
Prolog
💗HANYA PROMO💗
Ikuti Kisah Tuan Raiden dan Salsa.
🏆Juara Favorit Juri KWC 2🏆
Salsa terjebak dalam skenario pernikahan yang direncanakan Tuan Raiden untuk membalas rasa sakit hatinya. Berbagai siksaan, hinaan dan hujatan kebencian dipersembahkan untuk Salsa sebagai imbalannya.
Namun, siapa sangka ternyata Salsa adalah gadis yang selama ini ia cari untuk membalas budi Pak Bimo.
Beriring dengan waktu, kehadiran Salsa dapat menata kehidupan Tuan Raiden menjadi lebih baik.
"Menikahlah denganku sampai...
Bab 7
"Aku kira kamu nggak bakalan datang, Sa. Sudah jam lima lewat soalnya," ujar Anika sambil memotong cabai dan bawang yang menjadi tugasnya.
"Jadi dong. Kalau tidak, mau makan apa hari ini? Ada dua perut yang minta diisi, selain aku."
Salsa mencuci tangan sebelum mengambil pisau untuk memotong tempe, yang akan dibikin orek tempe.
"Kak Amirah dan Alvaro?"
"Yes, siapa lagi yang bisa diharapkan mereka, kalau bukan aku? Kang Reza?"
Dia tertawa sumbang. Menertawakan nasib kakak tiri yang masih menutup mata dan bertahan menjalankan mahligai pernikahan mereka.
Anika tidak menyahuti lagi karena enggan menambah kesedihan sahabatnya saat membahas tentang abang ipar yang tak berguna itu. Mereka pun fokus mengerjakan tugas di dapur. Bergelayut pekerjaan itu tidak begitu susah untuk dilakukan, pasalnya mereka memang sudah terbiasa memasak dan mengikuti rewang kala mereka punya waktu luang sejak zaman masih duduk di bangku SMA.
Lama kelamaan mereka menguasai cara memasak aneka makanan, berbekal dari mengintip cara ibu-ibu mengolah bahan mentah menjadi makanan mewah untuk kampung tersebut. Ada gulai ayam, rendang sapi, sate kambing sampai ikan gurame asam manis yang selalu menjadi makanan favorit saat hajatan digelar.
***
"Neng, kalian lagi nganggur? Tumben ikut bantu-bantu lagi." Salah satu wanita setengah baya bertanya sambil mengulek sambal yang pedasnya aduhai, bisa dilihat dari warna merah penuh dengan cabai merah berukuran kecil.
"Iya, Salsa lagi nganggur, Bu. Ada lowongan teu?"
Dengan cepat, gadis itu menyahuti. Dia memang butuh pekerjaan tetap. Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, uang itu mau dipakai untuk mencicil utang Reza.
"Dari kemarin kita ada lowongan kerja yang gajinya lumayan. Ini coba lihat dulu, barang kali berminat."
Wanita itu merogoh kantong baju dan mengeluarkan kertas kuning yang terlipat hingga membentuk potongan kertas kecil. Lalu, Anika dan Salsa saling melempar pandang, tangan basah itu mengusap ke baju samping kemudian membuka lipatan kertas yang sedikit kusut.
Kedua mata mereka menyimak tulisan yang ada di dalamnya. Beberapa kali mereka mengerutkan kening dan menggigit bibir, membuat ibu tadi penasaran dengan tanggapan mereka.
"Kalian mau coba? Lumayan, gajinya tiga juta, hampir UMR kota Bandung."
Mata ibu itu melebar, berbinar-binar. Namun, apa daya. Sebenarnya dia ingin mencobanya tetapi tidak lolos persyaratan lowongan kerja itu.
"Kerja di rumah, ya? Lumayan, sih. Aku di sini kerja di rumah Mak Ika, cuman enam ratus." Anika mencibir, melihat perbedaan gajinya dengan gaji yang ditawarkan kertas itu.
"Ibu kenapa tidak coba?" Salsa bertanya pada ibu yang masih terus mengulek cabai hingga hampir halus.
"Tuh, syaratnya maksimal 25 tahun. Ibu, kan, sudah 50 kurang dikit, Neng." Dia memajukan bibirnya ke arah kertas yang masih dipegang Salsa.
"Oh, iya. Kenapa pakai syarat umur untuk kerja di rumah, memangnya majikannya lagi nyari jodoh?" Anika terkekeh setelah menebak asal dan disusul Salsa juga ikut tersenyum sambil menutup mulutnya.
"Tapi ini di Jakarta, jauh juga. Mana syaratnya tidak boleh pulang selama satu tahun sebagai training? Memang kerja jadi pembantu, ada uji cobanya, ya? Aneh."
Salsa mengeluh. Dia ingin coba tetapi kalau tidak betah bagaimana, dia tidak boleh pulang, kan?
"Yah kalau syarat yang itu, aku tidak bisa, Sa. Tahu, kan, emak sakit. Aku belum bisa tinggalin beliau." Ada sedikit rasa kecewa di hati, padahal dia juga tergiur dengan gaji yang ditawarkan.
"Menurut aku, kamu boleh coba deh, Sa. Lumayan tiga juta. Setahun tiga puluh enam juta. Mau kerja di mana lagi hari gini? Kita hanya punya ijasah SMA doang."
Gadis itu mengambil piring dan mulai mengambil nasi dan lauk. Mereka sudah diperbolehkan makan siang oleh Bu Asih tadi sebelum mereka terlibat obrolan dengan ibu yang menawarkan lowongan kerja itu.
Kedua bola mata Salsa menatap kertas yang masih ada dalam genggamannya. Antara mau dan tidak, dia masih harus memikirkannya dengan matang. Bukan tidak butuh uang, dia hanya sedang menimbang bagaimana nasib perut kakak tiri dan ponakannya saat dia harus merantau ke ibukota.
💗💖💗
"Coba hubungi nomor ini, Sa." Jari telunjuk Anika ke arah nomor WhatsApp yang tertulis di kertas yang tidak dikembalikan Salsa pada ibu tadi.
"Tidak punya pulsa, Nik."
Dia meletakkan kertas itu di atas meja belajar. Wajahnya manyun, bersandar di kursi usang. Mereka baru pulang dari rumah Bu Bidan Asih. Setelah selesai mencuci piring, mereka diperbolehkan pulang dan membawa lauk yang masih tersisa seperti harapan Anika.
"Tidak usah pakai pulsa kalau chat di aplikasi itu, bukan SMS, kan?" Dia bingung, tumben sahabatnya itu jadi oon. Apa karena efek jadi pengangguran beberapa hari.
"Masalahnya tidak punya kuota juga, Neng."
Akhirnya gadis berkerudung hitam itu menyatakan hal yang sebenarnya. Bagaimana mau isi pulsa dan isi kuota, uangnya semakin menipis. Bisa-bisa setelah isi pulsa atau kuota, besok dia makan angin untuk menahan lapar. Uang seribu dua ribu sangatlah berharga untuknya. Dia benar-benar harus berhemat saat ini.
"Ya, ampun, Sa. Sampe segitunya kamu tidak mampu beli pulsa atau kouta. Nih, sini, aku transfer pulsa ke kamu. Lima ribu cukup buat tiga hari, kan?"
Anika merogoh saku celana kulot dan mengeluarkan ponsel yang penuh goresan sana sini tetapi mending masih bisa dipakai untuk chat di aplikasi hijau karena ada kuotanya. Sementara ponsel milik Salsa, selain tidak ada pulsa ataupun kuota, juga ada banyak retakan di bagian layar, sehingga mengganggu pemandangan di layar itu. Sungguh menyedihkan, memang.
"Tuh, coba cek, sudah masuk belum?"
Gadis itu menunjuk ponsel lusuh milik Salsa yang diletakkan di meja dengan menggerakkan dagunya. Dengan antusias, Salsa menyambar benda tak canggih itu karena kelemotannya, kemudian mengusap layar dan mengecek SMS yang masuk dari customer service provider.
"Sudah, nuhun, Nik. Nanti kalau aku sudah ada uangnya, aku kembaliin, ya."
Buru-buru dia membeli kuota agar bisa memberi kabar ke nomor WhatsApp yang ada di kertas lowongan kerja. Dia harus cepat lantaran tertera di sana, hanya membutuhkan tiga orang saja. Dia tidak mau melewati kesempatan emas tersebut.
Tadi sore, setelah menimbang dan berdiskusi dengan Amirah, akhirnya dia mendapat restu darinya untuk mencoba mencari peruntungan di ibukota. Sekalian, dia ingin mencari bapak yang sudah menghilang sepuluh tahun yang lalu. Mereka juga tidak tahu di mana keberadaan bapak sekarang. Apakah masih hidup atau tidak?
"Barang kali di jalan kamu bisa ketemu bapak, Sa. Siapa tahu bapak masih hidup." Itulah harapan Amirah kala adiknya minta izin ingin mencoba pekerjaan itu.
"Terus Kak Amirah gimana?" tanya Salsa pelan.
"Nanti aku coba cari kerjaan. Aku bisa mencoba metik teh di lahan Mak Ida. Alvaro aku titip ke tetangga bentar. Subuh sampai jam 9 kadang Alvaro belum bangun, jadi aku bisa pergi sebentar."
Rencana Amirah sudah dipikirkan sejak lama, hanya saja belum ada keberanian meninggalkan putranya. Namun, setelah melewati masa sulit, dia harus siap berjuang untuk putranya.
"Kamu tidak usah khawatirkan Kakak lagi, pergilah. Barang kali kelak kamu sukses di ibukota." Tangan lembut itu menepuk pelan jemari Salsa, memberi semangat dan dukungan penuh.
"Kamu masih muda, belum berkeluarga dan belum punya anak. Lakukan sepuasnya karena belum ada keterikatan apa pun. Kalau Kakak ada di posisimu, Kakak ambil peluang itu."
Lagi, kalimat demi kalimat yang lolos dari bibir Amirah, menambah kepercayaan dirinya, seperti mendapatkan kekuatan penuh untuk menjalankan hidup lebih optimis.
Kira-kira bagaimana Salsa bertahan hidup di ibukota orang yang konon katanya kejamnya ibukota lebih kejam dari ibu tiri.
Bab 8
Mengemas pakaian seadaanya, Salsa tak lupa memasukkan buku diary berwarna merah muda itu ke dalam tas berbahan kain berwarna biru dongker.
Tidak ada barang berharga yang perlu dibawa, selain mengenakan jam tangan hitam, satu-satunya pemberian Andre, mantannya. Dia masih memakainya jam tersebut lantaran benda itu satu-satunya alat untuk mengetahui jam sekarang. Ponsel lusuhnya bisa sewaktu-waktu mati karena baterai yang sudah soak. Miris memang, tetapi lumayan masih bisa digunakan untuk chatting dengan kakak dan sahabatnya.
"Ada yang ketinggalan?" tanya Anika ketika ikut mengantarnya ke rumah yayasan yang tak jauh dari rumah mereka.
Iya, tadi malam saat Salsa menanyakan tentang lowongan kerja via aplikasi hijau, ibu yayasan langsung menyuruhnya datang dan akan diberangkatkan siang jam sebelas. Supir dari calon majikan itulah yang akan langsung menjemput ketiga gadis yang sudah berada di rumah yayasan.
"Sa, maaf, ini ada sedikit bekal untukmu."
Seorang lelaki mengulurkan amplop putih kepadanya dengan senyuman hangat. Dengan mata melebar tak percaya, Salsa langsung menolaknya.
"Maaf, Dre. Aku tidak bisa menerimanya. Kamu tidak punya alasan memberikan itu kepadaku. Mending uangnya kamu simpan untuk lahiran Citra yang bentar lagi."
"Aku mohon, Sa. Biarkan kali ini aku menebus kesalahanku. Memang nominalnya tak seberapa, tapi setidaknya bisa buat pegangan atau ongkos balik jika nanti kamu tidak betah kerja di sana."
Pria berjaket denim itu terlihat memaksa, meraih tangan gadis yang masih dicintai dan meletakkan amplop berisi uang ke tangannya. Andre tahu kabar kalau Salsa akan mencoba bekerja di Jakarta pagi tadi. Makanya sebelum ke pangkalan angkot, dia mampir ke rumah yayasan, menemuinya.
"Aku tidak bisa, Dre. Tolong kamu memposisikan status kita. Aku tidak mau mengambil yang bukan hakku. Ini haknya Citra. Maaf!"
Dia mengembalikan amplop tersebut lalu segera berpaling. Sementara Anika yang dari tadi menyimak kejadian tidak memberi komentar apa pun. Dia sendiri sangat sedih saat melihat hubungan mereka harus kandas karena kehamilan Citra yang tak disangka-sangka.
"Salsa, ini bukan uang haram, kenapa kamu tidak berhak, anggap saja ini bantuan dari seorang teman."
Andre masih belum berputus asa untuk membantu gadis itu. Dia melangkah mengikuti kaki Salsa dan menarik lengan gadis itu untuk menahan langkahnya.
"Beberapa minggu ini, pekerjaanku lancar, tarikanku banyak penumpang. Ada rejeki lebih, jadi aku mau berbagi untukmu. Apa salahnya?"
Penjelasan Andre yang merupakan supir angkot di kota itu tidak berhasil masuk ke nalar Salsa. Gadis penyuka teh hijau itu menggeleng dan memandang aneh pria yang mempunyai tinggi 170 centimeter
"Aku tidak mau mengambil nafkah yang seharusnya untuk Citra. Dosa!" Dia terus menghindari pria masa lalunya, pergi dan menarik tangan Anika jauh dari tempat itu, tetapi masih di daerah yayasan. Dia tidak boleh terlalu jauh sebab bisa saja ketinggalan jemputan nanti.
"Sa! Salsa, aku mohon!"
Sepertinya Andre terus memaksa dan menjulurkan amplop itu saat dia berhasil mencegat kedua gadis itu.
"Ya, sudah kalau dia tidak mau, buat aku saja."
Amplop itu dirampas paksa seorang gadis yang sedari tadi duduk di dekat kejadian mereka. Dia sudah memperhatikan dari kejauhan setiap gerak gerik kedua sejoli itu.
"Maya, balikin!" bentak Andre kasar.
"Kenapa, Kang? Kalau perempuan ini tidak mau, syukurlah, berarti buat aku saja. Jangan lupa, aku ini adik ipar Akang."
Gadis berkerudung hijau itu dengan santai berujar tanpa dosa. Dia memang adik kandung Citrani, masih sepupu dengan Salsa juga. Dia salah satu dari tiga orang yang akan bekerja sebagai pembantu di Jakarta
"Jatahmu sudah aku kasih tadi pagi, May. Sini, balikin amplop itu!" Andre hampir kehabisan stok kesabaran, menarik paksa amplop itu.
"Oh, ternyata begitu, ya, perlakuan Akang di belakang Kak Citra. Masih berusaha mendekati perempuan ini. Padahal kamu, Salsa, sudah dilarang mendekati suami orang, masih aja kegatelan."
Jari lentik itu menunjuk ke arah wajah Salsa yang mulai memanas. Jelas-jelas bukan dia yang mendekati abang iparnya, justru sebaliknya. Dia sudah buta apa, tidak melihat apa yang terjadi barusan. Bahkan, amplop yang ditawari juga ditolak mentah-mentah olehnya.
"Maya, kamu lihat tuh, pake mata, jangan pake p@ntat. Biar bisa jelas, apa yang terjadi sebenarnya. Tidak ada secuil pun niatku merebut milik orang, aku cukup sadar diri. Bukan seperti kakakmu yang melakukan itu kepadaku."
Kalimat pedas pun akhirnya lolos dari mulut Salsa, yang pasti akan membuat dada Maya naik turun, meningkatkan selevel rasa malunya. Maya bukan tidak tahu abang iparnya yang terus mendekati gadis itu, hanya saja dia menepis kenyataan bahwa Andre masih mengejar cinta sepupunya itu.
"Salsa! Maya! Dewi! Ayo, jemputan sudah datang. Kalian harus siap-siap." Terdengar ibu yayasan memanggil bersamaan mobil hitam Inova berhenti di depan halaman rumah yayasan tersebut.
Andre yang sedari tadi masih berdiri di tempat itu, merasa tidak tega membiarkan gadis pujaannya mengais rejeki di ibukota. Mereka banyak mendengar dan melihat dari televisi, kalau kehidupan ibukota lebih kejam daripada ibu tiri. Kendatipun dia sudah tahu jeratan utang Reza, tetapi Andre sendiri tidak bisa berbuat apa pun karena tak punya uang sebanyak itu.
"Hubungi aku jika kamu sudah sampai. Dan Salsa, aku tidak mau kalau kita hilang kontak. Tetaplah menjalin komunikasi selayaknya teman baik. Kamu mau?" Permintaan Andre akhirnya diangguki gadis berkerudung hitam itu. Dia bisa membaca ketulusan Andre.
Melihat anggukan dari gadis itu, Andre kembali mempersembahkan senyuman hangat. Walaupun tidak bersama dalam ikatan pernikahan, dia masih berharap Salsa menganggapnya teman.
"Kalau kamu tidak mau menerima bantuanku, biarkan aku isi pulsa ponselmu."
Suara terdengar pelan dan kecil, dia tidak mau Maya mendengar ucapannya yang dapat memicu pertengkaran antara dia dan istrinya yang tengah hamil sembilan bulan itu.
"Dre, tidak ...." Kalimatnya dipotong Anika yang masih setia menemaninya dari tadi.
"Sudahlah, Sa, terima saja. Kamu juga butuh, kan?"
Dia menarik tangan sahabatnya. Anika tahu Salsa hanya mempunyai pegangan uang hijau satu lembar. Gadis itu membutuhkan bantuan tetapi terlalu gengsi untuk menerima bantuan dari sang masa lalu. Akhirnya, Salsa pun patuh karena menyadari kondisinya yang sangat memprihatinkan.
Di depan mobil jemputan itu, Salsa dan Anika masih merasa berat untuk saling berpisah. Mereka menghabiskan ritual perpisahan dengan acara tangisan dan pelukan.
Namun, Salsa tetap harus pergi dan masuk ke dalam mobil. Tangannya melambai saat mobil yang ditumpangi mulai melaju. Begitu pula Anika membalas lambaian itu sambil sesekali menyeka pipi yang sudah basah dengan ujung kerudung akibat drama perpisahan. Berat rasanya memang, dia melepas kepergian sahabatnya. Ini pertama kalinya, mereka terpisah jauh antar kota berjarak ratusan kilometer. Namun, dia tidak bisa menghalangi tekad bulat Salsa yang ingin mencoba mengadu nasib di kota orang.
Sepanjang perjalanan, Salsa melihat pemandangan di luar yang akan dirindukan. Dari balik jendela, dia memandang pohon berjejer bak pasukan tentara yang sedang berbaris dengan rimbunnya daun yang menyejukkan mata. Pemandangan alam Ciwidey nan indah yang akan dirindukan nanti jika sudah berada di kota orang. Saking fokus dengan pemandangan di luar, dia bahkan tidak menghiraukan kedua teman yang duduk di samping, juga akan bekerja di rumah yang sama sedang tertidur pulas.
Di pertengahan jalan yang baru memakan waktu kurang lebih tiga jam karena macet, Salsa merasakan tangan dan tubuh semakin dingin karena mesin pendingin di mobil. Seketika kulitnya terasa tergigit, menusuk sampai ke tulang. Dia pun mulai menggosokkan kedua telapak tangan guna untuk menghangatkan tubuh yang hampir membeku.
Pikirannya pun melayang, mencoba menerka pekerjaan seperti apa yang akan dikerjakan nanti. Bagaimana tabiat majikannya, apakah akan sebaik mantan majikan yang di desa? Bagaimana rumahnya? Apakah luas atau sederhana? Ah, begitu banyak pertanyaan yang membuatnya menjadi gelisah. Dia jadi teringat pada bapak yang hilang saat mengadu nasib di kota yang akan dipijak nanti.
Salsa mengambil selembar foto dari selipan buku harian yang ada di dalam tas. Diusap wajah bapak dan ibu secara bergantian. Ada rasa nyeri seketika terasa di ulu hati ketika memandang wajah itu.
"Bapak, Ibu, doakan Salsa ya, semoga Salsa beruntung di ibukota nanti."
Tak sadar air berharga itu menetes saat dia berkedip, jatuh tepat di foto bersamaan dengan bibir yang melengkung membentuk bulan sabit, menahan kesedihan.
🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒
Hai, readers. Maaf untuk buku ini hanya bisa saya up sampai bab ini sebagai promosi. Lantaran buku ini dipilih sebagai juara favorit juri KWC season 2. Jadi buku dikontrak eks di aplikasi tersebut. Jika readers ingin melanjutkan, bisa mampir ke nama pena akun aku di sebelah.
Terima kasih dan selamat membaca. Sampai ketemu, ya.
Klik link di bawah ini ya https://read.kbm.id/book/detail/f4cc9dd6-cdc7-4ad5-8765-d9b0bb6b8ddc?af=9110314n7-0ad7-5076-a9c3-660a58efe665

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
