RESTART - BAB 5 (Godaan Jiwa)

21
15
Deskripsi

Saat aku memejamkan mata hendak tidur, wajah Aruna tiba-tiba muncul. Aku masih bisa mengenang hangatnya masa kecil bersama keluargaku. Lalu bagaimana dengan Aruna? Kenangan masa kecil seperti apa yang dia punya? Apa selama di panti, dia hidup dengan baik? Lingkungan seperti apa yang dia hadapi? Berapa banyak kesulitan yang telah dia lalui untuk akhirnya sampai di sini? Kemana orang tua kandungnya? 

Aku, Ares, dan Trisna sedang dalam perjalanan menuju Tangerang. Hari ini adalah hari pertama bekerja pada acara Festival Kuliner, yang diadakan di salah satu exhibition hall di sana. Sepekan sebelumnya, pihak brand telah mengirimkan email berisi rundown acara dan dokumen legal yang menandai kesepakatan kerja sama. Setelah menyusun strategi teknis, kami memutuskan untuk berangkat bersama menggunakan mobil milik Papi Ares. Selain memudahkan membawa berbagai alat dan perlengkapan yang akan kami gunakan, keputusan ini juga untuk memastikan tidak ada dari kami yang terlambat. Trisna langsung diantar oleh orang tuanya ke rumah Ares, sementara aku sudah memacu motor sejak pukul lima dini hari untuk mencapai rumah Ares—perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit dari kostku.

Sehari sebelum acara dimulai, aku dan Ares telah datang untuk pengecekan lokasi. Rasanya lega melihat persiapan yang hampir rampung, meskipun kami sadar bahwa kesibukan sebenarnya baru akan dimulai hari ini.

“Udah pada baca rundown sama MoU yang gua kirimin, kan?” tanyaku, menoleh pada Ares dan Trisna bergantian.

“Udah,” jawab Trisna dari bangku belakang sambil merapikan jilbabnya yang sedikit miring karena perjalanan. “Banyak juga pesertanya. Enam puluh, ya?”

Kami bertiga sengaja mengenakan kaos hitam, menandai kekompakan sebagai tim kecil yang akan mengurus acara besar. Ares mengikat rambutnya dengan gaya man bun—setengah diikat lalu digulung tinggi. Rambut-rambut halus di wajahnya sudah dia cukur rapi.

“Udah gitu, yang diundang pejabat kota sama Kepala Baparekraf. Keren juga, ya?” sambung Ares tanpa melepas pandangannya dari jalan.

“Nah, paham, kan, lu harus gimana? Jangan ngelawak,” kutatap dia, lalu menggerakkan bola mata ke arah Trisna, berharap si Don Juan ini menangkap maksud tersiratku.

“Ah! Iya, iya!” Ares menjawab dengan jengkel.

Acara itu dijadwalkan berlangsung dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Kami tiba di lokasi sekitar dua jam sebelum acara dimulai. Begitu sampai, Ares dan Trisna langsung bergerak cepat dan cekatan, saling memberi kode tanpa banyak bicara, menempatkan semua alat dan perlengkapan pada posisi masing-masing. Sementara itu, sejak masih dalam perjalanan, ponselku sudah beberapa kali berdering. Seseorang bernama Purwa memintaku untuk segera menemuinya begitu tiba di lokasi.

“Mas Gamma, ya?” Sapaan hangat itu datang dari seorang pria paruh baya yang berjalan ke arahku sambil mengulurkan tangan.

“Ya, Pak,” balasku, melepas topi yang sejak tadi kukenakan. Dengan cepat, kulipat topi itu seadanya dan menyelipkannya ke saku celana sebelum menjabat tangannya.

“Saya Purwa,” katanya memperkenalkan diri. Sebuah senyum mengiringi jabatan tangannya yang erat. Tubuhnya tinggi dan tegap, menunjukkan kesan pria yang penuh energi meskipun garis-garis halus mulai tampak di wajahnya. Ia mengenakan kaos polo berkerah abu-abu yang dipadukan dengan celana blue jeans. Pilihan pakaiannya memancarkan gaya yang trendy untuk usianya, santai tapi tetap profesional. Sorot matanya terlihat ramah dari balik kacamata tebal yang dipakainya. 

“Silakan ikut saya, Mas Gamma. Ada beberapa hal yang perlu kita bahas sebelum acara dimulai,” ujarnya seraya memberi isyarat untuk mengikutinya.

Aku meninggalkan Ares dan Trisna, mengikuti Pak Purwa. Kami tiba di sebuah ruangan yang tampak seperti ruang logistik. Kardus-kardus berbagai ukuran tersebar di lantai, beberapa tersusun rapi hingga hampir mencapai tinggi pinggang, sementara lainnya terlihat tergeletak begitu saja tanpa pola. Aku menebak-nebak isinya—mungkin souvenir acara, perlengkapan tambahan, atau barang-barang lain yang belum sempat diatur. Di salah satu sudut, terlihat beberapa kursi plastik berwarna biru yang juga diletakkan asal.

“Maaf, ya, agak morat-marit, nih!” ujar Pak Purwa sembari menjatuhkan bokongnya kepada salah satu kursi plastik. 

“Wajarlah, Pak, kalau lagi acara begini,” jawabku sambil ikut duduk pada kursi lain di sebelahnya.

Pak Purwa tersenyum dan mengangguk, kemudian berkata, “Gini, Mas Gamma. Saya ini copywriter untuk website brand ini. Nah, nanti kira-kira saya akan nulis begini.” Ia meraih tumpukan draft dari atas kardus di sampingnya. Tangannya yang besar mulai membolak-balik halaman dengan gesit, mencari sesuatu yang ingin ia tunjukkann. Kugeser kursi lebih dekat agar bisa melihat lebih jelas. Pak Purwa akhirnya menemukan halaman yang dimaksud, jari telunjuknya berhenti di sana. “Ini dia. Coba, Mas, baca dulu. Pastikan tidak ada yang meleset dari briefing.”

Tiap kalimat di draft itu kubaca dengan cermat. Tulisan-tulisannya masih berupa coretan-coretan tangan yang menyisip di antara paragraf-paragraf, sebuah jejak dari diskusi panjang. “Oke. Aman,” aku mengangguk paham sambil masih membaca beberapa tulisan lagi. “Materi yang kami buat harus selaras dengan ini, ya, Pak?” tanyaku memastikan.

“Betul. Semua yang nanti saya tulis di website harus mendukung konsep yang sudah kami susun di sini,” jelas Pak Purwa lagi. 

“Oke. Oke.”

“Nah, soal menu-menu dan resep, Mas,” lanjutnya sambil menunjuk salah satu catatan, “awalnya kami rencanakan video proses masaknya, kan? Tapi setelah dipertimbangkan lagi, rasanya nggak perlu. Mas Gamma dan tim nanti cukup memfoto menu unggulan para peserta. Tapi, konsep foto dan video lainnya tetap sesuai email briefing saya kemarin. Ada yang perlu ditanyakan, Mas?”

 

Aku berpikir sejenak, lalu bertanya, “Boleh nggak, Pak, saya lihat hasil video dan foto acara tahun sebelumnya? Biar lebih bisa memperkirakan hasilnya akan bagaimana.”

“Oh, boleh. Sebentar, ya.” Pak Purwa merogoh tas selempang kecil yang dari tadi tersandang di bahunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi seseorang. “Yuk, Mas. Lewat sini,” katanya lagi setelah menutup telepon.

Kami keluar, berjalan melewati deretan stan yang mulai sibuk. Beberapa peserta sedang menata peralatan memasak mereka, sementara suara dentingan panci dan sendok mulai terdengar samar-samar. Aroma bumbu yang digoreng perlahan menyeruak, bercampur dengan bau adonan yang baru saja dipanggang.

Pandanganku menyasar ke arah panggung utama di kejauhan. Di sana, Ares dan Trisna terlihat sibuk mengatur pencahayaan. Ares, dengan kabel yang melilit di lengannya, tengah memastikan semua terpasang rapi. Cahaya lampu dari panggung sesekali memantul pada wajahnya yang serius, menyoroti kerutan kecil di dahinya. Dia melirik ke arahku, dan dengan gerakan kecil mengangkat kepalanya, seolah bertanya: Ada masalah? Kuacungkan jempol tinggi-tinggi, memberi isyarat bahwa semuanya berjalan lancar.

Ares, yang menangkap pesanku, lalu mengangguk. Dia kembali fokus melanjutkan pekerjaannya, memasang kabel terakhir di sisi panggung. Trisna, di sampingnya, tampak sibuk menyesuaikan sudut lampu sorot, sesekali berdiskusi dengan teknisi lain yang berdiri di bawah panggung.

            Aku dan Pak Purwa akhirnya tiba di sebuah meja sederhana di sudut belakang hall. Di sana, seorang wanita terlihat sibuk mengetikkan sesuatu pada laptop di hadapannya. Wanita itu, mungkin beberapa tahun lebih muda dari Pak Purwa, mengenakan pakaian formal yang memberi kesan profesional dan penuh wibawa. Pak Purwa menyapanya lebih dulu, lalu memperkenalkanku. Wanita itu berdiri dari kursinya, menjabat tanganku dengan senyum ramah. “Mas Gamma, ya? Saya Mariska, Advertising Manager,” katanya dengan nada bersahabat.

“Senang bertemu, Bu Mariska,” balasku dengan sopan.

“Silakan duduk,” ujarnya, mempersilakan aku dan Pak Purwa untuk menatap layar laptopnya. Ia sendiri memilih berdiri di samping kami, memposisikan diri seperti seorang mentor yang mengawasi. Ditampilkan pada layar foto-foto makanan berwarna cerah, video pendek dengan potongan gambar yang dinamis, semuanya memberi gambaran jelas tentang kualitas yang mereka harapkan.

“Ini udah yang di-publish, kan, Pak?” tanyaku, memastikan tidak ada informasi yang terlewat.

“Udah, Mas. Yang raw udah nggak disimpan,” jelas Pak Purwa.

 

Aku memandang layar dengan saksama, menganalisis nuansa visualnya. “Jadi, gimana, Pak? Ada permintaan khusus untuk hasil akhirnya nanti? Atau nuansanya mau dibuat beda, mengingat tema tahun ini juga beda dari tahun lalu, kan?”

Pak Purwa tidak langsung menjawab. Ia tersenyum, lalu menoleh ke arah Bu Mariska, memberikan kesempatan padanya untuk menjelaskan lebih lanjut. Wanita itu mengangguk, sebelum berbicara.

“Saya senang sekali melihat antusiasme Mas Gamma. Begini aja, nanti kita bisa diskusi lebih detail selama proses pengeditan. Kalau ada hal yang perlu disesuaikan, kita bisa bahas bersama. Bisa lewat telepon juga, kok, kalau waktunya mendesak.”

Aku senang dengan fleksibilitas yang ditawarkannya, sehingga aku mengangguk saja. Setelah itu, kami kembali berjabat tangan, dan ia menyerahkan kartu namanya padaku.

“Terima kasih, Bu Mariska. Saya pamit dulu, ya, mau menemui teman-teman saya,” kataku sebelum beranjak dari meja.

Aku pergi membawa detail penting yang perlu segera kusampaikan kepada Ares dan Trisna. Tidak ada waktu untuk bersantai, pekerjaan ini harus berjalan dengan sempurna.

            Acara telah dimulai dengan meriah. Kukenakan kembali topi yang tadi kusimpan, lalu fokus pada tugas meliput Bupati Tangerang yang sedang memberikan kata sambutan untuk membuka acara. Di sekitarku, kru televisi juga terlihat sibuk mengarahkan kamera mereka. Tugasku jelas: mendokumentasikan aktivitas di panggung dan pelataran.

Trisna tampak sibuk mewawancarai salah satu peserta festival yang tengah memasak. Di sisi lain, Ares terlihat di dekat pintu masuk, merekam orang-orang yang mulai berdatangan. Kami memang berpencar untuk memastikan semua tugas berjalan sesuai rencana. Sesekali, kami bertemu di sela-sela kesibukan untuk bertukar kabar atau membahas kendala yang muncul di lapangan.

Antusiasme masyarakat terhadap acara ini luar biasa. Pecinta kuliner memenuhi hall, menyaksikan dengan takjub proses memasak makanan khas nusantara secara langsung. Salah satu acara yang menarik perhatian adalah pertunjukan edukatif pembuatan kecap, dari pemeliharaan kedelai hingga pengemasan yang siap dipasarkan. Hiruk-pikuk suasana semakin menambah semangat semua yang hadir.

“Untung lu nggak jadi bawa Aruna,” ujar Ares tiba-tiba di sela-sela pekerjaannya. Kami sedang meliput beberapa stan kuliner, memotret makanan-makanan yang dipajang.

“Iya, rame banget. Kita aja sibuk begini, ntar malah dia sendirian,” jawabku sambil mengatur kamera, mencari angle terbaik untuk semangkuk soto. “Kasihan kalau cuma bengong dia.”

“Ngomong-ngomong,” Ares menoleh sambil merogoh kantong vest-nya, mencari tisu lensa, “ada kemajuan nggak?”

 

Aku mendesah pelan. “Ada. Jalan bentar. Tapi nggak tahu bisa dibilang kemajuan atau enggak.”

“Lah? Gimana maksudnya?” Ares menatapku penuh minat. Dia berhenti menyeka lensa yang terkena cipratan minyak dengan tisu.

“Yah, kita sempet jalan sebentar. Terus dia minta pulang. Mana tiba-tiba dia gelisah gitu,” jelasku, sementara jari-jariku terus memencet tombol kamera.

FIX!” Ares tertawa lepas.

Fix apaan?” tanyaku bingung.

“Mundur, brader! Udah ada cowoknya, tuh! Makanya gelisah.” Dia berseru dengan tatapan dan nada yang sama jahilnya.

“Masa? Orang dia bilang cuma tiba-tiba kepikiran sesuatu aja,” aku mencoba menyangkal sambil mengingat wajah Aruna saat itu.

“Itu artinya dia kepikiran cowoknya, Nyet! Lu gimana sih? Nggak peka banget!” Ares mencibir sambil menyeringai puas.

Aku mengangkat bahu, mencoba mengabaikan, meski di dalam hati aku tahu ada kemungkinan Ares benar.

Tiba-tiba Ares mengembuskan napas dengan serba kasar dan malas. “Gua juga nggak ngira bakal serame ini. Kapan gua bisa deket-deket Trisna kalo gini terus?” keluh Ares sambil setengah bercanda, meskipun ada nada frustrasi dalam suaranya.

“Heh! Kerja!”

“Masa curhat doang nggak bisa!”

“Idih! Curhat segala!” aku diam, lalu memikirkan sesuatu, “Lu anterin dia pulang aja nanti,” usulku dengan asal, sambil tetap memotret makanan.

Ares menoleh cepat, lalu tawanya kembali pecah. “Lah? Pinter juga lu, Nyet! Iya, deh, gua coba ntar!” jawabnya puas.

Tawa Ares yang riang, ditambah suasana ramai di sekitar, sedikit mengalihkan pikiranku dari pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tentang Aruna.

             Waktu berjalan cepat saat kami fokus pada pekerjaan sehingga tahu-tahu seorang kru menghampiri dan mengajak makan siang bersama. Ares mengatakan bahwa sebaiknya kami bergantian agar tetap ada yang di lapangan untuk meliput acara. Aku menyetujuinya tanpa pikir panjang. Kru itu membawaku menuju tempat makan yang tak jauh dari lokasi acara. Meski itu adalah tempat istirahat, suasana di sana tetap terasa sibuk. Beberapa orang masih tampak bekerja, ada yang memegang kertas-kertas, membuka laptop, sibuk menelepon atau bahkan ditelepon

“Mas Gamma, ayuk, makan dulu,” sapa Bu Mariska dengan senyum ramah sambil menunjuk meja yang dipenuhi kotak-kotak makanan.

“Iya, Bu,” jawabku sambil tersenyum, lalu berjalan ke meja yang dia tunjuk.

“Mana yang lain?” tanya Bu Mariska lagi.

“Masih di depan, kami gantian,” jawabku.

“Oh, ya udah. Yuk, duduk di sana,” Bu Mariska menunjuk ke sudut ruangan yang masih menyisakan beberapa kursi plastik kosong. “Sekalian diskusi tipis-tipis,” tambahnya sambil tersenyum.

Meskipun ini adalah tempat istirahat, mereka tetap berusaha memanfaatkannya untuk bekerja. Setiap detik berharga, mereka seperti dikejar waktu.

Sambil menyantap makanan, Bu Mariska mulai berbicara tentang pertanyaan yang aku utarakan tadi pagi. “Kami sudah sempat membahasnya bersama tim,” katanya sambil menatapku dengan serius. “Kami menyerahkan keputusan mengenai hasil akhir materi kepada kalian, karena kami rasa kalian lebih paham mengenai aspek visual.”

Aku mendengarkan dengan seksama.

“Yang terpenting, tetap berkomunikasi selama proses pengeditan,” lanjut Bu Mariska. 

-oOo-

Langit sudah sangat pekat saat aku mulai menggulung kabel-kabel penyambung. Hari pertama acara ini telah selesai, dan semuanya berjalan dengan baik meski beberapa masalah tak terduga sempat muncul. Beruntungnya, kami mampu mengatasinya dengan cepat, dan itu menjadi pelajaran untuk hari berikutnya. Trisna dan Ares sudah mulai mengemas peralatan, mengangkatnya satu per satu ke dalam bagasi mobil saat Bu Mariska datang menghampiriku.

“Mas Gamma, ini ada makanan dari stan. Enggak banyak sih, tapi bisa dibagi buat temen-temennya,” katanya sambil menyerahkan dua paper bag yang cukup berat.

“Wah, terima kasih, Bu,” jawabku sambil menerimanya. Kupanggil Ares dan Trisna. Mereka datang, berjabat tangan, dan saling memperkenalkan diri pada Bu Mariska. Kami berbincang sebentar, mengucapkan terima kasih atas kerjasama hari ini, sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing. 

“Tris, lu gua anter aja, ya?” Ares mulai melancarkan aksinya begitu kami sudah berada di mobil, bersiap untuk pulang. Jam di monitor mobil sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang tujuh menit. Ares mengikat kembali rambut panjangnya yang sedikit berantakan dan melepas rompinya, lalu menggantungnya di punggung kursi kemudi, tepat di sandaran kepala.

“Nggak perlu,” Trisna menolak cepat, hampir tanpa berpikir. “Gua ntar dijemput bokap di rumah lu.”

Mendengar jawaban Trisna yang begitu gamblang, Ares—laki-laki yang sudah terbiasa bermain kata-kata pada perempuan—tidak menunjukkan canggung sama sekali. Bahkan senyum terpasang di wajahnya, senyum seorang yang ditantang dan tahu akan menang.

“Nggak kasihan lu sama bokap malam gini nyetir? Jam segini aja kita baru mau jalan. Jam berapa sampe Jakarta coba?” ujar Ares dengan nada menyudutkan, yang terasa hampir memaksa. Ares menyeringai dingin, sementara Trisna tampak berpikir. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang mempertimbangkan sesuatu. “Iya, sih,” Trisna akhirnya mengakui. “Kalau gitu ntar gua sama Gamma aja, deh. Kami satu arah,” lanjutnya, dan ini bukan hanya mengejutkanku, tapi juga Ares. Kami melempar pandangan. Bedanya Ares melotot, aku dengan sedikit kebingungan.

“Ya, Gam? Gua sama lu aja,” Trisna bertanya lagi.

 “Lah? Gamma?” sambut Ares cepat, nada suaranya sedikit kaku. “Orang dia mau pacaran abis ini. Iya kan, Nyet?”

“I-iya,” jawabku cepat, mencoba menghindari gugup tapi malah tersendat. “Lagian helm cuma satu, buat gua doang!” 

Ares mengangguk puas mendengar respons cepatku. “Dih? Pacaran!” Trisna mencibir, juga tampak geli. “Istirahat woy! Besok masih kerja, mana subuh udah siap-siap,” serunya kemudian.

“Bisa. Bisa. Aman,” jawabku seadanya.

Ares, yang tampaknya sudah punya rencana lain, bertanya lagi. “Jadi gimana? Gua anter, ya? Abis nurunin Gamma, ntar kita pindah ke motor gua,” ujarnya lebih mendesak kali ini.

Aku menatapnya bingung, mengernyitkan dahi. Kenapa nggak langsung pakai mobil saja? Lebih aman, kan? Tapi, dengan gesit, Ares memberikan isyarat dengan jarinya di bawah setir agar tidak terlihat oleh Trisna yang duduk di belakang. Jari telunjuk dan jari tengahnya mendekat, melipat sisa jarinya. Oh, aku paham maksudnya. Dasar Ares, tidak pernah kehabisan ide untuk mendekati perempuan incarannya. Melihat tingkahnya itu, aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tidak percaya.

“Ya udah, deh,” Trisna akhirnya pasrah. Dia yang tadinya duduk sedikit lebih maju, kini menghempaskan punggungnya, memperlihatkan bahwa dia sedikit keberatan, namun apa daya, dia tidak punya pilihan.

            Lalu kami melaju menuju rumah Ares dengan pikiran masing-masing: Ares yang tengah memikirkan cara untuk melancarkan aksinya mendekati Trisna, Trisna yang tampak gelisah harus pulang bersama Ares,  dan aku, saat seperti ini malah memikirkan perkataan Ares yang masuk akal soal Aruna.

Begitu sampai di kost, kusimpan makanan dari Bu Mariska di kulkas. Setelah membersihkan diri, aku berbaring di kasur yang wangi pewangi laundry, alasnya baru saja kuganti tadi pagi. Telapak tangan kiri menjadi bantal, dan mataku menatap jauh ke langit-langit kamar, memandang cahaya yang nanar. Entah apa yang kupikirkan, semuanya berputar secara acak di kepala. Hanya kilasan kejadian masa lalu yang terlintas begitu saja dalam ingatan. Yang paling membuatku lama terdiam adalah kenangan bersama Bapak. Meskipun tidak banyak, kenangan itu meninggalkan kesan mendalam. Bapak yang selalu membawa kami jalan-jalan, Bapak yang selalu hadir saat kami ada acara di sekolah, Bapak yang mengajarkanku bermain catur padahal saat itu usiaku masih enam tahun. Bapak yang diam-diam memberikanku uang jajan lebih hanya karena saat SMP aku mendapatkan sebuah surat cinta dari teman perempuan di kelasku. Kata Bapak saat itu, ia bangga anak laki-lakinya ditaksir seorang gadis. Bapak yang dulu sempat rajin mengajak kami memancing di akhir pekan—mengikuti hobi barunya yang dadakan. Pada awalnya, Ibu paling semangat karena mengira Bapak akan membawa banyak ikan, sampai-sampai Ibu menyiapkan peralatan untuk membakar ikan. Nyatanya, tidak satu pun ikan yang memakan umpan. Marwa menangis, dia kecewa karena sempat mengira akan melihat banyak ikan. Ibu susah payah membujuk Marwa saat itu. Setelah kejadian itu, Ibu tidak pernah menyiapkan alat bakar lagi, dan langsung membeli makan siang untuk kami tanpa menunggu hasil pancingan Bapak. Tanpa sadar, aku tersenyum mengingatnya. Sejurus kemudian, aku bersedih lagi, mengingat Bapak tidak lagi ada di sini. Lalu aku berdoa, mendoakan Bapak, juga mendoakan Ibu dan adikku.

Saat aku memejamkan mata hendak tidur, wajah Aruna tiba-tiba muncul. Aku masih bisa mengenang hangatnya masa kecil bersama keluargaku. Lalu bagaimana dengan Aruna? Kenangan masa kecil seperti apa yang dia punya? Apa selama di panti, dia hidup dengan baik? Lingkungan seperti apa yang dia hadapi? Berapa banyak kesulitan yang telah dia lalui untuk akhirnya sampai di sini? Kemana orang tua kandungnya? Tidak. Bahkan dia tidak pernah menyebutkan nama panti asuhan tempat dia dibesarkan. Dia tidak banyak bercerita tentang masa lalu. Dia hanya menceritakan apa yang ada sekarang, yang dia hadapi. Bahkan rencana masa depan pun tidak pernah terucap dari bibirnya—apa cita-citanya, apa keinginannya, tempat seperti apa yang ingin dia datangi, tidak pernah sekalipun aku mendengarnya. Mataku masih terpejam, mengingatnya, hingga aku tidak sadar sedang merajut benang-benang mimpi di tidur lelap.

-oOo-

“Gamma? Ngapain kamu bengong di situ?” sapa Bu Dewi, membuatku tersentak dari lamunanku. Selama beberapa menit aku menatap pintu kamar Aruna di pagi buta dengan menenteng bungkusan makanan. Setelah kuperiksa, isinya ayam kecap, dan berencana memberikannya pada Aruna. Aku tetap menunggunya meskipun pesan yang kukirimkan sebelumnya belum dia baca.

“Eh … Bu Dewi...,” aku terkekeh dengan canggung sambil menghampirinya.

“Baru juga sebentar dia pergi. Kamu udah kangen, ya?” goda Bu Dewi.

Dahiku berkerut. “Aruna pergi?”

“Kapan ya, waktu itu dia pamit sama saya?” Bu Dewi berpikir sejenak, mengetuk-ngetuk telunjuk pada dagunya. “Oh iya! Jumat sore. Pulang kuliah dia langsung pergi ke Tangerang.”

Tangerang! Aku juga di sana kemarin bahkan seharian. Tiba-tiba saja aku merasa senang mengetahui ternyata kami berada di satu daerah yang sama. “Ke panti, ya, Bu? Dia bilang nggak sampai kapan di sana?” tanyaku.

“Iya, ke panti, tapi nggak bilang bakalan berapa lama.” Bu Dewi menjawab cepat. “Kamu ada perlu sama dia?”

“Enggak juga, Bu,” jawabku malu-malu.

Bu Dewi tersenyum usil. “Heleh-heleh, masa muda ...,” katanya sambil menggelengkan kepala. Lalu, Bu Dewi merunduk untuk meraih sepasang sepatu dari rak di samping pintu kamarnya. Aku sadar ia sedang mempersiapkan sepatu Pak Rully yang akan berangkat bekerja.

“Ini Bu. Ada makanan, saya kemarin ada kerjaan di festival kuliner.” Akhirnya aku memberikan bungkusan makanan itu kepada Bu Dewi. Ia mengambilnya dan melihat isi bungkusan itu.

“Buat Aruna atau buat saya?” goda Bu Dewi lagi dengan senyuman ringan.

“Buat Ibu,” jawabku dengan senyuman lebar. “Ya udah kalau gitu saya berangkat. Masih ada kerjaan, Bu.”

“Iya, makasih loh ini, ya?” ujar Bu Dewi sambil mengangkat sedikit bungkusan makanan itu. Aku mengangguk, lalu segera menuruni anak tangga menuju parkiran dan melaju dengan motor ke rumah Ares.

-oOo-

            Pada hari kedua, deretan acara pembukaan sudah tidak banyak. Hingga siang ini, acara berjalan lancar, dan masalah yang kami hadapi kemarin kini dapat kami tanggulangi dengan lebih baik. Namun, ada satu hal yang sedikit ganjil. Sejak dalam perjalanan, Ares dan Trisna tampak lebih banyak diam dibandingkan sebelumnya. Aku tidak tahu kejadian apa yang mereka alami saat Ares mengantar Trisna kemarin. Kami belum sempat berbicara banyak karena langsung disibukkan dengan pekerjaan begitu tiba. Untungnya, meskipun mereka tampak canggung, mereka masih bisa berkomunikasi dengan baik jika itu urusan pekerjaan. Aku melihat Trisna mencatat setiap kata yang disebutkan Ares dan Ares pun tampak singsing-menyingsing peralatan bersama Trisna.

Sore menjelang, dan aku tengah sibuk bersama Pak Purwa, mengelilingi hall yang dipenuhi ratusan pengunjung, mencari tiga orang yang tepat untuk diliput dan memberikan ulasan mengenai acara ini. Saat kepalaku bergerak ke kiri dan ke kanan, mataku menangkap satu wajah yang familiar—Bu Sarah. Aku melihatnya dari kejauhan, memastikan bahwa itu memang wajah yang bahkan belum pernah kulihat dari dekat. Aku sendiri sebenarnya meragukan ingatanku. Apakah benar itu Bu Sarah atau tidak. Lalu mataku berkeliaran di sekitarnya, mencari sosok perempuan yang tadi malam aku pikirkan. Mungkin saja Aruna datang ke acara ini karena dia juga berada di Tangerang. Aku memutar kepala, memutar tubuh, meluaskan pandangan, mencarinya di antara kerumunan. 

“Mas? Mas Gamma!” Pak Purwa menepuk pundakku, “Ada apa?” tanyanya dengan cemas yang samar-samar.

“Eh, maaf. Nggak apa-apa, Pak. Yok, jalan lagi,” jawabku. Pak Purwa menatapku lekat, seperti memastikan bahwa aku baik-baik saja, setidaknya—menurutnya—aku tidak tiba-tiba sakit atau tiba-tiba kehilangan fokus.

“Oke.” Katanya lagi sambil mengangguk, seolah sudah mendapatkan jawaban dari menatapku cukup lama.

Aku mulai berjalan lagi, namun diam-diam mataku masih bergerak mencari Aruna. Aku sedikit berharap, jika memang aku yang tidak bisa menemukannya, dia yang melihatku dan datang menghampiriku.

“Ibu yang di sana itu cocok deh, Gam,” Pak Purwa menunjuk seorang wanita. Tanpa kusangka, yang ditunjuknya adalah Bu Sarah.

Jika diperhatikan, Bu Sarah memang tampil dengan pakaian yang baik. Ia mengenakan pakaian yang dipersiapkan namun tidak terkesan berlebihan. Kemeja corak bunga dan rok panjang berwarna netral dengan jilbab senada, menyatu dengan corak bunga di kemejanya. Flat shoes yang dikenakannya menambah kesan sederhana namun bersahaja, menjadikannya representatif pengunjung acara ini dengan sempurna.

“Oke.” Aku menghela napas, mempersiapkan diri untuk mengetahui jika benar wanita itu adalah Bu Sarah.

Kuikuti Pak Purwa sambil mengatur kamera, sehingga aku tertinggal beberapa langkah darinya. Tampaknya, Pak Purwa berhasil mengajak wanita itu untuk diliput. Percakapan mereka terdengar samar, teredam oleh kebisingan yang membaur di sekelilingku. Dengan hati-hati kuterobos kerumunan, memastikan kamera tidak tertabrak pengunjung yang tidak terlalu memperhatikan jalan sebab sibuk toleh ke kiri dan kanan, mencari makanan di stan-stan yang sesuai selera mereka.

“Nah, ini kameramen kita, Bu,” ujar Pak Purwa memperkenalkanku. Bu Sarah mengangguk, tampak ragu untuk mengulurkan tangan, mungkin karena aku sengaja memegang kamera dengan kedua tangan. Bukan apa-apa, kamera yang terpasang tripod ini cukup berat.

Kemudian aku mengambil posisi yang tepat untuk mulai merekam, mengatur set agar tampil bagus dalam rekaman.

“Oke?” Pak Purwa mengonfirmasi kesiapanku. Aku memberikan kode melalui tangan, mengacungkan jempol.

            Pak Purwa mulai berbicara, memperkenalkan pengunjung ini kepada pemirsa yang akan menyaksikan tayangan nanti. Saat mendengar bahwa memang benar nama wanita ini adalah Sarah, aku mulai gelisah. Pikiranku kembali melompat kepada Aruna, mempertanyakan keberadaannya, apakah dia datang bersama Bu Sarah atau tidak, apakah dia melihatku atau tidak. Semuanya menjadi lamat. 

Berkali-kali aku mencoba memusatkan pikiran layar kamera. Bu Sarah ini terlihat pintar. Ia dengan cepat bisa memahami situasi. Kata-kata yang dikeluarkan tersusun rapi. Ekspresi yang ditampilkan ketika menjawab setiap pertanyaan dari Pak Purwa sangat pas, tidak dibuat-buat dan tidak mencolok. Ulasannya sangat baik sehingga Pak Purwa tampak puas. Pak Purwa menyalami Bu Sarah sambil mengucapkan terima kasih. Aku masih saja menunggu, jika mungkin Aruna memang tidak mau menemuiku, setidaknya dia akan datang menghampiri Bu Sarah. Nihil. Bahkan saat Bu Sarah undur diri, Aruna tidak tampak sama sekali, yang akhirnya membuatku yakin bahwa Bu Sarah datang sendiri. Kuputuskan untuk berhenti. Lalu Aku dan Pak Purwa kembali mengelilingi hall, mencari dua pengunjung lain untuk diwawancarai.

            Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Acara hari kedua ini sebenarnya lebih cepat selesai daripada hari pertama. Saat aku dan teman-teman mengemas semua peralatan, tim dekorasi juga tengah membereskan kembali hall ini agar bersih seperti sediakala. Ares meregang-regangkan tangannya ke atas, sepertinya dia lelah telah memangku kamera seharian, Trisna duduk di kursi plastik yang masih tertutupi kain putih dekorasi,  menggerakkan kepalanya kanan dan kiri, melemaskan lehernya yang kaku. Malam ini walaupun angin berembus kencang tapi hawa yang dibawanya tidak terasa sejuk sama sekali. Gerah. Kucoba mengipaskan topi ke wajah agar terasa lebih segar, namun ternyata sama saja, tetap gerah. Lantas kugulung kembali topi itu masuk ke kantong celana. Suara-suara di hall terdengar menggaung, pertanda ruangan ini sudah mulai kosong.

“Res! Sini bentar tolongin gua.” Aku memanggil Ares yang masih sibuk mengemas tripod. Dia tampak tidak menyadari. “Ares!” Aku memanggil sekali lagi, lebih keras. Jarak kami cukup jauh, tapi akhirnya dia menoleh dan datang dengan langkah gontai.

“Apa?” ujarnya dengan malas-malasan.

“Tolong angkat ini bentar, kabel kita nyangkut di bawah speaker. Kalau gua tarik, takutnya kabelnya yang putus.”

Tidak seperti awalnya yang tampak enggan, Ares justru bergerak cepat mengangkat speaker, dan aku segera berjongkok untuk mengambil kabel yang terselip. Begitu selesai, aku tak tahan untuk bertanya. “Eh, lu kenapa ama Trisna?” 

Ares menoleh cepat ke belakang, memastikan Trisna tidak mendengar percakapan kami. “Gua kokop,” jawabnya singkat.

“HAH?!” Aku terkejut, hingga rahangku rasanya jatuh.

“Suara lu, Nyet!” Ares menyikutku cepat, dan kami berdua sontak menoleh ke belakang. Trisna masih tampak sibuk memasukkan tas kameranya ke bagasi mobil, tak menyadari apa yang sedang kami bicarakan.

“Udah gila lu?!” Aku terbelalak, hampir tidak percaya.

“Ck! Au ah!” Ares berdecak kesal.

“Terus gimana?” Aku mulai menyelidik, rasa ingin tahuku berbaur dengan rasa tergelitik.

“Nih,” Ares menunjukkan pipi kirinya yang tampak biasa-biasa saja. Tidak ada yang berbeda.  “Digampar gua kemarin,” tambahnya.

Tawaku nyaris menyembur, tapi dengan sigap kututup mulut.

“Mana ternyata dia punya pacar,” lanjut Ares dengan raut amat dongkol. Mendengar itu, aku sudha tidak tahan untuk tidak tertawa, lantas Ares menyikutku sekali lagi. 

“Lah? Kan lu yang dari kemaren ingatin gua, liat situasi, Gam. Situasi. Jangan main pepet!” kataku, tawaku masih belum reda. “Teori doang!” 

“Ah! Udah ah!” Ares pergi dengan gulungan kabel di sandang pada bahunya. Kulihat temanku itu menjorokkan badannya ke bagasi mobil untuk meletakkan kabel yang dibawanya. Trisna menjauh segera. Dia dengan kikuk masuk ke mobil. Aku menggelengkan kepala melihat tingkah dua temanku itu.

Kami sudah berada di mobil dalam perjalan pulang menuju rumah Ares. Aku terjebak dalam suasana ganjil dan mengganjal. Aku tahu masing-masing apa yang sedang dipikirkan Ares dan Trisna. Suara radio yang mengalun pelan menjadi pemecah keheningan. 

“Gam, gua balik bareng lu ya?” Trisna tiba-tiba membuka percakapan.

Aku menoleh kepada Ares yang tengah menyetir, dia diam saja berpura-pura fokus pada jalan. Aku jadi tidak tahu harus menjawab apa, seperti apa dan bagaiamana.

“Gua bawa helm kok. Tuh, di belakang,” Trisna menunjuk ke bagasi. Kali ini dia mempersiapkan diri untuk menghindari Ares. “Lagian gua mau ambil buku yang dulu lu pinjem, belum lu balikin, kan?” Trisna melontarkan alasan yang cukup kuat.

Ares yang mendengarnya langsung menyambar, “Sama gua aja, Tris. Nanti langsung aja pakai mobil. Udah malem banget.” Suaranya pelan dan terdengar sedikit tertahan. Kuketuk layar handphone yang kugenggam, sudah pukul sebelas malam, dan kami baru saja meninggalkan hall. Melihat kondisi lalu lintas malam ini, kuperkirakan kami akan sampai di Jakarta tepat tengah malam.

“Gua sama Gamma aja,” Trisna mulai mendesak. “Lu nggak ada niatan pacaran lagi malam ini, kan, Gam?” 

Kembali kutatap Ares, berharap dia memberi petunjuk. Tapi dia hanya menaikkan kedua bahunya seolah tak mau tahu, bibirnya tertarik ke bawah. Gerak-geriknya justru semakin membuatku bingung. Sepertinya, dia menyerahkan keputusan padaku.

“Ya udah. Oke.” Akhirnya aku memilih untuk mengakhiri kebingunganku dengan mengabulkan permintaan Trisna dan mengabaikan ketidakjelasan Ares. Helaan napas Ares terdengar jelas di telingaku.

Sebelum mengantar Trisna, dia meminta mampir pada minimarket. Aku menunggunya di parkiran sambil merokok saat dia berbelanja. Kupandangi langit, awan gelap bergumul-gumul. Arloji menunjukkan waktu lewat tengah malam. Aku khawatir hujan.

“Dah. Yok!” ajak Trisna saat keluar dengan sekantong plastik besar menggantung digenggamannya.

“Titipan gua?” tanyaku seraya mematikan api rokok dan membuangnya, melemparnya ke tong sampah yang hanya berjarak satu meter dari tempatku berdiri.

“Iya, udah. Nih, kan? Bener?” Trisna membuka sedikit kantong belanja itu, aku melongok memastikan titipanku benar, shampoo dan kopi instan.

“Ya,” jawabku. “Nih…,” aku memasukkan uang ke kantong itu sebagai ganti titipan belanjaan.

“Banyak amat. Nggak gua balikin, ya?” ujar Trisna kegirangan setelah mengintip.

“Terserah,” jawabku santai. “Buruan. Ntar hujan.”

Kami melaju ke kost untuk mengambil buku yang pernah kupinjam dari Trisna. Kulajukan motor lebih cepat. Sesampainya di kost, aku mengajak Trisna ikut ke atas, merasa tidak aman membiarkannya sendirian di ruang tamu komunal yang sudah sepi. Kursi plastik untuk tamu tersusun rapi, dan Pak Yahya pun sudah tidak terlihat. Selama menaiki tangga, aku dan Trisna hanya berbicara mengenai pekerjaan hari ini, juga menyampaikan proses pengeditan yang akan kami kerjakan. Trisna tidak membahas masalahnya dengan Ares. Sesampainya di lantai tiga, kulirik pintu kamar Aruna. Entah dia sudah kembali atau belum. Aku tidak tahu.

“Tunggu di sini. Gua ambil bukunya,” kataku pada Trisna. Dia berdiri di depan pintu saja. Aku masuk, mengambil buku dan memisahkan belanjaanku dari kantong plastik.

“Dah. Turun, yok!” ujarku keluar sambil mengunci pintu.

“Ini cemilan lu,” ujarku pada Trisna memberikan bungkusan belanja lagi padanya.

“Oke, thanks.”

Kami berada di tangga lantai dua saat aku mendengar suara langkah yang semakin mendekat dari arah bawah. Langkahnya pelan namun terdengar pasti. Aku memegang pundak Trisna yang berada satu anak tangga di bawahku, memperingatkannya bahwa ada yang datang. Koridor tangga ini redup karena lampu yang sudah tua belum sempat diganti oleh Pak Yahya. Kami berhenti sebentar, mengawasi sekitar. Mataku menunggu seseorang atau bahkan sesuatu itu. Tapi aku terkejut mengetahui bahwa ternyata Aruna yang datang. Dia mengenakan sweater tebal dan celana jeans, lengkap dengan ransel, menandakan bahwa dia baru saja kembali dari perjalanan.

“Runa? Kamu baru pulang?” tanyaku sembari segera turun melewati Trisna yang juga terdiam. Mulutku lebih cepat dari pikiranku, tak ingin kehilangan kesempatan berbicara dengan Aruna.

Langkah Aruna tertahan. Dia menatap kami bergantian, lalu tersenyum pada Trisna. Trisna membalas senyuman itu, namun senyumnya terasa lebih dingin, lebih hati-hati.

“Iya. Baru pulang,” jawab Aruna. Dia mulai melangkah menaiki anak tangga lagi, mengabaikanku. Aku bergeming, melihat punggungnya yang semakin menjauh perlahan.

“Lu ngapain? Yuklah, turun!” Trisna menarik lengan bajuku untuk segera turun. Langkahku mengikuti Trisna, namun perasaanku tetap tersangkut pada Aruna. Kenapa dia pulang larut malam? Siapa yang mengantarnya?

Tiba-tiba, aku tersentak. Menyadari Aruna melihatku bersama Trisna pada waktu yang tidak sewajarnya. Tidak, ini tidak boleh menjadi kesalahpahaman lagi seperti kejadian waktu Ares mabuk. Aku berhenti mendadak, membuat Trisna terkejut.

“Tris, lu tunggu di sini. Bentar aja, oke?” kataku, suaraku terdengar lebih tegas dari yang kuinginkan.

Trisna tampak bingung dan tampak tak sabar, namun dia tidak sampai berniat untuk protes. “Cepetan!” katanya.

Aku berlari menaiki anak tangga lagi, melangkahi dua anak tangga sekaligus untuk menghemat waktu. Berusaha secepat mungkin mengejar Aruna, sambil berharap dia belum masuk ke kamarnya. Namun sayang, saat aku tiba di lorong lantai tiga, pijakan terakhirku di anak tangga bersamaan dengan suara kunci pintu kamar Aruna yang diputar dari dalam. Terlambat. Aruna sudah berada di dalam kamarnya. Aku bersandar pada dinding, mengatur napas yang terengah-engah, merasa terjebak oleh keraguan dan harapan yang tak bisa kujelaskan. Sebelum memutuskan untuk turun kembali dan bergabung dengan Trisna, kulirik pintu kamar Aruna sekali lagi, berharap sesuatu terjadi.

“Ada apa, sih?” tanya Trisna saat aku sudah sampai di dekatnya, kembali turun.

Aku menggelengkan kepala, “Nggak. Nggak ada apa-apa,” jawabku datar.

Trisna tahu pasti terjadi sesuatu, tapi dia tidak bisa mengira-ngira sesuatu itu apa, lantas, dengan segala sikap tidak pedulinya, juga mungkin karena terlalu lelah, dia urung bertanya.

            Saat menuruni tangga, juga saat perjalanan menuju rumah Trisna, hingga kembali ke kost dan saat akan tidur, aku berpikir betapa impulsifnya tindakanku. Aku tidak ingin Aruna salah paham, tapi benarkah dia salah paham? Jika iya, dan dia melihatku tergesa-gesa datang untuk menjelaskan situasi, apa yang akan dia pikirkan? Kami bahkan tidak berada dalam hubungan yang mengharuskanku untuk meluruskan kesalahpahaman. Hujan turun, sebagaimana menggebu-gebunya, seperti itu jugalah pikiran tentang Aruna menghujani kepalaku.

-oOo-

            Aku terbangun dengan badan pegal. Setelah mengantar Trisna tadi malam akhirnya aku kembali lagi ke kost sekitar pukul satu malam. Mandi dan membereskan barang-barang, lalu menghempaskan tubuh pada kasur tepat pukul dua. Belum lagi pagi ini harus mengambil beberapa peralatan yang masih tertinggal di rumah Ares. Dengan mata yang kembali terpejam, tanganku meraba-raba sisi kasur, mencari-cari handphone. Kupaksa kedua mataku terbuka, sudah pukul enam. Lalu kuperiksa barisan notifikasi: beberapa e-mail tidak penting untuk pembaruan beberapa aplikasi dan beberapa pesan dari grup chat kelas. Aku terbelalak saat melihat satu pesan—pengirimnya Aruna. Dengan cepat, aku duduk dan membuka pesan itu dengan perasaan campur aduk. Isi pesannya sederhana; dia membalas pesan terakhir yang kukirimkan kemarin subuh, menanyakan apakah dia di kamarnya, karena ingin memberikan makanan yang akhirnya berakhir di meja makan Bu Dewi. Dia menuliskan permintaan maaf karena baru membalas. Melihat waktu balasannya, aku sadar bahwa itu hanya beberapa menit sebelum aku bangun. Kubalas pesan Aruna, mengatakan tidak apa-apa, dia tidak perlu meminta maaf. Setelah itu, aku segera bangkit, bersiap menuju rumah Ares untuk menjemput barang dan berdiskusi mengenai proses pengeditan materi festival kuliner kemarin.

Saat akan keluar, kuraih handphone untuk mengirim pesan kepada Trisna, mengingatkannya tentang diskusi bertiga. Namun, mataku kembali terpaku pada pesan balasan dari Aruna. Aruna menanyakan apakah aku bisa membantunya mengganti bola lampu. Segera, aku membalas pesan itu, mengatakan bahwa aku bisa. Tanpa berlama-lama, aku bergegas memakai sepatu dan segera keluar. 

Aruna ternyata sudah menunggu di depan kamarnya dengan pintu terbuka. Dia berdiri di sana dengan wajah yang masih apa adanya. Terlihat baru bangun dari tidurnya; rambutnya tampak sekenanya dia rapikan, dan satu hal yang berhasil membuatku hampir hilang fokus adalah, dia masih mengenakan gaun tidur. Jika diperhatikan memang tidak ada yang salah dengan gaun itu, gaun berwarna putih, berlengan hingga siku, panjang hingga menutupi lutut, juga tidak tipis. Benar-benar bukan tipe gaun yang menantang, namun bagiku tampilannya itu sangat memabukkan. Betapa menggodanya semua itu jika dipadukan dengan tampilan wajahnya. Sama sekali berbeda dari dia yang biasa: kalau tidak memakai seragam kampusnya, dia akan mengenakan celana olahraga dan kaos longgar atau bahkan sweater sekalian.

post-image-676eb954d733f.jpg

“Gam …,” panggilnya, “lampu kamar aku perlu diganti, semalaman aku tidur cuma pakai lampu dari dapur,” ujarnya ketika aku berada tepat di depannya. 

“Oke. Lampu gantinya udah ada?” tanyaku, mencoba terdengar biasa saja meskipun suaraku terdengar tertahan. Lalu aku berdeham, berusaha menenangkan diri.

“Ada, yuk, masuk. Pakai aja sepatunya, aku juga belum nyapu.” Aruna menjelaskan sambil mempersilahkan. Aku menyusulnya, melepaskan ransel dan meletakkannya di lantai tepat di samping kasurnya.

“Aku nggak punya tongkat itu, loh …,” Aruna menunjukkan gestur tangan seolah memegang tongkat pengganti lampu, “terus tadi malem juga coba naik ke meja, ternyata nggak sampai,” sambungnya dengan tawa kecil.

“Meja ini?” tanyaku menunjuk meja belajar Aruna. 

Aruna mengangguk.

“Kalau gitu aku pinjem, ya?” aku meminta izin darinya. Lantas Aruna dengan cepat mengemasi laptop, handphone, portable bluetooth speaker dan beberapa buku di atas meja itu untuk dipindahkan sementara ke kasur.

            Kugeser meja yang sudah kosong dan menempatkannya di bawah lampu. Beberapa kali aku mendongak ke atas, memastikan posisinya sudah tepat. Aku menambahkan kursi lagi di atasnya, kursi tanpa poros roda, lebih kokoh untuk dinaiki. Dengan cepat aku memanjat meja dan kursi yang bertumpuk itu, memutar lampu untuk melepasnya. Aruna menunggu di bawah dan  memberikanku lampu baru yang sudah dikeluarkannya dari dalam kotak.

“Kamu nggak pakai lampu tidur, ya?” tanyaku padanya saat memasang bola lampu yang baru. 

“Belum sempat beli, jadi yaah, nyalain lampu utama buat tidur,” jawabnya lagi sambil mengawasiku. Aku menundukkan kepala melihatnya dari atas sini, cahaya temaram yang merambat  dari lorong membuat siluet Aruna semakin indah.

Cantiknya….

“Udah. Coba tekan dulu saklarnya,” kataku, dan sengaja belum turun untuk memastikan lampu baru ini berfungsi dengan semestinya.

Aruna berjalan ke arah dinding lain untuk menekan saklar.

            Pats! 

Lampu menyala terang menandakan sudah terpasang dengan benar. Aruna kembali ke tempat dia berdiri sebelumnya, mengawasiku yang siap-siap akan turun. Aku menunduk untuk melihat pijakan, namun satu pandangan kembali mengganggu, kali ini aku benar-benar hilang akal karenanya. Tadi saat gelap, aku tidak menyadari bahwa kerah leher baju tidur Aruna tidak begitu lebar dan tidak begitu rendah seperti itu. Kini saat semua menyala dengan terang benderang, bisa kulihat dengan jelas bahwa kerah baju itu sedikit terbuka dari yang biasanya terlihat. Dengan cepat, aku mengangkat wajahku, menatap lampu yang menyilaukan dan menutup mata untuk menahan kelebihan cahaya. Bibir bawah kini kugigit kuat untuk menahan lonjakan yang datang tiba-tiba di dadaku. Kedua tangan kupangku ke pinggang, napas panjang kuembuskan, berusaha mengatur irama detak jantung. Mungkin wajahku merah padam, mungkin juga, jika Aruna memeriksa seperti dulu, dia akan mengatakan bahwa tekanan darahku sedang tinggi.

“Gam? Kenapa? Kok nggak jadi turun?”  tanya Aruna dengan segala kenaifan pada nada bicaranya.

“Pusing,” jawabku cepat. Jujur, aku memang pusing menghadapi suguhan pemandangan seperti tadi. 

“Ayuk, turun dulu aku pegangin kursinya, ntar jatuh,” sahut Aruna dengan kekhawatiran pada suaranya.

“Kamu geser dulu,” kataku.

“Maksudnya?”

“Minum,” kataku cepat. “Ambilin minum aja, tolong.” Aku beralasan, berharap dia menghindar. Sementara itu, di atas sini, aku masih mendongak, memejamkan mata. 

“O-oh? Oke. Oke.” 

Saat Aruna mengambilkan minum untukku yang bahkan tidak merasa haus sedikit pun, aku segera turun. Ku geser kembali meja dan kursi pada tempatnya semula.

“Nih minum dulu, sambil duduk, jangan berdiri, nanti makin pusing.” Aruna menunjuk sofa kecil yang ada di samping tempat tidurnta. Aku mengikutinya saja tanpa banyak bicara.

“Makasih, ya, Gam. Tadinya aku mau ke bawah, mau minta tolong Pak Yahya. Tapi ragu juga apa udah datang atau belum Pak Yahya-nya,” ucap Aruna. 

Aku berhenti meneguk minum, “Jangan,” cegahku segera. Kemdian aku sendiri terkejut atas apa yang baru saja kuucapkan. “Maksudnya, aku aja. Kan lebih dekat, nggak perlu ke bawah.” 

Bagaimana caraku memberi tahunya bahwa baju tidurnya mengkhawatirkan. Atau mungkin tidak. Itu bahkan bukan pakaian yang tidak sopan, hanya mataku saja yang melihatnya dengan pandangan yang berlainan.

“Masih pusing?” Aruna menatapku lekat, “kamu itu kurang istirahat. Minum vitamin, nggak?” tanya Aruna lagi.

“Pusing dikit, ntar juga ilang kena angin.”

“Vitamin?” Aruna menanyakan sekali lagi.

“Ada. Aman.” 

“Kamu mau ngampus jam segini?” tanyanya karena melihat ranselku tergeletak di lantai .

“Engga. Aku ngampus cuma Rabu sama Jumat pagi. Nggak sepagi ini juga. Ini mau ke rumah Ares, ada perlu,” aku menjawabnya sambil melihat Aruna menata barang-barangnya ke atas meja kembali. Gaun itu terlihat gemulai di badannya, mengikuti gerakannya dengan lembut. Aku lagi-lagi menghela napas. Tidak terhitung lagi entah sudah berapa kali aku melakukannya sejak tadi.

“Kamu ngampus nanti?” tanyaku, sebenarnya bukan basa-basi. Aku ingin tahu.

“Sebenarnya mata kuliah tinggal tiga semester ini. Senin, Selasa dan Jumat. Tapi aku suka di kampus, ketemu temen sambil nyoba-nyoba angsur karya tulis ilmiah,” jawab Aruna.

“Suka di kampus ketemu temen?” tanyaku sedikit ragu membuat alisku terangkat satu, “teman spesial?”

Aruna terkekeh, “Teman, cuma teman,” katanya.

OKE! 

Aku merasa lega. Aruna seharusnya memahami arah pembicaraan ini, dan aku memutuskan untuk berpikir seperti itu. Jika dia memang sudah memiliki pacar, dia pasti akan mengatakannya sekarang. Ini waktu yang tepat untuk membahas itu. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa tentang hubungannya dengan orang lain. Dan itu menggiringku pada kesimpulan sendiri: dia tidak punya pacar.

“Oh, ya. Kemarin malam itu, Trisna, teman kuliah aku. Kami lagi ada kerjaan bareng,” jelasku, mencoba meluruskan kesalahpahaman.

Aruna melihatku, dia tersenyum. Entah apa arti senyumannya itu, namun dia tidak bereaksi lebih jauh. Setelah selesai merapikan mejanya, dia menuju dapur, menuangkan air dari teko ke gelasnya.

“Iya,” jawabnya setelah gelas itu terisi penuh, “kamu keren banget kemarin di acara itu,” sambungnya lagi, dengan senyum tipis yang terlihat egois namun sekaligus menawan. Setelah itu Aruna minum tanpa merasa ada sesuatu yang tidak benar. 

Tapi, dengan segala perpaduan kata-kata, tampilan, dan ekspresinya itu, aku merasa kekecewaan datang begitu cepat, tepat, dan tidak terelak.

“Kamu … lihat aku sama Bu Sarah?” tanyaku lagi memastikan jika dia memang di sekitar situ.

Aruna datang membawa gelasnya dan dia duduk di kasur. “Lihat. Aku beberapa meter di belakang kamu.  Di stan, nungguin Bu Sarah selesai di wawancarai.”

Dia berbicara lurus tanpa keengganan dan keraguan, hingga tampak begitu meyakinkan.

“Kenapa kamu nggak manggil aku?”

Apa dia tidak melihat aku mencari-cari?

“Kamu sedang kerja, aku juga sedang makan di stan,” jawabnya singkat. 

Benar, dia Aruna, dia akan menahan posisinya di tempat sewajarnya, bahkan jika dia tidak sedang makan waktu itu, aku yakin dia akan tetap menahan langkahnya untuk mendekat. Aku mengangguk, menyetujui pemikiranku sendiri. Tapi aku merasa terkecoh.  Lalu aku merasa kesal sendiri. 

“Runa, aku ke rumah Ares ya,” ujarku sambil berdiri dan meraih ransel, “Oh, ya. Kalau ada apa-apa, coba tanya dulu ke aku. Aku bakalan usaha bantuin. Oke?” pintaku padanya. 

“Oke. Sekali lagi makasih, ya?” jawabnya, dengan senyum ramah, mengantarku hingga pintu.

Aku mengangguk. Untuk terakhir kali sebelum turun, aku menoleh ke belakang. Aruna masih berdiri di sana, di depan pintunya, tersenyum dengan tatapan yang entah bagaimana aku menafsirkannya. Juga aku tak bisa menamai perasaan ini terhadapnya: aku merasa terpedaya, merasa kecewa, namun entah kenapa, semuanya justru membuatku semakin ingin tahu lebih banyak tentang dia.

(bersambung)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RESTART - Bab 6 (Jauh-Dekat)
22
21
Tema: Coming of AgeSebuah Novel Romansa Modern.Perjalanan menuju kedewasaan tidak mudah adanya. Tidak pernah bulat dan selalu bercabang.Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.RESTARTCopyright©2023byHelloHayden(Pertama kali terbit di KaryaKarsa pada November 2023)Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan