
Ikuti Kisah Kenzie dan Naura
Bab 3
"Maaf!" kataku sambil berjongkok, memungut pecahan gelas yang berceceran di lantai.
"Apa-apaan ini? Bisa kerja enggak sih?" bentak tamu laki-laki itu dengan lantang.
Suara itu membuat beberapa pasang mata pengunjung yang duduk di sekitar, menatap ke arah sumber keributan. Kudengar langkah sepatu sang manajer mendekat. Habis deh, aku!
"Maaf, Pak, Bu, apa ada yang terluka?" Manajer itu berusaha menenangkan dengan menanyakan keadaan tamunya.
"Tidak ada," jawaban lelaki ketus. "Karyawan baru ya? Teledor banget." Tatapan tajam penuh keangkuhan, kulihat dia menahan amarah dengan mengepal tangan.
"Iya, Pak. Maaf, kami ganti minuman yang baru. Maaf, Pak." Berulang kali sang manajer berucap maaf agar tamu tersebut tidak marah sembari menarik lenganku menjauhi mereka.
Lantai pun dipel karyawan lainnya agar kafe terjaga bersih. Suasana pun mulai kondusif serelahnya.
"Kamu gimana sih? Masih mau kerja enggak?" Omelan pak manager dengan nada yang tak enak didengar.
Aku membetulkan kacamata yang sudah melorot dan memilih diam, tidak memberitahu tentang penyebabnya. Aku tidak sengaja menumpahkan minuman itu lantaran aku syok melihat apa yang akan mereka lakukan barusan.
Masa, bermesraan di depan umum seperti itu. Jijik rasanya. Ih, amit-amit deh. Di mana rasa sopan dan rasa malu itu? Mungkin aku anak kampung yang masih menganut adat. Menurutku, tidak pantas melakukan hal tadi di depan umum. Mataku sakit melihat adegan 21+ itu.
"Nih anterin lagi minumannya. Awas kalau kenapa-kenapa lagi."
Manajer itu mengancam dengan mata sedikit melotot. Mengambil nampan dan aku mengantar dengan hati-hati. Tentu saja, setelah sampau di meja itu, aku mendapati tatapan sinis tak suka dari mereka berdua.
"Maaf, ini minumannya."
Lalu, aku bergegas kabur dari tempat yang beraura panas. Entah apa yang mereka bicarakan lagi setelah itu, tak kupedulikan lagi.
"Naura, sini!" Suara manajer itu memanggilku.
Waduh, gaswat nih. Apa gajiku akan dipotong lagi ya?
Aku mendekati dengan sedikit gugup karena selain dapat pemotongan gaji, aku bakal dapat omelan lanjutan dari manajer galak itu.
"Minuman yang tumpah tadi, kamu yang tanggung ya. Bulan ini gajimu dipotong satu gelas jus jeruk dan gelasnya tadi pecah kan?" Jari manajer itu menari-nari di tuts kalkulator. Matanya memicing melihat sejumlah angka.
"Totalnya segini." Manajer menunjukkan nilai yang ada di layar kalkulator ke arah wajahku.
"Tapi Pak tadi, aku enggak sengaja, Tadi ...."
Aku berusaha memelas meminta belas kasihan darinya. Masa harus dipotong lagi, sudah tahu gajiku cuman satu juta setengah. Lagipula tadi aku tidak sengaja, gara-gara mereka aku jadi tak konsen dan refleks.
"Tidak ada tapi- tapi. Semua orang melakukan kesalahan pasti mengaku tidak sengaja, alasan saja kamu. Mau dipecat kamu?" Suara galaknya makin terdengar dan mata yanh sipit dilebar-lebarin, biar dapat kesan galaknya.
Ck, aku sudah tahu, pasti akhirnya akan seperti ini. Kemarin, telat lima menit dipotong dua puluh ribu, sekarang jus dan gelas pecah dipotong lima puluh ribu. Wah, lama-lama gajiku habis buat potong kesalahan-kesalahan yang tidak fatal itu.
Kuhela napas pasrah. Iyalah, apa yang bisa kulakukan lagi? Daripada kehilangan pekerjaan dan tidak mendapatkan uang sama sekali. Ya, kan?
"Masukkan nominal yang harus diganti nona ini ke tagihanku. "
Suara asing dari arah belakang terdengar jelas di rongga telingaku.
Membalikkan badan dan aku menemukan lelaki tampan berkaos hitam ketat, terlihat jelas bentuk otot dadanya. Lelaki berambut cepak ini adalah lelaki yang aku tubruk tadi saat aku buru-buru keluar dari kafe ketika mencari pemilik kotak hitam tadi.
Aku membatu sesaat menatap lelaki yang sudah melepaskan kacamata hitamnya. Wajah senyuman yang memamerkan lesung pipit di salah satu pipinya dan sorot mata yang sangat bersahabat.
"Tolong bawa tagihannya ke mejaku," pinta lelaki tampan itu sambil memutar badan menuju ke meja tempat dia duduk tadi.
"Naura, ini, antar bill-nya!" Manajer menyerahkan map hitam kecil berisi tagihan di dalamnya. Kini, kulihat wajah itu sedikit berbinar.
Mendatanginya dengan map tagihan di tangan kemudian kuletakkan map itu di meja sambil menggigit bibir menahan gugup. Bukan gugup takut, tapi gugup merasa terkesima, kok, zaman sekarang masih ada orang yang peduli dengan keadaanku. Mana ganteng pula, beda sama cowok di sebelah tadi. Ganteng sih, cuma angkuhnya ketulungan.
Btw, dia sudah punya pacar belum, ya? Pengen daftar, jika belum.
Diraihnya map, lalu dia mengeluarkan dua lembar uang kertas merah kemudian diselipkan ke dalam map.
"Ambil kelebihannya, buat tips kamu." Lelaki itu bangkit dari duduk, mendekati dan menyerahkan map kepadaku.
Aku mengambil map hitam dari tangannya, "terima kasih, Pak, eh, Om, eh, salah Mas."
Aku kok jadi salah tingkah gini ya? Wahai otak, tolong sinkronkan hati dan pikiran. Jangan membuatku terlihat bodo di depan lelaki keren ini.
Sejurus itu, dia melengkungkan bibir,"sama-sama." Lalu, pria bertindik di telinga kiri itu berlalu melewatiku, pergi menuju pintu kafe.
Langkah pria itu membawa desiran angin menghembus wangi parfum segar khas lelaki, membelai indra penciumanku. Adem rasanya.
Aku mengintip tagihannya ternyata hanya 122 ribu setelah pajak. Berarti sisanya berapa? Gede banget tips untukku.
Astaga, sudah ganteng, tak pelit pula. Duh, suami idaman.
Bab 4
POV Author
"Kenzie, jangan lupa waktunya tinggal seminggu lagi. Jika tidak membawa tunanganmu, saham 30%-mu hilang direbut Om Sandy." Maya mengingat cucunya. Walau usia sudah kepala tujuh, tetapi wajahnya masih terawat dan cantik.
"Ih, nenek kok tega banget? Olive tidak bisa aku ajak hadir. Minggu ini jadwalnya padat syuting di Singapura." Kenzie menjelaskan alasannya, minta pengertian sang nenek.
Wanita yang masih tampak muda itu mengangkat kedua bahu bersamaan. "Ya, Nenek tidak tahu, apa pemegang saham lain bisa memaklumimu apa tidak."
"Ayolah, Nek. Nenek 'kan sesepuh di perusahaan itu, Nenek pasti bisa mengambil keputusan untuk tidak mematuhi aturan konyol itu."
Kenzie memelas sambil memeluk wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya, berharap wanita mengabulkan permintaannya.
Iya, Kenzie menjadi anak yatim piatu sejak dia masih kecil. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan dan dia sudah lupa kejadian itu. Nenek pun tidak menceritakannya secara detail. Sepertinya Kenzie tidak pernah mengungkit kejadian pahit itu lagi karena kasih sayang nenek kepadanya begitu besar. Itu sebabnya lelaki tegap itu tidak berminat sedikitpun menanyakan cerita memilukan itu.
Nenek merawat Kenzie dibantu beberapa pelayan di rumah ini. Semua keinginannya selalu dipenuhi. Kakek Kenzie baru meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit stroke yang akhirnya melemahkan organ jantungnya.
Anggara Group adalah perusahaan yang dimiliki keluarga nenek Maya yang merupakan perusahaan keluarga yang jumlah sahamnya sudah dibagi-bagi. Perusahaan ini mencakup bidang pertambangan, perhotelan dan real estate.
Nenek mendapatkan bagian saham terbesar sebanyak 40%, Om Sandy merupakan anak bungsu nenek mendapatkan saham 30%, sedangkan papa Kenzie juga sama mendapatkan saham 30%. Karena papanya sudah tiada, maka peralihan saham akan ditujukan atas nama Kenzie sebagai anak. Namun, tentu dengan satu syarat yang harus Kenzie penuhi yaitu menikah.
Hm, tentu saja, ini menjadi ancaman yang terbesar dalam hidupnya. Semua keinginan dapat diraih dalam satu genggaman, tetapi mencari istri merupakan masalah terbesarnya. Olivia yang diajak nikah, selalu menolaknya. Alasannya klise, wanita itu mau meniti karir dulu. Haduh!
"Cari gadis lain yang mau menjadi istrimu. Tidak usah pusing-pusing mikirin yang tidak pasti." Nenek Maya menjawab asal sambil menyesap teh hijau hangat yang ada di tangan kanan.
"Nek, cari istri itu tidak sembarang, butuh komitmen yang panjang. Aku sudah cocok dengan Olivia. Selain cantik, dia juga pintar, seksi, baik ..." Kenzie memuji pacarnya dengan antusias.
"Namun, Nenek tidak melihat ada kecocokan di antara kalian." Nenek menaikkan salah satu alis setelah meletakkan kembali cangkir putih di meja.
Kenzie mendecak. "Karena Nenek belum pernah ketemu Olivia langsung. Nenek hanya lihat dia di tipi doang. Olivia itu gadis yang menyenangkan, hamble. Aku yakin kalau nanti Nenek ketemu dia, pasti akan suka dengannya."
"Mana dia? Dia mau bertemu nenek tidak?" Nenek semakin menantang Kenzie dengan nada sedikit mengintimidasi.
"Nah itu, Nek. Olivia lagi sibuk syuting. Nanti pasti ada waktunya dia bertemu Nenek." Kenzie langsung merangkul bahu wanita tua itu, sengaja mau mengambil hatinya.
"Nanti kapan?" jawab nenek singkat.
"Ih, Nenek tak sabaran banget, sih." nada Kenzie sengaja menggoda. Dia tahu bagaimana cara mengambil hati wanita senja itu, hanya saja saat ini, nenek terlihat sangat tegas, sulit diprediksi apa maunya.
"Iya, Nenek sudah ingin nimang cicit." Nenek membalas godaannya sambil menerbitkan senyuman di wajah.
Refleks Kenzie membalas menyunggingkan senyuman demi menyembunyikan kecemasan atas permintaan sang nenek. Dia tidak menjawab lagi, kalimat yang ada di otaknya pun mendadak hilang, entah kemana. Kehabisan kata-kata ketika dia membahas tentang sang pacar yang tidak pernah mau diajak kenalan dengan nenek.
"Nenek yakin banyak gadis di luar sana antri mau sama cucu Nenek ini. Lihat ketampanan cucu Nenek ini, siapa yang akan menolak pesonanya?"
Tangan keriput memegang kedua pipi cucu yang tampan itu dengan tatapan hangat.
"Pilih aja satu gadis yang baik-baik. Jangan sampai terlambat, sebelum hak sahammu diambil Om Sandy. Ingat, Minggu ini acara peralihan nama. Ada pertemuan pemegang saham, komisaris dan beberapa saksi di depan notaris."
Lalu, wanita berambut putih itu melepaskan tangan sang cucu yang sedari tadi memeluk manja.
"Jangan lupa bawa gadis yang akan manjadi istrimu. Kalau kamu tidak punya calon, biar nanti nenek siapin buat kamu."
Nenek pun berdiri dan berlalu meninggalkan Kenzie dengan pikiran yang masih kalut seperti benang kusut. Entah harus bagaimana caranya membujuk Olivia untuk hadir di acara penting itu.
Acara itu pasti acara formal karena dihadiri notaris dan pejabat perusahaan lain. Sel-sel otaknya pernah menerka, kira-kira ide siapa yang membuat aturan konyol itu, jika mau mendapatkan bagian saham perusahaan maka orang tersebut sudah berumahtangga.
Shit! Kenzie memaki dalam hati sambil mengacak rambutnya. Frustasi. Dia merogoh saku dan mengeluarkan benda persegi canggih. Jarinya menekan cepat tombol yang ada di layar lalu nama Olivia yang dihubungi. Dia mencoba melakukan video call dari aplikasi hijau. Sambil menunggu jawaban dari sang pacar, dia merapikan rambutnya yang tadi diacak. Dia harus tampil sempurna di hadapan bidadarinya.
Tak lama terlihat wajah Olivia yang sangat cantik di matanya sedang senyum menyambut.
"Hai, Sayang, kangen ya?" sapaannya ditanggapi dengan anggukan Kenzie.
"Kok kusut wajahnya, kenapa, Sayang?" Olivia membaca guratan kekacauan di wajah lelaki itu.
"Hari Minggu bisa balik Jakarta? sehari aja, bisa ya, please!" Tanpa basa-basi Kenzie langsung mengutarakan maksudnya melakukan video call.
"Aduh, Sayang. Aku 'kan sudah bilang. Kamis aku berangkat, pulangnya Selasa. Jadwalku sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Sudah fix diatur manajerku. Kamu sudah tahu sebelumnya kalau syutingku kali ini penting banget. Itu ending filmnya di Singapura. Bisa diomelin produser kalau aku tiba-tiba batalin syuting. Tar dia bilang aku enggak profesional, enggak bisa kerjalah." Olivia beralasan panjang lebar tanpa memberi jeda.
Entah sudah beberapa kali, Kenzie harus mendengar alasan klise itu. Dia pun berdecak kasar, antara bingung atau harus marah. Bingung harus bagaimana lagi membujuk sang kekasih pujaan hatinya itu. Marah? Apa daya marah hanya bisa memperburuk hubungan mereka. Kenzie tak tega memarahinya, rasa sayang untuk wanita itu melebihi untuk dirinya sendiri.
"Penting? Penting mana, syuting atau aku?" Terpaksa Kenzie menanyakan hal yang harus dia tahu. Dia kesal kalau wanita itu lebih memilih karir daripada dirinya.
"Oliv, sudah?" Terdengar suara di seberang sana.
"Sayang, aku sudah dipanggil, aku syuting dulu ya. Tar aku hubungi kamu lagi. Muach!" Wanita langsung mengakhir video call itu tanpa menunggu tanggapannya.
Kenzie membanting ponsel di sofa tempat dia duduki, mengusap wajah dan menjambak rambutnya. Dia menyandarkan punggung, menghela napas panjang dan memejamkan mata. Dia berada dalam pilihan yang sulit saat ini, kehilangan saham karena tidak membawa calon istri atau kehilangan Olivia dengan menggandeng perempuan lain pilihan nenek.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
