
Ikuti Kisah Mas Romi dan Gina dalam Perjodohan yang direncanakan kedua orangtua mereka.💗
FULLPART (lebih hemat) bisa baca di link ini.
MENIKAH DENGAN PRIA DEWASA (1)
"Please, jangan bocorin ya, ra-ha-si-a."
Aku memohon dengan suara pelan kepada kedua sobatku. Kita berteman sudah 5 tahun. Nella dan Linda. Nella lebih dewasa, tegas dan pintar sedangkan Linda sedikit lola, you know, maksudku.
"Gile, lu. Zaman gini masih aja ada jodoh-jodohan? Kayak cerbung di novel-novel online aja, pake kawin dijodohin segala."
Nella pun menurunkan nada suara sambil sedikit menunduk. Pasalnya, kita lagi duduk di kelas di antara teman lain yang sedang menunggu dosen Anatomi.
Linda yang duduk tengah di antara kita menoleh ke aku dan Nella secara bergantian. Kayaknya dia bingung dengan apa yang dibahas barusan. Harap maklum ya, kayaknya dia belum sarapan.
"Kalian lagi bahas apa? Cerbung novel yang mana? Oh, yang Authornya Dear, Mr.Mantan itu? Ya, ellah, kalo yang itu, aku udah baca, kisah Bastian dan Keysha, kan?"
Tuh, kan, aku bilang juga apa. Dia mah agak lola, kita lagi bahas apa, dia bahas apa. Kadang aku bingung masa kecilnya dikasih ASI nggak, sih? Konon katanya bayi yang diberi ASI di dua tahun pertama, tingkat kecerdasan lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI.
"Astaga Lin! Enggak ada yang bahas tentang novel."
Kulihat Nella mengusap dada, kayaknya dia sedang mengumpulkan stok sabar untuk menjelaskan. Hanya wanita berkacamata hitam itu yang sabar pada Linda, sedangkan aku tidak.
"Tuh, tadi lagi novel online kawin dijodohin." Tuh, kan, dia masih aja nyolot.
"Iya, Gina mau dinikahi sama om-om karena dijodohi sama papanya." Kalimat itu sudah cukup membuat teman lola kami mengerti apa permasalahan yang sedang kita bahas tadi, tetapi ....
"APA? GINA MAU KAWIN SAMA OM-OM?"
Ya, ampun dia berteriak mungkin karena kaget dengan kabar perjodohan itu. Duh, sebagian teman yang ada di kelas serentak menoleh ke sumber suara. Beberapa detik kemudian, mereka berpaling menatapku dengan mimik penasaran terbit di wajah mereka. Seketika, aku si korban, menjadi pusat perhatian mereka.
Ya, Allah, Linda, teman sumber cari masalah. Nella buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun tersenyum tipis sambil menelungkup tangan sambil berucap maaf dengan pelan. Kuharap mereka mengerti dengan gerakan mulut yang aku sampaikan. Sebagian dari mereka membalas senyuman tipis dan sebagian masa bo doh dengan apa yang barusan terjadi.
Mudah-mudahan mereka tidak mendengar jelas apa yang diucapkan Linda. Pasalnya kala dia berteriak tadi, wanita berambut pendek itu sambil mengemil kacang telur.
"Please, Lin." Aku merapatkan gigi dengan wajah kesal.
Aku tidak mungkin mempublikasikan pernikahan atas perjodohan itu. Aku terpaksa menikah diam-diam dengan om-om yang bernama Romi. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena setelah menikah aku harus tinggal di rumahnya. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu mengurung di kamar kalau weekend. Aku malas kalau harus bertemu dia yang juga libur kantor di hari itu.
Kadang aku izin ke Mall bersama Nella dan Linda. Pesan itu aku kirim via chat di aplikasi hijau. Artinya aku jarang berbicara tatap wajah dengan om itu, lebih tepatnya aku yang sering menghindarinya.
Kini pernikahan yang tak kuinginkan itu sudah berjalan hampir satu tahun. Pernikahan yang sah di mata agama dan hukum. Namun bagiku, itu sekadar pernikahan di atas hitam putih saja. Status istri yang kusandangi selama ini hanyalah formalitas di mata keluarga besar kita. Pernikahan yang kita lakonkan hanya untuk kebahagian kedua keluarga besar. Pernikahan tanpa didasari cinta seperti novel online atau drama web series zaman sekarang.
"Sudah makan?"
Suara pria itu menarik kesadaranku dari lamunan yang tak begitu penting. Aku mengerjapkan mata lalu membuang pandang ke televisi yang sengaja aku nyalakan untuk menemaniku saat berada di ruang tamu malam ini. Tumben, dia pulang cepat, biasanya jam segini dia belum pulang. Kata Bik Ima dia sering lembur. Kulirik sekilas ponselku, angka baru jam delapan.
"Sudah."
Aku menegakkan posisi duduk sebab tidak nyaman tiduran di sofa kalau ada dia. Jariku refleks menggeser layar ponsel yang ada di genggaman, entah apa yang aku lihat di situ. Intinya, aku hanya mengalihkan perhatian saja.
Dia yang berstatus suamiku menghempas bobotnya di sofa empuk yang tidak jauh dari tempat aku duduk. Lalu, jari kokohnya menekan tombol remote, mengganti siaran TV sinetron menjadi siaran berita. Sepertinya Mas Romi pun tak menanggapi jawaban dariku. Sekilas aku melirik dengan ekor mata, tampak matanya fokus ke acara berita khas bapak-bapak itu. Sudah kubilang, tidak ada pembicaraan yang bisa dibahas. Kita jauh berbeda dari segi umur dan pola pikir.
Merasa bosan, aku pun beranjak menuju ke kamar dan meninggalkan si suami sendirian di ruang itu. Lelaki umur 30 tahun itu tidak menghiraukan saat aku menaiki anak tangga.
Cuek, iya, aku bahkan tidak peduli dengan apa yang dia kerjakan selama ini. Aku berharap dia pun tidak usah mencampuri urusan pribadi.
Kita hidup dengan kesibukan masing-masing. Aku fokus dengan kuliahku yang sekarang masuk semester 6 dan dia sibuk dengan kerjaan yang selalu menumpuk di kantor. Bahkan kata Bik Ima, dia lebih sering lembur sebab selalu ada rapat dadakan atau ketemu kolega di luar kantor. Aku sama sekali tidak berminat mengetahuinya.
Sesampai ke kamar, aku langsung merebahkan tubuh yang cuma 160 cm ke ranjang dan memeluk bantal pink berbentuk hati. Pandangan langsung tertuju ke langit-langit kamar yang dipenuhi dengan stiker resin berbentuk bintang. Aku akan melihat sinar hijau di bintang itu kala lampu kamar dimatikan. Yang membuat aku seakan-akan berada di bawah tepat bintang itu berada. Indah sekali. Kejadian tahun lalu pun terngiang di benakku.
"Ini bukan zaman Siti Nurbaya, kenapa harus ada perjodohan ini, Pa?" protesku dengan lantang. Aku tidak mau pernikahan itu.
"Papa tidak peduli ini zaman Siti Nurbaya atau bukan. Kita keluarga besar hanya menjalankan amanah yang sudah kita janjikan sejak kalian kecil," jelas lelaki yang sudah membesarkanku sejak 20 tahun lalu.
"Tapi bisa, 'kan tunggu sampai aku siap dinikahi, setidaknya tunggu aku selesaikan kuliah sampe sarjana," alasanku lagi sambil menahan air mata yang sudah tertumpuk di pelupuk mata.
Aku tidak mau cita-citaku menjadi dokter, terhalang gara-gara harus menikah dini. Aku merasa umur 20 tahun masih terlalu muda untuk menikah.
"Tidak bisa, keluarga Pak Latif tidak bisa menunggu lagi. Lagipula keluarga sudah menyetujui surat kontrak. Sebelum surat itu ditandatangan, kalian udah harus punya hubungan suami istri. Karena papa ...," tegas Pak Faris setyawan yang merupakan ayah kandungku dan juga seorang pengusaha properti.
"Papa egois!" Aku langsung memotong pembicaraannya dengan nada meninggi.
"Mengorbankan putrinya sendiri demi usaha papa sendiri," ucapku marah, tak terkendalikan lagi sembari menetaskan air mata yang sudah penuh dan akhirnya terjatuh begitu saja tanpa bisa ditahan.
"Kamu ...."
Bab 2
Pagi ini, aku sengaja mengurung diri sampai jam delapan di kamar. Jadwal kuliahku di jam pertama pukul 10.00. Seperti biasa, aku menunggu Mas Romi berangkat ke kantor dulu. Iya, aku menghindarinya dan tidak mau berada satu meja saat menikmati sarapan pagi.
Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan kemeja biru dan celana jeans khas anak kuliahan. Aku duduk di depan kaca rias, memberi sedikit polesan bedak dan lip gloss yang membuat aku makin cantik. Ditambah lesung pipit di pipi kiri yang aku miliki.
Kata mama, itu menambah pesona di wajah putihku saat tersenyum. Mama percaya lelaki mana pun yang menatap akan jatuh hati padaku. Duh, mama selalu memuji hingga aku merasa terbang melayang ke angkasa nan jauh di sana.
Namun, yang dikatakan mama itu benar adanya. Zaman duduk di bangku SMA, selain pintar aku juga dijuluki gadis pematah hati para pria. Pasalnya, banyak pria terutama senior yang ada di sekolah, sudah banyak yang aku tolak ketika mereka menyatakan cintanya.
Banyak juga di antara mereka sering mengirim hadiah atau cokelat untuk mengungkapkan perasaan. Namun sayang, tak satu pun hadiah itu aku terima. Semua barang tersebut, aku berikan kepada kedua sahabat yang siap menampungnya.
Setelah selesai berhias, aku mengayun kaki keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ke dapur. Saat aku sampai di meja makan, aroma nasi goreng plus telor ceplok menusuk rongga hidung. Perutku terasa lapar seketika. Susu UHT dingin pun sudah tersaji di meja makan. Semua ini sudah disiapkan Bik Ima, asisten rumah tangga kami sejak Mas Rayhan masih kecil.
"Hari ini masuk siang, Non?" tanya Bik Ima setelah melihatku menarik kursi dan duduk di sana.
"Iya, Bik. Jam sepuluh." Aku mengambil gelas berisi susu dan meneguknya. Adem rasanya tenggorokanku.
"Mas Romi tadi pagi-pagi banget jam tujuh udah berangkat, katanya ada rapat dadakan di kantor," jelas Bi Ima sambil mengelap kompor yang berminyak habis memasak. Posisinya memunggungi dan tak menoleh ke arahku.
"Oh," jawabku singkat, lalu memasukkan sesuap nasi goreng ke mulut.
Sebenarnya aku kurang tertarik dengan kabarnya. Sering tidak bertemu, itu membuatku lebih nyaman karena aku merasa lebih baik seperti ini.
"Non!"
Bik Ima mendekati meja makan dan duduk di dekatku. Bik Ima memang sudah kami anggap orangtua, tidak pernah membedakan derajat antara majikan dan pelayan. Wanita berusia 48 tahun itu sudah bekerja lama di kediaman papa Mas Romi.
Nah, sejak kami menikah, Mas Romi mengajak Bik Ima untuk menemani dan melayani keperluan kami. Dari memasak, mencuci dan setrika pakaian sampai membersihkan rumah. Dulunya, Bik Ima adalah pengasuh Mas Romi sejak mamanya meninggal karena kanker serviks yang dideritanya. Waktu itu, umur Mas Romi masih 10 tahun.
Aku menoleh sekilas ke wajah Bik Ima yang mulai muncul keriput halus, tapi buatku dia tetap nyaman dipandang.
"Menurut Non, Mas Romi itu ganteng enggak?"
Astaga sudah berapa kali dia menanyakan pertanyaan yang unfaedah itu. Kulihat Bik Ima mulai kepo dan menunggu jawabanku. Dia melipatkan tangan dan meletakkannya di atas meja.
Sebenarnya telingaku risih dengan pertanyaan Bik Ima karena aku tahu maksudnya. Selak beluk yang aku dan Mas Romi alami di rumah ini, beliau tahu semuanya. Namun, dia berjanji tidak akan memberitahu kepada siapapun termasuk orangtuaku dan orangtua Mas Romi.
Dari masalah aku dan Mas Romi pisah ranjang sejak malam pertama, perang mulut dan sikap dingin di antara kita. Beliau juga tahu kami jarang berbicara dan bertemu karena sibuk dengan kegiatan kita masing-masing.
Bik Ima memaklumi keadaan kita yang tidak saling kenal, lalu dipersatukan tali pernikahan. Cuma, ya, gitu, Bik Ima orangnya kepo, suka menyomblangi kita. Mana tahu ke depannya bisa saling mencintai, katanya begitu.
"Hm, enggak tahu, Bik. Aku kurang perhatiin, sih," jawabku berdusta. Aku tahu Bi Ima ingin mengorek bagaimana perasaanku kepada Mas Romi.
Sebenarnya kalau mau jujur, Mas Romi memang tampan dengan tinggi 175 centimeter. Hidung mancung, dada bidang dengan kemeja panjang yang selalu dikenakan, membuat dirinya terlihat seperti pria eksekutif muda. Aku yakin banyak cewek di luar sana, tidak akan menolak memandangnya. Namun, tidak denganku. Lantaran pada dasarnya, aku tidak begitu menyukainya.
Kata Bik Ima, dulu Mas Romi suka fitnes. Pantas saja ada otot kekar di lengannya. Hanya saja, akhir-akhir ini dia tidak melakukan olahraga rutin itu karena tuntutan pekerjaan yang menyita waktu. Kini dia lebih suka jogging berkeliling di sekitar perumahan.
"Udah hampir 1 tahun jadi istri Mas Romi, masa enggak pernah perhatiin, sih, Non?"
Kayaknya Bi Ima makin penasaran sambil melayangkan tatapan menyelidik. Benar-benar ya nih si Bibik, jiwa paparazi-nya lebih besar daripada kedua temanku itu.
"Gimana ya ...."
Sengaja aku menggantung kalimatku sambil menggigit bibir, pura-pura berpikir.
"Ngomong-ngomong, kenapa Bibi tiba-tiba tanya ini, sih?"
Aku melirik ke arahnya dengan tatapan penuh curiga. Apa jangan-jangan, ini bagian skenario Mas Romi untuk mengintrogasi aku? Ah, kenapa aku jadi curiga gitu ke dia. Mana mungkin dia se-kepo itu.
"Non Gina masih belum bisa menerima Mas Romi sebagai suami Non?" Bik Ima malah bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan tadi.
"Apaan, sih, si Bibik, mah."
Aku segera melahap satu sendok terakhir nasi goreng, lalu menandaskan susu. Aku bergegas beranjak dan siap-siap untuk pergi guna menghindar pertanyaan Bi Ima yang lainnya.
"Aku ke kampus dulu, ya, Bik. Taksi online-nya sudah datang."
Aku pergi sebelum Bik Ima makin kepo, melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin aku jawab sama sekali. Meninggalkan Bik Ima yang geleng-geleng sembari senyum sendiri melihat kelakuanku.
"Hati-hati, ya, Non."
"Iya." Aku masih menyahutinya meskipun kakiku sudah berada di teras rumah.
Aku selalu naik taksi online saat berpergian ke mana pun, baik itu ke kampus, ke mall. Namun, kalau aku berpergian dengan teman, kita selalu nebeng mobil Nella. Alasannya mengurangi emisi gas dan polusi udara. Ngeles, sih, sebenarnya, padahal niatnya untuk menghemat ongkos.
Alasan lain aku menggunakan taksi online karena aku belum punya SIM kendatipun aku sudah bisa mengemudi mobil. Kala aku duduk di bangku SMA, pernah belajar mengemudi dari Kak Harris. Hanya saja, untuk mendapatkan SIM di Kantor Kepolisian, aku masih belum sempat mengurusnya, ada sederetan test yang harus aku lalui.
***
"Hai," sapaku setelah sampai ke kelas dan bertemu dengan dua sahabatku.
Mereka kompak menyapa dan menoleh sekilas.
"Nih buku Anatomi yang kamu pesan kemaren, Nel." Aku menyodorkan buku tebal itu ke arahnya.
"Oh, ya, pinjam dulu, ya. Senin aku balikin."
Aku mengangguk menanggapi dan langsung mengambil duduk bersisian dengan mereka. Kita memang sudah kompak sejak lima tahun lalu, jadi ke mana-mana kita selalu bersama. Baik itu ke nongkrong ke mall, kafe favorit, belajar bersama di perpustakaan. Bahkan ajaibnya, kita bisa ikut ujian negara dan lulus dengan jurusan yang sama, Fakultas Kedokteran.
"Eh, malam ini kita ke mana? Besok udah weekend, sabtu, minggu kita mau ngapain, ya?" tanya Nella minta saran kedua sobatnya sambil memainkan ballpoint.
"Aku punya DVD baru, nih. Drakor baru-nya Lee Ming Ho."
Linda memeriksa tas dan mengeluarkan dua buah DVD lalu menyodorkan kita. Aku dan Nella mengambil masing-masing satu, lalu memperhatikan judul dan sinopsisnya.
"Iya, bosan juga kalo weekend kita jalan ke mall, makan, shopping, muter-muter enggak jelas sampe pegel nih betis. Sekali-sekali nobar, nonton bareng. Huh, membayangin Lee Ming Ho," kataku senyum, membayangkan wajah artis favorit negara ginseng itu sambil memejamkan mata.
Kita bertiga memang penggemar drakor, K-pop. Maklum, masih suka nonton yang baper, gemoy artis Korea yang ganteng-ganteng. Yah eella, lebay banget memang. Kalau ada series drakor yang baru, kita enggak pernah ketinggalan, langsung gercep.
"Nobar-nya di rumahmu, ya?" saran Linda sambil menoleh ke arahku.
"Hah?"
Aku menoleh ke mereka yang kompak menatap ke arahku juga. Aku tak ada pilihan selain mengiyakan. Sebuah anggukkan pertanda setuju kuberikan meskipun sebenarnya aku tidak nyaman karena di rumah ada Mas Romi.
Suara notifikasi masuk ke ponselku bersamaan dengan anggukan tadi. Kuusap layar hitam itu dan tak sengaja aku menyunggingkan senyuman yang tak bisa kusimpan.
"Kenapa, Gin? Chat dari siapa?" Nella tanpa pamit langsung merampok ponselku.
"Ih, balikin, Nel." Aku mencoba merebutnya kembali.
Linda malah menghalangiku saat aku mencoba meraih kembali ponselku dari Nella.
"Astaga, Gin." Mata Nella melotot saat berhasil membaca pesan yang barusan aku terima dari seseorang.
*
Bab 3
"Apaan, sih?" Linda pun menarik paksa ponsel yang ada di tangan Nella.
"Ya, ampun, banyak amat. Pengirimnya Romi Atta Handoko." Linda menutup mulut yang menganga, matanya pun ikut melebar tak percaya.
Aku mendengus kesal karena pesan pribadiku telah dibaca mereka tanpa izin. Aku merampas kembali ponselku, lalu memasukkan ke dalam tas. Busyet, ketahuan sudah, uang bulanan yang ditransfer suamiku.
"Itu Om Romi, suamimu, kan? Uang sebanyak itu buat apa?"
Nella memperkecil suara ketika bertanya. Gadis itu memang tahu situasi dan kondisi, bisa mengendalikan diri ketimbang Linda, si gadis lemot.
Aku tidak menanggapi pertanyaannya, membuang pandangan ke papan tulis putih. Aku mau menghindari juga tidak bisa. Mereka tidak mungkin akan mengizinkan aku ke toilet sampai aku menjelaskan apa yang sudah mereka lihat barusan. Selama ini, aku tidak pernah membahas masalah uang nafkah yang diberikan Mas Romi sebagai suami.
"Hei, sepuluh juta?" Nella pindah posisi duduk di samping sambil meletakkan tangan ke pundakku.
"Uang jajan?" Linda menebak dengan memicing mata bundarnya.
Aku pun terpaksa mengakui dengan memberi anggukan pelan.
"Hah, yang bener? Banyak banget, Gin?"
Kulihat reaksi wajah mereka terkejut. Ya, iyalah pasti kaget. Dulu sebelum menikah aku hanya dikasih jatah sama papa tiga-empat juta saja untuk jajan sebulan. Aku seorang pengangguran yang hanya fokus kuliah. Rata-rata mahasiswa fakultas kedokteran tidak bisa bekerja setengah paruh karena waktunya habis di laboratorium dengan deretan praktikum di siang sampai sore hari. Beda dengan mahasiswa jurusan lain di bidang ekonomi atau hukum, setengah harinya mereka sudah diperbolehkan pulang karena jadwal kuliah yang tidak begitu padat.
"Buat bayar apa aja itu, Gin?" tanya Nella, tiba-tiba jiwa kepo-nya meronta-ronta. Soalnya aku tahu, uang jajan dari orangtua mereka tidak sebanyak itu.
"Apa, ya? Hmm." Aku mikir-mikir sambil memainkan bola mataku.
"Uang token listrik?" tebak Linda. Aku menggeleng.
"Uang WiFi internet bulanan?" tebaknya lagi sambil mendekatkan wajah ke arahku. Lagi-lagi, aku menggeleng.
"Gak tahu juga. Aku tidak pernah disuruh bayar ini-itu," lanjutku. "Buat bayar taksi online, mungkin."
"Tapi itu masih banyak banget sisanya," jawab Linda sambil mencibirkan bibir.
"Apa pun itu, Gin. Aku bilang suamimu itu tidak pelit. Aku mau lho kalau ada stok cowok kayak Om Romi-mu itu. Lumayan, kan, tajir, tampan, kalau jalan berdua ke mana-mana, jadi pusat perhatian. Ya ampun, aku tidak bisa membayangkan gimana-gimananya lagi." Cewek berkacamata itu menggoyangkan lenganku.
"Pada nge-halu, ya, lu orang pada," ketusku mengakhiri pembicaraan tak penting itu, dosen pun datang untuk memulai kuliah pertama.
💗💖💗
"Hari ini giliran Gina yang traktir, ya? Kan, baru dapat transferan dari suami tercinta." Gadis berambut pendek itu memintaku membeli cemilan untuk persiapan nobar kita siang ini.
"Yei, enak aja." Aku memanyunkan bibir beberapa centi. Ini namanya pemerasan secara halus. Tahu saja, kalau aku baru dapat uang bulanan yang lumayan banyak, mereka pada memalaki aku.
Tanpa jawaban setuju dariku, mereka terus memasukkan beberapa makanan ringan dan minuman kotak rasa buah-buahan ke dalam keranjang merah yang aku tenteng.
"Yang ini sekalian, ya, Gin." Linda, si rambut pendek itu meletakkan camilan ke dalam keranjang, lalu mendahuluiku.
"Ini juga, ya, oh, iya, aku langsung ke mobil, ya, tungguin kamu selesai," timpal cewek berkacamata— Nella, melewatiku ketika dia juga meletakkan barang yang sudah dipilih dari minimarket.
Aku mendengus kesal, tetapi ya, sudahlah, toh, ke mana-mana kita selalu nebeng mobil Nella. Hitung-hitung ada hubungan timbal balik, dia keluarkan uang bensin dan aku keluarkan uang camilan. Sementara Linda yang suka bantu-bantu bawain barang belanjaan. Kita memang menerapkan simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan.
Aku pun ikut antre ke barisan untuk membayar barang belanjaan yang sudah penuh di keranjang merah. Setelah selesai membayar, aku menuju ke Yaris silver milik Nella yang parkir tepat di ruko minimarket.
Tak lama kemudian, kendaraan roda empat itu melambat setelah hampir sampai di depan halaman rumah. Halaman rumah kami bisa menampung dua mobil sekaligus. Setelah turun dari mobil, kulihat tidak ada mobil Mas Romi. Berarti dia belum pulang, baguslah kalau begitu. Mudah-mudahan dia lembur sampai malam seperti biasanya, doaku dalam hati.
Setelah menyapa Bik Ima, kami mulai mencari posisi duduk ternyaman. Aku menyalakan layar LED 45 inch itu, sedangkan Linda menyetel DVD player. Sementara Nella sibuk menyiapkan camilan kita di atas meja.
Mereka sudah beberapa kali mampir dan numpang nonton di rumah. Mereka bilang, nobar di rumahku terasa nyaman. Selain karena kualitas televisi, DVD player yang dilengkapi dengan sound system lumayan jernih suaranya. Kalau nobar di rumah mereka, selalu ada orangtua yang memantau seperti kamera pengintai, tidak bebas, kata mereka.
Tak terasa kita sudah menghabiskan waktu beberapa jam untuk menonton delapan episode. Drama romantis itu seolah menghipnotis sehingga kita lupa waktu.
"Oh My God," teriak Nella melotot ke arah TV sambil mencomot beberapa kerupuk yang ada di tangan Linda.
"Oh, enak banget tuh cewek, dicium ama Lee Ming Ho," timpal Linda tak kalah seru. Matanya tak lepas dari layar, seolah tidak mau ketinggalan sedetik pun adegannya.
"Aku pun mau," sambung Nella lagi, agak lebay sih, menurutku.
Kondisi di ruangan sedikit rincuh dan gaduh dengan teriakan mereka berdua. Mereka tidak rela artis idaman mereka, Lee Ming Ho melakukan adegan romantis dengan artis partnernya.
"Lihat, lihat!" Jari Nella menunjuk ke layar TV yang ada adegan romantis lagi, kaki pun terangkat ke sofa. Terlihat nyaman memang, seperti rumah sendiri.
"Oh, ya, ampun senyumannya," kata Linda kagum sambil mencomot kacang yang ada di tanganku.
Ih, apaan sih, camilan yang di tangannya masih ada, main comot milikku. Aku menepuk tangannya dan dia meringis kesakitan lantas tersenyum ketika sadar kesalahannya.
"So sweet." Nella makin lebay sambil manyun-manyun.
Aku hanya menggeleng dengan ke-lebay-an yang sudah tercipta di antara mereka berdua. Aku suka dengan artis negara ginseng, tetapi aku masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terlalu fanatik seperti mereka. Toh, lebay seperti itu, untungnya apa?
Tak lama terdengar suara dehaman mengalihkan perhatian kita dari drama romantis. Langkah kaki terdengar makin jelas menuruni anak tangga kemudian sosok berkaos putih dengan celana jeans pendek mendekati ruang di mana kita berada.
Tatapan pria itu datar menatap ke arah kita bertiga. Aduh, gawat, kapan dia pulang? Kok, aku tidak menyadari saat dia menaiki anak tangga ke lantai dua. Terakhir aku melirik jam, jarum itu masih menunjukkan angka tiga sore.
Aku mengembuskan napas panjang, berusaha mempersiapkan diri dengan apa yang akan terjadi. Mungkin saja, dia merasa terganggu dengan suara bising yang tidak disengaja kita munculkan.
Ini gara-gara Nella dan Linda. Suara cempreng mereka pasti terdengar sampai di kamar lantai dua.
"Malam Pak, eh, Om, eh maaf," sapa Linda sambil beranjak dari duduk yang santai. Tangannya menggaruk kepala, leher, punggung, pokoknya apa aja yang tidak gatal sebenarnya untuk menyembunyikan rasa canggung. Dia terlihat salah tingkah dengan kehadiran Mas Romi, sampai-sampai dia bingung mau panggil apa.
"Mas kali, kok, Om, sih." Nella menyenggol sikunya. "Sejak kapan lo panggil Gina sebutan Tante. Kalo Om berarti istrinya, lo panggil tante, kan? " bisiknya dengan pelan biar tidak kedengaran suamiku.
Aku menahan tawa dan melirik sedikit ke mereka yang berdebat hal kecil yang tidak seharusnya terjadi sekarang. Linda pun ah, entahlah dia memang seperti itu. Lemot ketulungan. Semua masalah berasal darinya, bisa juga berakhir dengan tawaan karena keluguannya.
"Oh, iya, malam, Mas."
Linda meralat sapaan untuk Mas Romi sambil memasang wajah malu-malu kayak putri malu yang tak sengaja disentuh. Aku lihat wanita itu pun menunduk, menghindari kontak mata suamiku.
Lalu, pria berkacamata itu menghampiri kita sambil melempar sedikit senyum, masih dengan sikap khas yang dingin seperti es kutub utara. Terlihat dari tatapannya yang datar dan tidak berekspresi. Tampan sih, tapi ya itu, kesan wajahnya serius bak dosen killer.
"Maaf, ya, ini sudah pukul berapa? Apa orangtua kalian tidak khawatir anak gadisnya masih belum ada di rumah jam segini?" Akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya sambil melirik ke jam branded yang masih melingkar di pergelangan tangan.
Nella maupun Linda refleks ikut mencari jam yang ada di dinding untuk mengetahui jam berapa sekarang. Kami memang lupa waktu sampai tidak tahu jam berapa sekarang. Linda pun mengambil ponselnya dan mengecek jam.
"Oh My God, uda jam 12, Nel." Linda berteriak sambil menunjukkan layar benda canggih itu. Mata melebar dan mulut menganga, itulah ekspresinya yang membuat kita spontan senyum-senyum karena menurut kami, ekspresi itu lucu sekali.
"Iya, sih, tapi mamaku tahu kalo aku ada di rumah Gina. Tadi aku udah tlepon," tegas Nella. "Kalo lo, Lin, uda pamit ama nyokap?"
Linda mengangguk. "Udah, kok."
Mereka pun saling melempar tatapan kemudian berpaling ke arahku. Aku masih malas berdiri, pandanganku masih pura-pura fokus ke televisi. Namun, beberapa kali aku melirik ekspresi suamiku. Ada yang tak beres, kayaknya.
Mungkin kedua temanku sadar diri, tidak baik berada di rumah orang di jam Cinderella seperti ini, mereka pun memilih pamit pulang.
"Hmm. Kalo gitu, kita pulang aja, yuk! Aku anter kamu dulu, Lin." Gadis berkacamata itu mengambil tas dan mengeluarkan kunci mobil.
"Gin, kita pulang dulu, DVD-nya di sini dulu. Besok kalo lo mau nonton, nonton duluan aja." Linda pun sambil membereskan dan memasukkan barang-barangnya ke tas.
Aku mengambil remote dan menekan stop lantas mematikan layar televisi. Lalu, aku berdiri dan mengantar kedua gadis itu ke pintu tanpa sepatah kata pun.
"Maaf, Mas. Kami pamit dulu, ya," pamit Nella canggung, membalikkan badan dan menuju ke pintu.
Pria itu hanya mengangguk pelan menanggapinya. Aku pun mengekori langkah kedua gadis itu sampai mereka masuk ke mobil.
"Sorry, ya, Gin. Enggak enak, nih, sama Om, kita khawatir ntar lo bakalan diomelin dah," ucap Nella agak cemas, yang duduk di jok kemudi.
Iya, aku sering curhat kalau Mas Romi memang sering bawel kalau aku melakukan kesalahan bahkan untuk kesalahan kecil. Entahlah, seperti yang aku bilang, jalan kita berbeda. Jalan pikirannya lebih kritis, sedangkan pola pikirku lebih simpel.
"Enggak bakal, palingan dia juga udah langsung ke kamarnya, udah malam juga. Paling besok, aku akan menghindari dia sampe kamu jemput aku. Eh, besok kita jadi, kan, ke konser band Ksatria?"
Aku mencoba meyakinkan mereka kalau aku akan baik-baik saja. Padahal sejujurnya, aku tidak yakin Mas Romi tidak memberi petuah malam ini. Dia memang hobinya mencari kesalahan, lalu menceramahiku. Entah demi apa, aku tak mengerti.
"Ya, sudah, kalian hati-hati! Jangan lupa chat kalo udah sampe rumah," kataku sambil membalas lambaian tangan.
"Sip." Terdengar starter-an mobil Nella sambil mengacungkan jempol lalu melaju pergi.
Setelah melihat mobil silver itu menjauh dan hilang dari pandanganku, aku masuk dan mengunci pintu utama. Kakiku melangkah ke arah tangga. Tanpa kusadari ternyata Mas Romi masih duduk di sofa itu, sepertinya menungguku.
"Gina!" panggilnya dengan suara lantang.
Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara itu. M@mpus deh, tanggapi atau kabur langsung ke kamar, ya?
*
Bab 4
"Duduk, aku mau bicara sebentar," lanjutnya, berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
Aku sudah tahu apa yang akan dibahas, memberi petuah malam yang tidak penting dan sangat membosankan, tentunya. Dia selalu begitu. Jika menurutnya tidak cocok dari segi pandangannya, maka dia akan membuat peraturan baru yang harus aku patuhi. Otoriter banget, sih.
"Aku capek, aku mau istirahat," balasku alasan menghindarinya sambil berjalan menuju ke anak tangga.
"Berhenti!" titahnya lantang, berlari menghampiri dan menahan langkahku. Posisinya sekarang ada di hadapanku, hanya ada beberapa jengkal jarak di antara kami.
Aku bisa merasakan deru napas terengah-engah saat jarak kita seperti ini. Tatapan itu sedikit tajam, apakah dia marah karena aku mengacuhkan perintahnya? Aku mengalihkan pandangan ke samping, tak mau mempertahankan kontak mata itu.
"Duduk dan dengarkan aku dulu, setelah itu terserah kamu mau apa." Suaranya pelan tetapi tegas. Suara itu, entah mengapa membuatku sedikit takut, gugup dan akhirnya memilih untuk patuh.
Aku kembali mengayunkan kaki menuju ke sofa dengan langkah malas dan menghempaskan p*ntatku ke sofa yang empuk, memeluk bantal sofa.
Dia mengikuti langkahku dan mengambil duduk tepat di depanku. Aku tahu alasannya agar bisa melihat langsung ekspresi wajahku saat dia memberi kuliah tambahannya malam itu.
"Kamu itu tuan rumah tadi. Seharusnya kamu tahu waktu dan keadaan." Dia mulai memberi ceramah malam, membuat telingaku memanas seperti letupan larva. Hatiku jengkel. Sikapnya yang terlalu ke-bapak-bapak-an seolah hanya dia yang patut didengarkan.
"Bagaimana perasaan orangtua mereka yang cemas menunggu putrinya belum sampe ke rumah? Coba kamu bayangin aja, bagaimana kalo itu terjadi pada mama? Mama pasti akan khawatir, jika jam segini, gadis kesayangannya belum sampai di rumah. Mereka pasti akan mikir apakah terjadi sesuatu di jalan. Bagaimana keadaannya ...." Panjang sekali ocehannya itu, makin membuatku ingin merobek bibirnya.
"Udah?" potongku dengan pandangan kesal dan tidak membiarkan dia menyelesaikan celoteh yang terlalu posesif, menurutku.
Dia pun terdiam dengan tatapan sedikit sentimen. Mungkin menurutnya, aku tidak sopan memotong pembicaraan atau mungkin tidak suka dengan sikap pembangkangku. Aku tidak pernah bersikap manis atau manja di depannya.
Bagiku, dia hanyalah orang asing yang secara kebetulan dijodohkan dan menikah denganku. Kendatipun dia adalah suami sah di mata agama dan hukum, bagiku dia tetap orang lain yang tidak berhak untuk mencampuri setiap urusan dan gerak-gerikku. Lama-lama aku bisa gil@ kalau harus hidup diatur makhluk yang namanya Romi ini.
"Coba kamu renungkan saja apa yang kamu dan temanmu lakukan untuk malam ini," tegasnya lagi tanpa mempedulikan sikap cuek yang aku hadiahkan untuknya. Aku hanya menoleh sesekali ke arahnya sambil memainkan ponsel.
"Gina, aku lagi bicara dengan kamu, bisakah kamu menyimpan ponsel itu dulu?"
Pria berkacamata itu menatapku sengit, bisa kubaca aura yang tak mengenakan di mata tajamnya. Melihat itu membuat sekujur tubuh merinding. Aku pun menutup layar dan menggenggam ponsel dengan erat. Geram rasanya harus berada di situasi seperti ini.
Aku berdeham beberapa kali sebelum mengutarakan isi yang ada di kepalaku.
"Menurutku tidak ada yang salah dengan malam ini. Lagipula mereka sudah pamit sama nyokapnya dan mereka tahu anaknya ada di rumah Gina. Jadi aman terkendali. Terus, apa yang harus dikhawatirkan?" sindirku sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk huruf O.
"Tidak usah pikir terlalu jauh gimana-gimana. Lagipula ini weekend, besok sabtu tidak ada kuliah. Kita udah dewasa, Mas. Bukan anak SMA lagi yang butuh dicemaskan."
Entah apa yang merasuki kepala sehingga kalimat demi kalimat lolos begitu saja tanpa kupikir dulu. Bomat, ah.
"Kamu akan mengerti bagaimana perasaan itu kelak kalau kamu sudah menjadi orangtua," timpalnya dengan tatapan yang tak terlepas dariku. Rona wajah berubah, nadanya pun dibuat selembut mungkin.
Jujur, aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya yang terlalu datar, apa dia sedang marah atau mungkin sedang menyudutkan.
Aku menarik napas panjang, membuang perlahan, berharap setiap kekesalan malam ini melayang ke udara bersamaan hembusan napasku. Menunduk karena aku enggan melihat kedua mata yang selalu mengintimidasi.
"Udah?" ketusku sambil berdiri tanpa melihat kedua mata yang menghujam ke ulu hati.
Ingin rasanya aku memiliki ilmu menghilang seperti pendekar kera sakti dalam serial televisi yang viral zaman 1990-an. Aku sudah tidak betah lama-lama di sini menghadapi pria sok ngatur yang tidak penting itu.
Pria berstatus suamiku pun ikut berdiri dengan sorotan mata tak suka. Sekilas, kulirik dia mengeraskan rahang dan mengepal tangan khas orang sedang menahan amarah. Di sini siapa yang seharusnya marah, aku apa dia?
Aku mendongak sedikit ke wajahnya, niat untuk menantang. Namun, nyaliku tiba-tiba menciut ketika tatapan yang kudapat adalah tatapan yang seolah ingin menerkam tubuhku hidup-hidup.
Dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mengayunkan kaki, berlalu meninggalkan dia yang sepertinya belum puas dengan kuliah malam itu. Aku berlari kecil menuju anak tangga dan berharap dia tidak menahan langkahku. Lagi pula apa haknya mengatur kehidupanku? Aku saja tidak peduli dengan apa yang sudah dia lakukan selama hampir satu tahun ini.
"Gina, kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara," bentaknya dan aku tidak peduli. Aku terus berlari tanpa menoleh ke arahnya, lalu buru-buru masuk ke kamar dan menguncinya.
"Bodo amat," bisikku pelan saat aku bersandar di balik pintu.
Aku mengatur napas yang tersengah-sengah dan mengelus dada. Sengatan kekhawatiran tiba-tiba menyusup di hati dan beberapa kemungkinan pun mulai mengganggu pikiranku.
"Keberanian apa ini? Bagaimana kalau nanti dia gedor pintu? Atau besok kalau dia .... Tidak-tidak dia tidak bakalan berani. Setidaknya aku masih punya orangtua yang harus dia hormati. Dia tidak mungkin akan melukaiku." Aku bergidik ketika tatapan mata itu terlintas melewati benakku.
Sambil memijat pelipis, aku berjalan pelan dan memastikan dia tidak akan mengganggu dengan mengetuk pintu. Sebenarnya, belum pernah aku alami kejadian seperti malam ini. Aku hampir tidak pernah bertatap wajah dengannya. Kalau berpergian bersama, itu pun hanya sekadar acara keluarga besar. Itu pun bisa dihitung dengan jari.
Peraturan yang sudah dibuat manusia Hulk itu seperti harga m@ti yang harus dituruti dan dipatuhi. Aku tidak diperbolehkan menginap di rumah siapapun kecuali rumah orangtuaku. Tidak diizinkan pulang melewati jam sepuluh malam. Aku juga tidak bisa membawa teman untuk menginap. Dilarang keras mengunjungi pub dan minum minuman beralkohol. Selain itu, aku juga tidak diperbolehkan membawa teman pria masuk ke rumah ini kecuali kak Harris, kakak kandungku.
Gini banget ya, nasibku.
MENIKAH DENGAN PRIA DEWASA (4)
Bersambung.
Cerbung ini sudah tamat di KBM App (herlina_teddy) dan Karyakarsa (herlinateddy).
Ada paket hemat dan murah Fullpart di Karyakarsa.
*
Bab 5 flash back
"Boleh aku duduk di sini ?" Mas Romi meminta izin sebelum mengambil posisi duduk di sisiku seraya menyodorkan jus jeruk.
Aku mengangguk memberi izin dan mengambil jus jeruk yang ditawarkan. Lalu, kuletakkan jus berwarna jingga itu di atas meja. Aku tidak haus, aku hanya butuh ketenangan saat ini.
Malam pertunangan, semua orang seharusnya merasakan kebahagiaan, tetapi tidak dengan hatiku. Acara itu terkesan mendadak sekali. Bahkan, keinginan menikah karena perjodohan kedua keluarga besar yang sudah direncanakan tanpa sepegetahuanku. Kata mama, masalah ini sudah dipikirkan sejak aku masih di bangku SMA. Mereka sengaja tidak memberitahu karena khawatir akan mengganggu kelulusanku. Lagipula waktu itu, calon suamiku tengah menyelesaikan tesis S2-nya di negara Paman Sam.
"Kuliah semester berapa sekarang?"
Aku tersadar dari lamunan saat dia melontarkan pertanyaan basa basi itu. Sebenarnya aku yakin dia sudah mengetahui banyak hal tentangku. Pertanyaan itu hanyalah alasannya untuk bisa mengajak aku berbincang.
"Semester empat."
Aku menjawab singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Aku muak, benci dan kesal dengan pria itu. Mengapa tidak ada penolakan darinya? Kenapa sepertinya, hanya aku saja yang menangkis perjodohan Siti Nurbaya ini?
Bukannya aku dengar dari Kak Harris , dia mahasiswa lulusan luar negri dengan IP tertinggi di kampus? Orang berpendidikan tetapi mengapa pemikiran dan pandangannya masih kedaluwarsa, mau saja dijodohi dengan gadis yang belum dikenal sama sekali untuk dijadikan istri. Pernah terbesit di pikiranku tentang dirinya, jangan-jangan dia tidak tahu bagaimana cara berhubungan dengan lawan jenis.
"Jurusan?" Dia masih terus menimpali pertanyaan yang membuatku malas menjawabnya. Untung saja, dia bertanya dengan sopan dan nada lembut atau bisa saja, dia sedang ingin mengambil hatiku, entahlah.
"Kedokteran," jawabku kembali singkat, hanya menatap ke arah minuman dingin yang belum aku cicipi sedikitpun.
Lagi pula aku cukup yakin meskipun aku tidak menjawab pertanyaan itu, dia sudah tahu jurusan yang aku ambil. Pintar sekali dia mencairkan suasana tetapi sayang, saat ini aku sama sekali tidak minat mengobrol dengan siapapun, terutama dia.
"Sepertinya kamu keberatan dengan perjodohan ini?"
Pertanyaan ini membuatku sedikit kaget. Spontan aku meliriknya dengan ekor mata lalu berpaling cepat ketika aku mengetahui ternyata mata itu tengah mengawasaiku. Mungkin dia membaca cara jawabku yang singkat dan acuh. Atau mungkin dia bisa membaca apa isi hatiku. Hebat sekali dia.
"Hm."
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Walaupun berkata jujur, itu tidak bakal membatalkan pernikahan yang akan dilangsungkan satu bulan lagi sesuai hasil rundingan kedua keluarga besar tadi.
"Aku hanya belum siap saja. Kamu tahu aku masih berusia sembilan belas tahun, masih terlalu muda untuk menikah. Sementara teman-temanku masih bisa menikmati masa muda dengan kebebasan, sedangkan aku sudah harus menyandang status istri. Belum lagi ...."
Aku memotong kalimatku, serasa ada kerikil yang mengganggu tenggorokan. Apa aku harus jujur kalau aku kecewa jika dengan terpaksa aku harus berhenti kuliah setelah pernikahan nanti?
"Belum lagi?" Pria yang sedari tadi duduk di samping dan memperhatikan setiap gerakku, mengulangi kalimat dan sepertinya dia sedang menunggu kelanjutannya.
Aku tak berani menatap pria asing itu yang mungkin sedang menatap lekat ke arahku. Kupalingkan wajah ke arah keberadaan kedua orangtua kita yang sedang tertawa bahagia di meja panjang itu. Mereka bahagia di atas penderitaanku.
"Kuliahku." Aku menjawab seadanya, tak mampu berkata-kata lagi.
"Iya, kenapa dengan kuliahmu?"
"Kamu tahu, aku harus mengikuti ujian negara untuk bisa masuk ke jurusan dan universitas sebagus itu dan tidak semua orang yang bisa diterima di sana. Aku merasa beruntung bisa menjadi bagian di kampus itu. Kini aku tengah masuk semester 4, masih butuh beberapa tahun lagi untuk mendapatkan gelar sarjana. Ada rasa gimana gitu, kalo aku terpaksa harus berhenti setelah menikah nanti."
Lega hatiku setelah mengungkapkan keluh kesah kepadanya. Aku berharap dia mau mengerti, setidaknya membatalkan pernikahan yang mendadak ini. Aku belum siap menghadapi semua ini. Berkali-kali aku mengambil nafas panjang dan membuangnya pelan.
"Kenapa harus berhenti?"
Dia malah bertanya balik kepadaku. Apa dia sedang menjebak aku atau sedang berpura-pura tidak tahu. Kemarin aku membahas tentang kelanjutan kuliah yang akan aku jalani dengan papa, beliau bilang setelah menikah, semua keputusan ada di tangan suamiku. Jadi, yang berhak memutuskan apakah aku melanjutkan kuliah atau tidak, itu tergantung pada Mas Romi.
"Maksudnya aku boleh melanjutkan kuliahku sampai sarjana?" Aku mencoba menerka apa yang ada di pikirannya. Mudah-mudahan saja yang kutebak ini benar.
"Iya." Dia menjawab singkat dan refleks aku menoleh ke arah lawan bicaraku yang menyetujui aku melanjutkan pendidikan yang sudah menjadi cita-citaku sejak kecil.
Aku speechless, aku hilang kata. Apa aku harus mengucapkan terima kasih atas keputusannya? Ah, tetapi kenapa sulit bagiku untuk mengucapkan dua kata itu. Egoku terlalu tinggi untuk mengungkapkannya.
"Kalo soal itu, kamu tidak usah khawatir, kamu boleh lanjutkan kuliahmu sampai selesai. Aku tidak akan melarangmu." Dia menegukkan jus yang dipegang sedari tadi, pandangannya tidak ke arahku.
Tanpa sadar aku menyunggingkan senyuman tipis seketika karena aku merasa masa depanku ternyata tidak terlalu buruk. Aku masih bisa menggapai cita-citaku menjadi dokter. Kendatipun impianku bukan pernikahan karena dijodohkan. Aku menginginkan pernikahan dengan cinta pada pandangan pertama dimana kita saling jatuh cinta seperti film Romeo dan Juliet yang terkenal sangat romantis.
"Oh, ya, ada satu hal." Dia melanjutkan kalimat dan sorot mata menyapu wajahku. Keningnya berkerut seolah akan mengatakan sesuatu yang penting.
"Setelah kita menikah nanti, kamu tidak usah khawatir akan kebebasan dan kehidupan, asal ada batasannya. Kamu tidak perlu parno dengan setiap kewajiban yang harus kamu laksanakan. Aku tidak akan menagih hakku sampai kamu benar-benar bisa menerima komitmen pernikahan ini."
Aku memperhatikan setiap detail mimik wajah yang serius saat dia mendeskripsikan kalimat itu. Ya, setidaknya aku tenang kehidupanku selanjutnya, dia memberi ruang kebebasan, tetapi ada batas? Apa maksudnya? Entahlah, terserah dia saja. Aku tidak peduli dengan komitmen yang dimaksud.
"Ngomong-ngomong kenapa Mas Romi tidak menolak perjodohan aneh ini? Lagi pula masih banyak gadis lain yang lebih dariku. Jujur, aku sudah beberapa kali menolak, tapi keputusan papa itu kayaknya harga mati, tidak bisa aku bantah. Tapi kalau Mas Romi menolak, bisa jadi pernikahan ini tidak usah diteruskan. "
Aku berucap dengan hati-hati biar dia tidak tersinggung atau berpikir yang macam-macam. Aku masih menaruh harap ada keajaiban dimana dia yang mengusulkan untuk membatalkan perjodohan itu. Barangkali semuanya akan mulus jika dia yang meminta.
Tidak ada tanggapan apapun darinya. Dia hanya mengulum senyuman yang menawan, tetapi tetap saja aku belum berminat untuk membuka hati untuknya. Aku terlanjur menyukai kakak seniorku, Kak Arnold. Aku pun yakin dia memiliki rasa yang sama denganku.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah calon suamiku itu. Dia masih bungkam dan menyandarkan punggung ke sofa tempat kita duduki, menerawang jauh, entah apa yang ada di pikirannya. Aku merasa hambar bersamanya bagai ind0mie kuah tanpa bumbu.
Bagaimanapun dia adalah makhluk asing, baru beberapa kali aku bertemu dia di acara keluarga besar kala aku masih kecil. Itu pun sudah lama sekali, mungkin saat aku duduk di bangku SD atau SMP.
Saat itu pun kita tidak pernah bermain ataupun sekadar berbincang. Hanya bertegur sapa dan senyum kala kita berpapasan. Terakhir kita bertemu di acara sweet seventen-ku dimana aku mengundang beberapa teman dekat sedangkan papa mengundang saudara dan kerabat dekat saja.
Aku tidak begitu mengingat kejadian kala itu, tetapi sekilas aku melihat keberadaan Mas Romi di pesta itu. Dia bergabung dengan keluarga besar, sedangkan aku berkumpul dengan teman yang kuundang.
Sampai sekarang aku belum menemukan jawaban alasannya tidak menolak pernikahan karena perjodohan ini. Apakah dia memang tipe anak yang berbakti pada orangtua atau jangan-jangan? Ah, aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain.
Aku menarik dan memeluk bantal pink berbentuk hati yang ada di sudut kasur. Hadiah ulang tahun sweet seventeen yang tidak kuketahui siapa pengirimnya. Bantal ini dibungkus dengan rapi yang dilengkapi dengan kartu ucapan yang berisi kalimat berbahasa Inggris.
Aku bergegas beranjak dari kasur menuju ke meja belajar. Aku membuka laci meja dan mencari kartu ucapan yang masih kusimpan di buku diary-ku.
Saat kubuka kembali kartu berukuran 15cm x 15cm berwarna biru dongker, tanpa sengaja aku menarik tipis kedua sudut bibirku ketika membaca kalimat itu dalam hati.
"Thanks for helping me know love and teaching me how to love someone sincerely"
Kalimat itu ditulis dengan rapi. Jujur, aku masih penasaran dengan orang yang telah mengirim bantal dan kartu itu. Sudah empat tahun berlalu, tetapi aku masih belum mendapatkan siapa orang iseng yang sengaja membuat aku ke-ge-er-an.
MENIKAH DENGAN PRIA DEWASA (5)
Bersambung.
Cerbung ini sudah tamat di KBM App (herlina_teddy) dan Karyakarsa (herlinateddy).
Ada paket hemat dan murah Fullpart di Karyakarsa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
