
Dapatkan FULLPART dengan paket mudah dan hemat. Akses baca 30hari
"Asal kamu tahu, bukan pria itu yang pantas menjadi calon suamimu, tapi aku." (Raynald)
"Untung aja aku tak jadi menikah dengannya. Dengan begini, aku jadi tahu siapa sebenarnya pria yang layak jadi suamiku kelak." (Nadine)
"Percayalah, aku dijebak. Aku bahkan tak punya alasan menolak menikahinya karena akal busuk yang direncanakannya demi memisahkan kita." (Farrel)
"Bagaimana rasanya di posisi ini? Enak, kan? Itulah yang dirasakan mama saat ibumu datang merebut papaku." (Evalina)
CALON SUAMI 1-5
Bab 1
"Sudahlah, Nak. Belajar ikhlaskan dan ambil hikmah dari apa yang terjadi. Mungkin Nak Farrel bukan jodohmu, tapi Ibu yakin Tuhan sudah menyiapkan jodoh yang lebih baik. Barangkali jodohmu sedang menuju dan akan mengejarmu kelak. Kamu sabar, ya."
Hanya itu yang bisa Bu Risma katakan pada anak gadisnya yang semestinya berada di kursi pelaminan bersama Farrel di sana. Namun, kenyataan bukan seperti itu. Eva, si kakak tiri yang menjadi mempelai pengantin wanita, sedang bersanding dengan calon suami Nadine. Eva telah mencuri prianya.
"Iya, Kak. Benar kata ibu. Tak baik Kakak sedih terus. Hidup terus berjalan. Aku dan ibu masih ingin lihat Kak Nadine yang ceria seperti dulu lagi. Kalau Kakak begini terus, nanti ayah juga nggak akan tenang di surga."
Pelukan hangat Amel pun tak sanggup menurunkan kadar kesedihan yang sedang dialami Nadine. Wanita kelahiran tanah Bekasi itu sudah berulang kali mencoba mengikhlaskan, tetapi dia masih gagal. Apa benar kata orang, luka akan hilang sendiri beriringan dengan berjalannya waktu. Namun, kapan?
***
"Gimana rasanya kalau pasangan yang kita cintai akhirnya direbut orang lain? Enak atau rasanya sakit sesakit-sakitnya? Hem! Tapi gue rasa, itu belum seberapa, Nadine. Lo dan ibu lo belum merasakan apa yang mama gue rasakan ketika papa lebih memilih kalian! Kalian tak tahu bagaimana perasaan mama ketika tahu kalau papa menikah lagi dengan wanita seperti ibu kalian!"
Suara pengantin wanita yang masih lengkap dengan kebaya putih dan riasan di wajahnya, berteriak. Dia sengaja masuk ke kamar Nadine untuk memamerkan kemenangannya. Pacar dari adik tiri yang paling dibenci, kini sudah sah menjadi suaminya.
"Kamu tak seharusnya balas dendam denganku, Kak Eva. Itu masa lalu dan sudah lama terjadi. Lagipula sebenarnya bapak sudah berulang kali memberi kesempatan mama kamu untuk —"
"Diam! Lo tak berhak menghakimi mama. Mama adalah wanita terhormat dan tak pernah —" Bisa dirasakan aura amarah yang makin menjadi.
"Tapi mamamu tak pernah mau berbakti pada suaminya, pulang dalam keadaan mabuk dan keluarganya tak diurus. Mamamu juga yang terlebih dahulu mencari pria la—"
Lisan Nadine terpaksa terhenti kala sebuah tepukan keras tepat mendarat ke pipi. Panas dan nyeri perlahan menemani kulitnya. Bersamaan itu pula, pintu terbuka. Amelia masuk dengan wajah kaget. Permasalahan yang sama terus berulang. Perdebatan antara dua saudara dengan satu ayah, mengenai kisah orangtuanya.
"Gue peringatkan sekali lagi! Jangan pernah berkata apa pun tanpa bukti."
Jari telunjuk Eva mengacung sengit dengan sorot mata kemarahan yang tak dapat disembunyikan. Napasnya juga terdengar kasar dan cepat. Pernyataan yang tak ingin didengar sebab tak percaya jika orang yang melahirkannya tega melakukan hal tersebut.
Melihat Nadine terpojok, Amel berjalan dengan cepat dan berdiri di antara mereka. Meski terpaut sembilan tahun berbeda dengan Eva, dia tak takut dengannya. Tak jarang mereka beradu mulut jika mengangkut masalah ibu. Dia pun ikut angkat bicara
"Kak, itu yang kami dengar dari mulut bapak sendiri. Itu pula menjadi kenyataan yang sadar atau tidak, kamu tak ingin mengakui. Kami nggak yakin kalau kamu nggak tahu hal itu, Kak."
"Diam kalian!" teriak Eva
"Aku tegaskan kembali. Bukan ibu yang merebut almarhum bapak tapi mamamu —"
Nadine berusaha mengklarifikasi dengan nada setenang mungkin agar rasa benci dan dendam wanita itu tidak menjadi-jadi. Dia tak ingin putusnya persaudaraan hanya karena dia salah paham dan lebih mendengar apa kata para tetangga. Toh, selama ini, Eva belum pernah bertemu dengan mama kandung dan bertanya langsung.
"Halah, kata siapa? Mana ada maling teriak maling. Sama kek ibu kalian. Tak mungkin dia akan mengaku kalau dirinya adalah pelakor," potong Eva cepat.
"Ibu kami tidak seperti itu. Jangan menghina beliau. Kamu jangan lupa, kamu dirawat dari kecil oleh ibu. Jika beliau punya niat jahat, pasti dari dulu dia sudah —"
"Kalian hidup di zaman apa, sih? Purba? Sekarang, tuh, udah zaman milenial. Apa-apa sudah canggih. Coba aja search alasan perempuan mau jadi pelakor. Langsung ada jawabannya. Nah, itu alasan ibu kalian rebut bapak dari mama gue."
Nadine dan Amel merasa tak ada gunanya terus membela diri. Otak dalam kepalanya sudah dicuci dengan kedengkian dan kebencian. Hati Eva sudah menolak semua kebaikan ibu tirinya selama ini.
"Lagipula kalian hanya dengar dari apa kata mereka. Apa kalian berdua pernah tahu yang sebenarnya? Toh, kalian belum lahir di dunia waktu itu. Kalian tak melihat dengan mata dan kepala sendiri. Bagaimana bisa kalian yakin semua yang dikatakan mereka benar."
Eva berjalan mondar-mandir sambil melipat kedua tangan dan diletakkan di depan dada. Sorot mata remeh dan dendam kentara sekali. Dia belum puas membalas semua rasa sakit hati mama yang dia sendiri tak tahu keberadaannya sekarang. Wajah mamanya tentu dia tahu dari foto yang pernah dia simpan sampai sekarang.
"Bodoh kalian! Kamu memang sangat bodoh sekali. Pantas saja Mas Farrel berpaling dari lo dan lebih memilih gue. Percuma kuliah, tapi otak taro di dengkul," lanjutnya sebelum Eva meninggalkan kamar dan membanting pintu dengan keras.
Bab 2
"Din, buka pintunya, please! Biar aku jelasin apa yang terjadi."
Beberapa ketukan pintu kamar tak dihiraukan Nadine. Usai peristiwa, Farrel segera menghampiri pacar sekaligus calon istrinya. Lelaki itu pernah berjanji akan menikahinya setelah selesai kuliah S1 dan mendapat pekerjaan tetap di Bandung.
Namun, kejadian nahas terjadi dan dia tidak menolak pernikahan yang akan sudah direncanakan Evalina. Aib itu tidak boleh tersebar luas sebab akan mengancam karir bapak yang berkerja sebagai kepala sekolah. Maka dari itu, kedua orangtua Farrel terus memaksanya agar segera melangsungkan akad nikah dengan Eva.
"Din, kamu dengar aku? Tolong bukakan pintunya. Kita selesaikan dengan kepala dingin."
Sudah hampir satu jam, Farrel membujuknya. Namun semua terasa sia-sia. Nadine seolah menjadi orang tuli, enggan mendengar semua alasan yang akan diutarakan.
Percuma, dia rasa tidak ada gunanya berpanjang lebar menerangkan alibi. Apa pun alasan kenapa Farrel harus menikahi kakak tirinya, bukanlah sesuatu yang ingin didengar. Semuanya tidak akan mengubah apa-apa. Ijab kabul sudah digelar dan lelaki tersebut telah sah menjadi suami orang.
Mengingat hal itu, dadanya terasa sesak, sakit tetapi tak berdarah. Seolah jutaan duri telah mengoyak jantungnya. Air terus mengalir deras dari matanya, tanpa bisa dicegah. Hanya terisak sambil membekap mulut dengan telapak tangan demi suara tangisannya tak terdengar oleh Farrel.
"Din, kamu harus percaya kalau cintaku padamu tak akan pernah berubah sedikit pun. Selamanya ruang hati ini hanya ada namamu. Yakinlah kalau suatu saat nanti, aku akan datang untuk membuktikan. Semua yang aku lakukan ini semata untuk bapak."
Berulang kali alasan demi reputasi bapak, tetapi Nadine belum mau menerima sepenuhnya. Memang benar, kita diajarkan untuk berbakti kepada orangtua. Akan tetapi, bisakah dia cari cara lain untuk menunjukkan baktinya?
Detik berikut, indra pendengaran Nadine menangkap suara ibu yang menyuruh Farrel untuk pulang. Hari semakin malam. Bukankah ini adalah malam pengantin dengan Eva? Tak baik jika mempelai pria masih mengunjungi mantan kekasihnya. Apa yang akan dikatakan tetangga jika ketahuan?
Jelas, ibu tak mau peristiwa ini akan menjadi bahan gosip satu kampung.
Akhirnya Farrel pulang dengan membawa tekad kuat. Kelak dia akan datang lagi dan menunjukkan kalau cintanya hanya untuk mantan kekasih.
Sepeninggalnya Farrel, Nadine belum mau membukakan pintu atau keluar kamar. Ibu pun tak memaksa dan paham dengan apa yang dirasakan putri sulungnya. Wanita itu kembali ke kamar bersama putri bungsu, Amelia.
Sementara Nadine masih larut dalam nestapa yang teramat sakit. Pipinya basah dan mata yang nyeri dirasakan karena tangisan yang tak bisa dihentikan dari tadi. Jujur, dia tak ingin lagi mencucurkan air mata, tetapi air bening itu terus merembes seolah kelenjar tersebut telah rusak.
Gadis 22 tahun itu mengeratkan telapak tangan dan memukul lantai, tempat dia duduk, untuk melampiaskan luapan amarah dan kesedihannya malam itu. Nadine berdoa semoga esok pagi dunianya akan baik-baik saja tanpa sang mantan kekasih. Berkomitmen harus bangkit dan melupakan semua kenangan selama enam tahun bersama Farrel.
Bab 3
"Gue nggak minta semua warisan bapak. Gue hanya mau surat tanah sawah."
"Sawah bapakmu luas, Nak. Bagaimana kalau dibagi-bagi untuk biaya sekolah Nadine dan Amel."
"Eh, Bu. Jangan serakah, ya. Lo kira gue nggak tahu apa saja harta yang bapak tinggalkan selain sawah berhektar-hektar?"
Eva tak pernah menunjukkan sikap sopan pada ibu tirinya. Padahal, Bu Risma-lah selama ini merawat dan membesarkannya dengan kasih sayang.
"Rumah ini, Nak."
"Iya, atas nama ibu, kan? Well, gue nggak akan tamak kayak ibu. Gue nggak akan nuntut dibagi-bagi. Gue hanya mau sawah."
"Tapi, Nak. Nilai tanah sawah dan tanah rumah ini tidak sebanding. Bahkan nilai tanah sawah itu jauh lebih —"
"Sudahlah, Bu. Kenapa jadi orang rakus? Dulu rebut bapak dari mama, sekarang mau rebut harta warisan juga dari gue?"
"Bukan gitu, Nak." Ibu ingin menjelaskan, tetapi semua perkataannya selalu disela. Kalau anak tirinya menuntut hak warisan, dia tak masalah. Namun alangkah baiknya dibagi secara merata.
"Pokoknya gue nggak mau tahu. Sekarang juga keluarkan surat tanah sawahnya. Warisan itu harus jadi milik gue, selebihnya terserah kalian. Gue nggak akan ganggu kehidupan kalian lagi, termasuk rumah ini. Adil, kan?"
Belum sempat ibu menjelaskan, Eva mengulurkan tangan, meminta berkas suratnya. Lalu, dia melanjutkan ancaman kala melihat Risma hanya bergeming.
"Jika Ibu tak mau kasih, nggak apa-apa kita panjang-panjangin urusannya di pengadilan. Gue akan lapor ke polisi."
"Jangan, Nak. Baik, ibu akan serahkan berkas tanah itu."
Bukannya ibu takut pada polisi. Beliau hanya tak ingin masalah harta gono gini menambah runyam hubungan mereka. Tak apa juga kalau uang hasil keringat suaminya diambil alih Eva sebab perempuan itu juga darah dagingnya yang berhak atas warisan.
Setelah malam itu, Eva tak pernah menampakkan batang hidungnya. Dia tinggal semingguan di rumah mertua yang masih berada satu desa. Tak sekalipun dia mengunjungi ibu dan kedua adik tirinya. Ketiga wanita yang tak ingin dianggap saudara. Dia lupa selama mama kandungnya pergi, dirinya diurus penuh dengan kasih sayang oleh sang ibu tiri.
Mungkin, dia telah termakan omongan para tetangga bahwasannya tidak ada orang yang setulus hati merawat dan menyayangi kita selain ibu kandung sendiri. Ibu tiri hanya cinta pada bapak, seperti tembang lawas yang sangat terkenal pada zamannya.
Sungguh heran, seminggu sepeninggal Eva dari desa itu kala mengikuti suaminya ke Bandung, sesuatu telah terjadi. Rumah yang dihuni ibu dan Nadine maupun Amel terbakar. Peristiwa tragis itu terjadi di tengah malam saat kebanyakan orang sedang terlelap.
Untungnya, mereka bertiga selamat karena terbangun. Tidak banyak harta benda yang bisa diselamatkan. Hanya surat penting yang disimpan di lemari, bisa diambil Nadine waktu itu. Namun, semua peralatan dan perabotan ikut hangus bersamaan dengan rumah tersebut.
Menurut salah satu warga yang menjadi saksi mata, ada beberapa orang yang sibuk menyirami bensin sebelum kejadian. Kebetulan mereka baru pulang dari kota sehabis acara penting. Namun, dua hari berikutnya mereka menghilang dari desa tersebut saat hendak dimintai keterangan.
"Bagaimana ini, Bu? Ke mana kita harus tinggal?"
Amel menangis dalam pelukan ibu. Gadis kelas 3 SMP itu akan mengikuti ujian kelulusan beberapa minggu lagi. Apakah ada kompensasi khusus untuk dirinya lulus tanpa mengikuti tes tersebut?
Bab 4
"Melamun?"
Sebuah tepukan mendarat di bahu, tubuh Nadine tersentak. Seketika peristiwa tiga tahun lalu buyar dalam ingatan. Dia menoleh ke Indri dan berusaha tersenyum, menyembunyikan raut sedih. Remuk redam selalu menghampiri kala semua bayangan silam yang telah terjadi, teringat kembali.
"Nggak. Tadi aku habis ngecek angka di sini, kok, bisa beda dengan yang di laporan."
Gadis penyuka biru itu berpura-pura menatap dan menunjukkan layar 14 inch yang masih nyala di depan mata, lalu beralih ke berkas yang ada di meja. Dia memang sedang bekerja. Namun setengah jam kemudian, pikirannya berkelana ke masa lalu.
"Itu karena nggak fokus. Dahlah, yang dah lewat biarkan berlalu. Nggak usah pusing-pusing dan nambah beban pikiranmu."
"Aku nggak —"
"Mantan? Lagi mikirin dia, kan?"
"Ih, kamu apa-apaan, sih. Siapa yang lagi mikirin dia?"
"Udah ngaku aja, matamu nggak bisa bohong. Denger, ya, dengan adanya kejadian yang kamu alami di masa lalu, kamu harus paham sesuatu. Apa yang pantas dan mana yang lantas harus dibuang ke laut? Ya, kan? Pria kayak dia, tak layak dipertahankan. Nanti juga dia nyesal karena sudah menikung sama wanita tak tahu diri itu."
Akhirnya Nadine mengaku karena merasa tak bisa menutupi raut wajahnya. Pria itu memang masih ada di pikiran dan hati, meski dia tak tahu berapa persen ruang hati yang tersisa untuknya.
"Maunya gitu, lupakan semua yang terjadi. Tapi kebersamaan kita hampir enam tahun, begitu banyak meninggalkan kenangan."
Nadine menutup berkas dan layar bergantian. Sebetulnya, tugas kantor sudah selesai dari tadi. Setelahnya tanpa diundang, secercah yang membekas dalam ingatan datang begitu saja.
"Simpan kenangan itu boleh, tapi jangan terlalu larut. Kamu kudu bisa memisahkannya kayak pasir dan air. Tak boleh diaduk lagi agar menyatu sesaat," saran gadis 24 tahun itu dengan tatapan lekat.
"Iya, petuah itu memang seharusnya sudah lama aku lakukan. Tapi, kok, ya, sangat sulit."
"Iya, iya, aku mengerti bagaimana perasaan kamu sekarang. Tapi aku nggak mau Nadine yang dulu katanya Amel adalah wanita ceria dan bawel, sekarang jadi pendiam kayak pesakitan. Ayo, dong! Masih banyak lebah lain yang lebih dan lebih dari dia. Samudera luas membentang, daratan bumi masih lebar untuk ditapaki. Lagian, nih, di dunia ini bukan kamu doang yang diselingkuhi calon suami. Ada banyak wanita di muka persada ini merasakan hal serupa. Mereka bisa fine dan move on. Masa kamu nggak bisa?"
"Bukan nggak bisa, aku —"
"Butuh waktu? Oke, berapa lama? Sehari? Dua hari atau seminggu?"
Nadine tak bisa menjawab, lalu Indri menimpali dengan cepat.
"Oke, sebulan cukup kurasa. Setelah itu, aku nggak mau lihat wajah suram bak tak punya harapan hidup, kayak mayat bernapas."
"Mayat nggak bisa napas, In."
"Iya, itu hanya perumpamaan aja."
Bersamaan menyahuti, tangan sahabatnya merapikan meja kerja. Waktu pulang tinggal lima menit lagi. Dia juga harus siap-siap.
Tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya si mantan di posisi yang nggak salah seratus persen. Dia, tuh —"
Kalimat terputus kala ponsel Indri berdering.
"Bentar-bentar, sorry aku angkat dulu. Dari nyokap."
Dia menjauh setelah menekan tombol hijau dan menjawab panggilan ibunya. Nadine tak bisa mendengar apa pun percakapan mereka. Gadis itu benar-benar sangat tertutup jika soal keluarga dan Nadine tak pernah memaksanya untuk bercerita. Baginya, setiap orang punya ruang privasi yang harus dijaga dan dia memakluminya.
"Din, sorry. Aku harus buru-buru pulang. Nyokap lagi butuh bantuan."
Belum ditanggapi Nadine, Indri mengambil tas dan segera hengkang dari tempat tersebut. Urgent dan dia belum mau cerita apa yang terjadi sebab belum siap membeberkan aib keluarganya.
Begitu punggung Indri hilang dari pandangan, Nadine membuang napas panjang. Dia sempat mengusap dan menepuk wajah untuk menyempurnakan kesadarannya sebelum akhirnya berdiri dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Lalu, tangannya mengalungkan sling bag ke pundak. Dengan langkah cepat, dia meninggalkan ruang yang sudah mulai sepi. Para karyawan telah pulang sepuluh menit yang lalu.
Direktur tempat dia bekerja sudah seminggu tidak masuk karena sedang melakukan dinas di luar negri. Kabarnya besok akan ada yang mengganti posisi Bu Linda sebagai direktur baru. Namun siapa, beliau belum mengumumkan. Mungkin, wanita 53 tahun itu akan memberi kejutan kepada karyawannya besok.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam dengan motor matic, Nadine sampai di rumah. Kendaraan roda dua itu diparkirkan di teras rumah kontrakan yang tak begitu luas. Ada dua kursi serta satu meja di samping pintu utama.
Langkah terasa ringan sampai di depan pintu. Namun, dia menghentikan pergerakan kaki kala mata indah itu memindai sesuatu yang tak biasa di sana.
"Ada apa ini? Kenapa banyak sekali?"
Bab 5
"Ibu, kenapa banyak bahan makanan di ruang tam? Apa ada yang pesan kateringan Ibu?"
Orang yang ditanya segera membalikkan badan kala suara Nadine menerobos gendang telinganya. Lantaran penasaran, gadis itu lupa memberi salam dan langsung menemui ibu di dapur yang sedang membelakangi dan melakukan aktifitas di wastafel.
"Kebiasaan yang diajarkan bapak harus selalu diingat."
"Iya, maaf, Bu."
Nadine memberi salam dan mencium pipi kiri wanita yang melahirkannya setelah menyadari kesalahannya. Dia meletakkan tas di kursi dan menyadarkan tubuh di kulkas samping wastafel.
"Itu ada tempe, kentang, beras, telur dan ini ayam banyak banget. Memangnya ada pesanan?"
"Iya, bersyukur tadi siang ada telepon dari entah siapa. Atas nama Bu Delia. Pelanggan baru, kayaknya. Dia ngaku lihat katering kita dari Facebook yang kamu share. Terima pesanan nasi kotak."
Ibu bersuara dengan nada semangat. Pancaran di matanya pun kentara senang sekali. Memang, setelah pindah ke ibukota pasca kebakaran rumah di Bekasi, mereka bertarung nyawa dengan semua kemampuan.
Awalnya dia menjual kue jajanan di pasar. Lama kelamaan, ibu mencoba peruntungan menjual nasi uduk dan nasi kuning. Ternyata, banyak yang suka dan dagangannya selalu laris.
Selama satu tahun, mereka menerima pesanan dari mulut ke mulut dan menunggu di rumah. Soalnya jarak rumah kontrakan ke pasar cukup jauh dan ibu terlihat sangat kelelahan. Dini hari harus berjibaku di dapur, pagi sudah harus di pasar dan sore baru sampai di rumah. Kasihan, makanya Nadine berinisiatif untuk membantu memasarkan via online.
Nadine juga ikut mencari nafkah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dari pelayan rumah makan, kasir minimarket, penjaga toko dan yang terakhir di perusahaan konveksi sebagai admin keuangan. Meski jabatannya tidak begitu tinggi, dia senang sebab pekerjaan kali ini sesuai dengan jurusan kuliah yang dia ambil dulu.
Gajinya di angka lima, kadang ada uang lembur dan bonus tahunan. Bu Linda juga bukan atasan yang galak. Beliau yang ramah sering melakukan acara gathering tiap akhir tahun dan tidak perhitungan terhadap semua karyawannya. Semua orang yang bekerja sangat suka dan nyaman dengannya.
"50 paket, lumayan, kan?"
"50?"
Nadine membeo kemudian batuk sebab tersendak ludah sendiri. Seumur-umur mereka menjalani bisnis kuliner, baru kali ini orderannya mencapai 50. Biasanya paling banyak 20 sampai 30 kotak saja.
"Kirim ke alamat mana, Bu?" tanya Nadine lagi.
"Orangnya mau datang jam sembilan pagi besok. Makanya sekarang Ibu bersih-bersih dulu ayamnya dan diungkep. Biar besok tinggal digoreng. Belum lagi tempe orek, sambal balado dan telurnya. Timun harus diiris. Orangnya minta yang komplit. Ada hajatan, mungkin, ya."
"Syukur deh, Bu. Tapi orangnya sudah bayar di muka belum?"
"Nah, itu dia. Tadi pas Ibu bicara soal uang muka, dia bilang pasti diambil besok. Orangnya buru-buru juga, sih. Pas ibu bilang bentar mau kasih tahu nomor rekening kamu. Pokoknya dia yakinin banget bakal bayar dan datang besok. Tadi dia itu sempat bilang dapat rekomendasi dari Bu Yani."
"Bu Yani?"
Nadine memutar otak dan mencoba mengingat nama tersebut. Memang benar, ada pelanggan ibu yang bernama itu. Bahkan, beliau sempat memberi testimoni di Facebook tentang lezatnya makanan katering mereka.
"Nggak enak, kan, maksain bayar kalau dia kenal kita dari Bu Yani. Kamu tahu kalau Bu Yani pesan kateringan Ibu? Kue jajanan selalu 200 biji, ya, meski nasi kotak hanya 30 bungkus."
"Ya, mudah-mudahan, deh, berkah, Bu."
Ibu mengangguk.
"Ya, sudah, mandi sana. Habis itu mandi. Nanti bantu Ibu, bisa, kan? Amel lagi belajar, besok ada ujian. Jangan ganggu adikmu. Tahun ini kelulusan dan mau ikut tes masuk universitas."
"Iya, aku ngerti, Bu. Amel harus kuliah seperti aku, biar nanti gampang nyari kerjaan."
***
"Sorry, aku udahan dulu chat-nya, ya. Mau bantu ibu. Met malam."
Pesan terakhir via aplikasi Instagram mendapat emot smile dari akun yang bernama Pujangga Sejati. Tadi selesai mandi dan makan malam, Nadine balik ke kamar dan memeriksa ponsel.
Sudah enam bulan belakangan, mereka saling bertukar pesan di sana. Nadine juga baru aktif lagi di dunia media sosial sejak peristiwa calon suaminya diambil kakak tiri. Dia seolah membentengi diri dari dunia luar.
Ditambah lagi rumah yang terbakar dan mereka harus bertahan hidup dengan sisa uang dan harta yang sedikit. Di kepalanya hanya terbesit pekerjaan halal untuk menyekolahkan Amel dan menghidupi ibunya.
***
Jam sebelas malam, Nadine dan ibu baru bisa menyelesaikan sebagian tugasnya. Mereka sepakat akan melanjutkan dini hari jam tiga. Istirahat sejenak sangat berguna untuk memulihkan stamina yang sudah terkuras akibat aktifitas seharian.
"Beres, Bu."
Ada senyuman lega terpampang di wajah Nadine yang letih. Bersamaan azan subuh berkumandang, bungkusan terakhir terselesaikan. Butuh dua jam mereka menggoreng ayam lengkuas dan irisan timun serta menatanya di kotak makanan.
"Semoga berkah, ya, Nak."
Suara ibu tak kalah semangat, meski tubuhnya juga lelah. Mereka hanya tidur empat jam hari itu meski tidak sepenuhnya istirahat. Otaknya terus bekerja memikirkan apa saja yang akan dilakukan setelahnya.
Pagi, jam tujuh lewat sedikit, Nadine kembali melajukan motor menuju ke kantor. Kendatipun matanya berat karena mengantuk, dia tak berniat mengambil cuti. Dia pun tak menyesal karena membantu ibu menyelesaikan katering subuh tadi. Baginya, itu adalah kewajiban sekaligus tak tega melihat beliau menyelesaikannya sendiri.
Sampai ke kantor, Nadine langsung menuju pantry. Niat hati ingin menyiapkan kopi, tetapi dia lupa kalau kopi kesukaannya telah habis dan belum membelinya lagi.
Sekilas dia melirik jam yang bergantung di dinding, angka panjang ada di angka sembilan. Dia duduk dan menopangkan kepala ke atas meja dengan tangan terlipat. Memejamkan mata sebentar, menurutnya tak masalah. Lima atau sepuluh menit, mungkin akan mengembalikan semangatnya bekerja.
Namun sayang, angan dan kenyataan tidaklah selaras. Dia kebablasan sebab saking lelap. Wanita penyuka biru itu tersentak dan langsung menatap jam.
"Astaga, jam setengah sembilan!"
Dia berdiri cepat sembari membuang napas panjang. Namun saat menyadari ada sesuatu yang menggantung kedua pundak, keningnya pun terlipat.
"Ini jas siapa?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
