MERTUAKU BUKAN MUSUHKU (PROMO)

0
0
Deskripsi

Buku ini sudah tamat di Karyakarsa. Postingan ini bersifat promosi. Ini adalah kisah spin off dari kisah Bastian dan Keysha (DEAR, MR. MANTAN)

https://karyakarsa.com/Herlinateddy/series/dear-mrmantan

KISAH AYU DAN KEVIN tamat di link berikut.

https://karyakarsa.com/Herlinateddy/series/mertuaku-bukan-musuhku

MERTUAKU BUKAN MUSUHKU (1)

"Semakin hari makin kurang ajar ya, kamu. Berani menceramahi Ibu?" Jari lentik ibu mengacung ke arah wajah Ayu yang tak bersahabat. Tatapan ibu tajam mengintimidasinya.

"Aku bukan menceramahi Ibu. Aku hanya enggak suka Ibu bawa wanita lain ke rumah ini. Lalu, Ibu jodoh-jodohin dia dengan Mas Kevin. Mas Kevin masih punya istri, Bu. Aku masih istri sah-nya."

Ayu menjawab dengan mengebu-gebu meluapkan emosi yang tersulut karena tahu rencana mertuanya membawa wanita lain. Dia tak rela wanita lain yang dimaksud itu menjadi orang duri dalam rumah tangganya.

"Heh, kamu enggak ngaca apa? Ngaku-ngaku status istri anakku tapi kelakuanmu tidak seperti seorang istri. Pergi pagi, pulang sore bahkan kadang sampe malam. Itu namanya istri? Nih, Ibu kasih tahu ke kamu, yang namanya istri itu ngurus suami dan anak di rumah. Syukur-syukur masih punya mertua, kamu bisa urus aku, bisa jadi ladang pahalamu."

Ibu masih memberi ceramah bak seorang psikologis rumah tangga yang paling handal. Tangannya dilipat di dada dengan nada dan wajah yang meremehkan kinerja menantu yang ada di depannya. Mulutnya dimajukan beberapa centi dan tatapannya masih sinis.

"Tapi yang aku lakukan di luar adalah bekerja, Bu. Bukan keluyuran ke sana, ke sini seperti dugaan Ibu." Ayu berusaha memberi alasan agar wanita yang usianya sudah tak muda itu tahu alasan dia di luar rumah yang kadang memang harus pulang larut malam.

Ibu dengan cepat menyela kalimat menantunya, dia tak ingin mendengar alasan apapun.

"Halah, alasan aja, kamu. Memangnya kamu kira anakku udah enggak sanggup nafkahin kamu lagi, pake acara kerja segala. Klise banget sih kamu jadi mantu."

"Sebelum menikah dengan Mas Kevin, aku sudah biasa bekerja, Bu. Lagi pula Mas Kevin juga tidak melarang aku membantunya cari nafkah. Kita juga sudah sepakat cara mengatur waktu. Kapan harus family time bersama dengan keluarga dan Safira."

Ayu berusaha menenangkan diri dan memberi penjelasan, walau dia tahu ibu dari suaminya itu tidak mau mendengar apa pun alasan yang diucapkan.

"Tetap aja Ibu tidak suka anak Ibu ditelantarkan karena istrinya sibuk bekerja. Ibu mau mantu yang diem di rumah, urus suami anak dan Ibu titik. Dan, sekarang ibu sudah dapat calonnya. Manda. Kamu suka atau tidak suka, terserah kamu. Ibu akan menyuruh Kevin menikah wanita pilihan Ibu."

Tatapan sinis dan tak bersahabat Ibu diberikan kepada Ayu yang sudah dari tadi berusaha bersabar. Ini bukan satu dua kalinya mereka berdebat. Ibu mertua yang dulu sangat menyayanginya, kini berubah menjadi ibu mertua yang sangat membencinya.

Ayu bahkan tidak tahu apa yang menyebabkan ibu mertuanya begitu tidak menyukainya. Sejak bertemu dengan Manda, perlahan ibu menjadi sosok yang pemarah, boros dan sombong. Mulut pedas bon cabe level seratus miliknya selalu menghujat dan memaki istri dari putra bungsunya.

"Maksud Ibu?" Ayu mengerti arti ucapan Ibu itu tetapi dia hanya ingin memastikan apa yang dia dengar tidak salah.

"Percuma katanya kamu pinter, lulusan S1, ucapan Ibu barusan kamu tidak mengerti. Lola banget otaknya. Nih, Ibu tegasin biar kamu bisa ngerti. Kamu buka telingamu lebar-lebar. Ibu mau Kevin menikah dengan wanita penurut kayak Manda. Manda lebih pantas menjadi istri putraku ketimbang kamu. Sudah paham?"

Bagai petir di siang bolong, tidak ada angin, tidak ada awan kelabu, tiba-tiba Ibu meminta Kevin menikahi Manda.  Bagaimana mungkin karena Ayu adalah wanita karir terus seenaknya saja diberi madu.

Apa menjadi wanita karir itu kesalahan yang fatal? Toh, selama ini Ayu membantu banting tulang untuk memenuhi kebutuhan. Padahal banyak ibu mertua di luar sana menginginkan menantunya bisa ikut turut andil dalam mencari nafkah, kok, mertua yang di hadapan Ayu ini bertolak belakang?

"Aku tidak mau punya madu, Bu. Aku juga yakin Mas Kevin tidak mau menikah dengan wanita mana pun. Mas Kevin sudah berjanji padaku akan setia sampai kami menua. Ibu tidak bisa sesuka hati untuk memberi keputusan apa pun dalam kehidupan rumah tangga kami." Mendengar ucapan ibu,  Ayu semakin yakin mertua ini tidak menyukai dirinya.

"Kenapa tidak bisa? Ibu yakin Kevin akan menuruti keinginan Ibu. Kevin adalah anak laki-laki Ibu yang paling patuh dan sayang kepada Ibu." sergah Ibu dengan napas yang memburu dan mata yang melebar seolah akan menelannya hidup - hidup.

"Lagi pula apa Ibu nyadar nggak, sih? Kalau dikasih madu itu hidupnya tidak enak banget. Bukannya dulu Ibu pernah dikasih madu sama mendiang ayah? Ibu sudah tahu kan gimana rasanya dimadu? Mengapa sekarang Ibu memberi madu itu kepadaku?"

Tak diduga, satu tamparan keras melayang dan membekas di pipi Ayu yang mulus. Dengan wajah yang memerah, mata Ibu melebar penuh kebencian ke arah menantunya yang berani membantah dan mengusik kehidupan masa lalunya.

"Beraninya kamu mendikte kehidupan masa lalu Ibu. Emang kamu kira kamu siapa? Hah? Apa Ibumu tidak pernah mengajari sopan santun? Dasar mantu tak tahu diri!" bentak Ibu dengan mengacungkan jemari lentik berkutek merah ke arah wajah menantu yang memerah.

"Aku hanya ingin Ibu buka mata dan mengingatkan kembali bagaimana perasaan Ibu kala itu. Itulah yang aku rasakan sekarang. Dimadu itu bukanlah sesuatu yang mengenakan. Ibu pernah merasakannya juga, kan?"

Dirinya tak menyangka mertua yang dulunya merupakan tempatnya berbagi dan bermanja kini tega melemparkan noda merah di pipinya.

"Kau!" Kelima jari itu bergetar, melayang siap membenturkan ke arah wajah Ayu lagi.

"Apa? Ibu masih mau menamparku? Nih, Bu!"

Kalimat lantang itu lolos begitu saja saat melihat tangan itu. Ayu mendekatkan pipi satunya lagi yang masih belum tersentuh ke arah ibu. Ayu menahan air berharga itu tidak luluh di hadapan sang mertua. Dia tidak mau tampak lemah di depannya.

Ibu mengepal tangan, matanya melotot seperti ingin mengeluarkannya dari rongga itu. Rona wajahnya memerah dan bibir yang bergetar. Terlihat napasnya makin memburu karena tersulut emosi.

Melihat reaksi dan kondisi Ibu seperti itu, terbesit di dalam hati Ayu berdoa jahat, semoga penyakit diabetes ibu kambuh dan segera masuk ke rumah sakit lagi. Sebuah bisikan busuk memaksa terlintas karena Ayu lelah mendengar mulut pedas boncabe level 100 yang selalu mengiris hatinya yang terluka.

"Ya, Tuhan. Maafkan hambaMu ini, karena kekesalan yang sudah lama kupendam selama ini, doa jelek meluncur di lisanku. Tarik kembali doa-doaku untuknya."

Ayu membatin sambil menghembus napas panjang, berharap udara yang keluar dari mulutnya dapat mengangkat kepedihan yang ada di hatinya.

"Ibu tak sudi punya menantu sombong sepertimu, pergi dari kehidupan anakku! Ibu juga berdoa semua gugatanmu segera dikabulkan hakim. Sekarang Ibu tidak mau melihat mukamu lagi, segera angkat kaki dari rumah ini."

Jari ibu menunjuk-nunjuk ke arah muka Ayu yang sudah hampir menumpahkan air bening. Wajahnya marah seperti singa yang siap menelannya bulat-bulat.

"Satu lagi, jangan pernah kau bawa Safira."

Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang didengar Ayu sebelum dia mengemasi semua pakaiannya.

"Mama!"

MERTUAKU BUKAN MUSUHKU (2)

"Mama!"

Sebuah panggilan itu menarik kesadaran Ayu dari ingatan tentang peristiwa itu. Ayu bergegas menyeka kristal yang tidak sengaja menetes dari rongga mata kala ingatannya berkeliaran di masa yang menyakitkan. Dia membentangkan kedua tangan menyambut gadis kecil yang kini berlari menuju ke dirinya.

"Hai, sayang. Mama sudah kangen dengan Safira." Ayu mencium kening gadis berumur empat tahun dengan cinta. Dia sudah menunggu putrinya 15 menit lalu untuk menjemputnya.

"Safira juga kangen banget."

Lucu sekali, gadis itu mengungkapkan perasaanya dengan menekan kata kangen yang sengaja ditarik panjang nadanya.

"Safira, yuk, masuk ke mobil. Nenek sudah menunggumu." Suara lelaki yang berstatus papa memberi titah kepadanya. Safira hanya mendongak melihat papanya dengan wajah cemberut.

"Ratih, tolong antar Safira ke mobil," lanjutnya tanpa menerima penolakan.

Safira dan Ratih, pengasuhnya pun berjalan ke arah mobil dengan langkah gontai. Mereka memilih patuh karena tidak berani menolak perintah tuannya.

"Lho, bukannya hari ini jatah aku bawa Safira, Mas?"

Ayu menautkan kedua alis, bingung dengan titah lelaki yang masih berstatus suaminya. Pandangan masih ke arah punggung putrinya ditemani Ratih yang berjalan menjauhi tempat dia berpijak. Tentunya dengan hati yang sangat dongkol untuk kesekian kali.

"Tapi hari ini Ibu mau ajak Safira ke acara keluarga, mau dikenali di keluarga besar." Kevin menjawab dengan perasaan sedikit bersalah, memandang si wanita berambut panjang.

"Enggak bisa gitu, Mas. Kita sudah sepakat. Senin sampai Jumat pagi Safira bersamamu. Jumat siang habis pulang sekolah sampai malam Senin Safira bersamaku." Nada Ayu sedikit meninggi, tidak terima alasan apa pun.

"Iya, tapi untuk hari ini tidak seperti itu dulu. Minggu depan kita jalani kesepakatan itu lagi. Ok? Tolong kamu pahami posisiku. Aku serba salah."

Ayu berdecak kesal, selalu saja seperti ini endingnya. Darahnya sudah memanas, naik sampai ke ubun-ubun.  Dia selalu saja dalam posisi yang harus mengalah dan mengalah. Sudah berapa karung kesabaran yang dia gadaikan untuk mempertahankan harga dirinya.

"Mas, kenapa selalu aku yang harus ngalah, sih? Bahkan untuk bersama anakku sendiri aja sekarang dilarang."

Sorot mata kekesalan tak bisa dibendung lagi. Namun untungnya, air mata yang berharga itu masih bisa dicegah untuk tidak ikut berdesakan turun.

"Siapa yang ngelarang? Masa iya, aku melarang mamanya bertemu dengan putri sendiri. Aku cuman bilang untuk Minggu ini saja tidak seperti itu. Jumat depan toh Safira akan ikut kamu lagi." Kevin masih berusaha memberi penjelasan dengan nada selembut mungkin.

"Apa? Cuma minggu ini? Kamu lupa Minggu lalu kamu juga bilang seperti itu saat kamu ambil alih Safira waktu pulang sekolah. Sekarang kamu bilang seperti itu lagi. Nanti Minggu depan apa lagi alasanmu?"

Ayu mencoba memaksa otak Kevin untuk memutar ke peristiwa Minggu lalu saat Kevin menjemput Safira sehabis pulang sekolah, alasannya sama, mau mengajak Safira ke acara ulang tahun teman ibunya. Mata Ayu tersorot tak bersahabat. Kesalnya sudah berada di puncak.

Kevin berdiri dengan gelisah. Sulit baginya untuk membantah semua kalimat yang dikeluarkan dari bibir sang istri. Dia mematung tanpa mampu memandang sorot mata mama dari Safira. Pandangannya dibuang jauh ke arah kendaraan roda empat yang terparkir gagah di seberang jalan. Dia tahu benar Ayu sedang kesal dan marah padanya untuk kesekian kali.

"Kalau kamu mau tetap bersama Safira hari ini, kamu boleh ikut acara keluarga ke Bandung bersamaku."

Setelah mengumpulkan semua keberanian, kalimat itu lolos meluncur dari bibir lelaki yang berkacamata itu. Nadanya lemah dan penuh pengharapan.

"Untuk apa?"

Ayu melipat kedua tangan di depan dada dengan suara lantang. Mata menyorot tajam ke lelaki yang sudah berdiri lima belas menit di depannya.

Kalimat itu berhasil membuat Kevin menoleh ke wajah cantiknya, tetapi dia hilang kata. Dia berusaha mengendalikan perasaan yang juga bergejolak di rongga dadanya.

Kevin berada di ambang kebingungan dalam frustasinya. Satu wanita yang melahirkan dan ladang surganya sedangkan yang satunya adalah wanita yang sudah dijanjikan untuk hidup bersama sampai menua.

Jika dia memihak kepada ibu, istrinya akan meradang. Namun, jika dia memilih istri, maka mendapatkan dosa karena dianggap anak durhaka bagi ibunya.

"Untuk dijadikan cemoohan Ibu kamu? Untuk dijadikan bahan lelucon di keluarga besarmu? Atau untuk dijadikan bahan ghibah kalian sekeluarga?" lanjutnya dengan perasaan pilu saat mengingat perlakuan Ibu kandung dari suami terhadapnya.

"Ayu! Kamu jangan terus menyudutkan Ibu dan keluargaku."

Kevin tidak suka dengan ucapan Ayu yang selalu memojokkan Ibunya. Tampak geram di wajahnya terlihat dari pembuluh di leher mulai kelihatan membiru.

"Emang itu kenyataannya, Mas. Kamu jangan terus berdalih apa yang sudah kamu tahu." Hatinya terasa tercubit ketika mengingat kembali semua perlakuan sang ibu mertua.

"Kamu tidak pantas mengatakan hal itu. Kamu tahu ibuku itu ibumu juga."

"Itu dulu, Mas. Sekarang sudah tidak.". Kata-kata yang terlisan terdengar santai. Dia memang berusaha terlihat baik-baik saja walaupun hatinya sudah memberontak.

Hatinya sering memanas ketika teringang mulut pedas mertua itu memaki, menyindir dan menghujatnya. Api kobaran menyala-nyala di dalam rongga dada ingin rasanya membalas semua perlakuannya. Namun, dia selalu berusaha menahan diri karena dia masih memandang mertuanya itu adalah orang yang tua. Catat, orang yang sudah tua, bukan orangtua.

"Sekarang masih, Yu. Kita belum resmi bercerai. Kamu masih istri sahku dan ingat, selamanya aku tidak mau cerai denganmu. Aku tidak akan mengucapkan kata talak untukmu."

Lelaki itu menguncang pelan kedua bahunya. Berulang kali kalimat itu dilontarkan agar sang istri yakin dengan ketulusan cinta yang masih ada di hatinya.

"Terserah, Mas. Aku capek, aku juga kecewa sama sikap kurang tegasmu," sahutnya sambil menepis kedua tangannya.

Awalnya Kevin memang selalu menyalahkan Ayu karena menganggapnya berani membantah ibu. Namun, belakangan ini sifat dan sikap asli ibu sudah mulai tercium olehnya. Lama kelamaan, dia pun berusaha membela Ayu walau kadang terpaksa membuat hati ibunya kesal.

Perlakuan ibu mertua dan tajamnya lidah membuat Ayu semakin tak betah untuk berlama-lama seatap dengannya. Selama proses gugatan cerai itu berlangsung, Ayu memilih hengkang dari rumah yang sudah dia tempati selama 9 tahun. Tak sanggup sudah rasanya dia terus mendapatkan wajah tak bersahabat dari ibu kandung suaminya. Apa lagi, ibu sudah berkali-kali mengusirnya.

Maka dari itu, masalah pembagian waktu bersama dengan putrinya selalu menjadi perdebatan antara Kevin dan Ayu.

"Kevin!"

Suara panggilan itu membuat Ayu membuang pandangan sejauh-jauhnya menghindari kontak mata pemilik suara itu.

Suara itu cukup membuat kepala Ayu berdenyut karena dia mengingat sesuatu hal di masa lalunya.

Bab 3 Perdebatan

"Kevin!"

Suara panggilan itu membuat Ayu membuang pandangan sejauh-jauhnya menghindari kontak mata pemilik suara itu.

Sementara Kevin memandang ke arah mobilnya dengan memicingkan mata.

"Jangan lama-lama, nanti kita telat lho." Suara seorang ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya ditanggapi dengan anggukan dan acungan jempol Kevin.

"Gimana, Sayang? Kamu jadi ikut?" Kevin masih berusaha mengajaknya dan berharap sang istri mau ikut bersamanya.

"Enggak usahlah, Mas. Mending aku ke rumah mama saja daripada dapat sindirian terus nanti di sana."

Kaki Ayu melangkah dan melewatinya begitu saja, tanpa menghiraukan raut wajah Kevin yang sudah berubah masam. Kevin yang sempat mencekal tangannya pun segera ditepis tanpa menoleh.

Ayu melangkah makin menjauh menuju ke mobil hitam yang dibeli dua tahun yang lalu, hasil cucuran keringatnya sendiri.

"Sial! Selalu saja begitu. Dasar nenek tak tahu diri. Selalu mencari ulah dan membuatku kesal," umpat Ayu setelah dia menghempaskan bobotnya di jok kemudi sambil memukul stir sebagai pelampiasannya.

Dari balik jendela ayu masih bisa melihat punggung Kevin makin menjauh menuju ke mobil kesayangannya. Sampai dia membuka pintu dan di balik kaca jendela bayangan tubuhnya terlihat samar-samar sedang menggunakan sabuk pengaman. Ayu juga melihat saat Kevin menoleh memandang ke arah mobilnya sebelum melajukan mobil.

๐Ÿ’—๐Ÿ’—๐Ÿ’—

Ayu memarkirkan kenderaan roda empat miliknya tepat di halaman rumah yang dia beli dari pinjaman kantor. Iya, setiap bulan Ayu harus menyetor sebagian uang gaji untuk menyicil angsurannya.

Ah, untunglah Ayu sudah bekerja lebih dari sepuluh  tahun di perusahaan itu sehingga atasannya mengabulkan pinjaman kepadanya. Kinerja Ayu saat bekerja juga diacungkan jempol oleh direkturnya. Posisi sebagai manajer keuangan yang digelut selama lima tahun itu memudahkannya untuk mengajukan pinjaman tersebut.

Ayu menghempaskan bobot badannya di sofa empuk berwarna coklat. Tubuh dan pikirannya cukup melelahkan hari ini. Memilih keluar dari rumah Kevin, memang membuat hidupnya lebih tenang, tetapi hatinya menjadi hampa tanpa kehadiran Kevin dan Safira. Hidup sendiri seperti ini bukanlah keinginannya. Dia hanya ingin menghindari perdebatan sengit dengan sang mertua yang hampir setiap hari terjadi.

Ayu merasa bingung dengan perubahan sikap mertuanya setahun belakangan ini. Selama Ayu dan Kevin pacaran zaman kuliah dulu, dirinya direstui dan disayangi mertua. Setelah menikah, mereka hidup pisah dengan orangtua. Namun, tiga tahun belakang ini setelah ayah Kevin meninggal, ibunya pindah dari Bandung ke Jakarta dan tinggal bersama mereka.

Dua tahun berjalan sebagaimana mesti mertua dan menantu yang harmonis. Akan tetapi, setahun yang lalu sejak ibu mengenal wanita janda yang bernama Manda, sikap ibu menjadi berubah. Ibu mengikuti berbagai kegiatan sosialita, mengenal yang namanya sosial media dan hidup lebih glamor.

Iya, Manda itu adalah teman arisan ibu yang umurnya jauh lebih muda dari ibu. Dia seorang janda kaya yang mengaku alasan perceraiannya karena dia sudah bosan dengan kelakuan kasar suaminya itu.

Wanita seksi berambut panjang itu semakin hari semakin akrab dengan ibu. Hampir setiap hari dia berkunjung  ke rumah sekadar mengantarkan makanan kesukaan ibu. Menurut Ayu, sikapnya memang sedikit berlebihan dan wanita itu kerap menjadi penyebab pertengkaran antara dia dengan ibu.

Mungkin karena Manda sering menghadiahkan barang mewah kepadanya sehingga ibu sering membanding-bandingkan Ayu dengan wanita itu. Ibu selalu menganggap dirinya adalah wanita yang pelit dan sombong.

"Lihat aja istri kamu itu, pelit banget sama ibu. Coba pernah enggak dia kasih Ibu uang?"

Ayu yang berada di kamar mendengar dengan jelas ucapan Ibu mengadu kepada putra bungsunya.

"Bu, kalo butuh uang, minta sama Kevin, bukan sama Ayu. Uangnya biar dia yang atur dan simpan. Dia punya hak atas keringat yang dia keluarkan. Bukan kewajiban dia juga nafkahi Ibu." Kevin membela.

"Bukan nafkahi Ibu, Ibu cuma minta buat bayar arisan bulan ini saja. Itu aja perhitungan banget." Ibu masih nyolot tidak mau kalah.

"Sini, biar aku yang bayarin arisan Ibu. Lagi pula uang bulanan sepuluh juta yang aku kasih ke Ibu itu cukup besar. Apa sudah habis? Ibu ke manain aja uang itu?" Nada Kevin sedikit menyelidiki.

"Uang yang kamu kasih, ya Ibu pake untuk kebutuhan sehari-hari. Buat bayar arisan, Ibu kan bukan ikut cuman satu dua arisan, Vin. Ibu enggak enak kalo ada teman Ibu ngajak, trus Ibu tolak. Mau taruh di mana muka Ibu? Lagi pula mereka semua tahu kalau anak Ibu posisinya GM, general manager. Mereka bisa perkirakan gaji kamu berapa." Alasan Ibu dengan nada mengebu-gebu.

"Iya, tapi enggak gitu juga cara menghabiskan uang."

"Eh,eh, jangan sembarang menuduh. Ibu itu enggak ngehabisin uang, Ibu itu nabung, na-bung. Dicatat. Arisan itu kan ngumpulin uang ke satu orang, nah, tiap Minggu dikocok, siapa yang dapat."

"Setelah itu?" tanya Kevin singkat sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Setelah itu ya, uangnya diambil sama yang punya nama di kertas itu."

"Lalu?" Kevin terus menanyakan dengan ketus.

"Lalu ... ya, boleh diambil pokoknya." Ibu mulai tidak nyaman dengan pertanyaan Kevin yang sedikit memojoknya.

"Uangnya dipakai buat traktir bu-ibu arisan lainnya kan? Bukannya itu sama saja menghabiskan waktu untuk kumpul dan hura-hura untuk kesenangan, Bu?"

Terlihat raut geram di  wajah Kevin yang kini sudah tahu ternyata sang ibu suka bersenang-senang dengan teman sosialita. Dia tahu dari status ibu yang sering mem-posting dirinya bersama teman-teman berada di cafe-cafe ternama di Jakarta.

"Ehh, kamu kok jadi ngatur-ngatur Ibu sih? Eh, dulu zaman kamu sekolah, apa Ibu pernah ngelarang kamu jajan ini-itu? Apa Ibu pernah nunggak uang sekolah dan uang kuliah kamu? Waktu kamu kecil, apa pernah kamu merasa kelaparan? Hah? Ibu merawatmu dengan baik tanpa kekurangan apapun." Mata ibu melotot, wajahnya pun mulai memerah, urat-urat di leher mulai muncul.
 

"Cukup, Bu. Kenapa jadi Ibu ngungkit apa yang sudah Ibu berikan kepadaku? Ibu ikhlas enggak sih?" Suara Kevin tak kalah lantang ketika mendengar ibu mengungkit jasa-jasanya.

"Kamu duluan yang bahas-bahas dan ngelarang Ibu pake uang kamu." Ibu membuang wajah ke sembarang arah, tidak berani menatap mata Kevin yang sudah tersorot kemarahan.

"Bukannya ngelarang, Bu. Hanya saja aku minta Ibu untuk tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak begitu penting. Zaman sekarang sudah berubah. Dulu apa-apa masih gampang diraih, sekarang beda. Untung saja sekarang Kevin bekerja di posisi yang bagus karena bantuan teman. Untung juga perusahaannya masih bisa bertahan. Banyak teman Kevin lain yang di-PHK." Kevin menjelaskan.

"Oh, sekarang kamu kasih ceramah ke Ibu? Siapa yang ajarin? Istri kamu yang sok hebat itu? Dia yang sudah racuni dan menghasut anak Ibu yang penurut ini?" Kini, mata ibu berani ditolehkan ke arahnya setelah kalimat pedas itu terlisan di bibir itu.

Selalu saja ujung-ujungnya nama Ayu yang disalah-salahkan jika sudah terjadi seperti itu. Padahal Kevin sendiri yang semakin lama semakin tahu kelakuan dan sifat ibunya.

"Ibu jangan sangkut-pautkan masalah ini dengan Ayu. Dia tidak pernah memanas-manasin Kevin. Apa lagi yang Ibu bilang tadi, menghasut atau apa lah itu. Ini hanya pemikiran Kevin sendiri."

Bab 4 Pesan Gambar

Satu pesan masuk ke ponselnya membuyarkan lamunan peristiwa perdebatan Suami dan mertuanya. Waktu itu Ayu berada di kamar yang tidak sengaja menguping pembicaraan mereka.

Aku meraih dan membaca pesan masuk dari Keysha, sahabatnya.

[Yu, besok jadi ketemu di cafe biasa kan?]

[Iya. Jam 12 ya.] Dengan cepat dia membalas pesan itu.

Padahal Ayu sudah berencana membawa Safira bertemu dengan Keysha besok di salah satu mall. Begitu pula dengan Keysha, akan mengajak Alexa dan Gita sekadar silahturami. Namun, itu semu hanya wacana saja.

๐Ÿ’—๐Ÿ’—๐Ÿ’—

"Sudah lama, Yu?"

"Hai, aku baru datang kok, tuh lemon tea udah setengah aku kandaskan." sindir Ayu dengan senyuman kecut.

"Yey, kamu nyindir apa gimana nih? Sorry lama, maklum punya bayi tiga bulan, urus ini itu. Repot benar." Keysha menghempaskan bobotnya di sofa hitam yang empuk.

"Mana Gita dan Alexa?" Mata Ayu liar menyapu ke sekeliling mencari kedua anaknya.

"Sama papanya. Habis aku mikir barangkali kamu mau curhat sesuatu yang rahasia. Jadi, aku minta Bastian kasih ruang kepada kita biar lebih leluasa jika ingin ngobrol."

"Memang Bastian bisa mengurus bayi kalian?" Ayu menautkan kedua alis.

"Ada pengasuh yang membantu. Aku enggak sanggup urus sendiri. Wuih, lagi aktif-aktifnya si Alexa. Sekarang aja udah mulai tengkurep." Keysha sangat antusiasi jika sudah membahas tumbuh kembang si kecil. Ayu mangut maklum.

Keysha dan Ayu memesan makanan sebelum mereka menyelami membincangkan  permasalahan yang sedang Ayu hadapi.

"Aku dengar kamu gugat cerai? Apa kamu sudah yakin, Yu. Aku rasa setiap permasalahan dalam rumah tangga ada jalan keluarnya, bukan harus diakhir dengan perceraian."

"Aku lelah, Key. Kamu tidak merasakan di posisiku. Tapi aku berdoa semoga selamanya kamu tidak akan ada di posisi seperti itu."

Keysha menatapnya lekat dan membaca ekspresi wajah yang sedang gundah dan sendu. Namun, dia tidak tahu persis apa yang sedang dialami sahabat yang duduk di hadapannya itu. Keysha hanya mendengar sekilas dari suaminya apa permasalahan inti, itu pun dia dengar dari Kevin.

Bastian selalu berpesan agar tidak ikut campur permasalahan orang lain. Namun baginya, Ayu bukanlah orang lain. Dia sudah menganggapnya seperti saudara sendiri.

"Aku yakin Kevin tidak mau perceraian itu kan?" Keysha bertanya dengan hati-hati agar menjaga perasaannya. Matanya masih menatap wajah manis itu.

Ayu tak langsung menanggapinya. Tangan sibuk memutar-mutar gelas yang ada di genggamannya. Pandangan kosong fokus di wadah bening yang isinya hampir kandas. Hatinya tercubit kala mengingat ide konyol yang dia rencanakan tentang perceraian itu.

"Aku dengar dari Bastian, Kevin sudah berusaha mempertahankan hubungan kalian." Keysha masih berusaha memberi pernyataan yang dia ketahui dari suaminya.

Ayu masih bergeming. Sepertinya dia masih mengumpulkan semua perasaan yang sudah berserakan entah kemana. Dia sudah berusaha sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga itu, tetapi ketika dia kembali harus berdebat dengan ibu mertua, pertikaian dengan Kevin pun tak terelakkan lagi. Iya, akar dari pertengkarannya dengan Kevin hanya satu yaitu ibunya.

"Mungkin kamu ingin berbagi, Yu?"

Keysha pindah posisi dulu ke sampingnya sambil mengelus punggung wanita itu. Dia tahu Ayu sedang berada di kondisi yang tidak baik-baik saja. Dia melihat raut mendung yang tertaut di wajahnya.

Bukannya makin tenang, Ayu akhirnya terisak dan tak sengaja mata yang sudah berembun tadi lolos mengeluarkan bintik-bintik air yang jatuh setetes demi setetes. Dia merasa masalah yang dihadapi semakin rumit dan dia berada di jalan buntu.

"Sini, peluk."

Keysha menarik tubuhnya ke dalam pelukan, berharap dia dapat menenangkan wanita itu. Keysha mengelus dan menepuk halus ke punggungnya sambil berbisik.

"Aku akan ada selalu untuk kamu. Kamu bisa ceritakan semuanya kepadaku agar semua kepenatan dalam rongga dad@mu menjadi longgar."

Ayu menarik diri setelah merasa dirinya mendapatkan kehangatan, menyadari betapa berharga dia di mata sahabatnya. Keysha membantu mengusap air mata yang ada di pipi cantiknya. Ayu pun mulai tersenyum dan bercerita.

"Kamu tahu kan ibu Kevin?"

Ayu membuka mulut setelah acara menangis dan pelukan. Keysha mengangguk menanggapinya.

"Beliau mertua yang baik, lembut, sabar dan penyayang tetapi itu dulu. Dia sudah tiga tahun dia tinggal bersama kami setelah ayah Kevin meninggal. Dua tahun pertama masih oke, biasa saja. Baik dan penyayang seperti biasanya kepadaku. Nah, setahun belakang ini sejak dia ikut arisan dan kumpul dengan teman sosialitanya, aku merasakan perubahannya. Gayanya sedikit nyentrik dan boros."

Ayu menghela napas panjang, berharap semua sesak di dadanya dapat keluar bersamaan dengan udara yang keluar dari mulutnya.

Keysha menatap dan masih setia menunggu kelanjutan kisah yang tak pernah diceritakan sahabatnya itu.

"Kamu tahu, dulu dia tidak pernah membentak, menghina bahkan tidak pernah melotot ke arahku. Sejak setahun belakang ini, apa yang aku lakukan selalu salah di matanya. Ngatain aku menantu sombong, menantu tak tahu diri, pelit, pembangkang, pemalas karena tidak pernah beberes di rumah. Ya, secara aku kerja seharian, masa iya pulang kerja aku harus ngepel lagi. Udah untung pagi aku sempatkan bikin sarapan dan masukkan cucian di mesin cuci."

Suara Ayu makin meninggi, wajahnya menahan emosi. Hatinya tercubit, merasa dirinya adalah menantu yang paling tidak beruntung di dunia ini. Keysha yang menyadari perubahan rona wajahnya, mengelus punggungnya berharap Ayu menjadi lebih tenang.

"Lagi pula, dulu aku punya bik Imah yang ngurus rumah dan masak, malah dipecat sama ibu. Alasannya klise, ibu tidak suka ada orang lain di rumah. Padahal selama dua tahun pertama, ibu enggak apa-apa tuh, sejak satu tahun belakang ini aja ibu rada aneh."

Ayu menunduk, matanya sendu, wajahnya mendung seketika, terlihat sekali dia sedang sedih meratapi perubahan sang mertua. Tangannya terus memutar gelas yang berisi setengah lemon tea yang sudah tidak dingin lagi, esnya sudah mencair dari tadi.

"Kamu tahu alasanku keluar dari rumah Kevin? Ibunya menampar dan mengusirku." lirih Ayu dengan kepala masih menunduk. Suaranya terdengar parau.

Keysha merasa semakin iba terhadapnya setelah mendengar perilaku buruk sang mertua. Untuk masalah mertua, Keysha tidak sanggup berkomentar. Hanya kata sabar yang disarankan kepadanya. Secara, dia tidak mengalami hal yang sama. Ibu Danisa, mertuanya sangat menyayanginya dan selalu dimanja sejak empat belas tahun lalu kala dia masih menyandang pacar Bastian. Apa lagi ini menyangkut orangtua Kevin, salah satu sahabatnya juga. Dia tak berani menyatakan apa-apa yang menyangkut mertuanya.

"Maaf, Yu. Aku tidak bisa memberi solusi apa pun kepadamu. Hanya saja aku pegang hal prinsip penting. Gembok tidak pernah dibuat tanpa ada kuncinya. Jadi ibaratnya, tidak mungkin suatu masalah itu tanpa ada solusi. Bersabarlah, masalah jangan dihadapi dengan kasar, tetapi disikapi dengan sabar."

Ayu menoleh dan pandangan mereka saling mengunci, saling menggenggam erat tangan memberi dukungan dan semangat. Walau mendengar petuah Keysha, hidupnya tidak langsung berubah. Setidaknya, semangat dan mood-nya seperti di-charge kembali. Seketika rona wajah Ayu menjadi lebih ceria seperti mentari bersinar di pagi hari. Mereka saling melempar senyuman terbaik sebelum bunyi ponsel Ayu terdengar.

Bip ... Bip ...

Satu pesan chat masuk ke ponsel milik Ayu. Dia segera meraihnya dari tas.
Chat dari aplikasi hijau berupa gambar yang dikirim dari orang yang paling menyebalkan dalam hidupnya.

"Gimana  aku mau bersabar, Key?"

Rona wajahnya kembali mendung. Dia menunjukkan pesan gambar itu kepada Keysha dan mencoba menahan air mata itu agar tidak tumpah. 

Bab 5 Cemburu

Keysha meraih ponsel yang disondorkan Ayu kepadanya. Jarinya menari di atas layar hitam itu sambil memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Beberapa kali dia menelan ludah sekadar membasahi kerongkongan yang mendadak kering. Kalau saja dia ada di posisi Ayu sekarang, pasti akan merasakan hal yang sama ketika melihat foto yang dikirim wanita ganjen itu.

"Mereka pergi bersama, kamu tidak tahu?" tanya Keysha pelan tanpa menoleh, matanya masih tertuju pada gambar itu.

"Kemaren Kevin bilang ada acara keluarga di Bandung. Aku tidak tahu kalau wanita itu pun ikut serta."

"Kamu tidak bertanya kepada Kevin sebelumnya? Atau Kevin tidak mengajakmu? Seenggaknya status kamu masih istri sahnya, harusnya yang dia ajak itu kamu, bukan wanita ini." Keysha bertanya dengan hati-hati menjaga mood-nya agar tidak berubah menjadi kacau lagi.

Ayu membuang pandangan ke luar cafe. Sorot mata itu memandangi pengunjung mall yang lalu lalang, membuat bola matanya ikut bergerak ke sana sini tetapi dengan tatapan kosong.

"Aku tidak yakin kalau Kevin mengajak wanita itu. Aku dengar berkali-kali dari Bastian kalau Kevin itu masih mau mempertahankan rumah tangga kalian."

Jawaban dari wanita itu membuat Ayu menoleh ke arahnya. Dia tahu apa yang diucapkan Keysha semuanya hampir benar. Kevin memang selalu menyatakan bahwa tidak akan ada kata talak yang ke luar dari mulutnya. Berarti masih ada cinta yang tulus untuknya.

"Tadinya Kevin memang mengajak aku ikut acara keluarga di Bandung tapi aku tolak." Wajah Ayu yang tadinya mulai riang, kini meredup lagi.

"Kenapa kamu tolak, Yu? Harusnya kamu ikut terus, jangan sampai beri kesempatan wanita itu pepet suamimu."

"Aku tidak mau berada di dekat mertuaku lagi. Aku tidak tahan mendengar semua umpatan yang keluar dari mulut bon cabe mertuaku, Key. Kamu paham maksudku?" Nadanya meninggi ketika terlintas mengingat kata-kata tajam sang mertua terhadapnya.

Seketika Keysha terdiam dan menatap maklum ke wanita yang matanya mulai berembun. Hati itu mendadak gelisah, tangan sibuk memijat pelipis yang terasa cenat-cenut karena frustasi.

"Mungkin kamu harus tanya langsung ke Kevin, apa maksud dari foto itu. Mengapa mereka bisa foto bareng dan bertemu di sana?"

Ayu memajukan bibir beberapa centi dan menggeleng. Jarinya menekan layar ponsel dan melihat status apa saja yang ter-updated. Manik matanya tertuju pada status ibu mertua yang baru sepuluh menit lalu di-posting.

Lagi-lagi dia harus menahan gejolak belenggu itu ketika membaca caption dan foto-foto yang diunggah ibu mertua. Tadi dia tidak berniat membuka status WhatsApp itu tetapi jiwa keingintahuannya begitu berkobar. Hatinya memberontak antara mau atau tidak. Dan akhirnya,  jari tidak sinkron dengan perasaannya.  Foto itu pun terpaksa dipandang dengan hati yang tercabik-cabik.

Keysha yang ikut mengintip status itu di ponsel milik Ayu mulai merasakan kegundahan. Dia bahkan tak bisa menerka apa yang sedang dipikirkan Ayu. Namun dia tahu, sahabatnya kini dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

๐Ÿ’—๐Ÿ’—๐Ÿ’—

[Pasangan yang sangat serasi, Ibu yakin kalian akan menjadi keluarga yang paling bahagia]

Satu caption yang cukup berhasil membuat bad mood Ayu untuk melakukan aktifitas apapun. Belum lagi foto unggahan ibu yang mungkin sengaja membuat hatinya memanas. Sebuah foto Kevin yang sedang menggendong Safira dan Manda berada di sampingnya dengan gaya sedang berjalan.

Iya, jika ada orang yang tidak mengenal mereka, orang tersebut akan menerka kalau saja mereka adalah pasangan suami-istri di mana seorang ayah sedang menggendong putrinya sementara wanita di samping adalah ibu dari anak tersebut.

Perasaan yang namanya cemburu itu tentu saja terpatri di hatinya. Bagaimana mungkin dia rela suami gantengnya itu berjalan bahkan bersanding seperti yang ada di dalam foto itu.

Tak dipungkiri Ayu kalau Manda memangnya sosok wanita yang cantik, seksi, dad@nya montok, bibirnya menggoda, kulitnya putih dan mulus. Wanita itu memang mempunyai semua syarat untuk dikagumi kaum Adam jika dilihat dari fisiknya. Namun, untuk sifatnya entahlah, Ayu belum mendapatkan bukti kebusukannya.

Sepertinya memang Manda itu janda yang pinter merawat diri dan menghabiskan banyak uang untuk mengoplas wajahnya. Terlihat dari bibir, hidung dan alisnya terlihat sangat sempurna, tetapi sudah bukan asli ciptaan Tuhan.

Jarinya kembali menuju ke pesan yang dikirim Manda sebelum dia melihat unggahan Ibu di status. Foto yang sama dengan foto postingan ibu. Heran, mengapa dia sengaja mengirimkan foto kebersamaan itu? Apa dia ingin membuat hatinya tercabik? Kalau itu tujuannya, iya, Ayu mengaku dia memang berhasil melakukannya.

Ayu diburu api cemburu seolah melihat kemesraan mereka di foto itu nyata. Tak habis pikir, suaminya tega melakukan hal itu kepadanya. Mana bukti janjinya akan menua bersama? Bukankah Kevin juga mengatakan akan setia dan tidak mau menceraikannya? Lantas, apa maksud dari foto ini?

Bahkan Kevin sudah tahu, akar pertengkaran yang selalu terjadi di antara mereka adalah Ibu yang selalu ikut campur. Dengan alibi Ayu adalah  istri yang tak becus dan sombong  sehingga ibu harus membencinya.

"Bisa enggak sih kamu hormat dengan Ibu, Ibu itu orangtua aku,  mertua kamu."

"Dia bukan sapa-sapa aku lagi. Dan bahkan sebentar lagi akan menjadi mantan mertua." ucap Ayu dengan sengaja menekan kata mantan.

"Tapi dia tetap selamanya menjadi nenek Safira. Kamu anggap enggak status itu?" Lelaki berkacamata itu terus menyahutinya.

"Apa dia anggap aku ibunya Safira? Istri kamu, Mas. Aku masih menghormati ibumu sebagai orang yang tua ya, bukan sebagai mertua lagi." Ayu langsung menyela.

"Kenapa sih kamu benci banget dengan ibuku?" tanyanya tajam dan ketus.

"Karena dia duluan yang benci dengan aku tanpa sebab. Dia yang usir aku dari rumah suamiku sendiri. Karena dia juga kita harus pisah seperti ini, kamu sadar enggak sih, Mas?" ucap Ayu dengan mengepalkan tangan. Matanya mulai memanas.

"Ibu tidak benci dengan kamu. Ibu hanya tidak suka lihat sikap pemberontak dari kamu." Kevin mulai menurunkan nada suaranya, dia melihat rona marah di wajah istrinya.

"Sikap pemberontak gimana sih maksud kamu? Membiarkan dia membawa perempuan lain ke rumah kita, terus dijodoh-jodohin ke kamu, gitu? Aku sebagai istri kamu, apa harus kamu diam aja, gitu?" Ayu terus menimpali meluapkan kekesalannya.

Kevin menatap dan menggenggam tangannya. "Tapi kenyataannya sekarang aku masih belum menikahi dia kan. Kamu aja kelewat cemburu."

"Belum, Mas. Aku enggak tahu ke depannya bagaimana. Soalnya aku lihat ibu masih ngotot. Tinggal tunggu waktu saja. Lagi pula kamu kan anak yang berbakti, enggak mungkin akan durhaka sama ibu kamu kan?" ketus Ayu sambil berusaha melepas tangannya.

"Ayu, kamu?" balas Kevin menggantung dan menghela napas panjang. Kesal dengan semua tuduhannya.

"Apa? Geram? Nyesek? Aku lebih geram dan nyesek diperlakukan ibu kamu selama ini Mas. Aku capek."

Itulah kalimat terakhir perdebatan mereka sebelum Keysha dan Bastian datang menghampiri mereka di Mall Minggu lalu.

Selengkapnya ada di link Karyakarsa

https://karyakarsa.com/Herlinateddy/series/mertuaku-bukan-musuhku


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya CALON SUAMI 1-5 (FREE)
1
0
Dapatkan FULLPART dengan paket mudah dan hemat. Akses baca 30hariAsal kamu tahu, bukan pria itu yang pantas menjadi calon suamimu, tapi aku. (Raynald)Untung aja aku tak jadi menikah dengannya. Dengan begini, aku jadi tahu siapa sebenarnya pria yang layak jadi suamiku kelak. (Nadine)Percayalah, aku dijebak. Aku bahkan tak punya alasan menolak menikahinya karena akal busuk yang direncanakannya demi memisahkan kita. (Farrel)Bagaimana rasanya di posisi ini? Enak, kan? Itulah yang dirasakan mama saat ibumu datang merebut papaku. (Evalina)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan