POV GILANG

2
0
Deskripsi

"Jangan sampai ada yang tahu kalau kita suami istri, apalagi sama pacarku. Kau dengar?"

Gadis itu malah senyum-senyum memuakkan. Bisa-bisanya dia nerima perjodohan ini meski tahu aku sudah punya pacar.

Tapi saat dia didekati laki-laki lain, kenapa aku jadi cemburu?
 

GILANG 1

Aku berdiri di samping perempuan yang kini resmi menjadi istriku, Ginela. Gaun putihnya menjuntai indah, rambut tertata sempurna, wajah dipoles dengan make up yang membuatnya terlihat... yah, lumayan. Tapi di mataku, semua itu tidak ada artinya.

Dia bukan wanita yang seharusnya berdiri di sini bersamaku

"Mas Gilang, gimana? Apa aku cantik dengan make up dan aksesoris ini?" tanyanya pelan, nada suaranya penuh harapan.

Aku melirik sekilas. "Biasa aja," jawabku singkat.

Tanganku dengan cepat meraih ponsel di saku jas, membuka layar, dan membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Entah kenapa, membaca pesan itu jauh lebih menarik daripada harus berpura-pura peduli dengan perasaan perempuan ini.

Aku tidak mencintainya. Aku bahkan tidak ingin menikah dengannya.

Tapi karena urusan keluarga, di sinilah aku berada. Berdiri di hadapan banyak orang, berpura-pura menjadi pengantin bahagia, sementara sebenarnya aku ingin pergi sejauh mungkin dari ruangan ini.

Ginela tersenyum di hadapan tamu yang datang. Senyum yang terlihat tulus, seakan dia benar-benar menikmati hari ini. Aku tahu, dia berusaha keras untuk menunjukkan bahwa pernikahan ini adalah hal terbaik dalam hidupnya. Tapi bagiku? Ini hanya beban.

"Dasimu agak miring, aku perbaiki, ya?"

Baru saja tangannya hendak menyen-tuh ba-juku, aku segera menepisnya. Tidak ka-sar, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa aku tidak suka sen-tuhan itu.

"Tidak perlu. Jangan sok peduli," kataku ketus.

Aku bisa merasakan tubuhnya mene-gang sejenak. Mungkin sakit ha-ti, mungkin kecewa. Tapi aku tidak peduli. Jika dia berpikir aku akan berubah setelah pernikahan ini, dia salah besar.

Aku tetaplah Gilang. Dan Ginela tetaplah perempuan yang dipak-sa masuk dalam kehidupanku.

Setelah resepsi selesai, kami dibawa ke kamar ho-tel yang sudah disiapkan. Aku tahu ini semua rencana orang tua. Mereka pikir, jika aku dan Ginela di tempatkan dalam satu kamar, mungkin pernikahan ini akan terasa lebih nyata.

Mereka salah.

Begitu masuk kamar, aku langsung mele-pas jas dan melem-par-kannya ke sofa. Aku bisa merasakan Ginela memperhatikanku dari belakang, tapi aku mengabaikannya.

"Mas, aku tadi lihat keluarga Mas baik sekali. Mereka ramah sama aku. Baru kali ini, aku ...."

Aku memutar bola mata malas. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Nggak usah baper. Mereka hanya menjalankan kewajiban," jawabku tanpa melihatnya.

Aku mendengar Ginela menarik napas panjang. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini, tapi aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Dia berjalan mendekat. Aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku.

“Maksudnya gimana, Mas?”

Aku akhirnya menoleh, menatapnya dengan ta-jam. "Kamu tahu?" suaraku lebih rendah, lebih dingin. "Pernikahan ini hanya kesepakatan. Jadi, jangan pernah berpikir kalau kamu bisa menjadi bagian dari hidupku."

Aku bisa melihat keterkejutan di matanya. Tapi sekali lagi, aku tidak peduli.

“Aku nggak tahu kenapa Mas terlihat memben-ciku," katanya dengan suara yang berusaha tetap ceria. "Bukankah kita sudah saling mengenal sejak kecil?”

Aku mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya.

"Kamu kenal aku, tapi aku tidak pernah mengenalmu, Ginela. Bagiku, kamu adalah penghalang. Ingat itu.”

Dia tertawa kecil, suara yang seharusnya terdengar menyenangkan, tapi di telingaku, itu hanya terdengar menyebalkan.

"Ada apa?" tanyaku ketus.

"Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau bilang selamat tidur," jawabnya santai.

"Nggak usah lebay."

Aku hendak berjalan menuju kamar mandi, tapi dia buru-buru menghadang langkahku.

“Kok gitu, sih? Aku, kan, cuma mau jadi istri yang baik.”

Nada suaranya sedikit menggo-da, tapi aku hanya mendengus.

"Gak usah sok kuat. Nggak ada gunanya bikin kesan di depan aku."

"Aku nggak sok kuat. Lagipula, emangnya aku butuh kesan? Mas ini udah dapet paket lengkap, loh. Aku tuh, cantik, pintar, lucu."

Aku menatapnya dengan alis terangkat.

“Kamu sadar nggak sih, kalau kamu itu berlebihan?” sindirku.

"Berlebihan itu tanda-tanda ada kehidupan, Mas."

Aku menghela napas. Ginela benar-benar menyebalkan. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia tidak semudah itu dipa-tahkan.

“Kalau aku nggak berlebihan, hidup Mas bakal datar-datar aja. Nggak ada warnanya.”

"Percaya diri sekali," balasku dingin.

"Kalau aku nggak percaya diri, siapa lagi yang bakal percaya sama aku?"

Aku terdiam.

"Jangan bo-dohi diri sendiri. Pura-pura bahagia atau ...."

“Siapa yang pura-pura, Mas? Aku benar-benar bahagia, kok. Aku senang bisa nikah sama Mas karena aku ...."

Aku tidak ingin mendengarnya melanjutkan kalimat itu.

“Kamu tahu ini cuma pernikahan formalitas. Jangan harap aku bakal berubah pikiran.”

Dia tetap tersenyum, seolah kata-kataku tidak berarti apa-apa.

"Aku nggak minta kamu berubah pikiran, Mas. Aku cuma minta satu hal."

"Apa?" tanyaku malas.

"Jangan lupa pakai krim malam. Kamu kayaknya butuh itu biar wajahnya nggak tambah dingin," jawabnya dengan nada serius.

Aku terdiam. Lalu tanpa berkata apa-apa, aku berjalan masuk ke ka-mar man-di. Saat keluar, dia masih berdiri di tempat yang sama, menatapku. Aku berjalan mendekat.

"Malam ini, aku ingin kau tahu satu hal," ucapku dengan nada tegas.

Ginela menatapku penuh perhatian.

"Jangan berharap banyak dariku. Jangan pernah menaruh perasaan sedikitpun kepadaku. Aku tak akan pernah mencintaimu sampai kapanpun. Pernikahan ini hanya kesepakatan keluarga. Kuharap kamu paham dan ingat."

Aku melihat sesuatu di matanya. Lu-ka. Tapi aku mengabaikannya.

"Dan satu lagi."

Aku mendekat, membiarkan setiap kata yang keluar dari mulutku menghan-tamnya ke-ras.

"Jangan pernah mencoba mencampuri urusan pribadiku. Kalau kamu melakukannya, aku tidak akan segan-segan membuatmu menyesal."

Aku meraih ponsel dari meja dan berjalan menuju pintu.

“Mas mau ke mana? Ini, kan, ma-lam per-tama kita. Seharusnya kita bersenang-senang,” suaranya masih terdengar ceria, tapi aku bisa menangkap kepedihan di baliknya.

"Bukan urusanmu," jawabku dingin, lalu pergi meninggalkan ka-mar.

Aku butuh udara. Butuh menjauh dari Ginela. Dan yang pasti... aku butuh mengingat kembali kehidupan yang seharusnya aku jalani. Tanpa dia.

***

GILANG 2

"Mulai malam ini, kamu pindah ke k a m a r tamu," ucapku dingin.

Ginela menoleh, menatapku dengan sorot mata penuh minat. Aku tahu pasti dia akan menanggapi ini dengan santai, seperti biasa. Seolah semua yang aku lakukan tidak ada pengaruhnya untuknya.

“Pindah k a m a r tamu?” ulangnya, menatapku seolah aku baru saja mengatakan hal aneh

Aku tidak mengulanginya lagi. Aku hanya ingin memastikan batasan ini ada. Kami tidak perlu seka m a r. Tidak perlu berpura-pura akrab. Tidak perlu ada percakapan yang tidak perlu.

“Kenapa, Mas? Kamu takut aku ngorok di sebelahmu?” Ginela justru bercanda, berjalan mendekat seolah tidak sadar aku sedang bicara serius.

"Jangan bercanda, Ginela. Aku serius," tegasku, masih fokus pada berkas di tanganku.

Bukannya ma rah, perempuan itu malah memiringkan kepala dan menyelidikiku. Aku ben-ci caranya memandang seperti itu—seolah dia sedang mempelajari ekspresi wajahku, mencari celah untuk membalas.

"Kenapa serius sekali, Mas? Kamu bilang begitu seolah kamu bakal ngu-sir aku dari rumah ini," katanya, suaranya terdengar tenang.

Aku men-de-sah, menutup berkas yang sejak tadi aku pakai untuk mengalihkan perhatian. Aku menatapnya langsung.

“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Mulai malam ini, kita ti-dur terpisah. Titik.”

Dia diam sejenak, lalu tersenyum. Lagi-lagi, ekspresi itu. Seakan semua ini bukan masalah besar baginya.

"Ya, ampun, Mas. Segitu takutnya kamu sampai nggak tahan ti-dur di ka-mar yang sama denganku? Padahal aku nggak ngelakuin apa-apa ke kamu.”

"GINELA."

Aku mengucapkan namanya dengan nada peringatan. Aku tidak ingin ini jadi lebih panjang. Aku ingin dia menerima dan pergi. Namun, Ginela malah makin berani.

"Mas, santai dong. Baru tiga hari nikah, masa udah pisah ka-mar? Orang tua kita bakal kecewa banget kalau tahu. Lagian, aku nggak gi-git kok waktu tidur. Kalau kamu takut diganggu, aku janji tidur di pojokan, jauh-jauh dari kamu. Itu pun kalau aku lagi sadar. Tapi kalau lagi nyenyak, jangan salahkan aku kalau ..."

Senyumnya makin lebar, nadanya meng-go-da, dan aku tahu dia sengaja.

"Jangan halu." Aku menepis tangannya dari bahuku. "Dan satu lagi, nggak usah sok manja. Itu nggak cocok buat kamu.”

Ginela mengangkat alis, mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Emangnya kenapa? Aku, kan, manja sama suami sendiri kok. Apa itu do-sa?"

Aku mengalihkan pandangan. Aku tidak ingin melihat sorot mata menantangnya lebih lama.

“Cukup, Ginela. Jangan bikin aku makin mu-ak. Kamu pindah ke ka-mar tamu sekarang, atau aku yang akan memindahkan barang-barangmu sendiri.”

Akhirnya dia mengangkat kedua tangan, menyerah. Aku lega. Aku tidak perlu membuang lebih banyak energi untuknya.

"Baiklah, Mas Gilang Sayang. Aku pindah. Kamu menang."

Dia melangkah pergi, tapi sebelum benar-benar keluar, dia menoleh lagi.

"Tapi kalau malam-malam Mas kangen, jangan ragu-ragu ketuk pintu ka-marku, ya."

Aku menatapnya datar. “Jangan mimpi, itu tidak akan terjadi.”

Ginela hanya ceki-kikan sebelum akhirnya keluar.

*

Aku keluar dari ka-mar, dan langsung disambut oleh Nayla yang tampaknya sudah tahu.

"Bang, apa-apaan ini? Baru juga orang tua kita berangkat tadi pagi, sekarang kamu langsung bikin keputusan gi-la seperti ini?"

Aku mendengus. “Ini ru-mah tanggaku, Nayla. Bukan urusanmu.”

"Tapi, Bang! Mana bisa kamu memperlakukan Ginela seperti ini? Dia istrimu!"

Aku berdecak. "Aku yang menentukan, bagaimana cara mengelola ru-mah tangga ini, bukan kamu. Kalau kamu terlalu ikut campur, jangan salahkan, kalau mulai sekarang aku berhenti membi-ayai hidupmu."

Mata Nayla melebar. Aku tahu an-camanku berhasil.

"Bang, suatu hari kamu akan menyesal!" katanya sebelum memban-ting pintu kamarnya.

Aku tidak peduli

*

Aku duduk di kursi kerja ketika suara ketukan di pintu terdengar. Ginela.

"Mas, jangan bilang kamu udah kangen sama aku," katanya begitu masuk.

"Duduk." Aku menunjuk kursi di depanku.

Ginela berjalan santai, bersikap seolah ini bukan hal penting.

“Mulai besok, kamu akan bekerja di kantor,” kataku.

Ekspresinya berubah, tampak terkejut.

“Benarkah? Wah, Mas baik banget! Aku nggak nyangka kamu akhirnya mau kasih aku pekerjaan di perusahaanmu.”

Aku menghela napas. "Ini semua keinginan Papa dan Mama."

"Ya, whatever-lah itu. Intinya kamu tak keberatan mau sekantor denganku. Kita bakal sering-sering ketemu dan kerja sama dong, ya, Mas?"

Aku menggeleng. “Tapi ada syarat kalau kamu menerima tawaran kerja di kantor kami.”

Ginela mengangkat alis. “Hah? Maksudnya?”

“Di kantor, tidak boleh ada satu pun karyawan yang tahu kalau kita ini suami-istri.”

Senyum Ginela perlahan memudar.

"Kamu akan dianggap sebagai karyawan biasa. Tidak ada perlakuan khusus dariku. Dan satu lagi, jangan pernah mengganggu urusanku di kantor. Aku tidak ingin orang berpikir aku memberikanmu posisi karena status kita.”

Ginela menatapku lama, lalu mengangguk pelan. “Baik. Kalau itu syaratnya, aku setuju.”

Aku mengangguk, merasa puas. Tapi kemudian dia mendekatkan tubuhnya ke arahku, menatapku dengan senyum penuh arti.

“Tapi kalau kita nggak boleh kelihatan seperti suami-istri, apa aku boleh pura-pura nggak kenal kamu juga? Misalnya kalau kita ketemu di lift, aku harus bilang ‘permisi, Pak Bos’ gitu?”

Aku menghela napas panjang. “Ginela, aku serius.”

“Ya, aku juga serius, Mas.”

"Nggak usah berlebihan, bersikap sewajarnya saja."

Ginela tersenyum kecil. "Baik, Pak Bos. Siap laksanakan."

Aku menutup mata sejenak. “Kamu boleh pergi.”

Dia bangkit, melangkah ke pintu, tetapi sebelum keluar, dia menoleh lagi.

“Oh, iya, Pak Bos. Tapi jangan lupa, kalau di rumah ini, kita ini tetap suami-istri. Jangan terlalu sok dingin sampai lupa caranya jadi seorang lelaki sejati.”

Aku mene-gang. Aku tahu itu sindiran. Aku menatapnya sampai dia benar-benar keluar. Perempuan itu menyebalkan. Tapi entah kenapa, aku bisa merasakan sesuatu yang mengganggu pikiranku.

Dan aku benci itu.

***

GILANG 3

Aku melirik jam tangan. 08.15. Telat.

Bagus. Baru juga hari pertama kerja, Ginela udah bikin masalah. Ini kantor, bukan tempat main-main. Aku duduk di ujung meja rapat, tangan terlipat di da-da, menunggu pintu terbuka dengan wajah tanpa ekspresi.

Dan akhirnya, diiringi derap langkah tergesa, dia muncul bersama Nayla. Terlambat lima belas menit.

Mata kami bertemu. Aku bisa lihat kepanikan di wajahnya, tapi dia berusaha tetap santai. Dia selalu begitu, berpikir bisa lolos dari kesalahan dengan wajah polosnya. Maaf, sayang. Itu nggak berlaku di sini.

“Selamat pagi, Bu Ginela, Bu Nayla. Senang sekali kalian bisa bergabung. Silakan ambil posisi,” ucap Bayu, GM perusahaan.

Aku tetap diam, hanya memperhatikan. Ginela tersenyum canggung, mencoba duduk dengan tenang. Tapi jelas, dia gelisah. Bagus.

“Maaf, kami tadi….”

Aku mengangkat tangan, me-mo-tong ucapannya. “Tidak perlu penjelasan. Waktu adalah hal yang penting di sini. Saya harap ini tidak menjadi kebiasaan.”

Dingin, tegas, dan langsung membuat ruangan jadi lebih hening.

Rapat berjalan lancar, setidaknya bagi mereka yang datang tepat waktu. Aku memberikan instruksi dengan jelas dan setiap kata yang keluar dari mu-lutku tidak butuh pengulangan. Ginela diam, sesekali mencatat, sesekali melirik ke arahku. Aku tahu dia berusaha membaca ekspresiku. Percuma. Aku nggak akan kasih celah.

Begitu rapat selesai, aku melirik ke arah Bu Sarah, kepala admin keu-angan. Waktunya memberi pelajaran kecil.

“Bu Sarah, tolong beri tugas untuk Bu Ginela. Sesuatu yang bisa membantu meningkatkan kedisiplinannya.”

Bu Sarah dengan seringai kecil yang hampir nggak kentara, langsung menangkap maksudku.

“Tentu, Pak Gilang. Saya punya beberapa dokumen lama yang perlu disusun kembali. File keuangan tiga tahun terakhir. Saya yakin itu tugas yang pas untuk Bu Ginela.”

Aku melihat ekspresi Ginela berubah. Kaget. Tidak percaya.

“Dokumen lama? Maksudnya yang sudah diarsipkan di gudang?”

Bu Sarah mengangguk santai. “Betul sekali. Semua harus diperiksa dan disusun ulang. Dan saya yakin Anda bisa menyelesaikannya dalam waktu yang cukup singkat.”

Ginela melirik ke arahku. Berharap aku akan membatalkan keputusan itu. Sayang sekali, aku bukan tipe yang murah hati untuk orang yang nggak tahu aturan.

“Lakukan tugasmu dengan baik. Di kantor ini, tidak ada perlakuan khusus untuk siapa pun, termasuk kamu.”

Selesai. Aku berdiri, mengakhiri semuanya tanpa memberi kesempatan untuk membantah.

Saat Ginela keluar dari ruang rapat, aku masih bisa mendengar gumamannya ke Nayla. “Tiga tahun dokumen lama? Ini semacam hu-ku-man atau acara survival?”

Nayla tertawa. “Kamu tahu Bang Gilang, kan? Kalau ma-rah, dia kreatif banget nyari cara buat bikin orang kapok.”

“Kreatif? Dia itu ja-hat, tak punya hati. Kalaupun ada, pasti sekeras baja. Tak berpe-rasaan!”

Aku berhenti di depan pintu. Menarik napas. Kemudian dengan suara datar dan cukup ke-ras, aku menyela.

“Apa barusan kalian membicarakan saya? Siapa yang tak punya ha-ti? Siapa yang hatinya sekeras baja?”

Ginela membeku di tempat. Nayla melirik ke arah lain, seolah-olah bisa menghilang begitu saja.

Aku menyeringai kecil.

*

Duduk.

Nada suaraku rendah, tegas, tanpa ruang untuk diskusi. Aku tidak perlu mengulang perintah dua kali, dan Ginela tahu itu. Tapi perempuan itu—seperti biasa—selalu punya cara untuk menan-tang batas kesabaranku.

"Wah, serius banget, Pak Bos. Apa saya mau dipe-cat, nih?" ujarnya dengan nada santai, seolah baru saja diajak ngobrol ringan, bukan diinterogasi karena keterlambatan dan kelakuan tidak profesionalnya.

Aku menatapnya ta-jam saat dia menarik kursi dengan gaya sok santai, menyilangkan kaki dengan percaya diri. Bi-birnya tersenyum, tapi aku tahu itu bukan senyum minta maaf—itu senyum pembang-kangan.

"Kalau bukan karena hubungan kita di atas kertas, percaya saja, kamu sudah tidak ada di sini."

"Astaga, sampai segitunya? Padahal aku ini, kan, pegawai potensial. Lulus kuliah dengan IP cumlaude. Dan kira-kira, siapa lagi yang bisa bikin suasana kantor menyenangkan dan nggak kaku selain aku?"

Aku menyandarkan punggung ke kursi, menatapnya dengan sorot ta-jam yang kupastikan cukup untuk membuat orang lain mene-lan ludah. Tapi Ginela? Dia hanya tersenyum lebih lebar.

"Kamu terlalu percaya diri, Ginela. Aku butuh karyawan yang disiplin, bukan ba-dut kantor."

Alih-alih tersinggung, dia justru mengangkat alis. "Ba-dut itu pekerjaan mulia, loh. Mereka bikin orang tertawa. Ngomong-ngomong Pak Bos kapan terakhir kali tertawa? Ah, jangan-jangan udah nggak ingat lagi gimana rasanya tersenyum atau bahagia?"

Aku mengembuskan napas panjang, mulai lelah dengan kebiasaannya melemparkan omong kosong yang hanya membuang waktuku.

"Dengar, Ginela. Di sini, aku tak ingin melanjutkan pembahasan unfaedah ini. Waktuku sangat berharga. Aku juga tidak peduli status kamu di luar. Di kantor, kamu harus profesional. Dan profesional itu berarti datang tepat waktu, menyelesaikan tugas tanpa drama, dan tidak mengganggu siapapun."

"Mengganggu? Wah, berat banget tu-duhan Pak Bos. Kalau aku mengganggu, kenapa nggak sekalian kasih peraturan 'dilarang bernapas di dekat Gilang Saputra'? Biar jelas!"

Mataku menyipit, suaraku semakin ketus. "Jangan coba-coba bermain kata denganku. Kamu hanya membuat dirimu terlihat tidak kompeten."

"Hmm... nggak kompeten? Apakah kompeten maksud Bapak, kita harus jadi karyawan dingin nan aro-gan? Hm, kalau gitu, aku perlu kursus privat ke Pak Bos."

Ra-hangku menge-ras. "Ginela!"

Nada suaraku naik satu oktaf, cukup untuk membuat sebagian besar orang di kantor beringsut takut. Tapi bukan perempuan ini. Dia tetap tersenyum seolah sedang menghadapi debat santai di kafe, bukan di hadapan atasannya.

"Saya tidak punya waktu untuk meladeni lelucon kamu. Fokus pada pekerjaan yang sudah diberikan. Kalau tidak, jangan harap saya akan memberi toleransi lagi."

Alih-alih ketakutan, dia justru berdiri dengan anggun, membungkuk kecil seperti pelayan di drama kerajaan. "Siap, Pak Bos. Mulai sekarang, saya akan jadi karyawan teladan. Disiplin, profesional, dan yang terpenting, tidak bernapas di dekat Bapak."

Aku menghela napas, menekan emosi yang mulai merangkak naik. "Keluar."

Ginela melangkah dengan gaya dibuat-buat, menyerupai robot, sebelum berhenti di depan pintu dan menoleh dengan senyum cerahnya yang menyebalkan.

"Oh iya, Pak Bos. Nggak usah sering cari pencitraan, sekali-kali kamu butuh santai sebentar. Kata orang, stres itu bikin kerutan dini. Nggak mau kan, usia 30-an tapi wajah kayak umur 50?"

Aku membuka mu-lut untuk membalas, tapi sebelum sempat, dia sudah melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu.

Aku men-de-sah panjang, memijat pelipis sambil bergumam pelan, lebih kepada diri sendiri.

"Kenapa aku harus menikahi perempuan itu?"

 

***

GILANG 4

Ponselku bergetar di atas meja, layar menyala dengan nama yang jelas terpampang

Ginela

Aku menatapnya beberapa detik, mempertimbangkan apakah harus mengangkat atau mengabaikannya. Tapi aku sudah tahu jawabannya. Dengan malas, aku membalikkan ponsel, membiarkan getarannya merambat di atas permukaan kayu.

"Ada yang salah?" suara lembut di depanku menarik perhatianku kembali.

Aku menatap wanita itu—anggun, tenang, dan jauh dari kata berisik seperti Ginela. Senyum tipisnya penuh perhatian, seolah ingin memastikan aku baik-baik saja. Aku menarik napas, berusaha mengabaikan gangguan yang baru saja terjadi.

"Nggak. Hanya urusan kantor."

Ponselku berhenti bergetar, hanya untuk kemudian kembali menyala dengan panggilan lain.

Ginela.

Aku mengehela napas. Kali ini, aku membuka pesan yang muncul setelah panggilan tak terjawab.

"Mas, aku sudah selesai kerja. Bisa jemput nggak? Lagi di kantor."

Aku membaca pesan itu cepat, lalu mengetik balasan singkat.

"Naik taksi aja. Aku lagi ada urusan penting."

Terkirim. Selesai. Urusan penting yang jauh lebih berharga daripada menjemput seorang istri yang selalu membawa keonaran ke mana pun dia pergi.

Aku bahkan tidak mau membayangkan bagaimana caranya Ginela akan mengo-ceh sepanjang perjalanan kalau aku benar-benar menjemputnya.

Wanita di depanku tersenyum, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan.

"Jadi, kita lanjut?"

Aku mengangguk. "Tentu."

Malam seharusnya berjalan tenang. Tanpa gangguan. Tanpa suara Ginela yang selalu penuh komentar tak penting. Namun, saat aku kembali fokus pada percakapan, aku merasa ada yang mengawasi. Perasaan itu membuatku menoleh secara refleks ke luar jendela kafe.

Dan di sana dia berdiri.

Ginela.

Si-al.

Tatapan kami bertemu. Wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, tapi justru sesuatu yang lebih entah: eje-kan halus yang terselu-bung dalam senyum tipis.

Dia tidak perlu berbicara untuk membuatku tahu bahwa dia menangkap segalanya. Aku bisa membaca pikirannya seolah-olah dia berbicara langsung di depanku.

"Jadi ini urusan pentingmu, Mas? Menyenangkan, ya?"

Tangannya terangkat, memamerkan sesuatu—sebungkus cokelat. Ah, benar. Kebiasaan lamanya. Saat ke-sal, dia selalu membeli sesuatu yang manis untuk dirinya sendiri, seolah itu bisa mere-dam emosinya.

Lalu, dia pergi begitu saja.

Aku menegakkan punggung, berusaha menjaga ekspresi tetap netral, tapi rasanya ada sesuatu yang menggan-jal di da-daku. Wanita di depanku melihat perubahan ekspresi wajahku dan mengerutkan kening.

"Lang, kamu baik-baik saja?"

Aku tidak langsung menjawab. Mata ini masih terpaku pada jalanan di luar jendela, tempat Ginela baru saja menghilang. Dia pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun, tapi dampaknya tetap terasa.

Menye-balkan.

Aku seharusnya lega. Seharusnya merasa tenang karena dia tidak membuat drama di tempat umum seperti biasanya. Tapi kenapa yang ada justru rasa tak nyaman yang menya-kiti seperti du-ri kecil?

Dengan satu helaan napas panjang, aku kembali menatap wanita di depanku dan tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan."

***

GINELA 5

Pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba tanpa ketukan. Aku sudah tahu siapa pelakunya bahkan sebelum suara itu terdengar.

Nayla.

Si biang ke-rok yang selalu merasa wajib jadi pembela hak asasi manusia di ru-mah ini.

"Bang, kenapa, sih, kamu te-ga banget sama Ginela? Masa dia disuruh ngerjain semua tugas Sarah sendirian? Kamu nggak lihat apa dia udah kayak zombie?"

Tanpa menoleh, aku tetap fokus pada layar laptop. Banyak hal yang lebih penting daripada mendengar ocehan Nayla soal istriku.

Istriku.

Sekalipun status itu melekat pada Ginela, bukan berarti aku harus menaruh perhatian ekstra setiap saat.

Aku men-de-sah pelan, mencoba menahan kekesalan yang mulai merambat di ujung kesabaran. "Kalau merasa berat, dia bisa bilang sendiri ke atasannya. Itu bagian dari profesionalisme, Nay."

Memangnya aku ini apa? Penyelamat wanita tertin-das? Kalau Ginela merasa beban kerjanya nggak masuk akal, ya bicarakan. Dia punya mulut, kan? Bukannya mengadu lewat Nayla seperti bocah TK.

"Profesionalisme? Abang tahu nggak, Sarah itu sengaja cari masalah sama Ginela. Ini bukan soal kerjaan biasa, Bang. Ini jelas-jelas pembu-lian!"

Nayla membalas cepat. Nada suaranya meninggi. Jelas-jelas dia mulai emo-si. Tapi aku? Aku cuma menutup laptop dengan tenang. Masih bisa sabar menghadapi drama yang kayaknya nggak bakal berakhir malam ini.

"Kalau dia merasa dibu-lly, kenapa nggak keluar aja? Saya nggak pernah pak-sa dia kerja di perusahaan ini," jawabku santai.

Itu solusi paling masuk akal, kan? Kalau nggak suka, ya pergi. Sesederhana itu.

Aku menatap wajah Nayla yang memerah karena menahan marah. Khas anak muda yang terlalu banyak nonton drama Korea. Selalu merasa dunia ini harus berjalan sesuai keinginannya.

"Bang, kamu tahu nggak, dia itu ngejaga har-ga diri di depan Sarah karena kamu? Karena dia nggak mau bikin kamu malu? Dan kamu malah kayak gini?" Suaranya bergetar, tapi aku nggak goyah sedikit pun.

Serius? Aku harus terharu sekarang? Lucu aja, sih, mendengar kalimat heroik kayak gitu. Ginela itu bukan gadis polos yang butuh diselamatkan. Dia tahu apa yang dia hadapi sejak awal menikah denganku. Lagipula, kalau dia merasa disudutkan, kenapa nggak protes langsung?

Aku berdiri, berjalan mendekat, lalu menatap Nayla dengan tatapan dingin yang cukup untuk mema-tikan semangat siapapun.

"Kalau dia nggak bisa jaga batas antara pribadi dan pekerjaan, itu masalah dia, bukan masalah saya."

Sederhana. Di kantor, aku adalah atasan. Di rumah, aku adalah suami. Dua peran yang jelas beda. Dan aku nggak akan memanjakan Ginela di kedua tempat itu.

Nayla menge-raskan rahangnya. Dari cara dia mengepalkan tangan, aku tahu dia nyaris kehilangan kendali.

Baguslah.

Mungkin setelah ini, dia akan berhenti ikut campur urusan rumah tanggaku.

"Kamu tuh egois banget, Bang. Kalau itu tadinya aku yang digituin, mungkin aku bisa nerima. Tapi ini Ginela. Dia istrimu."

Kali ini suaranya merendah, tapi justru terdengar makin tak enak didengar.

Istriku?

Ya, aku tahu dia istriku. Apa aku perlu mengingat itu setiap detik? Lagi pula, pernikahan ini bukan sesuatu yang aku rencanakan dari awal. Kalau bukan karena urusan di luar kendaliku, aku nggak akan pernah terje-bak di situasi ini.

Aku kembali duduk. Satu alisku terangkat, menatap Nayla dengan tatapan "jadi masalahmu apa?"

"Saya nggak butuh saran dari kamu, Nay. Jangan ikut campur urusan rumah tangga saya."

Singkat, padat, jelas. Semoga cukup untuk menutup mulut cerewetnya malam ini.

Nayla mendengus, menatapku seolah aku ini makhluk paling menjeng-kelkan di muka bumi.

"Kamu itu belum sadar ya, Bang? Lihat saja, kamu bakal nyesel kalau terus kayak gini."

Kalimat peringatan khas sinetron. Klise. Tapi aku membiarkannya berlalu. Aku nggak peduli. Sesuatu yang nggak penting nggak akan menyita pikiranku terlalu lama.

Begitu pintu tertutup dengan ke-ras, aku kembali membuka laptop. Berusaha fokus lagi. Tapi si-alnya, kata-kata Nayla tadi masih bergaung di kepala.

Nyesel? Ah. Aku nggak yakin kata itu ada di kamus hidupku

***

GILANG 6

Nayla benar-benar cari masalah

Aku baru saja keluar dari ruang meeting ketika pesan darinya masuk. Singkat, padat, dan jelas—membuat da-rahku langsung naik ke kepala.

"Ginela pingsan. Aku bawa ke rumah sakit."

Apa-apaan ini? Sejak kapan Nayla merasa perlu campur tangan urusan rumah tanggaku? Lagipula, hanya pingsan, kenapa harus dibawa ke rumah sa-kit segala? Drama sekali.

Langkahku cepat menyusuri koridor rumah sa-kit. Saat melihatnya duduk di kursi ruang tunggu dengan wajah cemas, aku tahu pasti dia akan memulai ceramah panjang lebar yang selalu membuatku mu-ak.

"Apa-apaan ini? Kamu bawa Ginela ke rumah sa-kit tanpa bilang ke aku?" suaraku rendah, tapi cukup ta-jam untuk menegaskan bahwa aku tidak sedang ingin berbasa-basi.

Nayla mendongak, menatapku dengan wajah penuh kema-rahan.

"Dia pingsan, Bang. Aku harus nunggu izin dulu buat nolongin istri kamu?" tantangnya, berdiri dari kursi seolah siap tem-pur.

Aku mendengus pelan, lipatan di dahiku semakin dalam. "Cuma pingsan, Nay. Nggak usah lebay sampai bawa ke rumah sa-kit. Di rumah atau kantor juga bisa."

Nayla melangkah mendekat. Gesturnya penuh ama-rah. "Lebay? Kamu tahu nggak, dia udah tiga hari kurang tidur, kerja terus, sampai lupa makan siang. Ini, tuh, bukan cuma masalah pingsan, Bang. Kalau kamu memang peduli, kamu bakal tahu dia kenapa."

Aku menyilangkan tangan di d-ada, mencoba menahan rasa sebal yang mulai mende-sak keluar.

"Jadi, dia nggak bisa terima tugas, gitu? Kalau kayak gini, makin kelihatan kalau dia nggak kompeten."

Sejujurnya, aku tahu Ginela kerja ke-ras. Tapi, apa itu alasanku harus bersikap lembut padanya? Tidak ada yang memaksanya bertahan. Kalau terlalu berat, dia bisa menyerah. Sesimpel itu.

"Kompeten? Serius, Bang?" Nada suara Nayla naik satu oktaf. "Kamu tahu nggak, dia cuma mau nunjukin kalau dia bisa, nggak mau dianggap re-meh sama Sarah. Kamu malah ..."

Aku mengangkat tangan, menyuruhnya diam. Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan drama adik tiriku ini. Sebelum bisa membalas, ponselku berdering. Nama Mama tertera di layar. Aku menghela napas berat sebelum mengangkatnya.

"Gilang! Apa yang Mama dengar, ini benar? Ginela dibawa ke rumah sa-kit karena kelelahan? Apa yang kamu lakukan sebagai suami?" suara Mama meluncur ta-jam dari seberang.

Aku menutup mata sejenak, menahan keinginan untuk mengembuskan napas ke-ras.

"Ini nggak serius, Ma. Cuma pingsan biasa. Nggak perlu dipermasalahkan."

"Pingsan biasa? Jangan anggap sepele hal beginian. Mama Papa baru pergi seminggu, kamu udah nggak be-cus urus istri kamu. Gimana, sih, kamu, Gilang? Jangan lupa, kenapa mama mau menikahkan kalian. Itu semua karena—"

"Ginela baik-baik aja, Ma. Aku bakal urus ini. Nggak perlu panik."

Aku memotong dengan nada sedingin es, mencoba mengakhiri pembicaraan sebelum Mama memutuskan untuk ikut campur lebih jauh.

"Mama nggak panik, Gilang. Mama marah! Kalau kamu nggak bisa jagain dia, bilang aja. Kami bisa urus dari sini. Jangan sampai Mama harus turun tangan sendiri!"

Klik. Telepon ditutup sepihak, meninggalkanku dengan rahang menge-ras dan emosi yang menggumpal di da-da.

Aku menatap Nayla ta-jam. "Ini gara-gara kamu lapor ke Mama. Kamu bikin semuanya ribet."

Nayla tidak mundur sedikit pun. "Bagus kalau Mama tahu. Siapa tahu setelah ini, kamu bakal mulai peduli."

Peduli? Aku terkekeh pahit di dalam hati. Aku sudah cukup peduli dengan membiarkannya tinggal di rumahku dan bekerja di perusahaan. Kalau itu belum cukup, aku tidak tahu apalagi yang diharapkan dariku.

Aku berbalik, melangkah pergi tanpa keinginan sedikit pun untuk melihat keadaan Ginela. Aku tidak ingin berada di sini lebih lama. Lagipula, bukankah ini hanya pingsan biasa?

Samar-samar, aku mendengar suara Nayla disapa seseorang. "Nay, gimana keadaan Ginela? Udah sadar?"

Damar. Tentu saja. Aku menahan dengusan kesal. Entah kenapa, kehadiran pria itu di sekitar Ginela selalu membuatku tidak nyaman. Tapi aku mene-pisnya. Toh, aku tidak peduli, bukan?
 

***

GILANG 7

Baru sampai di rumah, aku langsung menuju dapur. Tenggorokan terasa kering setelah perjalanan dari rumah sakit.

Belum sempat aku membuka pintu kulkas, suara ceki-ki-kan Nayla dan Ginela sudah mengusik telinga. Entah kenapa, aku merasa mereka sedang membicarakan aku.

Aku mengambil sebotol air dingin, lalu menyandarkan tubuh di dekat kulkas. Sesaat mataku menangkap Ginela yang sibuk memo-tong ayam di piring.

Harus kuakui, wajahnya kelihatan segar setelah keluar dari rumah sakit. Lebih baik begitu, daripada aku terus-terusan menerima omelan dari Mama.

"Kamu nggak perlu lebay dengan drama pingsan segala," ucapku, tanpa berusaha menyembunyikan kekesalan.

Tangannya berhenti, tapi wajahnya justru berbalik ke arahku dengan senyum yang—entah kenapa—terlihat sangat menyebalkan.

"Drama pingsan? Wah, aku nggak nyangka. Jadi, aku ini kayak artis sinetron ya, di matamu?" katanya, sambil memegang da-da seolah-olah benar-benar tersentuh.

Aku mengembuskan napas pelan, mencoba menahan emosi yang memanas sejak tadi.

"Serius."

Dia malah terkekeh kecil dan entah kenapa itu makin memancing amarahku. Aku bukan nggak peduli. Tapi harusnya dia tahu, gara-gara dia pingsan, aku batal menghadiri rapat penting. Belum lagi telepon dari Mama yang isinya nggak jauh-jauh dari kalimat,

"Kamu nggak be-cus jagain istri."

"Mas Gilang kira aku mau pingsan gara-gara tugas dari Sarah yang mirip kerja rodi? Kalau aku memang mau drama, aku pasti langsung gulung-gulung di lantai sambil teriak, 'Aduh, Mas Gilang, tolong aku!'"

Ginela mengangkat tangannya, memutar-mutar jari seperti aktris sinetron yang overacting. Dan si-alnya, Nayla malah ceki-kikan di sampingnya.

"Sudah selesai leluconnya?" Aku memo-tong teater absurd itu dengan nada ta-jam.

Dia terdiam, tapi senyum di wajahnya masih tertinggal. Aku melangkah lebih dekat, menatapnya tanpa ekspresi.

"Ingat, ya. Kamu di kantor hanya seorang karyawan biasa. Nggak usah bikin banyak ulah yang mencari perhatian orang."

Aku benar-benar nggak habis pikir. Apa tujuannya bikin dirinya terlihat le-mah di depan semua orang? Kalau nggak kuat ya, mundur. Sesederhana itu.

"Ya, aku nggak pernah minta perlakuan khusus dari kamu, Mas. Intinya aku hanya ingin..."

Dia berdiri, melangkah ke arahku. Gerakannya santai, tapi ada sesuatu di wajahnya yang nggak bisa kujelaskan. Seolah-olah dia ingin membuktikan sesuatu.

Tiba-tiba, tubuhnya sedikit condong ke belakang.

"Aduh!"

Refleks, aku menangkapnya sebelum benar-benar jatuh. Tanganku memegang punggungnya, sementara tangan satu lagi menahan lengannya.

Untuk beberapa detik, aku bisa men-ci-um samar wangi lavender dari tubuhnya. Matanya yang membesar memandangku dengan ekspresi kaget, seolah dia juga nggak menduga aku akan bergerak secepat itu. Dan aku ... aku ben-ci mengakui kalau ada sesuatu yang aneh di da-daku.

Aku segera melepaskannya, berusaha menghapus sensasi aneh itu.

"Berhenti bikin drama, Ginela."

Dia tertawa kecil. "Aku beneran terpeleset, Mas. Sumpah, bukan drama."

Aku melirik lantai, memastikan tidak ada air atau sesuatu yang licin di sana.

"Kalau serius, kenapa aku nggak lihat ada air atau sesuatu yang bikin licin?"

"Ya ampun, Mas. Kamu jadi detektif sekarang? Niat banget investigasi aku," balasnya, masih dengan nada main-main.

Aku memilih tidak menanggapi, membalikkan badan dan berjalan keluar dari dapur. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, aku berkata tanpa menoleh lagi.

"Kurangi drama dari hidupmu."

Terdengar helaan napas panjang dari arah Ginela, diikuti suara Nayla yang jelas-jelas menahan tawa.

"Kenapa, sih, dia nggak bisa lunak sedikit pun? Apa nggak capek jadi es batu seumur hidup?" gumam Ginela, cukup ke-ras untuk kudengar.

Aku menggertakkan gigi, berusaha menekan emosi yang merayap di da-da. Bukan urusanku kalau dia menganggap aku menyebalkan. Aku cuma memastikan semuanya berjalan sesuai aturan. Tapi kenapa dia selalu berhasil bikin aku kehilangan fokus?
 

***

 

Hai, POV Gilang sampai bab ini. Jika berkenan baca versi tamat, klik aja bab per bab. Semoga novel ini dapat menghibur wktu luang. Sehat dan berkah selalu ya.

Nantikan novel Author berikutnya yang merupakan saudara kembar dari Gilang yaitu Galang yang berjudul CINTA LELAKI LUAR BIASA.

Thank you

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya POV GINELA
1
0
Tidak boleh ada yang tahu kalau kita suami istri. Di kantor kamu karyawan biasa, tak akan dapat perlakukan khusus dariku.Tapi kenapa dia kesal  ketika melihat aku senyum-senyum tak jelas dengan pria lain?😁😁😁
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan