RESTART - Bab 6 (Jauh-Dekat)

22
21
Deskripsi

Tema: Coming of Age

Sebuah Novel Romansa Modern.

Perjalanan menuju kedewasaan tidak mudah adanya. Tidak pernah bulat dan selalu bercabang.

"Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan."

RESTART

Copyright©2023byHelloHayden

(Pertama kali terbit di KaryaKarsa pada November 2023)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.

                Layar handphone menunjukkan pukul tujuh malam, dan ini Sabtu—malam Minggu. Selayaknya bagaimana orang-orang menikmati akhir pekan, aku juga ingin melakukannya. Dan lagi-lagi, satu-satunya orang yang muncul dalam kepalaku adalah Aruna. Aku ingin mengajaknya keluar, mungkin makan malam atau sekadar duduk di kafe favoritnya. Tapi aku ragu. Sudah berapa kali kukirimkan pesan hanya untuk diabaikan atau menunggu lama untuk mendapatkan balasan yang juga singkat. Kali ini, kuputuskan untuk bertindak berbeda: datang langsung ke kamarnya. Maka aku bergegas bersiap. Beberapa kali bolak-balik di depan cermin, mendekat dan menjauh, memastikan penampilanku benar-benar sempurna. Kuhidu tiga pilihan parfum yang kumiliki, mencari aroma yang paling lembut dan tidak terlalu mencolok. Setelah merasa cukup puas, kulihat diriku sekali lagi dari rambut sampai kaki—rambut, oke. Pakaian—kemeja abu-abu polos, celana jeans, tampak baik. Wangi yang terasa pas.. “Gini-gini amat!” aku bergumam mencibir diri sendiri yang berusaha lebih demi seorang gadis. Sejujurnya kemeja ini bukan gaya berpakaianku. Baru kedua kalinya kukenakan sejak diberikan oleh Marwa sebelum kepindahanku ke Jakarta. Marwa pernah mengatakan aku terlihat keren saat mengenakannya. Tidak tahu apakah itu sebuah candaan atau kenyataan, tapi saat memilih-milih pakaian, justru kupertimbangkan apa yang pernah Marwa ucapkan. 

Aruna membuka pintu setelah kuketuk dua kali. “Gam? Rapi banget, mau kemana?” Matanya menyusuriku dari atas ke bawah, naik lagi. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang kini terlihat lebih bulat sebab rambutnya terikat. Dan, astaga, beberapa helai rambut yang lolos dari ikatannya itu jatuh di sekitar leher, membuatnya terlihat semakin memikat. 

“Kita keluar, yuk! Makan.” Tanpa tahu malu, kuajak dia denga pede.

“Keluar? Makan? Mendadak banget!” Jawaban Aruna, beserta rautnya itu, berhasil membuat kepercayaan diriku merosot. Aku diam, sebab menanggung terkejut dan malu bersamaan.

“Tapi kamu udah rapi begini, ya?” sambungnya lagi, dengan ekspresi usil pula.

Aku spontan tertawa. Aku ketahuan, dan tidak ada celah untuk menyembunyikannya lagi. “Hehehe. Iya, nih ….”

“Kamu laper banget emang?” tanya Aruna lagi.

“Gini, deh. Kita bisa jalan-jalan dulu, ntar pas kamu mulai laper, kita makan.”

Aruna tidak menjawab, dia membuka pintu kamarnya lebih lebar dengan keengganan, memperlihatkan kertas-kertas dan buku-buku di sekitar laptop yang menyala di lantai. Kemudian dia menatapku dengan senyuman yang kuartikan: aku sibuk sekarang.

“Oohh.” Aku mengangguk dan memahami situasi Aruna yang juga sedang berada di tahun-tahun terakhir kuliahnya. 

Aku diam.

Aruna juga diam saja.

Kami berdua seperti berusaha keras untuk menemukan kata-kata selanjutnya. 

“Nah, ini dia orangnya. Kebetulan…” Bu Dewi tiba-tiba keluar dari kamarnya. Dia berjalan mendekati kami dengan tergopoh-gopoh dan sedikit kesusahan sebab balutan rok span yang dikenakannya sedikit ketat. Di tangannya, ada dua bungkusan makanan. Pak Rully mengikuti dari belakang, tak kalah rapi dengan kemeja batik yang warnanya senada dengan rok Bu Dewi. Ia memberikan senyuman kepada kami, membuatku dan Aruna secara bersamaan mengangguk dan membalas senyumannya.

“Mau kemana, nih, Bu?” tanya Aruna.

“Lho?” Bu Dewi tercengang, “Bude jamu di gang depan, kan, nikahin anaknya. Emang kalian nggak datang?” tanya Bu Dewi sambil bergantian melihat kami.

Aruna menggeleng kebingungan.

“Nggak diundang, Bu,” jawabku.

“Oalah? Padahal kemarin dia nanyain kamu, loh, Gam, katanya mau ngasih undangan,” jelas Bu Dewi lagi. 

“Mungkin pas saya nggak di kost,” kataku.

“Iya kali, ya?” Bu Dewi tampak menyetujui. “Nah, ini buat Gamma, ini buat Aruna,” Bu Dewi menyerahkan masing-masing bungkusan yang dipegangnya kepada kami. “Ini isinya sama, kok. Tahu kalau kalian lagi bareng begini, nggak saya pisahin tadi bungkusannya,”  ujarnya lagi dengan tawa, bola matanya bergerak usil ke arah Aruna.

“Ah, Ibu bisa aja, nih!” Aruna nyeletuk. 

“Makasi banyak, Bu.” Kalimatku dan Aruna berhimpitan. Sementara itu, aku terkejut sebab tanpa peduli dan tanpa melihat situasi, Bu Dewi, dengan kerlingan mata jahil menyikutku beberapa kali.

Ya ampun! Bu Dewi!

“Dah, ya! Dimakan loh itu. Mumpung masih anget!” ucap Bu Dewi sambil tergesa-gesa pergi. Pak Rully yang sedari tadi menunggu di depan pintu mendekatinya dan mengulurkan tangan pada istrinya.

Untuk wanita yang usianya hampir sebanding dengan ibuku, Bu Dewi termasuk ibu-ibu yang ceria dan penuh semangat. Suaranya yang lantang selalu mengisi ruangan dengan keriaan. Aku dan Aruna melihat Bu Dewi yang menggandeng mesra lengan suaminya. Mereka berdua kemudian menuruni anak tangga hingga tak tampak lagi dari pandangan kami. 

“Yuk! Masuk,” ajak Aruna tiba-tiba.

“Bukannya kamu mau belajar?”

“Kamu udah keren gini, masa mau balik ke kamar,” katanya dengan menyunggingkan sebelah sudut bibirnya.

“Gimana? Gimana? Aku keren, nih?” tanyaku, menggodanya.

“Apa, sih!” sanggahnya malu-malu sambil terkikik, lalu dia masuk.

Aduh! Gemas! Diam-diam, di sebalik punggungnya, aku tersenyum puas.

Aruna tengah menuang makanan ke mangkuk, isi bungkusan itu ternyata berisi soto lamongan. Dia juga menyiapkan sendok, tidak lupa air minum. Dapur ini memang terkesan seadanya, tapi justru berbanding terbalik dengan perlengkapan masak Aruna yang serba ada. Penanak nasi dan microwave mini tertata rapi di atas meja yang panjangnya hanya dua meter, sementara beberapa alat masak lain, seperti sendok memasak dan gunting dapur, menggantung dengan teratur. Rak penyimpanan bumbu juga terlihat bersih dan rapi. Berbeda dengan dapur di kamarku, yang hanya memiliki kulkas kecil dan alat makan yang cukup untuk satu orang.

“Kamu masak tiap hari, ya?” tanyaku yang masih kesusahan membuka karet pengikat bungkusan.

“Lebih sering masak daripada pesan atau makan di luar,” ujarnya sambil menuangkan kecap ke dalam mangkuknya. “Kamu bisa nggak buka bungkusan ini? Sini, aku saja,” tambahnya dengan melirik jari-jemariku yang masih berjibaku dengan karet. Aku tertawa sambil menyerahkan bungkusan itu padanya. Dalam satu gerakan, dan minim usaha, bungkusan di tangan Aruna. Aku ternganga, merasa benar-benar tak bisa melakukan apa-apa, sementara Aruna tersenyum bangga atas kemampuannya. “Ini ada triknya, jam terbang harus tinggi,” katanya dengan lagat sang juara yang diminta komentar singkat. Asap dari soto yang masih panas mengepul tinggi saat Aruna menuangkannya ke mangkuk milikku.

“Aku kurang jam terbang apa, coba? Hampir tiap hari pesan makan, datangnya selalu dalam bungkusan,” jawabku.

“Yaa, kalau gitu, berarti kamu sengaja supaya aku yang bukain,” tukasnya cepat. Jawabannya tidak terduga. Aruna mendelik sejenak padaku yang tidak tahu harus merespons seperti apa. Anehnya, aku malah senang karena nyaris selalu mendapatkan kejutan-kejutan kecil darinya yang justru sulit kuantisipasi.

Sejurus kemudian, kami sudah duduk di lantai, menghadapi mangkuk masing-masing. Hal yang kami bahas tidak ada yang melewati batas. Hanya berputar pada perbincangan akademis saja, seperti Aruna menceritakan karya tulis ilmiah yang sedang dia kerjakan atau ujian demi ujian yang harus dia lewati dan juga menceritakan sertifikasi keperawatan yang akan dia urus untuk bisa bekerja di rumah sakit. 

Dari penjelasan Aruna, aku baru mengetahui bahwa dia tidak langsung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Selama setahun, dia membantu ibu panti. Itulah mengapa, meskipun kami seumuran, Aruna masih berada di semester lima. Dia terburu-buru menyelesaikan karya tulis ilmiah karena kampusnya hanya memberikan waktu hingga enam semester saja; jika tidak lulus dalam waktu tersebut, dia akan dinyatakan gagal dan tidak diberi kesempatan penambahan waktu. Saat giliranku, dia mulai bertanya tentang semua hal, mulai dari kuliah, kesibukan, bahkan Ares. Aruna mengatakan dia bertemu Ares saat aku pulang ke Bogor karena Bapak meninggal. Menurut Aruna, Ares terlihat gusar. Setelah mendengar berita itu dia segera berlari turun. “Wajahnya tegang pas aku ceritain kamu pulang karena Bapak meninggal. Langsung balik badan, lari. Mungkin nyusulin kamu,” ujar Aruna. Ya, aku tahu temanku itu, si playboy cap kacang itu, walau terlihat acuh tak acuh bahkan cenderung serampangan tapi dia memiliki perasaan yang halus. 

Kami terus bercerita tanpa membahas lagi panti asuhan karena topik itu sepertinya tidak menyenangkan bagi Aruna. Mungkin nanti, jika saatnya sudah tepat, Aruna akan bercerita lebih banyak tanpa perlu diminta. Aku hanya berharap bisa membuat saat itu datang lebih cepat.

Aruna menanyakan apa yang kukerjakan untuk tugas akhir. Maka mulai kuceritakan proyek motion graphic tentang kemacetan di Jakarta. 

“Aku harus keluar di jam-jam macet untuk ngambil footage,” kataku.

“Kapan-kapan aku boleh lihat kamu?” tanya Aruna penuh rasa penasaran.

 “Jangan dong! Panas. Debu juga,” jawabku cepat. 

Aruna merengut.

“Tapi....,” sambungku, dan rengut pada wajahnya memudar, dia menungguku dengan sorot mata berbinar, “kamu boleh ikut kalau aku lagi kerja di dalam ruangan, kayak di mal atau studio.” Dan kemudian aku setengah berharap dia  akan menyetujuinya. Tapi yang ada, Aruna malah tertawa, “Gini. Tadi aku tanya, boleh lihat nggak? Bukan, boleh ikut nggak. Itu beda, loh, maksudnya.” Jawabannya benar-benar mencengangkan dan lagi-lagi tidak tertebak.

“Yaa, kalau sekadar lihat, kan, nggak harus ikut. Bisa aja aku pas pulang kuliah, ketemu kamu lagi fotoin jalanan, lihat sebentar, terus pulang,” sambungnya sambil menampilkan raut kepuasan. Dia jelas tahu bahwa dia berhasil mengerjaiku. Sementara dia tertawa kecil, duduk menatap layar laptopnya dengan jari-jemarinya menari di atas keyboard, seolah tidak terlalu peduli, sedang aku entah sudah berapa kali menyorakkan dalam hati betapa menggemaskannya dia ini.

Dia senang karena merasa telah menang. Namun, nyatanya, akulah pemenang sebenarnya. Aku hanya berpura-pura, membiarkan dia larut dalam kebanggaan atas keberhasilannya. Malam ini, aku yang berhasil mencairkan suasana, mendapatkan tawanya, dan perlahan mengetahui bahwa dia bukan sosok yang susah diajak bicara. Kusembunyikan perayaan untuk diriku sendiri di sebalik cangkir teh yang menempel pada bibirku. Sejujurnya, aku tidak terlalu suka teh, namun malam ini, aku tahu aku tengah menikmati teh terbaik sepanjang hidup.

-oOo-

 “Akhirnya selesai juga!” Ares langsung berdiri tegak pinggang. Kemudian dia bergerak cepat memutar badan kiri dan kanan. “Argh..!” Teriak Ares setelah terdengar bunyi tulang yang berderak, seolah mampu menanggalkan lelahnya. 

Kami berada di halaman kampus, pada sebuah pelataran. Aku, Ares dan Trisna sudah empat jam duduk di sini, menyelesaikan pengeditan terakhir materi festival kuliner. Ini sudah hari ke sembilan, sehari sebelum batas akhir penyerahan. Trisna tengah sibuk mengemas barang-barang masuk ke dalam tasnya, sedangkan aku memeriksa ulang video-video sebelum dikirim kepada Bu Mariska. Bu Mariska hanya pernah menelepon sekali selama proses pengeditan, pada hari ke empat, setelah aku mengirimkan sebuah e-mail  berisi satu contoh hasil akhir video yang akan menjadi materi untuk di publish pada situs brand tersebut. Respon Bu Mariska positif; dari suaranya di telepon—yang sengaja aku loudspeaker agar Ares dan Trisna bisa ikut mendengar—terdengar jelas bahwa ia puas dengan hasilnya. Satu-satunya permintaannya adalah menambahkan narasi di akhir beberapa video. Ares masih sibuk meregangkan tubuhnya, sesekali dia melemas-lemaskan pergelangan tangannya. Di antara kami bertiga, Ares memang lebih menguasai grafis. Sejak awal Ares sudah membuat animasi-animasi untuk materi ini. Dia banyak menggambar pada tablet, memperhatikan detail-detail kecil. Sedangkan aku lebih memahami ilmu warna. Template pada color grading seringkali tidak sesuai dengan tema, untuk itu sering kuatur secara manual. Trisna lebih memilih menyusun komposisi visual agar terlihat menarik; memilih materi-materi yang cocok, mengatur durasi video, memastikan materi ini sesuai dengan tujuan dan tema, membuat narasi dan memetakannya menjadi alur yang solid agar pesan dari video tersampaikan dengan baik.

“Gua mau beli minum, pada nitip nggak?” tanya Ares.

“Kopi, Nyet!” sahutku seadanya, sedang mataku masih terpancang pada layar laptop.

Trisna diam saja. Dia masih sibuk mengemas buku-buku dan tablet, bersiap pulang.

“Tris?” Ares memanggilnya dengan ragu. Sudah sepuluh hari berlalu, tapi suasana di antara mereka belum juga mencair.

“Nggak.” Tanpa menoleh, juga tanpa berpikir, Trisna menjawab. Dan jawaban itu memang sudah kuduga. Dari sudut mata, kulirik Ares segera. Dia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar sebelum akhirnya pergi meninggalkan pelataran dengan langkah besar-besar. Dalam hati aku terkikik sendiri melihat interaksi mereka berdua.

“Temen lu, tuh! Gila!” Trisna tiba-tiba angkat bicara begitu Ares lenyap di balik tembok mural. Dia yang selama ini memilih bungkam—entah karena malas mengungkit kesalahan Ares atau karena tak ingin Ares merasa cukup penting untuk dibicarakan—akhirnya membuka mulut. Nadanya ketus, seperti meledakkan sesuatu yang selama ini dia tahan.  Meskipun aku tahu Trisna akan menceritakan apa, namun kuputuskan untuk pura-pura tidak mengetahui apa pun yang sudah terjadi di antara mereka. “Ares? Kenapa emang?”

“Udah salah, nggak minta maaf! Ck!” Trisna berdecak kesal. Raut wajahnya berubah kecut.

“Lah?” 

“Ya gitu, deh!” Trisna bangkit. Kini dia duduk di pinggir pelataran. “Besok-besok kalau ada kerjaan lagi gua nggak ikut…,”  Trisna diam sebentar. “Eh! Dia aja yang nggak usah ikut!” sambungnya lagi sambil merengut. 

Aku tertawa, cukup keras hingga membuat Trisna menoleh dengan pandangan tajam, “Lu kenapa? Malah ketawa!”

“Dia naksir ama lu, Tris. Udah lama, sejak awal kuliah malah.”

risna melotot. “Idih, si Ares? Semua perempuan dia pacarin! Lu inget, kan? Semester kemarin pacarnya yang anak teater datang nanyain dia ke Cindy, yang jelas-jelas lagi pacaran sama dia juga waktu itu. Dua cewek itu sampai berantem. Jambak-jambakan di depan kelas F yang lagi siapan buat seminar! Tuh anak malah kemana? Cuek aja tuh! Kabur dia,” kata Trisna sambil bergidik ngeri, mengingat kembali drama yang waktu itu sempat heboh beberapa minggu di kampus.

“Dia ke kost gua, main PES.”

“Nah, tuh! Ogah, deh, gua ama yang begituan. Nggak tanggung jawab! Kekanak-kanakan, sok kecakepan segala!” Air mukanya tampil seperti sedang membicarakan setan—takut dan patut dihindari.

“Kali ama lu beda, Tris. Jadi jinak,” bujukku.

“Dih? Enggak! Emang gua apaan? Penjinak satwa liar?” semburnya dengan raut setengah jijik setengah kesal.

“Bisa aja. Penjinak buaya!” Aku menyeringai dan itu jelas membuat Trisna semakin dongkol.

“Hah! Sekalian gua buka cagar alam! Suaka margasatwa!” 

“Buset!” 

Tidak lama, Ares datang dengan membawa dua minuman, satu kopi pesananku dan satu lagi jus kemasan, “Nih, minum. Nggak seret lu dari tadi?” katanya sambil mengulurkan jus itu kepada Trisna.  Trisna bahkan tidak menoleh, dia berpura-pura sibuk dengan handphone.

   Sambil meneguk kopi, kuintip mereka. Anehnya, meskipun suasana masih dingin, ada sesuatu yang manis ketika mereka bersama. Ares tetap mengulurkan jus itu, menunggu dengan sabar meskipun Trisna sama sekali tampak tidak berniat mengambilnya. Ares menarik kembali tangannya, lalu, membuka sedotan yang menempel di belakang kemasan jus itu. Dengan satu gerakan cepat, dia menancapkannya dan kemudian duduk tepat di samping Trisna,  menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Trisna, sambil tersenyum dan menunjukkan hasil kerjanya: jus yang sudah siap minum.

Aku terkejut melihat sikap Ares yang tiba-tiba begitu manis. Tapi yang lebih mencengangkan lagi—dan membuatku nyaris tersedak—adalah ketika tersenyum begitu saja! 

ASTAGA! Aku terus mengumpat dalam hati menyaksikan kejadian ini. Apa benar-benar bisa begitu? Baru saja Trisna menggerutukan kekesalannya terhadap Ares. Tidak hanya menggerutu, dia bahkan dengan lantang menyatakan ketidaksukaannya. Lantas sekarang apa? Bisa-bisanya dia tersipu malu begitu. Aku benar-benar tidak habis pikir; apakah Ares yang memang pandai merayu, atau Trisna yang mudah terbawa suasana? Walaupun pada akhirnya dia tidak mengambil jus itu, tetap saja, bagiku ini sungguh kontradiktif. Trisna memutuskan untuk pulang setelah susah payah menahan senyuman. Langkahnya tergesa-gesa, menjauhi aku dan Ares yang kini saling bertatapan. Aku menggelengkan kepala, sementara Ares menaik-naikkan alisnya, tanda puas diri akan taktiknya.

“Bisa gitu, ya?” tanyaku lagi pada Ares dengan sedikit blo’on. Kami sedang berjalan bersama menuju parkiran.

“Bisa, lah! Lu aja yang lemot!” Ares menjawab seadanya sambil menghisap rokok.

“Lu kali ilmu kodok,” cecarku.

“Maaf, Bung. Itu pragmatis!”

“Taik!”

Ares cengar-cengir. Diam-diam aku menyetujuinya tentang pragmatis.

   Sore itu, sebelum pulang, kami menghabiskan sekitar dua jam untuk duduk pada sebuah bar yang jaraknya tidak jauh dari kampus. Banyak anak-anak dari kampus kami yang berkumpul di sana, melewati petang dengan bercerita banyak hal. Suasana di sana cukup hangat. Ruangan yang bergaya Britania lama, didukung oleh alunan musik brit-pop yang tidak terlalu kuat juga sesekali anak jurusan musik melantunkan karya mereka pada panggung kecil bar.

Aku dan Ares memesan satu pitcher bir untuk berdua, disertai dengan beberapa camilan. Beberapa teman menyapa, dan kami akhirnya duduk bersama anak-anak dari jurusan yang sama. Obrolan mencuat silih berganti secara acak. Ada yang bercerita mengenai pekerjaan, rencana bisnis bersama, proyek desain, hingga keluhan Ares tentang betapa sulitnya mendapatkan izin dari pengelola klub malam untuk pengambilan materi tugas akhirnya. Pembahasan ini akhirnya menjadi topik serius. Sejak awal, sudah kuperingatkan bahwa dia mungkin akan kesulitan fokus mengerjakan tugas akhirnya dengan objek yang dia pilih. Ares awalnya yakin dan percaya diri bisa mengatasinya, namun ternyata dia sering kali dikalahkan oleh situasi yang tidak terduga.

“Ganti judul aja,” kataku saat Ares mulai berkeluh.

“Iya juga, ya? Mana Mami ribut banget di rumah nanyain kapan lulus ….” Ares memukul meja, membuat teman-teman lain menoleh.

“Emang Pak Sam oke sama judul lu yang itu?” tanyaku lagi. Pak Sam adalah dosen pembimbing Ares.

“Oke kok dia. Suka malah. Yaah, lu tahu juga kan dia gimana. Orang dia sempat bilang ke gua, kalau gua mulai kumpulin footage dia bilang mau ikut.”  Ares terdengar sedikit kesal. “Lu jangan lulus duluan, ya?” pintanya dengan wajah memelas.

“Dih? Ogah!”

Aku meneguk bir dan kuputuskan ini gelas terakhir, “Balik deh, gua,” kataku sambil meninggalkan meja.

“Halah! Segitu doang!” Ares mengikuti, meraih ranselnya, “Balik, yak!” ujar Ares pada teman-teman lain yang masih di sana.

-oOo-

Kembali dari bar dan tepat saat baru memasuki gerbang kost, suguhan pemandangan yang tak menyenangkan menyambut. Aruna duduk bersisian dengan seorang laki-laki di ruang tamu komunal. Biasanya sore menjelang malam, penghuni kost, terutama laki-laki berkumpul. Duduk sambil merokok dan bercengkrama, terkadang Pak Yahya ikut serta. Satu bentuk silaturahmi seadanya. Namun malam ini, hanya ada Aruna dan temannya.

Awalnya, aku berlagak tidak peduli saja. Kuparkirkan motor lalu masuk. Dari sudut mata, kuamati laki-laki yang duduk di samping Aruna. Kacamata yang dikenakannya seakan ingin memamerkan kecerdasan. Gaya berpakaiannya? Keterlaluan. Kemeja polos berwarna … entahlah, bagaimana menyebutkannya, Warna yang berupa bayangan gelap dari merah muda. Di ruang HSL kuperkirakan memiliki hue 339°-340°, dengan 94-95% saturasi dan sekitar dua puluh persen penerangan. Kemeja lengan pendek dengan kancing mencekik batang lehernya, dipasang tanpa lapisan kaos dalam, dipadukan dengan celana bermotif plaid. Dan rambutnya? Mengganggu pandangan! Entah dia mengoles gel atau semacamnya, hingga membuat rambutnya tampak benar-benar seperti pantulan plastik hitam di bawah sorotan lampu. Dia bergaya… retro? Mungkin. Juga akhirnya membuatku bertanya-tanya, apakah tipe laki-laki seperti ini yang disukai Aruna?

Yang membuatku semakin kesal adalah si retro ini tampak begitu bersemangat dan matanya berkilat-kilat saat mendengarkan Aruna. Meskipun Aruna tidak menunjukkan antusiasme yang sama, tapi dia terus memberikan tanggapan berlebihan, seperti Aruna sedang menceritakan salah satu adegan dari film aksi terkenal.

“Gam? Udah pulang?” Aruna menghentikan obrolannya dengan temannya saat melihatku datang.

“Iya, nih. Mau naik bareng?” tanyaku. Itu bukan basa-basi belaka. Aku memang ingin Aruna menyudahi pertemuannya dan ikut bersamaku meninggalkan teman retro-nya ini. Ada sesuatu yang mengusik tiap kali kulihat dia menatap Aruna terlalu lekat, seolah tatapan matanya itu mampu menembus kulit wajah Aruna. Juga setelah kuperhatikan, pada jarak sedekat ini dia bukan bergaya retro tapi justru terlihat culun.

“Duluan aja,” tolak Aruna sopan. Si culun itu memandangku dengan ekspresi semacam kepuasan. Wajahnya menyiratkan kemenangan karena merasa berhasil merebut perhatian Aruna. Tatapannya begitu jelas, dan aku tahu, dari sorot matanya yang berkilat itu, dia mencoba memancing suasana persaingan. Dengan dingin, aku membalasnya, mengukir senyum sinis yang sama tajamnya. Melihatku begitu, raut wajah si retro sekejap berubah rikuh. 

“Ya udah, kalau gitu aku duluan, ya,” kataku pada Aruna.

Tidak ada lagi percakapan di antara mereka hingga saat aku sudah berbelok akan menaiki tangga, kudengar si culun itu tiba-tiba bertanya pada Aruna, “Siapa dia?” 

Ini bukan jarak yang aman, bahkan meski suara itu hanya bisikan. Gedung kost ini tidak terlalu besar; jarak antara belokan menuju tangga dan tempat mereka duduk tidak lebih dari empat meter. Aku menahan napas, punggungku menempel erat pada dinding yang melindungiku dari pandangan mereka. Apakah dia akan menyebut namaku? Atau mungkin hanya melemparkan jawaban singkat yang ambigu?

Senyum tipis tersungging di wajahku saat mendengar jawaban Aruna. Sudah bisa kutebak, memang itulah yang akan dia katakan. Jawaban yang aman, netral, dan tak memberi ruang untuk spekulasi lebih jauh. Lanjut kutapaki tangga satu per satu. Belum sampai di anak tangga ke sepuluh, tiba-tiba handphone-ku berdering. Aku buru-buru merogoh ransel, jari-jariku menyusuri setiap sisi ransel dengan tergesa, mencoba menemukan ponsel dengan dering nyaring itu yang sepertinya terjepit di antara laptop dan buku-buku.

Tiba-tiba saja, aku terpeleset. Kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Berguling dan terhempas keras di lantai lebar di belokan tangga. Handphone yang tadi berdering sekarang diam. Dengan gemetar, kusambar ransel, memeriksa laptop untuk mengetahui apakah ada kerusakan akibat benturan. Aku langsung teringat pada materi yang belum sempat kukirimkan kepada Bu Mariska. Jantungku berdegup kencang saat layar menyala perlahan. Saat itulah Aruna muncul dari arah bawah, diikuti si culun. Dia berlari menghampiriku, dan tanpa ragu, berlutut di depanku, tepat di samping laptop yang masih terbuka. “Gam! Kamu habis jatuh malah buka laptop!” serunya. Tangannya mencengkeram pundakku.

Pertanyaannya membuatku tertawa. Biasanya suaranya lembut, tapi kali ini terdengar lebih tinggi dan juga tegang. Dia tampak setengah cemas setengah kesal, dan entah bagaimana, aku suka melihatnya begitu. Dengan cepat, kututup laptop yang, beruntungnya, tidak mengalami kerusakan apa pun, lalu mengemasnya kembali ke dalam ransel. Ponselku yang tergeletak di lantai yang masih menyala, menunjukkan satu panggilan tidak terjawab dari Kak Ami. 

“Ayuk, berdiri! Bisa nggak?” tanya Aruna sembari meraih pangkal lenganku. Aku sebenarnya bisa berdiri sendiri tanpa masalah, tapi pikiran nakal mengambil alih. Aku berseru. “Aduh!” keluhku pelan, sedikit mendramatisasi, berusaha meyakinkan. 

“Sini, aku aja yang bantu, Run. Kamu nggak kuat. Mas ini besar,” kata si culun itu dengan nada dan raut sok bijak. Ucapannya seperti duri di telingaku. Spontan, kutegakkan punggung, lantas menyadari sesuatu—dia sedikit lebih pendek dariku. Tapi tetap saja, aku tidak lebih besar. Aku hanya lebih tinggi darimu, bodoh! Sial, kenapa aku harus memusingkan pernyataan kecil seperti itu? 

“Ah! Enggak!” Kutepis tangannya yang sudah terulur.

“Nggak apa-apa, Gam. Daripada kamu jatuh lagi,” Aruna bersikeras. Suaranya terdengar tegas dengan intonasi yang tak bisa ditawar. Aku menghela napas panjang, menyerah pada bantuan yang terasa seperti sandiwara ini. Wajar saja. Kesakitan palsu berujung pada bantuan yang terasa sama palsunya. Namun, saat aku mulai melangkah, pergelangan kaki kananku mengirimkan rasa nyeri yang tajam, membuatku tersentak dan alhasil, aku meringis. Rupanya, tidak semua ini sandiwara. Nyeri itu nyata. Pergelangan kakiku benar-benar kaku dan terasa sakit.

Aruna mengikuti di belakang, memanggul ranselku di bahunya. Tepat seperti dugaanku, aroma gel rambut tercium dari si culun. Meskipun sudah banyak bergerak, rambutnya tidak bergeser satu sentimeter pun. Aku tergelak pelan, tidak bisa menahan geli. Si culun mendelik. Lalu, dengan suara rendah yang dibuat-buat (dia benar-benar berusaha terlihat besar dan wibawa), dia berbisik, “Otak lu cedera, ya?” dengan tatapan sok menekan-sok berkuasa-sok prestise. Aku terdiam sejenak, menyadari dia mungkin sudah menangkap arti tatapan sinisku saat di ruang tamu tadi,  “Iya, karena temen lu itu,” jawabku, memberikan cengiran bandel sambil melirik ke arah Aruna yang masih berdiri beberapa anak tangga di bawah kami, tidak menangkap suasana tegang di antara aku dan si culun ini. Seketika, dan benar-benar seperti apa yang kuharapkan, raut wajahnya berubah masam.

“Reza, makasih, ya,” ujar Aruna saat kami sudah berhadapan dengan pintu kamarku. “Hm, gini, kamu pulang dulu aja, gimana? Bukunya tadi masih di bawah, kamu bawa aja dulu. Jumat kita bahas lagi di kampus,” sambung Aruna. Kemudian mengambil alih posisi Reza untuk menopangku. Begitu dia menggantikan Reza, aku langsung merasa jauh lebih nyaman. 

“Oke. Jumat, ya?” nada bicara si Reza ini terdengar agak mendesak. Tidak enak didengar—setidaknya untuk telingaku. Membuatku geram sendiri dan kembali menatap keras pada si Reza ini. Aruna menyikutku, memberikan isyarat agar aku mengucapkan terima kasih. Aku menoleh pada Aruna, memelas dengan enggan. Tapi mata Aruna jelas tidak memberiku kesempatan untuk membantah. Dia menggerakkan matanya ke arah Reza, menuntutku memenuhi formalitas itu. “Makasih …,” gumamku datar dan malas.

Reza si culun tidak membalas. Dia melenggang pergi. Namun, sebelum menuruni tangga, dia menoleh sekali lagi. Aruna tak menyadari, masih sibuk mencari kunci di dalam ranselku. Kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Kubalas tatapan Reza dengan cibiran kecil. Ujung lidahku menyusup di antara bibir, mengejeknya terang-terangan. Mata si culun menyipit, jelas dia tidak senang, tapi aku tersenyum penuh kemenangan. 

“Kamu duduk dulu, aku ambilkan minum,” kata Aruna, menunjuk kursi kerja. Begitu kami masuk, aku segera duduk dengan hati-hati. Aruna bergegas ke pantry dan kembali dengan membawa segelas air.

“Kamu pusing?” tanyanya sambil mengulurkan gelas.

Aku menggeleng.

“Kepala kena benturan?” tanyanya lagi, kali ini lebih serius.

Aku menggeleng lagi.

“Jangan cuma geleng, jawab yang bener!” Aruna terdengar kesal.

“Enggak, Runa. Kepala aman,”

Hati yang enggak. Kalimat itu tentu hanya bergema dalam kepala.

Aruna mengangguk, matanya turun ke kakiku. “Kaki kanan keseleo, ya?” tanyanya, memperhatikan posisi kakiku yang agak canggung.

“Iya kayaknya,” jawabku singkat.

Tanpa bicara lagi, Aruna duduk di lantai. Dengan cekatan dia menggulung celana jeans-ku hingga batas betis. Aku terperangah, sama sekali tidak menyangka dia akan bertindak begitu langsung dan tanpa ragu. Gerakannya terlatih, tentu saja, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. 

“Sebentar, aku cari sesuatu,” ujarnya sambil berdiri. Dia kembali ke pantry, kali ini lebih tergesa. Melirik sekilas ke arahku. “Aku izin buka kulkas, ya?” tanyanya, menunggu persetujuan.

“Iya, buka aja,” jawabku, masih sedikit bingung, tapi aku percaya padanya.

Dia kembali dengan membawa dua minuman kaleng. Lalu duduk lagi, bergantian menempelkan dengan hati-hati minuman kaleng dingin itu ke pergelangan kaki. Dia sangat teliti memperhatikan tiap senti apa yang dikerjakannya. Jari-jemari lembutnya menekan-nekan, mencari titik yang menjadi pusat rasa sakit. Sesekali, pergelangan kakiku diputar kanan dan kiri untuk melemaskan sendi. Aku terus memperhatikannya. Tertegun dan terpesona. Aku selalu tahu dia pintar, tapi melihatnya begini, ada sesuatu yang menarikku semakin jatuh.  Detik ini juga aku menyadari satu hal: perasaan ini bukan lagi sesuatu yang bisa kuabaikan.

“Gimana? Masih sakit?”  Aruna mendongak melihatku.

“Masih, coba lagi…,” ucapku, menyembunyikan degupan jantung yang semakin kurang ajar.

Lalu untuk beberapa saat, Aruna mencoba sekali lagi, melemaskannya. “Enggak kaku lagi. Udah lemes, kan?” 

“Iya, udah. Udah lemes.”

Aku-nya.

“Nanti, kalau masih nyeri, atau ternyata bengkak, kamu bisa kompres air hangat,” jelasnya lagi sambil berdiri dan kembali ke pantry, untuk mencuci  dua minuman kaleng itu sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam kulkas lagi. Dia memilih duduk di sofa kali ini.

“Bukan kompres dingin kayak barusan?” tanyaku dengan heran.

“Kalau baru aja kejadian, kompres dingin. Kalau udah lumayan lama dan bengkak, kompres hangat,”  jelasnya singkat, dengan ekspresi profesional yang tiba-tiba terpasang pada wajahnya, seperti suatu sistem yang otomatis, yang telah dia dapatkan selama praktik lapangan. Seolah raut itu berkata, akulah perawat kompeten.

“Gimana?” tanyaku lagi.

“Gini aja, deh. Kalau ternyata membengkak, kabarin aku, ya?”

“Kalau enggak bengkak? Enggak boleh kabari?”

“Boleh…” jawabnya pelan.

Chat?

“Boleh…”

“Telepon?”

“Iya. Boleh…”

“Dateng langsung?”

“Iya, boleh, Gam. Boleh…” Aruna terdiam sejenak, seperti berpikir. “Tunggu! Nggak boleh! Kalau bengkak, kurangi gerakannya. Kamu nggak boleh jalan-jalan dulu,” ujarnya dengan ketegasan seorang perawat pula.

Melihatnya begitu, aku menarik kesimpulan. Dan kesimpulan ini adalah sesuatu yang kusukai. “Oh, jadi kamu yang ke sini?”

Aruna menghela napas, “Iya. Nanti aku yang datang.”

Kami berdua berbalas pandang—dia seperti menatap pasien yang cerewet sedang aku menatapnya dengan kepuasan. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang sempat mengusik pikiran “Jadi si Reza itu, ya?” aku bergumam cukup keras agar dia bisa mendengarnya.

“Maksudnya?” Aruna menatapku dengan alis nyaris menyatu.

“Iya. Kamu pernah cerita kalau kamu suka di kampus bareng teman-teman. Jadi Reza itu salah satunya?”

“Oh, jadi kamu penasaran?” Aruna menantang dengan senyum usil yang malah semakin membuatnya menawan.

“Hm, tetangga depan kamar ini cuma nanya…” jawabku dengan iseng, menyindirnya dengan menyebutkan kata “tetangga depan” sebagai jawaban atas pertanyaan si culun tentang siapa aku sebelumnya.

Tawa Aruna pecah begitu saja. Suaranya yang renyah memenuhi ruangan, membangkitkan kebahagiaan yang membuatku lupa bahwa kakiku cedera.

“Ada yang nguping, nih?” Aruna mencemooh. Kesan perawat profesional sudah tanggal dari wajahnya hingga  yang tertinggal hanya ekspresi jenaka.

“Tolong Nona bedakan antara nguping dan memang terdengar,” jawabku pura-pura serius.

“Oh, jadi kedengaran, ya?” Sorot matanya berkilat penuh humor.

Aku mengangguk yakin. 

“Apa lagi namanya kalau bukan tetangga?” tanya Aruna mendesak, dagunya sedikit terangkat, amat provokatif.  Bagiku ini bukan sekadar pertanyaan—ini sebuah tantangan. Sejak kecil, Bapak selalu mengajari hal baru bahkan pada usiaku yang belum memasuki batas wajar dan memadai untuk tantangan itu. Sekali pun kesusahan hingga menangis karena kesal, tidak pernah terlintas olehku untuk mundur apalagi berhenti. Aku terus mencoba sampai aku puas akan hasilnya. Itu semua telah melatihku untuk selalu berani menghadapi tantangan. Dan kini? Lihatlah apa yang tengah kuhadapi, seorang perempuan bertubuh mungil sedang mencoba mengujiku yang saat ini bahkan di bawah pengaruh minuman.

“Banyak sebutan lain, kan?” kataku, memberikan Aruna waktu untuk mempertimbangkan pilihan lain.

“Teman?” jawabnya cepat, tanpa ragu. 

“Menurut kamu?” Aku balas menantangnya. 

“Ng? Teman lebih masuk akal, sih. Kamu dan Reza, teman aku.” Aruna akhirnya manggut-manggut, tampak yakin dengan jawabannya. 

“Aku jelas beda dari Reza.” 

“Beda gimana?”

“Harusnya kamu tahu.”

“Enggak. Aku enggak tahu.”

Aku menggelengkan kepala sambil tertawa. Dengan cepat, kukayuh kursi ini maju menuju sofa. Lima poros roda berputar dengan mulus, membawaku tepat kehadapannya.

Aruna tersentak. Matanya seketika beralih ke pergelangan kaki kananku, seolah ada dorongan kuat dalam dirinya untuk memperingatkan agar berhati-hari. Kedua mata kami bertemu dalam jarak yang tak lagi bisa disebut aman. Hidung kami nyaris bersentuhan.

“Lihat aku,” bisikku, suaraku rendah dan penuh penekanan. Kutopang tubuhku dengan satu tangan merentang ke punggung sofa di sebalik punggung Aruna. “Apa ada seseorang yang disebut teman malah terang-terangan mendekati begini?” tanyaku. Tatapanku terkunci hanya pada matanya yang kini membesar karena terkejut luar biasa. Pada jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas warna matanya yang cokelat. Dan sisa lain pada isi wajahnya jelas terperanjat.

Kini aku semakin yakin, bahwa bir yang kuminum tadi telah merenggut sebagian  pengendalian diri. Ironisnya, justru itulah yang membuat situasi terasa lebih menarik—lebih hidup. Rasa canggung yang seharusnya ada dan menjadi alat membuat batas, lenyap seketika, tergantikan oleh keberanian yang muncul entah dari mana. Sesaat aku merenung, pikiran ini berkelebat dengan sendirinya: ini seperti yang sering kupelajari tentang ruang negatif. Bagaimana sesuatu yang tampak kosong, yang tidak terisi secara nyata, justru memiliki kontribusi terhadap keseluruhan harmoni sebuah karya. Di sini, di antara aku dan Aruna, ada ruang yang melampaui sekadar jarak fisik—ruang negatif yang menyiratkan sesuatu lebih besar, lebih dalam. Dan aku tidak tahu apakah aku memikirkannya sendirian atau …

Ah! Sudahlah. Sudah terlanjur begini juga.

 

(bersambung)

(bersambung)


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RESTART - Bab 7 (Mimpi Nyata)
18
12
Tema: Coming of AgeSebuah Novel Romansa Modern.Perjalanan menuju kedewasaan tidak mudah adanya. Tidak pernah bulat dan selalu bercabang.Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.RESTARTCopyright©2023byHelloHayden(Pertama kali terbit di KaryaKarsa pada November 2023)Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan