7 Tahun Kepergianmu 5-6 #UnlockNow

3
0
Deskripsi

Ikuti sepenggal kisah masa lalu Mahendra dan Hanami.

FULLPART (lebih hemat) bisa baca di link ini.

https://karyakarsa.com/herlinateddy/rewards

Bab 5


Tidak sampai di situ, hati Hanami semakin hancur ketika dia pulang dari rumah sakit malam hari. Dia mendapati wajah sang ibu yang menyiratkan kedukaan yang amat terdalam.

"Hana, ini apa? Ini punya siapa? Kamu hamil? Siapa laki-laki itu?" Bertubi-tubi pertanyaan ibu tanpa menjeda. Dengan tangan terulur ke arahnya, ibu memperlihatkan benda tes kehamilan yang tergambar dua garis.

Jangankan memberi jawaban, gadis berambut tipis itu bahkan tak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah sang ibu yang memendam amarah, mungkin sebentar lagi akan meledak seperti bom waktu. Wajah senja yang selalu menenangkan kini memerah, beliau tak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya.

"Hana, jawab ibu, siapa laki-laki itu?"

Ibu mengulang pertanyaan terakhirnya dengan nada dinaikkan satu oktaf, hanya ingin mengetahui siapa pria itu. Seketika hati Hana semakin menciut dan tersayat ketika sang ibu bukan lagi menanyakan kepemilikan benda itu, tetapi seolah sudah mengetahui bahwa dialah pemilik benda itu.

"Ibu, maafkan Hana."

Dia pun memberanikan mendekati lalu bersimpuh memeluk lutut ibu, meminta ampun dengan suara bergetar. Dia tak sanggup lagi menahan beban tersebut sendirian. Dia pun tak bisa menutupi aibnya terlalu lama dari ibu. Air mata yang ditahan, tak bisa dibendung lagi, kini luluh begitu saja menjejaki pipi putihnya.

"Apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa bisa begini?"

Suara ibu semakin lemah, dia merasa sudah gagal menjadi orangtua untuk Hana. Apa karena tidak ada sosok ayah di tengah keluarga mereka, sehingga laki-laki itu tidak segan menodai anak perempuannya. Mata teduh itu pun mulai mengeluarkan bulir kesedihan yang sangat dalam, tak kuasa menerima jika benar putrinya tengah hamil di luar nikah.

Tak sanggup menjawab pertanyaan ibu, Hana mengeluarkan air mata yang terus menyembul walau sudah beberapa kali dia mengusapnya. Dia hilang kata, tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas untuk menenangkan hati sang ibu, sementara hatinya sendiri diselimuti kegelisahan dan rasa bersalah. Iya, bersalah dengan Tuhan, sang ibu dan janin yang hampir dia bunuh.

"Hana, kasih tahu ibu, siapa?"

Amarah ibu semakin memuncak ketika satu menit, dua menit sampai lima menit ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia menghentakkan kaki guna melepaskan pelukan Hana di lututnya. Dia ingin memastikan siapa pria bajingan yang berani mengambil kehormatan putrinya.

Sesaat gadis yang bernama lengkap Hamami Ramadhani itu pun terhempas ke lantai beberapa jengkal. Dia masih terisak, tenggorakan seolah tercekik, kata-kata yang sudah dia rangkai di rumah sakit kini meluap. Bingung, bagaimana menjelaskan kala sore itu mereka melakukan hubungan terlarang itu karena sama-sama mau dan berdasarkan kesepakatan bersama, menguji kadar cinta pasangan masing-masing. Ah, bodoh sekali.

Hati orangtua mana yang tak hancur melihat putrinya diperlakukan seperti sampah yang tak berguna, mengambil sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Sesuatu yang seharusnya dipersembahkan untuk imamnya di malam pertama. Beliau merasa gagal mendidik putrinya.

Diam-diam ibu merasa bersalah karena selama ini kurang perhatian dan hanya fokus dengan pekerjaannya demi menyambung hidup dua orang itu. Ayah Hana dulunya hanyalah seorang pedagang bubur yang memejamkan mata untuk selamanya karena kanker paru-paru yang sudah menahun.

Sang ibu juga bukan tak tahu siapa kekasih putrinya. Namun, dia tak mau menduga kalau yang menghamili putrinya adalah Mahendra meskipun ia sudah bisa menebaknya. Dia mau mendengar langsung pengakuan dari bibir gadis tersebut, siapa ayah dari janin yang ada di rahimnya.

Malam itu, Hana masih bungkam, belum siap untuk menyatakan fakta yang sebenarnya. Sampai saat sang ibu memaki dan menamparnya, dia pun masih mempertahankan diamnya. Tak tahan lagi, sang ibu pun mengunci diri ke kamar, tanpa mau bertegur sapa dengannya selama seminggu.

Perlahan, di saat merasa bisa menerima keadaan, siang itu Hana pun mengakui semuanya kala ibu sedang memasak di dapur. Dia berlutut dan pasrah dengan apa yang akan ibu lakukan untuknya.

"Jika Ibu mau memukul atau mengusir Hana, silakan, Bu. Hana siap menerima konsekuensinya. Hana bersalah dengan Ibu, tidak bisa menjaga diri dengan baik. Hana merasa tak berguna menjadi anak Ibu. Silakan Ibu marah dan menghukum Hana."

Ucapan itu lolos begitu saja bersamaan dengan air bening itu yang ikut berdesakan turun begitu saja tanpa permisi. Remuk redam ditinggal sang kekasih yang amat dicintai ternyata begitu sangat besar, menusuk sampai ke otot jantung. Remuk di hati yang dirasakan sampai dia berkeinginan untuk mati demi mengakhiri semua rasa sakit yang ada.

Mendekati dan memeluk putri satu-satunya, ibu tahu ini adalah kesalahan terbesar yang pernah Hana lakukan. Namun, nasi telah menjadi bubur, terus memarahinya pun tak akan menyelesaikan masalah, toh ini sudah terjadi. Pria itu sudah pergi demi mencapai impian dan masa depan, meninggalkan putrinya.

Tanpa mengucap apapun yang akan menambah kesedihan Hana, ibu pun terus mengelus punggungnya yang masih berguncang. Beliau paham dengan keterpurukan dan kesedihan putri satu-satunya itu.

Siang itu, seolah alat dapur maupun benda yang ada di sana menjadi saksi, melihat tangisan kedua manusia yang mengutuk nama Mahendra sebagai tersangka yang harus mereka lupakan.

Mereka masih larut dalam tangisan sendu masing-masing, berpelukan dan saling menguatkan dan menenangkan.

Setelah menceritakan dan mendapatkan maaf dari ibu, Hana pun menjalankan kehidupan seperti biasa, berusaha berdamai dengan keadaannya yang tengah hamil.

Cita-cita? Ah, jika tidak bunting, mungkin dia sudah duduk di bangku kuliah Fakultas Kedokteran, menjadi dokter, impiannya sejak kecil.

Dia, gadis yang kurang beruntung lantaran pengajuannya ditolak kala ia mendaftar ulang di kampus itu. Hasil tes kesehatan menunjukkan dia tengah berbadan dua, tidak memenuhi syarat walaupun dia lulus test masuk dengan nilai akademik yang memuaskan.

Lenyap dan musnah sudah semua harapannya. Sirna segala angan dan keinginan terbesar yang bisa membanggakan keluarga terutama mendiang ayah dan ibu yang telah membesarkannya.

Tak ada yang tahu kalau setiap malam Hana membenamkan diri di dalam kamar, menangis tanpa suara demi menghindari pertanyaan ibu. Dia pun tak mau wanita yang melahirkannya itu ikut merasakan kepedihan hati ketika ingatan tentang Mahendra datang menghampirinya. Ia hanya ingin menikmati perih yang menyesakkan dada sebagai pelengkap mimpinya.

Beberapa minggu kemudian, mereka pun memutuskan untuk pindah dari tempat yang sudah mereka tinggali sejak Hana masih kecil, guna menutup aib keluarga. Menghindari lebih baik daripada mendengar omongan tetangga tentang anak haram tanpa sosok bapak yang dikandungnya.

Dia berusaha membuang semua kenangan dan melupakan sang pecundang yang telah menipunya. Hidupnya kini hanya fokus dengan janin yang ada di rahim. Sehari-hari dia membantu ibu membuat kue pesanan tetangga atau kenalan. Di tempat baru, Hana pun jarang keluar. Semua kebutuhan sehari-hari atau sekadar ke pasar, ibulah yang membelinya.

Tidak ada yang tahu keberadaan Hana sekarang, dia bahkan menutup diri dari dunia maya. Semua akun sosial media dinonaktifkan. Nomor telepon pun dia ganti guna membentengi diri dari pertanyaan teman atau saudara tentang keberadaannya sekarang. Dia ingin hidup tenang dan bahagia. Tekadnya hanya satu yaitu membesarkan anaknya, hingga kelak menjadi orang yang berguna.

"Yang tegar ya, Nak. Mama pasti akan menjaga, merawat dan mempertahankanmu. Kita harus lupakan masa lalu dan meraih kebahagiaan walau tanpa pria pengecut seperti dia."

Hanami bergumam sambil mengelus perutnya yang masih rata. Ada senyuman getir terbit di sana dengan hati yang menyimpan sejuta luka.

Mengusap pipi yang basah akibat tetesan airmata, Hana berucap lagi dengan suara lirih.

"Mahendra, kisah kita kini sudah usai, semuanya tinggal kenangan. Kita putus."

๐Ÿ’—๐Ÿ’—๐Ÿ’—


Bab 6


Pasca kejadian itu, lambat laun Hanami menjelma menjadi manusia baru, semangatnya bangkit lagi ketika Arsenio selalu mengisi baterai energi positif untuknya. Mereka jarang ketemu karena padat jadwal pria berkacamata itu, yang kini sedang magang di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dia sedang menjalankan tugas kampus sebagai koas dokter, salah satu syarat untuk mendapatkan titel dokter.

"Jika ada perlu apa-apa, jangan sungkan untuk mencariku." Itulah katanya.

"Siap, Pak Dokter."

Mereka selalu bertukar kabar via aplikasi pesan berlogo telepon hijau di sela-sela waktu senggang. Sesekali Arsenio mengunjungi di rumah, tetapi hanya sampai di teras saja. Itu juga hanya lima menit, setelah mengantar buah atau cemilan untuknya, pria itu pun langsung pamit.

"Ibu hamil butuh buah dan cemilan cokelat untuk menenangkan pikiran dan perasaannya."

Ada suatu kala ketika Hana menolak pemberiannya karena merasa tak enak hati tetapi pria itu malah ngambek. Arsenio terlalu baik, padahal Hana merasa tidak berbuat apa-apa untuknya.

Waktu terus berjalan beriringan dengan kedekatan mereka. Menurut Hana, kebersamaan ini tidak begitu dipermasalahkan lantaran gadis itu memang membutuhkan teman untuk berbagi. Arsenio, pria yang pintar membawa diri dan tidak pernah melukai perasaannya.

Sampai suatu ketika ibu pernah berpesan padanya untuk menjaga jarak agar tidak menimbulkan hujatan dari tetangga baru mereka. Walau bagaimanapun, Hana tengah hamil di mana tidak ada sosok ayah di sampingnya.

"Han, kamu batasi komunikasi dengan Nak Arsen. Tidak baik jika kalian terus berhubungan seperti itu. Ibu tak mau nanti timbul fitnah."

"Aku dan Kak Arsen hanya teman, Bu. Dia baik, aku tak tega mengacuhkannya jika dia menelepon."

Bahkan di detik-detik kelahiran Kaindra, Arsenio itu bak penyelamat yang membawa Hana ke rumah sakit. Tak sengaja malam itu saat dia mengunjungi rumah mereka, tiba-tiba perut Hana sakit dan mengeluarkan cairan.

"Mungkin ini waktunya kamu melahirkan, Han. Aku antar kamu ke rumah sakit sekarang."

Tanpa meminta persetujuan dari sang ibu, Arsenio memapah Hana ke mobilnya. Ibu yang terlihat panik malam itu tidak ada alasan menolak kala mendengar beberapa kali teriakkan kesakitan dari putrinya.

"Sabar, Nak. Kamu akan segera melahirkan. Ibu akan selalu menemanimu."

Kalimat menenangkan itu tak mengurangi rasa sakit yang dialami Hana malam itu. Bayi yang minta dilahirkan kini seolah merontokkan tulang dari tubuhnya. Sakit, dia baru tahu ternyata begini rasanya dulu ibu melahirkannya.

Proses kelahiran berlangsung lumayan lama, mungkin karena ini adalah persalinan anak yang pertama. Hana susah payah mengatur napas dan mengejan walau sudah mendapatkan arahan dari bidan dan dokter kandungan yang menanganinya.

Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diberi nama Kaindra Naoki. Nama khas Jepang itu sengaja dilukiskan, mengingat Hana sendiri mempunyai darah campuran Jepang dan Sunda. Kakek Hana asli keturunan Jepang yang dulu menikah dengan orang Sunda pribumi zaman penjajahan dulu. Yang akhirnya sang kakek pun terpaksa pulang ke negaranya ketika tanah air mengumumkan kemerdekaannya.

Setelah mendapatkan titel dokter, Arsenio pun semangat melanjutkan pendidikan strata dua dokter anak. Alasan pria tampan itu mengambil jurusan tersebut karena selain dia suka anak-anak, Kaindra-lah salah satu alasan terkuatnya. Dia ingin mengikuti tumbuh kembang bocah ganteng itu sehingga ia ingin memperdalam ilmu kedokteran tersebut.

Kebersamaan tujuh tahun bersama Hana, tumbuh benih cinta di hati Arsenio. Menurutnya, Hana adalah wanita lembut yang selalu menyemangatinya. Di kala dia malas melanjutkan tugas magang, wanita itulah mengingatnya betapa dia sangat menginginkan akademik itu dulu, tetapi musnah karena musibah yang dialami.

"Ada kesempatan menjadi dokter, kenapa disia-siakan, Kak? Profesi dokter itu sangat berjasa dan dihormati banyak orang. Selain bisa menyelamatkan hidup orang, dokter juga bisa membimbing orang untuk hidup sehat."

Ucapan Hana kala itu membangkitkan semangat, memantapkan keputusan untuk melanjutkan akademik itu yang tinggal setahun. Setelah itu, dia mengambil spesialis anak untuk strata dua.

Begitu pula saat ketangguhan Hana nyaris memudar, ada Arsenio yang siap mengisi kembali ketangguhan itu sehingga Hana kembali bisa menatap dan menghadapi dunia dengan lapang dada. Mereka seperti simbiosis mutualisme, yang saling menguatkan satu sama lainnya

Malam itu, Arsenio memberanikan diri mengungkapkan perasaan yang sudah lama disimpan rapi di relung hatinya. Keinginan matang untuk memiliki Hana dan Kaindra seutuhnya setelah dia mendapatkan gelar dokter spesialis anak.

"Apa kamu belum yakin akan ketulusanku padamu atas segala yang aku lakukan untuk kamu dan Kaindra selama ini?"

Tatapan mata itu menyiratkan kesungguhan. Dia berharap lamarannya diterima, dia berjanji akan menjaga dan melindungi mereka berdua. Dia mau menjadi imam yang baik untuknya.

"Tapi Kak Arsen tahu sendiri, kehidupanku bagaimana, aku bukan wanita virgin yang selalu ditanyakan sebelum pria itu menikahi wanitanya."

Hana merasa dirinya tidak suci dan tak pantas menerima cinta dari lelaki yang sangat baik dan lembut kepadanya selama ini. Menurutnya, Arsenio adalah obat penawar di saat ia merasa down dan butuh perhatian. Namun, dia belum yakin dengan perasaannya. Apakah dia mencintainya atau hanya perasaan terima kasih atas semua kebaikan pria itu.

"Aku akan menikahimu tanpa melihat siapa kamu di masa lalu. Aku juga bersedia menjadi ayah sambung untuk Kaindra tanpa ingin tahu siapa ayah biologisnya. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku tulus mencintaimu tanpa alasan apapun."

Pancaran sinar mata pria itu penuh ketulusan tanpa ada kebohongan di dalamnya, menggenggam erat jemari Hana untuk meyakinkannya. Dia bisa pegang ucapannya, pria tak akan menyia-nyiakan dirinya.

"Tapi, Kak, maaf, aku ...."

"Apapun alasan kamu menolak, aku akan terus menunggumu sampai kapan kamu siap. Jadi aku harap kamu jangan buru-buru untuk menjawab, pikirkan terlebih dahulu. Kita jalani saja kebersamaan ini."

"Tapi aku tidak mau ada omongan miring dari orang tentang kedekatan kita."

Kini, Hana tak kuasa mengutarakan apa yang dikhawatirkan selama ini, sang ibu pun sudah sering protes kedekatan itu. Ibu tak mau mendengar hujatan dari tetangga atau teman lain menyerbunya, karena kesalahpahaman hubungan mereka. Walau bagaimanapun , mereka adalah lawan jenis yang memang seharusnya menjaga jarak hubungan, tidak baik selalu terlihat bersama karena belum dihalalkan.

"Maka dari itu, kita harus punya status di atas pelaminan. Aku akan menjadi kamu ratu di hatiku."

Lagi, pria itu menawarkan status untuknya, sudah berulang kali dia melamarnya tetapi Hana belum menerima. Wanita itu bukan tak suka dengan dokter spesialis anak itu, hanya saja dia belum bisa membuka hati untuk pria manapun setelah Mahendra. Entah dia belum move on atau dia masih trauma untuk memulai hubungan baru.

Kerap kali ibu menyarankan Hana untuk membuka hati untuk Arsenio karena menurut kacamata ibu, Arsenio masuk dalam kategori pria penyayang, lembut, pekerja keras dan bertanggungjawab. Sang ibu juga menginginkan menantu yang kelak akan menjaga dan menemani putrinya saat dia menghadap Yang Kuasa.

"Kak, aku ...."

"Sstt, tidak perlu jawab sekarang. Pikir-pikirkan dulu."

Lembut tutur kata dan sabar, itulah gambaran sang ibu untuk Arsenio. Namun, entah mengapa, di hati Hana hanya menganggap Arsenio sebagai pahlawan dan sosok kakak yang siap menerima keluh kesahnya.

"Kamu menjalaninya sendiri, pasti sangat berat. Aku, aku ingin menemani untuk bersama-sama membesarkan, mendidik, merawat anakmu. Agar beban tidak terlalu berat. Aku bisa menjadi punggung untuk kamu bersandar. Aku siap memberi dadaku saat kamu ingin bersembunyi untuk menangis."

Ucapan Arsenio meluluhkan benteng bendungan air mata Hana yang sudah tidak tertahan. Ada haru di dalamnya. Bagaimana ada orang sebaik dokter muda itu di dunia ini? Namun, nama dan bayangan Mahendra masih ....

ย 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 7 Tahun Kepergianmu 7-8 #UnlockNow
6
0
Ikuti sepenggal kisah masa lalu Mahendra dan Hanami.FULLPART (lebih hemat) bisa baca di link ini.https://karyakarsa.com/herlinateddy/rewards
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan