
Nami kulo nggih Fara, nduk. Umur baru 26, lagi mekar-mekare kembang jarene (mekar-mekarnya bunga katanya), hehe. Status? Wis ono sing duwe, bojoku Mas Budi, cah bagus tur sabar pol (anak baik dan sabar sekali). Uripku? Ya adem ayem wae (tenang-tenang saja) di rumah mertua, Tembalang Atas sini. Resik-resik omah, masak kagem garwo lan maratuwa (Bersih-bersih rumah, masak untuk suami dan mertua)... pokoke dadi mantu idaman lah (pokoknya jadi menantu idaman lah).
Mas Budi? Sayang banget kulo kalih piyambake...
Episode 1: Benih Nakal ing Njero Sirahku (Benih Nakal di Dalam Kepalaku)
Nami kulo (nama saya) Fara. Panggil saja Fara, biar lebih akrab gitu. Usiaku? Baru saja 26 tahun kemarin lho, lagi mekar-mekare kembang (mekar-mekarnya bunga), to? Hehe. Aku ini, ya gimana ya ngomongnya... Perempuan Jawa tulen, lahir dan besar di Semarang ini juga. Kulitku kata orang sih kuning langsat bersih, warisan dari almarhumah Ibu. Rambutku hitam legam, sengaja kupanjangkan sampai sepunggung. Biasanya kalau di rumah ya cuma tak cepol (sanggul) asal pakai jepit rambut, biar nggak sumuk (gerah) pas lagi resik-resik omah (bersih-bersih rumah) atau masak di dapur. Tapi kalau Mas Budi mau pulang kerja, baru deh tak gerai, soalnya dia suka banget ngelus-ngelus (mengelus-elus) rambutku ini. Katanya, wangi melatiku dan halus rambutku bisa bikin pikirannya adem (tenang) setelah seharian mumet (pusing) di kantor.
Tinggiku ya semampai lah, 160 cm, nggak pendek-pendek amat. Nah, kalau soal 'aset' atau sangu urip (bekal hidup) dari Yang Di Atas, Alhamdulillah dikasih modal lumayan. Dada ukuran 36D, kata Mas Budi sih pas digegem (pas digenggam) tangannya, hehe. Pinggul juga lumayan berisi, jadi lekuk tubuhku tetap kelihatan meskipun sehari-hari aku lebih sering pakai daster batik longgar atau kaos oblong dipadu jarik (kain batik panjang) motif parang kesukaan Ibu Murni. Aku tahu kok, aku ini lumayan menarik. Bukan kemaki (sombong) ya, nduk, tapi kan kita perempuan harus sadar potensi diri, to?
Aku sudah menikah sama Mas Budi lebih dari lima tahun. Dia itu cinta pertamaku sejak jaman nom-noman (zaman muda) pas kuliah di Undip dulu. Beda fakultas, aku Sastra Jawa, dia Teknik Mesin, tapi jodho ora ono sing ngerti (jodoh tidak ada yang tahu), bisa nyantol juga hatinya ke aku. Mas Budi itu, seperti yang aku bilang, orangnya baik, sabar pol (banget), dan ngemong (mengayomi) banget. Kadang kalau aku lagi ngambek (merajuk) nggak jelas, dia cuma senyum sambil nggaruk-nggaruk sirah (menggaruk-garuk kepala) tapi tetap sabar ngadepi (menghadapi) aku.
Kerjanya di kantor dekat Simpang Lima, tiap pagi jam setengah tujuh wis jingkrung (sudah siap), rapi jali, wangi parfum musk campur klembak menyan (wangi khas Jawa, tapi ini bercanda, ya parfum modern kok, hehe) kesukaanku, pakai kemeja lengan panjang sama celana bahan, terus pamit berangkat naik motor Vario-nya. "Ati-ati ning ndalan (di jalan) ya, Mas," pesenku tiap pagi sambil ngambung astane (mencium tangannya) di depan pintu. Dia pasti balas dengan senyum sambil ngelus pipiku (mengelus pipiku), "Iyo, cah ayu (anak cantik). Ojo lali lawange dikunci (Jangan lupa pintunya dikunci)."
Kami tinggal di rumah mertua, di daerah Tembalang Atas yang masih lumayan sejuk. Rumahnya model lama gitu, catnya udah agak kusam tapi bersih terawat banget sama Ibu Murni. Ada halaman kecil di depan, ada pohon mangga gedhe (besar), tempat Bapak Bakri, mertua laki-lakiku, suka ngopi (minum kopi) pagi-pagi di lincak (kursi bambu panjang) sambil baca koran Suara Merdeka. Bapak itu orangnya pendiam, tapi tatapan matanya teduh. Kadang kalau pas aku lagi nyapu halaman pakai daster dan jarik, terus nggak sengaja tatapan kami bertemu, jantungku suka mak tratap (berdebar kaget). Suasana pagi di Tembalang itu enak lho, nduk, masih sejuk, kadang ada kabut tipis turun, hawane seger (udaranya segar). Beda banget sama Semarang bawah yang udah panas njeblang (sekali) dari pagi. Di rumah ini ya ada Bapak Bakri yang kalem, Ibu Murni yang grapyak (ramah) tapi sibuk sama warung makannya, aku, sama Mas Budi. Kamar kami nggak besar, di lantai atas, tapi cukup buat kami lelumban (berdua saja).
Pernikahan kami, ya gitu deh, lurus-lurus aja kayak jalan tol. Adem ayem, nggak pernah ada prahara besar. Kadang sore pas Mas Budi pulang, aku sambut pakai teh nasgitel (panas, legi/manis, kenthel/kental) kesukaannya. Sambil nonton TV, dia suka iseng njawil (mencolek) daguku atau komentar masakanku. "Dek, jangan lodehmu iki kok rodo kasinen sitik yo? (sayur lodehmu ini kok agak keasinan sedikit ya?)" tanyanya sambil nyengir. Aku langsung melotot, "Halah, Mas, bilang aja mau nambah lagi, kan? Ngaku wae (Ngaku saja)!" Kami lalu tertawa bareng. Hubungan kami hangat dan penuh canda, tapi ya itu... mungkin saking ademnya kali ya, jadi aku mulai cari 'angin' lain? Ah, embuh (Ah, tidak tahu)!
Nah, soal 'angin' ini nih... ada hubungannya sama urusan kasure dewe (ranjang kami). Jangan salah ya, nduk, Mas Budi itu jagoane Fara lho nek ning nduwur kasur (kalau di atas kasur)! Lima tahun ini dia selalu bisa bikin aku klepek-klepek keenakan (terkulai keenakan). Kami juga pasangan yang 'penasaran', suka coba-coba hal baru biar nggak bosen (bosan). Baca-baca artikel, nonton film yang agak 'panas' buat inspirasi, sampai akhirnya kami keranjingan sama dunia maya yang jebule (ternyata) isinya werna-werna (macam-macam).
Malam itu, kayak malam-malam sebelumnya, Semarang lagi gerah bunek (gerah sekali). Kami udah di kamar, pintu ditutup rapat, cuma diterangi lampu tidur yang temaram sama cahaya dari layar laptop Mas Budi yang ditaruh di meja kecil sudut kamar. Aku udah ganti pakai daster satin tipis warna merah marun kesukaan Mas Budi. Daster ini memang agak beda, talinya tipis model spageti, belahan dadanya juga rendah, sengaja biar dia gampang 'jelajah' hehe. Rambutku kugerai, wangi melati dari conditioner-ku menguar lembut.
"Lagi ndelok opo tho, Mas? Kok serius men (sekali)?" tanyaku sambil ndusel (menyender manja) di bahunya, ikut ngintip layar laptop. Wangi sabun mandi Mas Budi masih kecium, bikin aku nyaman.
"Eh, ini lho, Dek. Nemu cerita apik (bagus) ning forum," sahut Mas Budi, sedikit terkekeh sambil nggeret mouse (menggeser mouse), nunjuk layar. "Cerita bojone uwong (istri orang) sing... ehm... kesepen (kesepian) terus digodha (digoda) karo tukang kebone (tukang kebunnya)."
Mataku langsung melotot ke layar. Ceritanya waduh biyung, vulgar banget, nduk! Detail adegan anu-anu-nya itu lho... Jan tenan (Sungguh terlalu)! Tapi anehnya, aku kok ya nggak bisa berhenti baca. Malah jantungku mulai dug-dug serrr, pipiku panas, dan bagian ngisor (bawah)-ku mulai... ehm... anget.

"Iiiih, Mas! Kok moco sing ngono kuwi (baca yang begituan) sih? Saru (Tidak senonoh)! Ganti ah!" Protesku manja, tapi tanganku malah nggak sengaja nyenggol (menyenggol) mouse, nge-klik video rekomendasi di samping cerita itu. Judulnya nggak kalah bikin penasaran: "Tresno Kepenggok ning Pawon (Cinta Terhalang di Dapur)." Walah.
"Waduh, eh eh... malah kepencet pidione (malah tertekan videonya) iki, Dek," kata Mas Budi sambil tertawa kecil, kayaknya dia sengaja deh. "Yo wis, kadung (terlanjur), ditonton sisan wae yo (ditonton sekalian saja ya)?"
Dan akhirnya, kami malah nonton video pendek itu bersama. Adegan di dalamnya... wah, lebih parah dari cerita tadi! Visualnya begitu jelas. Istri cantik nan seksi lagi dolanan geni (bermain api) sama lelaki lain—yang ternyata sopir pribadinya—di dapur pas sing lanang (suaminya) lagi kerjo (kerja). Aku sampai gigit bibir bawahku nahan ngempet (menahan). Gila, kok aku malah melu kepingin (ikut terangsang) ya?
Selesai nonton video itu, suasana kamar jadi beda. Hening sesaat, cuma kedengeran suara jangkrik nggerik (jangkrik berbunyi) dari luar jendela sama deru napas kami yang agak memburu. Mas Budi nutup laptopnya, terus mandeng (menatap) aku dalem banget (dalam sekali). Senyumnya agak... nakal.
"Dek Fara..." bisiknya dengan suara serak yang khas, suara yang selalu bikin pertahananku ambrol (runtuh). Tangannya yang hangat mulai bergerak, ndemok (menyentuh) pundakku yang terbuka oleh tali daster satin itu. Sentuhannya ringan pada awalnya, tapi cukup untuk mengirimkan sengatan geli. Perlahan, tangannya turun, nggrayangi (meraba-raba) lekukan leherku, ibu jarinya mengusap lembut titik sensitif di bawah telingaku. Aku refleks memiringkan kepala. "Pripun wau film e? Seru?" (Gimana tadi filmnya? Seru?) tanyanya lagi, matanya menelusuri garis leher dasterku.
"Ap-apaan sih, Mas..." sahutku dengan suara bergetar, pura-pura malu, padahal tubuhku sudah seperti dialiri listrik. Kedua lenganku sudah melingkar erat di lehernya, menarik wajahnya lebih dekat.
"Andai saja kamu jadi bojo (istri) yang di film itu tadi..." Mas Budi menggantung kalimatnya. Tangannya semakin berani, menyelinap masuk ke dalam celah dasterku. Kain satin licin terasa dingin sesaat, sebelum kehangatan telapak tangannya menggantikannya. Jantungku berdegup kencang saat jemarinya akhirnya menemukan gunung kembarku (payudaraku). "Kira-kira..." bisiknya lagi, tepat di telingaku, sementara ibu jarinya mulai membelai lembut, membuat pentil (puting)-ku mengeras seketika. "...kalau ada lanangan liyo (lelaki lain) yang ndemok 'aset'-mu ini... kamu bakal kepenak (enak) gitu juga nggak ya, Dek? Hmmm?"
"Masss... ahhh..." Desahanku lolos tak tertahan ketika jemarinya dengan ahli mulai muter-muter (memutar-mutar) dan memainkan puncak payudaraku yang sudah menegang. Rasanya seperti ada sengatan listrik halus yang menjalar langsung ke pusat gairahku di ngisor kana (bawah sana). Kepalaku terasa ringan, nggliyer (pusing) karena gairah, dan langsung kusandarkan di dada bidangnya. Napasku semakin memburu.
Mas Budi terkekeh pelan. "Seneng yo, Dek?" (Suka ya, Dek?) godanya, lalu bibirnya menyambar bibirku. Ciumannya kali ini berbeda. Lebih menuntut, dalam, sedikit kasar. Lidahnya langsung nerobos (menerobos) masuk, mengajak lidahku bertarung. Aku membalasnya tak kalah ganas. Tanganku meremas rambut belakangnya. Suara decapan bibir kami memenuhi kamar.
Tangannya yang satu lagi ikut masuk ke dasterku, meremas lembut payudaraku yang lain. Sensasi diwolak-walik (dibolak-balik) di kedua sisi membuatku melenguh panjang. "Mmmhhh... Mas..."
Ketika ciuman kami terlepas, Mas Budi menatapku lagi, matanya berkabut gairah. "Malam ini kamu rodok ndableg yo, Dek Fara," (Malam ini kamu agak nakal ya, Dek Fara) desahnya, lalu bibirnya turun menjelajahi leherku, meninggalkan jejak basah. "Aku seneng..." bisiknya lagi, sebelum menggigit kecil cuping telingaku.
"Mas... ojo dicokot tho (jangan digigit dong)... geli... ahh..." Aku meracau, tubuhku melengkung merespons. Tangannya yang tadi di dadaku kini turun lebih jauh, mengelus perutku, lalu semakin turun ke bawah, menuju barang paling pribadi-ku yang sudah berdenyut hebat.
Saat ujung jarinya menyentuh bagian paling sensitifku yang sudah teles kebes (basah kuyup) di balik celana dalam tipisku, aku tersentak. "Nghh!" Desahan tertahan lolos. Dia tidak berhenti, jemarinya mulai ngubeng-ngubeng (bergerak melingkar) di sana, memberikan tekanan lembut yang membuatku gila.
"Wis teles yo, sayang..." (Sudah basah ya, sayang...) bisik Mas Budi, senyumnya penuh kemenangan. Ia menarik turun dasterku hingga terlepas, memperlihatkan kedua payudaraku. Tanpa menunggu lama, ia menunduk dan mulutnya langsung nyosor (melahap) salah satu puncaknya.
"Ohhh... Mas Budi... ahhh... iyo (iya)... gituuu...!" Aku mencengkeram seprai kuat-kuat, merasakan sensasi luar biasa saat mulutnya ngulum (mengulum), menjilat, dan mengisap bergantian, sementara jemarinya di bawah sana semakin intens dolanan (bermain).
Di tengah badai kenikmatan ini, bayangan Pak Bakri kembali menyelinap. Bayangan saat beliau tersenyum pagi tadi. Astaga! Kenapa harus dia? Tapi bayangan itu malah jadi bensin. Aku membayangkan jika tangan kekar Pak Bakri yang kini meremas, jika mulutnya yang kini nyepak (menyesap)...
"Dek... sikile dibuka, sayang..." (kakinya dibuka, sayang...) perintah Mas Budi dengan suara berat. Tangannya sudah menyingkap sisa dasterku dan melepaskan celana dalamku. Aku menurut, kedua kakiku terbuka lebar.
Aku bisa merasakan tatapan lapar Mas Budi saat memandang surga kecilku yang kini terbuka. Dia berlutut di antara kakiku, lalu tanpa peringatan, lidahnya yang panas dan basah mulai ndilati (menjilati) daerah itu.
"Tidaaak... Mas! Ahhhhh... Gusti Pengeran...!" Aku menjerit kaget campur nikmat. Sensasinya begitu dahsyat, pinggulku terangkat. Aku meremas rambut Mas Budi kuat-kuat. "Lagiii... Mas... teruss... ohhh..."
Mas Budi sepertinya menikmati melihatku kelaran nanging kepenak (kesakitan tapi keenakan). Dia terus melakukannya hingga aku merasa akan metu (keluar/mencapai puncak) hanya dengan itu. Tapi tepat sebelum aku meledak, dia berhenti. Aku mengerang protes.
Dia bangkit, "Sekedap, sayang... Aku yo wis ra kuwat iki (juga sudah tidak kuat ini)..." Dia dengan cepat melepaskan pakaiannya, memperlihatkan senjata pusaka-nya yang sudah tegang sempurna.
Dia memosisikan dirinya di atasku. "Siap, Dek?" tanyanya.
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Lalu, aku merasakan ujung barang lanang (milik laki-laki)-nya yang keras dan panas menyentuh pintu masukku yang sudah licin. Dia mendorong perlahan.
"Ruwet, Dek... mmmhh..." (Sempit, Dek...) desah Mas Budi.
"Alon-alon... Mas... aahhh..." (Pelan-pelan...)
Dia mendorong lagi, lebih dalam, hingga akhirnya nyawiji (bersatu) sepenuhnya. Kami berdua mengerang bersamaan. Hening sesaat.
Lalu, Mas Budi mulai bergerak. Perlahan awalnya, maju mundur (maju mundur) dengan ritme sensual. Setiap dorongannya terasa jero (dalam), menggesek dinding kontholanku (kewanitaanku, istilah agak kasar tapi umum di percakapan informal tertentu, atau bisa diganti 'punyaku').
"Ohh... Mas... luwih banter (lebih cepat)..." pintaku, pinggulku mulai bergerak mengikuti iramanya.
Mas Budi menyeringai, lalu mempercepat tempo gerakannya. Kamar kami kini dipenuhi suara kriyet-kriyet ranjang (derit ranjang), suara kulit kami yang beradu, dan desahan serta nggihing (rintihan/desahan tertahan) kami yang saling bersahutan.
"Aahhh... Aahhh... teruss... Mas Budi... gituuu...!" Aku mendesah panjang.
"Dek... Fara... kowe marai edan (kamu bikin gila)... ohhh..." Mas Budi mengerang, kringete dleweran (keringatnya bercucuran).
Dan lagi-lagi, di puncak gairah ini, saat tubuhku bergetar hebat menahan gelombang orgasme, bayangan Pak Bakri muncul lagi. Kali ini lebih jelas. Aku membayangkan jika tubuh kokoh yang bergerak ritmis ini adalah tubuh Bapak. Jika erangan berat itu suara Bapak. Jika barang yang kini menghujamku dalam-dalam adalah milik Bapak...
"AAAAHHHHH.... BAP—!" Aku hampir saja salah teriak! Cepat-cepat kututup mulutku dengan tangan, tapi orgasme sudah meledak hebat. Rasanya jauh lebih dahsyat. Tubuhku kejang hebat, dinding guwaku (dinding vaginaku) mengencang, menjepit barang Mas Budi kuat-kuat.
Gelombang orgasmeku memicu Mas Budi. Dengan beberapa hentakan terakhir yang jero lan kuat (dalam dan kuat), diselingi erangan panjang, aku merasakan semburan hangat miliknya muncrat (memancar) di dalam.
"Dek Faraaa... aahhhhh!"
Tubuhnya ambruk menindihku, napas kami sama-sama ngos-ngosan (terengah-engah). Kami terdiam lama. Bau peluh dan lendir katresnan (lendir cinta) kami menguar.
Setelah beberapa saat, Mas Budi berguling ke samping, menarikku ke dalam pelukannya. Sebelum suasana jadi serius, aku iseng berbisik sambil terkekeh kecil, masih mengatur napas, "Mas, tenogomu kok koyo sepur Kluthuk yo? banter tur rosa (tenagamu kok seperti kereta api uap ya? Cepat dan kuat)."
Mas Budi ikut tertawa pelan, suaranya masih serak, "Lha piye, Dek, musuhe galak ngene kok. (Gimana lagi, Dek, lawannya galak begini kok.) Kudu ngimbangi, tho (Harus mengimbangi, kan)." Dia mencium keningku.
Tapi tawa itu segera mereda. Ada jeda hening yang sedikit canggung. Lalu, dia memanggilku lagi, suaranya kini lebih tenang, tapi menyimpan nada serius.
"Dek..."
"Dalem, Mas?" (Iya, Mas?)
"Aku serius lho tadi waktu ngomong..."
Keningku berkerut. "Serius soal apa, Mas?" tanyaku, jantungku kembali berdebar was-was.
"Soal... fantasi 'main' sama orang lain itu..." katanya pelan. "Kadang aku suka membayangkan... penasaran saja sih sebenarnya... gimana ya rasanya kalau bojoku sing ayu iki (istriku yang cantik ini) 'dicicipi' oleh pria lain? Apakah kamu akan tetap eling (ingat) aku dan kembali padaku setelahnya?"
JLEB! Kata-kata itu kembali menghantamku. Kali ini terasa lebih nyata setelah permainan panas kami. Aku hanya bisa diam, membalikkan badan memunggunginya, pura-pura wis ngantuk banget (sudah mengantuk sekali). Tapi di dalam kegelapan kamar dan keheningan malam, benih nakal di kepalaku itu terasa semakin subur dan bertunas. Benih fantasi terlarang tentang diriku dan... Bapak Bakri.
Ya Tuhan... Fara, kowe iki kenopo tho (kamu ini kenapa sih)? Normal nggak sih aku ini? Kok bisa aku dirangsang (terangsang) hebat sama suami sendiri, tapi sambil mbayangke (membayangkan) Bapak Mertua? Dan kenapa... kenapa rasanya jauh lebih mak nyosss (nikmat sekali) pas mbayangke (membayangkan) Bapak? Apa aku wis edan tenan (sudah gila beneran)? Dosa besar ini, Fara... Dosa besar! Tapi kok ya... bikin ketagihan?
Gusti Allah, paringono kuat imanku (Tuhan, berilah kekuatan pada imanku)... tapi mungkin... mengko sikik wae nguwatinne (nanti saja dulu menguatkannya)... Ah, karepmu lah, Ra (Ah, terserahlah, Ra)!
Bersambung.....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
