STONES Bab 11

0
0
Deskripsi

Di tengah kepanikan yang melanda, mereka berjuang untuk tetap bertahan hidup dalam hutan itu.

Bab 11 - Berjuang dan mencari 

Ana mengayunkan kakinya lebih cepat saat ular itu semakin mendekat ke arahnya. Napasnya tersengal. Kakinya semakin lama semakin kehilangan tenaga, sedangkan ular di belakangnya seakan tidak bisa merasakan lelah. Tubuhnya yang besar tidak membuat gerakan ular itu lambat. Justru sebaliknya, makhluk raksasa itu bergerak begitu cepat.

Ana memicingkan mata berkali-kali. Senter yang dia bawa bergerak-gerak mengikuti gerak tubuhnya, membuat cahaya yang dihasilkannya juga bergerak-gerak tak beraturan. Jalan di depannya menjadi tidak terlihat dengan jelas. Itu membuat gerakannya menjadi lambat karena dia harus mengamati jalan dengan baik, memastikan tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya tersungkur. Namun, ular di belakangnya masih saja mengejar. Semakin mendekat kepadanya dengan mulut yang kini terbuka lebar.

Dengan sigap, Ana melompat ke atas batang pohon besar yang melintang di depannya, menjadikannya pijakan untuk melompat ke depan, lalu mendarat beberapa meter di seberang pohon dengan sempurna. Dia menoleh ke belakang, ternyata pohon itu malah hancur saat mulut ular raksasa itu menerjangnya. Dia bahkan harus menunduk untuk menghindari serpihan kayu yang terlontar akibat kerasnya hantaman mulut ular.

Ular itu hanya diam sesaat. Ketika menyadari bahwa targetnya tidak berhasil ditangkap, ular itu kembali mendesis keras dan bergerak mengejar Ana.

Oh, sial!

Ana kembali berlari menghindari kejaran ular itu. Dia berusaha mengecoh si ular dengan meliuk melewati beberapa batang pohon. Berhasil. Gerakan ular itu tak lagi secepat tadi, tetapi juga tidak berhenti. Dia tetap melata mengikuti setiap gerakan Ana.

'Bang, lu di mana? Tolongin gue,' rintihnya dalam hati di tengah-tengah berlari.

Kakinya sudah semakin lemas. Keringat di punggungnya sudah bercucuran membasahi baju yang dia kenakan. Udara di hutan ini begitu dingin, tetapi dia merasa gerah. Karena lengah, dia tidak melihat akar pohon yang mencuat di depannya dan jatuh tersungkur. Dia mengusap lututnya yang terasa perih.

Saat menoleh ke belakang, dia menyaksikan mulut ular itu tengah mengaga lebar ke arahnya. Dia memutar otak sekeras mungkin, tetapi tak juga menemukan ide apa pun. Akhirnya, dia melepas sebelah sepatunya lalu melemparnya ke mulut si ular.

Makhluk raksasa itu berhenti bergerak. Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik. Karena setelah itu, ia kembali mendesis dan bergerak ke arah Ana. Mata merahnya menatap tajam ke arah Ana dan mulutnya kembali menganga.

Ana memejamkan mata erat-erat. Mau bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang. Kakinya sudah terlalu lelah untuk berlari. Walaupun dia memaksa bangun, gerakannya tak akan cukup cepat untuk menghindari terkaman si ular. Dia pasrah. Jika memang ini menjadi akhir dari hidupnya, dia ikhlas.

Beberapa detik sebelum mulut ular itu berhasil menerkamnya, dia merasa tangannya ditarik oleh seseorang. Tubuhnya terlempar dan terguling beberapa meter di samping kepala ular raksasa itu. Belum juga hilang keterkejutannya, orang itu kembali menariknya dan membawanya berlari.

Ana berlari terpincang-pincang karena sebelah sepatunya hilang. Dia meringis menahan perih dari kakinya yang berkali-kali menginjak sesuatu yang kasar. Sedangkan laki-laki di depannya melangkah begitu cepat.

Seperti mengerti bahwa Ana tidak sanggup berlari secepat dirinya, laki-laki itu memutar langkah ke arah sebuah pohon besar yang bagian bawah batangnya berongga. Tanpa pikir panjang, mereka segera masuk dan bersembunyi di dalamnya.

Ana menarik napas berkali-kali untuk mengisi paru-parunya yang kekurangan oksigen. Setelah entah berapa lama dia berlomba balap lari dengan ular raksasa, akhirnya dia bisa bernapas lega.

Dia berjongkok di dalam gua pohon itu, sementara orang yang menolongnya berdiri di depannya. Ana mendongak. Menatap wajah malaikat penolongnya.

"Kak–Kak Andy?"

***

Adrian dan Nadia duduk di sebuah batu besar di tepi sungai. Senter yang dibawa Adrian mulai meredup. Namun, mereka sudah tidak terlalu khawatir karena matahari sebentar lagi naik.

Adrian duduk di atas, sedangkan Nadia hanya bersandar pada batu itu, di bawah Adrian.

"Sorry, ya, Nad. Gue pikir lu Ana," ucap Adrian membuka percakapan.

Nadia mendongak, lalu menggeleng pelan. "Gue justru berterima kasih sama lu karena udah bantu gue lari."

Dalam keremangan itu, Adrian bisa melihat Nadia sedang tersenyum manis ke arahnya. Membuat Adrian tanpa sadar itu melengkungkan senyum juga. Setelah itu, mereka kembali diam. Berkutat dengan pikiran masing-masing.

"Ah, terus gimana sama yang lain?" Nadia menatap khawatir ke arah Adrian.

Laki-laki itu hanya menunduk. "Entahlah. Semoga mereka baik-baik aja."

Dia berharap, adiknya akan baik-baik saja, di mana pun dia berada.

"Terus sekarang kita gimana, Kak? Kita nggak bawa apa-apa kecuali senter itu." Nadia menunjuk senter di tangan Adrian.

"Kita balik ke tenda lagi nanti, kalo udah terang."

***

Kevin, Silvi, Katerine dan Michaela berlari ke sisi kiri. Namun, mereka tidak berlari terlalu jauh dari tenda yang telah hancur. Hanya beberapa menit, mereka akhirnya berhenti saat tidak mendengar suara desisan ular raksasa itu lagi.

Michaela menoleh ke belakang. Memastikan bahwa ular itu tidak mengejar mereka, lalu duduk bersimpuh di atas tanah sambil menarik napas dalam-dalam untuk menormalkan detak jantung.

Silvi, Kevin, dan Katerine ikut bergabung dengan Michaela. Mengistirahatkan tubuh dari lelahnya berlari.

"Gue nggak pernah liat ada ular sebesar itu," ucap Silvi dengan napas terengah.

Michaela mengangguk. "Ini juga pertama kalinya gue liat ular segede pohon begitu."

"Gue pikir ular kaya gitu cuma ada di film-film," ucap Kevin sambil bergidik. Bayangan mulut besar ular yang hampir memakannya masih berjejalan di otaknya.

Katerine juga mengangguk membenarkan. Baginya, ular raksasa itu hanya ada dalam film. Namun, kali ini dia benar-benar menyaksikan makhluk itu langsung, dengan mata kepalanya sendiri.

"Eh, terus yang lain gimana? Mereka baik-baik aja, kan?" tanya Silvi dengan raut khawatir. "Nadia ... Ana ... mereka baik-baik aja, kan?" sambungnya.

Katerine menggigit bibir. "Kalo ular itu nggak ngejar kita, berarti dia ngejar ...." Katerine bahkan tak sanggup menyelesaikan ucapannya.

Seketika Silvi menangis histeris. Dia tidak ingin kehilangan teman-temannya. Apalagi jika mereka harus meregang nyawa dalam perut ular!

"Tenang, Vi. Kita belum tau apa yang terjadi. Bisa aja, kan mereka berhasil kabur dari ular itu dan selamat. Kamu tenang," ucap Kevin sambil meraih kekasihnya dalam pelukan.

Michaela mengangguk. "Kita berdoa aja. Semoga mereka semua baik-baik aja."

***

Andy tersenyum ke arah gadis yang sedang menatap bingung ke arahnya.

"Kak, lu, kok—"

"Sssttt!" Andy menempelkan telunjuknya ke bibir saat mendengar suara mendesis dari luar.

Bibir Ana seketika mengatup rapat. Detak jantungnya kembali berdegup dengan kencang. Dia takut ular itu berhasil menemukannya lagi. Jika iya, dia tidak lagi memiliki tenaga untuk berlari.

Adrian segera menarik tangan Ana saat merasa ular itu mendekati pohon tempat mereka bersembunyi. Ana bersandar di dinding pohon sedangkan Andy berada di depannya. Mengurungnya dalam kungkungan lengan kekar pemuda itu. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Ana bahkan bisa merasakan embusan napas hangat laki-laki itu.

Suara mendesis itu semakin dekat. Batang pohon tempat mereka bersembunyi bahkan bergetar. Ana menutup kedua matanya erat-erat, sementara tangannya mengepal kuat. Dia begitu takut, kalau-kalau pohon itu tumbang dan ular itu berhasil menemukan mereka.

Ana memekik tertahan saat kepala si ular berusaha menerobos celah di bagian bawah pohon. Namun, karena gerakannya tidak terlalu kuat, pohon itu tidak tumbang. Merasa tak berhasil masuk ke celah pohon, ular itu menjulurkan lidahnya ke dalam.

Andy semakin merapatkan tubuh pada Ana untuk menghindari lidah ular itu. Kakinya maju selangkah. Seketika kedua mata Ana terbelalak saat merasakan kakinya yang tidak memakai sepatu terinjak oleh Andy.

Oh, benar-benar!

Ana spontan membuka mulut dan hampir menjerit kalau saja Andy tidak segera membungkamnya. Namun, tubuh Ana seketika menegang saat dia tahu, Andy tidak membungkam mulutnya dengan tangan, melainkan dengan bibir.

Ana mematung dengan mata yang masih terbelalak lebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Dia bahkan lupa caranya menarik napas.

Andy juga merasakan hal yang sama. Detak jantungnya berdegup lebih kencang. Dia berusaha untuk tidak melakukan gerakan apa pun, meskipun tubuhnya menginginkan hal lain.

Mereka bertahan dalam posisi itu selama beberapa saat. Ketika lidah si ular tidak lagi berusaha masuk, dan suara desisan ular itu juga sudah hilang, Andy akhirnya —dengan terpaksa — menarik diri. Dia mundur selangkah untuk menjauhkan wajahnya dari gadis yang sedang melotot di depannya.

"Kak, lu ...." Ana berteriak, bersiap memarahi Andy. Namun, dia ingat bahwa ular itu mungkin masih belum jauh dari mereka. Akhirnya dia memelankan suara sebelum melanjutkan ucapannya, "Lu nginjek kaki gue!"

"Oh, iya kah? Sorry, gue nggak tau," ucap Andy disertai cengiran lebar.

Ana hanya mendengkus. "Rese lu!"

Dia kemudian berjongkok untuk mengusap kakinya yang malang. Andy terkekeh melihat Ana hanya memakai sebelah sepatu.

"Lagian, sih, sepatu pake dilemparin ke mulut ular," sindirnya sembari melepas sepatunya sendiri. "Nih, pake dulu." Dia menyerahkan sepatunya kepada Ana.

Ana menatap wajah pemuda itu lekat-lelat. Kemudian, dengan sungkan dia menerima sepatu Andy dan memakainya.

"Terus lu gimana?" tanyanya saat melihat kaki telanjang Andy.

Andy mengacak rambut Ana pelan. "Gampang. Udah, pake aja."

"Ck, rusak rambut gue!" sungutnya. "Thank you, ya."

"Buat apa?"

Ana menggigit bibir. "Buat sepatunya, sama ... buat yang tadi."

Andy tersenyum jahil. "Yang tadi apa? Ciumannya?" godanya sambil menaikkan alis.

"Ish, bukan itu!" Ana memukul bahu Andy sekuat tenaga, membuat laki-laki itu meringis. "Thank you ... lu udah nolongin gue dari ular tadi."

Andy tersenyum, masih dengan memegangi bahunya yang dipukul Ana. "Sama-sama."

***

Adrian dan Nadia kembali ke tenda mereka saat matahari sudah mulai naik. Keadaan tenda serta barang-barang mereka begitu memprihatinkan. Porak-poranda. Namun, sepertinya belum ada yang kembali, karena mereka tidak menemukan jejak apa pun di sana. Barang-barang mereka juga masih utuh. Tidak ada yang hilang. Hanya hancur terlindas perut ular raksasa tadi malam.

Mereka segera memunguti barang yang masih bisa diselamatkan. Sedangkan untuk makanan, tak ada yang bisa diselamatkan. Adrian membuka tenda kanan untuk mencari tas Ana. Dia ingin memastikan bahwa air laut dan pasir yang mereka bawa masih bisa selamat.

Syukurlah, pasir dan air laut itu masih tersimpan rapi dalam tas. Dia mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tasnya sendiri.

Nadia juga mengambil tasnya lalu menggendongnya sebelum melangkah mengikuti Adrian yang sudah berlalu meninggalkan tempat itu.

"Kita mau ke mana, Kak?" Nadia bertanya seraya mensejajarkan langkah dengan Adrian.

Adrian menoleh sekilas sebelum menjawab, "Kita lanjutin perjalanan buat cari sumur itu."

"Hah? Kita nggak nunggu yang lain dulu?"

"Kita nggak tau mereka ada di mana. Menunggu hanya akan buang-buang waktu. Mending kita lanjutin perjalanan sambil berharap bisa ketemu mereka nanti."

Nadia berniat ingin menyanggah, tetapi pada akhirnya mengangguk patuh.

Adrian berjalan ke arah hulu sungai. Dia ingin mengisi botol air mineral yang dibawanya dengan air di sungai itu untuk persediaan. Mereka tidak tahu akan berjalan seberapa jauh, atau seberapa lama. Tentu saja mereka membutuhkan air untuk mengisi tenaga.

Setelah mengisi penuh semua botol yang dia bawa, Adrian kemudian membasuh muka sekaligus meneguk air dari sungai itu untuk menghilangkan dahaganya.

Melihat Adrian sedang minum, Nadia juga ikut berjongkok di tepi sungai dan mulai membasuh mukanya. Dia juga meneguk air dari sungai itu.

"Hmmm ... enak ternyata. Seger banget," ucapnya senang.

Adrian menoleh. "Apalagi kalo siang hari pas panas-panas. Lebih enak."

Nadia mengangguk semangat. Dia bisa membayangkan betapa segarnya minum air dari sungai ini saat cuaca sedang terik. Apalagi kalau mandi di sana.

Setelah puas minum dan membersihkan wajah, mereka beranjak meninggalkan sungai itu untuk melanjutkan perjalanan.

***

Katerine, Silvi, Kevin, dan Michaela sampai di tempat di mana tenda mereka berada. Michaela mengernyit saat melihat tenda kanan dan kiri sudah terbuka dan barang-barang mereka seperti sudah diacak-acak orang. Setelah diamati, ternyata tas Nadia sudah tidak ada.

"Tas Bang Iyan juga udah nggak ada," ucap Kevin seraya memunguti barang-barangnya.

"Berarti mereka baru aja dari sini." Katerine ikut membereskan barang-barangnya.

"Ah, syukurlah. Berarti mereka masih hidup!" pekik Silvi senang.

Yang lain juga mengucap syukur dalam hati masing-masing. Mereka begitu lega karena teman-teman mereka bisa selamat.

"Terus Ana gimana?" Silvi kembali bertanya.

"Kak Andy?" sahut Katerine ikut bertanya.

"Kak Ardo?" Wajah Michaela berubah pucat.

Kevin menghela napas. "Jangan berpikir buruk. Semoga aja mereka juga selamat."

Silvi duduk di atas tikar sambil meluruskan kaki setelah selesai merapikan barang-barangnya. Dia mencari-cari makanan sejak tadi, tetapi tidak ada yang layak dimakan. Semua sudah kotor, menyatu dengan tanah akibat ular menyebalkan itu. Dan sekarang, dia begitu lapar, dan juga haus.

"Nggak ada air yang masih bisa diminum, ya? Gue haus," keluhnya.

Kevin mengambil botol air mineralnya dari dalam tas dan memberikannya pada Silvi. "Punyaku masih dikit. Nih, minum."

Silvi menerima botol itu dengan ragu. "Terus kamu gimana?"

"Aku nggak haus, kok. Minum aja," jawab Kevin sambil tersenyum.

"Buruan minum, Vi. Abis itu kita cari sungai." Michaela mengencangkan ikatan tali tas di pinggangnya.

"Sungai? Di bawah sana ada sungai. Tadi malem gue ke sana," jelas Silvi sambil menunjuk arah sungai dengan dagu.

"Oh, ya? Lu inget jalannya?"

Silvi mengangguk. Sungai itu kan tidak jauh dari sini. Tentu saja dia ingat.

"Oke. Abis ini kita ke sana, cari persediaan air minum. Setelah itu kita cari temen-temen yang lain."

Mereka semua mengangguk sepakat.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya STONES Bab 12
0
0
Sesuatu yang mengerikan sedang mengintai mereka dari kejauhan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan