(PROMO) Tuan Raiden Untuk Salsa 5-6

0
0
Deskripsi

Prolog

💗HANYA PROMO💗
Ikuti Kisah Tuan Raiden dan Salsa.
🏆Juara Favorit Juri KWC 2🏆

Salsa terjebak dalam skenario pernikahan yang direncanakan Tuan Raiden untuk membalas rasa sakit hatinya. Berbagai siksaan, hinaan dan hujatan kebencian dipersembahkan untuk Salsa sebagai imbalannya.

Namun, siapa sangka ternyata Salsa adalah gadis yang selama ini ia cari untuk membalas budi Pak Bimo.
Beriring dengan waktu, kehadiran Salsa dapat menata kehidupan Tuan Raiden menjadi lebih baik.

"Menikahlah denganku sampai...

Bab 5

"Apa? Seratus juta?"

Reza mengangguk ragu. Dia terlihat takut menghadapi reaksi gadis yang tak lain adalah adik iparnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Salsa kepadanya. Pasalnya, sertifikat rumah adalah milik gadis itu. Rumah yang dia tumpangi sekarang merupakan warisan orangtua yang diberikan untuk Salsa. Sementara bagian untuk Amirah, kakaknya adalah sawah yang sudah dia jual juga untuk modal usaha.

"Aku curiga, Akang gunakan uang sebanyak itu bukan untuk modal usaha. Pasti untuk judi seperti yang Akang lakukan dua tahun lalu, kan? Dulu Akang bilang sawah dijual untuk modal usaha, nyata untuk bayar utang judi Akang, kan?"

Salsa berteriak, nada tersebut tak enak didengar. Bahkan tetangga pun bisa mendengar suara teriakannya. Gadis tangguh itu sudah tak tahan melihat kelakuan kakak ipar yang kerjaannya hanya berjudi. Berharap menjadi kaya dengan cara instant. Kalau bukan melihat status suami dari kakaknya, sudah lama dia ingin menendangnya keluar dari rumah.

"Bukan, Sal. Ini kemaren benar untuk modal usaha. Akang tak bohong. Akang sudah tobat. Maafkan, Akang."

Dia berlutut di hadapan gadis itu. Reza teramat takut, mengingat Salsa adalah gadis nekat. Dia terlalu galak untuk ukuran gadis cantik sepertinya.

Sementara Amirah hanya duduk di sudut rumah dengan pandangan kosong, terarah ke mereka berdua yang sedang beradu. Dia sangat mencintai si suami sehingga tidak pernah ada niat sedikit pun untuk berpisah dengannya. Meskipun pria itu sudah sering menyusahkan dirinya.

"Satu bulan. Mereka berikan kelonggaran untuk menebus sertifikat tersebut. Akang pikir, dari mana kita harus dapat uang sebesar itu?"

Suara semakin meninggi, meluapkan amarah yang terus merajai hati. Ingin rasanya menangis, tetapi dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak pernah mengeluarkan air mata di depan orang. Dia terlalu tangguh dan tegar, berbeda dengan kakaknya yang terlalu mudah menangis.

"Salsa!"

Sebuah panggilan menyelusuri rongga telinga, suara dari ambang pintu yang tak tertutup rapat. Pemilik suara itu lalu diam mematung sambil memandang satu per satu wajah anggota keluarga yang menegang.

"Masuklah, Nik. Ada apa?" ujar Salsa akhirnya ketika menyadari kalau sahabatnya sungkan masuk karena suasana di rumah sedikit memanas.

"Oh, maaf kalau aku ganggu." Dia berjalan pelan, masuk ke dalam rumah setelah membuka sandal jepitnya.

"Apa kita bisa bicara sebentar? Ada job dadakan, kalau kamu mau." Anika berbisik pelan sambil merangkul pundaknya.

Salsa menoleh dengan mata sedikit berbinar meski hatinya masih meradang akibat kelakuan abang ipar.  Namun, hidup harus terus berjalan, dia memang sangat membutuhkan pekerjaan saat ini.

Masuk ke kamar lalu meneguk air, Anika pun memberi kabar kerjaan yang baru dia dengar dari tetangga.

"Besok Bu Bidan Asih mau bikin hajatan, ada acara lamaran di rumahnya. Kamu mau ikut rewang tidak? Aku izin sama majikan satu hari, mau ikut rewang juga. Lumayan, Sal. Kita bisa ikut makan siang di sana. Kalau nanti ada sisa makanan, kita boleh bawa pulang."

Dengan antusias, Anika menceritakan secara detail acara rewang yang sering dia lakukan. Dia senang pekerjaan tersebut sebab tidak terlalu lelah. Yang paling penting adalah bagian sisa makanan yang bisa dibawa pulang.

"Kapan lagi kita bisa makan daging, Sal?" ucapnya seraya berbisik.

Spontan Salsa tertawa lebar setelah mendengar bisikan itu. Namun, jangan salah, dia bisa tertawa sekarang, tetapi siapa tahu kalau di hatinya masih menyimpan gundah. Dia masih memikirkan nasibnya satu bulan ke depan. Jika tidak dapat melunasi utang abang ipar, dia akan menjadi tuna wisma.

"Kalau kamu mau, besok jam empat subuh harus ada di sana. Kamu paham, Sal?"

Salsa mengangguk pelan membuat sahabatnya penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi barusan. Namun kini, dia menangkap ketegangan yang baru terjadi di rumah. Sedikit aneh dengan sikap Salsa diam seperti itu, biasanya dia sangat periang, tangguh, tegar dan bawel.

"Kenapa, Sal? Ada masalah apa lagi dengan abang ipar?"

Anika dengan segenap keberanian bertanya setelah meneguk lagi air yang tinggal setengah isinya. Mereka tidak pernah menyimpan rahasia, selalu berbagi jika ada masalah. Dia pun tak ingin Salsa menyimpan rasa kecemasan sendiri dan sudah menganggapnya seperti saudara. Lantaran dirinya adalah anak tunggal di mana ayah sudah meninggal dan emak sakit-sakitan.

Gadis penyuka warna soft itu memejamkan mata,  ingin meredamkan kesedihan dan melupakan sejenak masalah demi masalah yang datang beberapa hari terakhir. Tatapan yang kosong dilempar ke luar jendela kamar, bayang-bayang masa depan suram kini mulai mengganggu pikirannya.

Sempat dia berpikir, kalau saja ibu dalam keadaan sehat-sehat saja lima tahun yang lalu, mungkin sekarang dia sudah mendapatkan gelar sarjana ekonomi di kota Bandung. Mungkin, dengan gelar yang didapatnya nanti, akan mempermudahkannya mencari pekerjaan layak dengan gaji yang lebih besar pula. Tidak seperti sekarang, dengan upah tiga ratus ribu per rumah kala dia masih menjadi buruh cuci di tiga rumah warga.

Sayang, dia harus berhenti melanjutkan kuliah yang baru satu tahun diikutinya karena ibu terkena stroke dan tidak ada yang menjaganya.

Dua tahun dia merawat ibu dan karena tidak ada biaya untuk berobat akhirnya wanita yang sudah melahirkannya itu pergi untuk selama-lamanya. Bersamaan dengan petir menggelegar di malam yang mencekam. Dari situ awalnya, Salsa trauma mendengar suara petir. Dia akan merasakan peristiwa menyedihkan tersebut mendatangi pikirannya. Saat itu pula, dia akan berjongkok dan menutup telinga, seolah tidak ingin mendengarkan suara yang akan mengingatkannya kepada mendiang ibu.

"Hei, kamu melamun lagi, besok kamu mau ikut rewang enggak?"

Lagi, panggilan dan tepukan Anika di lengannya melebur lamunan yang sering dia lakukan setiap hari ketika sedang sendiri. Terlalu berat beban yang harus dipikul, dia banting tulang untuk memenuhi makan kakak dan ponakannya.

"Iya, besok aku ke sana, langsung ketemu di rumah Bu Asih." Dia sudah mantap dengan keputusannya, apa pun yang dia lakukan, harus semangat demi dirinya, Amirah dan Alvaro.

"Kalau gitu, aku pulang, ya. Kasihan emak tadi sendirian pas aku ke sini. Sampai ketemu besok." Lambaian tangan Anika pun disambut dengan lambaian dari Salsa.

Lalu, Anika pun menghilang dari kamar dalam hitungan detik. Sementara Salsa masih betah duduk di kursi kayu usang yang sudah menemaninya sejak masih duduk di bangku SD. Dari laci, dia mengeluarkan buku tulis berwarna merah muda yang berisi tentang isi hati dan kegiatannya sehari-hari.

Saat gundah, senang, kesal, marah, atau apa pun itu, dia akan menggoreskannya di buku diary. Sekarang dia pun mengutarakan perasaan yang mengganggu pikirannya di sana. Mengambil dan menatap foto keluarga yang terselip di sela buku, dia tersenyum getir. Hatinya nyeri saat memandang wajah ibu, bapak dan dirinya. Meneteskan air mata yang tak pernah dia lakukan di depan orang lain, kini dicurahkan di depan buku itu. Akan tetapi, sebuah buku bisa apa?

"Ibu, Bapak, Salsa kangen kalian. Bagaimana kabar kalian? Apakah kalian kangen dengan Salsa?"

Setetes demi tetes air pun akhirnya jatuh, menjadi saksi kesedihan yang sedang dialami si gadis berbulu mata lentik.

💗💗💗

 

Bab 6

"Keluarga Pak Bimo yang kita cari selama ini, apakah sudah kamu temui?" Wajah cantik oma terpampang di layar ponsel berlogo Apel milik Raiden.

"Belum, Oma," sahutnya sambil menggeleng. Sudah lima tahun, dia mencari keluarga Pak Bimo, tak lain adalah supir pribadi yang rela mati untuk keselamatannya sepuluh tahun lalu.

"Oma dengar dari Jeff, empat hari lalu kalian ke Bandung. Kenapa masih belum ketemu juga? Apa susahnya?"

Raut wajah wanita senja yang sudah berada di kota Berlin, tidak enak dipandang. Wanita itu sungguh menyayangi si supir, sudah menganggap sebagai anak sendiri. Bagaimana tidak, Pak Bimo sudah mengabdi hidupnya selama sepuluh tahun menjadi supir pribadi keluarga besar Yogaswara. Waktu itu, Raiden masih berusia 12 tahun.

"Kota Bandung itu besar, Oma. Sudah berapa kecamatan, kelurahan dan dusun Raiden telusuri, tidak ada satu orang pun yang mengenal Pak Bimo."

Dia pun frustasi kala sang oma terus menuntutnya untuk mencari keluarga bapak. Dengan kedua tangan memegang ponsel, wajah terlihat datar tanpa ekspresi.

Seketika wajah wanita berambut putih itu menghilang dari layar ponselnya, menyudahi video call singkat tersebut karena kesal. Raiden menghela napas berat dan bingung harus ke mana lagi mencari keluarga si supir. Dilempar benda canggih itu kasar di atas meja, tangannya mengambil sebuah foto. Foto Pak Bimo jaman masih muda sambil menggendong seorang putri yang umurnya kira-kira empat tahun.

"Perbanyak foto ini, sebarkan ke seluruh kota Bandung. Kasih hadiah seratus juta bagi orang yang bisa menemukan anak gadis yang digendong Pak Bimo."

Dia melempar sebuah foto ke atas meja dan Jeff dengan sigap mengambilnya. Ditengok foto itu dalam-dalam dan membalikkan kertas tersebut sambil menelan ludah sebelum mengutarakan pendapatnya.

"Ada apa, Jeff?" tanya si bos setelah menangkap perubahan rona wajah asistennya.

"Ini foto diambil dua puluh tahun yang lalu. Pak Bimo sudah tidak ada, gadis ini juga mungkin sudah tumbuh dewasa. Wajahnya sudah berubah, dan menurutku, orang-orang  tidak akan mengenalinya. Atau bisa jadi gadis itu sudah tidak ada di kota tersebut lagi. Apakah cara menyebar foto akan terlihat berhasil, Tuan?"

Tak langsung menyahuti ucapan Jeff, otak tampak bekerja dengan keras menelaah kalimatnya. Sorot mata tajam dilempar ke luar dinding kaca, memandangi indahnya kota Jakarta siang itu dengan matahari yang sedikit terik. Ke mana dia harus mencari gadis kesayangan Pak Bimo? Apakah rencana tadi akan berhasil atau hanya akan sia-sia?

"Pak Bimo, sedang apa?"

"Anu, Tuan muda. Bapak sedang memikirkan si neng."

"Neng?" jawab Raiden.

"Maksud Bapak, Neng anaknya Bapak. Ini."

Diperlihatkan sebuah foto ayah dan anak, yaitu foto dirinya yang sedang menggendong anak perempuan berumur empat tahun.

"Hari ini putri Bapak ulang tahun. Dia ingin dibelikan laptop sesuai janji Bapak karena dia juara kelas lagi." Raiden yang kala itu berusia 22 tahun meraih foto itu dan menyimak detail wajah putri yang terlihat imut.

"Usia putri Bapak berapa sekarang?" tanyanya sambil mengulum senyum.

"14 tahun, sudah remaja. Ini foto masih Bapak simpan. Kala itu dia masih berusia empat tahun." Pak Bimo menjelaskan dan diangguki pria tampan itu sebagai tanggapannya.

"Iya," sahut Raiden singkat. Pikirannya membayangkan wajah gadis itu pasti cantik dan manis, terlihat dari foto masa kecilnya saja seperti itu. Dia kagum dengan mata yang bundar milik putri Pak Bimo.

"Sudah tiga tahun, Bapak tidak pulang ke kampung, menengok istri dan anak. Lebaran bulan depan, Bapak sudah dapat izin mudik dari Tuan besar. Sekalian bawain laptop pesanannya."  Senyuman puas terpampang di wajah pria separuh baya itu.

"Tuan!"

Panggilan Jeff membangunkan kesadarannya ke masa sekarang. Iya, sudah sepuluh tahun berlalu, tetapi justru detik-detik kematian Pak Bimo itu masih teringat jelas di benaknya.

"Permisi, Tuan, ini ada berkas yang perlu ditandatangani. Mau sekarang atau ditinggal, mungkin mau dicek terlebih dahulu?"

Seorang wanita dengan blouse cokelat dan celana kulot terbalut di tubuhnya meletakkan berkas yang sudah diketik ulang dua kali karena direvisi. Ternyata, saat wanita itu mengetuk pintu, dia dipersilakan Jeff yang masih setia, menemani pria bermata almond eye.

"Letakkan di situ, nanti saya periksa. Kamu boleh keluar kalau tidak ada yang mau disampaikan lagi."

Atasan itu melirik sekilas ke arah berkas lalu memberi kibasan tangan bertanda mengusir. Dia tidak suka ada orang lain yang berlama-lama berdiri dan mengunjungi ruang kerja pribadi baik yang di kantor maupun yang di rumah. Ada banyak rahasia yang harus dijaga dan dia harus berhati-hati dengan orang asing.

Sang sekretaris pun menunduk hormat sebelum kakinya keluar dari ruangan serba putih dan abu-abu itu.

"Jeff, periksa kembali berkas itu, jika ada yang perlu direvisi, suruh dia ulang lagi. Heran lihat pekerja sekarang, ngakunya lulusan sarjana, tetapi revisi berkas seperti itu harus berkali-kali. Kerjanya tak memuaskan."

Jemarinya mengetuk cepat dan sedikit keras di atas meja, membuat suasana sedikit mencekam. Jeff yang sudah biasa mendapatkan wajah dingin dan kaku seperti itu, pun mulai memeriksa berkas sesuai perintahnya. Dia cukup kenal dengan Raiden, pekerjaan yang diselesaikan harus sempurna dan mendetail.

"Jeff, bagaimana dengan rencana ketiga itu, apa sudah dikerjakan?" Dia membalikkan kursi kebesarannya, kembali menghadap dinding kaca yang  mana langsung menyuguhkan pemandangan ibukota dengan gedung yang terlihat seperti mainan miniatur.

"Rencana?" Entah Jeff lupa atau tidak mengerti maksud dari kata rencana atasannya.

Dengan sedikit kesal mendengar jawaban singkat Jeff, dia pun membalikkan kursi kembali menghadap meja lalu mempersembahkan tatapan yang tak bisa dimengerti Jeff.

Dalam hitungan beberapa detik setelah melihat sorot mata itu, Jeff langsung mengerti arah pembicaraannya. Otak pria itu sudah dirancang sedemikian rupa untuk bisa membaca jalan pikiran Raiden. Ingat, dia sudah mengabdi sepuluh tahun berkerja untuknya. Di mana ada Raiden, di situ ada Jeffry. Mereka hanya berpisah saat menjelang tidur. Jeff diberi rumah yang letaknya seratus meter dari rumah tuannya.

"Oh, iya, sudah, Tuan." Dia mengangguk dan mulai memberi laporan.

"Sedang dijalankan, kita akan usahakan semuanya berjalan sesuai rencana kita. Dia sudah tidak punya pilihan lagi selain menerima tawaran kita. Jadi, saya jamin, dia pasti akan datang sebentar lagi."

Itulah laporan yang ingin didengar. Dia tidak suka kata gagal. Secara, dulunya dia adalah siswa teladan, tidak ada soal yang tidak bisa dipecahkan. Bahkan, untuk menyelesaikan sekolah sampai jenjang SMA, dia hanya butuh sembilan tahun. Lulusan sarjana di Universitas ternama di Indonesia hanya membutuhkan tiga tahun dan pasca sarjana di Jerman dengan satu setengah tahun.

Memutar kembali kursi itu, pandangannya menerawang jauh ke langit. Sederetan rencana yang akan Raiden lakukan setelah orang itu datang, bagai menonton cuplikan film yang sedang berputar di langit cerah itu. Mengambil gelas kecil yang berisi cairan cokelat bening, minuman haram yang sudah menjadi minuman sehari-harinya. Dia langsung menghabiskannya dalam satu tegukan.

Tanpa sadar, dia menyunggingkan senyuman yang bayangan wajahnya dapat ditangkap Jeff dari pantulan kaca itu. Jeff geleng-geleng dan menghela napas berulang setelah otaknya mulai menerka apa yang akan dilakukan tuannya kepada orang itu.

"Semoga kamu bisa bertahan, Nak." Jeff berdoa dalam hati.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya (PROMO) Tuan Raiden Untuk Salsa 7-8
0
0
Prolog💗HANYA PROMO💗 Ikuti Kisah Tuan Raiden dan Salsa. 🏆Juara Favorit Juri KWC 2🏆Salsa terjebak dalam skenario pernikahan yang direncanakan Tuan Raiden untuk membalas rasa sakit hatinya. Berbagai siksaan, hinaan dan hujatan kebencian dipersembahkan untuk Salsa sebagai imbalannya.Namun, siapa sangka ternyata Salsa adalah gadis yang selama ini ia cari untuk membalas budi Pak Bimo. Beriring dengan waktu, kehadiran Salsa dapat menata kehidupan Tuan Raiden menjadi lebih baik.Menikahlah denganku sampai utangmu terbayarkan dari gaji bulanan yang aku berikan.Maaf, Tuan. Saya tidak bisa.Turuti saja keinginanku, aku tidak suka dibantah!Kamu kira kamu siapa? Kenapa aku harus menuruti perintahmu? Kalau aku tidak mau, kamu bisa apa?Kamu mau tahu apa yang bisa aku lakukan jika kamu berani menolakku? Aku bisa saja membunuh, memutilasi tubuhmu. Setelah itu potongan tubuhmu akan aku buang ke hutan agar menjadi santapan hewan buas di sana.Coba saja kalau kamu berani.⚠️ Awas, mengandung bucin akut di bagian Bab saat Tuan Raiden mulai jatuh hati kepada Salsa. ⚠️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan