
'Hmmh, mmh!"
Thian menekan bibirnya lebih kuat sambil menatap takjub pada liukan pinggul Dara di atas tubuhnya.
Pelacur ini bener-bener.....
"Hebat mana, aku apa istri kamu?" tanya Dara yang membuat Thian buyar seketika.
"Hmmh, mmh!"
Thian menekan bibirnya lebih kuat sambil menatap takjub pada liukan pinggul Dara di atas tubuhnya.
Pelacur ini bener-bener.....
"Hebat mana, aku apa istri kamu?" tanya Dara yang membuat Thian buyar seketika.
"Hmh?" Thian menatap tak percaya sambil mereguk udara dari bibir yang terbuka.
Liukan dashyat pinggul Dara terhenti, membuatnya menatap protes.
"Kok berhenti? Ayoooo!" Thian merengek.
"Jawab dulu." Ujung telunjuk Dara bermain-main di permukaan bibir Thian. "Hebat mana, aku apa istri kamu?"
Thian belagak seolah ingin menggigit ujung telunjuk Dara, tetapi perempuan itu tertawa dan menarik telunjuknya dengan cepat.
"Kenapa tanya nggak penting?" Thian kini menggerakkan pinggulnya, demi membuat kejantanannya kembali menggerus liang rapat Dara.
"Jawab Thian."
Thian berhenti dan menatap frustasi. "Kamu!"
"Kok kayak nggak ikhlas gitu? Apa ini kurang enak?" Dara kembali meliukkan pinggulnya dan membuat wajah Thian kembali terangkat.
"Lonte pinter!" Thian menatap takjub.
"Enak mana sama istri kamu?" Dara menjambak kecil rambut Thian.
Cengiran Thian mengembang. Dara membuatnya kesulitan menjawab ketika liukan pinggul ramping itu membuatnya hanya bisa menggigiti bibir.
"Enak.. e.....e....." Thian menatap frustasi, memohon segera dipuaskan. Sebelah tangannya meremas gemas buah dada sekal Dara.
"Bilang kamu suka aku." Dara berhenti lagi dan segera mendapatkan tatapan protes Thian.
"Ayo goyang lagi. Ayo, ayooo!" Thian merengek dengan kedua tangan merengkuh pinggul Dara.
"Biyang duyu... kamyu... syuka... akyuuu," ucap Dara dengan wajah sok imut yang segera mendapatkan tatapan genting Thian.
"Aku suka kamu," ucap Thian dengan wajah datar. "Gimana kalo ngobrolnya nanti aja? Ayo, ayo goyang! Udah tanggung ini!" Thian merengek sekali lagi.
"Kamu seenak jidat!" Dara menekan kening Thian dengan telunjuknya. "Kamu pernah bilang nggak sudi tidur sama lonte! Nyatanya kamu pakek terus ini lonte!"
Thian menatap bingung. Kenapa pula Dara harus mengajak berdebat di saat kejantanannya sudah terlanjur nyut-nyutan di dalam liang nikmat perempuan ini?
"Ayo goyang," ucap Thian dengan tampang tidak bersalah. Sama sekali tidak peduli dengan lontaran protes Dara yang tidak tepat pada waktunya.
"Bilang.... " Dara menyipitkan mata.
Thian yang sudah dilanda putus asa segera menarik wajah Dara lebih mendekat dan melumat bibir gadis itu.
"Dara manisku, ayo goyang kayak tadi, aku pingin crot, please... " Thian memohon dengan bisikan tertahan.
Dara rasanya nyaris tertawa. Tapi ia sungguh menyukai saat Thian memanggilnya dengan Dara manisku seperti barusan. Ia tahu itu salah satu judul lagu."Kasihan, kamu nggak pernah dapet kayak gini ya dari istri kamu?"
"Dara.... "
"Bilang... "
"Aku suka kamu. Suka banget." Thian tersenyum geli. Pelacur ini benar-benar membuatnya tidak berkutik.
Dara kembali menggerakkan pinggulnya membuat Thian kembali diterjang nikmat.
"Assh... ashhh enak banget..." Thian meracau bebas.
Senyuman kemenangan Dara mengembang lebar. Sikap Thian bagai pujian baginya. Pinggulnya bergerak lebih liar, dan ia membuat kedua nata Thian terpejam rapat. Alis lelaki itu nyaris menyatu dengan erangan tertahan putus-putus. Sesekali Thian membuka mata, demi menatap buah dadanya yang berayun bebas. Ia tahu, Thian sangat menyukai pemandangan ketika ia sedang berada di atas seperti saat ini.
"Ouufff..... iya gitu..mmmm," Thian menatap takjub liukan pinggul Dara yang membawanya pada ledakan besar.
"Hmmh!" Thian merengkuh erat-erat tubuh Dara saat mencapai klimaksnya.
Dalam hitungan detik, napasnya berangsur tenang.
"Jadi, kamu cuma segini aja?" Dara berbisik dan menatap Thian dengan wajah sinis.
"Ahahahahahaha!" tawa Thian lepas bebas. "Dasar lonte!" Bibirnya menyambar gemas bibir Dara yang siang ini tampil tanpa lipstik.
"Enak Pak?" tanya Dara dengan tampang konyol.
"Enak." jawab Thian dengan tatapan takjub.
"Udah enak, gratis, kamu katain lonte lagi. Dasar laki kontol!"
Tawa Thian kembali meledak. Memang yang dikatakan Dara tidak salah.
"Kan, kamu yang mau... " Thian menatap main-main.
Dara menarik tubuhnya dan merebahkan diri di samping Thian. "Kalau dulu aku pacarin kamu duluan, mungkin aku yang sekarang jadi istri kamu. Ngapain ya, dulu aku main gila sama Lou?" tanya Dara sambil melirik Thian yang menatap aneh.
"Istri?" Thian meringis enggan.
"Kenapa?" Dara menatap sewot. "Boleh kan aku berimajinasi? Toh aku udah lakuin separuh tugas istri kamu, buat puasin kamu di atas ranjang. Aku bener kan?"
Thian tersenyum sambil menatap tak percaya. "Jangan bayangin yang aneh-aneh. Jadi lonte aja. Kamu lonte."
Dara menaikkan sebelah kakinya ke atas tubuh Thian.
"Istri kamu sempurna kan? Kenapa kamu malah tidur di sini sama lonte?" tanya Dara dengan senyuman geli.
Thian membisu seketika. Ia bahkan tidak menemukan jawabannya.
"Nina cantik banget, masih seksi, awet muda, pinter cari duit, anggun, berkelas. Representasi istri ideal semua laki-laki. Aku yakin dia servis kamu juga pol-polan. Apa kurangnya dia sampe kamu tidur sama lonte?" Dara mengambil sebatang rokok dari atas meja samping tempat tidur dan menyalakan api.
Ia mendapati Thian hanya membisu.
"Kurang binal ya? Kurang nakal? Males-malesan ladenin kamu?" Dara santai menghembuskan asap rokok.
Thian hanya menjawab dengan senyuman main-main kemudian mengarahkan jemari Dara pada bibirnya demi turut menghisap rokok.
"Kenapa?" Dara masih bertanya. "Dia juga nggak mau telen sperma bau bangkai kamu?"
Senyuman Thian lepas begitu saja. "Sebau itu ya?"
Dara hanya menarik kecil sudut bibir sebelum kembali menyesap rokoknya.
"Aku bisa tahan. Kan kamu sendiri yang bilang mulut aku bau got. Mungkin memang mulut aku tempat pembuangan. Sama kayak vagina aku. Orang buangan kayak aku, pantesnya ya jadi gini ini."
Thian menekan bibirnya perlahan. Entah kenapa Dara membawa topik ini. Padahal, ia hanya ingin bersenggama saja.
"Mulut aku, nggak sewangi mulut Nina istri kamu."
"Kenapa jadi ngomong gini?" Thian menatap protes.
"Aku suka kamu Thian. Aku suka banget. Kamu pikir aja, mana ada lonte mau dipake gratisan?"
Thian terdiam seketika. "Kamu yang mau kan? Kamu suka aku, aku.... tidur sama kamu. Kita semua senang." Thian bangkit dan menuju kamar mandi untuk melepas kondomnya.
Dara hanya tersenyum kemudian berjalan menuju ruang tamu sambil menunggu Thian. Ia duduk di sofa dan menyesap rokoknya dengan khidmat.
Terdengar gemericik suara shower. Tidak lama kemudian Thian muncul dengan handuk melilit di pinggang dan kembali ke kamarnya untuk berpakaian.
Dara hanya benar-benar menunggu sambil menatap ke arah pintu kamarnya. Beberapa menit kemudian Thian muncul dan sudah tampak rapi.
"Aku balik."
"Terima kasih kembali." Dara mengangguk penuh hormat.
Cengiran Thian mengembang perlahan. Ia mendekati Dara dan sebelah tangannya mengusap pelan pipi perempuan itu. Dara tersenyum dan memberinya tatapan sarat permohonan. Entah memohon apa, Thian merasa tatapan itu seperti memohon.
"Kamu cantik."
Dara menatap tak percaya.
Thian menemukan wajah polos Dara, untuk beberapa saat. Dara seperti tercengang menatapnya.
"Aku, balik." Thian menepuk pelan sebelah pipi Dara sebelum membuka pintu dan meninggalkan tempat itu.
Pintu tertutup dengan pelan. Dara menatap hampa ke arah pintu yang tertutup.
Perlahan senyumannya mengembang. "Dara manismu."
______________________
Beberapa panggilan tidak terjawab. Kemudian rentetan chat dari Nina dan Inka, membuat Thian segera memaksa otaknya berpikir keras di dalam taksi online yang mengantarnya kembali ke kantor.
Mati! Kiamat!
Thian berpikir sambil menggigiti jempolnya sendiri dengan panik.
Alasan apa ya? Duh! Alasan apa ini? Haduh!
Thian menatap tegang ponselnya. Ia ingin segera mengetik chat balasan untuk Nina tetapi jempolnya tertahan di atas layar.
Thian memusatkan pikirannya sejenak.
My wife
'Sayang, kamu di mana? Aku telp nggak diangkat. Aku chat nggak dibales.'
'Ya ampun maaf Sayang. Aku di banking hall bawah. Hape aku taruh kantong, aku silent tadi pas meeting. Aku nggak denger. Maaf ya. Ini aku bentar lagi selesai.'
Thian segera menuruni mobil begitu taksinya sampai dan setengah berlari segera menuju banking hall. Ia sempat mendapatkan lirikan heran dari petugas security yang berjaga di lobi.
"Kepala Cabang-nya ada?" tanyanya langsung pada petugas security yang berjaga di pintu banking hall.
"Oh, ada Pak. Sebentar." Security tadi segera berlari menuju ruangan kepala cabang. Tidak lama kemudian muncul seorang lelaki paruh baya tergopoh mendatanginya.
"Selamat siang Pak Thian." Lelaki itu menyalaminya dengan sopan. "Saya Edward, Kepala Cabang di sini. Ada yang bisa saya bantu Bapak?"
"Iya, saya butuh cepet."
"Silahkan di ruangan saya." Edward yang tentu tahu siapa dirinya segera paham dan mempersilahkannya memasuki ruangan.
"Saya butuh cetak mutasi rekening, secepatnya. Juga buka deposito 2M."
"Oh siap Pak!"
"Tolong agak cepet Pak, maaf saya keburu."
"Siap!"
Edward segera memanggil dua petugas customer service untuk membantunya. Tidak sampai lima belas menit, semuanya sudah selesai. Thian segera bergegas menuju lajur lift khusus sambil menenteng amplop di tangannya. Pintu lift terbuka dan ia sampai di lantai ruangannya.
Thian mampir sejenak menuju meja resepsionis di depan lift.
"Ya Pak Thian?" tanya seorang staf wanita yang sedang berjaga. Dari pakaian hitam putih yang dikenakan, Thian sudah tahu itu anak magang.
Thian membaca cepat nama yang tercantum pada name tag staf di hadapannya. Prita.
"Prita, saya titip ini." Thian mengeluarkan ponsel rahasianya yang sudah dalam keadaan mati.
Prita menerima ponsel dari tangannya dengan tatapan bingung.
"Nanti saya ambil sendiri. Saya bisa titip ya?" Thian menatap kedua mata Prita.
"Baik Pak." Prita terlihat memasukkan ponselnya ke dalam laci.
"Makasih." Thian tersenyum tipis sebelum menuju kantornya. Ia menarik napas panjang sebelum melewati pintu kaca otomatis.
Pintu terbuka dan ia menemukan tatapan tegang Inka juga Sobiri.
"Bapak, ada ibu..... " Kalimat Inka tertahan saat Thian hanya mengangguk cepat sambil melewati mejanya.
Thian segera membuka pintu dan menemukan Nina sedang duduk di sofa dengan wajah bosan.
"Sayang! Sori! Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Thian segera duduk di sebelah Nina dan meletakkan amplopnya di atas meja.
"Kamu dari tadi itu ke bank di lantai bawah?" tanya Nina sambil menatap amplop yang baru saja di bawa Thian.
"Iya! Jadi aku cetak mutasi rekening sama buka deposito gitu 2M. Terus aku juga sambil perhatiin layanan mereka gimana. Ya tadi pas meeting sama Raynor, kita para direktur dituntut care sama semua aspek selain bidang masing-masing. Aku juga cek keadaan mesin ATM di bawah. Terus ngobrol sama Edward, kepala cabangnya. Nah hape aku di kantong. Jadi, aduh sori! Aku nggak denger pas kamu telpon. Soalnya pas meeting aku mode silent." Thian mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong.
Nina hanya mengurai senyuman. Thian tidak tahu, jika tadi selama menunggu ia sempat mampir ke banking hall di bawah untuk membukakan rekening tabungan bagi Davka. Ia tidak melihat Thian berada di sana.
Thian, lagi-lagi berbohong. Entah dari mana suaminya itu.
"Iya nggak pa-pa. Lagian emang salah aku yang dadakan." Nina mengambil amplop di atas meja dan mengecek isinya sejenak. Memang terdapat billyet deposito dan cetakan mutasi rekening.
Thian menelan ludah saat menyadari terdapat waktu transaksi pada cetakan validasi di billyet depositonya juga cetakan mutasi rekeningnya. Diam-diam ia berharap cemas Nina agar tidak menyadarinya.
Nina meletakkan kembali amplop di tangannya dan beralih menatap Thian yang terlihat tegang.
"Coba aku lihat hape kamu." Nina menengadahkan tangan.
Thian segera memberikan ponselnya dan membiarkan Nina mengecek sejenak. Istrinya tampak curiga. Tidak akan ada apa pun di sana. Thian menyandarkan punggung agar sedikit santai sambil melirik apa saja yang dicek oleh Nina.
"Kamu sudah makan?" Thian memecah kebisuan. "Mau makan? Aku masih ada waktu."
"Nggak usah." Nina mengembalikan ponsel Thian. "Aku mau ke toko. Tadi mampir ke sini sebentar. Aku langsung ke toko aja."
"Sama siapa ke sini? Pak Surya kan?"
"Iya." Nina segera bangkit.
"Aku anter." Thian mengiringi langkah Nina.
"Inka, duluan ya. Pak Sobiri." Nina tersenyum ramah saat melewati mereka berdua yang segera melepas kepergiannya dengan senyuman.
"Lain kali bilang dulu aja kalo mau ke sini. Takutnya pas aku nggak ada, malah nunggu lama." Thian menekan tombol lift. Ia tahu Nina terkadang datang mendadak hanya untuk mengecek keberadaannya.
Nina hanya melirik tanpa berniat menanggapi. Tentu Thian tahu, ia kerap merasa insecure. Selama ini Nina menganggap suaminya itu peka terhadap perasaannya. Tapi sekarang, ia melihat Thian hanya sedang berusaha menutupi bangkai.
Pintu lift terbuka dan Nina menahan tubuh Thian. "Nggak usah dianter. Aku bisa sendiri." Nina segera masuk ke dalam lift dan menekan tombol. Ia tersenyum sekilas sambil melambaikan tangan sebelum pintu lift kembali tertutup.
Thian menghembuskan napas lega. Ia kembali berjalan mendekati meja resepsionis.
"Prita, hape saya mana?" Thian meminta kembali ponselnya.
Prita segera membuka laci dan mengembalikan ponsel rahasia Thian.
"Makasih ya." Thian tersenyum sekilas sebelum kembali ke ruangannya.
"Bapak, tadi ke mana aja? Ditanyain Ibu," tanya Inka begitu ia melewati pintu kaca.
"Saya ke bawah," jawab Thian santai.
Inka melirik sejenak ponsel yang berada di genggaman tangan Thian. Tampak berbeda dengan ponsel yang biasanya digunakan Thian.
"Saya WA sama telpon Bapak. Ibu tadi nungguin lama," lanjut Inka kemudian.
"Iya tadi hape saya silent," jawab Thian sambil berlalu ke ruangannya.
Thian menutup pintu dan kembali menyalakan ponsel rahasianya.
Huhh aman.
__________________
"Good job, Dara!" Lou bertepuk tangan dengan takjub sebelum kembali menenggak bir-nya. Ia kini sedang bertemu dengan Dara, sambil menikmati suasana malam Jakarta di salah satu bar yang berada di rooftop gedung pencakar langit.
"Dia udah kena sama gue, Lou. Kita udah kimpoi beberapa kali. Cuma ya masih sebatas itu. Gue belum bisa masuk ke hati dia. Tapi dia udah ajak gue buat ketemuan di Malang, pas dia ada meeting di sana."
Lou mengangguk mengerti. Ia menyalakan rokok sambil berpikir sejenak. Sepertinya memang sulit bagi Dara untuk masuk ke dalam hati kakaknya itu. Akan tetapi menurutnya perkembangan Dara sudah sangat bagus, bagi laki-laki lurus seperti Thian.
"Nggak usah sampai masuk ke hatinya nggak pa-pa. Gini aja udah cukup. Buat dia terus tercandu-candu sama servis maut lo. Tar lama-lama dia juga males main sama istrinya." Kedua alis Lou bergerak naik turun dan segera bersambut dengan senyuman lepas Dara.
"Sebenernya misi lo apa sih?" Dara menatap bingung. "Kalo gue nggak masuk ke hatinya Thian, ya dia nggak cerai-cerai."
"Ya kalo bisa sih, gue pingin dia cerai." Lou mengangguk setuju. Ia tentu menginginkan hal itu terjadi agar tidak ada Nina di dalam kehidupan Thian, dan ia bisa leluasa meminta uang Thian seperti dulu. Apalagi, gaji Thian sebagai direktur kini sudah mencapai nominal yang sangat besar. "Tapi kayaknya sulit deh. Thian bucin banget ke Nina. Kayaknya nggak mungkin dia ceraiin Nina demi lo. Minimal renggang lah."
Dara hanya nenarik pelan sudut bibirnya. Tentu saja. Thian tidak akan bodoh memilih pelacur sepertinya.
Nina adalah wajah lain Thian. Perempuan itu membawa nama baik dan kehormatan Thian. Lou pernah bercerita, Nina sering menghadiri acara-acara kantor Thian. Relasi dan kolega Thian mengenal Nina sebagai perempuan baik-baik dan terhormat.
Diam-diam Dara menyimpan iri. Sebenarnya ia hanya kalah nasib saja dari Nina. Perempuan itu lahir dengan membawa sembilan puluh sembilan persen nasib baik. Nina sudah lahir dari keluarga baik-baik. Dirawat dan dibesarkan dengan baik, sehingga memiliki potensi lebih besar untuk bertemu dengan pria seperti Thian.
Sementara ia lahir dari keluarga miskin. Ayahnya yang hanya preman dan pemabuk tidak pernah pulang lagi sejak ia masuk sekolah dasar. Ia dibesarkan oleh ibu tunggal yang selalu lari dari kejaran kaki tangan renternir. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Seringnya petak kecil di dalam perkampungan kumuh. Demi menyambung hidup, ibunya berjualan nasi keliling di dekat tempat proyek.
Sejak kecil, ia sudah biasa bekerja apa saja demi mengisi perut. Tetapi ini kota Jakarta. Bekerja keras dari pagi sampai pagi tidak lantas membuat hidupnya jadi lebih baik. Kehidupan di sini sangat keras bagi orang-orang sepertinya. Hinaan dan makian sudah biasa ia terima. Ia terbiasa diludahi oleh pahitnya kenyataan. Cairan amis Thian, tidak ada apa-apanya dibanding semua pengalaman hidupnya.
Kini ibunya sudah tinggal cukup nyaman di sebuah rumah yang ia sediakan di kawasan Jakarta coret. Bukan rumah besar, hanya rumah kecil yang cukup nyaman, di mana ibunya bisa memiliki kehidupan yang baik dan melewatkan masa tua dengan tenang. Ibunya tidak pernah benar-benar tahu apa yang ia kerjakan. Ibunya yang lugu hanya percaya ia bekerja sebagai model.
Jika ia tidak melacur, seumur hidup ia tidak akan bisa membeli rumah untuk ibunya. Ia tidak bisa mengirim uang dan menabung untuk masa depannya. Dara sadar, ia memilih berjuang di jalan yang salah karena kehidupan tidak akan pernah berpihak pada orang-orang sepertinya. Ia hanya ingin keluar dari garis kemiskinan dan hidup amat sangat layak. Ia memang ingin mendapatkan banyak uang dengan cara instan karena sudah muak hidup susah sejak lahir.
Kadang Dara berpikir, kenapa bukan orang susah sepertinya yang berakhir bahagia dengan lelaki seperti Thian?
Kenapa pria-pria seperti Thian rata-rata berjodoh dengan wanita yang cantik, manis, dan sudah berkecukupan seperti Nina?
Hidup memang rasanya terlalu kampret bagi orang-orang susah sepertinya. Dara menyalakan sebatang rokok demi mengusir sedih yang tiba-tiba melanda hatinya.
Dara hanya berpikir, seandainya ia bernasib seperti Nina, dulu ia akan percaya diri mengejar Thian dan bukannya hanya diam-diam mengagumi. Ia akan mendekati Thian sebagai wanita terhormat dan bukannya sebagai pelacur.
Mungkin jika ia bernasib seperti Nina, Thian akan segera mempertimbangkannya dan menilainya berbeda. Laki-laki itu akan menghormatinya dan berlaku lembut kepadanya.
Tapi, sebenarnya begini saja juga sudah cukup sepanjang ia bisa mencium bibir Thian dan mendapatkan lelaki itu meski hanya dalam satu atau dua jam saja. Memang mungkin, ia hanya bisa mencuri waktu Thian seperti ini saja.
"Thian bucin gimana ke Nina?" Dara tertarik mengetahui lebih jauh.
"Thian itu udah pingin langsung nikah waktu kenal Nina. Mereka pacaran cepet banget cuma setahun. Ya mungkin dia emang udah siap nikah waktu itu. Dia sama Nina tuh abis-abisan. Abis-abisan duitnya maksudnya. Jangan ketipu tampang polos Nina. Itu maling aslinya."
Dara menyesap rokoknya sambil menatap geli. Lou ini tampak sangat membenci Nina.
"Kan Nina habis dibeliin rumah besar berapa miliar tuh? Yang buat tempat usaha dia. Nina juga punya deposito jumlah besar atas nama dia sendiri. Gue pernah nggak sengaja denger pas dia telponan sama Sita. Ya pasti dari Thian lah! Gue curiga emas batangan juga pasti ada lah di safe deposit box dia. Dibanding keluarga gue, keluarga dia itu biasa aja. Ya berkecukupan tapi biasa aja gitu lho.
Terus Thian selalu manjain dia. Thian juga nurut banget ke dia. Gue sampe sebel, kenapa Thian nurut banget sama Nina? Padahal, Thian itu punya segalanya. Ngapain gitu lho? Ya itu karena Thian bucin. Gue tahu kok, Nina bahkan bebas ngecek hape Thian. Pas ada acara kumpul keluarga, kadang gue liat dia bebas pake hape Thian. Ih nggak banget! Dia tuh pingin menguasai Thian."
Dara menyimak dengan seksama. Teringat cerita Aero, yang tidak pernah mengijinkan istrinya mengecek ponsel lelaki itu. Kesepakatan dalam rumah tangga memang tergantung keputusan masing-masing. Akan tetapi dari sikap yang berbeda itu Dara menyimpulkan bahwa sebenarnya, Thian sangat menjaga kepercayaan Nina meski akhirnya oleng oleh rayuannya.
"Thian juga pasrahin seluruh pengaturan keuangan ke Nina. Masa gue pernah liat saldo di ATM dia cuma tinggal dua puluh juta? Dia itu direktur bank gede. Perusahaan dia bonafit nggak ecek-ecek. Ya masa cuma pegang duit segitu?" Lou melanjutkan penjelasannya.
Dara reflek menanggapi dengan senyuman kering. Ia jadi teringat pengakuan angkuh Thian yang tidak akan pernah hilang dari kepalanya.
"Saya nggak akan kasih kamu sepersen pun. Jangan harap, bahkan satu rupiah pun."
"Saya nggak mau keluar modal buat bayar hotel, misalnya. Saya nggak mau keluar uang satu sen pun demi kamu. I don't invest in prostitutes."
"Saya nggak mau ngentot di hotel bintang tiga."
Untuk yang terakhir Dara nyaris tertawa sendirian jika saja tidak ingat sedang bersama Lou.
Thian sungguh lucu. Berlagak tidak mau bercinta di hotel bintang tiga, tetapi menyewa penginapan murah yang tidak jelas bintang berapa. Jadi apakah pengakuan angkuh itu hanya untuk menutupi keadaan lelaki kaya raya menyedihkan yang tidak memegang cukup uang untuk bersenang-senang di luar? Diam-diam Dara merasa kasihan kepada Thian. Jika mendengar cerita dari perspektif Lou, Thian benar-benar tampak seperti suami-suami takut istri.
Senyuman Dara mengembang perlahan. Nina tidak tahu, suaminya yang penurut itu kini sedang kucing-kucingan dengan pelacur.
"Bego banget Thian itu! Goblok banget! Nggak tahu dikasih apa sama Nina. Makanya dia harus tahu servis lo biar matanya itu kebuka!" Lou merengut kesal.
"Terus hubungan mereka gimana sekarang? Udah retak belom?" Dara menggali informasi lebih jauh.
"Gue belum cari tahu sih. Lo juga baru berapa kali kan tidur sama Thian?"
Dara tersenyum samar. "Lo tahu nggak? Kakak lo itu kayak singa kelaperan. Kasihan."
Senyuman Lou tergelincir begitu saja. "Nggak kaget. Gimana mau nakal, duit dipantau bini."
"Thian itu liar banget. Cowok paling liar yang pernah gue ladenin. Lo aja kalah liar."
"Hahahahahaha!" tawa Lou renyah mengudara.
"Jujur, walau lo player, tapi enakan dia mainnya."
"Anjing lah! Lo nggak perlu banding-bandingin gituuu.... " Lou menatap protes.
"Gue lonte, ya gue bandingin lah. Bener dia laki lurus, tapi di atas kasur dia jauh lebih ahli daripada lo. Berguru sana!" ledek Dara dengan senyuman jahil.
"Gue jadi inget waktu masih kecil, pernah nguping pas Thian ML sama Aleksandra. Rumah lagi sepi, gue diem-diem keluar kamar buat nguping. Rrrrrr.... " Lou mengedikkan kedua bahu dan bersambut dengan tawa Dara.
"Lo nakal banget!" ucap Dara di tengah sisa tawanya. "Tapi emang Thian dahsyat banget. Gue akuin. Gue jadi demen bantuin lo, walau lo bayar murah."
Tawa Lou kembali mengudara. Sungguh sikap blak-blakan Dara ini sangat lucu. "Nanti kalo mereka cerai, gue kasih duit gede. Tapi gue minta duit dulu ke Thian."
Dara mengernyitkan dahi saat keheranan sendiri. Lou sedari tadi begitu menginginkan uang Thian. Padahal ia yakin Lou juga seharusnya sangat lebih dari cukup mengingat sepak terjangnya di dunia hiburan.
Ponsel Lou bergetar dan Dara melihat lelaki itu segera sibuk tenggelam membalas chat.
"Gue harus cabut." Lou menatap Dara.
"Lo mau ke mana?" Dara menatap kecewa. Ia masih ingin menggali lebih banyak informasi tentang Thian.
"Party di apart Edgar. Tahu Edgar kan? Yang punya tempat striptease berkedok bar itu lho. Tempat lo sepong Thian pertama kali."
Dara segera mengangguk. "Iya gue tahu."
Diam-diam ia menyimpan penasaran. Kenapa Lou bisa akrab bergaul dengan Edgar? Circle mereka bahkan tidak nyambung. Akan tetapi, Lou kini dekat dengan circle Edgar yang jauh dari kalangan artis.
Ia pernah tahu dari temannya sesama selebriti kurang terkenal, jika Edgar ini diam-diam pernah memiliki ladang ganja yang diatasnamakan orang lain. Kebetulan temannya pernah menjadi pelacur Edgar. Temannya itu bahkan pernah diajak berlibur ke Myanmar. Di sana Edgar membicarakan bisnis dan mengecek bungkusan yang berisi bubuk seperti tepung.
Pada saat pembukaan bar milik lelaki itu di Phuket, Edgar juga menggelar private party di salah satu hotel mewah. Temannya berkata, saat itu Edgar menggelar pesta narkoba.
"Party apa di apart?" Dara menatap penasaran. Diam-diam menyimpan curiga.
"Biasalah," jawab Lou dengan tampang tidak niat. "Ya udah gue cabut." Lou bangkit dan menepuk pelan pundak Dara sebelum berlalu.
Dara kembali menyesap rokoknya dengan tenang. Ia membaca ulang riwayat chat-nya dengan Thian di aplikasi Telegram.
Thian Mahadevan
'Tadi enak banget.'
'Kepikiran sampe kantor ya? Mau lagi?'
'Jangan besok. Nanti aku hubungi lagi.'
'Jangan matiin hape kenapa? Cuma pas kamu lagi di kantor, aku bebas ngobrol sama kamu☹️ itu pun nggak lama.'
'Nina sering tiba-tiba dateng. Aku nggak bisa sembarangan.'
'Ouuwwww😕'
'Aku mau pulang.'
'Yah, harus nunggu sampe besok pagi baru bisa chat-chatan sama kamu☹️'
Lalu tidak ada balasan lagi hingga saat ini.
Sepertinya Thian memang hanya butuh dirinya sebagai teman tidur. Tidak lebih. Dara yakin lelaki seperti Thian sudah mendapat begitu banyak perhatian dari Nina, sehingga tidak perlu mencari perhatian lagi di luar rumah.
Dara kembali menyesap pelan rokoknya. Kita liat aja gimana nanti.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
