
Dara berjalan menuju lobi dan mendekati sofa tempat Airin telah menunggu. Sahabatnya itu tampak bosan.
"Gimana?" Airin menegakkan punggung dan menatap antusias.
Dara hanya menghela napas panjang kemudian menyandarkan punggungnya.
"Jangan bilang lo gagal lagi. Waktu kita nggak banyak."
Dara menggeleng lesu.
"Akhirnya yang kita tunggu-tunggu ya para hadirin. Saatnya pengumuman peringkat pertama pemenang lomba dansa. Kira-kira pasangan mana ya yang beruntung mendapatkan hadiah voucher belanja di siniiiii?" Inka yang berdiri di atas panggung kembali mengangkat sebelah tangannya.
Peringkat tiga dan peringkat dua sudah diumumkan. Mereka semua mendapatkan hadiah voucher belanja yang akan diserahkan panitia selesai acara. Terdapat video cuplikan para pemenang lomba yang ditayangkan di layar besar.
"Jadi memang ternyata yang menjadi faktor penentu utama itu, yang keliatan paling romantis. Soalnya panitia tahu pada nggak bisa dansa semua. Tadi ada yang hampir tabrakan sama peserta lain.... " Ezra yang menjadi rekan MC Inka malam itu menimpali dan mendapat reaksi riuh.
"Nggak usah di spill deh siapa yang hampir tabrakan. Emang berani? Nggak bahaya ta?" Inka melempar pandangan pada para hadirin yang menyambut dengan tawa.
Lantas beberapa pasangan yang tadi berpartisipasi dalam lomba dansa tampak berbisik-bisik dengan tawa tertahan, membicarakan pasangan yang hampir bertabrakan dengan pasangan lain.
"Oke langsung aja ya kita umumin." Inka memberi isyarat kepada Ezra sebelum mereka membuka bibir secara bersamaan.
"Peringkat satu lomba dansa teromantis jatuh kepada pasangan...... " Mereka menahan gerak bibirnya sejenak. Hening menyergap. "Pak Thian dan Bu Ninaaaaa!"
Inka bertepuk tangan tinggi-tinggi saat para hadirin bersorak.
Tampak video di layar saat Thian dan Nina setia saling menatap satu sama lain dengan senyuman di wajah, bahkan gerak bibir Thian yang seolah turut menyanyikan lagu cinta juga tertangkap kamera. Terdengar sorakan para staf wanita.
Thian sedikit tertunduk malu sambil melirik layar. Sementara Nina hanya tersenyum saat istri-istri pejabat lain menyorakinya.
"Sepatah dua kata Pak Thian," ucap Ezra dari atas panggung dan panitia menyerahkan mic kepada Thian. Seperti pemenang peringkat sebelumnya, ia harus berdiri dan menyampaikan ungkapan singkat.
Thian menekan bibir sejenak kemudian berdiri meski merasa malu. Sama sekali tidak menyangka ia dan Nina yang menempati peringkat satu.
"Kepada dewan juri yang saya nggak tahu siapa, terima kasih. Saya nggak nyangka bisa menang. Sekali lagi Terima kasih." Thian memberi ungkapan singkat dan segera kembali duduk. Terdengar tawa kecil para staf.
"Tapi memang romantis lho saling ngeliat gini. Kayak lagi syuting film ini Pak!" Ezra sengaja menggoda sambil menatap layar besar yang masih menayangkan video Thian dan Nina.
Tawa hadirin kembali pecah. Thian hanya menutupi wajah dengan sebelah tangan.
Dara hanya tersenyum dari kejauhan. Ia menatap Thian dan Nina yang duduk bersebelahan dalam satu meja bundar. Kedua matanya kembali melirik ke arah layar besar. Ia melihat pemujaan yang begitu besar dalam tatapan Thian.
Nina, sungguh beruntung.
Dara kembali menatap ke arah Thian dan Dara. Diam-diam ia menilai kecantikan Nina dan membandingkan dengan dirinya sendiri.
Jika ia menikahi lelaki seperti Thian, mungkin ia juga akan bernasib seperti Nina. Dari segi wajah, Dara yakin ia tidak kalah cantik. Dari segi penampilan ia juga tidak kalah. Tentu ia masih ingat bagaimana gerakan bola mata Thian menilainya saat pertemuan mereka di hotel. Tetapi dari segi nasib, ia memang kalah telak.
Padahal ia lebih dulu mengenal Thian, meski Thian tidak pernah mengingatnya. Bahkan Dara yakin ia juga lebih dulu menginjakkan kaki di rumah keluarga Thian. Dara yakin Nina hanya beruntung saja. Sekilas menebak, Nina adalah perempuan dari keluarga berada seperti keluarga Thian dan tidak pernah hidup susah.
Mungkin Nina hidup nyaman dengan fasilitas orang tuanya lalu berjodoh dengan Thian. Sungguh hidup memang tidak pernah adil. Gadis yang sudah hidup nyaman sejak orok, masih layak menerima kesenangan duniawi lebih banyak lagi dengan berjodoh dengan laki-laki seperti Thian.
Tidak seperti dirinya yang hanya bermodalkan wajah cantik, tetapi terlahir dari keluarga yang kurang mampu secara finansial.
Ia harus merasakan ditipu, dilecehkan berkali-kali, juga ditiduri orang-orang yang konon katanya berpengaruh mengorbitkan artis-artis. Tetapi apa? Ia hanya berakhir menjadi pelacur. Dara tidak heran, mengingat ia tidak punya privilese apa pun.
Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam benaknya untuk menjadi artis, sebelum gadis naif beberapa tahun lalu yang menjadi waitress di sebuah bar, tertipu habis-habisan oleh lelaki perlente yang mengaku melihat potensinya.
Acara dilanjutkan dengan sesi ramah tamah. Dara tidak punya alasan untuk terus bertahan. Malam ini ia akan kembali dengan cerita kegagalan.
Dara melangkah pergi, membelah kerumunan manusia. Tapi sebelum ia meninggalkan tempat ini, ia ingin menuju toilet terlebih dahulu. Dara memilih menuju toilet di lobi saja karena tidak ingin mengantri. Tadi ia sempat melihat toilet di lantai ini penuh antrian.
__________________
"Tapi Pak Thian, emang ganteng banget nggak sih? Beruntung banget deh istrinya. Kayaknya juga romantis."
"Iya, mereka tadi keliatan masih romantis gitu. Duh emang ya, laki-laki high quality kayak Pak Thian itu memang ada tapi jumlahnya sedikit."
"Iya! Bayangin dia tuh tiga kali dinobatkan jadi pegawai paling teladan lho, sebelum jadi vice president. Terus karirnya bagus. Mana dia tuh setia banget kan."
"Gue pernah denger cerita tentang Pak Thian dari salah seorang senior. Pak Thian itu dulu gosipnya pernah dilirik jadi menantu sama salah satu dewan komisaris. Bayangin cuuuy! Apa nggak mantep?"
"Lah terus? Nggak jadi?"
"Waktu itu Pak Thian udah ada pacar di Singapura. Tapi nama dia udah nggak kaleng-kaleng, padahal jabatannya waktu itu masih asisten vice president, bayangin!"
"Ih hebat dia jujur udah punya pacar. Mana di Singapura lagi. Laki lain mah sikat! Anak dewan komisaris cuy... dimentahin sama dia!"
"Makanya dia itu setia, ya walau akhirnya bubar sama yang di Singapura dan sekarang sama Bu Nina. Padahal Bu Nina itu kata orang-orang, dari keluarga yang biasa-biasa aja. Yah jauh lah dibanding keluarga dewan komisaris."
"Oh ya? Ih ketiban rejeki banget Bu Nina! Tapi emang Bu Nina cakep banget sih."
"Iya. Itu kan karena dikenalin temennya ortu Pak Thian. Tetep aja pake koneksi. Secakep apa pun, kalo nggak ada akses dan koneksi ya nggak bakalan ketemu sama laki kayak Pak Thian. Lo pikir, bakal ketemu gegara tabrakan kayak di film-film? Laki kayak Pak Thian ya sehari-hari ketemunya sama cewek-cewek di sekitar dia kan? Dia pasti juga milih lah. Mana mantan Pak Thian yang di Singapura itu bankir sukses di sana."
"Hahaha iya sih Kak! Cewek kayak gue yang tampang pas-pasan terus cuma budak korporat palingan cuma bisa ketemu jamed yang demen love bombing gitu nggak sih? Yang lagaknya udah paling keren waktu nge-vape."
"Hahaha! Nah iya! Lo bakal ketemu ya yang selevel sama lo lah! Kecuali lo oke banget dan punya akses buat ketemu laki kayak Pak Thian!"
"Susah banget ngerubah nasib anjir. Udahlah gue gebet staff IT di lantai delapan aja dah! Lebih mungkin gue dapatkan! Kalo yang sekelas Pak Thian, cuma ada satu juta dibanding satu. Itu pun saingannya anak dewan komisaris sama bankir Singapura cuy!"
Tawa mereka berderai sebelum meninggalkan toilet.
Dara duduk diam di salah satu bilik dan menekan tombol flush. Ia hendak membuka pintu ketika mendengar suara lain memasuki toilet.
"Halo Bi? Bi Davka udah tidur?"
Dara baru saja membuka pintu toilet dan melihat Nina sedang mencuci tangan sambil berbicara di ponsel yang di loudspeaker. Dara segera menutup kembali pintu biliknya.
"Iya Bi, saya kayaknya masih lanjut ada acara. Saya sama Pak Thian pulang pagi Bi. Titip Davka ya Bi."
Dara mengangkat kedua alis. Jadi Thian dan Nina tidak pulang?
Berikutnya terdengar suara Nina yang memasuki toilet sebelah.
Terdengar nada dering.
"Halo? Di mana? Udah di lobi? Iya tunggu bentar aku masih di toilet, Sayang. Eh, kalo kita nginep hotel berarti mobilnya di bawa Pak Sigit kan?"
Samar terdengar suara laki-laki di panggilan telepon meski tidak begitu jelas karena Nina sudah mematikan loudspeaker.
"Oke aku ke sana."
Terdengar flush, berikut pintu dibuka, gemericik air dari keran dan suara heels yang melangkah tergesa meninggalkan toilet.
Nginep hotel? Dara membuka pintu dan mencuci tangannya. Kemudian mengeringkan tangan dengan tisu.
Sepertinya mereka masih memiliki kehidupan seks yang sangat baik. Dara menahan senyuman dari sudut bibirnya.
Memenangkan lomba dansa, lalu ditutup dengan bercinta di hotel sampai pagi. Rayuannya tadi di rooftop terasa mentah begitu saja. Mungkin bagi Thian sudah tidak menggiurkan. Lelaki itu sepertinya sudah mendapatkan segalanya dari Nina.
Meski Nina lebih tua darinya dan sudah berusia 34 tahun, perempuan itu masih terlihat cantik, segar, dan awet muda. Tentu saja, Nina istri direktur. Nina pasti mati-matian merawat penampilannya demi menjaga pandangan Thian.
Dara berjalan menuju lobi dan mendekati sofa tempat Airin telah menunggu. Sahabatnya itu tampak bosan.
"Gimana?" Airin menegakkan punggung dan menatap antusias.
Dara hanya menghela napas panjang kemudian menyandarkan punggungnya.
"Jangan bilang lo gagal lagi. Waktu kita nggak banyak."
Dara menggeleng lesu.
"Fuck Dara!" Airin menatap frustasi. "What's wrong with you? Nggak biasanya lo kayak begini! Lo bahkan pernah dapetin pengusaha yang mukanya sering nongol di media! Ini cuma Thian!"
Dara kembali menghela napas berat. "Masih ada Lou." Kemudian menatap wajah Airin yang tampak cemas.
"Lo yakin bisa?"
"Lou mau bantu. Tapi ya gitu dia minta bagian."
"Jadi kurang dong cuan kita... " Airin mengerutkan dahi.
"Ya gimana lagi?" Dara mengangkat kedua bahu. "Thian tipikal laki setia. Dari tatapan matanya gue udah tahu dia sebenernya ada rasa tertarik. Tapi dia bisa nahan diri."
"Yakin lo?"
Dara mengangguk. "Sejak awal ketemu, dia udah keliatan tertarik kok. Cuma ya itu dia bisa nahan diri."
Airin menghela napas panjang. Tampak frustasi. "Ya udah terus Lou gimana?"
"Gue masih tunggu kabar dari Lou. Sementara kita bilang dulu aja ke Axel kalau gue udah ngobrol sama Thian. Bilang aja Thian masih mempertimbangkan tawaran gue."
Dara menatap lesu wajah Airin yang juga tampak lesu.
______________________
Sebenarnya sejak sebelum berangkat tadi Thian memang sudah tampak bergairah. Tetapi Nina tidak pernah menduga Thian kembali sedikit brutal kali ini.
Suaminya sedang ingin sedikit kasar.
Terakhir kali mereka seperti ini, ketika ia mengenakan lipstik merah wine dan Thian merobek lingerie-nya dengan sekali tarikan.
Nina sampai sedikit takut ketika Thian menyantapnya dengan rakus di atas ranjang. Apa memenangkan lomba dansa membuat Thian menjadi luar biasa bergairah? Akhir-akhir ini ia sering melihat sisi brutal Thian. Menurut Nina saat ini Thian sudah brutal ketika gerak serampangan membuat area di bawah sana semakin basah.
Thian seperti sengaja membuatnya memekik tertahan berkali-kali dan hanya bisa mencakari punggung lelaki itu. Rasanya sudah lemas dilanda kenikmatan, tetapi Thian belum ingin berhenti.
Jangan tanyakan bagaimana penampilannya saat ini. Sudah tentu acak-acakan. Thian menerjang tanpa ampun begitu pintu hotel tertutup. Gaun bagian atas sudah melorot, menyisakan bekas kemerahan pada buah dadanya.
Nina bahkan sampai merinding saat mendengar dengusan napas dan geraman tertahan Thian yang sedang dilanda birahi tinggi. Tidak ada kelembutan di kedua mata Thian. Hanya ada tatap nakal yang berkali-kali melecehkan tubuhnya.
Thian menyentak kasar sambil menggeram tertahan. Nina hanya bisa memekik saat ngilu melanda.
"Thian sakit! Jangan keras-keras... " Rintihannya tenggelam dalam lumatan kasar Thian.
Entah kenapa, suaminya seperti kesetanan.
"Boleh, nggh... crot.... mhh.... di muka kamu?" bisik Thian dengan napas terengah.
Nina luar biasa terkejut. Seumur pernikahan mereka, belum pernah Thian meminta yang aneh-aneh seperti ini. Bahkan Thian tidak pernah tega menyuruhnya menelan sperma lelaki itu, karena sudah pasti ia tidak tahan dengan rasa dan aromanya.
Nina masih tertegun.
"Mau keluar," rengek Thian dengan tatapan menuntut.
Jadi rupanya fantasi Thian sedang ke arah sana? Jadi ia harus berlagak seperti di dalam film bokep-bokep begitu?
"Di muka?" tanya Nina dengan raut menggantung. Sesungguhnya ia belum bisa membayangkan hal itu terjadi kepadanya. Entah bagaimana rasanya ketika wajahnya berlumuran sperma Thian.
"Mmmh!" desah tertahan Thian melunturkan kekhawatirannya. Thian menekan pinggulnya lebih dalam sambil memeluk tubuhnya erat-erat. Puncak kenikmatan itu terjadi di tempat yang seharusnya.
Hening seketika. Hanya terdengar tarikan napas lelah Thian, yang bahkan masih mengenakan kemejanya.
Sementara Thian, ia masih nyaman memeluk Nina saat lemas melanda meski diiringi rasa penyesalan yang sejak tadi sudah merambat di hatinya.
Ia baru saja membayangkan Dara menenggak seluruh cairannya dengan tampang paling binal. Ia baru saja menuntaskan imajinasi membuat lipstik wanita itu beleber dan meniduri pelacur secara brutal.
Tubuhnya sudah terasa ringan dan kepalanya tidak pusing lagi, tetapi rasa bersalah kembali menyelinap ke dalam hatinya.
Thian membuka mata dan menarik dirinya. Ia menemukan tatapan Nina.
Thian merebahkan punggung dan tatapan Nina masih mengejarnya.
"Kamu habis liat bokep apa? Kok imajinasi kamu jadi lebih brutal gitu... "
Senyuman Thian mengembang begitu saja. Rupanya Nina menyadari fantasinya yang tidak biasa.
"Bokep... " Thian menatap langit-langit kamar sejenak. "Bokep main sama lonte. Biasalah." Thian kembali menatap Nina.
"Aku perhatiin, kamu jadi lebih bergairah kalau aku pake lipstik merah." Nina menunjuk bibirnya. Tentu saja lipstiknya sudah belepotan ke mana-mana akibat ulah Thian.
Thian mendekatkan wajah dan mengecup pelan bibir Nina, tanpa melepaskan jerat tatapannya. "Seksi. Aku suka." Senyumannya mengembang perlahan dan jemarinya memagut pelan dagu Nina. Ia menatap puas penampilan Nina yang kini tampak seperti wanita rendahan.
Wanita rendahan. Hanya sebatas itu Dara di matanya. Wanita rendahan yang menimbulkan fantasi paling jorok.
Tapi ini Nina, istrinya.
Istrinya bukan wanita rendahan.
"Sori tadi.... " Sejenak Thian merasa bingung. Sekarang ia tidak tega melumuri wajah anggun Nina dengan sperma amisnya. "Yang tadi lupain. Aku cuma..... " Kalimatnya tertahan.
"Kamu mau kayak gitu?" Nina menatap kedua matanya.
Thian tertegun memandangi wajah Nina. Seandainya ia tega. Tapi ia sungguh tidak tega. Tidak, ia tidak ingin melakukan hal seperti itu terhadap Nina.
"Enggak kok." Thian segera menggeleng.
"Tapi kamu tadi sempet minta kayak gitu pas lagi tinggi-tingginya.... "
"Lupain aja." Thian menarik Nina ke dalam pelukan dan mengecup sayang pucuk kepala istrinya. "Sori ya. Aku nggak akan minta gitu lagi." Cengirannya mengembang.
Nina merasakan lega pada hatinya. Diam-diam terselip rasa takut, jika fantasi Thian menjadi jauh dari yang bisa ia bayangkan. Nina tahu, hubungan seks tergantung kesepakatan masing-masing pasangan. Selama ini Thian tidak pernah menginginkan hal seperti itu. Ia juga sering memanjakan milik Thian dengan lidah dan mulutnya, tetapi tidak sampai membuat suaminya pelepasan di rongga mulutnya. Hal itu selama ini hanya menjadi bagian dari sesi pemanasan saat mereka bercinta, atau saat ia sedang berhalangan.
Tetapi sepertinya Thian mulai membangun fantasi lain. Nina berpikir, mungkin suaminya butuh variasi agar tidak bosan.
"Kenapa minta maaf?" Nina menatap protes. "Coba bilang ke aku, fantasi kamu. Aku pingin tahu." Senyuman nakal Nina mengembang.
Thian hanya tersenyum.
"Bilang ke aku. Coba."
Thian menelan ludah. Ia tidak ingin Nina berpikir macam-macam. Ia takut Nina malah akan menaruh curiga, meski ia tidak melakukan hal-hal di luar batas. Dara, hanya masuk ke dalam imajinasinya. Itu saja.
"Ya nggak ada. Ya cuma tiba-tiba kebayang bokep yang terakhir kali ditonton. Itu aja. Kamu udah segala fantasi aku." Thian memaksakan senyuman di wajahnya, berharap Nina mempercayai kata-kata dusta barusan.
"Bener?" Nina menatap ragu.
"Bener, Sayang. Dah tidur." Thian menarik selimut dan memeluk nyaman tubuh istrinya.
Ia tidak akan merubah istrinya menjadi wanita rendahan yang hanya pantas menjadi ladang fantasi joroknya. Saking liar dan jorok, ia sendiri tidak tega melakukan hal itu kepada Nina.
Bayangan Dara yang tersedak dengan kejantanannya kembali terbayang di pelupuk mata. Wajah angkuh itu hanya menutupi status wanita rendahan yang luar biasa murah. Sama sekali tidak level dengannya. Kejantanannya yang gagah ini tidak akan ragu menerobos sampai kerongkongan. Pelacur seperti Dara pasti ahli sehingga miliknya tidak akan lecet karena terkena gigi. Sekalian saja ia kencingi wajah itu sehingga senyuman yang membuat pikirannya kotor akan lenyap selamanya.
Dara akan senang hati mengemis cairannya yang amis. Wanita itu akan bersikap hina demi memanjakan sisi bajingannya yang selama ini terkunci rapat.
Tetapi cukup hanya di imajinasinya. Thian tidak ingin Dara menjelma nyata di atas ranjang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
