
BAB 26 - TERJEBAK
Setelah mendengar penjelasan panjang Devano mengenai 'Seks' Rakha akhirnya bisa terbebas saat tiba-tiba ponsel Devano berbunyi. Nama sang istri yang bernama Zia nampak di layar ponsel sang Kakak ipar, hingga akhirnya Devano pun berucap selamat tinggal.
"Alarm kebakaran udah bunyi! Daripada gue kena semprot gara-gara pulang kemaleman, tar lagi ya bimbelnya, gue balik dulu,"
Itulah kalimat terakhir yang Devano ucapkan pada Rakha sebelum kendaraan sang Kakak Ipar beranjak menjauh dari kediaman orang tuanya.
Rakha hanya bisa mengurut dada saat harus mendengarkan betapa antusiasnya Devano menjelaskan tentang pengetahuan lelaki itu akan hal-hal yang berbau seks dan pornografi pada Rakha. Tentang betapa pentingnya peran sebuah film porno dalam membangkitkan hasrat seseorang.
Ingin rasanya Rakha menengahi pembicaraan itu dengan memberikan sedikit pengetahuan lain tentang seks dalam agama islam, pun mengenai hukum yang membahas tentang larangan menonton film porno dalam islam, tapi sayangnya, mulut Devano tidak juga memberi Rakha kesempatan untuk bicara. Mulut lelaki itu bahkan bisa melebihi wanita-wanita penggosip saat membahas hal-hal vulgar semacam itu.
Lagi dan lagi, Rakha hanya bisa bergeleng-geleng kepala melihat tingkah Devano malam ini.
Rakha beranjak ke dalam rumah dan berjalan menuju kamarnya. Saat itu, waktu sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Dan itu artinya, Rakha sudah benar-benar pulang terlambat.
Apa kabar dengan janjinya pada Rania?
Jangan-jangan Rania sudah tertidur lebih dulu karena lelah menunggunya? Atau mungkin bisa saja kini Rania sedang mencak-mencak sendiri di dalam kamar.
Rakha menarik napas panjang sebelum dia memutar kenop pintu kamarnya, takut-takut apa yang dia duga-duga benar terjadi.
Saat itu, ketika tubuh Rakha sudah masuk ke dalam kamar sepenuhnya, Rakha tak menemukan keberadaan Rania di dalam kamar itu.
Suasana terlihat hening dan sunyi. Bahkan saat Rakha memanggil Rania beberapa kali sambil mengetuk pintu kamar mandi, tak didapatinya juga tanda-tanda keberadaan Rania di dalam kamar mandi.
Rakha melempar asal jas hitam dan tas kantornya ke atas ranjang. Mendadak perasaannya cemas luar biasa.
Setengah berlari, Rakha kembali menuruni tangga menuju ke arah dapur. Di longgarkannya dasi yang terasa mencekik lehernya saat itu.
"Mbok, lihat Rania nggak? Soalnya dia nggak ada di kamar," tanya Rakha pada Mbok Surti tanpa basa-basi.
"Eh, Mas Rakha sudah pulang?" sambut Mbok Surti dengan senyumnya yang merekah. "Memangnya Non Rania belum izin sama Mas Rakha?" tanya Mbok Surti balik.
Ke dua alis Rakha sontak menyatu. "Izin? Izin kemana?"
"Tadi, Non Rania pergi di jemput sama teman lelakinya pakai mobil, katanya mau ke acara ulang tahun Non Cassie, Mas, itu aja sih yang saya tahu dari Bu Raline," jawab Mbok Surti apa adanya.
Ke dua tangan Rakha langsung terkepal di sisi tubuhnya.
Dia langsung berbalik menuju kamar, mengambil kunci motor dan pergi.
Rakha benar-benar tidak habis pikir dengan Rania, sudah jelas-jelas dia melarang, tapi kenapa Rania tetap pergi juga!
Lindungi istri hamba dari segala pengaruh jahat orang-orang di sekitarnya Ya Allah...
Doa Rakha dalam hati.
Dia benar-benar cemas.
Hingga terus melajukan motor sportnya dengan kecepatan tinggi.
Membelah kerumunan kendaraan di jalanan Ibu kota yang tumpah ruah dari segala penjuru.
*****
Sebuah kendaraan mewah baru saja terparkir di pelataran parkir sebuah apartemen elit di Jakarta.
Dua orang lelaki keluar dari dalam mobil itu dan membawa serta seorang lain yang merupakan kawan satu kampus mereka yang bernama Rania.
"Udah sampe ya?" tanya Rania pada Alvin dan Samuel.
"Yoi, kita udah sampe di apartemennya Cassie nih," jawab Alvin sembari menggandeng lengan Rania dan membimbing gadis buta itu menuju pintu masuk loby apartemen.
"Gue pikir, Cassie bakal ngerayain ulang tahunnya di rumah ortu dia," ujar Rania dengan wajah polosnya.
Alvin dan Samuel adalah salah satu kawan dekat Cassie yang akhirnya akrab dengan Rania saat Cassie yang lebih dulu memperkenalkan dua lelaki bertubuh jangkung itu pada Rania.
Samuel bahkan sempat menaruh hati pada Rania meski hal itu tidak bersambut.
"Yang pasti, ulang tahun Cassie malam ini bakal meriah banget, Ran," jawab Samuel di sertai senyuman miring. Dia melirik sekilas ke arah rekannya Alvin yang juga melempar senyum penuh arti. Saat itu mereka sudah berada di dalam lift.
"Semenjak menikah lo banyak berubah ya Ran? Jadi lebih religius," ucap Alvin memecah keheningan di dalam lift itu. Alvin dan Samuel yang sempat tak menyangka ketika melihat penampilan Rania saat mereka datang untuk menjemput Rania ke kediaman Dirgantara tadi. Rania yang keluar menggunakan pakaian Syar'i, bahkan dengan hijab panjang yang menutupi kepalanya. Rania benar-benar terlihat berbeda.
"Tapi yang pasti Vin, Rania masih tetap cantik kok di mata gue," balas Samuel dengan kerlingan nakal.
Rania hanya terdiam. Entah kenapa perasaannya mendadak aneh. Apa mungkin keputusannya untuk tetap mendatangi acara ulang tahun sang sahabat malam ini adalah keputusan yang benar?
Rania hanya marah pada Rakha yang tak menepati janji, makanya dia nekad menghubungi Alvin dan Samuel lalu meminta ke dua lelaki itu menjemputnya. Meski, setelah itu Rania tetap tak bisa menggunakan pakaian yang sebelumnya sudah dia kenakan, yaitu celana jeans hitam dan kaos berwarna senada tanpa hijab. Rambutnya dia biarkan tergerai seperti biasa.
Satu langkah Rania keluar dari kamarnya, dia merasa begitu aneh dengan penampilannya. Dia teringat akan ceramah Rakha tentang betapa pentingnya menutup aurat bagi seorang wanita. Walau saat itu dia sedang marah pada Rakha, lantas bukan berarti dia ikutan melanggar norma-norma agamanya sendirikan?
Jadilah Rania berubah pikiran dan langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian Syar'i pemberian Rakha.
Walau sedikit canggung dan kaku, Rania berusaha untuk terbiasa. Setidaknya kawan-kawannya perlu tahu bahwa dirinya kini sudah berubah. Dirinya bukan lagi Rania yang dulu. Sebab kini dia sudah menjadi seorang istri. Dan sudah sewajibnya dia mematuhi apa yang diperintahkan suaminya, Rakha.
Selang dua menit mereka berjalan keluar dari lift, Rania mendengar sebuah suara pintu apartemen yang dibuka. Alvin mempersilahkannya masuk.
Bebauan alkohol seketika menyengat indra penciuman Rania saat dirinya mulai melangkah memasuki ruangan apartemen itu. Tak ada bunyi-bunyian yang berarti, hanya senyap dan hening yang meraja. Dan sebuah rintihan tertahan yang tertangkap olehnya dari arah sudut kamar ruangan. Entah suara apa, Rania sendiri tidak tahu.
"Sepi banget? Nggak ada musiknya? Cas-Cassie... Lo dimana?" ucap Rania sambil meraba-raba dinding dengan tongkat di tangan kirinya. Saat itu, Rania tak merasakan lagi tangan Alvin yang membimbingnya berjalan. Entah kemana perginya laki-laki itu, Rania sendiri tidak tahu.
"Cassie, lo dimana?" teriak Rania lagi. Lambat laun seiring langkahnya yang terus menuju ke arah pojok ruangan, Rintihan itu terdengar semakin jelas. Ke dua alis di kening Rania menyatu, dia terus menerka-nerka suara apa itu.
Sampai akhirnya, tubuhnya ditarik oleh seseorang dari arah belakang. Hijab yang dia kenakan dilepas dalam satu tarikan kasar.
Tubuh Rania terjatuh di lantai dengan satu luka memar di keningnya akibat terbentur pinggiran meja kaca.
Rania melenguh kesakitan. Dia mulai ketakutan.
"Alvin? Samuel? Cassie? Lo di mana?" teriak Rania frustasi.
Seorang wanita menyeringai dihadapan Rania. Tubuhnya yang hanya berbalut handuk berjalan mendekat ke arah Rania, setengah membungkuk dia mencengkram ke dua rahang Rania dengan cukup keras. "Gue di sini, cewek bego!" ucapnya dengan mulut yang mengeluarkan aroma alkohol.
"Cas-sie?" ucap Rania terbata. Susah payah dia bicara karena ke dua pipinya masih ditekan kuat oleh Cassie. Bola mata Rania terus bergerak ke sana kemari seolah memberi isyarat agar Cassie tidak terus menyiksanya.
"Lo-lo ke-kena-pa, Cas?"
Terdengar tawa Cassie pecah dalam seketika.
"Gue? Gue kenapa? Lo tanya gue kenapa? Lo beneran mau tau gue kenapa? Hah?" tanya Cassie lagi. Suaranya terdengar nyaring.
Rania menggelengkan kepala, tanda dia tidak mengerti. Matanya mulai mengalirkan buliran bening. Dan hal itu semakin membuat Cassie tertawa senang.
"Kenapa nangis? Hah? Biasanya juga lo selalu sok jagoan di kampus? Ayo dong, tunjukin jurus karate lo yang selalu lo bangga-banggain itu, gue mau liat, seberapa kuatnya Rania yang sekarang? AYO!"
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Rania hingga sudut bibirnya berdarah.
"Lo kenapa Cas? Kenapa tiba-tiba lo jadi kayak gini?" tanya Rania lagi.
Cassie sudah melepas cengkraman tangannya di ke dua rahang Rania. Wanita itu menatap ke arah lelaki tua bangka yang baru saja selesai berpakaian di ujung ruangan. Segepok uang diterimanya dari si lelaki itu.
"Kamu boleh juga, lain kali saya bisakan booking kamu lagi?" suara si lelaki terdengar berat.
"Si-siapa itu Cas?" tanya Rania setengah kaget mendengar suara asing ada di dalam kamar itu. Seperti sebuah suara lelaki yang sudah berumur.
"Oke Om, kapan pun Om mau, Cassie siap melayani," ucap Cassie dengan senyuman nakal.
Lelaki tua itu pergi dengan langkah puas setelah dia berhasil menyalurkan hasratnya pada seorang pelacur sekelas Cassie.
"Lo-lo jual diri Cas?" tanya Rania lagi. Tubuhnya saat itu masih terduduk di lantai.
"Kalo iya kenapa? Ada yang salah?"
"Ya jelas salah, sejak kapan lo jadi kayak gini?" Rania benar-benar tidak percaya dengan apa yang harus dia ketahui malam ini tentang Cassie.
"Udah sejak dua tahun yang lalu, Ran! Sejak perusahaan bokap gue bangkrut! Dan semua harta gue ludes disita sama pihak bank!" jawab Cassie, ada kepedihan dalam ceritanya saat itu.
"Tapikan Bokap gue udah bantuin perusahaan bokap lo waktu itu, harusnya sekarang hidup kalian sudah normal lagi seperti dulukan?"
"Harusnya sih begitu!" Cassie tertawa hambar. "Tapi sayangnya, bantuan yang bokap lo kasih ke Papah gue itu nggak cukup untuk membuat hidup keluarga gue kembali seperti semula! Hidup gue nggak bisa seperti dulu lagi. Makanya gue mencari jalan pintas untuk menutupi rasa malu gue dari kalian, temen-temen kita di kampus, termasuk lo! Gue terpaksa jual diri dan meyakinkan kalian kalau hidup gue selama ini baik-baik aja, tapi nggak tau kenapa, sejak itu pula, gue ngerasa hidup itu nggak adil. Hidup lo sempurna Ran, lo punya Nando yang sayang sama lo waktu itu, keluarga yang kaya raya, tapi gue? Gue nggak seberuntung lo! Gue benci tiap kali liat lo tertawa Ran! Gue benci tiap kali liat lo mesra-mesraan sama Nando di depan gue! Gue benci semua yang ada di diri lo, RANIA!"
Rania tersentak mendengar teriakan Cassie.
"Cas.." gumamnya pelan. Rania tahu Cassie sepertinya sedang berada di ambang batas keputusasaannya saat ini. Makanya dia berbuat hal seperti ini terhadap Rania. Rania memang marah, tapi dari sisi kemanusiaannya dia tetap merasa kasihan pada Cassie. "Gue bisa bantu lo kalau lo mau, Cas? Tapi tolong, lo jangan kayak gini, jangan jual diri lagi,"
Cassie menyeringai jahat. "Lo yakin sama omongan lo untuk menolong gue?" tanya Cassie dengan suara super lembut.
Rania mengangguk beberapa kali. "Iya, gue pasti bantu lo,"
"Oke! Kalo gitu sekarang juga lo buka semua baju lo, karena sebentar lagi pelanggan gue yang ke empat bakal dateng malam ini! Dan lo harus gantiin gue ngelayanin dia, buktiin omongan lo!"
Ke dua bola mata Rania terbelalak.
Dia terus berteriak dan berusaha memanggil Cassie. Dia mencari tongkatnya tapi tidak juga dia temukan. Rania berjalan asal ke segala arah, menabrak apa saja yang ada di depannya. Sampai suara Cassie kembali terdengar.
"Gue pergi dulu, selamat bersenang-senang Rania... Bye!"
Brugh!
Rania mendengar suara pintu dibanting cukup kencang. Mungkin itu pintu keluar. Rania kembali berjalan cepat sambil terus meraba-raba ke arah dimana dia terakhir kali mendengar suara Cassie bicara.
Ketakutannya semakin menjadi.
Tiga langkah lagi Rania sampai di pintu apartemen, pintu itu sudah lebih dulu di buka oleh seseorang dari luar.
Jantung Rania seolah mau copot. Seumur hidup, belum pernah Rania merasa takut seperti ketakutan yang dia rasakan saat ini.
"Siapa itu?" tanya Rania dengan bibir gemetar.
*****
BAB 27 - KEPERGOK
"Siapa itu? Tolong, gue mau keluar, biarin gue keluar," ucap Rania yang masih berusaha melangkah maju.
Dan langkahnya jadi terhenti ketika sebuah tangan menggamit lengannya dan menggiringnya keluar dari apartemen Cassie.
Rania berusaha mengimbangi langkah panjang orang yang membawanya saat itu meski dengan susah payah. Sesekali dia berontak dan berusaha untuk melepaskan diri, tapi cengkraman kuat di lengannya membuat Rania tidak bisa berbuat lebih banyak.
"Lepasin gue! Lo siapa? Lo mau bawa gue kemana! Lepasin, toloooonggg..." teriak Rania saat itu.
Hingga akhirnya, mulut Rania dibekap oleh orang tersebut, Rania diajak bersembunyi di balik pintu toilet umum di dalam apartemen saat segerombolan orang datang dari arah lift yang terbuka.
Segerombolan pria berjas hitam yang dikepalai oleh seorang laki-laki berkumis tebal dan berkepala botak.
Mereka berjalan menuju apartemen Cassie.
"Hmmmphh," gumam Rania saat itu. Bekapan di mulutnya sangat kuat. Membuatnya sedikit sesak napas.
"Diem Rania, ini aku Nando!"
Rania tercekat mengetahui hal itu. Perlahan rontaan tubuhnya pun mereda. Meski rasa takutnya belum juga sirna.
"Kamu nggak tahu siapa orang yang bakal jadi tamu Cassie malam ini! Mereka segerombol gembong mafia kelas kakap! Kamu bisa aja mati di tangan mereka!"
Bola mata Rania kembali terbelalak.
"Untung, aku masih punya kunci serep apartemen Cassie, makanya aku bisa buka pintu apartemennya untuk menyelamatkan kamu, karena kalau nggak, aku sendiri nggak tahu hal apa yang bakal terjadi menimpa diri kamu, Rania... Cassie itu udah gila!" bisik Nando lagi. Keintiman antara dirinya dengan Rania saat itu jelas membuat Nando sedikit terhibur. Nando sangat menikmati kedekatannya dengan Rania saat itu.
Saat dirasanya Rania mulai tenang, Nando pun melepas bekapan tangannya di mulut Rania. Meski genggaman tangannya masih cukup kuat mencengkram lengan Rania.
"Kenapa gue harus percaya sama lo?" ucap Rania saat itu.
"Aku nggak minta kamu untuk percaya sama aku, tapi yang jelas, aku nggak mau kamu celaka,"
"Terus, mau sampai kapan kita di sini? Gue mau pulang," Rania mulai terisak.
"Oke, aku anter kamu pulang sekarang, tapi sebelum itu, aku harus memastikan kondisi sudah aman," ucap Nando setelahnya.
Lelaki itu keluar dari toilet, dengan kepala yang celingukan ke kanan dan ke kiri Nando memastikan kalau rombongan manusia itu sudah tidak ada.
Hingga setelahnya dia kembali menggamit lengan Rania keluar dari toilet.
Mereka berjalan dengan langkah tergesa dan sesampainya mereka di parkiran apartemen, Nando pun menginstruksikan Rania untuk segera naik ke atas boncengan motornya.
Saat itu, Rania naik ke atas motor Nando bahkan dengan ke dua tangannya yang melingkar kuat di pinggang Nando.
Masih di tempat yang sama meski dengan jarak yang terbilang cukup jauh, sepasang netra hitam milik seseorang yang baru saja memarkirkan kendaraannya di parkiran apartemen saat itu melihat dengan jelas kepergian Rania dengan Nando.
Bahkan dengan embel-embel kemesraan.
Rakha menelan salivanya yang mendadak pahit.
Hatinya mendadak sakit.
Rasa cemas yang dia rasa kian sirna perlahan. Berganti kecewa yang mendalam.
Rakha kembali menaiki kendaraan roda duanya.
Untuk bergegas pulang.
Dengan pikiran, tak ada lagi yang perlu dia khawatirkan!
*****
"Makasih ya Nan," ucap Rania saat dirinya baru saja turun dari atas boncengan motor Nando.
"Kamu beneran nggak apa-apakan? Bibir kamu berdarah, Rania..." ucap Nando sembari mengusap sudut bibir Rania yang lebam dan berdarah.
Rania menangkap jemari Nando untuk kemudian menjauhkan wajahnya. "Gue nggak apa-apa kok,"
"Ada baiknya setelah ini kamu jauhi Cassie. Jangan berhubungan lagi sama dia dan jangan pernah percaya apapun perkataan dia," jelas Nando dengan rasa cemas yang masih saja menggelayut di benaknya.
"Lo tahu ini semua sejak kapan? Kenapa lo nggak kasih tau gue kalau selama ini Cassie itu jual diri?" cecar Rania masih dalam ketidakpercayaannya atas apa yang telah dilakukan Cassie selama ini. Bahkan Rania sudah menganggap Cassie seperti keluarganya sendiri. "Kenapa Cassie bisa setega itu sama gue? Apa salah gue Nan?" Rania mengusap sudut matanya yang basah.
"Kamu nggak salah Rania, aku yang salah. Aku yang nggak setia. Aku yang brengsek. Cassie benci sama kamu itu karena aku. Karena dia cemburu atas hubungan kita. Bahkan dengan bodohnya aku sempat terjebak bujuk rayu Cassie. Aku bener-bener nyesel, Rania... Seandainya aku bisa mengembalikan waktu, aku nggak akan berbuat hal bodoh seperti yang udah aku lakukan sebelumnya. Aku bener-bener menyesal, Rania... Dan mengenai Cassie, aku juga baru tahu kalau dia jual diri akhir-akhir ini, belum lama,"
Rania bisa menangkap sebuah kejujuran dan ketulusan dari setiap kalimat yang terlontar dari mulut Nando saat itu. Hatinya cukup tersentuh. Meski untuk dapat memaafkan, Rania masih belum bisa. Rania sungguh tidak menyangka betapa bodoh dirinya selama ini yang begitu percaya akan kebaikan Cassie. Terlebih dengan kesetiaan Nando. Cih... Mereka benar-benar pengkhianat sejati!
"Seandainya aja kamu belum menikah sekarang..." Nando menangkap jari-jemari Rania dan menggenggamnya erat.
"Semuanya udah terjadi, Nan. Gue bukan lagi Rania yang dulu," ucap Rania dengan nada tegas.
"Ya, aku ngerti. Sekali lagi aku mau minta maaf sama kamu... Besok, aku berangkat ke Sumatra. Pulang ke kampung halaman ke dua orang tuaku dan berencana akan menetap di sana. Salam buat suami kamu. Sampaikan juga ucapan maaf aku sama dia. Waktu itu, aku sempet terlibat cekcok mulut sama Rakha, aku kehilangan kendali dan nonjok dia. Pasti kamu tahu itukan? Rakha udah ceritakan sama kamu?"
Rania hanya diam. Sebab, memang dia tidak tahu menahu tentang masalah itu. Rakha sama sekali tak pernah bercerita apapun padanya jika lelaki itu pernah terlibat baku hantam dengan Nando.
"Jujur, aku bener-bener nggak bisa nahan emosi dan rasa cemburu aku sama Rakha. Dia lelaki yang beruntung... Bisa memiliki kamu, Rania... Dan yang pasti, dia laki-laki yang baik... Nggak seperti aku..."
Rania masih terus diam. Masih dengan sebelah tangannya yang digenggam oleh Nando. Hadir sebersit rasa kasihan dalam hatinya. Apa mungkin Nando memang benar-benar menyesal? Entahlah...
"Udah malem, kamu masuk gih. Nanti Rakha cariin kamu," perintah Nando kemudian. Dia melepas genggaman tangannya dari jemari Rania. "Aku pulang ya?"
Rania hanya mengangguk.
Dia hendak berbalik, namun tarikan sebuah tangan membuat niatnya terhenti seketika hingga tubuh Rania kembali berbalik ke arah Nando.
Nando menangkap tubuh Rania lalu memeluknya dengan dekapan yang cukup erat. "Aku sayang kamu, Rania..." gumamnya lirih saat itu. Dia menangis.
Rania pun tertegun.
Dia ingin berontak. Tapi entah kenapa, dia merasa sekujur tubuhnya tiba-tiba saja kaku.
Dan deru mesin motor lain yang tiba-tiba saja tertangkap oleh indra pendengaran Rania jelas membuat gadis itu tersentak luar biasa.
Dengan gerakan super cepat, Rania mendorong tubuh Nando yang masih memeluknya.
Bahkan hanya dengan mendengar suara mesin motornya saja, Rania sudah tahu betul siapa si pemilik motor yang baru saja tiba itu.
Dia Rakha.
Suaminya.
*****
BAB 28 - KESABARAN RAKHA
Deru mesin motor sporty itu meredup saat sang pengendara memutar kunci kontaknya. Mencabutnya dari lubang kunci, lalu turun.
Dia membuka kaca helm full facenya dan menaruhnya di atas jok motor.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihempasnya kasar melalui mulut. Kepalan tangannya yang mengeras perlahan mengendur seiring dengan melunaknya amarah yang terpendam dalam hati. Betapapun dirinya berusaha untuk bersabar, Rakha tahu dia hanya seorang manusia, tempat khilaf dan salah. Dia tidak sesempurna yang orang lain pikir.
Meski hati diselimuti emosi, pada akhirnya Rakha tetaplah Rakha, seseorang yang selalu berusaha untuk meredam egonya dan mengedepankan perdamaian. Rakha sadar betul, emosi tak akan membuat masalah terselesaikan, melainkan hanya akan memperkeruh keadaan.
Pemandangan tak pantas yang sempat di tangkap oleh ke dua netranya beberapa menit lalu terus mengganggu pikirannya. Menguras emosinya. Tapi dia tetap berusaha untuk mengesampingkan itu semua. Dengan pulasan senyuman tipis, Rakha berbalik dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Langkahnya saat itu terasa berat, meski tak menyurutkan dirinya untuk terus maju.
"Sudah malam Rania, kamu tidak masuk ke dalam?" ucap Rakha saat itu. Dia berdiri tak jauh di belakang Rania, sementara Nando terlihat sudah bersiap di atas motornya, hendak pergi.
"Aku pulang Rania," ucap Nando. Dia sempat menoleh ke arah Rakha sekilas, tatapan itu di sambut dengan tatapan dingin oleh Rakha.
Suara deru bising motor Nando sudah menghilang dari indra pendengaran. Rania masih terdiam dalam posisinya. Bingung mencari cara bagaimana dia harus menjelaskan semua pada Rakha. Rania takut Rakha akan marah.
"Rania, mau sampai kapan kamu di situ? Ayo masuk," ucap Rakha mengulang kalimatnya.
"I-iya," Rania berbalik hingga tubuhnya kini berhadapan dengan Rakha. Dia meraba mencari kemana arah jalan yang harus dia tuju. Tanpa tongkat di tangan, Rania jelas tak bisa melangkah lebih jauh. Dia bahkan bingung ke arah mana dia harus melangkah sekarang.
"Mana tongkatmu?" tanya Rakha lagi.
"Oh... Tongkat gue, ta-tadi ketinggalan di kamar, tadi gue keluar di temenin Mbok Surti," jawab Rania sekenanya. Meski dia menyesal, kenapa pula dia harus berbohong? Jelas-jelas tongkatnya tidak ada di kamar melainkan tertinggal di apartemen Cassie. Bego banget sih gue! Rutuk batin Rania, gelisah.
Rakha meraih lengan Rania dan menuntun gadis itu berjalan. Dalam hati, dia terus bertanya-tanya, apa yang telah terjadi menimpa Rania? Kenapa wajah istrinya itu terluka? Meski setelahnya Rakha hanya mampu diam. Bukankah seharusnya Rania yang menjelaskan lebih dulu kepadanya? Untuk itulah, Rakha merasa tak perlu banyak bicara. Dia lebih memilih untuk menunggu.
Menunggu Rania berbicara lebih dulu.
"Lo baru pulang kerja?" tanya Rania saat langkah mereka mulai menaiki tangga.
"Iya," jawab Rakha yang memang sedang tak ingin banyak bicara. "kamu sendiri dari mana?"
Rania tak langsung menjawab. Jika memang kenyataannya saat ini Rakha baru pulang kerja, itu artinya dia tidak tahu menahu tentang kepergian Rania tadi. Bukankah itu hal yang bagus? Pikir Rania sembari menahan senyum. Muncul sebuah ide cemerlang di dalam benaknya.
"Gue nggak dari mana-mana. Tadi cuma ngobrol aja sama Nando di depan. Nando mampir ke sini karena mau pamit, soalnya besok dia mau pulang kampung," jawab Rania meyakinkan. Jawaban bodoh yang sama sekali tak penting untuk dibahas.
Rakha tersenyum kecut mendengar kebohongan Rania. Tapi dia tetap diam.
Sesampainya di kamar, Rakha langsung melepas genggaman tangannya pada Rania dan membiarkan istrinya duduk di tepian ranjang. Sementara itu dia langsung hengkang ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan shalat Isya.
"Lo udah makan Kha?" tanya Rania lagi.
Tapi sayang, tak ada jawaban.
*****
Rania baru saja selesai mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, sementara Rakha masih asik dengan bacaan Al-Qurannya.
Padahal, biasanya kalau sudah larut malam begini, Rakha jarang membaca Al-Quran atau berdzikir sehabis shalat Isya. Tapi kali ini ada yang berbeda. Laki-laki itu seolah tenggelam dalam ibadahnya. Seperti ingin menghindari sesuatu. Terlebih, ini pula kali pertama Rakha melaksanakan shalat isya tanpa dia bertanya dulu pada Rania apakah Rania sudah shalat atau belum? Satu hal yang menjadi kebiasaan Rakha sejak mereka menikah.
Entahlah, Rania sendiri pun bingung. Apa mungkin Rakha marah karena memergokinya sedang bersama dengan Nando tadi?
Rania menghembuskan napas kasar, lalu memijit pangkal hidungnya. Kepalanya mendadak pening. Perasaan bersalah yang bersarang di hatinya kian menggunung. Meski, dia sendiri tak tahu bagaimana caranya untuk bisa berkata jujur tentang apa yang telah dia lakukan dan alami malam ini. Rania sama sekali tak bernyali mengatakannya.
Tapi kembali lagi pada asal muasal yang menjadi alasan utama Rania nekad untuk pergi malam tadi, semuanyakan gara-gara Rakha juga? Dirinya tak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. Lagian siapa suruh Rakha ingkar janji! Pikir Rania dalam hati. Egonya masih terus berusaha mencari jalan keluar untuk tidak sepenuhnya menyalahkan diri sendiri. Bagaimana pun, apa yang telah terjadi menimpanya malam ini, tidak mungkin terjadi seandainya Rakha tidak pulang telat dari kantor hari ini?
Bahkan sampai sekarang, laki-laki itu belum juga menjelaskan pada Rania mengenai alasan kenapa dia pulang telat!
Ah, udahlah, daripada pusing mikirin semua itu, mending gue tidur! Pikir Rania membatin. Dia menarik selimut dan hendak menutupi tubuhnya dengan selimut, ketika tiba-tiba Rakha menyudahi bacaan ayat sucinya.
Tapi Rania tidak perduli. Dia tetap menutupi tubuhnya seperti biasa dengan selimut hingga sebatas dada. Lalu mulai memejamkan mata. Meski belum sepenuhnya mengantuk.
Saat itu, dalam posisi ke dua matanya yang terpejam, Rania terus melebarkan indra pendengarannya, untuk sekedar mengetahui aktifitas apa yang kini sedang dilakukan Rakha. Dan sepertinya, Rania sempat mendengar suara pintu yang di buka, lalu di tutup. Sempat senyap beberapa saat hingga suara pintu itu kembali terdengar. Lalu di tutup kembali. Hal itu menandakan Rakha tadi sempat keluar dari kamar tapi sekarang dia sudah kembali.
Rania merubah posisi tidurnya, berusaha mencari posisi yang lebih nyaman saat tiba-tiba sebelah tangannya di raih oleh seseorang lalu di tarik perlahan.
"Bangun, Rania," ucap Rakha pelan.
Meski cukup kaget, tapi Rania langsung menurut. Dia duduk di ranjang dengan perasaan penuh tanda tanya.
Rakha mengambil posisi duduk di tepi ranjang tepat di sisi Rania. Membuat Rania langsung menggeser posisi duduknya, menjauh.
Lagi-lagi Rakha hanya bisa tersenyum pahit melihat hal itu. Sepertinya Rania memang masih begitu enggan untuk berdekatan dengannya. Dan Rakha paham betul apa alasannya.
"Saya cuma mau mengobati luka di wajah kamu," ucap Rakha lagi. Dia membuka kotak P3K di pangkuannya, mengambil selembar kapas lalu membubuhkannya dengan obat merah.
Dalam hati Rania terus merasa was-was, bagaimana bisa dia melupakan hal yang satu ini? Yaitu lebam di wajahnya akibat ulah Cassie. Pasti habis ini Rakha akan menanyakan alasan kenapa wajahnya bisa terluka! Itu tandanya, Rania harus kembali memutar otak untuk mencari alasan seandainya Rakha sampai benar-benar menanyakannya.
"Kamu sudah shalat isya?" tanya Rakha sembari mengobati luka di kening dan sudut bibir Rania.
Rania tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Rakha. "Udah," jawabnya singkat.
"Saya minta maaf, karena sudah melanggar janji malam ini. Tadi sepulang dari kantor, Papah dan Mas Dev mengajak saya untuk menghadiri acara perkumpulan dengan para kolega perusahaan, saya tidak enak untuk menolak makanya saya ikut, dan akhirnya saya jadi pulang telat malam ini," cerita Rakha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, yakni mengenai alasan kenapa dirinya sampai pulang telat dari kantor, dengan harapan Rania pun akan berbuat demikian. Berkata jujur padanya tentang apa yang telah dilakukan sang istri malam ini di luar sana. Bersama lelaki lain pula.
"Huh, dasar! Udah tahu bakal pulang telat, kenapa nggak hubungin gue dulu, guekan jadi nggak nungguin di rumah! Mana tadi udah sempet dandan rapi, eh tau-taunya nggak jadi jalan, bete tau!" celoteh Rania yang terus mencoba untuk menutupi kesalahannya.
"Jadi, kamu nungguin saya daritadi?" tanya Rakha lagi.
"Iyalah,"
"Tadi Hp saya lowbet, makanya nggak bisa hubungin kamu," Rakha menyudahi kegiatannya mengobati luka di wajah sang istri. Di tatapnya lekat wajah Rania saat itu. Wajah yang tak mampu menutupi kebohongan yang dia ungkapkan. Dia menoleh ke arah jam dinding, sudah jam dua belas lewat. "Memangnya kamu mau pergi kemana?" tanya Rakha lagi.
"Tadinya, gue mau ngajak lo ke pantai, gue kangen sama suasana pantai," jawab Rania, kali ini suaranya terdengar manja. Meski dalam hati Rania jadi bingung sendiri, kenapa Rakha tidak bertanya mengenai asal muasal penyebab luka-luka di wajahnya dan malah membahas masalah lain. Kan aneh?
"Kalau kamu mau, kita bisa pergi sekarang?"
Dan ucapan Rakha saat itu jelas membuat Rania melongo tak percaya.
Sebenarnya, Rakha ini kenapa sih?
Pikirnya bingung dalam hati.
*****
BAB 29 - SUASANA MALAM DI TEPI PANTAI
Angin malam berhembus dingin.
Menerpa pepohonan disekitarnya dengan intensitas sedang
Suara deburan ombak terdengar bergemuruh. Menghadirkan sensasi tersendiri bagi Rania.
Dia sangat menyukai pantai, karena sejak kecil dia memang terlahir dan dibesarkan di daerah sekitar pantai.
Rania kecil sangat suka berenang, menangkap ikan, membangun istana pasir dan bergulung dengan ombak, bermain sepak bola, dan berlarian bebas di sekitar pantai. Sungguh pengalaman yang tak akan pernah terlupakan olehnya.
"Wuhuuu... Rakha, sini main air..." teriak Rania sambil terus berjingkrak di atas air, tangannya melambai entah kemana, maksudnya dia hendak mengajak Rakha untuk bergabung bersamanya di tepi pantai.
Rania yang langsung berlari keluar dari mobil saat Rakha baru saja memarkirkan kendaraannya di tepian pantai ancol.
Malam ini mereka pergi dengan menaiki mobil pribadi Rania. Cuaca mendung di luar membuat Rakha perlu waspada untuk tidak membawa kendaraan roda dua karena dia tak ingin Rania sakit jika mereka harus hujan-hujanan malam ini.
Sepulas senyum terbit di sudut bibir Rakha melihat tingkah Rania yang kekanak-kanakkan. Lelaki itu berdiri setengah bersandar di atas kap mobil dengan ke dua tangan yang dia selipkan di saku celananya. Tubuhnya sedikit menggigil karena terpaan angin malam yang memang cukup kencang.
Perlahan tapi pasti, emosi yang tadinya mendominasi dalam hatinya kini sudah sepenuhnya hilang. Rakha memang bukan seseorang yang mampu bertahan lama dengan amarahnya. Jika dia marah, maka dia akan memilih untuk menghindar lalu mengambil wudhu dan langsung berdzikir. Karena sebab itulah, kenapa malam ini dia memilih untuk berlama-lama menghabiskan waktunya membaca Al-Quran, yakni untuk sekedar mencari kedamaian di dalam hatinya.
Meski, rasa kecewa itu masih tetap saja bersemayam di dalam relung terdalam hatinya, namun Rakha tetap berusaha untuk memaklumi.
Sudah sejak awal, Rania mencintai Nando, dan tentunya bukan hal mudah bagi Rania jika dirinya kini harus di paksa untuk benar-benar melupakan lelaki itu.
"Rakha... Sini dong..." panggil Rania lagi. Senyumnya lebar mengembang.
"Saya di sini saja, dingin..." balas Rakha dengan teriakan yang sama.
"Huuuhh... Payah!"
Puas bermain air, kini Rania dan Rakha sudah sama-sama duduk di atas pasir.
Rakha membuat api unggun kecil untuk sekedar penghangat tubuh mereka.
"Makasih ya Kha, lo udah mau ajak gue ke sini," ucap Rania saat itu. Memecah keheningan di antara mereka.
"Saya cuma ingin menepati janji," jawab Rakha singkat.
Rania mengulum bibir. Entah kenapa dia kembali merasa bersalah atas kebohongannya malam ini pada Rakha. Perasaan ini sungguh membuatnya tidak nyaman. Lantas, apakah harus kini dia berbicara jujur? Rania benar-benar bingung.
"Gue tau lo cape, habis pulang kerja terus langsung pergi lagi cuma buat nyenengin gue doang," gumam Rania dengan suara berat.
Rakha tersenyum. Di elusnya puncak kepala Rania satu kali, "kamu nggak usah khawatir, saya ikhlas kok melakukannya, asal kamu senang. Kebahagiaan kamu, kebahagiaan saya juga," jawab Rakha tulus.
"Lo kenapa baik banget sih sama gue Kha? Apa sih hebatnya diri gue? Sampe lo bisa segitunya sama gue?" Tanya Rania tiba-tiba.
"Loh, kok nanya begitu? Saya ini suami kamu, masa saya harus jahat sama istri saya sendiri?" Balas Rakha bahkan tanpa berpikir.
"Sesimpel itu?" Ucap Rania masih tidak percaya.
Rakha mengangguk yakin. "Ya, sesimpel itu memang,"
Rania kembali terdiam. Berusaha meyakinkan diri untuk bisa berbicara jujur.
"Sebenernya tadi itu gue bohong, Kha!" ucap Rania cepat. Dia memejamkan matanya sesaat setelah dia selesai bicara. Berharap dengan sangat semoga Rakha tidak marah.
Lagi-lagi Rakha hanya memulas senyum. "Ya, saya tahu," jawab lelaki itu pelan.
Rania menoleh cepat ke arah Rakha di sampingnya. Apa katanya tadi? Dia tahu kalau gue bohong? Yang bener? Pekik Rania membatin.
"Lo tahu?" Tanya Rania dengan ekspresi wajahnya yang sangat terkejut.
"Tadi sebenarnya, saya sudah sampai di rumah sekitar jam sepuluh malam. Mbok Surti yang beritahu saya kalau kamu pergi ke acara ulang tahunnya Cassie. Karena khawatir, saya langsung menyusul kamu. Tapi, pas sampai parkiran saya melihat kamu sudah bersama Nando, saya pikir kekhawatiran saya tidak terbukti karena kamu terlihat baik-baik saja dengan Nando, makanya saya pulang," jelas Rakha panjang lebar.
Hati Rania langsung mencelos.
Jadi sejak tadi, ketika dirinya terus melontarkan kalimat bohong, Rakha bahkan sudah tahu. Tapi laki-laki itu tetap saja diam. Kenapa dia tidak marah? Apa dia tidak cemburu dengan apa yang dilakukan Rania bersama Nando tadi? Harusnyakan dia marah! Harusnyakan Rakha cemburu!
Rania terus ngedumel dalam hati.
Meski dia sendiri jadi tidak enak hati pada Rakha.
"Maafin gue ya Kha. Gue udah bohongin lo! Gue udah ngelawan perintah lo. Dan semua hal itu buat gue nyesel! Bener apa yang lo bilang, melawan perintah suami itu pasti akan memancing murkanya Allah, makanya gue malah dapet sial tadi," jelas Rania dengan wajah nelangsa. Sebelah tangannya merambat memegangi lengan Rakha.
"Apa Cassie yang udah membuat wajah kamu terluka?" tanya Rakha tiba-tiba. Rania kembali terkejut. Kenapa juga Rakha bisa menebak sampai sejauh itu? Tahu apa Rakha tentang Cassie?
Rania mengangguk pelan.
"Sebenernya sudah sejak lama saya tahu, wanita macam apa Cassie itu. Saya bahkan sudah memperingatkan dia untuk nggak mengganggu kamu lagi, saya cuma nggak mau kamu terlibat dalam pergaulan tidak sehat dengan Cassie," pada akhirnya Rakha pun mampu mengungkapkan apa yang menjadi kemelut di hatinya sejak lama.
"Nando juga sempet kasih tau gue begitu, tapi gue nggak percaya, karena gue sahabatan sama Cassie itu udah dari SMA. Cassie itu dulu care banget sama gue, makanya gue bener-bener nggak nyangka kalau sekarang dia bisa nusuk gue dari belakang kayak gini," tutur Rania dengan penuh emosi dan keprihatinan. Di satu sisi dia marah pada Cassie, tapi di sisi lain dia juga kasihan.
"Terkadang, justru orang terdekatlah yang memiliki peluang lebih besar untuk menyakiti," timpal Rakha menambahi. Membuat Rania bungkam dalam sekejap.
Perlahan, genggaman tangan Rania terlepas dari lengan Rakha. Wajah manisnya tampak sendu. "Ya, lo bener Kha..." ucapnya pelan. Suaranya terdengat getir. "Dulu Nando yang nyakitin gue, sekarang Cassie," tambah Rania lagi. Kepalanya tertunduk pilu. Menahan hawa pedih yang perlahan mengerubungi dirinya.
"Semoga aja, lo nggak kayak mereka ya Kha..."
Dan Rakha pun tertegun.
Rakha tak pernah berpikir jika perkataannya tadi justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
Dihelanya napas panjang untuk kembali mengulang kalimat-kalimat istighfar.
Sesungguhnya, Rakha benar-benar tersiksa atas sikap pengecutnya kali ini.
Karena dia, yang bahkan tidak memiliki nyali sedikit pun untuk berkata jujur kepada Rania, perihal kejadian kecelakaan yang menimpa Rania.
Entah sampai kapan, Rakha akan terus seperti ini.
Dia tidak tahu...
*****
BAB 30 - PAGI-PAGI HORNY
Dunia berputar, kisah hidup silih berganti, jalanpun sering bercabang dengan arah yang berbeda-beda. Sahabat menjadi bagian penting dalam proses hidup itu, karena itu kita harus belajar tulus ikhlas mempersembahkan yang terbaik bagi sahabat untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Ada pepatah mengatakan, sahabat adalah cerminan diri sendiri. Maka, bersahabatlah dengan orang yang kita anggap bisa menjadi sahabat untuk bahagia di dunia dan akhirat. Sahabat yang menjauhkan kita dari Allah tentu bukan sahabat yang kita harapkan. Namun doakan saja mereka menjadi orang yang mau menjalani hijrah, mutasi dari ketidakbaikan menuju kebaikan.
Itulah hal yang saat ini sedang Rania usahakan.
Satu bulan telah berlalu setelah insiden penganiayaan yang dialaminya akibat ulah Cassie, Rania memang tak pernah lagi bertemu atau berhubungan lagi dengan sahabatnya itu. Bagaimana kabar Cassie saat ini pun Rania sama sekali tidak tahu. Baik dirinya atau pun Cassie sudah saling kehilangan kontak. Pernah satu kali Rania hendak mencari informasi tentang Cassie tapi sayangnya, Rakha melarang. Hingga setelahnya Rania pun urung melakukannya. Padahal dalam hati, Rania sungguh mengkhawatirkan keadaan Cassie.
Sejahat apapun perlakuan Cassie terhadapnya, Rania sama sekali tidak menaruh benci pada Cassie melainkan kasihan. Sebab, Rania tahu betul Cassie itu aslinya tidak seperti itu. Cassie berubah karena keadaan. Keadaan yang membuatnya salah dalam mengambil langkah. Terlebih, Rakha sendiri yang memberikan wejangan dan juga nasihat pada Rania untuk tidak membenci seseorang yang sudah menyakiti kita.
Menjauh dan menghindar boleh, asalkan tidak membenci apalagi mendendam.
"Doakan saja yang baik-baik untuk Cassie, niscaya doa itu akan kembali pada diri kita sendiri nantinya," begitulah ceramah Rakha ketika Rania selesai menceritakan segala hal yang menyangkut tentang Cassie, baik itu kehidupannya, tingkah lakunya pun segala kebersamaan indah yang pernah Rania lalui bersama Cassie semasa mereka masih SMA dahulu.
Dengan berderai air mata, Rania mengungkapkan betapa dia membutuhkan sosok seorang sahabat dalam hidupnya.
Sejujurnya, Rania bukanlah sosok yang mudah bergaul dengan orang lain. Dan menjadi hal yang langka baginya jika dia memiliki seorang sahabat akrab yang bisa benar-benar dia jadikan sandaran dalam hidup. Seperti halnya Cassie.
"Dulu, waktu gue masih tinggal di kampung, gue pernah punya sahabat kecil, namanya Fatimah. Dia baik banget sama gue. Anaknya cantik, baik, shalehah lagi, maklum ke dua orang tuanya guru di pesantren. Hidup gue di kampung dulu itu susah. Nggak kayak sekarang. Bokap gue meninggal karena kanker otak, dan penyakit beliau turun ke adik gue yang paling kecil, Rindu. Waktu Rindu sakit, umur gue baru 12 tahun, dan waktu itu gue sama Mbak Del, harus bantu Mamah cari uang karena Mas Dev kebetulan dapet beasiswa SMA di Jakarta. Makanya kita tinggal berjauhan sama Mas Dev waktu itu. Gue sering curhat sama Mas Dev kalau dia telepon, suruh dia cepet pulang biar bisa bantuin Mamah cari uang. Nggak tega rasanya liat Mamah banting tulang sendirian buat biayain pengobatan Rindu. Tapi sayangnya, keadaan Mas Dev di Jakarta juga nggak kalah susah sama di kampung. Sampe Mas Dev itu bela-belain jadi pengamen jalanan nyari duit buat biaya hidup dia sehari-hari di Jakarta. Sementara itu, di kampung, kalo lagi kelaperan, gue pasti lebih milih lari ke tempat Fatimah dari pada ke tempat Pak De, soalnya istri Pak De suka marah-marah kalau gue minta-minta makan sama Pak De, tapi kalau di rumah Fatimah, gue mau makan sebanyak apapun nggak masalah. Orang tua Fatimah baik banget sama gue. Malahan mereka itu sempet memberikan bantuan dana ke Mamah, itung-itung buat tambahan biaya pengobatan Rindu. Walau pun mereka hidup berkecukupan, tapi Fatimah nggak sombong. Dia malah sering ikut gue jualan ke pasar menjajakan kue-kue buatan Mamah... Pokoknya, masa-masa itu nggak akan pernah bisa gue lupain seumur hidup gue. Dan semenjak Mamah menikah sama Papah Basti terus gue sekeluarga pindah ke Jakarta, gue langsung lost contact sama Fatimah. Beberapa tahun silam, pas gue sekeluarga berkunjung ke Parang Tritis untuk nyekar ke makam Ayah, gue sempet datengin rumah Fatimah, tapi ternyata dia udah pindah rumah. Dan nggak ada yang tahu rumah baru Fatimah dimana, padahal, kangen banget gue sama dia... Pasti sekarang, dia udah tumbuh jadi cewek cantik berhijab idaman para lelaki... Belum lagi otaknya Fatimah itu encer banget, dia itu pinter dan selalu jadi juara kelas, sempurna bangetkan hidupnya?" tutur Rania panjang lebar. Saat itu mereka masih duduk di atas sajadah masing-masing usai menunaikan shalat shubuh.
Rakha mendengarkan semua cerita Rania dengan seksama sambil sesekali memulas senyum tatkala bibir tipis Rania terus menerus mengoceh tanpa henti.
"Jangan membanding-bandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan kita. Allah sudah mengatur porsinya masing-masing. Kamu harus bersyukur, Rania... Jika Fatimah memiliki segala kelebihan dalam dirinya, seharusnya itu kamu jadikan sebagai motivasi untuk membuat diri kamupun sama baik dengannya. Ambil sisi positifnya," Rakha memulai kembali ceramahnya.
"Iya, Pak Ustadz,"
Rakha jadi tertawa.
"Buat gue, sahabat itu adalah sosok yang memiliki peran penting dalam hidup. Apalagi sahabat kayak Fatimah. Tapi sayangnya, gue nggak bisa menemukan sahabat macam Fatimah di Jakarta, sampai akhirnya gue bertemu sama Cassie..." Rania menggantung kalimatnya. Air matanya kembali menetes. "Semalem, gue mimpi buruk, Kha... Gue mimpiin Cassie,"
"Mimpi itu cuma bunga tidur, jangan terlalu dipikirkan. Apalagi kalau itu mimpi buruk, sebab mimpi buruk biasanya datang dari syaiton," jelas Rakha.
"Mudah-mudahan, Cassie nggak kenapa-napa ya Kha... Jujur, gue kangen banget sama dia... Gue kangen gila-gilaan bareng lagi sama dia, kayak dulu..."
"Kalau kamu mau saya bisa jadi sahabat kamu. Kamu bisa anggap saya sebagai sahabat kamu juga, mulai sekarang," ujar Rakha di tengah obrolan mereka.
"Mana bisa begitu? Lo kan suami gue, mana bisa jadi sahabat," tukas Rania sembari menyeka air matanya.
Rakha tertawa renyah. "Jadi, kamu menganggap saya sebagai suami selama ini?"
"Yaiyalah, emang gue harus anggep lo apa kalau bukan suami?"
"Saya pikir, saya ini cuma kamu anggap teman tidur sekamar aja," sindir Rakha dengan senyum tipisnya.
"Maksud lo?" kerut di kening Rania menjelas. Dia sama sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan Rakha.
"Kalau memang kamu menganggap saya sebagai suami kamu, sepertinya sudah saatnya kita benar-benar menjalani kehidupan rumah tangga layaknya kehidupan rumah tangga pada umumnyakan?"
Pelan tapi pasti, Rania mulai mengerti maksud ucapan Rakha. Perasaannya mendadak tak karuan. Apa mungkin Rakha hendak menagih tugasnya sebagai seorang istri yang sampai detik ini memang belum terealisasikan.
"Saya paham jika mencintai seseorang yang sebelumnya sama sekali tidak kamu kenal itu sulit, apalagi sampai sekarang kamu belum tahu bagaimana wajah saya, bentuk fisik saya. Saya memang tidak ingin memaksakan, saya mau semua halnya mengalir seperti air. Begitupun perasaan kamu terhadap saya. Saya bersedia menunggu. Tapi di saat saya berjuang untuk menunggu, setidaknya kamu pun harus ikut berusaha untuk belajar membuka hati kamu untuk saya Rania, dan melupakan masa lalu kamu bersama Nando. Saya ini suami kamu, laki-laki yang paling berhak atas diri kamu, bukan Nando..." jelas Rakha panjang lebar. Berharap Rania mengerti apa yang dia harapkan selama ini. Saat-saat yang paling dinantikan oleh seorang Rakha, dimana Rania bisa mencintainya, menerimanya secara utuh tanpa keraguan sedikit pun.
Rania terdiam cukup lama. Hatinya mendadak lega mendengar penjelasan Rakha. Ternyata Rakha hanya meminta Rania untuk bisa membuka hati, bukan hal-hal yang menjurus pada urusan ranjang, seperti hubungan suami istri pada umumnya yang Rakha sebut-sebut tadi.
Rakha bangkit dari duduknya di atas sajadah. Kalimat yang dia lontarkan tak juga mendapat sambutan. Itu artinya, Rania memang belum benar-benar bisa mewujudkan apa yang menjadi permintaan Rakha.
Lelaki itu berjalan ke arah laci tempat dia menaruh alat-alat pribadinya. Lalu membuka laci tersebut, hendak mengambil sesuatu. Ke dua alis Rakha kian menyatu saat tak ditemukannya juga benda yang dia maksud, yakni sebuah tasbih.
"Kamu pindahin tasbih saya di laci lemari nggak? Tasbih pemberian Zulfa waktu itu?" tanya Rakha pada Rania.
Rania yang saat itu terlihat sedang melipat mukenanya sontak terdiam sejenak. Seperti mengingat-ingat sesuatu.
Astaga? Tasbih itukan?
Pekiknya dalam hati.
"Ng-nggak! Gue nggak tau!" jawab Rania terbata. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya dari Rakha. Wajahnya yang jelas-jelas sedang menyimpan kebohongan. Pasalnya, tasbih yang kini sedang di cari-cari oleh Rakha itu sudah rusak gegara di mainkan oleh keponakan Rania, anaknya Mas Devano yang masih balita waktu itu.
Rakha masih terus mencari di beberapa titik tempat biasa dia menaruh barang-barang berharganya, tapi tak juga dia temukan tasbih itu. Sementara tasbih miliknya yang biasa dia gunakan kemarin tertinggal di kantor.
"Kok nggak ada ya? Masa iya tasbihnya bisa jalan sendiri, atau dia punya ilmu menghilang gitu kayak sun gokong?" oceh Rakha lagi dengan kecurigaan yang nyata. Dia menoleh ke arah Rania yang kini sudah duduk di tepian ranjang. Lalu duduk di sebelah gadis itu. Rania tampak gelisah. "Beneran nih kamu nggak tahu?" tanya Rakha lagi dengan wajah yang begitu dekat pada wajah Rania, membuat Rania tersentak kaget luar biasa.
"Rakha!" omelnya yang langsung menjauh disertai dengan lemparan bantal ke arah Rakha.
Rakha kembali menarik dirinya sambil terus tertawa. "Kamu itu nggak bisa bohong sama saya, sayangku... Cepetan dimana tasbihnya, saya mau pake," tagih Rakha lagi. Secara yang selalu wara-wiri di kamar inikan hanya dirinya dengan Rania, jadi mana mungkin Mbok Surti yang dijadikan tersangka atas hilangnya tasbih Rakha?
Rania menarik napas panjang lalu dihempaskan kasar. Wajahnya terlihat cemberut. Degup jantungnya masih terus berlompatan ke sana kemari akibat keterkejutannya karena ulah Rakha tadi. Dipikirnya Rakha hendak menciumnya! Fiuh...
"Tasbih itu rusak, di pake mainan sama Zaheen. Terusannya nggak tau kemana! Guenya lupa, soalnya udah lama!" beritahu Rania, pada akhirnya.
"Nah gitu dong, jujur aja. Ngapain sih pake acara bohong-bohong segala!"
"Abis, gue takut lo marah, secara itukan pemberiannya Zulfa gitu loh..." ada sejumput sindiran halus yang bermaknakan cemburu dalam kalimat itu. Rakha jelas mampu mencernanya dengan baik. Hingga sebuah senyuman manis kembali terpulas di wajah tampannya yang kian berseri-seri dan bercahaya karena sorotan lampu kamar.
“Memangnya kenapa kalau itu pemberian Zulfa?”
"Ya mungkin jadi lebih istimewa,"
"Sayangnya itu pemberian Zulfa, kalau pemberian dari kamu, mungkin saya akan sangat merasa bersalah karena menghilangkannya. Tapi... Mana mungkin yakan, seorang Rania memberi hadiah kepada Rakha, secara Rakha itu nggak berarti apa-apa dihatinya. Suamipun hanya numpang status nama aja," Rakha bangkit dari tepian ranjang setelah mengucapkan kalimat sarat makna itu. Kalimat yang menohok hati Rania dengan sangat keras dan tajam.
"Kok lo ngomongnya gitu sih?" ucap Rania dengan penuh penyesalan.
"Loh, memangnya ada yang salah sama omongan saya?" tanya Rakha balik. Lelaki itu tampak melepas sarungnya dan pecinya lalu melipat sajadahnya. Waktu sudah semakin beranjak fajar. Hari ini Rakha ada meeting penting dengan Klien yang super duper penting juga, makanya dia harus berangkat lebih awal ke kantor untuk menyiapkan segala keperluan meetingnya agar tidak ada yang tercecer dan tertinggal.
"Nggak sih... Omongan lo nggak salah. Gue yang salah!"
"Ya bagus kalau kenyataannya kamu menyadari kesalahan kamu," jawab Rakha sembari memilih kemeja yang hendak dia kenakan ke kantor hari ini.
"Lo itu kenapa sih seneng banget memojokkan posisi gue seolah-olah gue ini emang nggak becus banget jadi istri! Nggak guna maksudnya," kali ini suara Rania terdengar meninggi.
Rakha tertawa pelan. "Saya nggak bermaksud seperti itu, kamunya aja yang baperan! Kalau saya mau menuntut ini itu sama kamu, sudah dari kemarin-kemarin saya meminta hak saya sebagai seorang suami ke kamu!"
Astaga!
Kedua bola mata Rania melotot mendengar perkataan Rakha. Reflek dia menutupi dadanya menyilang dengan ke dua tangan. Bahkan sekujur tubuhnya langsung merinding.
Rakha tersenyum melihat ekspresi Rania yang di anggapnya lucu saat itu.
"Kayak bisa aja," tantang Rania setelahnya.
"Apa kamu bilang?"
"Nggak! Gue nggak ngomong apa-apa kok!" Rania menggeleng cepat.
"Kamu mau bukti?" tantang Rakha balik yang sebenarnya cuma mengetes Rania saja.
"Apaan sih? Bukti-bukti! Bukti apa lagi?"
"Ya bukti kalau saya ini lelaki sejati. Memangnya apalagi? Kalau kamu mengizinkan saya bisa membuktikannya sekarang juga, asal kamu jangan teriak, nanti sangkanya saya lagi melakukan tindakan KDRT lagi," tambah Rakha yang saat itu sedang mengikat dasi di lehernya.
"Ya kalo lo mainnya kasar wajarlah gue teriak," timpal Rania, keceplosan. Ups! Rania langsung menutup ke dua mulutnya yang bodoh itu, kenapa pembicaraan mereka jadi mengarah pada hal-hal seperti ini sih!
Rakha menghentikan sejenak kegiatannya. Dia kembali menghampiri Rania di tepi ranjang. Cukup lama dia menatap wajah Rania yang terlihat merona, dan salah tingkah, membuatnya tak mampu menahan tawa. Meski hanya dalam hati.
Rakha membungkuk, dan memposisikan wajahnya tepat berhadapan dengan wajah Rania, sangat dekat saat itu. Membuat Rania kembali terkaget-kaget.
Hingga setelahnya ucapan Rakha justru membuat tubuh Rania membeku di tempat.
"Saya bisa buktikan sama kamu, kalau saya bukan tipe laki-laki yang suka bermain kasar! Mana mungkin saya memperlakukan istri yang saya cintai dengan kasar? So, masih perlu bukti?"
Rania hanya diam. Beberapa kali dia menelan salivanya sendiri. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa.
Sampai akhirnya, tanpa pernah Rania duga sebelumnya, Rakha menyentuh ke dua bahunya, dengan gerakan super pelan Rakha mendorong tubuh Rania agar berbaring di atas ranjang. Jantung Rania terus bermarathon, bahkan semakin cepat dan kencang. Tapi sialnya kenapa dia sama sekali tak bisa melawan, kali ini.
Bahkan saat tubuh Rakha kini sudah sempurna mengunci tubuh Rania dengan menindih di atasnya.
Hembusan napas mereka saling bertukar saking dekatnya jarak ke dua wajah mereka saat itu.
Jantung Rania benar-benar dibuat jumpalitan oleh tingkah Rakha pagi ini. Ternyata, Rakha tidak sepengecut yang Rania kira. Dan sesungguhnya, memang hal ini yang sudah dinanti-nanti Rania sejak lama.
Untuk beberapa saat Rania menikmati posisi mereka, sampai akhirnya dia benar-benar merasakan sentuhan Rakha, tepat di bibirnya. Laki-laki itu menciumnya dengan sangat lembut dan penuh kehati-hatian.
Bahkan saat satu persatu pakaian atas Rania mulai dilepas oleh Rakha, Rania hanya diam dan menikmati.
Ciuman Rakha perlahan turun ke leher dan bagian yang lain dari tubuh indah Rania, tubuh yang dibuatnya bergetar hebat. Efek ciuman Rakha pada area sensitifnya membuat Rania semakin terbuai dan semakin jatuh dalam permainan Rakha. Sensasi nikmatnya sungguh melumpuhkan seluruh gengsi dalam diri Rania.
Meski bukan menjadi sesuatu hal yang baru bagi Rania, namun moment seperti ini benar-benar membuat jantungnya yang sudah abnormal kini semakin menggila. Untuk pertama kalinya seorang Rakha berani memperlakukannya seperti ini. Dan bodohnya, Rania sama sekali tak mampu menolak apalagi melawan. Tubuhnya seolah pasrah dengan apapun hal yang akan Rakha lakukan setelah ini, terhadapnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Rania, dia merasa terhormat atas perlakuan Rakha terhadapnya kali ini. Berbeda halnya dengan apa yang dia rasakan ketika dia berhubungan dengan Nando.
Rania merasa dirinya beruntung bisa benar-benar dihargai, dihormati dan dicintai seperti seorang Rakha mencintai dan memperlakukannya dengan sangat baik, selama ini.
Selama beberapa bulan ke belakang.
Bahkan sampai detik ini.
Setelah seluruh pakaiannya berhasil dibuka oleh Rakha, Rania pun tak ingin tinggal diam, hingga dia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Rakha.
Hingga pada akhirnya mereka benar-benar terbuai oleh waktu.
"Ahhh..." Rania mendesah dengan ke dua matanya yang terus terpejam karena saking menikmati.
Bahkan suara panggilan Rakha yang memanggil-manggil namanya sambil terus menepuk pipi Rania seakan tak digubris oleh Rania. Ke dua mata Rania masih terus terpejam.
"Rania... Rania..."
"Hei, Rania..."
"Raniaaa!" pekik Rakha dengan mulut yang didekatkan ke arah telinga Rania.
Rania membuka ke dua matanya. Meraba ke sekujur tubuhnya dan masih mendapati dirinya berpakaian lengkap. Bahkan posisinya saat itu masih terduduk di tepian ranjang tempat tidurnya.
Astaga!
Rania bangkit dengan segera, wajahnya terlihat gelisah. Antara sadar dan tidak sadar.
"Kamu kenapa?" tanya Rakha saat itu.
"Ng... Nggak, emangnya tadi gue ngapain ya?" tanya Rania polos. Sadar betapa bodohnya dia yang sudah larut dalam khayalan mesumnya.
Rakha memulas senyum simpul. "Tadi, aku cuma mau cium kening kamu, tapi tiba-tiba kamu malah mendesah sendiri," Rakha tertawa kecil. "Ngebayangin apa sih?"
Rania langsung salah tingkah. Dalam hati dia terus mengutuk dirinya sendiri.
Goblok banget sih! Kenapa gue harus horny pas ada Rakha di depan gue?
Malu-maluin bangetkan!
"Ng... Nggak tau, udah ah, gue mau ke toilet!" pekiknya seraya bangkit dari ranjang dan menyambar tongkatnya.
Sementara di sana, tatapan Rakha masih saja tertuju pada sang istri.
Senyumnya terus terkembang saat dia kembali mengingat kejadian tadi.
Rania... Rania... Gengsi kok dipelihara...
Ujarnya dalam hati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
