
Alicia rasa ia perlu mengabarkan perihal kehamilannya ini kepada satu orang. Satu-satunya lelaki yang Alicia nilai paling berhak untuk tahu.
Alicia telah menghabiskan dua buah pisang sebelum memulai makan siangnya. Jam satu siang, ia baru saja sampai setelah melakukan kunjungan kepada dua orang nasabah. Alicia segera membuka menu makan siangnya dengan bersemangat. Hari ini ia menitipkan menu makan siangnya pada Adji, seperti biasa. Setiap hari sebelum pukul sebelas, Adji office boy di kantornya akan mengirim template absensi di grup chat kantor bagi siapa-siapa saja yang berniat menitipkan makan siang.
Adji OB
Yang mau nitip silahkan 🙏
1. Evan PB Asisten : lalapan dada, kerupuk
2. Pak Tono Driver : nasi Padang lauk telor dadar
3. Kinanti PB Asisten : nasi goreng biasanya, pedes
4. Disha Teller : Promag
5. Alicia : Sayur asem, ayam goreng pakai nasi
Hampir setiap hari Adji mengirimkan template absensi makan siang dan titipan lain di grup chat. Jam sepuluh pagi, Adji akan pergi meninggalkan kantor demi mengejar jam makan siang.
Alicia sudah menghabiskan makan siangnya ketika melihat Ricky yang baru saja memasuki banking hall melalui layar monitor. Alicia segera menuju toilet dan menggosok giginya. Ia ingin menemui Ricky dan berterima kasih atas kiriman makanan kemarin. Bahkan Alicia masih menyimpan sisa cake di dalam kulkas.
Tadi pagi ia sudah sarapan cake dengan topping keju dan nanti malam sepulang kerja ia akan menyantapnya lagi. Ia juga membawa satu buah toples kue kering pemberian Ricky ke kantor untuk camilannya sendiri. Padahal Alicia termasuk jarang menyantap camilan. Tetapi saat hamil muda seperti ini rasanya ia hanya ingin terus mengunyah meskipun beberapa jam kemudian ia kembali memuntahkannya. Saat mengunjungi nasabah tadi ia setia menyesap permen mint demi menghindari mual.
Ternyata, mengandung itu berat dan melelahkan. Setiap pagi ia mual dan muntah-muntah. Kemudian ia memulai pagi harinya di kantor sambil menahan mual. Akan tetapi mendekati jam sepuluh pagi, perutnya sudah kelaparan. Jam satu siang ia kembali lapar. Kemudian jam tiga sore ia lapar lagi. Memasuki jam enam malam ia harus kembali mengisi perutnya. Makan, muntah, makan, muntah, makan muntah. Alicia merasa apa yang ia makan akan kembali keluar dari perutnya.
"Mas Ricky." Alicia tersenyum dan mencegat Ricky yang sudah menyelesaikan transaksinya.
"Eh, Bu Al." Senyuman Ricky lepas begitu saja ketika melihat Alicia berdiri di hadapannya. Sejenak ia terpukau melihat penampilan Alicia.
Alicia hari ini mengenakan blouse putih lengan panjang yang dipadukan dengan rok hitam hingga di bawah lutut. Ricky mengamati sejenak penampilan Alicia yang tampak klasik dengan heels hitam polos. Diam-diam Ricky kembali memuji di dalam hati, betapa Alicia selalu terlihat begitu cantik. Rasanya Alicia tidak pernah terlihat kurang di matanya. Alicia sungguh tampak seperti manekin berjalan. Tunggu, Alicia lebih pantas disebut seperti Barbie versi lokal. Ricky segera meralat penilaiannya sendiri.
"Makasih ya buat kiriman makanannya." Alicia menyungging senyuman tipis.
"Sama-sama Bu." Ricky tersenyum dan diam-diam kembali menatap kagum pada penampilan Alicia.
"Kenapa?" Alicia menatap wajah Ricky yang sedari tadi tampak seperti mengecek penampilannya.
"Oh, itu..." Ricky yang mendadak salah tingkah menggaruk pelan pipinya yang tidak gatal. "Bajunya..."
"Oh! Baju Mas Ricky! Hampir lupa! Ada di ruangan saya! Sudah dikirim sama binatu..." Alicia segera menunjuk ke arah pintu ruangannya yang berada di lorong lain.
Ricky hanya bisa menahan kalimatnya dan segera membuntuti Alicia yang berjalan menuju pintu di lorong. Tepat di depan sebuah bufet dengan vas berisi bunga. Padahal ia tadi bermaksud memuji pakaian yang sedang dikenakan Alicia. Rupanya raut wajahnya yang sedang mengagumi Alicia tertangkap dengan jelas.
"Maaf Mas Ricky, hampir kelupaan." Alicia memasuki ruangannya dan mengambil tas karton yang berisi baju Ricky dari dalam lemari kabinet. Sementara Ricky berhenti tepat di ambang pintu ruangan yang terbuka.
Ricky menerima tas karton dari tangan Alicia dan mengecek isinya. Ia melihat jaket dan celananya yang tempo hari terkena muntahan Alicia.
"Makasih ba...." Ricky baru saja membuka bibirnya saat melihat Alicia reflek menutup mulut dengan sebelah tangan sebelum bergegas melewatinya dan meninggalkan ruangan. Ricky yang terbengong-bengong melihat Alicia berlari memasuki rest room.
"Hueeeek! Hueeek! Hueeek!"
Ricky berjalan mendekati rest room dan mendengar Alicia muntah-muntah.
Dia memang hamil. Ricky menatap cemas pintu rest room di hadapannya. Tidak lama kemudian Alicia muncul dengan wajah tampak lesu.
"Maaf Mas Ricky, saya masuk angin." Alicia menghela napas panjang saat mendapati tatapan bingung Ricky.
"Bu Alicia... Bu Alicia tinggal sendirian?" tanya Ricky hati-hati. Ia tidak bermaksud lancang. Ia hanya ingin tahu, apakah ada seseorang yang menjaga Alicia saat wanita itu sedang mengandung seperti saat ini?
Alicia segera mengangguk dengan dahi berkerut. Ia sungguh tidak tahu, apa maksud dari pertanyaan Ricky.
"Ricky juga sendirian..." Ricky berucap ragu-ragu yang segera bersambut dengan raut heran Alicia. "Maksud Ricky, kalau urgent butuh obat atau apa kek, bisa kabarin Ricky. Kan apartemen kita deketan. Ricky bisa titipin obat ke resepsionis." Ricky segera menutup bibirnya dengan tatapan canggung ketika merasa kalimatnya sungguh belepotan.
Intinya, ia hanya ingin menyampaikan bahwa ia siap kapan saja untuk Alicia. Ia sering melihat di grup chat, sepupunya yang hamil muda kerap ngidam dibelikan makanan. Jika memang Alicia membutuhkan apa saja, ia tidak segan membantu. Rasa iba itu terlanjur tertanam di hatinya. Bagaimana bisa ada pria yang tega menelantarkan wanita secantik ini? Apalagi dalam keadaan hamil.
Ricky sempat mencuri pandang sejenak ke arah perut Alicia. Perut itu lambat laun pasti akan membesar. Entah sampai kapan Alicia akan bertahan dengan alasan masuk angin.
"Dek Ricky baik banget." Alicia menahan senyuman geli di ujung bibir. Entah kenapa Ricky harus peduli kepadanya. "Eh, maksud saya Mas Ricky." Alicia segera meralat kalimatnya barusan. Sial, ia keceplosan. Mau bagaimana lagi, Ricky terkadang tampak masih imut-imut di matanya.
"Saya memang masih dedek-dedek." Cengiran Ricky mengembang lebar."Nggak pa-pa panggil saya Dek. Bu Alicia saya panggil Kak. Gimana? Tapi jangan di depan Tante Lusy." Ricky tersenyum jahil.
Alicia hanya bisa mengulum senyum. Lihatlah pemuda satu ini, dari tadi senyum-senyum manis di hadapannya dengan kedua mata berbinar cerah. Persis seperti di malam ketika mereka pertama kali bertemu di bar. Alicia kembali mendapati senyuman lelaki fruktosa. Sejenak, Alicia tenggelam menatap wajah Ricky. Sebenarnya, Ricky kelewat tampan. Tidak kalah dari Nathan.
Alicia jadi sedikit menerka-nerka, seperti apa wajah anaknya nanti? Apakah akan mewarisi mata elang dan hidung mancung Ricky? Sepertinya, anaknya nanti akan mewarisi senyuman manis Ricky jika anak itu memang lahir dan Alicia tidak kembali goyah untuk menggugurkannya, meski niat itu tidak pernah benar-benar terlaksana.
"Ya sudah Bu Al, Ricky pamit. Makasih." Ricky membungkuk sopan sebelum kembali tersenyum.
"Hati-hati Mas Ricky," balas Alicia kalem.
Manggil Kak? yang bener aja, Alicia diam-diam membatin sambil menatap punggung Ricky yang bergerak menjauh. Pemuda itu kembali menoleh dan tersenyum manis sebelum benar-benar hilang dari pandangannya. Alicia menurunkan wajah demi menatap perutnya sendiri.
Itu tadi papa kamu. Seneng ketemu papa?
***
Sama sekali belum ada yang mengetahui perihal kehamilannya ini kecuali dirinya sendiri dan dokter kandungan yang menangani kehamilannya. Sejak awal mengetahui dirinya hamil, Alicia bertahan menyimpan kabar ini sendirian. Lebih tepatnya, menyembunyikan perihal kehamilannya.
Sebenarnya Alicia sendiri juga masih dilanda bimbang akan keputusan yang akan ia ambil. Haruskah ia mempertahankan janin yang kini bersemayam di dalam rahimnya? Segalanya saat ini begitu penuh dengan ketidakpastian. Alicia bagai berjalan menuju gerbang kehidupan baru yang serba mencekam. Rasanya begitu banyak tantangan dan kesulitan yang harus ia lalui bersama pilihannya untuk mempertahankan janin dalam kandungannya. Terlebih, ia memilih melalui jalanan ini sendirian.
Jujur Alicia takut. Beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak. Entah jenis kehidupan macam apa yang harus ia jalani setelah ini? Membesarkan anak sendirian dengan segala ketakutan dan ketidakpastian. Ia juga harus siap menerima sanksi sosial juga pertanyaan yang akan menghantui seumur hidup.
"Mama, siapa papaku? Kenapa aku nggak punya papa?"
Pertanyaan itu selalu muncul di dalam kepalanya. Pertanyaan yang jawabannya sudah harus ia pikirkan dari sekarang jika memang berniat mempertahankan janin dalam kandungannya.
Alicia sendiri kerap bertanya-tanya. Demi apa ia harus mempertahankan janin ini? Ia akan mengorbankan diri juga mengorbankan seluruh kehidupannya. Ia akan mempertaruhkan masa depannya demi seorang anak yang tidak pernah diharapkan.
Sepertinya, lebih mudah untuk menyerah saja. Menggugurkan janin ini, akan selalu menjadi pilihan yang lebih mudah. Akan tetapi entah mengapa ia belum melakukannya. Alicia bahkan masih meminum vitamin untuk kandungannya dan meminum susu ibu hamil. Entah mengapa ia masih bimbang mengambil keputusan dan memilih bertahan dengan perasaan dilema.
Alicia rasa ia perlu mengabarkan perihal kehamilannya ini kepada satu orang. Satu-satunya lelaki yang Alicia nilai paling berhak untuk tahu.
"Nggak masuk Al?" Ingrid, wanita 49 tahun itu muncul dengan nampan di tangan dan menghidangkan secangkir teh hangat ke atas meja kecil di sebelah kursinya.
"Di sini aja Ma." Alicia bertahan memilih duduk di teras dan beralasan ingin menikmati udara segar. Padahal ia ingin bicara berdua saja dengan ayahnya. "Dipta masih belum pulang?" Alicia memilih berbasa-basi sejenak dengan menanyakan keadaan adik tirinya. Padahal jelas-jelas tadi ia tidak melihat sepeda motor Dipta di garasi.
"Belum pulang. Yah namanya juga anak teknik sipil, banyak tugas." jawab Ingrid sambil memeluk nampan. "Papa kamu masih mandi. Tumben kok lama. Baru aja pulang."
"Iya Ma." Bibir Alicia setia tersenyum.
"Ya udah Mama lanjut masak dulu ya."
Alica segera mengangguk dan melihat ibu tirinya itu segera masuk ke dalam. Sejenak, Alicia menghela napas berat. Kedua matanya menyusuri suasana rumah yang tampak nyaman. Alicia menatap halaman yang dipenuhi tanaman. Tidak lama kemudian seorang laki-laki muncul dengan pakaian rumahan.
"Al?" Laki-laki itu menatap heran. Memang tidak biasanya, ia tiba-tiba muncul di rumah Ingrid. Jika ingin bertemu, Alicia biasanya memilih mendatangi salon mobil miliknya. Mereka biasa berbincang dan menghabiskan waktu di sana.
"Pa." Alicia tersenyum dan bangkit memeluk lelaki 60 tahun yang berdiri di hadapannya sebelum kembali duduk.
"Ke sini sapa siapa?" Anjar menatap ke arah luar pagar dan tidak mendapati Tono dan mobil dinas yang biasa mengantar Alicia.
"Di drop Pak Tono. Nanti Alicia pulang sendiri naik taksi online."
"Tumben mendadak banget? Papa baru baca WA kamu pas udah di rumah." Anjar menatap wajah putri satu-satunya.
Alicia hanya bisa menahan senyuman di wajahnya. Dalam hati masih terselip perasaan sedih. Sepuluh tahun yang lalu, ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Ayahnya menikah lagi hanya setahun setelah ibunya meninggal karena kanker leher rahim. Sejak hari itu ia memilih menarik diri dan hidup terpisah dengan ayahnya. Ia tidak ingin hidup bersama keluarga baru ayahnya.
Alicia memilih hidup dengan berpindah-pindah apartemen. Sementara rumah keluarga mereka yang dulu, sampai saat ini masih dikontrakkan. Entah kenapa ayahnya masih belum menjual rumah itu. Mungkin merasa tidak enak dengannya karena rumah itu menyimpan banyak kenangan saat ibunya masih hidup dulu.
"Maaf mendadak Pa. Ada hal penting yang mau Alicia omongin." Alicia menatap ragu wajah ayahnya. Ia masih melihat sisa-sisa ketampanan masa muda ayahnya dulu. Sejenak hatinya merasa sedih.
Walau ia kecewa dengan keputusan ayahnya untuk menikah lagi, ia tidak pernah bisa membenci lelaki itu. Malah dalam hati diam-diam berharap, kelak berjodoh dengan laki-laki ulet dan pekerja keras seperti ayahnya. Apa daya, ia malah hamil dengan lelaki mokondo. Alicia rasa, kesempatannya untuk berjodoh dengan laki-laki yang seperti ayahnya sudah tertutup meski belum sepenuhnya.
Mungkin jauh lebih sulit jika anak dalam kandungannya benar-benar lahir ke dunia. Alicia yakin lelaki baik-baik sepertinya akan berpikir dua kali untuk menikah dengan perempuan yang pernah hamil di luar nikah. Entahlah, Alicia merasa masa depannya kini begitu suram.
Sebenarnya semenjak ibunya meninggal, Alicia merasa tidak punya siapa-siapa. Memang sebagian besar saudara-saudaranya juga ada yang tinggal di Jakarta. Tetapi mereka semua juga sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka bertemu hanya sesekali saja. Ayahnya sudah memiliki keluarga baru dan Alicia tidak ingin menjadi bagian dari keluarga baru ayahnya. Lebih tepatnya, ia belum bisa menerima keberadaan Ingrid dan Dipta.
"Hal penting apa Al?" Anjar menatap serius wajah Alicia. Jika Alicia sudah berkata seperti ini, biasanya hal yang akan disampaikan benar-benar penting. Seingat Anjar, terakhir kali Alicia menyampaikan hal penting saat jalinan asmara bersama Arsa kandas, padahal mereka sudah berada di tahap hubungan yang serius.
Alicia menarik napas sambil meremas tangannya sendiri. Kembali merasa ragu, haruskah ia menyampaikan hal ini? Alicia sudah mempersiapkan diri demi apa pun reaksi ayahnya nanti. Akan tetapi kini rasa ragu itu kembali menerjang dengan kuat.
"Al, kenapa?" Anjar meneliti wajah cemas Alicia.
"Pa, maaf. Tolong jangan marah." Alicia menatap tegang wajah bertanya-tanya Anjar.
"Ada apa Al?" Anjar mulai cemas kini. Tidak biasanya Alicia bersikap ragu-ragu seperti ini. Alicia, selalu datang ke hadapannya dengan senyuman dan selalu baik-baik saja. Putrinya itu tidak pernah membuat masalah atau terlibat masalah. Alicia bahkan masih mampu tersenyum di hadapan Ingrid dan Dipta, meski Anjar tahu Alicia tidak pernah menyukai mereka. Bahkan, Alicia masih bisa datang di hari pernikahannya dan memeluk erat Ingrid dan Dipta meski Anjar tahu putrinya itu menyimpan luka.
Alicia tidak pernah membuat kepalanya pusing satu hari pun. Anaknya itu selalu baik-baik saja. Namun kali ini, Alicia tampak berbeda. Raut wajah Alicia saat ini mengatakan banyak hal yang membuat Anjar segera dilanda cemas.
Alicia kembali menghela napas kemudian menggigit bibirnya sendiri. Ia sudah memikirkan hal ini semalaman dan merasa keputusannya untuk memberi tahu Anjar adalah tindakan yang paling tepat. Ia tidak punya siapa-siapa lagi selain ayahnya. Tapi tiba-tiba saat ini ia merasa luar biasa takut.
"Al? Ada apa?" Anjar kembali bertanya.
"Alicia mau resign." Alicia segera menyungging senyuman palsu. Ia benar-benar kecewa pada dirinya sendiri, tetapi juga merasa lega. Alicia rasa ia akan menunda memberi tahu ayahnya lain waktu, ketika ia sudah benar-benar siap.
"Resign?" Anjar menatap tak percaya. "Kenapa?"
"Hmm Alicia jenuh Pa. Alicia pingin coba bisnis aja." Alicia sedang tidak mengarang alasan. Ia sudah mempertimbangkan, berbisnis akan menjadi langkah yang ia ambil jika benar-benar memutuskan anak yang sedang ia kandung pada akhirnya lahir ke dunia.
"Oh gitu." Anjar menatap ragu. "Apa kamu ada masalah di kantor?"
"Yah nggak ada sih. Cuma Alicia capek aja."
Anjar merasa tidak yakin akan keputusan Alicia. Ia menduga, Alicia memiliki masalah di kantor. Anjar sebenarnya merasa tidak setuju. Alicia selama ini terlihat bahagia dengan pekerjaannya. Bahkan Alicia bisa hidup mandiri dengan bekerja. Putrinya itu sudah dibilang cukup sukses karena sudah berpenghasilan dua digit dan memiliki jabatan di kantor. Tetapi yang mendasari perasaan tidak setuju itu bukan hanya dari soal karir Alicia.
Alicia belum menikah. Alicia juga tidak sedang menjalin hubungan dengan pria manapun pasca putus dari Arsa. Tidak bekerja dan tidak menikah. Anjar tidak bisa membayangkan, bagaimana Alicia menjalani hari-harinya ke depan.
Selama ini dengan bekerja, Alicia bisa mengurus dan menjaga dirinya sendiri. Bukannya Anjar tidak mau membantu dan mengurus Alicia. Tentu saja ia sangat mau, kapan pun Alicia membutuhkannya. Hanya saja, Anjar menyayangkan keputusan Alicia. Membangun bisnis, tidak semudah kelihatannya. Kalau boleh memilih, Anjar lebih suka melihat Alicia menikah dan dijaga oleh seorang pria daripada resign dan membangun bisnis.
Anjar rasa sudah saatnya Alicia memikirkan kehidupan romansanya, daripada hanya fokus mengejar materi dan kesuksesan. Untuk apa mengejar materi dan kesuksesan? Toh pekerjaan Alicia sudah memberikan kehidupan yang layak dan cukup nyaman. Anjar lebih suka melihat Alicia berjuang mendapatkan jodoh daripada memulai bisnis. Akan tetapi saat ini ia memilih menahan pendapatnya sendiri. Anjar tahu saat ini Alicia hanya ingin didengarkan dan mungkin membutuhkan saran juga dukungan darinya.
"Kamu yakin?" Anjar kembali bertanya.
"Yakin," jawab Alicia sebelum menghembuskan napas berat.
"Al, apa pun keputusan kamu Papa akan dukung." Anjar menatap lekat wajah Alicia. "Papa cuma mau kasih tahu, membangun bisnis itu nggak mudah. Apalagi kamu nggak punya pengalaman bisnis. Tapi itu bisa dipelajari kok. Cuma ya harus sabar. Penghasilan dari bisnis itu juga nggak tentu, tahu sendiri kan."
Alicia segera mengangguk dengan senyuman di wajah.
"Udah tahu mau bisnis apa?" Anjar kembali bertanya.
"Mmm..." Alicia memutar kedua mata. Ia bahkan belum memikirkannya. "Masih cari ide sih Pa," jawab Alicia dengan cengiran di wajah.
Anjar sudah bisa menduga, bahwa Alicia sebenarnya belum memikirkan keputusan ini matang-matang. Sepertinya Alicia memang sedang ada masalah di kantor dan hanya ingin kabur dari situasi tersebut.
"Ya coba dipikir dulu matang-matang mau bisnis apa. Sebaiknya kamu ajukan resign kalau sudah punya gambaran dan yakin sama bisnis kamu. Papa siap bantu modal kalau kamu butuh." Anjar rasa hanya ini yang bisa ia katakan untuk sekarang.
"Iya Pa..."
"Jangan buru-buru resign Alicia. Kamu pikirkan lagi ya?"
Alicia hanya mengangguk dengan seluruh perasaan tidak pasti. Ternyata ia belum sanggup berbagi beban dengan ayahnya. Padahal ia sangat ingin mengadukan keadaannya saat ini meski harus dengan berurai air mata. Tetapi nyatanya ia belum siap mendapati reaksi ayahnya.
Tidak terbayang bagaimana reaksi ayahnya jika mendengar kabar kehamilannya. Ditambah, ia tidak akan pernah mau membuka identitas ayah dari janin di kandungannya. Anjar pasti akan berpikir ia hamil dengan sembarang laki-laki walau kenyataannya memang demikian. Ternyata Alicia masih belum siap harus memulai dari mana dan harus bagaimana menjelaskan kepada ayahnya.
Malam itu Alicia termenung sendirian di dalam taksi yang mengantarnya pulang. Rasanya ia benar-benar sendirian saat ini. Ia tidak punya siapa-siapa kecuali janin di dalam kandungannya. Alicia menunduk dan menatap perutnya sendiri. Baru saja menyadari, hubungannya dengan janin di dalam perutnya ternyata sangat erat meski ia tidak pernah menginginkannya. Mereka hanya memiliki satu sama lain. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang mengerti. Tidak ada teman bercerita demi meringankan sedikit beban di hatinya. Hanya janin di dalam perutnya yang bisa ia ajak bicara.
Rasa bimbang kembali menghantui. Terselip pertanyaan mengerikan di kepalanya. Apa mereka siap menghadapi dunia ini hanya berdua saja? Apa ia cukup kuat menahan semuanya sendirian demi anak ini? Alicia rasa, ia tidak sekuat itu.
Taksi yang ia naiki tiba di area lobi apartemen. Alicia segera turun dan berjalan memasuki lobi apartemennya. Langkahnya terhenti saat ia melihat Ricky beru saja berbalik dari meja resepsionis.
Pemuda itu menatap canggung, seolah tidak mengira akan kemunculannya. Detik berikutnya Ricky memunggunginya dan berbicara kepada resepsionis. Alicia berjalan mendekat dengan dahi berkerut. Kelewat heran, apa yang sedang Ricky lakukan di sini?
"Mas Ricky?" Alicia berhenti tepat di sebelah Ricky.
"Bu Al! Maaf nongol di sini, tapi Ricky barusan titipin buah buat Bu Al!" Ricky menunjukkan keranjang buah dibungkus plastik yang baru saja diberikan oleh petugas resepsionis.
Alicia nyaris melongo saat menatap keranjang yang dipenuhi buah-buahan segar. Ia melihat jeruk, pisang, buah naga, apel merah, dan juga buah pear. Dalam waktu singkat, perutnya lapar lagi.
"Ricky bantuin bawa ke atas ya? Kalau boleh." Ricky menyungging senyuman paling manis sambil menatap penuh harap. Tadi ia menyempatkan mampir ke toko buah setelah berlatih di studio.
"Ricky... eh maksud saya, Mas Ricky. Buat apa ini semua?" tanya Alicia sambil tetap tersenyum. Ia tidak boleh menyinggung perasaan Ricky, yang merupakan berondong kesayangan Lusy. Ia tidak mengenal Ricky dan tidak ingin membuat pemuda itu tersinggung yang berimbas pada hubungannya dengan Lusy. Tentu Alicia masih mengingat pesan Nathan untuk mengamankan dana di rekening Lusy meski ia sudah berencana untuk resign. Sikap profesional itu terlanjur mendarah daging pada dirinya.
"Nanti boleh Ricky jelasin di atas?" Ricky tampak sudah siap dengan keranjang buah di tangannya.
Alicia rasa, ia tidak punya pilihan. Ia ingin mendengar alasan Ricky. Kali ini apa lagi?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
