Dessert Rose - Bab 41

1
1
Deskripsi

"Jadi kamu butuh aku?" Dara meletakkan tas-nya di atas meja dan membiarkan pintu tertutup di belakang punggungnya.

Thian hanya menjawab dengan menggigiti pelan bibirnya sendiri.

"Jawab." Dara mendorong Thian hingga terduduk di tepi ranjang.

"Jangan banyak omong, waktuku nggak banyak." Thian melirik jam di dinding. 
 

Dara membuntuti Thian yang berjalan menuju lift dengan senyuman tertahan. Sedari tadi sejak bertemu di lobi hotel, Thian tampak salah tingkah.

Hanya ada kebisuan. Dara melirik Thian yang masih tampak canggung. Sepertinya sedang menahan malu terhadap diri sendiri hingga wajah lelaki itu bersemu merah.

Makannya, jangan hina-hina lonte. Eh tahunya doyan juga, ledek Dara hanya di dalam hati.

Pintu lift terbuka dan mereka berjalan menyusuri lorong. Thian memasukkan kartu akses kamar dan pintu terbuka. Dara segera menemukan ruangan dengan single bed yang tidak terlalu buruk. Cukup nyaman untuk bercinta.

"Jadi kamu butuh aku?" Dara meletakkan tas-nya di atas meja dan membiarkan pintu tertutup di belakang punggungnya.

Thian hanya menjawab dengan menggigiti pelan bibirnya sendiri.

"Jawab." Dara mendorong Thian hingga terduduk di tepi ranjang.

"Jangan banyak omong, waktuku nggak banyak." Thian melirik jam di dinding.

Sebelah lutut Dara menekan tepian ranjang sebelum menangkup wajah Thian dengan kedua tangan. Tatapan mereka saling menjerat satu sama lain. Thian menarik tubuhnya dan membuatnya terjatuh di atas tubuh lelaki itu.

Berikutnya bibir mereka saling memagut dengan panas.

Tubuh Thian meremang seketika. Lumatan Dara membawanya kembali sejenak pada kenangan di kamar hotel. Saat itu ia yang menciumi Dara dengan brutal. Tentu saja ciuman Dara tidak sebrutal dirinya. Tetapi melalui cumbuan Dara, ia segera mendapatkan apa yang ia mau.

Sentuhan demi sentuhan Dara membuatnya mencair seketika. Sebelah tangan wanita itu mengelus kejantanannya yang masih terbungkus celana.

Thian tahu ini keliru, tapi ia tidak bisa menahannya lagi. Ia hanya ingin terbenam dalam selangkangan wanita.

Siang ini Dara memberikan sentuhan yang begitu ia rindukan. Wanita itu melantunkan puja-puji di telinganya dan memanjakan kejantanannya.

Seketika kebutuhan biologisnya terselamatkan meski Thian tidak bisa merasa tersanjung karena puja-puji itu hanya datang dari bibir pelacur. Akan tetapi lumayan mengobati telinganya yang akhir-akhir ini tandus akan puja-puji dari Nina.

Tatapan Dara seolah tidak pernah cukup mengulitinya. Ciuman pelacur itu seolah ingin memilikinya sampai akhir dunia. Thian menyerah dan membiarkan Dara menyeret gairahnya kemana pun.

Ia tidak bisa hidup tanpa pemujaan dari Nina. Tidak bisa tidak diperhatikan seperti saat ini. Ia bagai kehilangan pegangan hidup, bingung tidak tahu harus bagaimana dan berakhir di bawah tubuh pelacur yang sedang menggoyang pinggul dengan lihai.

Erangan nikmat berkali-kali lolos dari bibirnya. Ia tidak bisa menahannya. Dara luar biasa gila dalam membuat perut bagian bawah hingga kaki dialiri kenikmatan.

Kini ia mengerti goyangan bernilai sembilan koma lima, yang dimaksud teman-temannya. Memang terasa berbeda jika dilakukan oleh perempuan selain istri, apalagi dengan pelacur sekaliber Dara. Thian berkali-kali dibuat takjub dengan sensasi yang diberikan Dara.

Thian tidak sabar lagi. Ia merengkuh erat-erat tubuh Dara yang kembali melumat bibirnya dengan sepenuh keinginan. Wanita itu menghabisi bibirnya dengan lumatan panas penuh gairah. Thian hanya ingin dicium seperti ini oleh Nina. Hanya seperti ini. Pelukannya mengerat dan geraman nikmat tenggelam tertelan di bibir Dara, ketika ledakan itu sampai pada puncaknya. Kedua tangan Thian berahir memeluk pinggang Dara.

Sial. Ia bahkan berkeringat setelah bertempur habis-habisan. Rambutnya sampai lepek. Apa di hotel ini ada hair dryer? Pikiran Thian kali ini kacau memikirkan bagaimana ia harus segera kembali ke kantor. Sepertinya ia agak terlambat demi menata rambutnya.

Ciuman lembut Dara membuat Thian membuka kedua mata. Dadanya masih naik turun mengatur ritme udara yang masuk ke paru-parunya.

"Suka?" Dara menatap lekat wajahnya.

Thian mengangguk sebelum senyumannya lepas begitu saja dan segera bersambut dengan senyuman lebar Dara.

"Thanks." Thian menatap Dara. Baru kali ini ia mengucapkan terima kasih setelah sebelumnya memperlakukan pelacur itu dengan seenaknya.

"Anytime." Dara mengusap pelan sebelah pipinya.

"Aku harus cepet mandi." Thian mendorong pelan tubuh Dara agar menyingkir dari tubuhnya. Ia menatap sejenak kondom yang dipenuhi cairan sperma. Lumayan banyak. Thian segera menuju toilet dan luar biasa lega saat mendapati hair dryer. Ia segera menutup pintu dan mengguyur diri di bawah pancuran shower.

Selesai mandi, Thian segera bergegas mengeringkan rambutnya di depan cermin wastafel. Ia sempat melirik Dara menyalakan rokok sambil mengamatinya dari atas ranjang. Rambutnya hampir kering saat Dara menghampirinya.

"Jadi kenapa tiba-tiba pingin?" tanya Dara di tengah bising suara pengering rambut. Ia berdiri di depan cermin wastafel di sebelah Thian, berlagak mengecek wajahnya sendiri.

"Butuh," jawab Thian sambil melirik Dara melalui pantulan kaca.

"Istri kamu ke mana?" Dara memutar tubuh menghadap Thian.

"Ada." Thian mematikan hair dryer dan menata rambutnya dengan tangan.

Dara bergegas mengambil sisir di dalam tas dan memberikannya pada Thian.

"Ada sisir di mobil." Thian tidak ingin meninggalkan helaian rambutnya pada sisir Dara. Ancaman pelet saat ia masih SMA dulu, membuatnya memilih berhati-hati.

Dara hanya tersenyum dan memilih meletakkan sisirnya kembali, sementara Thian segera membereskan kotak kondom dan pelumasnya.

"Aku pergi." Ia bersiap membuka pintu ketika tangan Dara menahan sebelah lengannya.

"Masa pamitnya gitu?" Dara tersenyum menggoda. "Nggak inget tadi waktu cium di atas kasur kayak gimana? Jadi kalo udah puas boleh begitu?"

Thian menelan ludah. "Tetep, jangan telpon aku kecuali aku yang telpon duluan."

"Siap Ganteng."

Thian mendaratkan kecupan singkat di bibir Dara sebelum membuka pintu. Dara hanya tersenyum kering melihat punggung Thian yang segera lenyap di balik pintu.

"Ya udah nggak pa-pa." Dara menggumam pelan.

__________________________

Sigit sedang merokok santai di bawah pohon saat menerima panggilan masuk dari Thian.

"Ya halo?" Ia segera menjawab.

"Pak, saya sudah selesai."

Sigit segera membuang puntung rokoknya dan membuatnya remuk di bawah sol sepatu. Ia bergegas menuju mobilnya dan menjemput Thian yang sudah menunggu di depan lobi.

Sigit sedikit keheranan saat melihat rambut Thian yang tampak tidak serapi tadi.

"Balik kantor ya Pak." Thian langsung masuk tanpa menunggunya membukakan pintu.

"Baik Pak." Sigit melirik Thian yang tampak menyisir rambut.

Thian segera membuka aplikasi Telegram dan menghapus riwayat chat-nya dengan Sigit juga Dara. Berikutnya Ia menggigiti bibirnya dengan pelan. Seks tadi luar biasa gila. Seketika tubuhnya terasa enteng dan kepalanya terasa ringan.

Terbayang kembali liukan pinggul ramping Dara. Desahan erotis pelacur itu menggema di kepalanya. Belum wajahnya saat dilanda kenikmatan. Thian segera mengusap dahinya dengan ujung ponsel demi mengenyahkan ingatan singkat barusan.

____________________

Inka terkejut saat melihat Thian kembali ke ruangan.

"Lho Bapak nggak meeting?" Inka melirik jam dinding.

"Meeting lah," jawab Thian sambil melewati mejanya.

Inka segera membuntuti Thian dan melihat Thian langsung menuju rest room. Tidak lama kemudian Thian muncul dengan tatanan rambut yang tampak sudah lebih rapi.

Tanpa sadar Inka mengerutkan dahi.

"Pak, maaf. Ini disposisi yang harus segera ditandatangani. Tadi saya susul Bapak ke ruang meeting pas jam makan siang, Bapak nggak ada." Inka membuka berkas di atas meja Thian.

"Oh iya, saya tadi keluar sebentar." Thian segera menandatangani berkas di dalam map. "Eh, pesen es krim yang biasanya dong. Kelar meeting saya pingin es krim. Sama, kue sus juga." Kedua mata Thian melebar. "Bakmi GM enak juga. Saya mau buat kelar meeting."

Inka tertegun sejenak. Suasana hati Thian tampaknya sudah membaik. Wajah atasannya itu terlihat sangat cerah.

"Siap Pak."

"Masih ada uang kan yang di ATM itu?" Tentu saja maksud Thian adalah kartu ATM-nya yang sengaja dititipkan pada Inka untuk menunjang keperluan pribadinya di kantor.

"Ada kok Pak."

"Ya udah saya balik meeting." Thian merapikan sejenak dasinya dan segera meninggalkan ruangan.

Inka baru saja menutup pintu ruangan Thian saat ia mendapati Sigit masuk ke dalam dan duduk di hadapannya.

"Habis dari mana Pak sama Bapak?" tanya Inka.

"Nganter dia ketemu sama temennya."

"Oh, di mana?" tanya Inka hanya untuk sekadar menyambung obrolan.

"Biasalah," jawab Sigit tanpa menatap Inka. Dalam hati merasa tidak sepatutnya ia membuka kejadian tadi di hadapan Inka. Ia hanya tidak ingin menjadi sumber pertama yang melakukan penyebaran gosip di kantor. Lagipula, banyak supir yang bernasib sama dengannya dan memilih menyimpan rahasia atasannya rapat-rapat.

Tentu ia yang akan dipanggil Thian terlebih dulu saat gosip receh ini menyebar dengan cepat. Bayangkan saja, bagaimana gemparnya jika terdengar kabar Thian main perempuan? Sigit tidak ingin dimutasi. Ia sudah nyaman berada di sini.

Lelaki baik-baik yang ia kenali sudah berubah. Memang jabatan dan kesuksesan mengundang banyak godaan. Jarang ada yang tahan terhadap godaan semacam ini. Ingatannya kembali melayang pada malam beberapa tahun yang lalu, saat Thian yang saat itu masih merintis karir duduk di sebelahnya dalam perjalanan menuju restoran mewah untuk bertemu salah seorang klien.

"Gimana ya Pak? Saya takut. Bu Shanti ini mau investasi dalam jumlah besar. Tapi sikapnya bikin saya takut. Saya udah bilang ke Pak Galen." Thian menyebutkan nama atasannya saat itu. "Tapi Pak Galen malah kayak jual saya."

Sigit ingat saat itu ia melihat wajah cemas Thian.

"Bu Shanti masih cantik. Kalau ketemu kamu, dia selalu pake yang belahan dada rendah. Buat kamu itu," goda Sigit saat itu.

Thian yang lebih muda di bawahnya hanya tertawa. Saat itu ia memang belum memanggil Thian dengan sebutan Bapak mengingat jabatan Thian yang masih selevel asisten manajer.

"Montok atuh." Sigit masih melanjutkan godaannya.

"Takut Pak," ucap Thian saat itu.

"Takut apa?" Sigit melirik heran.

"Takut disusuin," seloroh Thian yang membuatnya terbahak seketika.

Tentu Sigit tahu siapa Thian. Saat itu Thian merupakan salah satu karyawan yang begitu mencuri perhatian. Bukan hanya karena penampilan, tetapi juga dedikasinya dalam bekerja. Thian cenderung disukai dan menjadi andalan atasannya. Thian juga sering tampil mengisi acara di kantor. Tentu saja Thian saat itu menyeret hati banyak para perempuan.

"Banyak yang suka sama kamu. Kenapa kamu nggak pilih salah satu? Daripada jomblo tiap malem minggu. Ke Singapura juga sebulan paling mentok dua kali." Saat itu Sigit hanya ingin tahu sejauh mana ketahanan hati Thian.

"Saya nggak bisa Pak. Jangan. Kasihan cewek saya."

"Ah kamu. Kalau dia di sana diem-diem ada laki lain gimana? Emang kamu tahu?"

"Saya yakin nggak ada Pak. Dia sebenernya udah pingin kita nikah dan saya ikut dia kerja di Singapura. Tapi saya berat ninggalin Mama. Lagian, saya lebih nyaman di sini walau dari skala gaji emang gedean di sana. Lagian adik saya masih remaja. Dia butuh saya."

Sigit saat itu tidak heran. Memangnya perempuan mana yang tidak ingin menikah dengan Thian?

"Pak Sigit, kalau saya mabuk, tolong segera angkut saya ya Pak. Jangan sampai saya dipepet. Saya cuma laki-laki biasa." Setibanya di lokasi janji temu dengan klien, Thian sempat berpesan sebelum turun dari mobil. "Bapak ikut masuk ya. Tolong awasin saya dari jauh. Saya takut.... " Cengiran Thian mengembang.

Kini anak baik-baik itu sudah tidak ada. Bu Shanti hanya salah satu dari beberapa perempuan yang agresif menggoda Thian. Sisanya Sigit tidak sempat mengingatnya karena yang ia ingat hanya bagaimana reaksi Thian yang teguh berpegang pada pendirian tidak akan menyerah pada godaan. Padahal waktu itu Thian sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihnya.

Jujur diam-diam tersimpan rasa kagum dan rasa hormat di hatinya untuk Thian. Ia yang bertampang biasa dan bergaji pas-pasan saja pernah diam-diam bermain cinta dengan perempuan lain. Tetapi Thian yang saat itu memiliki kualitas jauh di atas dirinya memilih bertahan dengan pasangan yang nun jauh di seberang lautan. Padahal godaan yang datang kepada Thian tidak terhitung lagi seberapa banyak dan datang dari perempuan-perempuan yang tidak akan pernah sudi melirik lelaki sepertinya. Mereka semua tampak seperti bidadari dan Thian bertahan tidak bergeming.

Sungguh disayangkan, pada akhirnya Thian sama saja seperti dirinya dan para laki-laki lain yang terlanjur lemah iman. Akan tetapi dengan wajah dan karir seperti itu, mustahil godaan yang datang tidak semakin besar. Sigit masih ingat bagaimana penampilan gadis pemberi kartu kamar hotel itu. Secantik pemain sinetron dan luar biasa panas menggairahkan. Rasanya memang sulit menolak perempuan sejenis itu hingga Thian kebelet menuntaskan hasrat di hotel murah.

"Pak Sigit kok ngelamun?"

Pertanyaan Inka segera mengembalikan Sigit pada saat ini. Sigit hanya bisa menghembuskan napas berat.

"Nggak pa-pa Non. 
Non Inka kenapa manggil saya?"

"Biasa. Ini menu katering Bapak. Makan aja Pak. Bapak kayaknya makan menu prasmanan di ruang meeting." Inka menyerahkan kotak makan siang Thian.

Sigit menatap antusias katering harian Thian yang tetap terasa lezat meski dengan embel-embel menu diet. Kebetulan perutnya lapar lagi.

"Tadi Pak Thian makan burger di mobil. Keburu ketemu sama temennya." Sigit segera membuka kotak makan siang Thian. "Ini bill-nya." Sigit menyerahkan bill dari burger yang tadi ia pesan di kafetaria lobi.

"Bapak cuma makan burger?" Inka segera mengeluarkan uang dari dalam laci untuk mengganti uang Sigit.

"Iya."

Inka mengerutkan dahi. "Mana kenyang? Pasti nanti habis meeting dia minta bakmi GM. Nakal banget Pak Thian, diem-diem jajan tanpa ketahuan Bu Nina."

Sigit melirik Inka. Entah kenapa ia merasa kalimat barusan terasa bagai sindiran halus bagi Thian meski ia tidak tahu siapa perempuan yang sepertinya baru saja ditemui oleh Thian. Kelakuan Thian hari ini memang seperti pria-pria yang suka jajan di luar. Hanya saja jenis santapan Thian amat sangat menggoda dan menggairahkan. Tidak terlihat seperti jajanan murah dan sepertinya sangat lezat.

"Tapi olahraga dia kan kenceng Non. Tiap pagi sebelum saya jemput dia lari di treadmill, sit up, juga push up. Badannya ya tetep segitu-gitu aja." Sigit diam-diam mengagumi bentuk badan Thian yang masih terjaga. Apa kabar dengan perutnya yang buncit.

"Dia minta es krim sama kue Sus."

"Padahal sama Bu Nina, nggak boleh banyak-banyak makan manis." Sigit menahan senyumannya di ujung bibir.

"Pak Sigit makan di sini aja ya Pak. Temenin saya." Inka menatap penuh permohonan dan Sigit langsung menyanggupi. Makan di ruangan ini memang lebih nikmat. Lebih tenang dan bebas asap rokok dari sesama supir yang sedang menunggu panggilan.

"Eh Pak, semalem ditelpon Bu Nina nggak?"

"Iya. Nanyain Pak Thian ke mana sepulang kantor. Ya saya jawab ke The Dharmawangsa. Ketemuan sama Pak Edo juga Pak Bara," jawab Sigit sambil menyantap makanannya.

"Oh dia ke The Dharmawangsa ya?" Inka manggut-manggut. "Bentar, ketemuan sama Pak Edo yang direktur Bank juga itu ya?"

"Nggak tahu, dia nggak cerita. Tapi kayaknya iya sih. Kan satu circle itu sama Pak Bara."

Inka mengernyitkan dahi. "Tapi, kok kemarin siang saya sempet denger Pak Thian ngobrol di telpon sama Pak Edo ya? Saya yakin itu Pak Edo, karena dia bilang Edo, Edo gitu. Nah si Pak Edo ini posisi lagi ada di Medan."

Sigit berhenti mengunyah seketika.

"Makanya saya nanya Edo yang mana." Inka melanjutkan kalimatnya.

Mereka berdua diam saling menatap sejenak.

"Edo lain kalik," sahut Sigit cepat.

"Kayaknya Bapak selingkuh deh." Sobiri yang sedari tadi diam-diam menguping di pantry tidak tahan dan memutuskan muncul dari persembunyiannya.

"Sejak kapan Bapak di situ?" Inka menatap heran. Sedangkan Sigit hanya menahan senyuman di sudut bibir.

Memang selingkuh. Sigit membatin di dalam hati.

"Hush. Pak Thian itu laki paling lurus di gedung ini." Sigit sengaja melempar pujian sarkas.

Inka hanya menatap datar. Entah mengapa ia merasa janggal dengan kalimat Sigit barusan.

Sobiri menggeret kursi dan turut bergabung di meja Inka. Sudah rumus tetap, gosip harus diawali dengan fakta yang tertunda. Kali ini adalah tentang laki-laki paling lurus yang digadang-gadang luar biasa setia dengan budi luhur yang teramat baik. Siapa yang tidak tertarik membicarakan borok tersembunyi laki-laki sejenis itu?

"Diem-diem aja ya. Bu Nina pernah ngajak saya ngomong empat mata. Kayaknya emang ada yang janggal." Sobiri berlagak mengelus dagu.

"Oya? Apaan?" Inka langsung menatap ingin tahu.

"Itu udah indikasi kalo Pak Thian ada main sama cewek lain. Bu Nina dateng sendiri ke saya, minta saya jadi mata dan telinga buat dia. Makanya saya bilangin ke Non Inka, hati-hati dalam bersikap. Karena kasian, kalau Non Inka yang nggak tahu apa-apa jadi sasaran kecemburuan Bu Nina yang salah alamat." Sobiri memandangi Inka dan Sigit secara bergantian.

Sigit hanya menatap Inka dengan senyuman di wajah. Sepenuhnya ia setuju dengan Sobiri.

"Saya pernah nemu helaian rambut di kemeja Pak Thian, terus kancingnya hilang satu." Sobiri merendahkan nada suara, seolah takut suaranya menembus dinding. Padahal ruangan mereka berada jauh dari ruangan lain. Tetapi sudah rahasia umum, dinding di gedung perkantoran ini sakti. Konon, dinding di gedung perkantoran ini bisa berbicara sehingga sering menyampaikan gosip-gosip tersembunyi yang bisa menjadi konsumsi renyah di jam makan siang. Apalagi gosip perselingkuhan. Sudah pasti dijamin gurih.

Inka tertarik meneliti reaksi Sigit. Ia tentu sudah pernah mendengar cerita tentang helaian rambut ini lebih dulu dari mulut Sobiri.

"Rambut Bu Nina kan cokelat, hampir sama kayak rambut Non Inka."

"Apaan nggak sama." Inka meralat ucapan Sobiri yang terkesan buta warna.

Sigit hanya menanggapi dengan tawa kecil.

"Itu rambutnya panjang hitam pekat." Sobiri menambahkan. Ia jadi teringat bukti yang dikirimkan oleh driver ojol saat Thian mengirim paket melalui akunnya. Saat itu terlihat wajah seorang gadis cantik dengan rambut hitam. Akan tetapi, Sobiri belum berniat membuka fakta yang satu ini. Ia menilai ini terlalu berbahaya. Sobiri bahkan masih mengingat kepada siapa paket itu ditujukan. Gadis cantik itu bernama Dara.

Sementara Sigit, kembali mengingat sosok perempuan yang menitipkan kartu kamar hotel. Perempuan itu berambut panjang dan hitam legam.

"Rambut siapa coba?" Sobiri menatap Inka dan Sigit secara bergantian.

"Kuntilanak kali," sahut Sigit acuh. Ia tidak boleh terpancing ikut bergosip dan menceritakan hal yang ia ketahui. Akan sangat berbahaya meski bibirnya saat ini luar biasa gatal. Apa yang diketahui Sobiri, belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang ia ketahui.

"Bentar. Jadi maksud Pak Sobiri tadi, Bu Nina nyuruh Bapak mata-matain Pak Thian?" Inka kembali menatap Sobiri dengan wajah panik.

"Iya Non. Makanya Sobiri takut kalau Bu Nina cemburu ke Non Inka. Padahal Non Inka nggak ada hubungan kan sama Pak Thian? Gitu Non." Sigit membantu memperjelas.

"Tapi ngapain coba Bu Nina cemburu sama saya, ya ampuuun?" Inka menatap cemas.

"Ya kan Non Inka cakep!" puji Sobiri sungguh-sungguh. "Kalo muka saya kayak Pak Thian mah, udah saya gebet!"

Inka meringis jijik, sementara Sigit tak tahan untuk tidak tertawa.

"Sobiriiii, Sobiri. Sadar lo tuh jelek dekil. Nggak pantes lo ngomong gitu walau mengkhayal sekalipun. Pak Thian itu tinggi gagah ganteng. Ya mata Non Inka nggak rabun, telinganya juga nggak budeg. Jangankan dia, gue aja jijik denger lo ngomong kayak gitu." Sigit tidak tahan untuk memaki.

"Alaaaah Sigiiit. Sigiiit. Lo mah diem-diem kalau dikasih muka Pak Thian lima belas menit aja, udah minta sepong gratis sama cewek-cewek MiChat. Berhubung muke lo suram kek nasib lo, ya udah lo bayar lah pake gaji lo yang nggak seberapa itu." Sobiri tidak ingin kalah dan mereka berdua berakhir menertawakan muka masing-masing.

Inka hanya menatap jijik sambil diam-diam membatin, dasar mulut comberan. Udah jelek, mulutnya sok iye lagi. Mana ngomong sepong-sepong di depan cewek. Iyuuuuuh!

"Gue kalo punya muka kayak Pak Thian, gue pepet Non Sherly," seloroh Sigit sebelum kembali tenggelam dalam derai tawa bersama Sobiri.

Inka serta merta melirik protes. Tidak terima sahabatnya dijadikan bahan halusinasi si Sigit.

Sobiri yang tidak ingin kalah turut menimpali, "Gue kalo dikasi muka kayak Pak Thian, tiap makan siang minta disuapin Non Inka aja. Sambil kasih perintah, Inka hitungan ketiga bilang Aaaak Bapaaaaak.... "

Tawa Sobiri dan Sigit semakin menjadi. Mereka tertawa hingga wajah masing-masing merah. Inka memendam muak. Orang-orang ini sungguh membuatnya ingin muntah.

Inka bangkit dari kursi dan menyahut ponselnya. Ia ingin menemui Sherly saja.

"Loh Non mau ke mana?" terdengar pertanyaan Sobiri. Inka memilih acuh dan kembali mendengar derai tawa mereka di belakang punggungnya. Entah apa yang lucu.

_______________________

Malam itu Sigit sampai di rumah Thian pada pukul sepuluh lebih lima belas. Ia membuka bagasi dan membiarkan Surya meletakkan kardus berisi oleh-oleh dari Bali untuk Pak Utomo.

"Kata Pak Thian besok pagi di taruh di ruangannya," ucap Surya.

Sigit mengangguk mengerti. Ia baru saja menutup pintu bagasi ketika melihat Nina muncul di teras.

"Pak Sigit. Bisa saya ngomong sebentar?" Nina mendekati Sigit.

Surya segera menyingkir dari sana dan Nina berhenti di dekat Sigit dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Pak Sigit, saya mau nanya sebentar." Nina menoleh, memastikan Thian sudah masuk ke dalam dan tidak muncul di sekitar mereka.

"Iya nanya apa Bu?"

"Waktu nganter suami saya ke Dharmawangsa, di mobil dia telponan sama orang lain nggak?"

"Mmm... " Sigit menggumam pelan sambil berusaha mengingat-ingat. "Seingat saya enggak Bu," jawabnya hati-hati.

Sejujurnya Sigit kesulitan mengingat hal itu, karena Thian kerap bicara di panggilan telepon dengan banyak orang.

"Dia sering minta ditinggal gitu nggak waktu minta di drop di mana gitu?"

Sigit memutar kedua matanya berusaha mengingat-ingat. "Kalau sering sih enggak Bu. Cuma ya pernah."

"Pernah? Kapan Pak?" Kedua mata Nina memicing tajam.

"Waduh, saya lupa Bu." Sigit menggaruk sebelah kepalanya.

"Coba diinget-inget Pak. Akhir-akhir ini apa dia pernah minta di drop ke hotel terus ditinggal, kayak yang ke The Dharmawangsa itu?"

Sigit berusaha keras mengingat. "Pernah pagi-pagi.... pas mau ke kantor," ucapnya dengan sedikit ragu.

"Iya? Kapan itu Pak?" Nina menatap penuh harap.

"Saya lupa. Tapi belum lama sih. Pagi-pagi Bapak minta di drop terus ditinggal."

"Setelah saya berangkat ke Bali atau sebelum?" Nina bertanya dengan lebih detail.

"Sebelum Bu."

"Dia minta di drop di mana?"

"Ritz-Carlton."

"Ketemu sama siapa?" Nina mengejar jawaban Sigit yang tampak mengingat-ingat.

"Oh! Itu! Pak Bian PT Schafer." Sigit sampai mengangkat sebelah telunjuknya saat berhasil mengingat pembicaraan Thian pagi itu.

Bian PT Schafer? Nina tertegun menatap wajah Sigit. Masih teringat jelas konflik antara Bian dan Thian, juga keberadaan staf Bian yang disebut Thian sebagai sampah itu.

Firasat Nina mengatakan ada yang tidak beres.

"Pak, anggap aja pembicaraan ini nggak pernah ada. Jangan sampai suami saya tahu Bapak sudah kasih info ke saya." Nina mengeluarkan uang dua ratus ribu dari kantung celananya dan memberikannya kepada Sigit.

"Oh! Nggak usah Bu!" Sigit menatap panik ke sekeliling. Takut jika Thian melihat.

"Udahlah Pak." Nina memaksa dan menaruh uang itu ke dalam saku baju safari Sigit. "Buat tambah-tambah Pak."

"Ya ampun Bu."

"Makasih ya Pak udah bantu saya. Maaf kalau saya banyak nanya." Nina mengulum senyum.

"Iya, iya Bu." Sigit mengangguk kikuk.

"Buat saya, Pak Sigit itu salah satu orang yang bisa jaga suami saya."

Sigit tertegun menatap Nina.

"Suami saya pernah cerita, berkat Pak Sigit dia bebas dari jerat godaan salah satu investor genit. Saya tahu godaan suami saya di luar sana nggak main-main. Waktu itu Thian masih belum jadi siapa-siapa, masih muda, dan dimanfaatkan sama atasannya yang namanya Pak Galen. Thian sering cerita Pak Galen terkesan jual dia ke investor genit itu demi investasi jumlah besar. Waktu itu Thian masih kerja di bagian yang ngurus-ngurusin investasi gitu, saya lupa."

Sigit mati-matian menelan ludah. Tidak menyangka, Thian jujur mengungkapkan masa lalunya kepada Nina.

"Pak Galen sering menempatkan Thian berdua-duaan dengan investor itu. Padahal Pak Galen tahu waktu itu Thian udah punya pacar dan sedang menjalin hubungan serius. Thian bilang kalau nggak ada Pak Sigit, nggak tahu gimana jadinya dia malem itu. Karena si investor itu udah goda dia secara eksplisit dan Pak Galen cuma mau denger hasil yang bagus. Kata Thian, Pak Galen itu jaman dulu sadis. Tipe orang yang suka matiin karir orang lain."

Sigit tentu saja tidak pernah tahu godaan macam apa itu. Tapi mendengar kata eksplisit, ia yakin sudah pasti kelewat vulgar. Meski malam itu ia hanya mengawasi dari jarak jauh, ia tidak pernah tahu apa yang dikatakan Bu Shanti kepada Thian.

"Thian bilang, untung waktu itu ada Pak Sigit. Dia udah teler dan stres sama tekanan dari Pak Galen. Pokoknya waktu itu harus goal, dan kalau gagal imbasnya ke karir dia."

Sigit hanya membisu.

"Sekarang dia udah jadi seorang suami dan seorang ayah. Bukan lajang lagi kayak dulu. Ada hati istri dan masa depan anaknya yang harus dijaga. Saya tahu dengan karir dia sekarang, godaan di luar sana bisa jadi semakin besar. Saya harap, suami saya masih dilindungi dan dikelilingi orang-orang baik seperti Pak Sigit." Nina menatap dengan sepenuh harap.

"Kalau ada apa-apa, saya mungkin masih bisa kuat. Tapi saya nggak yakin dengan Davka. Dia belum paham apa-apa. Dia sangat butuh ayahnya." Nina menutup penjelasan panjangnya dengan senyuman simpul.

Sigit hanya bisa tertunduk dengan perasaan tidak menentu. Ia sungguh tidak berharap berada di situasi dilematis seperti saat ini.

Ia tahu Thian berselingkuh, tetapi bibirnya berat mengungkap kenyataan. Jauh di dalam lubuk hati ia takut. Thian bukan lagi anak muda yang dulu bebas ia ajak bercanda. Thian sekarang atasannya. Thian sekarang pejabat tinggi di perusahaannya. Sekali ia membuat kesalahan, entah bagaimana nasibnya. Apalagi ini mengangkut perempuan lain yang mana itu wilayah rahasia Thian.

Sigit menghela napas berat dan melihat kedua mata Nina yang berkaca-kaca.

Tidak. Sigit rasanya juga tidak tega.

"Terima kasih banyak Bu Nina. Saya mohon pamit." Sigit menunduk dalam-dalam.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dessert Rose - Bab 42
1
2
Kamu, liat aku dengan cara kayak gitu lagi. Sumpah, aku nggak tahu kenapa semenjak sepulang dari Bali kamu kayak gini. Kamu berubah banget. Kamu nggak kayak Nina yang aku kenal.Kamu juga bukan Thian yang aku kenal, sahut Nina di dalam hati.Kamu kenapa Nina? Thian kembali bertanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan