
Sinopsis
Ini adalah lanjutan kisah cerita yang berjudul Dear, Mr.Mantan. Jika ingin lebih dapat feel dari cerita ini, para reader bisa baca terlebih dahulu cerita tersebut.
Kisah antara Keysha dan Bastian adalah kisah cinta yang tidak pernah usai. Walau takdir memisahkan mereka berkali-kali, takdir juga mempertemukan mereka kembali. Meski dengan keadaan yang sudah berbeda, tetapi mereka masih menyimpan rasa yang sama.
***
"Kamu mau enggak jadi istri kedua suami aku?" Tisna memperjelas ucapannya lagi...
MAAF, AKU MASIH MENCINTAI SUAMIMU (1)
"Key, mau sampai kapan kamu seperti ini? Apa kamu enggak bosan sendirian terus?" Tisna menggerutu untuk kesekian kali membahas masalah yang sama.
"Selama ini aku enggak sendiri, Tis. Kamu 'kan tahu, aku ada Gita yang menemaniku."
Keysha menjawab sekenanya saja, tanpa menoleh ke arahnya. Matanya fokus di depan laptop mengecek stok baju yang ready.
Tisna mencondongkan tubuh mendekati meja dan kedua tangan berpaku di atasnya. Keysha enggan menanggapinya karena dia tahu sudah sekian banyak teman lelaki yang dikenalkan kepadanya, tetapi dia belum memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan pasangan hidup. Namun, Tisna masih berupaya mengubah pola pikir Keysha.
"Beda dong kalau yang itu. Anak dan suami itu porsinya tidak bisa disamakan. Kenapa sih, masih milih-milih?"
"Aku enggak milih-milih. Cuman ya, belum ada yang cocok," sahutnya sambil mengambil gelas yang berisi green tea hangat, kemudian menyesapnya pelan.
Sebenarnya dia malas membahas masalah perjodohan yang dilakukan Tisna untuknya. Tisna pun ikut menyesap green tea hangat sekadar membasahi bibir yang kering dan kemudian lanjut mengintrogasinya.
"Tipe lelaki seperti apa yang kamu suka? Selama ini yang aku kenalin ke kamu, lelaki yang mapan, ganteng, baik, dan rata-rata sudah duda juga, sih. Atau, apa kamu lebih suka lelaki perjaka?" Tisna terkekeh, menutup mulut dengan telapak tangan.
"Mau duda, perjaka, sama aja buat aku. Yang penting dia bisa menyayangi keluarga, menyayangi Gita, bisa anggap Gita sebagai anaknya juga, cukup itu aja, sih. Enggak harus kaya, enggak harus ganteng seperti yang kamu sangka."
Keysha tidak peduli dengan ledekan rekan bisnis yang sedang menertawakannya. Tak punya waktu untuk mikiri itu, mending dia menghitung jumlah uang hasil dari penjualan kemarin.
"Gimana mau tahu, dia, tuh, sayang atau enggak, kamu begitu aku kenalin, besoknya mereka mau ajak kencan, kamu tolak. Sampe-sampe mereka urungkan niatnya lanjutin hubungan dengan kamu gara-gara dichat enggak dibalas, ditelepon enggak diangkat." Tisna yang usianya dua tahun lebih muda darinya masih sibuk mengomel kala teringat keluhan lelaki-lelaki itu.
"Aku sibuk makanya enggak sempat balas ama angkat telepon mereka."
"Kamu, tuh ya, terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Kapan kamu urus dan mikirin diri sendiri?" celotehnya, kemudian memasukkan emping balado di mulutnya.
"Kamu enak, masih punya suami, jadi enggak gitu mikirin cari uang, beda sama aku. Aku masih harus berjuang untuk kehidupan yang layak untuk Gita."
"Justru itulah, Key. Cari pasangan hidup yang bisa meringankan bebanmu. Suami yang bisa bantu mencari nafkah untuk kamu dan Gita. Selain bisa menjadi pemimpin, juga bisa jadi pelindung kalian. Suami itu bisa menjadi teman curhat, tempat mengadu, dan pembimbing untuk Gita."
Tisna terus berceramah, tak peduli Keysha mendengarkannya atau tidak. Keysha menatap sekilas wanita berambut pendek yang dari tadi mendesak untuk mengakhiri masa jandanya, lalu menggelengkan kepala sambil berdecak.
"Aku bosan mendengar kalimat itu, sudah ribuan kali kamu katakan kepadaku. Apa kamu enggak bosan mengatakan itu lagi itu lagi ke aku, Tis?"
Tisna cengengesan setelahnya.
"Lagipula , kamu tahulah, Gita. Semua lelaki yang mendekati bundanya, akan mendapatkan tatapan sinis darinya. Dia akan mengintrogasi aku habis-habisan dan akan melarang keras aku meladeni lelaki itu. Dia mau aku setia dengan almarhum ayahnya. Dia terlalu cinta dengannya. Katanya, apa bunda udah enggak cinta sama ayah? Apa bunda lupa sama cinta ayah?"
Wajah Keysha mulai serius membahas akar masalah yang dari tadi dibahas Tisna. Berkali-kali dia menghela napas kalau mengingat putri satu-satunya itu mengeluh.
"Itu tugas kamu di mana harus kasih pengertian. Kalau kita menikah lagi bukan berarti kita lupa dengan almarhum. Anak usia remaja seperti dia, jalan pikirannya memang lagi masa kritis-kritisnya. Sikap berontaknya, masa puber, emosi yang tidak stabil." Tisna berkomentar seperti mengerti banyak hal yang menyangkut tentang sikap dan sifat anak.
Keysha menghela napas lagi dan merasa bosan dengan pembahasan tentang dirinya.
"Jangan dibahas lagi, bisa pecah kepalaku memikiran hal ini. Kamu juga enggak usah terlalu pusing juga masalah itu."
Keysha memijat pelipisnya beberapa kali lalu menyusun beberapa kertas yang berantakan di meja itu kemudian beranjak dari tempat duduk.
"Ngomong-ngomong, gamis yang kemarin aku order ada dua kodi, udah kamu proses belum? Stokku di Bandung menipis. Kapan akan dikirim?"
Keysha meliriknya sekilas lalu melangkahkan kaki menuju ke meja kasir, menyerahkan uang receh ke Shinta, karyawannya.
Tisna adalah distributor pakaian lokal yang cukup sukses. Banyak pedagang pakaian menjadi agennya, mengambil produk dan akan dijual kembali. Salah satunya ya, Keysha. Sudah empat tahun setelah kematian Ikbal, dia berusaha semaksimal mungkin tidak terpuruk dalam kesedihan yang terlalu mendalam.
Selama empat tahun itulah sejak mengenal Tisna, sebagai distributor, barang dagangannya bisa dijual dengan harga bersaing. Lambat laun, usahanya makin lancar, penjualan meningkat, bahkan bisa mempekerjakan enam karyawan di dua butik berbeda, dua orang di Jakarta dan empat orang di Bandung.
"Iya, sore ini, supirku, Mang Udin akan bawa ke sini. Oke? Sorry telat, soalnya gamis itu baru selesai diproduksi, baru keluar dari garmen. Kami kewalahan karena permintaannya lagi banyak sementara kita sedang kekurangan anggota juga."
Tisna menjelaskan alasan keterlambatan pengiriman barang, lalu mendatangi Keysha yang pindah posisi duduk di meja yang biasa digunakan untuk makan.
"Yuk, makan!" Keysha membuka kotak makanan tupperwar* berwarna biru dan mengajak makan bareng.
Tisna buru-buru mengambil sendok, hendak menyomot makanannya, tetapi tangan itu tertahan sejenak ketika melihat isi kotak makanan tersebut.
"Ogah, ah," tolaknya.
"Kenapa?" Keysha menautkan alis karena kebingungan dengan penolakannya.
"Udang balado?"
Keysha mengangguk.
"Enggak doyan seafood." Dia meletakkan kembali sendok di meja lalu duduk di samping dengan wajah cemberut.
Keysha tidak berkomentar, hanya memamerkan lesung pipitnya. Beda dengan dirinya yang dari dulu memang suka makanan laut. Lantas, bukan berarti dia tidak suka dengan daging ayam atau sapi, tetapi memang dia akan lebih milih makanan laut ketimbang daging yang lain.
"Eh, suamiku juga doyan seafood, aku enggak," ucap Tisna seraya mencomot emping balado lagi yang ada di meja.
Keysha masih masa bodo dengan ocehannya. Dia lebih memilih makan karena cacing dalam perutnya sudah meronta, minta asupan. Secara, sekarang sudah pukul 03.00 sore, lambung itu belum diisi apa-apa sejak pagi tadi.
"Eh, selera kamu sama dengan selera suamiku ...." Dia menahan kalimat dan menoleh ke arahnya, "Gimana kalau kamu jadi madu aku aja?" Tisna berucap setengah berbisik.
Keysha terbatuk seketika setelah mendengar ide konyol dari wanita yang sedang menatapnya dengan senyuman yang mencurigakan.
"Maksud kamu, apa?"
Bab 2
"Maksud kamu, apa?"
Suara Keysha diperkecil sambil menepuk da d4 karena masih belum nyaman. Matanya melotot kesal setelah selesai meneguk air. Dia tak percaya dengan apa yang barusan didengar. Walau merasa lapar, tetapi dia yakin indra pendengarannya masih bisa mencerna dengan baik.
"Kamu mau enggak jadi istri kedua suami aku?" Tisna mengulang ucapannya dengan nada sumringah. Kali ini dia mengucapkan kalimat tersebut dengan pelan agar Keysha bisa menyimaknya.
"Kamu udah gila?" Keysha menatap tajam ke arahnya, "Entar aku disangka pelakor dalam rumah tangga kalian."
Dia menggeleng tak percaya dengan idenya dan yang herannya lagi melihat Tisna masih bisa terlihat tenang sembari senyum-senyum tak jelas.
"Enggak dong, kan atas persetujuan aku. Beda kalo pelakor, dia merebutnya diam-diam di belakangku. Kalau kamu beda, aku yang izinkan suamiku menikahimu untuk dijadikan istri keduanya."
Keysha berdecak kesal, tidak bisa berkata apa-apa. Lalu berasumsi sendiri kalau otak sahabatnya itu mengalami konslet dan tidak berfungsi normal. Jadi harap maklum kalau Tisna sedang tidak bisa berpikir jernih sehingga rela menghadirkan orang ketiga dalam rumah tangganya.
Hening beberapa waktu, pintu kaca toko pun terbuka. Sosok Gita, putri tunggal Keysha masuk ke dalam. Dia baru pulang dari sekolah, tubuhnya masih melekat seragam SD yang akan ditinggalkan tahun itu.
"Sore, Bund, Tante." Gita dengan senyuman tercantiknya menghampiri dan mencium tangan Keysha kemudian tangan Tisna.
"Hari ini ada jadwal les, Nak? Agak sore hari ini," tanya Keysha.
"Iya, Bund. Les matematika." Anak berusia sebelas tahun itu duduk di samping bundanya.
"Udah makan, Nak?" Keysha memberi potongan udang ke mulutnya.
Mulutnya menerima udang yang disodorkan kemudian mengunyah, sedangkan kepalanya mengangguk menanggapi pertanyaan Keysha.
Tisna memindai Gita secara detail sejak dia masuk sampai duduk di samping bundanya. Wanita itu sedang mencari cara meyakinkan si gadis untuk bisa membuka hatinya menerima sosok ayah baru yang sudah ditawarkan untuk Keysha.
"Git, maaf, Tante mau tanya." Tisna mengedipkan mata memberi isyarat kepada Keysha agar memberi kesempatan baginya untuk berbicara.
"Iya, Tante. Mau tanya apa?"
Gita memandangnya kemudian beralih ke wanita yang ada di samping. Jujur, dia merasa agak aneh dengan sikap formal Tisna saat itu. Biasanya jika mau tanya sesuatu, si tante tidak pakai izin segala. Tisna berdehem dan menegakkan posisi duduk sebelum berucap.
"Hm, Tante pengen tahu kira-kira bagaiman kriteria ayah baru yang Gita harapkan?"
Pertanyaan yang terlontarkan spontan membuat Gita membuang wajah ke arah lain, ingin menghindari kontak mata dengan Tisna. Pertanyaan yang malas untuk dijawab sebab bocah itu paling anti membahas tentang masalah itu. Ini juga bukan pertama kalinya Tisna bertanya kepadanya. Selama itu juga Gita memilih menghindar dengan alasan mau bikin pr atau hendak ke toilet. Sama dengan detik itu, dia pun berajak berdiri dan pamit.
"Maaf, Bund, Tante, Gita ke kamar dulu, mau istirahat."
Lalu, dia pergi ke ruang belakang yang disekat partisi, yang sulap menjadi tempat untuk istirahat Keysha dan Gita ketika siang hari. Kepergian anak itu membuat Keysha menaikkan kedua bahunya.
"Kamu lihat, kan? Dia belum bisa menerima ayah baru. Jadi, please. Kamu jangan bahas hal ini di depannya."
"Ya, niatku, kan bagus. Aku hanya ingin bantu kamu menjelaskan bahwa bundanya juga berhak bahagia dengan kehadiran sosok suami baru."
Baru saja, Tisna mengakhiri ucapan dan menyandarkan punggung ke kursi yang ditempatinya, mereka mendengar suara Gita berteriak.
"Aw! BUNDA, TOLONG!"
"Gita?" Mereka melebarkan mata karena kaget dengan suara teriakannya.
Keysha, Tisna dan kedua karyawannya bergegas berlari masuk ke ruangan Gita berada.
"Gita? Ada apa?" Suara Keysha bernada panik.
"Itu, Bund. Itu ...." Gita menunjuk bawah kolong meja di sudut ruangan.
"Apa? Itu apa?" Keysha semakin panik karena tidak tahu apa maksudnya. Dia melihat wajah ketakutan Gita yang menginjak kursi seperti menghindari sesuatu.
"Jijik, Bund. Tikus, itu di kolong meja." Suara terbata-bata dan wajah masih diselimuti ketakutan.
"Mana, mana? Bunda pun jijik sebenarnya."
Keysha ikut-ikutan naik ke kursi dengan wajah ngeri. Tisna yang mengerti keadaan, pun buru-buru keluar lalu mencari dan mengambil sapu dan menyerahkannya ke Shinta.
"Ini Mbak, tolong usir pake ini!"
Dengan raut geli, Shinta dan Sari memberanikan diri mendekat lokasi itu dan memancingnya dengan menyodok-nyodok sapu ke bawah kolong. Berharap membuat hewan tersebut terasa tertekan dan memilih keluar dari persembunyiannya.
Tak lama kemudian, tikus itu pun keluar dari kamar dan terbirit-birit menuju pintu keluar. Tak berpikir lama, Sari berlari dan membuka pintu yang terbuat dari kaca setelah mengetahui arah larinya hewan yang berwarna abu-abu tersebut.
"Tuh, kan, aku bilang juga apa? Kita memang butuh yang namanya laki-laki dalam situasi tertentu."
Tisna mulai percakapan setelah mereka meredakan rasa takut. Mendengar itu, Keysha pun mencubit lengan wanita itu dan memberi isyarat supaya dia tidak membahas hal itu lagi.
"Ih, apaan sih, yang aku bilang itu benar adanya. Kalau ada kejadian begini, apa yang bisa kita lakukan? Kalau ada laki-laki, mereka bisa dengan cepat mencari cara atau menangkapnya. Enggak kayak kita tadi, puter-puter, teriak-teriak nggak jelas ke sana kemari."
Ocehannya itu membuat Keysha dan Gita melengos dan malas menyahutnya.
"Makanya, Gita. Enggak apa-apa kalau Bunda mau memulai hubungan baru dengan lelaki. Kali aja dapat ayah sambung yang baik, yang sayang dengan Gita juga."
Melihat Gita hanya diam setelah mendapat ocehan itu, Keysha segera menarik tangan Tisna.
"Hari makin sore, yuk, mendingan kamu pulang deh, kamu juga butuh istirahat, kan?" Keysha menariknya sampai di depan pintu, kemudian menyeretnya ke mobil.
"Iya, iya, aku pulang. Tapi yang tadi kudu kalian pertimbangkan. Kalian sesungguhnya butuh sosok pelindung ...."
Tak sempat dia melanjutkan kalimat, Keysha sudah berhasil membawa tubuhnya masuk ke dalam mobil kemudi.
"Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai, jangan lupa chat aku, ya. Bye."
Keysha melambaikan tangan dan segera masuk ke dalam toko. Setelah melihat mobil Tisna melaju meninggalkan toko, wanita itu bisa membuang napas lega. Lalu, ia menghampiri Gita yang sudah enggan pergi di kamar untuk istirahat.
"Git, kamu jangan terlalu ambil pusing omongan Tante Tisna, ya. Tante memang kayak gitu tapi niatnya sebenarnya baik. Cara mengungkapnya saja yang agak keliru."
Gita mengangguk dan memandangi wanita yang melahirkannya itu dengan datar.
"Gita belum mau ayah baru, Bund," lirihnya membuat Keysha mengangguk.
"Memangnya Bunda sudah tidak cinta kepada ayah lagi?"
Bab 3
"Memangnya Bunda sudah tidak cinta kepada ayah? Pertanyaan si anak membuatnya tersenyum.
"Ayah adalah suami terbaik dalam hidup Bunda. Lelaki yang sabar, penyayang, lembut dan pekerja keras. Walau ayah sudah tiada, tapi semua kebaikan dan cintanya selalu ada di hati Bunda."
Keysha menggenggam tangan putri tunggalnya dengan erat. Ada sedikit basah di sudut mata tatkala ia mengenang kembali kepergian Ikbal secara mendadak. Kala malam itu, seperti mimpi tetapi kenyataan pahit tersebut harus ditelan sendiri.
Saat polisi mendatangi rumah mereka dan memberi kabar kalau Ikbal adalah korban pembegalan yang dilakukan sekelompok orang yang keji, ia seolah-olah tak percaya pada kabar yang memilukan hati. Baru saja pagi itu, Ikbal pamit berangkat kerja seperti biasa, tetapi di malam hari ia mendapatkan kenyataan bahwa jasadnya yang tak bernyawa.
"Bun, kenapa?"
Sebuah tepukan halus mendarat di bahu, sontak mengagetkan dan membuyarkan lamunannya. Keysha memijat kembali dahi yang terasa nyeri.
"Nggak apa-apa. Mungkin Bunda hanya kecapean saja."
Lalu, dia memejamkan mata beberapa saat. Berat rasanya hidup sendiri, memang. Menanggung beban yang entah siapa bisa diandalkan. Kepada siapa dia akan berbagi? Keluarga satu-satunya tertinggal hanya ada Naila dan Elina?
Naila, mamanya masih tetap tinggal bersama Elina, adiknya. Kini Elina sudah menikah dan mempunyai sepasang anak balita yang lucu. Anak laki-laki berusia lima tahun, dan perempuan masih dua tahun. Sang ibu memilih tinggal bersama adik dengan alasan agar dapat melihat keadaan cucunya saat Elina dan suaminya bekerja. Ada Bu Lita, pengasuh Gita waktu kecil yang masih setia berkerja untuk Naila.
Memang diakui, Keysha butuh lelaki untuk menjadi pendampingnya. Namun siapa? Belum ada yang pas di hati. Apalagi status janda yang disandangnya sekarang, membuatnya tidak percaya diri dan risih dengan stigma embel-embel yang beredar di masyarakat. Janda diidentikkan dengan wanita penggoda, lemah dan haus kasih sayang.
Rata-rata lelaki bujang yang dikenalkan Tisna lebih memilih mundur ketika keluarga mereka mengetahui status jandanya. Beberapa lelaki duda juga memilih mundur ketika mendapatkan sikap dingin dari Keysha.
Jujur, hatinya belum siap menerima perhatian dan perasaan dari lelaki manapun. Sosok Ikbal belum bisa tergantikan di hatinya. Itulah sebabnya dia lebih memutuskan menjadi janda selama empat tahun dan fokus berjuang untuk kehidupan Gita.
"Bun, Gita pengen cari guru les gitar. Ini gitar ayah, kan, tapi Gita tidak bisa memainkannya." Gadis itu sedang memeluk gitar milik almarhum dan bergaya berpura-pura sedang bermain gitar.
"Ada tugas SBDP di sekolah, belajar alat musik gitar. Gita takut nilainya jelek gara-gara tidak bisa memainkannya. Coba kalau masih ada ayah ya, Bun. Soalnya rata-rata teman Gita diajari ayah mereka."
Raut wajah kecewa dan kesedihan terpampang di sana. Keysha dapat membaca ekspresi itu di wajah gadisnya dengan hati yang perih. Namun, dia bisa apa? Dia pun tak mau kehilangan Ikbal secepat itu.
"Kasihan sekali kamu, Nak. Di usiamu yang baru tujuh tahun dulu, kamu sudah menyandang anak yatim." Dia membatin iba.
"Enggak apa-apa, nanti kita cari guru les. Oke?"
Keysha membelai rambutnya yang lurus dengan lembut dan memberi senyuman tulus. Mendengar kalimat bundanya, wajah Gita seketika menjadi semangat.
"Benar ya, Bun?"
Keysha mengangguk mengiyakan. Lalu, Gita pamit pergi ke Indojuli yang berada di seberang toko untuk membeli cemilan.
"Mau ditemani mba Shinta?" tawarnya kemudian dia menggelengkan kepala.
"Enggak usah, Bun. Cuma sebrang doang kok." Gita meletakkan kembali gitar di meja.
"Ini uangnya, cukup?" Keysha mengeluarkan uang merah dua lembar dari dompetnya.
Gita mengangguk dan berucap terima kasih dan menyimpannya di dompet. Pandangannya berada di satu titik dan tersenyum saat ia melihat foto yang terselip di dompet tersebut. Foto dirinya, Keysha dan Ikbal yang sedang senyum bahagia.
"Kamu hati-hati, ya, Nak."
Keysha berpesan setelah Gita mencium tangannya dan melangkah keluar toko lalu menyebrang ke minimarket berwarna biru-putih itu.
Sejak hidup berdua, mereka cenderung lebih mandiri. Apa pun yang mereka lakukan, sebisanya dilakukan sendiri. Dulu, Keysha tidak bisa mengendarai motor, sekarang ke mana-mana harus pakai kendaraan itu untuk berpergian. Hidup menjanda saat itu membuatnya lebih dewasa, mandiri dan tegar dalam menghadapi situasi. Dia juga mengajari Gita tentang banyak hal untuk bertahan hidup.
***
Setelah memilih cemilan untuk dirinya dan Keysha, Gita menyeret kaki menuju kasir dengan tangan kanan menenteng keranjang merah. Bertanya tagihan, Gita pun mengeluarkan uang merah selembar kemudian menunggu kembalian. Setelah selesai bertransaksi, anak cantik itu keluar dari minimarket dengan menenteng kresek putih.
Di depan minimarket Gita melihat penjual siomay yang membuat perutnya menggelitik seketika. Dia pun menghampiri dan memesan beberapa siomay untuk dibungkus dan makan di toko. Dia mengeluarkan dompet, lalu tanpa hati-hati dompetnya dijambret oleh orang yang tidak dikenal.
Dia kaget dan refleks teriak.
"Jambret, tolong! Itu dompetku ...."
Gita pun ikut berlari ke arah lelaki yang mengambil paksa dompetnya. Namun, langkah lelaki itu lebih cepat darinya. Hal itu tak membuatnya putus asa, dia tetap berlari sebab tidak rela foto dalam dompetnya ikut menghilang.
Tak lama, Gita melihat sosok lelaki berkemeja hitam yang ikut berlari dan mendahuluinya. Langkah itu begitu cepat meninggalkannya. Lantaran kelelahan, Gita menghentikan pengejaran dan mengatur napas yang terengah-engah. Kakinya terus melangkah pelan. Pikirannya kacau tatkala membayangkan jika dompet tersebut benar-benar hilang, dia harus bagaimana? Ada foto keluarga yang sangat berharga di sana.
Dari kejauhan, Gita melihat lelaki berkemeja hitam itu berjalan menghampiri dari arah berlawanan. Dengan napas yang masih belum stabil, dia memicingkan mata dan mencoba mengingat wajah lelaki itu.
"Ini dompetmu?" tanya lelaki yang usianya tidak muda itu sambil menyodorkan dompet pink miliknya.
Buru-buru Gita meraih dan langsung mencari keberadaan foto keluarga yang ada di dalamnya.
"Ah, syukurlah masih ada."
Dia mencium foto tersebut dengan hati lega. Lelaki dewasa itu mengernyitkan dahi dan mencari apa yang membuat gadis kecil tersebut begitu gembira setelah melihat dompetnya kembali. Padahal, uang di dalam dompet tersebut sudah tidak ada.
"Tetapi uangnya habis, Nak. Om nemu dompet itu di jalan. Dia buang setelah mengambil semua uangmu. Om pikir Om tidak perlu mengejarnya lagi." Pria itu menjelaskan.
"Iya, nggak apa-apa. Asal jangan ini yang hilang." Gita menunjukkan foto itu sekilas dan kembali menutup dan menyimpan dompet tersebut di saku celananya.
"Makasih ya, Pak, eh, Om. Maaf, kalau salah panggil." Dia mengangkat kepalanya melihat wajah lelaki bertubuh tinggi tersebut.
Lelaki bermata elang itu memberi senyuman ramah sambil mengangguk.
"Maaf, saya duluan."
Gita menunduk lalu membalikkan badan dan menuju ke abang penjual soimay tadi.
"Bentar ya, Bang. Aku ke toko dulu, nanti aku bayar," katanya setelah dia menghampiri abang siomai itu dan mengambil bungkusan.
"Ini berapa, Bang? Biar aku aja yang bayarin dulu." Tiba-tiba lelaki dewasa tadi mengeluarkan dompet.
"Enggak usah, Pak. Aku tinggal nyebrang kok. Nanti aku kembali lagi buat bayarin siomaynya." Gita menolak dengan halus. Dia tidak mau punya utang kepada siapapun.
"Enggak apa-apa, biar kamu juga tidak usah bolak-balik lagi. Repot, kan, kamu harus nyebrang sana-sini lagi. Banyak mobil, bahaya." Dia mengeluarkan uang hijau satu lembar. "Ambil kembaliannya."
"Kalau gitu, Bapak ikut aku ke toko, nanti aku kembaliin uangnya. Soalnya uangku habis dijambret tadi." Gita masih kekeuh
Mendengar ajakannya, lelaki itu tersenyum tipis lalu mengikuti langkah bocah yang belum diketahui namanya. Dia menuntunnya menyebrang menuju ke toko yang dituju. Niatnya bukan meminta utang dua puluh ribu, dia hanya ingin gadis cantik itu sampai ke tujuannya dengan selamat.
"Bentar ya, Pak, aku ambil uangnya dulu." Lalu, Gita masuk ke dalam toko setelah berhasil menyebrang.
"Enggak usah, Nak. Aku ikhlas kok."
Namun, sepertinya gadis itu tidak mendengarkan karena sudah masuk ke dalam toko terlebih dahulu sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
Mencari keberadaan gadis itu di dalam yang hanya terhalang pintu kaca, dia menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. Akan tetapi, bola mata itu terhenti tatkala melihat sosok wanita yang dia kenal.
"Keysha?"
Bab 4
"Keysha ?"
Lelaki yang masih berdiri di luar toko menggerakkan kaki ke sana dan kemari mengikuti arah jalan Keysha yang berada di dalam toko tersebut. Dia memastikan wanita yang dilihat adalah benar-benar Keysha. Pandangan itu terus tertuju padanya yang sedang berbincang kepada gadis yang ditolong tadi.
Iya, Gita menceritakan kejadian yang barusan menimpanya dengan singkat dan meminta sejumlah uang untuk membayar utang soimay yang sudah dibayar lelaki yang ada di luar sana.
Mengerti semua ucapan Gita, Keysha pun melemparkan pandangan ke luar toko untuk mencari sosok penolong yang diceritakan gadisnya barusan. Tak sengaja kedua pasang mata mereka saling bertemu untuk beberapa beberapa detik, meski terhalang pintu kaca.
Keysha mengerutkan kening ketika lelaki itu melambaikan tangan dan memberi senyuman terbaiknya. Seolah terbius sikapnya, si wanita pun ikut tersenyum ramah dan memberi tanggapan dengan menganggukkan sedikit kepala.
Dengan percaya diri, lelaki berkulit putih tersebut melangkah masuk setelah mendorong pintu kaca. Dengan wajah sumringah, lelaki itu menyapa kembali sambil mengangkat salah satu telapak tangannya.
"Hai."
Keysha mengangguk kecil dan memberi senyuman sungkan kepadanya. Dengan status janda yang sudah melekat selama empat tahun itu, dia lebih berhati-hati berkomunikasi dengan lelaki yang tidak dikenal. Menjaga jarak dan membentengi dirinya dengan lelaki agar membuat orang di sekitar tidak berprasangka buruk tentang statusnya. Dia sadar akan stigma masyarakat tentang penobatan status janda, yaitu sang penggoda, lemah atau haus kasih sayang.
"Kamu Keysha, kan?" Telunjuk itu menunjuk ke arahnya.
Keysha melipat kening dan menatapnya beberapa saat. Ia mencoba mengingat wajah tampan yang sedang menerka tentang dirinya. Namun, usahanya tidak berhasil karena bayangan wajah pria yang di depan tersebut tidak ada dalam ingatannya. Dia tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan, apakah mereka pernah saling bertemu atau tidak, dia pun tak tahu.
"Kamu kenal aku?" Keysha bertanya dengan hati-hati.
Lelaki berkemeja hitam tersebut menyunggingkan senyuman dan menoleh ke arah gadis yang ditolong tadi, lalu beralih kepadanya lagi.
"Iya, kamu Keysha, kan? Tentu saja aku kenal kamu. Kamu alumni mahasiswa angkatan 2006 jurusan akutansi Universitas Atmawijaya."
Jawaban darinya membuat Keysha semakin penasaran. Bagaimana lelaki itu bisa mengenalnya, sedangkan dia tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan, lelaki itu bisa menyatakan dengan secara detail nama universitas, jurusan, tahun akademiknya.
Beberapa kali dahinya terlipat dan berusaha mengingat wajah mahasiswa yang pernah ditemui semasa itu. Namun, itu sangat mustahil bisa dilakukan. Sudah berapa tahun dia lulus dari gelar mahasiswa itu? Ada berapa banyak jumlah mahasiswa dalam universitas tersebut? Bagaimana mungkin dia bisa mengingatnya?
"Iya, aku Keysha. Kamu?" Dengan nada ragu-ragu, dia bertanya, juga ingin tahu identitas, ya setidaknya, nama pria tersebut.
"Aku Ronald, alumni 2004, jurusan bisnis manajermen. Jelas kalau kamu nggak kenal aku karena aku tidak populer waktu itu." Dia menggaruk kening kiri, entah benaran gatal atau hanya membuang rasa canggung.
Mendapat sahutan itu, tiba-tiba ingatan Keysha tertuju pada Bastian, mantan kekasihnya yang kini di mana keberadaannya, pun tidak tahu. Lose contact. Sejak kematian Ikbal, nomor ponsel diganti, akses medsos tidak aktif, rumah suaminya pun sudah dijual dan Keysha sudah pindah.
'Bastian juga alumni mahasiswa 2004, jurusan bisnis manajermen. Berarti mereka adalah teman satu kelas. Tapi mengapa, aku tidak pernah melihatnya? Padahal zaman itu, aku sering datang ke kelas Bastian. Apa aku hanya fokus ke Bastian dan ketiga teman lain?' Keysha membatin.
"Keysha?" Ronald mengibaskan tangan di depan wajahnya, membuat wanita tersadar dari lamunan di masa lalu.
"Iya, maaf" jawabnya cepat sambil memberi senyuman terpaksa.
"Ini putri kamu?"
Dia menunjuk ke arah Gita, dan membuat bocah sebelas tahun menatapnya dengan tajam. Ya, seperti itulah Gita. Siapapun yang ingin berhubungan dengan bundanya maka mereka harus bersiap mendapatkan serangan sorot tajam dan sinis darinya.
"Iya, ini Gita, putriku," jawabnya mengelus punggungnya.
"Salam kenal, ya, Cantik."
Dia menoleh ke gadis yang masih berdiri di samping Keysha. Sapaan basa-basi itu tidak mendapatkan tanggapan apa-apa darinya. Dia masih menatapnya tajam, setajam silet. Keysha bisa membaca ekspresi tidak suka dari putrinya, lalu dia pun mengalihkan perhatian dengan mengucapkan rasa terima kasih kepadanya.
"Iya, tapi aku nggak berhasil menangkap pelakunya. Setelah mengambil semua uang, dia melemparkan dompet itu ke arahku. Pas aku kejar, dia udah naik motor dibonceng temannya." Ronald menghela napas, ada kekecewaan di wajahnya setelah mengingat kejadian tadi.
"Enggak apa-apa. Yang penting nggak ada yang terluka. Uangnya masih bisa dicari." Keysha mengeluarkan selembar uang hijau dari dompetnya.
"Ini, aku bayar uang siomay yang tadi dibeli Gita." Tangan itu terulur ke arahnya.
"Eh, nggak usah, nggak apa-apa aku yang traktir. Hm, anggap salam perkenalan dari aku." Dia menolak secara halus seraya tangannya mendorong uang yang ada di tangan wanita berambut panjang tersebut.
"Ih, jangan gitu dong. Aku jadi nggak enak." Sahutan Keysha dan tersenyum sungkan. Dia masih kekeuh menyodorkan uang tersebut.
"Iya benar, nggak apa-apa. Aku ikhlas kok."
Mendapat penolakan dari lelaki tersebut, akhirnya Keysha pun mengurungkan niat. Dengan sekali tarikan napas panjang dan menghelakannya, dia kembali menarik kedua sudut bibir.
Jujur, ada perasaan tak nyaman dengan situasi itu.
"Kalau begitu, terima kasih banyak atas bantuan dan traktirannya."
Lelaki itu menyunggingkan selarik senyuman hangat, "jangan sungkan."
Terbit desiran halus di organ dad4 bagian kiri Ronald saat memandang pemilik mata bening yang ada di depannya. Desiran yang sudah lama tak pernah dirasakan, dan kini kembali hadir saat berhadapan dengan wanita cantik itu. Tidak dengan Keysha, dia merasa sungkan menerima kebaikan orang lain yang belum dikenal baik.
Ronald menyebar pandangan ke segala arah ruangan toko tersebut, seperti mengecek sesuatu. Lalu, dia melirik jam branded yang melingkar elegan di pergelangan tangannya.
"Aku pamit dulu, ntar kapan-kapan kita ngobrol lagi," ujarnya kemudian dia mundur beberapa langkah.
"Hati-hati. Sekali lagi terima kasih."
"No problem." Ucapan itu mengakhiri pertemuan mereka.
Setelah itu, Ronald melangkah keluar toko dan menuju ke mobil lalu melajukannya. Di sepanjang jalan dari toko menuju rumah, senyuman hampir tidak pernah lepas dari wajah tampannya. Apalagi ketika terlintas dalam benaknya mengingat cara bicara, tatapan dan senyuman Keysha, hatinya terasa nyaman dan organ kecil itu kembali berdentum tak normal. Rasanya seperti ABeGe yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.
***
"Key, besok jangan lupa datang ke pesta ultahku." Pesan masuk dari Tisna
"Iya, pasti," Jawabnya singkat
"Eh, jangan lupa pertimbangkan ideku tadi."
"Ide apa?" Dibubuhi emot berpikir.
"Menjadi maduku, Istri kedua suamiku," balasnya cepat.
Tisna menunggu 20 menit dari kode centang biru, tetapi belum ada balasan lagi dari Keysha.
Dia yang sudah duduk di kasur dengan menyandarkan tumpukan bantalan, mencoba menelponnya tetapi ponselnya sudah tidak aktif.
"Semoga aku berhasil membuatmu menjadi istri kedua suamiku." Tisna bermonolog dalam hati.
"Kamu sedang mikirin apa?" tanya sang suami yang entah sejak kapan masuk ke kamar.
Bab 5
"Kamu sedang mikirin apa?" Suara khas lelaki itu membuyarkan lamunan Tisna.
"Enggak pikirin apa-apa kok, Mas." Tisna berusaha menjawab dengan tenang.
Lelaki berkacamata itu baru masuk ke kamar dan mendapatkan si istri seperti memikiran sesuatu, sampai-sampai kehadirannya tidak diketahui wanita itu.
"Jangan lupa saran dari dokter. Kamu tidak boleh terlalu capek dan tidak boleh stress."
Lelaki yang bergelar suami itu merebahkan tubuh di kasur, di sampingnya. Lalu, ia meletakkan kacamata di atas nakas di samping kasur. Mata itu langsung terpejam karena rasa kantuk mulai menyerangnya.
"Iya, aku ingat, Mas." Tisna pun meletakkan ponsel di atas nakas dan ikut merebahkan tubuhnya. Lalu, ia memanggil suaminya dan membuat pria itu menoleh
"Besok kita jadi rayakan ultahku, kan?" Pertanyaan itu membuat lelaki itu mengangguk.
"Di jetski cafe?" Tisna bertanya dan pria itu mengangguk lagi sambil menguap karena mengantuk.
"Aku boleh undang teman-temanku?" Tisna masih meminta izin walau si suami sudah memejamkan matanya.
"Iya, boleh. Undang sesuka hatimu."
"Nanti aku kenalin kamu ke teman-temanku, ya." Tisna masih semangat sedangkan suaminya sudah bersiap menuju ke alam lain.
"Iya, udah ya, kita tidur. Aku lelah sekali hari ini. Besok pagi-pagi aku harus meeting di luar dengan klien." Dia berkata tanpa membuka mata.
***
Pagi itu seperti biasa Keysha mengantar putri tunggalnya ke sekolah dengan motor sebelum menuju ke butik. Di sepanjang perjalanan, mereka tidak berbicara sama sekali, hanya menikmati suasana jalanan.
"Nanti pulang, kamu hati-hati ya," pesan Keysha setelah sudah sampai ke depan gerbang sekolah dan Gita mencium tangannya.
"Iya, Bun."
"Oh, ya, nanti sore kita akan ke acara ultah Tante Tisna. Pulang sekolah, langsung pulang. Enggak ada jadwal les,kan, hari ini?"
Gita menggeleng ragu. Sebenarnya dia sudah punya rencana mau ke suatu tempat sehabis pulang sekolah. Dia akan mencari alamat guru les gitar yang dia dapat dari Facebook tetapi dia masih merahasiakannya.
"Gita masuk ya, Bun," pamitnya kemudian dia berlari kecil masuk ke dalam setelah bundanya mengangguk.
***
Sepulang sekolah, benar saja Gita tidak langsung pulang ke rumah. Dengan seragam putih-merah yang masih melekat, dia berjalan menuju ke tempat tujuan sesuai arahan orang yang mengaku guru les gitar.
Entah keberanian apa yang dimiliki gadis berusia sebelas tahun ini. Dia tidak berpikir panjang bagaimana kalau saja ada yang mencoba membohongi dan mencelakainya. Memberi alamat palsu atau identitas palsu. Secara, dia mengetahui informasi itu via sosial media yang kini rawan penipuan.
Gita berjalan di pinggir jalan yang agak sepi sambil memegang ponsel. Sesekali dia melirik benda pipih itu untuk sekadar melihat alamatnya. Saking fokus, dia bahkan tidak tahu di depan sana ada segerombolan pemuda jalanan dengan penampilan yang acak-acakan. Rambut mereka dibentuk sedemikian rupa ala punk yang disemir berwarna-warni. Tindikan di telinga yang berlubang besar. Bahkan, tato di lengan yang terkesan murahan ala anak jalanan yang tidak tahu arah tujuan hidupnya.
"Hai cewek, sendirian aja?" Sapaan itu tidak digubris Gita yang terus melewatinya.
"Mau ke mana? Mau Abang temani nggak?" Salah satu pemuda itu berjalan mensejajarkan langkah dan mulai mencolek lengannya.
"Apaan, sih?" sewot Gita dengan tatapan sinis.
Melihat reaksi pemuda itu, Gita tidak menghentikan langkah. Bahkan, dia mempercepat langkahnya. Beberapa pemuda lain pun mulai mengekori langkah dan menjahilinya.
"Cantik-cantik jangan galak dong. Abang, kan jadi makin suka."
Salah satu pemuda lain merangkul bahu dan Gita langsung menepisnya. Rasa ketakutan mulai mendera, dia pun mulai berlari untuk menghindari mereka. Namun, dia terpaksa harus menahan langkah karena tangannya dicengkram kuat oleh salah satu pemuda bertato itu.
"Lepaskan!" Gita setengah berteriak berusaha menggunakan semua tenaga untuk menghempaskan tangannya.
"Ayolah, temani kami. Kami pun orang kesepian kok. Tidak ada sodara, tidak ada orang yang peduli dengan kami." Tangan Gita terseret dan terpaksa mengikuti langkah mereka.
"Lepaskan, tolong!" Gita berteriak dan meronta. "Awas, ya, kalian. Nanti aku lapori polisi." Dia masih berani mengancam mereka.
Pemuda itu terkekeh, "laporkan saja, kami sudah biasa masuk penjara. Bahkan polisi sudah bosan melihat kami."
"Tolong!" teriak Gita tetapi tidak ada satu orang pun yang melewati jalur situ.
Hati Gita semakin was-was ketika menyadari dirinya teracam dan tidak ada satu orang pun yang melewati jalan itu. Dalam hati, dia melangitkan doa, semoga Tuhan menurunkan satu pahlawan siap menolongnya seperti adegan yang ada di sinetron.
"Hei kalian, jangan cuma berani sama anak kecil. Lepaskan dia!"
Benar saja, seorang pahlawan dalam doa Gita pun hadir di hadapan mereka.
"Siapa kamu? Enggak usah campur urusan kami."
Dengan gagah, lelaki berkemeja maroon itu pun mendekat menghampiri. Ia sama sekali tidak takut dengan perawakan aneh mereka.
"Aku bilang lepaskan dia, atau kalian akan tahu akibatnya." Ancaman itu membuat salah satu pemuda mengeluarkan pisau kecil dari sakunya.
"Kamu jangan macem-macem, ya." Jari si pahlawan pun menunjuk ke arah pisau yang ada di tangan pemuda tersebut.
"Kenapa? Takut? Ayo maju!"
Pemuda itu melakukan serangan dengan menjuruskan pisau ke arahnya. Dengan cekatan berkali-kali lelaki dewasa itu menghindari serangan pisau yang tertuju padanya. Di suatu kala begitu pemuda berandalan itu lengah, dia melakukan pukulan yang keras sehingga membuatnya tersungkur ke aspal. Tak terima melihat temannya terluka, pemuda brandal lain pun ikut melakukan serangan secara brutal. Ilmu bela diri yang pernah dipelajari sejak SMA itu memudahkan si pahlawan untuk mengalahkan keempat orang itu.
"Pergi kalian! Kalau nggak, aku habisin kalian!" Ancamannya membuat mereka pun kabur terbirit-birit.
Lelaki itu mengibaskan kemeja dan celana untuk menghapus jejak tangan pemuda tadi. Dia pun merapikan kemeja yang sedikit berantakan setelah melakukan aksi karate yang sudah lama tidak dipraktikkan.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?"
Dia mendekati Gita yang masih setengah syok menyaksikan adegan perkelahian yang sengit barusan. Menggeleng memberi tanggapan, gadis itu masih mengatur napas yang masih belum stabil dan menunduk.
"Kamu mau ke mana? Sini biar Om anterin."
Ajakannya mendapatkan gelengan lagi dari Gita. Lelaki itu menyadari, mana mungkin gadis itu mau menerima ajakan orang yang tak dikenal. Bisa saja, di dalam pikiran Gita mengira sikap yang sok perhatian adalah salah satu modus kejahatan yang bisa merengut nyawanya.
"Di daerah sini agak sepi, berbahaya buat anak gadis seperti kamu berjalan sendirian. Gimana kalau Om antar kamu ke jalan yang lebih ramai? Setelah itu, kamu boleh turun dari mobil Om."
Dia berbicara dengan selembut mungkin dan memastikan kalau dirinya tulus menolongnya, bukan orang jahat seperti yang dia pikirkan.
Gita menengok ke segala arah, kemudian memberanikan diri mengangkat kepala menoleh ke arah pahlawan yang ada di hadapannya. Dia tidak nyaman dengan orang asing. Namun, satu yang dia sadari bahwa lelaki ini adalah penolongnya dari jeratan anak jalanan yang sudah mengganggunya tadi.
"Ayo, Gita," ajaknya lagi setelah bola mata tertuju ke label nama yang melekat di baju depan sebelah kanan.
Merasa namanya terpanggil, gadis itu kemudian melangkah mengikuti kaki lelaki yang belum diketahui namanya. Dia duduk di depan mobil sedan hitam berlogo BMW di samping pengemudi.
Di dalam mobil, Gita memandang ke luar jendela tanpa bersuara. Niatnya tadi mencari alamat guru les gitar di sekitar itu pun sirna karena bertemu dengan anak jalanan tadi. Tak selang kemudian, dia menoleh ke arah pria tersebut dan tak sengaja melihat sesuatu yang membuatnya geli.
"Om."
"Iya?" Dia menolehnya sekilas dan kembali fokus ke jalan.
"Itu ...."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
