RESTART - BAB 16 (Arah Tujuan)

19
15
Deskripsi

Kalimat Mark Twain—“Bagi seseorang yang memegang palu, segalanya terlihat seperti paku”—sepertinya tepat untuk menggambarkan hubungan Ares dengan kedua orang tuanya. Orang tuanya selalu memegang palu, dan saat ini, paku yang paling jelas mencuat di depan mata mereka adalah Ares. Mereka melihat setiap kesalahannya sebagai kesempatan untuk memukul, untuk membetulkan sesuatu yang menurut mereka tidak benar.

Kalimat Mark Twain—“Bagi seseorang yang memegang palu, segalanya terlihat seperti paku”—sepertinya tepat untuk menggambarkan hubungan Ares dengan kedua orang tuanya. Orang tuanya selalu memegang palu, dan saat ini, paku yang paling jelas mencuat di depan mata mereka adalah Ares. Mereka melihat setiap kesalahannya sebagai kesempatan untuk memukul, untuk membetulkan sesuatu yang menurut mereka tidak benar.

Dua hari setelah kami kembali dari Tangerang, tepatnya Selasa siang, Mami Ares muncul di studio. Sendirian, mengendarai Camry hitam, sehitam setelan blazer yang ia kenakan. Aku masih ingat, ada sesuatu yang muram di udara siang itu. Serba pekat. Bahkan aku pun mengenakan kaos hitam. Saat Mami masuk, aku sedang sibuk menata set untuk memotret beberapa produk sepatu bespoke—sepatu buatan tangan—yang juga berwarna hitam.

Ares sedang keluar, mencari peralatan, dan kalau masih ada waktu, dia akan menemui seorang food stylist untuk memesan beberapa replika makanan untuk kebutuhan fotografi. Mami Ares mengintip ke ruang kerja, menyapaku yang tidak tahu sedang kedatangan tamu. Dengan sedikit tercengang, kuhentikan pekerjaan, menyambut Mami. Aku memanggilnya dengan sebutan Mami sebab sejak pertama ia yang meminta. Walau saat pertama kali mulutku terasa asing, tetap kuturuti keinginannya hingga kini menjadi terbiasa. Mami mengatakan bahwa Ares tidak mengangkat teleponnya. Lalu aku sadar bahwa kalimat itu merupakan sebuah desakan agar segera menghubungi Ares, mengabarkan Maminya di sini. Ares hanya mengatakan “halo” saat dia mengangkat telepon dan diam saja saat aku menyampaikan maksud menelepon. Telepon itu mati tanpa kuketahui Ares akan segera kembali atau tidak. 

Tidak enak membiarkan tamu sendiri lantas aku menemani Mami. Ia tampak gelisah, meski berusaha menutupinya. Sesekali, ia menyedot minumannya sambil melirik ke luar, memeriksa apakah motor Ares masuk pekarangan. Sesekali pula, ia menyamarkan kegelisahannya dengan basa-basi—menanyakan kabar Ibu dan Marwa, bagaimana ujianku berakhir, dan kapan jadwal wisudaku. Obrolan itu, meski terlihat santai, perlahan mengarah ke satu tema yang jelas: Ares dan kuliahnya. Mami lebih banyak bicara, aku mendengarkan. Tapi, dari setiap kata yang keluar, dari intonasi yang tegas, juga dari raut wajahnya, Mami jelas  menahan banyak hal, dan kesedihan bukan salah satunya.

“Mami pikir dia bakalan serius,” katanya dengan nada dongkol, menggenggam kemasan minumannya lebih erat. “Padahal dia sendiri yang keras banget milih kampus dan jurusan ini!” Suaranya mengandung campuran amarah dan kecewa, seolah menyiratkan betapa berat perjuangan di balik keputusan itu dan betapa Ares sekarang tampak abai.

Paham benar ini bukan tempatku berbicara, maka aku diam saja. Padahal kata-kata untuk menyanggah sudah berdesak-desakan di ujung lidah, tapi aku urung melontarkannya dan menelan saja semuanya.

“Berani-beraninya dia nggak pulang sebulan! Telepon nggak diangkat, chat Mami nggak dibalas. Besar kepala karena anak satu-satunya! Melawan orang tua pakai cara kampungan!” Suara Mami semakin tinggi.

Bukan, Mami. Justru dia sedang menghindari keributan. Kalimat itu mendengung dikepalaku.

“Dia nyogok Mami, beliin kacamata. Mami lebih kesal karena dia sengaja pulang siang-siang biar nggak ketemu Mami, nitipin ini cuma ke Mbok Rah!” cecar mami sambil menunjuk-nunjuk sendiri kacamata yang menggantung di hidungnya.

Itu kacamata yang Ares beli, dipesan dari optik sebelah. Bukan untuk membujuk, apalagi untuk menyogok agar amarah Mami reda. Ares tahu betul, beberapa hari sebelum dia memutuskan menginap di studio, mami sempat mengeluh pada Mbok Rah—asisten rumah tangga mereka—bahwa lensa kacamatanya sudah dipenuhi goresan halus yang membuatnya tidak nyaman dipakai. Tanpa banyak bicara, Ares menyimpan ukuran lensa mami di ponselnya. Sepulang dari Tangerang, pegawai optik datang ke studio dan menyerahkan kacamata yang sudah jadi. Ares, yang tahu kedua orang tuanya tidak akan ada di rumah siang hari, pulang sebentar hanya untuk menitipkan kacamata tersebut pada Mbok Rah. Ares bahkan memeriksa handphone-nya terus-menerus saat kami makan bekal dari Mbok Rah yang dia bawa dari rumah. Aku menduga, meskipun tampaknya mereka sedang perang dingin, Ares sebenarnya menunggu pesan dari Mami. Mungkin dia berharap Mami akan mengirimkan foto dirinya dengan kacamata baru itu, sebagai tanda bahwa perhatian dan usaha yang telah dia lakukan diterima. Namun, meskipun Mami salah tafsir mengenai pemberian Ares, kacamata itu tetap dipakai. Entah Mami benar-benar menyukainya atau sekadar terpaksa memakainya karena butuh.

Beberapa kali, Mata Mami mendelik pada jam dinding yang tergantung di atas kulkas. Ia datang di sela-sela jam istirahat kantor—bekerja sebagai konsultan di sebuah lembaga keuangan non-bank. Mungkin waktu istirahatnya sudah nyaris habis, membuatnya terlihat semakin resah. Lututnya bergerak naik turun dengan cepat, sementara pandangannya terus melintas keluar, menembus pintu kaca besar. Aku memperhatikan, bagaimana napasnya yang teratur berubah lebih pendek dan cepat. Waktu berlalu tanpa tanda-tanda kedatangan Ares. Hingga akhirnya, tepat saat Mami memutuskan menyerah dan berdiri untuk pergi, suara motor yang sama-sama akrab di telinga kami terdengar mendekat. Mami tercekat dengan air muka satu warna: hitam. Beberapa detik kemudian, ia tersadar dan tergesa segera meraih handle pintu. Ada sesuatu yang padat bertulang dalam langkah Mami dan itu membuat bulu romaku bergidik ngeri.

Mereka bertemu di ambang pintu, dan ...

Plak!

Tangan Mami melayang pada wajah anaknya. Tidak langsung, Mami menyambung tangannya dengan tas tangan. Pukulan itu terdengar berat dan tebal, tampaknya di dalam tas itu ada buku dan handphone. Ares ditabok dua kali pada pipi kiri dengan jeda yang cukup singkat. Aku membatu sejak melihat pukulan pertama. Tidak tahu harus berbuat apa. Melerai? Membiarkan? Memberi Ares minum? Mempersilahkan mereka duduk dulu? Tidak tahu, aku masih bingung. Ares diam terpaku, kepalanya tidak dia angkat setelah dipukul, tetap begitu, tmenyamping dan menunduk. Menatap satu-satunya yang berwarna putih siang itu, lantai. Mami berseru, bukan, berteriak sebenarnya, kepada Ares dengan kata-kata yang menyakitkan. Bahkan untukku, kata-kata itu terasa perih. Di tengah kebingungan, secara otomatis aku melangkah menjauhi mereka, menaiki tangga ke lantai dua, masuk ke kamar dan duduk di kasur yang Ares gunakan untuk tidur. Suara mereka sayup terdengar, suara Mami saja, tepatnya. Temanku itu mungkin syok telah mendapatkan pukulan dari dua orang berbeda dalam waktu kurang dari seminggu. Namun kali ini, meskipun wajahnya tidak sampai lebam, tapi hatinya bersimbah darah oleh luka yang diakibatkan oleh perkataan tajam ibu sendiri.

Di kamar lantai dua, aku meluaskan pandangan. Sejak Ares tidur di sini, ruangan yang awalnya hanya tempat sementara menjadi tempat yang lebih layak disebut sebagai kamar. Di meja kecil, terletak buku-buku yang Ares baca, sebagian besar tentang prinsip dan panduan periklanan. Novel American Psycho itu juga terselip di antara buku-buku lainnya. Tiba-tiba, pikiranku bergolak. Novel itu mengganggu, walau tidak ada hubungan langsung, entah kenapa aku merasa novel itu bertanggung jawab atas perilaku impulsif Ares tempo lalu. Pikiran-pikiran mulai bertabrakan: ambil atau tidak, sembunyikan atau biarkan, buang atau simpan. Akhirnya, aku mengambil keputusan. Novel itu kuambil, lalu kulemparkan ke atas lemari tinggi di luar kamar ini, lemari tempat menyimpan alat-alat dekorasi. Ada semacam kepuasan tersendiri dalam melemparkan novel itu, meskipun aku tahu itu bukan solusi sebenarnya. 

“Ngapain, lu?” Tiba-tiba Ares muncul, dia belum tuntas menaiki anak tangga saat bertanya. Aku diam, memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya. Sebagai gantinya, aku menanyakan hal lain, “Gimana?”

“Mami udah balik,” jawab Ares singkat. 

Aku mengangguk, sebenarnya ingin bertanya lebih banyak, tapi lagi-lagi aku mengurungkannya. Ares melangkah ke kamar, kuikuti dia. Dia duduk di tepi kasur seperti yang kulakukan sebelumnya. “Ntar lagi gua turun,” ujarnya pelan.

“Aman?”

Ares tidak segera menjawab. Dia menoleh kepadaku yang berdiri di ambang pintu. “Aman.” 

Dia mengatakan aman dengan suara parau dan raut kusut. Jelas sekali bahwa itu adalah jawaban seadanya untuk mengakhiri pembicaraan. Jari-jarinya memijat-mijat dahi. Aku tahu dia sedang menanggung lebih banyak dari yang bisa dia tunjukkan. Lalu aku membiarkannya mengambil waktu untuk dirinya sendiri.

Aku segera turun, melirik sebentar ke arah tempat Mami dan Ares berdiri sebelumnya, lalu merinding mengingat bagaimana Mami memukul anaknya sendiri. Di meja terdapat dua bungkus makanan, sepertinya Ares sempat membeli makan siang sebelum kembali. Makanan itu masih terbungkus rapi, bahkan dia belum menyentuh miliknya. Aku, yang sudah kehilangan selera makan, memindahkannya ke rak di bawah meja reservasi, berdampingan dengan helm kami.

Siang menjelang sore, aku bekerja sendiri. Ares turun tepat saat aku keluar untuk merokok. Dia mengikuti, menyulut api rokoknya, menghisap rokok itu kuat dan dalam.

“Gua ntar pulang,” lontar Ares di antara kepulan asap.

Aku mengangguk. 

Kami menatap jalanan sore yang ramai. Segerombolan anak SMA tampak baru pulang sekolah, ceria dan berboncengan—ada yang bersama teman, bahkan sepertinya bersama pacar. Mereka cekikikan, tampak bebas.

“Gua begitu dulu pas SMA,” celetuk Ares sambil menunjuk mereka dengan selipan rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya. Aku melihat sekali lagi anak-anak itu. Entah apa yang spesial, seingatku semua anak pada usia SMA memang selalu begitu, termasuk aku. Mungkin secara tidak langsung Ares mengatakan bahwa dia dulu tidak memikirkan hal selain sekolah dan bermain. Dulu dia tidak mendapat tekanan apa pun dari orang tuanya dalam bertanggung jawab atas keputusan sendiri. Dulu dia tidak mendapat hujatan apa pun sebab salah memilih. Yah, menurut orang tua Ares, memilih jurusan DKV adalah suatu kesalahan, sebab baik dari keluarga Mami maupun Papi Ares, seluruhnya mengambil jurusan eksakta. Satu-satunya orang yang memiliki jiwa seni hanyalah nenek Ares di Magelang, Ibu dari Papinya.

Bagi seseorang yang memegang palu, segalanya terlihat seperti paku.

Orang tua Ares hanya melihat dari sudut pandang mereka tanpa memperhatikan alternatif lain dan perspektif dari Ares sendiri. Menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja jika mengikuti cara mereka. Kini palu itu bekerja dengan cara yang selalu sama: mengetuk kuat paku—memukul Ares baik secara fisik dan mental.

Aku ingin bertanya bagaimana urusan dengan Mami terselesaikan, tapi juga tidak terlalu ingin tahu. Aku ingin menanyakan bagaimana keadaan Ares saat ini, tapi rasanya janggal sekali. Toh, dia tampak lebih baik sekarang, wajahnya lebih segar. Mungkin dia sempat tertidur sebentar. Semuanya terasa hambar, terasa di awang-awang. Begitu-begitu saja sehingga tidak terlalu penting untuk kami bicarakan. Aku juga bukan orang yang akan giat  bertanya-tanya duluan untuk membuat seseorang bercerita. Bungkam memang selalu menjadi pilihan paling nyaman, lantas kuhisap rokok dalam-dalam lalu melepaskan asapnya dengan lega.

“Kerjaan yang dekat deadline apa aja?” tanya Ares. 

Aku berpikir sejenak, “Yah, paling yang hotel sama kafe. Sabtu ini.” 

“Gua nggak sempat ketemu Cak Son. Replika es batunya belum tahu gimana dan berapa,” ujar Ares mengernyit sebab matahari menembak matanya. 

“Ya, besok aja. Bisa gua bisa lu, terserah,” jawabku sambil mengetuk-ngetuk abu rokok.

“Lagian tuh bapak-bapak susah amat di hubungi, percuma punya hape!” Ares yang kesal melempar puntung rokoknya jauh, hingga melewati tong sampah.

            Cak Son adalah senior kami, jurusan seni rupa. Entah berapa tahun di atas kami, tidak tahu. Kami juga tidak ingin tahu. Sekilas dia seperti pria berusia tiga puluh akhir atau empat puluh awal. Pertama kali kami bertemu pada akhir Januari 2015. Saat itu aku bekerja untuk sebuah situs berita online meliput keseruan proses syuting sebuah film yang cukup terkenal dengan konsep kedai kopi. Di sanalah Cak Son hadir sebagai food stylist, menata setiap makanan dan minuman untuk kepentingan syuting. Dengan rambut ikal, tebal dan panjang hingga menutup punggungnya, dia menghampiriku sambil membawakan satu kopi. Seolah telah kenal lama, dia, dengan nihil keengganan, memilih duduk bersamaku di lantai. Kami bersama-sama menyaksikan huru-hara proses pembuatan film sambil berkomentar-komentar lucu. Cak Son diberikan Tuhan sepasang mata dan air muka yang jika kamu bertemu dengannya untuk pertama kali, kamu tidak akan ragu menyimpulkan bahwa dia orang baik. Dia bercerita bahwa ayahnya orang Madura dan ibunya berdarah Australia. Namun jika dibandingkan dengan nama aslinya yang bule sekali: Isaac Mason, sebaliknya dia memiliki ciri fisik yang sangat kental Madura. Kulitnya berwarna matang, wajahnya oval dengan tulang rahang menonjol. Dia tegap meskipun tidak terlalu tinggi. Dia mengambil tiga huruf terakhir namanya sebagai panggilan, lalu kru di lokasi menambah sapaan “Cak”. Setelah hari itu, kami tidak sekali pun bertemu lagi. Hingga kemarin, aku mencari-cari kontaknya melalui sosial media, tidak ada. Kucoba menghubungi teman-teman yang sekiranya tahu. Ada. Seorang teman pernah bekerja dengannya untuk keperluan tugas akhir, namun teman itu mengatakan bahwa kondisi Cak Son sedang tidak baik satu tahun terakhir. Dia sempat masuk rumah sakit dan butuh waktu untuk pulih. Mendengar itu, aku hendak mengurungkan niat menemuinya, merasa tidak enak jika membuatnya bekerja dalam kondisi kurang prima. Namun temanku mengatakan Cak Son akan menerima jika pekerjaan itu tidak mengharuskannya keluar rumah. Saat aku bertanya Cak Son sakit apa, temanku diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab tidak tahu.

“Gua aja besok ke rumahnya,” jawabku santai.

Suasana studio menjadi semakin intens seiring dengan mendekatnya waktu tutup. Ares tampak terbirit-birit, seolah waktu yang tersisa tidak cukup untuk menyelesaikan segala yang dia rencanakan. Dia berpindah dari komputer ke tablet dengan cepat, masing-masing perangkat adalah bagian dari ritme kerja yang harus diikuti. Sesekali, dia memeriksa kertas konsep yang tersebar di meja, dan setiap kali ide baru muncul, stylus pen-nya yang terselip di telinga  menjadi alat yang siap dipakai kapan saja. Begitu terus. Tablet, komputer, tablet, komputer. Dia mengerjakan dua proyek sekaligus. Dia selalu seperti itu. Jika merasa sempat abai pada tanggung jawab di satu waktu, dia akan menggantinya dengan tumpukan pekerjaan di waktu yang lain. Entah itu bisa dikategorikan sebagai sifat baik atau buruk.

Aku sedang makan malam dengan makanan yang dibawa Ares tadi siang. Nasi goreng ini sudah dingin. Tapi lapar tetaplah lapar, aku tidak mempermasalahkan selagi masih bisa dimakan. 

“Dikejar setan, lu?” tanyaku iseng sambil menyeringai melihat Ares grusak-grusuk.

“Dikejar madam,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer. Kami sama-sama tahu bahwa madam yang dimaksud adalah Mami.

Ares mengatakan bahwa dia meminta waktu seminggu untuk merampungkan karya tugas akhir. “Mungkin siang lu kebanyakan sendirian tapi kalau malam atau pas studio tutup, gua kerjain apa yang belum selesai,” jelas Ares lagi.

“Lu fokus aja.”

Ares terdiam dengan wajah bernuansa bimbang. Antara pekerjaan dan kuliah, keduanya saling tarik-menarik, tak ada ruang bagi keduanya untuk bersanding. Dalam kondisi seperti ini, rasanya mustahil baginya untuk membagi fokus. “Atau gini deh, urusan materi hotel gua aja yang kerjain, kan tinggal editing,” pinta Ares. Dalam nada bicaranya terselip perasaan sungkan. 

“Atur aja.”

Begitulah, sejak Rabu aku sendirian. Studio harus tutup jika aku keluar, bahkan hanya sekedar membeli alat. Cak Son berhasil ditemui di rumahnya. Dia memang terlihat lebih kurus, rambutnya kini dipangkas pendek. Walaupun sayu, matanya masih memancarkan keramahan. Dia berbicara dengan tempo yang lambat—sepertinya dia akan sesak napas jika berbicara lebih cepat—walau tetap masih terdengar semangat. Aku tidak menanyakan perihal sakitnya. Justru itu caraku menunjukkan bahwa aku prihatin. Lagipula mengenai hal itu Cak Son yang berhak menentukan kepada siapa dia akan bercerita. 

Cak Son tinggal sendirian, dia memang belum menikah dan orang tuanya jauh di Madura. Rumahnya walau sedikit gelap namun tertata. Pintunya selalu ditutup, begitu juga jendela. Salib besar dengan LED kuning hangat tergantung tepat di atas televisi, menjadi satu-satunya cahaya pada ruang tamu yang muram.  Tidak ada pendingin ruangan, hanya kipas gantung yang bisa kukatakan hampir tidak ada fungsinya walaupun menyala. 

Kami duduk di ruang yang Cak Son sebut studio. Berbeda dengan ruang tamu yang rapi namun muram, studionya tampak semrawut dengan kesan yang justru menyenangkan. Sebuah tampilan ruangan yang aktif. Meskipun terlihat seperti sebuah kekacauan, tapi atmosfernya jauh lebih nyaman. Di atas meja di tengah ruangan, cetakan silikon dan sebuah kamera tergeletak, disoroti oleh lampu gantung yang memancarkan cahaya lembut dan hangat. Di sudut ruangan, sebuah spanram dengan canvas terpasang tidak beraturan menampilkan goresan tinta minyak merah dan hitam yang tampak seperti representasi spontan. Sisa isi ruangan hanyalah perkakas-perkakas seorang perupa. 

Cak Son menanyakan kabarku sambil menyuguhkan minuman yang kuketahui setelah menyesapnya adalah bir jenis stout. Sambil minum, kuceritakan sedikit tentang Gammares. Dia mendengar dengan minat di atas rata-rata pendengar. Dan setelah menyampaikan maksud kedatangan, Cak Son menyanggupi permintaan untuk membuatkan replika makanan.

“Besok malam lu ke sini jemput tuh barang,” ujarnya.

Aku merasa lega mengetahui Cak Son bisa menyelesaikan pesanan dengan cepat. Mungkin dia juga memahami betapa dekatnya tenggat waktu yang harus kuhadapi. Aku mengangguk, kemudian bangkit sambil mengucapkan terima kasih. Cak Son mengantarkan hingga ke pintu. Saat kutanyakan harga untuk replika itu, dia menggeleng cepat. “Lu besok ke sini, bawain gua bir sepuluh botol,” katanya sambil menepuk pundakku ringan. Aku tersenyum jahil. “Siap, Cak!”

Permintaannya itu, meski terdengar santai, menunjukkan bahwa di balik tubuhnya yang tampak lemah, masih ada sisi lain dirinya yang masih kuat. 

Keluar dari rumah Cak Son, masih di dalam gang, aku menepi untuk menelepon Ares. “Bajingan!” Ujar Ares dengan gelegar tawa saat mendengar permintaan Cak Son yang nyeleneh. “Ntar malem gua sekalian keluar, gua beliin tuh bir!” sambung Ares.

Besoknya, saat aku membuka kulkas, kulihat sudah tersusun botol bir. Kuhitung, jumlahnya lebih dari sepuluh. Aku langsung mengirim pesan kepada Ares, memberitahu bahwa birnya aman dan akan sampai ke Cak Son. Balasannya cepat, ‘Sepuluh buat Cak Son, sisanya jatah lu.’

Studio repot. Telepon berdering, calon klien datang membahas kemungkinan kerjasama, MoU baru dibuat, aku terkadang keluar membeli perlengkapan, juga di antara rehat menyempatkan membalas pesan dan e-mail yang menumpuk, merevisi pekerjaan Ares tentang materi hotel yang dia simpan di penyimpanan online milik Gammares. Semua itu akhirnya membuatku tidak pulang, kini giliranku yang tidur di studio. Tidak jarang aku bekerja hingga lewat tengah malam, lalu besoknya sebelum jam operasional studio mulai, aku sudah bangun lebih awal untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Begitu setiap hari menjelang seminggu. Sibuk, hampir tidak ada waktu sekedar mengirimkan pesan pada Aruna. Aku lega sebab Aruna mengerti saat kuceritakan padanya masalah di studio. Ternyata itu tidak menyurutkannya, dia justru semakin sering mengirimkan pesan untuk mengingatkan makan. Aku membalas iya saja, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Lebih sering, rasa lapar terlupakan di antara rapat, revisi, dan tenggat. Juga sudah terlalu lama menunda hingga akhirnya tidak merasa lapar lagi.

Pukul dua dini hari, di tengah keheningan yang hanya dipecah oleh suara klik-klik mouse, handphone-ku menyumbangkan dering. Sebuah notifikasi e-mail masuk, dengan subject yang sudah familiar: “Titip.” Aruna sering kali mengirimkan file kuliah dengan subjek semacam itu, sebagai cara berjaga-jaga jika datanya hilang. Aku tahu isinya tanpa harus membuka—catatan tugas, dokumen penting, atau presentasi. Kucoba meneleponnya sebab sudah larut malam dan dia masih sempat mengirimkan email. 

“Hai, kok belum tidur?” tanyaku sesaat telepon itu diangkat.

“Iya, nih. Masih ada yang dikerjain,” jawab Aruna.

“Data puskesmas lagi?” 

“Hmmm, ada deh!” Aruna menjawab dengan cara menggemaskan. Aku tertawa.

“Obatnya kamu minum? Salepnya dipakai, nggak? Jujur aku ragu, sih.” Pertanyaan Aruna meluncur cepat, nyaris tanpa jeda.

Aku memang mampir ke puskesmas seperti yang Aruna minta dulu, mengambil obat sebelum kembali ke Jakarta. Saat itu bukan dia yang melayani. Aruna tampak sibuk karena sedang jadwal posyandu. Dia hanya melemparkan senyum padaku dari kejauhan. Saat sudah di parkiran, dia menghampiriku sebentar. 

“Tahu aja. Obat makan jarang, karena harus makan dulu, kan? Kalau salep pakai terus.” jawabku.

“Nah? Berarti makan kamu berantakan, kan?” Aruna membalas dengan nada yang mengisyaratkan kekhawatiran.

“Tapi tiap abis makan, aku minum obatnya.”

“Makan yang sekali sehari itu?” desak Aruna dengan nada tidak sabar.

Aku terkekeh mendengar pertanyaannya.

Aruna membalas dengan berdecak kesal, seolah sudah menebak jawabanku. 

“Masih nginap di studio?” tanya Aruna lagi.

“Masih. Ini lagi cek kerjaan. Besok harus udah selesai.”

“Wah? Buru-buru, dong?”

“Iya. Ngebut banget!”

Setelahnya Aruna menceritakan kejadian lucu di puskesmas tentang dokter yang salah pasien, sudah terlanjur diperiksa baru lah wanita itu mengatakan bahwa sebenarnya bukan dia yang sakit tapi kakaknya yang sedang di kamar mandi. Si adik hanya sedang numpang berbaring karena lelah. Aku tertawa mendengarnya. Tawa yang sudah lama tidak kudapatkan beberapa hari ini. Tawa itu berakhir dengan helaan napas panjang.

“Kenapa? Capek banget, ya?” tanya Aruna. Mungkin dia menangkap embusan napasku yang terdengar lebih berat itu.

“Capek, sih udah biasa. Kangennya ini yang nggak bisa dianggap biasa,” godaku.

Aruna terkekeh pelan tapi tidak memberikan jawaban lebih lanjut.

“Ya, udah. Aku mau tidur dulu, ya. Kamu semangat kerjanya. Jangan tidur pas perut kosong. Isi pelan-pelan sebelum tidur, oke?” pesan Aruna.

“Siap, Nona.”  

Telepon berakhir, lalu tak lama Aruna mengirimkan pesan: “Aku kangeeen banget sama kamu.” Deretan huruf e itu terasa seperti dia ingin memperpanjang rasa rindunya.

Malam itu aku terus bekerja hingga azan subuh terdengar berkumandang.

Sabtu siang, Mbak Mala melakukan video call setelah kukirimkan materi untuk hotel. Dia senang dan mengucapkan terima kasih lebih dari lima kali. Materi kali ini lebih segar katanya.

Fresh banget, ya!” begitu kira-kira kata Mbak Mala.

Lalu menjelang sore, aku berkendara menuju kafe klien lainnya dengan menempuh jarak kurang lebih empat puluh menit. Sesampainya di sana, pemilik kafe itu belum tiba, setelah ditelepon pegawainya dia beralasan terjebak macet. Memang benar, macet sekali. Aku maklum dan menunggu sekitar dua puluh menit lagi sambil menikmati es kopi yang disajikan.

Klienku menghampiri dengan tergopoh-gopoh, meminta maaf atas keterlambatannya dan ketidakpahamannya menggunakan penyimpanan online. Itulah sebabnya aku datang langsung ke kafe untuk memberikan dan menjelaskan materi secara langsung. Dia mengeluarkan tablet dan memintaku membuka file penyimpanan online dari akunnya. Materi itu diperhatikan dengan seksama oleh pria yang kira-kira berusia sama dengan Pak Yahya. Bagian yang selalu kusuka dari pekerjaan ini adalah melihat ekspresi klien yang tampak antusias dan senang atas hasil kerja kami.

Saat akan kembali ke studio, Kak Ami menelepon dan memintaku mampir sebentar ke konveksi. Karena sudah terlanjur di luar dan juga mengesampingkan pegal-pegal, aku langsung melesat. Kak Ami meminta perubahan pada isi MoU dan akan membahasnya bersama kepala keuangan. Mereka meminta pembayaran per bulan, bukan per proyek. Aku sedikit keberatan, karena pembayaran per bulan berarti jumlahnya tetap, terlepas dari banyak atau sedikitnya materi yang dihasilkan. Bisa ditebak bahwa mereka akan meminta hasil lebih banyak. Kak Ami mengakui bahwa respons dan umpan balik pelanggan terhadap media sosial mereka sejak menggunakan jasa Gammares semakin baik dan meningkat. Tetapi kepala keuangan berusaha menekan biaya dengan mendapatkan keunggulan yang sama. Aku berdalih dengan mengatakan akan membicarakan hal ini dengan Ares terlebih dahulu dan akan memberikan jawaban dalam tiga hari. Kepala keuangan mengangguk yakin, sementara Kak Ami tampak ragu.

“Bukan mau Kakak, Gam,” jelas Kak Ami saat mengantarku keluar. Aku menyerahkan wajah ke langit. Langit berpendar dengan warna ungu pekat. Betapa cepat waktu bergulir. 

“Iya, kak. Paham.”

Karena sepertinya Kak Ami merasa tidak enak akan situasi yang diberikan kantornya padaku,  dia justru mengajakku berbincang-bincang ringan. Tapi aku sudah cukup rasanya berbasa-basi sehingga sudah tak sabar ingin kembali ke studio.         

Jalan macet total karena akhir pekan. Kuputuskan berhenti untuk makan malam di warung sate ayam pinggir jalan sambil menunggu lalu lintas sedikit lengang. Suasana hiruk-pikuk di sekitar. Di kiri dan kanan, orang-orang berpasangan. Ingatan tentang Aruna menyusup; kami lebih suka makan di pinggir jalan, dan Aruna bilang itu lebih enak. Pacarku itu memang suka makan, dan jika ada makanan yang sesuai seleranya, dia akan segera menandainya di aplikasi pesan antar. Walau entah kapan dia pesan, Aruna hampir selalu masak atau aku bawakan makanan saat pulang malam. Dengan iseng kukirimkan foto sate ayam ini padanya.

‘Nemu sate enak! Kapan kamu balik kita ke sini.’

Aruna membalas segera, ‘Bawain, dong!’

Aku terkekeh sambil mengetik, ‘Sampai di Tangerang keburu basi.’

‘Tidur di studio lagi?’ 

‘Kayaknya gitu. Kamu makan apa malam ini?’ jawabku.

‘Makan ikan bakar, tadi beli. Kamu pulang dong ke kost, kan lebih nyaman kalau tidur di kamar.’

‘Nggak lebih nyaman karena kamu nggak ada.’

Lalu Aruna membalas dengan mengirimkan emoticon dengan wajah kuning menitikkan air mata. Sebuah visual sedih yang menggemaskan disertai kalimat ‘kangen, ya?

Membaca pesannya itu lantas membuatku merespons langsung, “Pake nanya!” sambil tersenyum, membuat pasangan di kiri menoleh sebentar ke arahku. Lalu aku segera menyimpan handphone kembali setelah membalas pertanyaan Aruna dengan emoticon wajah kuning dengan bibir melengkung ke bawah. Sate ayam segera kuhabiskan.

Aku masuk studiro saat sudah nyaris pukul sembilan malam. Kuambil satu botol bir dan minum seperti orang kesetanan. Rasa kecut dan agak pahit bir sudah tidak terasa sebab rasa haus kali ini tidak ada duanya. Baru saja merebahkan diri di sofa, handphone-ku berdering. Pak Yahya menelepon, memberitahukan bahwa ada yang tidak beres di kamarku. 

“Kamar Mas Gamma bau banget!” seru Pak Yahya.

“Bau apa, Pak?”

“Nggak tahu deh! Bisa bangkai bisa makanan basi. Idung saya lagi mampet juga, nih! Pokoknya bau aja!” 

Mendengar itu, lagi-lagi dengan mengesampingkan lelah, Kupaksa bangkit kembali berkendara menuju kost. Sepanjang jalan pikiranku berkecamuk memikirkan kemungkinan apa penyebab kamarku bau. Apakah ada tikus atau cicak mati atau sesuatu yang lebih mengerikan? Pikiranku melayang ke skenario terburuk—bangkai manusia. Pikiran absurd dalam keadaan lelah, kurang tidur, dan telah menghabiskan satu botol bir.

Saat sampai, Pak Yahya sudah tidak tampak. Hidungku sibuk mengendus-endus, mencari sumber bau. Anehnya, tidak tercium apa-apa, hanya bau lorong seperti biasa. Di depan pintu kamar, hidungku kembali menghidu. Sama sekali tidak ada bau yang mengganggu. Aku beralih, mengendus pintu kamar Aruna. Justru dari celah pintu itu, tercium wangi khasnya. Aku beralih ke pintu kamarku, membukanya. Aroma strawberry-vanilla yang kuat langsung menguar. Lalu aku anggap aku mabuk karena sebotol bir tadi dan mulai berhalusinasi. Aku justru menikmati wangi ini dan menghirupnya sedalam dan sebanyak mungkin. Kunyalakan lampu, membuka sepatu, dan menaruh ransel. Di pantry, aku minum sejenak. Anehnya, walaupun mungkin hanya halusinasi, wangi Aruna bertahan lama. Aku diam sebentar, berpikir yang tidak-tidak. Mungkin ini memang bau busuk yang dimaksud Pak Yahya, namun karena mabuk, hidungku jadi salah mengartikan bau ini menjadi bau orang yang aku rindukan. Aku merasa perlu membasuh wajah untuk menenangkan pikiran.  

“Baaaa!!”

Suara ceria itu mengagetkan tepat saat aku membuka pintu kamar mandi.

Aruna!

Aku benar-benar terkejut. Dia bersembunyi di kamar mandi? Sudah berapa lama?

“Kaget, kan?” ujarnya dengan wajah manis sambil menyentuh hidungku dengan telunjuknya. Aku sontak langsung memeluknya erat, kemudian mengayunkannya kiri-kanan dengan pelan. 

“Kangenlah!” ucapku di antara bahu dan rambutnya.

“Sama, aku juga, “ jawabnya lembut, mengusap-usap punggungku.

Sambil memeluk, aku membawanya ke kasur. Langkah Aruna mundur kecil-kecil dan tampak takut akan terjatuh. Dia terkikik penuh keriaan.

“Mulai mesum! Mulai mesum!” serunya di sela-sela derai tawa.

“Enggak …,” bujukku.

Badan kami berdua jatuh ke permukaan kasur. Aku berguling ke sisinya, lalu tengkurap. Kepalaku menghadap Aruna. Kami beradu tatap saat kulingkarkan tangan pada pinggangnya.

“Aku butuh begini sebentar,” ujarku sambil memejamkan mata.

“Iya …,” Aruna memiringkan tubuhnya menghadapku, mengusap kepalaku penuh perhatian.

“Aku ngajak Pak Yahya buat ngerjain kamu, biar pulang,” katanya lagi.

“Pantesan. Aku pikir karena abis minum, aku halusinasi. Bau apa coba wangi begini.”

“Kamu abis minum?” Aruna terdengar kesal. Tangannya berhenti mengusap kepalaku.

Aku mengangguk dengan senyuman lebar berharap senyum itu bisa menggagalkan Aruna untuk marah dan mengomel.

“Bir?” tanya Aruna sedikit mendesak.

Aku mengangguk lagi dan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Kamu, ih..., kebiasaan!” Aruna berdecak kesal. Kubuka mataku. Dia kini terlentang, menghadapkan waahnya pada langit-langit kamar dan melipat kedua tangannya di dada dengan ekspresi dongkol pula. “Capek banget, ya?” tanya Aruna lagi, mungkin setelah menimbang-nimbang bahwa saat-saat seperti ini tidak untuk mengutarakan kalimat kekesalan.

“Udah ilang, pas kamu datang,”

“Ah? Masa?” 

“Iya. Kamu minta apa aja aku bisa,” kataku. “Apa? Cium? Bisa,” kataku dengan kedipan mata jahil.

“Itu, sih maunya kamu!” Aruna membalas dengan mencubit gemas pinggangku.

“Aduh!” aku berseru lirih.

“Eh? Maaf, kena lukanya, ya?” 

Aruna hendak bangkit memeriksanya, tapi aku menahannya untuk tetap di sampingku. “Udah, nggak apa-apa. Baringan aja sini,” ujarku sambil menggeser badan mendekat kepadanya.

“Kapan kamu sampai?” tanyaku lagi.

“Tuh, kan? Kamu, sih, cuek banget. Nggak baca e-mail aku, ya?”

“Isinya titipan dokumen kayak biasa, kan?” aku memastikan.

“Iya, sih. Tapi di sana aku tulisin kantor baru aku. Intinya, aku nggak kerja di puskesmas lagi, kemarin terakhir dinas,” jelas Aruna, dia menatap langit-langit kamar dengan mata yang memancarkan optimisme.

“Kantor?” tanyaku heran.

“Iya. Perusahaan gitu, penyedia jasa home care. Gina yang infoin ke aku kalau mereka lagi rekrut,” jelas Aruna dengan bangga.

“Jadi kamu bakalan di sini, dong?” 

Aku sebenarnya antusias dan senang sekali mendengar berita ini. Tapi mungkin karena lelah, nada dalam pertanyaanku tidak begitu mencerminkan kegembiraan yang kurasakan.

Aruna tersenyum, kembali mengelus kepalaku, “Besok aja ceritanya, kamu kelihatan udah capek banget.”

“Tapi kamu nggak pergi-pergi lagi, kan?”

“Hm, gimana, ya?” Dia mulai iseng, lalu tertawa.

Aku cemberut dengan cara yang bisa menggodanya, membuatnya lagi-lagi menyentuh hidungku gemas, “Lagian bentar lagi ada yang ulang tahun, nih!” sambungnya. Aku tersenyum simpul mendengar ujaran Aruna tentang ulang tahun. Terdengar kekanak-kanakan tapi di saat yang sama terasa aku berdebar. Aruna kembali mengusap lembut kepalaku. Kenyamanan yang diberikannya merontokkan pegal. Tanpa sempat berganti pakaian, aku tertidur dalam pelukan seorang kekasih. Pada malam yang terasa lebih singkat dari malam-malam sebelumnya, rinduku mengabur, lelahku luntur.

 

 

post-image-65d8542e0f4e7.jpeg

 

(bersambung)
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RESTART - BAB 17 (Dilema)
18
21
Rasanya seperti bertaruh nyawa untuk tetap bersikap sewajarnya, sementara gejolak ingin memeluk Aruna sudah menembus kepala. Ingin meneriakkan dengan bangga pada seisi ruangan bahwa perawat cantik dan cerdas ini milikku. Tapi apa daya, bahkan untuk datang saja aku harus berpura-pura menjadi orang lain. Pacarku tengah sibuk menerima ucapan selamat dan hadiah dari junior serta teman-temannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan