GRATIS Terpaksa Menikahi CEO Bab 1-5

0
0
Deskripsi

WARNING! 18+

Monika Alexandra terjebak pernikahan dengan Rio Dirgantara, CEO Dirgantara Artha Graha yang emosional dan keras kepala. Kehidupannya berubah drastis setelah menikah, menghadapi Rio yang temperamental sama halnya seperti menaiki wahana roller coaster. Di saat Monika ingin meninggalkan pria itu, masa lalunya terungkap. Akankah Monika tetap pergi atau bertahan demi Rio dan janin di dalam rahimnya?

Bab 1. Minimarket
Bab 2. Gagal Kabur
Bab 3. CEO M*sum
Bab 4. Buah Simalakama
Bab 5. Pesona Monika...

PROLOG

PROLOG

WARNING! 18+

Cerita ini hanya fiktif belaka, bukan untuk ditiru!

* * *

"Pak. Hen... hentikan!" Monika menahan dada bidang Rio, berharap agar pria ini berhenti  mencoba menjelajah lehernya. Kedua tangannya mencoba sebisa mungkin menjauhkan diri.

"Kenapa? Kamu sudah ingin langsung ke intinya, heh?" Rio menunjukkan smirk iblisnya. Dia menatap Monika dengan pandangan berkabut penuh gairah.

Monika menggeleng cepat. Bukan itu yang dia inginkan. Tempat dan waktunya yang tidak tepat. Bagaimana mereka bisa sedekat ini di perusahaan? Bagaimana kalau ada orang yang melihat mereka?

"Dua miliar!" Rio menatap manik mata biru milik Monika dalam-dalam. "Aku akan berhenti jika kamu bisa mengembalikan uang dua miliar yang ayahmu hilangkan!"

Monika menelan ludahnya dengan paksa. Mana mungkin dia bisa? Uang dua miliar bukan jumlah sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja belum pernah. Dia bukan berasal dari golongan kelas atas yang bisa mendapat uang dalam jumlah besar.

"Kenapa diam? Tidak punya uang?" Rio mengangkat sudut bibirnya, meremehkan wanita yang kini ada di bawah kungkungannya. Dia memaku kedua tangan di samping tubuh Monika, tidak mengizinkan wanita ini pergi dari hadapannya.

Monika bungkam. Percuma menjawabnya. Dia tidak memiliki kuasa apapun. Pekerjaannya sebagai kasir minimarket tak mungkin menghasilkan sebanyak itu untuk melunasi uang yang ayahnya bawa pergi.

Sebulir air tanpa warna luruh begitu saja, membasahi pipi tirus nan cantik. Dia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi situasi yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Dengan gerakan seduktif, Rio mulai mencium kelopak mata Monika. Dia bahkan menyesap air mata yang bersiap keluar detik berikutnya, merasakan cairan asin yang menyapa indra pengecapnya.

"Sweety, jangan melawan. Aku bisa bersikap lembut padamu jika kamu menurut padaku." Rio kembali tersenyum.

"Jika kamu memberontak, jangan salahkan aku jika besok kamu tidak bisa bangun dari tempat tidurmu!" bisik Rio sambil membenahi helai rambut Monika yang sedikit berantakan.

Monika tetap bungkam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Dia pasrah pada keadaan yang ada. Tidak ada gunanya melawan, tenaganya kalah jauh dari pria bertubuh kekar ini. Pikirannya kembali menghubungkan kejadian demi kejadian yang menimpanya.

Kemarin, tiba-tiba saja lima orang pria berpakaian serba hitam datang ke minimarket dan membawanya dengan paksa. Dia harus menikah dengan pria ini untuk menyelamatkan ayahnya. Dan beberapa waktu lalu, orang-orang itu datang lagi, menjemputnya untuk dibawa ke perusahaan tempat Rio bekerja.

"Apa kamu siap?" Rio kembali memamerkan smirk andalannya. 'Gadis kecil ini tak akan melawan,' gumamnya dalam hati.

Monika menolehkan kepalanya ke samping, enggan menatap pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Ya, suami atas dasar selembar surat kontrak yang tak pernah diinginkannya.

"Diammu aku artikan sebagai persetujuan," bisik Rio tepat di telinga Monika. Pria ini bahkan sengaja mengembuskan napasnya, membuat perasaan aneh seketika menyerang gadis pendiam yang belum pernah disentuh oleh siapapun.

Rio mulai menikmati santap siang spesial yang ada di hadapannya. Tangan dan bibirnya bekerjasama, menjelajah setiap jengkal tubuh wanita yang resmi berstatus sebagai istrinya.

"Kamu wangi. Aku suka." Rio memuji, sejenak melepaskan bibirnya dari leher Monika. Ini pertama kalinya dia tertarik pada wanita, bahkan langsung ingin menguasainya. Sebelumnya, jangankan mencium dan mencumbunya, menatap mereka saja membuatnya mual.

Rio kehilangan akal sehatnya dan mulai berbuat sesuka hatinya. Monika telah menjadi candu untuknya sejak dia mencicipi bibir ranum milik gadis ini semalam. Ada perasaan tak wajar yang dia rasakan, seperti ingin mendapatkan lebih dan lebih lagi.

Monika memejamkan mata. Dia tidak melawan sama sekali, membuat Rio semakin nyaman berkelana ke sana kemari. Entah apa yang akan pria ini lakukan selanjutnya, Monika tidak peduli. Anggap saja dia sedang melunasi hutang ayahnya.

Permainan Rio masih berlanjut hingga satu jam kemudian. Pria itu tak puas meski telah mendapatkan pelepasan berkali-kali, membuat tubuh Monika remuk redam seolah hancur berkeping-keping. Wajahnya yang cantik memesona, kini terlihat begitu layu. Dia tidak bisa menahan serangan demi serangan yang Rio tujukan. Ini pengalaman pertama baginya.

"Istirahatlah, Sayang. Kita lanjutkan lagi lain kali," ucap Rio sambil menjauhkan badannya dari tubuh Monika.

Dengan sisa kesadaran yang ada, Monika menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Dia marah, malu, kesal, dan berbagai perasaan jengkel lainnya. Kedatangan Rio dan pernikahan ini, menghancurkan semua rencana indah yang dia miliki dengan Devan, kekasih hatinya.

Pernikahan seharusnya menjadi hal paling membahagiakan bagi seorang wanita. Bersanding dengan pria yang akan dia lihat seumur hidupnya, menjalani hari-hari penuh cinta.

Namun, agaknya takdir indah seperti itu tidak berlaku bagi Monika. Gadis 26 tahun ini justru harus menikah paksa dengan seorang pria kasar nan arogan bernama Rio Dirgantara. Dia harus menanggung kesalahan ayahnya yang kini telah tiada.

Apa yang akan Monika lakukan selanjutnya? Haruskah dia menyerah pada keadaan? Atau ada cara lain untuk terlepas dari jerat CEO mesum ini?

Sampai jumpa episode berikutnya. See you,

Hanazawa

BAB 1. MINIMARKET

"Selamat pagi. Selamat datang di minimarket kami. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Monika pada dua orang yang mendekat ke arahnya. Mereka tampak aneh, tidak seperti pembeli lain pada umumnya.

Kedua pria berpakaian serba hitam itu saling pandang, kemudian mengangguk satu sama lain. Mereka memiliki rencana lain untuk membawa gadis ini pergi. Salah satu dari mereka melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidung.

"Nona Monika Alexandra?" tanya pria itu.

"Ya?" Monika menatap rekan kerja di sampingnya. Dia takut dua pria ini berniat jahat padanya. Tampilan mereka menunjukkan mereka bukan warga sipil, mungkin pihak keamanan, bodyguard, atau semacamnya.

"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Rekan kerja Monika ikut bersuara, mempertanyakan maksud kedatangan dua pria misterius ini.

"Nona, bisa ikut dengan kami sebentar?" Pria itu kembali menatap Monika, mengabaikan pria yang berusaha memecah konsentrasinya barusan.

Monika menelan salivanya dengan paksa. Dua pria ini mengingatkannya pada pengawal khusus yang sering dia lihat dalam film, mengawal tuan besar keluarga konglomerat atau semacamnya. Tapi, kenapa mereka mencarinya?

"Maaf, saya sedang bekerja. Jika ada yang ingin Anda sampaikan, katakan saja di sini." Monika memberanikan diri menghadapi mereka. Dia tidak ingin membahayakan dirinya sendiri.

"Anda mengenal Jonathan Wu?" Pria itu menunjukkan foto seorang pria yang sangat Monika kenal. Itu ayah kandungnya. Pria keturunan Tionghoa itu mengabaikan ibunya demi menikah dengan wanita lain.

Monika tak langsung menjawab, meraba ke mana arah pembicaraan mereka. "Maaf, mungkin Anda salah mengenali orang. Saya tidak memiliki urusan dengannya lagi."

"Apa Anda mengenalnya?" ulang pria itu lagi. "Dia membutuhkan bantuan Anda sekarang."

Beberapa detik berlalu, Monika masih bungkam tapi memikirkan keselamatan pria itu.

"Apa ada masalah?"

Pria berpakaian hitam itu mengangguk, pura-pura bertanya. "Tuan meminta saya menjemput Anda sekarang juga. Apa hubungan Anda dengan tuan Jonathan?"

"Itu Ayah saya." Mau tak mau, Monika akhirnya mengakui pria itu sebagai ayahnya. Entah kenapa hatinya tidak tenang, takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu.

"Kalau begitu silakan ikut kami. Kami akan mengantar Anda menemui Ayah Anda."

Monika menggeleng tegas. "Tunggu!" Suaranya sedikit meninggi. "Katakan padaku, apa masalahnya!"

Monika menatap sekeliling. Dirinya sudah menjadi pusat perhatian di sini. Beberapa pengunjung minimarket mulai memperhatikannya. Tidak baik jika obrolan ini didengar banyak orang.

Monika mendekat ke arah rekan kerjanya dan membisikkan sesuatu, meminta pria ini meng-handle meja kasir selama dia pergi.

Wanita dengan seragam warna biru itu melangkah ke luar toko, mengikuti dua orang pria yang datang menemuinya. Meski belum bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi, Monika merasa ayahnya melakukan kesalahan yang besar.

"Apa yang terjadi? Kenapa Tuan-Tuan mencari saya?" Monika berbicara dengan dua orang tukang pukul di hadapannya. Tanpa bertanya sekalipun, semua orang tahu itulah profesi utama mereka.

"Anda tahu di mana dia sekarang?" pria itu kembali bertanya. Sekilas dia mengangguk pada rekannya.

Monika menarik napas dalam-dalam. Ini bukan pertanyaan pertama yang dia dengar tentang ayah b*rengseknya itu. Sebelumnya, beberapa bulan yang lalu, ada debt collector yang menemuinya, bertanya di mana Jonathan berada.

"Saya tidak tahu. Terakhir kami bertemu tiga bulan yang lalu. Setelahnya, tidak pernah berjumpa atau bahkan berkirim pesan. Mungkin dia sibuk dengan perusahaan tempatnya bekerja atau anak dan istrinya. Entahlah." Monika menjawabnya dengan jujur.

Lagi-lagi pria itu mengangguk pada rekannya yang lain, membuat Monika memicingkan mata. Curiga. Alarm tanda bahaya segera berbunyi, memintanya untuk lebih waspada. 

"Silakan Anda ikut dengan kami sebentar. Ada masalah di perusahaan yang berkaitan dengan Ayah Anda."

Monika mundur dua langkah, sedikit menjauh dari orang-orang ini.

"Sayang sekali, saya sedang bekerja sekarang. Saya tidak bisa ikut dengan Anda." Monika melihat kedatangan tiga orang pria berpakaian hitam-hitam dari arah lain. Hal itu membuat kewaspadaannya meningkat. Dia harus segera pergi dari sini, lebih tepatnya menyelamatkan diri.

"Nona, mohon kerja samanya!" pria itu mulai melangkah mendekati gadis bersurai pirang ini.

Detik berikutnya, Monika mengambil langkah seribu. Dia harus segera meninggalkan tempat ini, meminta bantuan pada rekan-rekannya. Setidaknya, Doni  bisa memanggil polisi jika melihatnya diculik oleh orang-orang misterius ini.

"Tangkap Nona Monika! Jangan biarkan dia lolos. Tuan Muda akan murka!"

Sekilas Monika mendengar perintah yang pria itu ucapkan, hal itu tentu saja membuatnya panik. Dia berusaha menyelamatkan diri. Harus!

Bisakah Monika lolos dari kelima pria itu? Apa yang harus dia lakukan?

BAB 2. GAGAL KABUR

Dengan napas yang semakin tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit ini dengan minimarket. Dia bisa berteriak meminta tolong nantinya. Ya, cara itu pasti efektif.

Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik ini, membuat pergerakannya terhenti. Percobaannya untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang mengejarnya. Monika tertangkap.

"Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti.

"Amankan dia!" Teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang ini.

Tanpa menunggu waktu lama, pria yang berhasil menahan Monika kini mengangkat tubuh ramping itu di atas pundak seperti sekarung beras. Rontaan, teriakan, dan pukulan yang coba Monika lakukan, tak ada gunanya sama sekali.

Tubuh pria yang memanggul Monika begitu kokok, lebih keras dibandingkan samsak tinju. Perlawanan gadis itu tak membuatnya gentar sama sekali, justru langkahnya semakin mantap menuju mobil hitam yang terparkir di tepi jalan.

Tubuh ramping Monika terhempas di kursi belakang mobil edisi terbatas ini, menghantam jok hitam mengilat yang terlihat mahal. Hampir sama seperti mobil lainnya, hanya ada dua kursi di depan dan dua di belakang. Tapi, sekilas pandang saja sudah tahu bahwa kendaraan ini termasuk mewah dan elegan.

Pintu tertutup sempurna, membuat Monika tertahan di sana. Dia masih mencerna apa yang terjadi, mengamati keadaan sekitar demi menyelamatkan diri.

"Buka pintunya!" titah gadis 26 tahun ini sambil terus berusaha membuka pintu. Namun, teriakannya tak dihiraukan oleh pria yang ada di balik kemudi.

Bukannya menuruti permintaan Monika, pria itu justru menginjak pedal gas di bawah kakinya dalam-dalam. Mobil hitam berharga dua miliar lebih ini melaju dengan kecepatan tinggi, membuat tubuh Monika terpelanting ke belakang.

"Argghh." Monika memegangi kepalanya yang terbentur cukup keras. Dia tidak tahu apa salahnya sampai harus ada di situasi seperti sekarang ini. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka membawanya pergi dengan paksa? 

"Duduk diam di tempat Anda, Nona! Jika tidak, ucapkan selamat tinggal pada dunia ini!" Suara dingin itu berhasil membuat Monika terhenyak. Dia takut dengan ancaman itu.

Kehidupannya terlalu berharga untuk ditinggalkan. Masih ada banyak mimpi yang harus diperjuangkan, termasuk kisah cintanya bersama Sang Kekasih, Devan. Mereka akan menikah akhir tahun ini. Itu rencananya.

Monika duduk diam di tempatnya, mengamati jalanan di luar sana yang tampak asing baginya.

"Kita ke mana?" tanya gadis bersurai kuning kecokelatan ini pada pria yang fokus dengan jalanan di depannya.

"Perusahaan."

Monika merutuk pria ini dalam hati. Dia tahu mereka akan pergi ke perusahaan tempat ayah kandungnya membuat masalah. Yang ingin ia ketahui, siapa yang akan ditemui untuk mengurus masalah itu.

"Nona akan mengetahui semuanya nanti."

Dan sisa perjalanan mereka berakhir dalam diam. Monika enggan bertanya karena pria ini pasti tidak akan menjawabnya.

Beberapa menit kemudian, mobil mewah berwarna hitam itu terhenti di pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit. Monika segera digiring menuju lift khusus yang akan membawanya ke lantai paling atas gedung ini.

"Untuk apa kalian mengawalku? Aku tidak akan lari!" ketus Monika karena kelima pria ini berdiri mengelilinginya, seolah dia bisa lari kapan saja. Padahal itu tidak mungkin. 

Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Tubuh tegapnya bagaikan manekin, tak bergerak satu senti pun sejak mereka sampai di ruangan tak berpenghuni ini.

"Selamat datang, Nona Monika Alexandra." Sebuah suara terdengar menggema di ruangan ini, bersamaan dengan pengawalan kelima orang ini yang otomatis memudar. Mereka undur diri, menjauh dari Monika dalam keterkejutannya.

Netra sipit itu membola kala melihat pemandangan luar biasa di depan sana. Sebuah pintu terbuka lebar, menampilkan sesuatu yang membuatnya tak percaya.

Tubuhnya bergetar hebat saat itu juga. Hatinya mencelos, melihat sesosok pria yang sangat ia benci kini tergeletak di lantai dengan berbagai luka di tubuhnya. Darah yang mulai mengering terlihat di keningnya, mengalir melalui pelipis sampai ke samping wajahnya.

"PAPA!" teriak Monika, berlari menghampiri Jonathan Wu yang tengah sekarat. Bulir-bulir air mata itu tak terbendung lagi.

Sebesar apa pun kebenciannya pada pria ini, tak bisa memusnahkan cinta kasih yang terhubung karena pertalian darah. Jauh di dalam lubuk hatinya, Monika menyayangi ayahnya.

"Monika, maafkan Papa," bisik pria itu. Suaranya lemah, hampir tak terdengar. "Maaf."

Detik berikutnya, mata itu terpejam. Nyawa Jonathan Wu telah meninggalkan raganya yang babak belur. Episode hidupnya telah berakhir hari ini, menyisakan luka dan lara di dalam hati Monika.

"Pa ...." Monika hampir tak bisa berkata-kata. Dia tidak bisa menerima fakta bahwa pria ini telah meninggalkannya, menyusul ibunya ke alam baka.

Tak ada yang bisa Monika lakukan. Dia memeluk tubuh ayahnya yang mulai terasa dingin ini dan berharap semua hanya mimpi.

"Hapus air matamu! Aku tidak ingin cairan itu mengotori lantai."

Suara dingin itu kembali Monika dengar, membuatnya menoleh ke belakang. Tatap mata tajam penuh kebencian ia tujukan pada pria berpakaian rapi yang berdiri menjulang, beberapa langkah dari tempatnya berada.

'Siapa pria ini? Bagaimana bisa ada orang yang tidak iba saat melihat seseorang meregang nyawa di depannya?' 

BAB 3. CEO M*SUM

"Leo, siapkan kontraknya!"

Belum sempat Monika menghapus air matanya, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu map warna merah.

"Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat.

"Nona Monika, silakan," ucap pria yang diketahui bernama Leo tadi. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini.

Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya di sana. Tidak. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun.

"Nona..." Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika.

"Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!"

Monika menelan salivanya dengan paksa. Nada bicara Leo sama seperti saat di mobil tadi, penuh penekanan, membuatnya ketakutan.

"Tapi..." Monika menatap wajah keturunan Chinese yang ada di pangkuannya. Dia tidak tega membiarkan tubuh ayahnya tergeletak di sana.

"Mari," bujuk Leo dengan nada merendah.

Dengan berat hati, Monika ikut bersama pria bertubuh kekar ini, mendekat ke arah pria yang sedari tadi mengamatinya.

Sekali lagi, Monika menatap ke belakang. Tidak sampai hati meninggalkan Sang Ayah.

"Anak yang sangat berbakti," cibir pria yang duduk terhalang meja dari Monika dan Leo.

Monika tak menggubris ucapan pria ini. Dia tidak peduli dengan omongan orang lain. Entah apa komentar mereka, Monika berhak untuk menutup mata dan telinga.

"Berikan kontraknya!" titah pria ini sambil memerhatikan penampilan Monika dari ujung kaki ke ujung kepala. "Tidak buruk."

"Silakan duduk, Nona." Lagi-lagi Leo yang menjadi penghubung pria arogan ini dengan Monika.

Monika menurut. Dia duduk di salah satu kursi kosong di hadapan pria angkuh tadi. Papan nama di atas meja bertuliskan Rio Dirgantara.

"Nona Monika, silakan baca kontrak kerja sama ini. Setelahnya silakan bubuhkan tanda tangan atau cap jempol Anda di sana. Tuan Rio menjabat sebagai CEO di sini. Dia menginginkan kasus ini diselesaikan dengan damai."

Monika menatap dua pria di depannya secara bergantian sebelum membaca rentetan huruf di atas kertas. Di kontrak itu disebutkan bahwa Monika harus menikah dengan Rio atau mengganti uang dua miliar rupiah. Jika tidak, masalah ini akan dilimpahkan pada pihak berwajib.

"Kenapa saya harus menandatangani dokumen ini? Semua urusan keuangan ayah saya dipegang oleh ibu tiri saya, istri sahnya yang sekarang." Monika mengumpulkan keberaniannya. "Jika Anda ingin meminta ganti rugi atau semacamnya, temui saja dia. Saya tidak akan menandatanganinya."

Pria bernama Rio itu tersenyum pongah, salut akan keberanian wanita cantik di depannya. Jujur saja, hatinya bergetar saat melihat wajah ayu perpaduan Indonesia-Inggris ini. Sebagai laki-laki normal, hasrat liarnya bahkan mulai aktif, membayangkan bisa mencicipi bibir ranum berwarna peach milik Monika.

"Tuan," panggil Leo, mengerutkan kening saat melihat tuannya diam saja sambil tersenyum tanpa sebab.

'Shit!' Rio mengumpat dalam hatinya. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin memiliki wanita ini lebih dari apa pun. Kecantikannya yang tiada tara, tidak pantas bersanding dengan pakaian kasir minimarket yang menempel di tubuhnya.

"Siapkan gaun sabrina dengan belahan dada rendah!" titah Rio tanpa sadar.

Dalam bayangan Rio, tubuh molek gadis ini lebih pantas saat memakai gaun sabrina dengan belahan dada rendah seperti yang dia ucapkan barusan. Pakaian itu akan membuat seluruh bahu Monika terekspose. Leher jenjangnya nan putih dan mulus terlihat sempurna, sangat pas untuk mendapat kecupan hangat dari bibirnya. Membayangkannya saja sudah membuat libido pria ini melonjak seketika.

"Maaf?" Leo tidak yakin dengan apa yang tuannya katakan. Mereka tengah membujuk Monika untuk menandatangani pertanggungjawaban uang yang Jonathan hilangkan, bukan membahas fashion atau semacamnya.

Pikiran liar Rio semakin menggila. Dia menelan salivanya dengan paksa, membayangkan Monika berjalan menuju ke arahnya dengan gaun warna merah yang seksi. Lekuk tubuhnya terlihat pas dengan gaun itu, membuat pria mana saja ingin langsung menerkamnya.

"Kemarilah sayang, duduk di pangkuanku." Lagi-lagi Rio bermonolog, belum tersadar dari imajinasinya sendiri.

"Pria gila!" ketus Monika. Dia berdiri detik ketika Rio menjilat bibirnya sendiri. "M*sum!"

"Tuan?!" Leo menggoyangkan lengan tuannya, membuat lamunan pria itu terhenti seketika.

"Apa?" tanya Rio tanpa sadar Monika tak ada lagi di hadapannya.

Leo menunjuk surat perjanjian yang masih utuh di atas meja, belum ada tanda persetujuan dari Monika sama sekali. Bahkan wanita itu berjongkok di depan mayat ayahnya, berusaha memangku ayahnya seperti semula.

Hal itu membuat Rio marah. Matanya berkilat tajam penuh dendam.

"Monika Alexandra!" teriak Rio.

Monika menolehkan kepalanya sekilas, sebelum kembali sibuk membersihkan darah yang mulai mengering di wajah ayahnya. Ini adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk ayahnya. Monika tak lagi peduli dengan pria yang kini tampak murka.

Tanpa Monika sadari, Rio kini ada di sebelahnya, menarik tangannya dengan paksa untuk berdiri.

"Wanita tidak tahu diri!"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri CEO Dirgantara Artha Graha.

"Jaga mulut Anda!" Monika menatap wajah Rio dengan penuh emosi. "Dasar CEO m*sum!"

Kemarahan Rio semakin menjadi-jadi, terlihat dari kilatan matanya yang semakin tajam. 

"M*sum katamu?" Rio mendekatkan tubuh kekarnya ke arah Monika, mengimpitnya ke dinding. Hal itu membuat mata sipitnya membola. Apa yang akan Rio lakukan?

BAB 4. BUAH SIMALAKAMA

Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

"Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini."

Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal.

"Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apa pun rencana busuknya.

"Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo.

"Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini.

"Mari, Nona." Leo melepaskan cengkeraman Rio pada pergelangan tangan Monika dan membawanya menjauh dari pria yang berniat menunjukkan tajinya barusan.

Sebuah guci antik di depan Rio menjadi sasaran tendangan kaki kanannya. Pecahan keramik itu tersebar ke berbagai arah, membuat nyali Monika semakin menciut. Dia bersembunyi di balik tubuh Leo, berharap bisa melindunginya dari pria yang hampir saja menyerangnya.

Hening. Tidak ada suara apa pun di ruangan minimalis ini selain deru AC di pojok ruangan.

Langkah kaki Rio terus berlanjut, sebelum debam pintu terdengar. Berikutnya, suara gaduh segera mewarnai ruangan tertutup itu. Rio merusak apa saja yang ada di dalam sana. Dia memukul, menendang, menghantam benda yang ada dalam jangkauannya.

"Nona, silakan diminum." Leo menyerahkan segelas air putih pada wanita di hadapannya ini. Wajahnya terlihat pucat. Dia ketakutan akan apa yang baru saja didengarnya. Temperamental pria itu tak terkendali. Bagaimana nasibnya jika Leo tidak berhasil menahannya tadi?

"Tuan muda memiliki temperamen yang cukup buruk." Leo menjelaskan.

"Apa kematian ayahku, itu juga—" Monika tidak bisa melanjutkan pertanyaannya. Hatinya mencelos membayangkan betapa mengerikannya Rio saat menyiksa ayahnya.

"Maaf, Nona. Kami tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan ayah Anda. Jika saja pagi ini Anda langsung ikut dengan kami, mungkin saja …."

Monika menggeleng. Dia tidak ingin mendengar penjelasan itu. Perasaan bersalah segera merasuk ke dalam hatinya. Jika saja dia langsung ikut dengan orang-orang yang menghadangnya di depan kamar kos, mungkin nyawa ayahnya masih bisa diselamatkan. Tapi, dengan bodohnya dia justru kabur menuju minimarket tempatnya bekerja.

Bulir-bulir tanpa warna itu terus membasahi pipi tirus yang cantik ini.

"Nona, tidak ada yang bisa Anda sesali. Yang bisa Anda lakukan adalah menandatangani perjanjian ini. Anda harus menikah dengan tuan Rio Dirgantara. Itu satu-satunya cara agar ayah Anda bisa dimakamkan dengan layak."

Monika tetap menggeleng. Dia tidak mungkin menyetujuinya.

"Tidak. Aku tidak akan menandatanganinya. Aku tidak akan menikah dengan iblis itu."

"Nona, hati-hati dengan ucapan Anda." Leo memperingatkan. Suara gaduh di dalam sana tak lagi terdengar, menandakan bahwa Rio tengah menenangkan diri sambil mendengarkan asisten pribadinya yang berusaha membujuk wanita ini.

"Jika tuan mendengar ucapan Anda, dia bisa saja menggagahi Anda saat ini juga."

Monika berdiri dari duduknya. Dia tidak ingin ada di tempat terkutuk ini lebih lama lagi. Berbagi kata kasar keluar dari mulutnya. Dia menggertakkan gigi, marah pada Rio dan seluruh orang yang membuatnya susah, termasuk Leo.

Tepat saat itu Rio keluar dari dalam ruangannya. Dia mendekat ke arah mayat Jonathan dan menendangnya tanpa aba-aba.

"PAPA!!" pekik Monika detik itu juga. Dia berlari menghambur ke arah ayahnya yang terbujur kaku di lantai. Air matanya tak lagi terbendung, tumpah ruah membasahi wajah.

"Pa ...." Monika menggunakan tubuhnya sebagai tameng, membuat punggungnya terkena tendangan Rio yang sangat keras.

"Aargghh!" Monika mengaduh kesakitan. Rasa sakit luar biasa segera dia rasakan, membuat tubuhnya limbung seketika.

"Tuan?!" Leo menahan pria 31 tahun ini, mencegah tendangan kedua yang mungkin bisa membuat tulang punggung Monika patah.

"Nyonya Besar akan pulang minggu depan!" Peringatan Leo membuat kesadaran Rio kembali. "Jika Anda belum menikah, maka beliau akan menjodohkan Anda dengan wanita pilihannya."

Rio terlihat frustrasi. Dia tidak ingin terikat dengan wanita-wanita yang ibunya pilihkan. Bersama gadis sosialita itu seharian saja membuatnya mual, bagaimana bisa menyandingnya setiap hari? Yang benar saja!

"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!"

Detak jantung Monika berhenti sepersekian detik. Dia semakin erat memeluk tubuh Jonathan, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya sendiri.

Monika tidak rela jika mayat ayahnya harus menjadi santapan hewan liar di hutan. Tapi, menikah dengan pria arogan ini juga tidak bisa disetujui begitu saja. Ada Devan, kekasihnya yang siap menghalalkannya akhir tahun ini.

Monika kembali berpikir. Pilihan ini sulit, bagaikan memakan buah simalakama. Semuanya merugikan untuknya. Dia tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Devan, tapi tak bisa mengabaikan ayah kandungnya sendiri.

Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menikahi CEO m*sum ini? Tidak adakah jalan lain untuk menyelamatkan diri?

BAB 5. PESONA MONIKA

"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!" titah Rio pada asisten pribadinya, membuat Monika menggelengkan kepala. Dia tidak ingin tubuh ayahnya menjadi santapan hewan buas. 

"Jangan!" Monika coba melindungi ayahnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh pria yang semakin terasa dingin ini.

"Nona Monika, tolong kerja samanya." Leo berjongkok di sisi badan Monika sembari menyodorkan map merah yang ia bawa. "Silakan."

Dengan tangan gemetar, Monika terpaksa mengambil pena yang Leo berikan. Dia menandatangani perjanjian itu dengan air mata berlinang. Hatinya sakit, perih, seperti tertusuk ribuan sembilu. 

Cita-citanya untuk menikah dengan Devan pupus sudah. Dia justru akan menjadi istri kontrak pria tak dikenalnya.

"Urus sisanya! Aku tidak mau tahu."

Rio pergi, membanting pintu di belakangnya tepat setelah perjanjian itu ditandatangani oleh Monika. Tubuh tegapnya tak lagi terlihat, menghilang  begitu saja.

"Nona, mari ikut saya. Kita urus dokumen pernikahan Anda dengan Tuan Muda." Leo mengulurkan tangannya, berniat membantu Monika untuk berdiri.

"Tolong urus pemakaman papa dengan layak," pinta wanita bersurai panjang ini dengan air mata yang tak henti membasahi wajahnya.

"Nona tenang saja. Akan ada orang yang mengurusnya nanti. Mari," bujuk pria ini. Meski wajahnya datar tanpa ekspresi, tapi suaranya terdengar lembut, bisa menenangkan hati Monika yang bergemuruh menahan tangis dan marah di saat yang bersamaan.

"Tidak!" Monika menggeleng. Dia cukup keras kepala. "Urus papa dulu, baru aku akan mengikutimu."

Leo mengembuskan napasnya. Dia harus menambah stok kesabaran untuk mengurus wanita ini. Jika dia menggunakan paksaan seperti sebelumnya, mungkin Monika akan kabur lagi. Tentu saja itu akan menjadi masalah baru untuknya.

"Kalian masuk! Urus mayat tuan Jonathan dengan layak," ucap Leo,  berbicara sambil menekan tombol mungil yang melekat pada earpiece di telinganya. Satu alat komunikasi khusus yang  sering digunakan oleh para pengawal khusus sepertinya. Benda itu tak pernah lepas sedetik pun.

Tak lama kemudian, beberapa orang masuk ke dalam ruangan. Mereka mengamankan tubuh Jonathan Wu yang semakin pucat. Mayat itu segera dibawa pergi, menghilang tertelan pintu.

"Bisa kita berangkat sekarang, Nona?"

Monika menganggukkan kepalanya. Dengan berat hati, dia harus mengikuti aturan pria ini.

***

Matahari mulai kembali ke peraduannya saat Monika keluar dari balik tirai. Gaun putih melekat di tubuh rampingnya, lengkap dengan mahkota di atas kepala. Wajahnya yang tadinya sembap, kini telah dirias sedemikian rupa, membuatnya begitu memesona.

"Tu … Tuan." Leo sedikit tergagap, terpesona akan keindahan wanita yang tertangkap netranya.

Rio mengerutkan kening, menatap asisten pribadinya dengan tatapan heran. Ini pertama kalinya Leo tergagap. Apa yang membuatnya sampai seperti itu?

Detik berikutnya, Rio menolehkan wajah, mengabaikan majalah otomotif yang sedari tadi menjadi perhatiannya. Tatap matanya mengikuti arah pandang Leo.

Sepersekian detik, jantung Rio berhenti berdetak. Matanya terpaku pada ciptaan Tuhan di depan sana yang terlihat begitu sempurna. Wajahnya yang cantik, selaras dengan gaun pengantin yang dipenuhi intan berlian nan menawan. Kasir minimarket yang Rio lihat sebelumnya, kini berubah menjadi bidadari surga yang membelalakkan mata. Sempurna. Sungguh kecantikan yang tiada tara.

"Mari silakan, Nona." Seorang wanita yang tampaknya pemilik butik ini, meminta Monika untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Dia tak segan meraih jemari lentik calon pengantin ini dan mengajaknya mendekat ke arah dua pria di depan sana. Kecantikan Monika berhasil menyihir dua pria itu, membuat mereka mematung dan melupakan napasnya.

"Tuan Dirgantara, ini calon istri Anda." Wanita itu mengulurkan tangan Monika, berharap Rio menyambutnya.

Rio masih terpukau akan keindahan yang tak pernah ia duga. Dia kehilangan kendali atas tubuhnya, terlena di dalam pesona Monika.

"Tuan?" Wanita pemilik butik ini kembali memanggil untuk kedua kalinya.

"Cantik," puji Rio tanpa sadar.

Wanita paruh baya itu beradu pandang dengan gadis cantik di sebelahnya, kemudian tersenyum. Monika menundukkan wajah, malu melihat calon suaminya yang diam di tempatnya dengan mulut menganga.

"Tuan, air liur Anda menetes," canda wanita perias itu sambil menutup mulutnya, menyembunyikan tawa agar tidak menyinggung perasaan tamu terhormatnya ini.

Rio tergagap. Dia segera menutup mulutnya, bahkan mengusap ujung bibirnya. Tak ada liur atau apa pun di sana, membuat wajah tampan itu merah merona.

Di saat yang sama, Leo juga mendapatkan kembali akal sehatnya. Dia segera menundukkan kepala, merasa bersalah telah jatuh dalam pesona Monika.

"Ini pengantin Anda." Wanita itu kembali mengingatkan.

"Ehm, bawa dia ke ruangan sebelah!" Rio berdeham, menetralkan perasaannya. Jujur saja, dia gugup sekarang. Ini pertama kalinya seorang wanita membuatnya kehilangan fokus. Berbahaya!

***

Ya ampun, sampe ngiler tuh Rio. Dasar m*sum!

Penasaran lanjutannya? Cuss baca bab berikutnya. Jangan lupa follow biar tahu info novel-novel lainnya.

Jaga kesehatan kalian yaa,

Hanazawa^^

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terpaksa Menikahi CEO (BAB 6-10)
1
0
WARNING! 18+Monika Alexandra terjebak pernikahan dengan Rio Dirgantara, CEO Dirgantara Artha Graha yang emosional dan keras kepala. Kehidupannya berubah drastis setelah menikah, menghadapi Rio yang temperamental sama halnya seperti menaiki wahana roller coaster. Di saat Monika ingin meninggalkan pria itu, masa lalunya terungkap. Akankah Monika tetap pergi atau bertahan demi Rio dan janin di dalam rahimnya?Bab 6. Pemotretan Bab 7. Imajinasi Liar Bab 8. Hanya Milikku Bab 9. Penghangat Ranjang Bab 10. Malam PertamaProlog: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-prologBab 1-5 GRATIS: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceoBab 6-10: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-6Bab 11-20: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-11-20Bab 21-30: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-21-30-495820Bab 31-40: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-495891Bab 41-50: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-41-50Bab 51-60: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menik-496092Bab 61-70: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-61-70Bab 71-80: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-71-80Bab 81-90: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-81Bab 91-100: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-91-100Bab 100-110: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-101-110Bab 111-120: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-111-120Bab 121-130: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-121-130Bab 131-140: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-131-140Bab 141-150: https://karyakarsa.com/Hanazawa/terpaksa-menikahi-ceo-bab-141-150Bab 151-160: https://karyakarsa.com/Hanazawa/151Bab 161-167 (ENDING): https://karyakarsa.com/Hanazawa/161 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan