
Suasana di mobil berlangsung hening begitu Thian menutup pintu. Situasi canggung begitu lekat terasa.
"Pak Sigit, jangan salah sangka. Cewek yang tadi itu bukan siapa-siapa. Saya tadi janjian ketemu sama Pak Bian, direktur PT Schafer." Thian meluruskan kejadian di lobi hotel tadi. Meski Sigit hanya supir, lelaki itu adalah saksi kunci jadwalnya sehari-hari. Ia telah mengenal Sigit sejak lama dan tidak ingin lelaki itu salah paham.
Suasana di mobil berlangsung hening begitu Thian menutup pintu. Situasi canggung begitu lekat terasa.
"Pak Sigit, jangan salah sangka. Cewek yang tadi itu bukan siapa-siapa. Saya tadi janjian ketemu sama Pak Bian, direktur PT Schafer." Thian meluruskan kejadian di lobi hotel tadi. Meski Sigit hanya supir, lelaki itu adalah saksi kunci jadwalnya sehari-hari. Ia telah mengenal Sigit sejak lama dan tidak ingin lelaki itu salah paham.
"Iya Pak," jawab Sigit singkat sambil melirik sekilas melalui spion.
Thian masih merasa tidak puas dengan jawaban singkat Sigit. Bagaimana pun juga, ia menganggap Sigit bukan orang lain. Sigit setiap hari datang menjemput dan mengantarnya pulang. Sigit juga mengenal keluarganya. Selain itu, Sigit adalah saksi perjalanan karirnya dulu. Sigit tahu, bagaimana saat ia dulu digoda oleh salah satu klien ketika masih merintis karir. Sigit pernah menjaganya, saat ia dibuat mabuk oleh klien yang menginginkannya.
"Pak Sigit jangan mikir aneh-aneh ya."
Sigit tiba-tiba membelokkan arah mobil memasuki jalanan yang lebih sepi. Thian menatap heran. Ini bukan arah ke kantor.
"Pak Sigit, kenapa belok?"
Sigit segera menepikan mobil kemudian melepas sabuk pengaman dan menoleh menatap prihatin pada Thian yang duduk di seat belakang. Ia sudah lama mengenal Thian, sejak lelaki itu masih muda. Selama ini yang ia tahu, Thian adalah lelaki lurus yang tidak pernah berbuat macam-macam. Jangan ditanya berapa perempuan yang terang-terangan menaruh minat. Tetapi rupanya puncak karir telah menggoyahkan iman Thian.
"Bapak maaf sekali." Sigit menatap kedua mata Thian. "Saya tadi dapat titipan." Sigit mengeluarkan kartu kamar hotel pemberian Dara dari dalam saku bajunya dan memberikannya kepada Thian.
Thian menerima pemberian dari Sigit dengan dahi berkerut saat menyadari apa yang saat ini tengah berada di dalam tangannya.
"Itu kartu kamar hotel Pak. Hotel yang tadi kita datangi. Dari cewek yang tadi sama Bapak."
Reflek Thian mendongak. Ia menemukan wajah datar Sigit.
"Kata dia, Bapak sudah janjian." Sigit melanjutkan penjelasannya.
"P.. Pak Sigit. Ini nggak seperti yang Bapak kira." Thian menatap panik.
"Pak Thian, maaf tapi saya cuma supir Bapak. Saya akan diam dan tetap menjalankan tugas saya. Saya selalu siap untuk Bapak." Sigit menunduk dan kembali menghadap ke depan. Ia memutuskan tidak terlibat terlalu jauh dan hanya sekadar melaksanakan tugasnya saja. Ia tidak ingin terseret dalam drama perselingkuhan apalagi drama rumah tangga Thian, mengingat Nina lumayan ketat dalam mengontrol Thian.
Sigit merasa posisinya rawan. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang akan membuatnya terseret dalam masalah Thian. Lagipula, selama ini supir lain juga melakukan hal yang sama. Mereka semua, menyimpan banyak rahasia.
