkuan. Kini Lusy menyimpan nomor ibunya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
