GILANG (1-5)

1
0
Deskripsi

"Tidak boleh ada yang tahu kalau kita suami istri. Di kantor kamu karyawan biasa, tak akan dapat perlakukan khusus dariku."

Tapi kenapa aku kesal sendiri ketika melihat dia senyum-senyum tak jelas dengan pria lain?
 

GILANG BERSAMA TANPA RASA 1

"Mas Gilang, gimana? Apa aku cantik dengan make up dan aksesoris ini?" tanya Ginela pelan sambil menuduk sedikit kepalanya.

Pria itu hanya melirik sekilas. "Biasa aja," jawabnya singkat, lalu beralih memeriksa ponselnya. Entah pesan dari siapa, tapi raut wajahnya sedikit lebih hidup ketika membaca layar itu.

Pernikahan seharusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi kedua mempelai. Namun bagi Ginela, kebahagiaan itu terasa seperti bayangan yang sulit dijangkau.

Sejak pagi hingga detik ini, Gilang yang kini resmi menjadi suaminya, tidak menunjukkan secuil pun emosi hangat. Wajahnya tetap sama seperti pertama kali mereka bertemu untuk membahas perjodohan ini. Dingin dan cuek

Di tengah ruangan resepsi sederhana yang dipenuhi sanak keluarga, Ginela berdiri di samping Gilang, memaksakan senyum terbaiknya untuk menyembunyikan rasa canggung.

Sesekali dia melirik pria itu, berharap ada kata-kata manis, atau setidaknya satu senyuman kecil yang bisa meyakinkannya bahwa dia tidak salah melangkah. Namun, Gilang hanya diam. Bahkan saat tamu keluarga menyapa, dia hanya menanggapi sekadarnya, nyaris tanpa ekspresi.

"Dasimu agak miring, aku perbaiki, ya?"

Baru saja, tangan Ginela hendak menyentuh bajunya, Gilang pun menepis sedikit kasar.

"Tidak perlu. Jangan sok peduli,” suara Gilang terdengar ketus

Gilang berdiri di sisi kanan Ginela, mengenakan jas hitam yang membuat wajah arogan kian tampak tak tersentuh. Matanya melirik Ginela dengan kilatan dingin, seolah-olah dia tengah berbicara dengan orang asing yang tak penting.

Kata-katanya seperti duri yang menusuk perlahan. Ginela menunduk dan meremas erat buket bunga Lily yang ada di genggamannya. Gaun putih yang anggun terlihat begitu sempurna, tapi apa gunanya jika pria yang kini menjadi suaminya tak mau mengakui keberadaannya?

Terlebih saat Gilang kembali menatap ponsel usai membetulkan posisi dasinya. Ginela merasa tersaingi dengan barang tersebut. Entah kenapa dia merasa kalah dengan benda mati yang tak tahu apa isinya.

Apa mungkin, itu pesan dari seseorang spesial? Pikiran itu melayang, tetapi dia segera menepisnya. Tidak, ini bukan waktu untuk terlalu sensitif, batinnya. Akan tetapi, hati kecilnya mulai terasa perih.

Setelah resepsi selesai, malam kian larut. Mereka pun menginap hotel di gedung yang sama dengan resepsi tadi. Tentu saja, ide itu dari kedua orang tua Gilang. Agar kedua pengantin baru tidak terlalu lelah dan bisa menikmati malam pertama tanpa gangguan siapapun.

Kamar pengantin dengan perpaduan kemewahan dan kehampaan. Lampu gantung kristal yang berkilauan di langit-langit tampak seperti bintang yang kehilangan sinarnya. Tirai beludru berwarna krem membingkai jendela besar yang menghadap gedung bertingkat. Di luar tampak bulan purnama memantulkan cahayanya, tapi keindahan malam itu terasa seperti ejekan bagi hati Ginela.

"Mas, aku tadi lihat keluarga Mas baik sekali. Mereka ramah sama aku. Baru kali ini, aku ...."

Ginela menggantungkan kalimatnya, berharap ada respons yang sedikit lebih hangat. Namun, Gilang menanggapinya tanpa menoleh.

"Nggak usah baper. Mereka hanya menjalankan kewajiban."

Jawaban Gilang tanpa ekspresi itu sanggup membuat udara di sekitar terasa dingin. Bukan karena AC yang berhembus, melainkan karena sikap Gilang yang membekukan suasana.

"Maksudnya gimana, Mas?"

Ginela berjalan mendekati Gilang yang mulai membuka jas dan diletakkan ke sofa. Melihat si istri berdiri di sampingnya, Gilang menoleh dan menatap kedua mata dengan raut tak suka.

“Kamu tahu?” Gilang melanjutkan dengan nada rendah.

“Pernikahan ini hanya kesepakatan. Jadi, jangan pernah berpikir kalau kamu bisa menjadi bagian dari hidupku.”

Ginela mengernyitkan dahi. Setahunya, kedua orang tua Gilang sangat menyukainya. Perjodohan itu sudah dibicarakan dua atau tiga tahun lalu.

“Aku nggak tahu kenapa Mas terlihat membenciku,” katanya dengan nada ceria untuk menutupi hatinya yang mulai retak. “Bukankah kita sudah saling mengenal sejak kecil?”

Gilang mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. Sorot mata itu penuh kemarahan. “Kamu kenal tapi aku tak pernah mengenalmu, Ginela. Bagiku, kamu adalah penghalang. Ingat itu.”

Kalimat yang keluar dari bibir suaminya, bak badai besar yang menggulung kapal kecil di tengah lautan. Dada Ginela bergemuruh, tapi dia tak ingin menunjukkan kelemahannya. Gadis itu malah tertawa kecil sambil menutup mulut dengan telapak tangan. Hal itu membuat Gilang menjadi heran.

“Ada apa?” tanya Gilang dingin.

“Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau bilang selamat tidur.”

“Nggak usah lebay."

Gilang pun hendak berjalan menuju kamar mandi, tetapi Ginela buru-buru menghalangi langkahnya.

“Kok, gitu, sih? Aku, kan, cuma mau jadi istri yang baik.”

Suaranya terkesan sedikit nada menggoda di sana. Dia masih berusaha terlihat baik, walau tanpa timbal balik hangat dari pria itu.

Gilang mendengus.

“Gak usah sok kuat. Nggak ada gunanya bikin kesan di depan aku.”

“Aku nggak sok kuat. Lagipula emangnya aku butuh kesan? Mas ini udah dapet paket lengkap, loh. Aku tuh, cantik, pintar, lucu.”

Dia menunjuk dirinya sendiri dengan bangga, membuat Gilang akhirnya menoleh dengan alis terangkat.

“Kamu sadar nggak sih, kalau kamu itu berlebihan?” sindir Gilang.

“Berlebihan itu tanda-tanda ada kehidupan, Mas.”

Ginela sengaja memanggilnya dengan nada manja, membuat Gilang menatapnya dengan kesal.

“Kalau aku nggak berlebihan, hidup Mas bakal datar-datar aja. Nggak ada warnanya.”

“Percaya diri sekali,” jawab Gilang dingin.

“Kalau aku nggak percaya diri, siapa lagi yang bakal percaya sama aku?”

Ginela tersenyum lebar, matanya bersinar seperti anak kecil yang menang dalam perdebatan.

"Jangan bodohi diri sendiri. Pura-pura bahagia atau ...."

“Siapa yang pura-pura, Mas? Aku benar-benar bahagia, kok. Aku senang bisa nikah sama Mas karena aku ...."

“Kamu tahu ini cuma pernikahan formalitas. Jangan harap aku bakal berubah pikiran.”

Ginela mengikuti langkahnya kala melihat melangkahkan kaki ke toilet. “Aku nggak minta kamu berubah pikiran, Mas. Aku cuma minta satu hal.”

“Apa?”

“Jangan lupa pakai krim malam. Kamu kayaknya butuh itu biar wajahnya nggak tambah dingin,” jawab Ginela dengan nada serius, tapi matanya berkilau jenaka.

Gilang menatapnya tajam sejenak lalu melanjutkan kaki masuk ke dalam kamar mandi.

Siapa bilang Ginela masih kuat? Dia lelah dengan penolakan suaminya. Dia hanya berpura-pura tegar agar tak terlihat rapuh di depan semua orang.

Di dalam hati, Ginela terus bertanya-tanya, Apa salahku? Mengapa aku harus menanggung semua ini? Namun, dia tetap berusaha kuat.

Baginya, pernikahan ini adalah awal dari mimpi indah yang diidamkan selama ini. Gilang adalah pria masa kecil yang berhasil menggetarkan jantungnya. Belum ada nama pria lain yang sempat singgah di hatinya, kecuali Gilang. Namun mengapa, setelah semua ini terwujud, rasanya tidak seperti yang dibayangkan.

Apa aku benar-benar pantas menjadi istri Mas Gilang?

Namun, lamunan itu buyar ketika pintu toilet tiba-tiba terbuka. Gilang keluar dengan rona wajah dingin seperti biasanya. Dia berdiri tak jauh dari Ginela, menatapnya tanpa emosi.

"Malam ini, aku ingin kau tahu satu hal," ucapnya dengan nada tegas.

Ginela menatapnya dengan jantung berdebar tak menentu. Gilang melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di depannya.

"Jangan berharap banyak dariku. Jangan pernah menaruh perasaan sedikit pun kepadaku. Aku .... aku tak akan pernah mencintaimu sampai kapanpun. Pernikahan ini hanya kesepakatan keluarga. Kuharap kamu paham dan ingat."

Ginela terdiam, tak mampu berkata apa-apa karena kehabisan tenaga. Namun, sebelum dia merespons, Gilang melanjutkan dengan nada yang lebih dingin.

"Dan satu lagi. Jangan pernah mencoba mencampuri urusan pribadiku. Kalau kamu melakukannya, aku tidak akan segan-segan membuatmu menyesal."

Gilang meraih ponsel dari meja dan berjalan menuju pintu tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

“Mas mau ke mana? Ini, kan, malam pertama kita. Seharusnya kita bersenang-senang,” ucap Ginela dengan nada ceria, meski hatinya ingin berteriak.

“Bukan urusanmu,” jawab Gilang dingin, lalu pergi meninggalkan kamar dengan langkah cepat.

Pintu tertutup dengan bunyi keras, meninggalkan Ginela sendirian. Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara jam dinding yang terdengar beradu dengan detak jantungnya.

Tega, Gilang meninggalkan Ginela yang terpaku di tempatnya. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya jatuh tanpa permisi. Malam pertama yang dibayangkan sebagai awal dari kebahagiaan ternyata menjadi awal dari mimpi buruk.

Ginela masih memandang ke arah pintu yang tertutup. Dalam hati, dia berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hati yang mulai rapuh.

"Aku akan bertahan. Entah bagaimana caranya, aku akan membuat Mas Gilang jatuh cinta padaku. Membuat hidupmu hampa tanpa keberadaanku."

Ginela menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Dia menatap kembali bayangan dirinya di cermin. Senyumnya yang tadi ceria kini berubah menjadi getir.

Ginela melangkah menuju jendela besar, membuka tirainya perlahan. Kedua matanya menatap bulan purnama yang menggantung di langit, mencoba mencari penghiburan dalam keindahan malam.
 

***

BAB 2

"Lama."

Pagi ini, Gilang beri perintah via aplikasi pesan, agar istrinya segera berkemas dan pulang ke rumah. Dia akan menunggu di depan lobi.

Tadi malam, Gilang tidak kembali ke kamar pengantin mereka. Entah ke mana, Ginela belum menanyakannya. Mungkin, dia tak akan bertanya kalau bukan Gilang sendiri yang menjelaskan.

Ginela menoleh, menatap Gilang dengan senyuman kecil yang dipaksa hadir di wajahnya. Kata singkat yang baru keluar dari bibir suami, sedikit mempengaruhi suasana hatinya.

Suara pintu mobil yang ditutup pelan menggema di mobil. Ginela duduk di kursi penumpang, membuang napas dan berusaha menampilkan senyum cerah yang selalu menghiasi wajahnya.

Namun, dari kursi pengemudi, Gilang hanya melirik sekilas sebelum kembali memusatkan perhatian pada setir. Tentu saja, raut wajahnya menunjukkan arogan dan  tetap dingin seperti dinding es.

Ginela memiringkan kepala, memperhatikan Gilang dengan senyuman penuh arti.

“Mas, kamu tahu nggak?”

Dia mulai dengan nada riang seperti anak kecil yang sedang bercerita.

Gilang menghela napas panjang dan tangannya bergerak untuk menyalakan mesin. Sama sekali tidak tertarik dengan apa yang akan diucapkan gadis itu.

“Kita tuh kayak di film-film, drakor atau bollyhood gitu. Suami ganteng, mobil keren, istri cantik.”

Ginela menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Kita kayak pasangan serasi yang tiada duanya di dunia ini.”

Gilang mendengus, mencibir tanpa bisa menyembunyikan ketidaksabarannya.

“Pasangan serasi apanya? Kamu terlalu banyak berimajinasi.”

Ginela tertawa kecil, seolah sindiran itu tidak menyakitinya.

“Kalau nggak berimajinasi, hidup ini bakal ngebosenin banget, Mas. Apalagi kalau pasangannya dingin kayak kulkas.”

“Kalau aku kulkas, kamu itu apanya? Makanan busuk yang udah siap dibuang?” sindir Gilang sambil melirik tajam ke arahnya. Dia tak peduli apakah kalimatnya akan menyakiti atau tidak.

Ginela pura-pura merenung dengan ekspresi lucu. “Makanan yang sudah lama disimpan karena si kulkas itu terlalu cinta. Makanya sengaja dia pertahankan. Lama-lama jadi busuk, deh. Kayak kamu gini, Mas. Aku yakin kamu pasti akan menyayangkan kalau suatu saat aku akan pergi dari hatimu."

Gilang menekan pedal gas, menggerakkan mobil dengan kecepatan sedang. “Jangan mimpi.”

“Mimpi itu tak pernah dilarang, apalagi bermimpi yang ada kamunya, Mas,” balas Ginela sambil tersenyum lagi, seolah baru saja memenangkan perdebatan.

Gilang mengabaikannya. Tatapan mata itu fokus pada jalan di depan. Suasana kembali hening, tetapi Ginela tidak membiarkan keheningan berlangsung lama. Dia mengambil dan menyalakan ponsel, lalu bersenandung pelan lagu yang tak jelas nadanya.

“Bisa diem nggak? Berisik!” potong Gilang tiba-tiba, suaranya terdengar keras.

“Kenapa? Aku nggak ganggu kok,” jawab Ginela.

“Kamu ganggu.”

Ginela menyandarkan punggung dengan ekspresi berpura-pura tersinggung.

“Mas Gilang ini galaknya nggak ketulungan, ya. Jangan-jangan dulu dan sekarang kamu nggak punya temen, ya.”

Gilang mendadak menginjak rem saat lampu merah menyala, membuat Ginela sedikit terhuyung. Dia menatapnya tajam.

“Denger, ya, Ginela. Jangan terlalu banyak bicara soal aku. Fokus aja sama urusanmu sendiri.”

Ginela balas menatap dengan mata yang menyipit sedikit, lalu tersenyum jahil.

“Hmm, ternyata Mas tipe anak kecil yang rebutan mainan sampai nangis, ya? Atau punya sifat introvert? Gimana dengan tebakanku? Benar? Coba ....”

“Ginela!”

Gilang menaikkan nada setengah oktaf, membuat Ginela akhirnya terdiam. Namun, itu tidak bertahan lama. Dia kembali bersandar sambil tersenyum kecil.

“Oke, Mas. Aku diem. Tapi janji ya, jangan kangen sama suaraku nanti.”

Gilang tidak membalas. Dia hanya memutar setir dengan gerakan kasar ketika lampu berubah hijau. Namun, di balik sikap yang dingin, ada sesuatu tentang Ginela yang selalu berhasil menciptakan gejolak kecil di hatinya. Ya, meski dia terlalu sombong untuk mengakuinya.
 

***

 

BAB 3


"Selamat pagi!"

Suara ceria Ginela memecah keheningan. Senyum hangat yang dilayangkan membuat semua mata di meja makan menoleh ke arahnya.

Bu Retno, ibu mertuanya, membalas sapaannya dengan penuh kehangatan. Di samping, Pak Aditya, ayah tiri Gilang, hanya mengangguk singkat sambil menyeruput kopi.

Bu Rina, ibu Ginela, yang duduk di ujung meja melengkungkan bibir. Senyuman lembut itu memberi sedikit ketenangan di hati Ginela.

Nayla, adik tiri Gilang berdiri, lalu menarik tangan dan mengajak Ginela duduk di sampingnya. Lalu, dia menatap Ginela dengan mata berbinar. "Gin, kamu, kok cantik banget pagi ini? Semalam pasti tidur nyenyak, ya?"

Ginela tersenyum kecil. "Nyenyak, Nay. Kamar hotelnya sangat nyaman."

Nayla mengerutkan kening, lalu menyenggol lengan Ginela sambil tertawa kecil.

"Eh, cerita dong! Gimana malam pertama kalian? Pasti seru, kan?"

Pertanyaan Nayla yang tiba-tiba itu membuat Ginela membelalakkan mata. Wajahnya memanas, tetapi dia cepat-cepat menyembunyikan rasa canggungnya.  Dia mengalihkan pandangan ke Gilang yang langsung duduk di kursi kosong dan kebetulan ada di sampingnya.

"Malam pertama? Hahaha, biasa saja. Kita tidur karena kelelahan, kan, Mas Gilang?"

Semua mata tertuju pada Gilang. Pria itu mengangkat wajah sejenak, menatap Nayla dengan pandangan dingin.

"Kamu nggak punya topik lain, Nay? Kenapa harus bahas yang nggak penting? Kalau ngomong, usahakan ada manfaatnya," ucapnya sambil meletakkan ponsel di meja, tapi tidak sekalipun dia menatap Ginela.

Nayla mendengus kesal. "Ih, Abang ini! Ginela aja nggak keberatan, dibercandain."

Lalu, dia berbisik ke kuping Ginela. "Kayaknya abang aku itu memang dingin banget, ya? Hati-hati aja nanti kebekuan itu menular."

Ginela hanya tertawa kecil, berusaha mengalihkan perhatian. Dalam hatinya, dia merasakan perih yang tak terlukiskan. Bagaimana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan Nayla? Pada kenyataan, malam pertamanya justru dihiasi oleh kesepian dan kesunyian?

*

Sarapan berlangsung dengan percakapan hangat antara Bu Retno, Pak Aditya, dan Bu Rina. Mereka berbicara tentang banyak hal. Mulai dari rencana perjalanan kembali ke Amerika Serikat dua hari lagi, hingga harapan untuk masa depan Ginela dan Gilang.

"Jadi, kami memang harus kembali segera," ujar Pak Aditya setelah beberapa lama diam. "Tapi Gilang, ingat pesan Papa. Jaga baik-baik istrimu. Jangan sampai dia merasa sendirian di sini. Kalian juga harus belajar mandiri."

Gilang hanya mengangguk singkat tanpa mengucapkan sepatah kata. Sikapnya yang acuh membuat Bu Retno melirik tajam.

"Gilang, dengar kata papamu. Jangan hanya mengangguk tanpa arti."

"Iya, Ma," jawab Gilang dengan nada datar, bahkan tanpa mengangkat wajahnya.

Ginela tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.

"Pa, Ma, tenang saja. Saya yakin Mas Gilang akan menjaga saya dengan baik."

Bu Rina menatap Ginela dengan pandangan penuh harap. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu cerita ke Ibu, ya. Ibu selalu ada untukmu."

"Dengar, Gilang. Pernikahan itu tanggung jawab besar. Jangan sampai kamu abaikan."

Bu Retno makin kesal lihat sikap acuh tak acuh Gilang, seolah suara obrolan mereka tidak sampai ke telinganya. Lantaran tatapan Gilang hanya tertuju pada ponsel di tangannya.

Ginela menelan ludah, mencoba meredakan ketegangan yang perlahan menyelimuti ruangan.

"Jangan khawatir, Ma. Saya yakin Mas Gilang akan jadi suami yang bertanggungjawab," ujarnya dengan suara ceria, meski hatinya jauh dari perasaan itu.

Bu Rina tersenyum bangga pada Ginela. "Itu baru anak Ibu. Tetap semangat, ya, Nak."

Percakapan kembali mengalir. Kali ini, Bu Retno mengarahkan topik pada pekerjaan.

"Ngomong-ngomong, Ginela, kamu udah selesai kuliah, ya? Mau langsung kerja setelah ini? Udah ada kegiatan lain atau bagaimana?"

Ginela mengangguk antusias. "Iya, Bu. Saya memang ingin segera bekerja. Saya merasa lebih nyaman jika punya kesibukan."

"Bagus. Kalau begitu, bagaimana kalau kamu mulai bekerja di perusahaan Gilang? Dengan begitu, kalian bisa sering bertemu dan saling mengenal. Ya, maklum kalian, kan, menikah tanpa pacaran," usul Bu Retno sambil melirik Gilang, berharap mendapat dukungan.

Namun, respons Gilang tidak sesuai ekspetasi.

"Terserah, Dia bebas melakukan apa saja yang dia mau," ujarnya singkat dan padat tanpa mengangkat wajah. Mimik itu terlihat tak semangat.

Ginela mengatupkan bibir rapat-rapat. Dia tahu ide mertuanya datang dari niat baik. Akan tetapi, melihat sikap Gilang yang begitu tidak peduli, dia ragu apakah bekerja di perusahaan suaminya adalah keputusan yang tepat.

"Saya rasa itu ide bagus, Ma," tambah Pak Aditya.

"Kalau begitu, Nak Ginela mulai belajar dari bawah, ya, biar paham struktur organisasi perusahaan Gilang."

Gadis itu mengangguk ragu, sambil sesekali melirik Gilang yang masih dingin dan acuh tak acuh.

"Gilang, pastikan kamu memberikan bimbingan yang baik pada istrimu nanti."

"Baik, Pa," jawab Gilang singkat.

Ginela merasa hatinya mencelos. Dia tahu keputusan itu bukan berasal dari keinginan Gilang, melainkan tekanan dari keluarga. Namun, dia tidak ingin memperkeruh suasana.

"Terima kasih atas tawarannya, Pa, Ma. Saya akan mempertimbangkannya," ujarnya dengan senyum tipis.

"Nggak usah dipertimbangkan lagi, Gin. Ada aku di kantor. Aku siap mendidik, memandu hmmm, apa lagi ya namanya. Pokoknya aku rangkul deh kalau Bang Gilang masa bodo sama kamu."

Ucapan Nayla mendapatkan lirikan tajam Gilang, pun menanggapi dengan nada mengejek

"Kamu juga masih magang, Nay. Nggak usah sok paling pintar di sana. Kerjaan kamu aja masih ada yang salah."

"Ya, setidaknya di sana ada aku yang bisa nemani Ginela. Ya, kan, Gin? Kamu mau, ya?"

Buru-buru,  Nayla menutup mulut dengan telapak tangan, lalu mengalihkan pandangan ke makanan yang ada di piringnya. Baginya, tatapan Gilang adalah ancaman keras yang paling ditakuti. Selama ini, Gilang mengambil alih menafkahi adik tirinya itu.

Setelah sarapan, Nayla mengajak Ginela ke taman untuk berbincang. Sementara para orang tua masih bercengkrama di ruang tengah.

"Gin, aku nggak nyangka abangku bisa se-cuek itu sama kamu. Dia beneran nggak ngerti gimana caranya jadi suami, ya?"

Ginela hanya tertawa kecil. "Mungkin dia cuma butuh waktu, Nay. Aku yakin, pelan-pelan dia akan berubah."

Nayla mengerutkan kening. "Aku ragu, Gin. Abang itu sudah dingin dari dulu, bahkan sama aku juga gitu."

Ginela tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, meskipun diam-diam membenarkan ucapan sahabat kecilnya. Apalagi perlakuan Gilang tadi malam, yang tega meninggalkannya di malam pertama mereka.

"Gin," suara Nayla menyadarkan Ginela dari lamunannya.

"Jangan terlalu dipikirin, ya. Abangku memang begini dari dulu. Tapi dia bukan orang jahat, kok. Cuma mungkin dia butuh adaptasi dengan statusnya yang baru. Pernikahan kalian terkesan mendadak."

Ginela tersenyum samar. "Kamu memang adik ipar yang baik, Nayla. Terima kasih sudah jadi teman aku di sini."

"Selalu, dong," Nayla menjawab dengan senyum lebar.

Namun, jauh di dalam hati, Nayla merasa bersalah karena tidak tahu harus bagaimana membantu Ginela menghadapi Gilang.

Di sudut ruang tengah, Gilang duduk di sofa dengan ponsel dalam genggamannya. Wajah itu masih saja tampak datar, seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia tahu semua orang berharap sesuatu yang lebih darinya, tetapi dia merasa terlalu lelah untuk memenuhi harapan itu.

"Buat apa aku harus berpura-pura?" pikirnya. "Pernikahan ini sudah salah sejak awal."

Namun, saat dia menatap Ginela yang sedang tertawa kecil bersama Nayla, ada sesuatu yang mengganggu di relung hati. Perasaan itu seperti embusan angin dingin yang membuatnya tidak nyaman.

Sesuatu yang perlahan mulai mengguncang keyakinannya.
 

***

 

BAB 4


“Mulai malam ini, kamu pindah ke kamar tamu,” ucap Gilang dengan nada ketus.

Dia bahkan tidak menoleh, sibuk menyusun berkas di tangannya.

Ginela yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk, berhenti sejenak. Tatapannya tertuju pada si suami yang tengah berdiri di depan meja kerja kecil di kamar mereka. Namun, alih-alih cemberut, senyum kecil justru terbit di bibirnya.

“Pindah kamar tamu?”

Ginela mengulang kata-kata itu, untuk memastikan kupingnya tak salah dengar.

“Kenapa, Mas? Kamu takut aku ngorok di sebelahmu?” candanya sambil berjalan mendekat.

“Jangan bercanda, Ginela. Aku serius,” jawab Gilang tanpa memandangnya. Masih dengan aura dingin seperti biasanya.

Ginela memiringkan kepala, memerhatikan wajah suaminya.

“Kenapa serius sekali, Mas? Kamu bilang begitu seolah kamu bakal ngusir aku dari rumah ini.”

Gilang mendesah pelan. Kali ini dia menatap Ginela dalam-dalam.

“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Mulai malam ini, kita tidur terpisah. Titik.”

Tatapan dingin itu sungguh menyakitkan. Sudah tiga hari menikah, Gilang tak pernah menatapnya hangat. Akan tetapi, Ginela membalasnya dengan senyum lebar, lalu tertawa kecil.

“Ya ampun, Mas. Segitu takutnya kamu sampai nggak tahan tidur di kamar yang sama denganku? Padahal aku nggak ngelakuin apa-apa ke kamu.”

“Ginela.”

Gilang menegaskan namanya dengan nada rendah, seperti peringatan terakhir. Namun, bukan mundur, Ginela justru menyentuh bahunya dengan lembut.

