
"Tak usah baper, sok manja dan berlebihan di depanku. Pernikahan ini hanya kesepakatan keluarga. Jangan pernah menaruh perasaan kepadaku. Aku tak akan pernah mencintaimu selamanya."
Tapi heran, mengapa dia kayak kebakaran jenggot saat lelaki lain mendekatiku?
BAB 6
“Aku nggak tahu jelasnya. Tapi dia memang pernah punya pacar, tapi hubungan mereka keknya ...."
Ginela menyimak dan melebarkan mata, meminta lanjutannya.
"Keknya udah putus."
"Iyakah? Apa perempuan itu cantik? Lebih cantik atau lebih menarik dari aku?"
"Dahlah, itu masa lalu. Yang penting sekarang kamu pemenangnya. Kamu udah jadi istrinya, Gin. Walau dia sekarang masih cuek, ketus, dingin. Aku yakin Bang Gilang punya sisi penyayang seorang lelaki. Cuma, kamu harus lebih sabar buat nemuin cara meluluhkannya.”
Ginela menghembus napas pelan, lalu menatap Nayla dengan mata menyipit.
“Kayaknya aku perlu strategi baru deh. Gimana kalau aku bikin Mas Gilang cemburu? Kamu punya kenalan teman laki-laki yang bisa diajak kerjasama?”
Nayla tertawa keras hingga hampir tersedak kopinya. “Astaga, Ginela. Ide kamu tuh kadang di luar nulur.”
“Ya namanya juga usaha. Siapa tahu berhasil,” ujar Ginela sambil mengedipkan mata nakal.
Nayla menggeleng sambil tersenyum lebar. “Terserah deh, Gin. Tapi inget, kalau aku kena amuk Bang Gilang, kamu yang tanggung jawab.”
Mereka pun makan dalam diam beberapa menit. Lalu, Nayla bertanya untuk menuntaskan rasa penasaran yang sudah disimpan sejak lama.
"Ngomong-ngomong, aku dengar dari Mama, Bapak kamu sakit sebelum meninggal. Apa itu benar?”
Ginela mengangguk pelan. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sedih.
“Iya, Bapak kena serangan jantung waktu itu. Semua terjadi begitu cepat. Aku sama ibu nggak sempat ngapa-ngapain sejak dia terima telepon entah dari siapa. Rasanya, ya, nggak percaya aja dia pergi secepat itu. Apalagi waktu itu aku masih SMP. Belum bisa mandiri. Ibu lah terpaksa menjadi tulang punggung kami.”
"Waktu itu, pasti berat banget buat kamu.”
Ginela mengangguk pelan, senyumnya sedikit melunak. “Iya, Nay. Rasanya kayak kehilangan pijakan. Tapi aku tahu Bapak pasti pengen kami tetap kuat. Jadi ya, aku harus bertahan.”
Nayla menggenggam tangan Ginela erat, menyemangatinya dengan tatapan hangat.
“Kamu udah luar biasa kuat, Gin. Kalian bisa melewati masa itu. Kamu juga bisa lulus kuliah dengan beasiswa. Itu nggak mudah. Aku yakin papa kamu bangga banget sama kamu sekarang.”
Ginela tersenyum kecil, meski matanya sedikit berkaca-kaca.
Dia menghela napas panjang, lalu kembali dengan nada bercanda.
“Tapi kamu tahu nggak, Nay? Kalau Papa masih ada, dia pasti bakal ngakak ngeliat aku nikah sama Mas Gilang. Soalnya dulu aku pernah bilang, ‘Pokoknya aku nggak akan pernah nikah sama orang kayak Mas Gilang! Habis dia dingin, cuek dan kelihatan nggak suka sama aku."
Spontan, tawa Nayla meledak.
“Aduh, Ginela. Kamu, tuh, benar-benar karakter utama di hidup ini.”
Ginela tersenyum lebar, menyesap segelas air putih, dan berkata dengan nada riang.
“Ya udah, Nay. Ayo, sarapan sebelum aku terlalu lapar dan mulai menggigiti roti ini kayak zombie.”
"Ya, habis ini, kita berangkat ke kantor bareng-bareng. Tapi naik motor, nggak apa-apa, kan?"
"Santai. Kendaraan apa aja, aku bisa. Asal bukan naik kuda aja."
Mereka tertawa bersama, melanjutkan pagi itu dengan tawa dan cerita nostalgia yang membuat suasana terasa hangat meski hati Ginela masih menyimpan banyak kekhawatiran. Namun, dia tahu satu hal pasti, selagi ada Nayla, setidaknya dia tidak merasa sendirian di rumah sebesar ini.
“Lihat? Kamu butuh aku, Nay. Coba bayangin kalau aku nggak ada, kamu bakal kesepian di rumah segede ini.”
Nayla tertawa kecil. “Iya, iya, Gin. Nggak ada kamu tuh kayak nasi goreng tanpa kecap. Hambar banget.”
"Andai saja, yang bilang kalimat itu Mas Gilang, ya."
Ginela mendengus, lalu bersandar di kursi sambil memainkan roti panggang di tangannya.
Nayla terkekeh, tapi kemudian tersenyum lembut. “Sabar ya, Gin. Aku yakin Bang Gilang butuh waktu. Dia cuma nggak tahu gimana caranya menyesuaikan diri.”
Ginela mengangguk pelan, meski senyum tipis di bibirnya menyiratkan sesuatu yang berbeda. Dia tidak akan menyerah. Jika harus menaklukkan es di hati Gilang, dia akan melakukannya. Tapi, caranya? Ya, dia harus memikirkan cara yang paling seru untuk itu.
***
BAB 7
"Aku udah bilang jangan mampir dulu ke kafe tadi! Lihat nih, kita telat!” Ginela memprotes sambil berjalan cepat menuju pintu masuk.
Keduanya tergesa-gesa dari pelataran kantor setelah memarkirkan motor. Ginela memeluk tas erat-erat sambil menatap jam tangan. Pukul 08.15. Mereka terlambat lima belas menit, dan dia mulai panik. Bukankah hari ini adalah hari pertamanya bekerja?
Nayla yang berjalan santai di belakangnya hanya mengangkat bahu.
“Telat dikit doang. Santai aja, Gin. Lagian kamu juga yang ngotot beli croissant.”
Ginela menoleh dengan dramatis. “Aku, kan cuma bilang pengin, bukan berarti harus beli! Kamu bilang ‘sebentar aja’ yang nyatanya jadi 20 menit!”
Nayla terkekeh sambil melambai-lambaikan bungkus kopi di tangannya.
“Ya, udah. Aku salah. Tapi nih, croissant sama kopi enak, kan? Worth it walau telat dikit.”
Ginela mendengus.
“Kalau aku gak jadi kerja gara-gara ini, aku bakal minta uang pesangon dari kamu!”
“Aduh, Ginela. Nggak mungkin dipecat. Kamu, kan istri bos.”
Ginela menghentikan langkah, menarik siku temannya dan langsung meletakkan jari telunjuk di bibir.
“Ssttt! Jangan keras-keras! Ingat peraturan Mas Gilang. Di kantor, kita bukan suami istri.”
“Oh iya, iya. Sorry aku lupa. Semoga Bang Gilang lagi sibuk, jadi nggak ngeh kalau kita terlambat. Kalau nggak, dia pasti marah besar."
Begitu mereka melewati pintu masuk, seorang staf yang sedang terburu-buru menghampiri.
“Bu Ginela?"
Kedua gadis itu serentak mengangguk.
"Bu Nayla dan Bu Ginela sudah ditunggu Pak Gilang di ruang rapat! Semua orang udah di sana.”
Mata Ginela melebar. “Rapat? Tunggu, kenapa aku langsung ikut rapat? Aku, kan, gak tahu apa-apa tentang perusahaan ini.”
“Silakan langsung ke ruang rapat, Bu,” jawab staf itu sebelum bergegas pergi.
Ginela memutar bola mata sambil menarik napas panjang. “Aduh, Nay. Ini semua gara-gara kamu!”
“Gara-gara aku? Kamu juga tadi sibuk dandan setengah jam!” Nayla membalas dengan nada bercanda, tetapi wajah mulai memucat. Gitu-gitu, dia juga takut sama kakaknya sendiri.
Dengan langkah ragu, mereka masuk ke ruang rapat. Semua mata beralih kepada mereka, tetapi hanya satu tatapan yang membuat Ginela ingin kabur. Sorot dingin dan menusuk dari Gilang.
Gilang duduk di ujung meja rapat dengan tangan terlipat di dada. Sementara Bayu, sang GM menyapa dengan hangat.
“Selamat pagi, Bu Ginela, Bu Nayla. Senang sekali kalian bisa bergabung. Silakan ambil posisi.”
Ginela tersenyum canggung sambil melangkah ke kursinya. Nayla diam-diam menyenggol lengan temannya sebelum ikut duduk.
“Maaf, kami tadi ....” Ginela mencoba menjelaskan, tetapi Gilang mengangkat tangan, menyuruhnya diam.
“Tidak perlu penjelasan. Waktu adalah hal yang penting di sini. Saya harap ini tidak menjadi kebiasaan.”
Suasana rapat berlangsung tegang. Setiap instruksi yang diberikan Gilang terasa seperti lemparan batu es. Meskipun tidak mengungkapkan secara langsung bahwa dia kesal, semua orang bisa merasakan energi dingin yang terpancar darinya.
Ketika rapat selesai, Gilang memanggil kepala admin keuangan untuk mendekat.
“Bu Sarah, tolong beri tugas untuk Bu Ginela. Sesuatu yang bisa membantu meningkatkan kedisiplinannya.”
Bu Sarah tersenyum tipis, lebih seperti seringai.
“Tentu, Pak Gilang. Saya punya beberapa dokumen lama yang perlu disusun kembali. File keuangan tiga tahun terakhir. Saya yakin itu tugas yang pas untuk Bu Ginela.”
Ginela menatap Bu Sarah dengan ekspresi tidak percaya.
“Dokumen lama? Maksudnya yang sudah diarsipkan di gudang?”
Bu Sarah mengangguk dengan senyum dingin.
“Betul sekali. Semua harus diperiksa dan disusun ulang. Dan saya yakin Anda bisa menyelesaikannya dalam waktu yang cukup singkat.”
Ginela menatap Gilang, berharap dia akan berubah pikiran. Namun sayang, suaminya hanya menatap balik tanpa emosi.
“Lakukan tugasmu dengan baik. Di kantor ini, tidak ada perlakuan khusus untuk siapa pun, termasuk kamu.”
Hati Ginela seperti dihantam palu, tetapi tidak mau menunjukkan kelemahannya. Dengan senyum kecil, dia berkata dengan nada riang yang sengaja dibuat-buat
“Baik, Pak Gilang. Akan saya kerjakan dengan penuh semangat.”
Namun, begitu keluar dari ruang rapat, wajah Ginela berubah. Dia menatap Nayla dengan ekspresi frustasi.
“Tiga tahun dokumen lama? Ini semacam hukuman atau acara survival?”
Nayla mencoba menahan tawa. “Kamu tahu Bang Gilang, kan? Kalau marah, dia kreatif banget nyari cara buat bikin orang kapok.”
“Dia bukan kreatif, Nay. Dia itu jahat, tak punya hati. Kalaupun ada, pasti sekeras baja. Tak perasaan!” Ginela berseru dengan nada dramatis. “Astaga, aku kayak peserta reality show kerja paksa!”
Nayla tidak bisa menahan tawa.
“Sabar, ya, Gin. Tapi kalau kamu butuh bantuan, aku siap, kok. Walaupun cuma bantuin beli camilan buat nemenin kamu ngerjain.”
Ginela menggeleng sambil menepuk bahu Nayla. “Terima kasih, Nay. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu untuk hal yang tidak berguna.”
Mereka berdua tertawa kecil, tetapi hati Ginela masih penuh kekesalan. Dia tahu Gilang ingin menegaskan batas di antara mereka, tetapi kenapa harus sekeras ini?
Saat Ginela baru saja mengangkat kaki, tiba-tiba suara yang sangat dikenali pun berkata.
"Apa barusan kalian membicarakan saya? Siapa yang tak punya hati? Siapa yang hatinya sekeras baja?"
***
BAB 8
"Duduk!"
Nada suara Gilang rendah, tegas, dan tak ada ruang untuk diskusi.
Ginela pun terpaksa masuk ke ruangan setelah kepergok menggibah di belakangnya. Dia menarik kursi dengan penuh gaya, lalu duduk santai sambil menyilangkan kaki.
"Wah, serius banget, Pak Bos. Apa saya mau dipecat, nih?"
Suaranya dibuat ringan, dengan senyum kecil. Diq mencoba bertahan dengan kejenakaannya, meskipun suasana di sana cukup tegang.
"Kalau bukan karena hubungan kita di atas kertas, percaya saja, kamu sudah tidak ada di sini."
Ginela berpura-pura terkejut, meletakkan tangan di dada.
"Astaga, sampai segitunya? Padahal aku ini kan pegawai potensial. Lulus kuliah dengan IP cumlaude. Dan kira-kira, siapa lagi yang bisa bikin suasana kantor menyenangkan dan nggak kaku selain aku?"
"Kamu terlalu percaya diri, Ginela. Aku butuh karyawan yang disiplin, bukan badut kantor."
Sikap arogan dan dingin Gilang sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berhasil membuat Ginela tersenyum lebar dan mengangkat alis
"Badut itu pekerjaan mulia, loh. Mereka bikin orang tertawa. Ngomong-ngomong Pak Bos kapan terakhir kali tertawa? Ah, jangan-jangan dah nggak ingat lagi gimana rasanya tersenyum atau bahagia?"
"Dengar, Ginela. Di sini, aku tak ingin melanjutkan pembahasan unfaedah ini. Waktuku sangat berharga. Aku juga tidak peduli status kamu di luar. Di kantor, kamu harus profesional. Dan profesional itu berarti datang tepat waktu, menyelesaikan tugas tanpa drama, dan tidak mengganggu siapapun."
"Mengganggu? Wah, berat banget tuduhan Pak Bos. Kalau aku mengganggu, kenapa nggak sekalian kasih peraturan 'dilarang bernapas di dekat Gilang Saputra'? Biar jelas!"
Gilang menyipitkan mata, nadanya semakin ketus.
"Jangan coba-coba bermain kata denganku. Kamu hanya membuat dirimu terlihat tidak kompeten."
"Hmm... nggak kompeten? Apakah kompeten maksud Bapak, kita harus jadi karyawan dingin nan arogan? Hm, kalau gitu, aku perlu kursus private ke Pak Bos."
"Ginela!"
Gilang menaikkan satu oktaf. Nada itu cukup untuk membuat Ginela berhenti sejenak, meskipun senyumnya tidak pudar.
"Saya tidak punya waktu untuk meladeni lelucon kamu. Fokus pada pekerjaan yang sudah diberikan. Kalau tidak, jangan harap saya akan memberi toleransi lagi."
Ginela pun berdiri dengan gaya anggun, membungkuk kecil seperti pelayan di drama kerajaan.
"Siap, Pak Bos. Mulai sekarang, saya akan jadi karyawan teladan. Disiplin, profesional, dan yang terpenting, tidak bernapas di dekat Bapak."
Gilang menggelengkan kepala setelah kalimat terakhir yang terdengar sindiran
"Keluar!"
Ginela melangkah keluar dengan langkah kecil yang ditiru seperti robot, lalu berhenti di pintu dan menoleh sambil tersenyum cerah.
"Oh iya, Pak Bos. Nggak usah sering cari pencitraan, sekali-kali kamu butuh santai sebentar. Kata orang, stres itu bikin kerutan dini. Nggak mau kan, usia 30-an tapi wajah kayak umur 50?"
Sebelum Gilang sempat merespons, Ginela melambaikan tangan dan keluar begitu saja. Pria itu menghela napas panjang, memijat pelipis sambil bergumam pelan, nyaris seperti mengeluh kepada diri sendiri.
"Kenapa aku harus menikahi perempuan itu?"
***
"Ini kantor atau museum arsip, sih? Harusnya aku bawa masker dan alat pendeteksi fosil."
Ginela tersenyum kecil, mencoba menghibur diri sendiri di tengah suasana yang tak menyenangkan. Pasalnya udara gudang tersebut terasa lembab dan berdebu. Sepertinya jarang sekali orang mendatangi tempat ini, apalagi membersihkannya.
Baru saja, dia akan berjalan, derap langkah kaki terdengar dari belakang. Gadis penyuka merah hijau itu menoleh dan mendapati Sarah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Sorot mata wanita itu membuat suasana menjadi makin tidak nyaman.
"Kalau kamu selesai bercanda dengan dirimu sendiri, mungkin kamu bisa mulai bekerja. Berkas yang harus kamu cari ada di rak paling belakang. Perhatikan tanggal dan bulannya. Pastikan semuanya sudah tersusun rapi sebelum jam pulang kerja."
Ginela tersenyum tipis, berusaha menjaga nada suaranya tetap ceria. Lantaran dia tidak yakin bisa menyelesaikannya tepat waktu, kecuali dia lembur untuk hari ini.
"Wah, tugas yang luar biasa menarik. Ada tips supaya nggak tersesat di labirin arsip ini?"
"Tipsnya? Jangan buang-buang waktu dengan omdo. Mulai kerja."
Sarah menyeringai dan menoleh sekitar gudang. Tak ingin mendengar tanggapan Ginela, dia pun berbalik. Namun, dia berhenti sejenak sebelum keluar, pun suaranya berubah menjadi sinis.
"Oh, dan satu lagi. Jangan harap ada yang membantu. Ini tugasmu, bukan tugas tim."
Ginela hanya mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli meski hatinya mulai kesal. Belum sempat dia memulai, Nayla tiba-tiba muncul dengan wajah cemas.
"Gin, aku bantu ya? Serius, ini pekerjaan yang nggak masuk akal. Gimana bisa kamu selesaikan sebelum waktu pulang!"
"Nay, kamu menguping?"
Nayla pun mengangguk dan memasang wajah prihatin.
"Ayo, kita kerjakan sama-sama. Keterlambatanmu ini juga karena aku."
"Ahhhh, kamu memang malaikat penyelamatku. Kalau kamu nggak datang, mungkin aku sudah jadi mumi di sini."
Namun, sebelum Nayla sempat melangkah lebih jauh, Sarah kembali muncul. Seakan muncul entah dari mana, wajahnya tampak puas menemukan Nayla di sana.
"Nayla, kamu bukan pegawai magang yang bisa keluyuran sesuka hati. Kamu dibutuhkan divisi pemasaran sekarang. Ada data klien yang harus di-update. Segera."
Nayla mencoba negosiasi sambil menatap Sarah dengan kesal.
"Tapi, Bu Sarah, saya cuma ...."
"Saya nggak buka sesi diskusi sekarang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, saya bisa lapor ke Pak Gilang soal kelalaianmu."
Nayla menatap Ginela dengan penuh rasa bersalah, dan Ginela hanya tersenyum tipis
"Santai, Nay. Aku bisa handle sendiri, kok. Lagi pula, siapa tahu di sini aku nemu harta karun."
Dia mengedipkan mata jenaka, mencoba mengurangi ketegangan. Dengan berat hati, Nayla pun pergi. Kini Ginela sendirian di gudang itu, menatap tumpukan berkas yang seolah mengejeknya.
"Jangan buang-buang waktu. Mulai kerja. Bla bla bla."
Ginela bergumam, menirukan suara Sarah dengan nada lucu. Lalu, dia tertawa kecil, kemudian menghembuskan napas panjang, mulai membuka rak demi rak.
Di ruang kerja, Sarah berbicara di telepon dengan seseorang. Nada suaranya rendah, nyaris seperti orang berbisik. Matanya menatap sekitar dengan hati-hati.
"Iya, dia sudah ada di sini. Baru mulai kerja hari ini."
Suara di ujung telepon tidak terdengar jelas, tetapi ekspresi Sarah berubah menjadi lebih serius
"Tenang saja. Aku pastikan dia tidak akan betah lama di sini. Aku tidak akan membiarkan dia merebut apa yang sudah menjadi milikmu."
Dia mengakhiri panggilan dengan bibir melengkung menjadi senyum sinis
Hmmm, siapa kira-kira yang dihubungi Sarah? Lanjut gak nih? Kasih komen dan love, jangan lupa, ya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
