
Ketika dua saudara kembar, Lucien dan Duke, bosan dengan pernikahan masing-masing, mereka membuat kesepakatan gila, bertukar istri selama tiga bulan. Awalnya hanya permainan iseng, tapi segalanya berubah ketika Duke mulai menginginkan kehidupan Lucien-terutama istrinya, Alana.
Prolog
Alana berdiri di ambang pintu dengan wajah lelah, rambutnya berantakan, dan baju rumahnya penuh noda susu. Sementara itu, Lucien duduk di sofa dengan santai, jemarinya lincah menggerakkan stik konsol, matanya terpaku pada layar televisi, benar-benar mengabaikan dunia di sekitarnya.
Di belakangnya, Zoe yang berusia kurang dari tiga tahun merangkak ke arahnya, menarik ujung kaosnya dengan tangan kecilnya yang lengket. "Papa...." rengeknya dengan suara manja.
Alana yang sedari tadi memperhatikan pemandangan itu akhirnya tidak tahan lagi. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan nada penuh kesabaran yang hampir habis, "Apa kamu bisa berhenti bermain game dan menjaga Zoe sebentar?"
Lucien mendesah keras, menekan tombol pause dengan gerakan kasar, lalu menoleh pada Alana dengan tatapan penuh kejengkelan. "Aku sudah lelah bekerja selama sepekan, apa iya aku harus menjaga Zoe juga? Lagipula malam ini aku mau membicarakan bisnis dengan Duke. Kamu selalu membuat muak! Membuat mood-ku memburuk!"
Alana merasakan dadanya mencengkeram sesak. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia mencoba menahan emosinya. "Lalu apa arti pernikahan ini kalau kamu tidak pernah ada waktu? Aku hanya memintamu bermain dengan Zoe! Apa susahnya memberi waktu untuk aku dan Zoe?" Suaranya mulai bergetar, dan tanpa ia sadari, air matanya jatuh satu per satu. "Aku juga muak sama kamu! Nggak cuma kamu yang muak!"
Lucien bangkit dari sofa dengan kasar, menatap Alana dengan penuh amarah. "Selalu marah, selalu berisik! Kamu bisa nggak sih jadi istri yang normal sehari saja? Jadi cantik, rapi, manis, tidak berisik! tidak berantakan! Kamu lihat istri Duke, Valery! Selalu kelihatan cantik, ramah!"
Alana tertawa sinis di antara air matanya. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan keinginan untuk melempar sesuatu ke arah suaminya. "Apa Valery pernah menyiapkan sarapan untuk Duke? Makan malam? Menyiapkan pakaianmu, baju tidurmu, baju kerja, merapikan berkas-berkas, mengirim makan siang supaya kamu tidak makan sembarangan? Apa dia punya anak? Apa dia merawat anak yang terkadang seharian menangis tidak mau berhenti?"
Lucien mendengus sinis. "Kalau kamu mau pelayan, bilang saja!" Nada suaranya penuh hinaan, membuat amarah Alana semakin memuncak.
"Kamu tidak ikhlas merawat suamimu? Anak? Sehingga kamu mengungkitnya? Bukankah kamu yang menolak dan melarangku mencari pelayan?" lanjut Lucien tajam.
Alana tidak bisa menahan emosinya lagi. Tangannya gemetar, dadanya naik turun karena marah. "Carilah! Carilah pelayan! Aku tidak peduli lagi! Atau kamu mau bercerai? Ayo bercerai saja!" jeritnya histeris.
Lucien memandangnya dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras. "Kamu bicara tentang perceraian lagi? Iya? Nanti kalau aku menggugatmu sungguhan, tau rasa kamu! Memang kamu punya apa untuk hidup sendiri?"
Kalimat itu menghantam hati Alana seperti belati. Ia terdiam sesaat sebelum menundukkan kepala, air matanya menetes semakin deras. "Itu karena aku bodoh! Aku memilih cinta dibanding karir! Aku yang bodoh!" isaknya frustasi.
Lucien tertawa sinis. "Kamu kembali mengungkit segalanya? Membuat muak saja! Kalau kamu mau cerai, sana gugat! Aku mempersilahkan!"
Tanpa menunggu balasan, Lucien mengambil dompet dan kunci mobilnya, lalu berjalan melewati Alana tanpa sedikit pun menoleh.
Brak! Pintu tertutup keras di belakangnya, meninggalkan rumah dalam keheningan yang menyakitkan.
Alana jatuh terduduk di lantai, tangannya menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Di belakangnya, Zoe mulai menangis keras, entah karena ketakutan atau hanya sekadar merasakan emosi ibunya yang meledak-ledak.
Mainan berserakan di lantai, suara tangisan memenuhi ruangan, dan Alana hanya bisa merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Dia benar-benar lelah dengan semua ini.
Lucien benar-benar tidak peduli lagi. Apakah ini akhir dari pernikahan mereka?
****
Tak jauh berbeda dengan rumah tangga Lucien dan Alana, pernikahan Duke dan Valery juga terasa hambar, monoton, dan dipenuhi kejenuhan.
Duke melirik istrinya yang duduk di sofa ruang tamu, mengenakan jubah satin mahal sembari mengoleskan masker wajah. Sebuah ring light menyala terang di depannya, menyorot wajah Valery yang masih asyik berbicara dengan ponselnya, melakukan siaran langsung di media sosial.
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanyanya santai, masih sibuk membaca komentar para pengikutnya.
"Bertemu Lucien," jawab Duke malas, sembari meraih kunci mobil di atas meja.
"Oh, jadi aku tidak perlu memesankan makan malam untukmu, kan?" Valery mengibaskan tangannya, seolah tak peduli. "Baguslah! Malam ini aku ada zoom meeting dengan teman-temanku."
Duke hanya mendengus. Sudah bisa ditebak, Valery pasti akan menghabiskan waktunya bergosip dan membicarakan hal-hal tidak penting dengan teman-temannya yang sama kosongnya.
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, Duke melangkah keluar, mengemudikan mobil menuju sebuah bar tempat ia membuat janji dengan saudara kembarnya. Mood-nya benar-benar buruk malam ini. Bahkan begitu sampai, ia langsung menenggak sebotol bir sebagai sapaan untuk Lucien yang sudah lebih dulu tiba.
Lucien, yang sedang memainkan ponselnya, menatap Duke dan tertawa kecil melihat ekspresi lelah di wajahnya.
"Kenapa kamu kelihatan kusut begitu?" tanyanya.
Duke mendesah panjang sebelum menjawab, "Valery, dia benar-benar menyebalkan."
Mendengar itu, Lucien malah tertawa lebih keras. "Kamu harus jadi aku sehari dan menghadapi Alana. Percaya deh, dia jauh lebih menyebalkan! Aku baru saja bertengkar dengannya, dan dia mulai membicarakan perceraian lagi! Selalu mengomel, tidak pernah pengertian!"
Duke meneguk minumannya lagi. "Kamu seharusnya bersyukur. Istrimu perhatian, setidaknya dia masih memikirkanmu. Valery? Dia tidak peduli apa aku hidup atau mati, selama saldo rekeningnya tetap penuh."
Lucien mengangkat alis. "Ya, tapi paling tidak dia tidak membuat telingamu berdenging setiap hari! Justru enak punya istri kayak gitu! Cantik, tenang, tidak banyak bicara!"
"Istri cantik buat apa kalau punya anak saja tidak bisa?" gerutu Duke. "Dia bahkan tidak tertarik untuk punya anak, hanya sibuk dengan dunia dangkalnya sendiri."
Lucien meneguk birnya lalu menatap Duke dengan mata menyipit, seolah memiliki ide brilian. "Coba saja bertukar hidup denganku. Aku yakin baru sehari saja kamu tidak akan kuat!"
Duke menatapnya curiga. "Apa maksudmu?"
"Kita bertukar peran. Tiga bulan, sampai ulang tahun perusahaan," bisik Lucien, menyeringai.
Duke mendengus. "Kamu gila?"
"Ayolah!" Lucien membujuk dengan nada menggoda. "Hanya tiga bulan! Rasakan saja hidup dengan Alana yang katamu perhatian itu."
Duke mengangkat alis, masih ragu. "Dan kalau Alana hamil anakku, kamu mau nanggung?" Ia terkekeh, mencoba menggodanya.
"Pakai pengaman," Lucien menyeringai. "Aku juga akan pakai kalau main sama Valery!"
Duke mendelik tajam. Membayangkan Lucien tidur dengan Valery membuat perutnya terasa mual, tapi di sisi lain, ada rasa penasaran juga.
"Kamu benar-benar bajingan," gumam Duke, sebelum akhirnya meneguk minumannya lagi.
"Tapi kamu setuju, kan?" Lucien menyenggol pundaknya.
Duke menatapnya lama, lalu menghela napas panjang.
"Oke! Aku turuti! Kamu mau tahu rasanya hidup dengan Valery, kan? Ayo kita bertukar posisi selama tiga bulan!"
"Deal!" Lucien memeluk saudara kembarnya. "Rules nomor satu, dilarang cemburu! Nomor dua, dilarang nyerah sebelum tiga bulan! Yang menyerah lebih dulu, harus serahkan saham perusahaan sepuluh persen."
"Itu baru permainan menarik!" Duke tersenyum puas.
"Deal!" Seru keduanya secara bersamaan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