Saking banyaknya, hanya bisa mereka simpan sendiri. Mereka tidak ingin bergosip di kalangan mereka, karena terlalu berbahaya. Sudah cukup mereka pusing menyimpan rahasia atasan masing-masing dan tidak ingin menambah masalah.
Sementara Thian hanya bisa menatap lesu kartu di tangannya. Ia terlanjur membuat kesalahan dan kini dosa itu membuntutinya. Terbayang wajah Nina. Thian luar biasa takut saat ini.
"Jalan Pak. Balik ke kantor setelah itu tolong balik ke hotel tadi. Kembalikan kartu ini ke resepsionis." Thian mencolek bahu Sigit dan menyodorkan kartu yang terselip di jemarinya.
Sigit segera menerima kartu tersebut dari tangan Thian kemudian menyalakan mesin.
"Saya cuma sayang Nina. Pak Sigit cukup tahu aja," ucap Thian sambil melempar pandangan ke luar jendela.
Sigit melirik sejenak ke arah Thian sebelum kembali menjalankan mobil. Diam-diam mencerna kalimat Thian barusan. Apa Thian sedang memberitahu kepadanya jika gadis itu tidak berarti apa-apa atau lelaki itu hanya sekadar iseng? Rasa sayang memang hanya untuk istrinya. Tetapi bagaimana dengan nafsu?
Calon investor yang dulu gila-gilaan mengejar Thian, sudah lebih tua dan tentu saja bukan selera Thian. Bagaimana jika perempuan itu masih lajang dan cantik? Ia tidak pernah mendengar sedikit pun gosip tentang Thian, sejak awal lelaki itu merintis karir hingga saat ini. Perempuan yang tadi menemuinya di parkiran tampak berbeda. Perempuan itu tidak kalah cantik dari Nina dan tampil begitu menggoda.
Apa Thian kali ini akan terseret?
_____________________
Thian baru saja sampai di ruangannya. Ia segera duduk di balik meja ketika Inka masuk sambil membawa map di tangannya.
"Bapaaaak, ini berkas disposisi yang harus ditanda tangani. Oh iya, Bapak sudah pelajari transkrip buat tampil live di TV nanti malam kan?"
"Oh iya." Thian segera mencari skrip pemberian Inka dalam tumpukan file-nya. Inka sedikit membungkuk untuk membantunya.
"Ini Pak." Inka memberikan map bening dan segera duduk.
"Live-nya jam sembilan malem." Thian melirik jam dinding. "Saya masih ada waktu."
"Nanti ketemu Pak Dharma juga. Beliau tadi telp, mau berangkat bareng apa nggak? Katanya udah WA Pak Thian belum dibales." Inka mengingatkan.
"Oh ya?" Thian segera mengecek ponselnya dan memang mendapati chat dari Dharma. Thian rasa tidak ada salahnya, toh kantor mereka sama-sama di kawasan Sudirman. Lagi pula, sudah lama ia tidak bertemu dengan Dharma.
"Oke udah saya bales." Thian kembali meletakkan ponselnya.
"Habis ini tamunya dateng Pak. Dari PT Gyax, perusahaan start up."
"Terus apa lagi?" Thian menatap Inka.
"Sementara itu Pak."
"Oke. Saya mau cuci muka gosok gigi dulu."
"Baik Pak, saya permisi." Inka berlalu dari hadapannya.
Thian menghembuskan napas kasar dan menatap kosong mejanya. Saat ini ia sedang tenggelam dalam penyesalan. Tidak pernah mengira, Dara akan bersikap nekat dengan melibatkan Sigit.
Dengan rasa marah yang kembali muncul, ia menghubungi Bian.
Tidak diangkat. Dasar sial, Thian hanya bisa mengumpat di dalam hati. Memang secara etika seharusnya ia mengirim pesan terlebih dahulu. Bisa saja Bian juga sibuk.
'Saya bilang berhenti.
Tolong BERHENTI Pak Bian. Bagian mana yang kurang Bapak pahami? Saya tidak mau sampah itu muncul di hadapan saya lagi.'
Thian mengetik dengan emosi.
Send.
Thian menghembuskan napas kasar dan meletakkan frustasi ponselnya di atas meja sebelum menyangga wajahnya dengan kedua tangan.
Ia berharap Dara tidak akan muncul lagi, selamanya. Anggap saja kesalahan itu tidak pernah terjadi.
_________________________
"Selamat malam Pak Thian," sapaan jahil dengan cengiran main-main itu muncul dari balik pintu, setelah ketukan dua kali.
Senyuman Thian lepas begitu saja saat melihat Dharma sudah muncul dalam penampilan terbaiknya. Pria berwajah tampan itu melenggang santai masuk ke dalam ruangannya.
"Waduh Pak Thian cakep banget Pak!" Dharma mendekatinya yang juga sudah rapi di balik meja.
Inka melenggang masuk dan membungkuk sejenak di hadapan kulkas, demi mengambil dua kotak minuman kemasan. Thian segera menyadari lirikan mata Dharma yang mengikuti gerak-gerik Inka.
"Ehm!" Thian sengaja batuk dan serta merta mengangkat kedua alis saat mendapatkan kembali tatapan Dharma. Sahabatnya itu tersenyum nakal sebelum berakhir duduk di hadapannya.
"Lama nggak mampir ke kantor lama." Tatapan Dharma kembali menyusuri Inka yang kini meletakkan minuman kemasan dan camilan di hadapan mereka.
"Inka tambah cakep aja." Bibir Dharma tidak tahan tidak menggoda.
Inka hanya merespon dengan senyuman datar sambil melirik Thian.
"Inka, kamu pulang aja. Saya sudah selesai kok. Habis gini saya cabut sama Pak Dharma. Makasih ya." Thian segera memberi isyarat pada Inka untuk meninggalkan ruangan.
"Baik Pak Thian. Saya permisi. Mari Pak Dharma." Inka segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu.
"Gila, lo kok bisa tahan dapet sekretaris secakep dia." Tatapan Dharma meninggalkan pintu.
"Biasa aja. Lo kayak nggak pernah liat cewek aja." Thian menyahut berkas di atas meja yang berisi rundown acara dan daftar pertanyaan yang akan diajukan moderator.
"Ck, munak. Minimal lo cuci mata lah! Liat aja tuh tadi rok span-nya ketat gitu. Itu buat lo. Lo pikir buat Pak Sobiri?" Dharma menertawakan pernyataannya sendiri.
"Jangan mulai." Thian melirik malas.
"Masa lo nggak tergiur liat betis putih mulus gitu? Lo munafik banget Thian. Lo tuh orang paling munafik. Ngaku aja lo suka liat dia. Lo enjoy."
Thian memilih diam. Tidak berniat merespon karena sudah pasti percuma.
"Thian, Thiaaaan. Padahal lo tuh bisa dapetin Inka yang ranum kayak gitu. Lo malah sok suci. Palingan lo juga coli bayangin dia."
Thian sudah tidak heran. Memang sekotor ini mulut Dharma.
"Kasihan amat coli. Lo kayak nggak punya istri aja, Man," balas Thian enteng.
"Ciyeee suami setia. Ck, gue jadi penasaran. Waktunya lo tergoda nanti, bakal kayak apa tuh cewek? Yang kayak gimana gitu? Se-wow apa?"
Thian terpaku sejenak menatap senyuman Dharma yang bagai sedang menyindirnya.
Cuma perek, Thian menjawab di dalam hati. Se-wow apa? cuma perek yang gila nyepong, anjeng. Thian beralih menatap meja. Frustasi menilai diri sendiri yang berselera rendah. Ternyata tidak perlu spek bidadari untuk menggodanya. Ia hanya tergoda lonte murah. Terselip rasa malu di dalam hati.
"Yuk jalan. Nanti habis live makan yuk? Gue ceritain selingkuhan gue si Wenny."
Thian hanya menekan bibir sambil mengangkat kedua alis.
________________________
"Bank tidak perlu punya kantor fisik di setiap daerah. Cukup melalui website atau aplikasi, pihak bank sudah bisa mendapatkan pelayanan yang sama bahkan demokratisasi nasabah untuk mengatur tabungan melalui smartphone."
Dara menatap Thian dalam layar televisi di kamar hotel. Sesuai dugaannya, Thian tidak datang. Apa mungkin karena bentrok dengan jadwal di televisi?
Tadi Airin menghubunginya dan meneruskan info dari Axel, bahwa Thian malam ini muncul di televisi sekaligus menyampaikan pesan bahwa proyek Thian dibatalkan. Bian sudah membatalkan proyek tersebut dan tidak meminta gadis pengganti.
Tentu saja tadi ia sudah berusaha meyakinkan Bian. Sebelum menemui Thian, mereka sempat bicara sedikit di lobi.
"Saya sudah mencoba segala cara Pak Bian. Tetapi Pak Thian memang sulit."
"Enggak ada progres. Saya jadi ragu kamu memang sehebat yang dibilang Axel."
"Ada progres Pak. Tapi memang harus pelan-pelan."
"Oh ya? Sejauh apa?"
"Saya sudah blowjob Pak Thian." Saat itu Dara merendahkan sedikit nada suara dan mendapatkan Bian terperangah menatapnya.
"Saya sudah effort habis-habisan Pak. Saya sampai striptease di depan dia, terus saya blowjob."
"Kenapa cuma blowjob? Dapet apa saya kalau kamu cuma blowjob dia? Terserah kamu mau ngapain dia. Saya cuma mau denger dia deal proyek!"
"Pak Bian, harap diingat Pak Thian itu laki-laki lurus. Paling nggak, dia udah sedikit tergoda. Tipe klien beda-beda Pak. Kebetulan yang kali ini sulit. Saya yakin sedikit lagi dia kegoda."
"Ya udah saya check in buat kalian. Saya coba ngomong lagi sama dia. Setelah saya pergi, kamu pepet! Don't waste my time! Harus berhasil yang sekarang!" Bian tergesa menuju resepsionis.
Dara menatap senyuman Thian di dalam layar. Thian memang tampak luar biasa tampan berkarisma. Meski begitu, sebenarnya lelaki itu sangat angkuh. Teringat kembali hinaan Thian terhadap dirinya siang tadi.
"Kamu cuma lonte. Punya kamu sudah kemasukan banyak kontol. Jangan harap saya sudi tidur sama pelacur kayak kamu."
Saya mau disepong di kamar president suite. Check in sana, pake duit hasil jual diri kamu. Sampe kamar, make it fast karena saya keburu balik kantor."
"Hidup kamu sempurna ya?" Dara menatap kesal. Ia menyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke arah televisi.
Tampan, sukses, kaya raya, dan punya istri cantik. Dara yakin Thian memang tidak butuh pelacur. Tetapi pelacur kadang hadir bukan hanya karena dibutuhkan. Banyak dari kaumnya ini, membuat pria yang awalnya tidak butuh menjadi butuh.
Kini ia sudah tidak punya alasan untuk mendekati Thian. Dara sedang merayakan kegagalannya ketika ponsel di atas ranjangnya berdering. Ia melihat nama Lou.
Dara segera menggeser layar.
"Dara, sori baru sempet telpon." Terdengar ucapan di seberang sana. "Lo free?"
"Kenapa Lou? Gue kebetulan free. Ini gue lagi nunggu Thian, tapi dia nggak dateng."
"Nunggu Thian? Di mana?"
"Di hotel."
"Hotel mana? Share loc gue ke sana. Kita ngomong langsung aja. Nggak enak by phone. Gue kebetulan perlu ngomong sama lo. Penting."
Dara memutar kedua matanya sejenak. Terselip penasaran, hal penting apa yang ingin disampaikan Lou.
"Oke Lou." Dara segera menyanggupi.
________________________
"Wenny tuh fuhh! Gila. Enak banget Thiaaaan!"
Senyuman Thian lepas begitu saja ketika mendengarkan Dharma yang sedang bercerita tentang gadis selingkuhannya. Gadis selebgram berusia 22 tahun. Mereka berdua kini berada di salah satu restoran bintang lima yang menyajikan hidangan khas Prancis dan Inggris sebagai menu utama. Mereka sengaja memilih tempat ini demi mengobrol santai sambil menikmati makan malam setelah menghadiri siaran langsung di stasiun televisi.
"Lo kok bisa kenal sama selebgram 22 tahun tuh gimana?" Thian menatap heran. Apalagi ia tidak tahu siapa itu Wenny. Thian memang tidak terlalu mengetahui para selebgram.
"Jadi gini. Lo tahu Bian? PT Schafer."
Wajah Thian berubah kaku. "Iya"
"Nah dia tuh ngelobi gue, buat pake mesin CRM dia. Dia juga bilang udah lobi-lobi bank pelat merah juga. Lo belum dihubungi?"
Gerak bibir Thian tertahan begitu saja. "Ngg... nggak, belum. Soal apa?" Thian merasa tidak bisa jujur mengenai hal yang satu itu meski Dharma sahabat dekatnya.
"Jadi intinya dia mau suap gue gitu, dan gue harus menangin tender perusahaan dia. Berarti, dia belum hubungin lo ya?" Dahi Dharma berkerut.
"Terus, terus... gimana?" Thian mengembalikan topik pembicaraan kepada Dharma.
"Nah, kita kan janjian ketemu gitu di hotel. Nah setelah ngobrol segala macem dia berusaha ngelobi gue kan? Waktu itu dia kasih semacam cewek panggilan lah gitu. Namanya Dessert Rose."
Thian tanpa sadar menggigit bibirnya sendiri. Mendengar cerita Dharma, ia bagai mengulang pertemuan dengan Dara.
"Si Bian udah pergi dan gue ditinggal berdua sama itu cewek. Ya you know gue lah. Mana cakep banget."
Bibir Thian jadi terbuka sedikit. Ia sungguh penasaran saat ini.
"Ya kita kenalan, ngobrol. Ya itu si Wenny."
"Astaga. Jadi si Wenny itu Dessert Rose?" Thian menatap tak percaya.
"Iya. Malem itu gue pake lah si Wenny ini," ucap Dharma enteng. "Ya udah terus kita masih kontakan setelah itu. Nah si Wenny ini kayak berusaha yakinin gue buat deal sama proyek Bian. Tapi gue nggak mau lah. Bahaya buat karir gue kan? Kalau misal ketahuan, gue bisa dicopot dan nggak laku di instansi lain. Gue nggak seceroboh itu buat matiin karir gue sendiri. Ya kan?"
Thian mengangguk setuju. Perkara kredibilitas dalam pekerjaan, ia setuju dengan Dharma.
"Ya udah. Gue tolak proyek dari Bian tapi gue tetep hubungan sama Wenny. Akhirnya gue tawarin Wenny jadi simpenan gue dan dia setuju. Dia berhenti jadi Dessert Rose dan milih jadi sugar baby gue. Nah setelah itu gue baru tahu kalau ternyata si Wenny ini bawa misi khusus buat meyakinkan gue supaya deal sama Bian."
Thian kini menekan bibirnya. Pantas Dara pantang mundur mendekatinya.
"Ya gue cuma mau Wenny aja, nggak mau sama proyek Bian. Ya karena bahaya banget buat karir gue."
"Jadi dari situ..... " Thian tersenyum sekilas sebelum menenggak minumannya. Ternyata selera Dharma pun payah.
"Kata Wenny, Dessert Rose itu memang manajemen prostitusi terselubung. Mainnya udah kelas pejabat, pengusaha juga. Wenny juga cerita kliennya nggak banyak tapi rata-rata make dia dalam waktu lama. Lonte kelas lah."
"Lonte kelas?" Thian menahan senyumannya.
"Iya lonte kelas atas lah."
"Tetep aja lonte. Mau kelas 1,2,3 apa VIP kek, tetep aja lonte," ucap Thian dengan tatapan remeh.
"Emang lonte. Tapi kan, ada kelasnya."
"Ngapain selingkuh sama lonte?"
Senyuman Dharma lepas begitu saja. "Jadi, menurut lo gue pantesnya selingkuh sama siapa?"
Thian tersenyum geli. "Lo pikir aja sendiri."
"Lo kayak mau bilang kalo selera gue payah."
"Emang payah. Itu lonte. Cuma buat dipake. Ngapain lo pelihara.... " Thian mengejek Dharma melalui tatapannya.
"Sebenernya, semua selingkuhan itu lonte." Cengiran Dharma mengembang.
"Pokoknya kebalikannya istri sah itu lonte." Thian menimpali.
"Tinggal kita lihat, lonte macam apa yang nanti dapetin Thian... "
Thian mengabaikan ucapan Dharma dan menenggak air putih di hadapannya.
"...... apakah yang pinter jilat-jilat?"
Air dari mulutnya menyembur begitu saja saat mendengar ledekan Dharma barusan. Thian berakhir batuk sambil menahan sakit pada rongga hidungnya yang kemasukan air.
"Thian!" Dharma menatap heran. "Moncrot!"
Mendengar kata moncrot Thian semakin batuk. Terbayang kembali bagaimana saat ia menggeram nikmat ketika klimaks di mulut Dara. Thian buru-buru menutup bibirnya dengan sebelah tangan, seolah sedang bersembunyi dari dosa yang selalu membuntutinya.
"Thian, lo nggak pa-pa?" Dharma menatap cemas.
"Iya." Thian menghela napas panjang sejenak sebelum mengusap bibirnya dengan serbet.
Mereka lanjut mengobrol sambil minum. Dharma menambah segelas wine. Sedangkan Thian memilih minuman non alkohol. Dharma juga bercerita mengenai rumah tangganya dengan Diajeng.
"Diajeng gimana? Dia minta cerai?" Thian menatap Dharma.
"Mana mungkin Diajeng berani minta cerai?" Senyuman Dharma mengembang pongah. "Diajeng pada akhirnya, menerima."
"Dia setuju lo selingkuh?" Thian menatap tak percaya.
"Setuju nggak cerai. Demi anak."
Thian memicingkan kedua mata. Lantas bagaimana? Dharma seperti bisa membaca pikirannya.
"Kita sepakat, pernikahan ini harus tetap berjalan. Dia tahu kok siapa Wenny. Sudah tahu. Gue bilang, cuma buat selingan. Kalau bosen, gue tinggal."
"Kok bisa dia nerima gitu aja?" Thian masih tidak habis pikir.
"Selama ini gue suami yang bertanggung jawab. Walau gue selingkuh, nggak ada gue kurangin sedikit pun hak istri sama anak. Gue tetep jalanin kewajiban gue. Gue tetep kasih nafkah lahir batin ke Diajeng. Gue butuh Wenny buat seneng-seneng. Ada hal-hal yang bisa gue lakuin ke Wenny, tapi nggak mungkin gue lakuin ke Diajeng."
"Ow." Bibir Thian terbuka lebih lebar. Apa imajinasi Dharma seliar imajinasinya?
"Lo tahu lah gimana fantasi kaum kita. Ya Wenny cuma mainan gue. Sampe situ aja." Dharma santai menyalakan rokok.
Thian turut menyalakan rokok. "Hebat banget kalau Diajeng bisa terima itu."
"Pasti bisa. Sekarang di mana lagi dia bisa dapet suami kayak gue?" Dharma menatap kedua matanya. "Kita ini sukses. Cuan berlebih. Istri hidup enak di atas rata-rata. Belum tentu cerai dari kita dapet laki yang di level kita."
Thian menjilat pelan bibirnya dengan senyuman tertahan.
"Gue bilang sama dia, kalo gue nggak ada rasa sama Wenny. Ya anggap aja gitu lah. Sama selingkuhan cinta model apa sih? Cinta tahi kucing. Nggak penting lah itu! Pokoknya gue yakinin Diajeng, kalo cinta dan sayang gue itu seutuhnya buat dia. Wenny cuma buat... buang peju doang."
Tawa Thian berderai.
"Padahal kalau Diajeng gugat lo, dia juga bakal dapet gono-gini." Thian mengisap rokoknya.
"Ooo jadi lo takut itu? Santai. Perempuan itu, kalau suaminya kaya raya bakal mikir seribu kali buat cerai. Apalagi kalo kekurangan lakinya cuma selingkuh. Pasti dimaklumi lah."
Thian jadi tertarik menimbang-nimbang pendapat Dharma. "Gitu ya?"
"Iya. Makanya gue yakinin dia supaya nggak cerai. Gue tetep 99℅ jadi laki sempurna buat dia. Satu persennya yang cacat ya itu... gue selingkuh."
Thian hanya bisa menggeleng dengan cengiran di wajah. Bukan main.
"Bini gue masih jadi wanita terhormat. Rumah mentereng, naik mobil bagus, ikut arisan sosialita, istri direktur perusahaan bergengsi pula. Di laki mana lagi dia nyari status sosial kayak sekarang? Diajeng udah pasrah kalo gue pulang ke apartemen Wenny. Yang penting duit lancar," sambung Dharma.
"Gue nggak berani kayak lo."
"Rasanya beda, Thian. Gue ke Wenny bisa lakuin hal-hal dirty yang nggak mungkin gue lakuin ke bini. Seks bintang lima."
Tawa Thian berderai. "Dia bisa pole dance nggak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Wooo! Kok tiba-tiba lo nanya pole dance?" Dharma menatap heran.
"Ya kan kalo di film-film, lonte tuh skill-nya dewa gitu. Ya rugi pelihara lonte kalo cuma bisa ngangkang. Kalo cuma gitu mending istri sah kemana-mana." Thian membuang santai asap rokoknya.
"Wohooo!" Dharma bertepuk tangan dengan pelan agar tidak menimbulkan gaduh. "Gue nggak nyangka selera lo yang bisa nari tiang! Wenny nggak bisa pole dance sih, tapi ya memuaskan lah! Jadi selera lo yang bisa gelantungan di tiang?"
"Ya enggak. Cuma kalo spek jauh di bawah istri buat apaan?"
"Ya itu tadi buat buang peju sama dirty things. Kalo lonte aja nggak perlu spek bidadari. Bisa gawat kalo jatuh cinta terlalu dalam."
"Tetep nggak masuk di gue."
"Kenapa lo tiba-tiba bahas pole dance Apa ada someone yang bikin lo geter-geter?"
"Geter-geter apa? Kagak ada!" Tawa Thian berderai. Ia benar-benar merasa lucu saat ini. Sepertinya Dara memang mengantongi sertifikat terbaik dalam menyervis laki-laki. Sekilas terkenang kembali servis gila-gilaan pada kejantanannya, juga tarian seronok pada tiang.
"Ternyata spek lonte Thian, yang bisa gelantungan sambil makan pisang!" tawa Dharma berderai.
"Lo gila. Nggak, gue nggak selera sama lonte."
Thian benar-benar meyakini ucapannya barusan. Ia memang tidak sudi berurusan dengan lonte. Bagi Thian, pelacur itu kotor.
Ia baru saja mengantar Dharma pulang, saat panggilan dari nomor tidak dikenal muncul di layar ponselnya.
Siapa?
Thian memutuskan tidak menjawab.
Nomor itu kembali mengubungi. Tiba-tiba teringat akan perkataan Dara tadi siang, yang akan menelponnya. Apa ini Dara? Jika memang iya, betapa beraninya perempuan itu.
Thian melirik sejenak ke arah Sigit yang sedang mengemudi.
Jika ia menjawab panggilan, kemungkinan Dara akan semakin berani menghubunginya. Tentu Thian tidak mengijinkan perempuan murahan itu mempermainkan dirinya. Bisa jadi, Dara akan terus-menerus menerornya. Ini berbahaya jika terus dibiarkan. Thian tidak ingin Dara meringsek masuk ke dalam kehidupannya dan diketahui oleh Nina.
Jika ia tidak menjawab, nomor ini akan terus-terusan menghubunginya dan bisa memancing kecurigaan Nina.
Jadi Thian memutuskan menolak panggilan dan memblokir nomor barusan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