“Mas, santai dong. Baru tiga hari nikah, masa udah pisah kamar? Orang tua kita bakal kecewa banget kalau tahu. Lagian, aku nggak gigit kok waktu tidur. Kalau kamu takut diganggu, aku janji tidur di pojokan, jauh-jauh dari kamu. Itu pun kalau aku lagi sadar. Tapi kalau lagi nyenyak, jangan salahkan aku kalau ...,”

Ginela sengaja menggantung kalimatnya, diikuti senyum manja yang dibuat-buat.

“Jangan halu.” Gilang menepis tangan Ginela dari bahunya. “Dan satu lagi, nggak usah sok manja. Itu nggak cocok buat kamu.”

Ginela mendekatkan wajahnya, menatap Gilang dengan tatapan menantang.

“Emangnya kenapa? Aku, kan, manja sama suami sendiri kok. Apa itu dosa?”

Gilang mundur selangkah, mengalihkan pandangannya ke samping. Tiba-tiba dia tak tahan membalas sorot mata istrinya. Dia takut khilaf.

“Cukup, Ginela. Jangan bikin aku makin muak. Kamu pindah ke kamar tamu sekarang, atau aku yang akan memindahkan barang-barangmu sendiri.”

Akhirnya Ginela mengangkat kedua tangan, seolah menyerah. Dia tak ingin memperkeruh suasana. Dia harus main cantik agar Gilang tak makin membencinya

“Baiklah, Mas Gilang Sayang. Aku pindah. Kamu menang,” ujarnya sambil memutar bola mata.

Dengan senyum kecil yang masih menghiasi bibirnya, dia melangkah ke arah pintu. Akan tetapi, sebelum memutar pegangan pintu, dia membalikkan badan.

“Tapi kalau malam-malam Mas kangen, jangan ragu-ragu ketuk pintu kamarku, ya.”

Gilang memandangnya dengan ekspresi datar. “Jangan mimpi, itu tidak akan terjadi.”

Ginela cekikian pelan sebelum akhirnya keluar dari kamar.

*

Nayla, yang kebetulan sedang duduk di ruang tengah, langsung menoleh saat lihat Ginela keluar kamar.

"Belum tidur, Gin?"

Ginela duduk di sofa, samping Nayla yang sedang menggunakan krim masker wajah.

"Bentar lagi. Simpan tenaga untuk mindah-mindahin barang."

"Mindahin? Ke mana? Barang apa?"

Wajah Nayla langsung serius, menghadap tubuh ke arah Ginela.

"Mas Gilang nggak mau tidur satu kamar denganku. Aku disuruh pindah ke kamar tamu?"

"Maksudnya?"

Dahi Nayla berkerut dalam. Ginela hanya mengangguk untuk meyakinkan apa yang ada di kepala sahabatnya adalah benar.

"Kalian pisah ranjang?"

Ginela kembali mengangguk kemudian mengangkat kedua bahu.

"Bang, apa-apaan ini? Baru juga orang tua kita berangkat tadi pagi, sekarang kamu langsung bikin keputusan gila seperti ini?"

Nayla berdiri dan berjalan mendekat kala mendapati Gilang keluar dari kamar. Pria itu melirik adiknya dengan tatapan kesal.

"Ini rumah tanggaku, Nayla. Bukan urusanmu."

"Tapi, Bang! Mana bisa kamu memperlakukan Ginela seperti ini? Dia istrimu! Setidaknya berikan dia sedikit penghargaan."

"Aku yang menentukan, bagaimana cara mengelola rumah tangga ini, bukan kamu. Kalau kamu terlalu ikut campur, jangan salahkan aku kalau mulai sekarang aku berhenti membiayai hidupmu."

Suara peringatan Gilang naik pelan, tetapi cukup tajam seperti be lati.

Nayla tertegun. Dia tahu betapa seriusnya ancaman itu. Kedua orang tuanya sudah menyerahkan biayanya pada kakaknya. Namun, rasa tidak terima atas perlakuan Gilang terhadap Ginela membuat dadanya panas.

"Gin, jangan diam saja! Kamu nggak pantas diperlakukan seperti ini!" Nayla menoleh ke Ginela, berharap wanita itu membela dirinya sendiri.

Namun, Ginela hanya tersenyum tipis dan menghampiri Nayla, lalu menepuk pundaknya dengan lembut.

"Nayla, terima kasih sudah membelaku. Tapi nggak apa-apa. Aku akan pindah ke kamar tamu seperti permintaan Mas Gilang."

"GINELA!" Nayla hampir berteriak, tetapi Ginela menggelengkan kepala.

"Mas Gilang benar, Nayla. Ini rumah tangga kami. Biarkan aku yang menghadapinya." Ginela berbicara dengan lembut, meskipun hatinya seperti dihimpit ribuan batu besar.

Gilang tersenyum kecil, senyum yang lebih menyerupai ejekan. "Lihat? Bahkan dia lebih mengerti dan sadar dengan posisinya dibanding kamu, Nay."

Nayla berdiri dengan wajah memerah karena marah.

"Dan satu hal lagi, jangan sampe kamu lapor ke Papa, Mama. Habis kamu!"

"Bang, suatu hari kamu akan menyesal!" katanya sebelum beranjak pergi, lalu membanting pintu kamarnya dengan keras.

*

Setelah Ginela selesai memindahkan barang-barang ke kamar tamu, Gilang memanggilnya lagi ke kamar

“Sekarang apa lagi, Mas? Jangan bilang kamu suruh aku pindah ke dapur.”

Ginela membuka pintu dengan santai, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu.

"Atau jangan bilang kalau kamu berubah pikiran. Atau jangan-jangan kamu udah kangen sama aku. Hmm, baru juga satu jam, Mas. Masa kamu udah ...."

“Duduk.”

Gilang memotong kalimat si istri dan jarinya menunjuk kursi di depan meja tanpa menoleh.

Ginela berjalan masuk dengan malas, duduk dengan gaya santai sambil melipat tangan di dada.

“Apa lagi aturan barumu, Mas? Jangan bilang, aku nggak boleh masuk ke ruangan ini juga?”

“Jangan banyak bercanda. Ini serius. Kamu harus fokus kala aku bicara.”

“Seriusnya nanti kalau ada yang penting, Mas. Kalau cuma aturan aneh-aneh, aku nggak janji.”

Gilang menatap dengan raut jengkel, tetapi Ginela membalas dengan senyuman yang dibuat-buat

“Mulai besok, kamu akan bekerja di kantor,” ujar Gilang akhirnya.

Ginela mengangkat alis, tampak sedikit terkejut.

“Benarkah? Wah, Mas baik banget! Aku nggak nyangka kamu akhirnya mau kasih aku pekerjaan di perusahaanmu.”

"Ini semua keinginan Papa dan Mama."

"Ya, whatever-lah itu. Intinya kamu tak keberatan mau sekantor denganku. Kita bakal sering-sering ketemu dan kerjasama dong, ya, Mas?"

Gilang menggeleng.

“Tapi ada syarat kalau kamu menerima tawaran kerja di kantor kami,” potong Gilang sebelum Ginela melanjutkan ocehan yang bagi Gilang sangat tak bermanfaat.

“Di kantor, tidak boleh ada satu pun karyawan yang tahu kalau kita ini suami-istri.”

Senyum Ginela perlahan memudar. “Hah? Maksudnya?”

“Kamu akan dianggap sebagai karyawan biasa. Tidak ada perlakuan khusus dariku. Dan satu lagi, jangan pernah mengganggu urusanku di kantor. Aku tidak ingin orang berpikir aku memberikanmu posisi karena status kita.”

Ginela mengangguk pelan, ekspresinya mulai serius.

“Baik. Kalau itu syaratnya, aku setuju. Lagian, aku juga nggak butuh perlakuan khusus. Aku pasti sanggup kerja seperti karyawan lain.”

Gilang mengangguk kecil, tampak puas. “Bagus kalau begitu.”

Namun, Ginela mencondongkan tubuh ke depan, menatap Gilang dengan senyum penuh arti.

“Tapi kalau kita nggak boleh kelihatan seperti suami-istri, apa aku boleh pura-pura nggak kenal kamu juga? Misalnya kalau kita ketemu di lift, aku harus bilang ‘permisi, Pak Bos’ gitu?”

Gilang menahan napas, kentara sekali merasa terganggu dengan cara Ginela berbicara. “Ginela, aku serius.”

“Ya, aku juga serius, Mas,” jawab Ginela, kali ini dengan nada lebih tenang. “Aku cuma mau tahu batasan yang kamu maksud.”

“Nggak usah berlebihan, bersikap sewajarnya saja.”

Ginela mengangguk sambil tersenyum kecil. “Baik, Pak Bos. Siap laksanakan.”

Gilang mendesah panjang. “Kamu boleh pergi.”

“Terima kasih atas izinnya, Pak Bos.”

Ginela berdiri dan berjalan keluar, tetapi menoleh lagi saat pintu sudah terbuka.

“Oh, iya, Pak Bos. Tapi jangan lupa, kalau di rumah ini, kita ini tetap suami-istri. Jangan terlalu sok dingin sampai lupa caranya jadi seorang lelaki sejati.”

Gilang tidak menjawab, hanya menatap Ginela yang akhirnya keluar dengan langkah santai.

***

Bab 5

“Kenapa dia selalu bersikap dingin seperti itu? Apa salahku?”

Malam itu, Ginela kembali ke kamar tamu dengan perasaan yang entah. Dia mencoba tetap ceria di hadapan Gilang, tetapi ada rasa nyeri yang mengganjal di hatinya.

Namun, Ginela tidak membiarkan pikiran itu terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Dia menghembuskan napas panjang, kemudian berdiri dan menatap cermin di depannya.

“Tenang, Ginela. Kamu pasti bisa bikin dia berubah. Kamu nggak akan kalah dari sikap dinginnya.”

Dia berjanji pada dirinya sendiri.

Sementara di kamar utama, Gilang duduk di tepi ranjang, memandangi cangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Dia mencoba mengalihkan pikirannya dari senyuman ceria Ginela yang entah kenapa terus terbayang di benaknya.

“Kenapa dia selalu terlihat kuat?” pikirnya.

Namun, Gilang segera menepis pikiran itu. Baginya, ini semua hanyalah pernikahan tanpa cinta yang dipaksakan oleh keadaan. Tidak ada gunanya memikirkan perasaan.

Malam itu, meski terpisah oleh dinding tebal, perang dingin di antara mereka terus berlanjut, tanpa ada yang tahu siapa yang sebenarnya lebih terluka.

*

Ginela melangkah keluar kamar dengan mata sedikit mengantuk. Dia menghirup udara sekitar dalam-dalam, mencoba menyadarkan diri sepenuhnya. Dapur menjadi tujuannya dan aroma makanan mulai memenuhi rongga penciumannya.

Langkahnya terhenti di ruang makan ketika matanya menangkap sosok Nayla yang duduk dengan santai. Kaki dilipat di kursi dengan secangkir kopi di tangannya.

“Nay, gaya kamu kayak influencer yang lagi sesi foto aesthetic,” sapa Ginela seraya mendekat.

Nayla menoleh dan tertawa. “Ya, jelas dong. Kalau aku nggak aesthetic, siapa lagi yang bisa nambahin suasana glamor di rumah ini?”

Ginela memutar bola mata sambil menarik kursi.

“Hmm, siapa yang nggak tahu, si paling aesthetic. Lihat deh, bangun tidur aja aku masih bisa tampil stunning begini.”

Nayla mengamati Ginela dari atas sampai bawah, lengkap dengan kemeja biru muda, celana hitam dan rambut berantakan. Lalu, tawanya meledak seketika.

“Iya, Ginela, stunning banget. Kayak artis Korea habis kena badai.”

Ginela memasang ekspresi dramatis, memegangi dadanya.

“Nayla, kenapa kata-katamu membuatku sakit? Aku ini pengantin baru, loh. Harusnya kamu memujiku biar semangat menjalani hari.”

"Kamu memang makhluk langka, Gin. Kadar percaya diri kamu itu melebihi batas rata-rata."

Ginela tertawa lepas. Baru detik itu, dia merasa riang yang sesungguhnya. Sejak menikah dengan Gilang tiga hari lalu, dia sama sekali belum bisa meluapkan kebahagiaannya.

“Hmm, ngomong-ngomong Mas Gilang belum keluar kamar?” Ginela mengerutkan kening, memasang wajah penuh tanda tanya. “ Apa dia masih tidur?”

Nayla menaikkan alis, lalu menahan tawa kecil. “Tidur? Bang Gilang, tuh, udah berangkat dari jam enam pagi tadi.”

Ginela melongo. “What? Serius? Kenapa dia nggak bilang apa-apa ke aku?”

Nayla mengangguk sambil menyeruput kopinya.

"Bang Gilang emang kek gitu. Karyawannya belum datang, dia udah standby di ruangannya. Apalagi kalau ada meeting, pasti akan lebih awal lagi datangnya."

Ginela melempar tatapan kosong ke arah meja makan. “Aku nggak dikabarin sama sekali. Kalau tahu gitu, aku bisa siap-siap biar bisa berangkat bareng. Aku tuh pengantin baru yang tak dihargai. Bener-bener kisah cinta yang romantis, ya.”

Nayla menahan tawa sambil menepuk bahu Ginela. “Sabar ya, Gin. Bang Gilang tuh memang rada gimana ya, model manusia purba yang perlu dilestarikan.”

Ginela ikut tertawa, kemudian matanya berbinar seperti mengingat sesuatu.

“Eh, Nay, ngomong-ngomong soal kita. Kamu ingat nggak dulu waktu kita satu sekolah?”

Nayla mengangguk cepat. “Ingat dong. Kamu itu, loh, dulu suka banget cari perhatian ke Bang Gilang. Semua orang tahu!”

“Eh, kok, semua orang bisa tahu sih?” Ginela memasang wajah pura-pura malu.

“Ya, iyalah. Kamu dulu tuh sering banget nulis nama dia di buku catatan kamu. Terus sok-sok pinjam buku Bang Gilang.”

Ginela tertawa sambil menutupi wajah dengan tangan. “Astaga, Nay! Kenapa kamu masih ingat hal itu? Kalau nggak salah, waktu itu masih SMP, kan?”

“Gimana nggak ingat? Aku, kan asisten pribadi kamu waktu itu. Selalu diminta nyelipin barang ke tas Bang Gilang,” balas Nayla dengan tawa geli

Ginela berdeham, mengalihkan pandangan ke roti bakar yang tersaji di meja. Sementara Nayla masih tersenyum mengingat kenangan masa remaja mereka.

“Waktu kita masih tetanggaan, kamu juga sering ikut ibu kamu mampir ke rumah kita, kan? Main di taman belakang sama aku. Tapi kayaknya tujuan utamamu bukan aku, deh.”

Ginela pura-pura kaget. “Yah, aku memang mau main sama kamu, Nay."

Nayla tertawa sambil menepuk meja pelan. “Kamu tuh suka banget cari-cari alasan buat ngelihat Bang Gilang. Kamu kira aku nggak bisa lihat, mata kamu lirik-lirik abangku terus?"

Pipi Ginela langsung memerah. “Astaga, Nay! Ternyata kamu salah paham. Aku tuh nggak ...."

"Dah, nggak usah berdalih lagi. Ngaku aja."

Ginela mengerucutkan bibir, tapi akhirnya ikut tertawa. “Duh, malu banget. Tapi memang sejak kecil aku suka sama dia. Gayanya cool. Bikin penasaran."

"Cieeee. Kirim salam dan tulis surat cinta melulu walau nggak berani kasih sendiri. Untung ada aku, Gin. Harusnya kamu berterimakasih padaku." Nayla tak mau berhenti menggodanya.

Ginela menggeleng dengan ekspresi putus asa, meski senyumnya tak pernah hilang. “Dan semua usaha itu sia-sia. Mas Gilang nggak pernah baca surat dariku, kan? Apa jangan-jangan waktu itu, dia udah punya pacar?”

Nayla terkekeh, tapi kemudian wajahnya melembut.

“Aku nggak tahu jelasnya. Tapi dia memang pernah punya pacar, tapi hubungan mereka keknya ...."
 

Lanjut?

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya GILANG 6-8
1
0
Tak usah baper, sok manja dan berlebihan di depanku. Pernikahan ini hanya kesepakatan keluarga. Jangan pernah menaruh perasaan kepadaku. Aku tak akan pernah mencintaimu selamanya.Tapi heran, mengapa dia kayak kebakaran jenggot saat lelaki lain mendekatiku?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan