
Ayah Fredi mendapatkan warisan rumah dari pamannya yang meninggal, kebetulan pamannya tidak memiliki anak dan menghibahkan rumahnya kepada ayah Fredi.
Di rumah tua yang lama tak terurus itu terdapat sebuah cermin kuno yang misterius. Apa yang menyebabkan cermin itu menjadi misterius?
Simak terus ceritanya….
Ayah Fredi tiba-tiba dipanggil ke kantor notaris, karena hendak mendapatkan warisan dari pamannya. Ayah Fredi bingung, ada apa ini? Dan mengapa dirinya yang dipilih?
Di kantor notaris, Pak Sulis yang merupakan notarisnya menyatakan bahwa Pak Bono mewasiatkan agar rumah tuanya diwariskan kepada Pak Doni, yang merupakan ayah Fredi.
“Kalau boleh tahu sebelum paman saya wafat, saat mewasiatkan rumah tuanya, apakah dia berkata sesuatu, mengapa dirinya yang menerima rumah tersebut?”, tanya ayah Fredi.
“Hmmm paman anda hanya bilang kalau dirinya tidak punya anak dan berharap kelak anda yang mewarisi rumahnya”, ucap Pak Sulis.
Pak Doni masih saja terdiam dalam kebingungan, memang pamannya tidak menikah dan tidak punya anak, tapi keponakannya bukan cuma Pak Doni. Pak Bono adalah adik kandung dari ayah Pak Doni yang sudah wafat. Jadi ayah Pak Doni yang bernama Bondan memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang adik laki-laki yang bernama Pak Bono. Entah kenapa Pak Bono mewasiatkan rumah tersebut kepadanya, padahal Kakak dari ayahnya pun juga punya anak, dan kalau dipikir-pikir Pak Doni pun tidak terlalu dekat dengan pamannya.
“Ini sertifikat rumahnya ya Pak, sudah SHM untuk biaya balik nama paman anda sudah bayar, anda cukup melampirkan surat-surat seperti fotocopy ktp dan tanda tangan saja, jadi sudah lunas dan selesai. Bila anda mau survey bisa sama saya karena saya yang pegang kunci rumah dan kunci gembok pagar kebetulan disana ada yang menjaga rumahnya sebatas bersih-bersih pekarangan dia hanya pegang kunci gembok pagar, itupun sudah dibayar oleh paman anda 3 bulan ke depan. Paman anda sudah mempersiapkan semua saat sakit-sakitan, sepertinya beliau tidak ingin merepotkan anda", kata Pak Sulis, “Oh ya posisinya dekat danau ya Pak viewnya bagus dan bebas banjir." Pak Doni melihat sertifikatnya dan melihat luas tanahnya 600 m² dan luas bangunannya 450 m². Cukup terkejut juga Pak Doni, karena rumahnya demikian besar, begitu juga tanahnya. Pak Doni sempat menanyakan apakah ada foto rumah tersebut, namun sayangnya Pak Sulis tidak memegangnya.
Pak Bono wafat sekitar tiga hari yang lalu, ayah Fredi pun datang ke makamnya tapi ayah Fredi tidak tahu dimana letak rumah yang dimaksud. Ayah Fredi cuma dengar dari ayahnya kalau pamannya itu kaya dan punya rumah besar yang tua tapi tidak ditempati karena jauh dari tempat kerjanya. Dulu sempat dikontrakkan, tapi semenjak Pak Bono sakit-sakitan akhirnya dibiarkan saja, hanya tukang kebun saja yang mengontrol dan sekedar bersih-bersih, itupun hanya pekarangan saja karena kuncinya dipegang Pak Bono. Tapi entah bagaimana ternyata kunci dan sertifikat rumahnya dipegang oleh Pak Sulis, notaris yang kini berada di hadapan ayah Fredi.
Ayah Fredi akhirnya memutuskan hari Sabtu pekan ini dirinya bersama keluarganya akan melakukan survey melihat rumah di dalamnya, sekaligus membawa syarat-syarat balik nama sertifikat tersebut dan menandatangani yang diperlukan.
Sesampainya dirumah Pak Doni bercerita pada istrinya dan Fredi, anaknya. Pak Doni hanya memiliki seorang anak bernama Fredi yang kini berusia 18 tahun. Dia bercerita telah mendapat rumah dari pamannya dengan luas tanah 600 m² dan luas rumah 450 m². Katanya dekat danau tapi bebas banjir. Pak Doni mengatakan hari Sabtu akan melihat rumahnya dan mengajak istrinya, serta Fredi untuk ikut. Istrinya menanyakan kalau rumah tua itu biasanya seram. Pak Doni mengatakan kalau seandainya nggak sreg tidak perlu ditempati, boleh dijual, dijadikan tempat usaha atau di kontrak juga tidak masalah, tapi yang penting balik nama dulu kan juga gratis. Paling-paling renovasi rumah dan biaya bersih-bersih bila memerlukan tambahan orang, karena katanya yang menjaga pekarangan telah dibayar untuk tiga bulan kedepan. Mereka pun setuju.
Jumat sore Ayah Fredi menghubungi Pak Sulis. Ayah Fredi membuat janji bahwa besok Sabtu pukul 08.00 dia dan keluarganya akan ke kantor notaris untuk selanjutnya berangkat bersama untuk melihat-lihat rumah pamannya tersebut. Pak Sulis pun mengiyakan.
Esoknya jam 8 tepat Ayah Fredi dan keluarganya tiba, Pak Sulis juga sudah sampai lebih dulu.
“Bagaimana Pak Doni sudah siap berangkat?”, tanya Pak Sulis. Pak Doni mengiyakan. Pak Sulis lalu mengatakan bahwa nanti disana akan bertemu dengan penjaga pekarangan atau tukang kebun sebagaimana yang telah diceritakan. Nama tukang kebun itu Pak Pono.
Ayah Fredi menawarkan agar Pak Sulis naik mobilnya saja, sebab nanti dirinya akan tanda tangan surat untuk balik nama. Yang artinya setelah dari rumah tersebut mereka akan kembali ke kantor notaris, Pak Sulis pun setuju.
Selama perjalanan Pak Sulis menunjukkan arah menuju rumah tersebut. Cukup jauh arahnya, kira-kira memakan waktu 2 jam dalam kondisi lancar dan naik tol. Akhirnya merekapun tiba, letak rumahnya harus masuk ke jalan perkampungan tak beraspal, tapi tidak jauh dari jalan besar. Pagarnya berwarna hitam dan mulai berkarat tapi masih kokoh, pekarangan rumahnya cukup luas dan ada kolam ikan tapi sudah kering. Rumput-rumput tumbuh subur dan masih terawat rapih. Rumah itu bercat biru muda, ada bercak coklat tapi tidak terkelupas. Jendela-jendela terlihat berdebu tapi tidak rusak. Atap pun terlihat kokoh tapi tidak jelas bocor atau tidak. Pak Sulis menawarkan untuk masuk kedalam. Ayah Fredi dan keluarganya pun masuk. Saat membuka pintu rumah agak sulit, sepertinya kuncinya agak macet, tapi akhirnya bisa terbuka. Sebelum masuk, Pak Sulis memperkenalkan Pak Pono yang baru datang dan memasuki gerbang pagar. Ayah Fredi dan keluarganya pun saling berkenalan. Pak Pono izin untuk bersih-bersih pekarangan dulu, walau sebenarnya tidak terlalu kotor, setelah bersih-bersih nanti dirinya akan ikut menunjukkan ruangan-ruangan di dalamnya.
Ayah Fredi pun berkeliling bersama Pak Sulis membuka tiap ruangan satu per satu. Tidak ada yang rusak, paling temboknya hanya sedikit kotor dan kunci pintu masuk yang tadi sedikit macet. Selain itu tidak ada masalah.
Rumah itu berisi 4 kamar tidur masing-masing kamar memiliki kamar mandi sendiri, ruang keluarga, ruang tamu, dapur yang luas dan dibagian belakang dekat dapur ada tangga untuk menjemur pakaian. Tempat menjemurnya pun ada atap beningnya jadi tidak takut basah karena hujan. Saat sedang berkeliling Fredi melihat sebuah cermin tua tergantung dekat ruang keluarga. Ketika sedang bercermin Fredi tiba-tiba melihat bayangan wajahnya kabur dan berubah menjadi hutan di malam hari, Fredi merasa kaget bercampur takut ingin menjerit tapi mulut terasa terkunci. Tiba-tiba datang Pak Pono, Fredi terkejut lalu dia kembali melihat bayangan wajahnya di cermin. Pak Pono berkata sembari tersenyum menyeringai, “Mas itu cermin istimewa lho ya." Rasa takut dan terkejut Fredi mulai berkurang, degup jantungnya pun sudah tidak terlalu memburu, dia pun memberanikan diri untuk bertanya, “Istimewa bagaimana Pak?”
“Nanti Mas juga tahu”, jawabnya sembari menyeringai. Fredi tidak suka dibuat penasaran, dia juga sebenarnya tidak suka dengan seringai Pak Pono yang seperti menyembunyikan sesuatu. Namun dia kehilangan minat untuk bertanya apalagi dirinya merasa dia orang baru dan belum mengenal Pak Pono, sehingga Fredi memilih diam.
Setelah selesai berkeliling, ayah Fredi dan keluarganya pamit kepada Pak Pono dan kembali ke kantor notaris. Di kantor notaris Pak Doni menandatangani beberapa surat dan menyerahkan fotocopy ktp. Pak Sulis menyatakan surat-surat tersebut selesai kurang lebih tiga bulan. Mungkin bisa lebih cepat, jadi tunggu kabar saja. Ayah Fredi pun menganggukan kepala lalu pulang kerumah. Sesampainya dirumah Fredi masih terbayang dengan cermin itu, dia ingin bertanya pada ayahnya tapi takut akhirnya dia memendam untuk hari itu, kemudian dia pun tidur.
Dalam tidur, Fredi gelisah dia bermimpi buruk mengenai cermin itu, dalam mimpi itu Fredi sedang berada di rumah paman ayahnya, persis yang dilakukan pagi tadi, dia berjalan di ruang keluarga dan melihat cermin itu, dia takut tapi dia tetap mendekat awalnya dia melihat wajahnya tiba-tiba wajahnya menghilang dan muncul pemandangan hutan di malam hari seperti yang dia lihat ketika dirinya hendak berlari tiba-tiba dari cermin itu muncul tangan yang menarik tangannya, Fredi meronta namun tangan itu semakin kuat menariknya ketika dia menoleh ke cermin itu muncul wajah Pak Pono keluar dari cermin, seketika itu Fredi menjerit dan terbangun dari tidurnya. Fredi ketakutan, akhirnya dia pergi ke ruang keluarga untuk mengambil minum di kukas. Dia menenangkan diri sejenak dan masih terpikir mengenai mimpinya serta kejadian di rumah itu, akhirnya Fredi membulatkan tekad besok dia akan bertanya kepada ayahnya perihal cermin itu. Setelah tenang ia kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya.
Esok paginya setelah bangun, Fredi duduk di samping ayahnya di ruang keluarga.
“Yah, aku mau tanya dong”, kata Fredi.
“Tanya apa?”, kata Ayah Fredi.
“Ayah waktu kecil pernah ke rumah paman ayah yang kemarin nggak sebelumnya?”, kata Fredi.
“Ya pernah tapi jarang, emang kenapa?”, tanya ayahnya.
“Di dekat ruang keluarga rumah kemarin ada cermin tua, ayah pernah lihat sebelumnya?”, tanya Fredi.
"Ya pernah tapi itu belum terlalu lama, waktu ayah kecil dulu sekitar SD belum ada. Itu adanya sekitar yah pokoknya ayah kuliah deh. Kenapa tiba-tiba kamu nanya itu?, tanya ayah Fredi.
“Cerminnya aneh yah, angker”, kata Fredi.
“Halah ada-ada aja kamu ini. Angker gimana sih?”, tanya ayah Fredi.
“Iya masa kemarin aku liat cerminnya, tiba-tiba mukaku hilang terus berubah jadi pemandangan semak-semak kaya hutan di malam hari, padahal kan masih pagi”, kata Fredi.
“Wah kamu ada-ada aja, salah liat kali. Udah jangan ngawur. Aneh-aneh aja..”, kata ayah Fredi.
“Yah, ayah dibilangin nggak percaya. Udah gitu Pak Pono kayaknya juga aneh deh Yah”, kata Fredi.
“Aneh kenapa?”, tanya ayah Fredi bingung.
“Ya aneh, jadi pas kemarin aku ngaca dan liat bayanganku berubah jadi semak-semak malam hari, tiba-tiba dia lewat, terus bayangan semak-semak itu hilang dan muncul mukaku lagi, masa Pak Pono bilang kalau itu cermin istimewa, kok kaya tahu tapi nyembunyiin sesuatu deh Yah”, jawab Fredi.
“Udah…udah jangan ngaco bahas yang lain aja”, kata Ayah Fredi.
“Ah ayah orang lagi cerita bener, dianggap bohong”, jawab Fredi kesal sambil meninggalkan ayahnya. Sebenarnya ayah Fredi bukan tidak percaya, hanya saja ceritanya terlalu janggal dan ayah Fredi tidak ingin anaknya larut dalam ketakutannya. Mengenai Pak Pono, Ayah Fredi kurang mengenalnya, dia kerja kepada pamannya kapan dan muncul darimana, ayah Fredi belum dapat informasi, sedangkan cermin yang disebut oleh Fredi, ayah Fredi hanya tahu pamannya penggemar sesuatu yang antik jadi mungkin dia membeli karena menyukai barang itu. Kalau cerita tentang bayangan di cermin yang berubah, ayah Fredi masih belum yakin, karena tidak masuk akal, tapi dirinya ingin coba menanyakan kepada sepupunya barangkali sepupunya tahu sesuatu.
Esoknya saat di kantor, Ayah Fredi mencoba mencari tukang untuk membenahi rumah warisan pamannya serta untuk mengecat rumah tersebut. Setelah ketemu, ayah Fredi menelpon orang tersebut agar datang ke rumah tinggalnya Sabtu lalu langsung diantar ke rumah warisan pamannya, akhirnya tukang tersebut setuju. Hari Sabtu, tukang tersebut datang, lalu diantar Pak Doni ke rumah warisan pamannya, setelah disepakati biayanya akhirnya Pak Doni pulang, tukang tersebut totalnya 3 orang dan mereka semua menginap. Tukang itu adalah langganan Pak Doni dan ayahnya dulu, jadi Pak Doni sudah percaya. Kata mereka, kalau sekedar mengecat 3 hari maksimal selesai, tapi kalau ada genteng bocor atau plafon yang bermasalah waktunya bisa bertambah. Pak Doni mengatakan tidak masalah, tentang biaya nanti diatur dan dihitung borongan saja, pembayaran bila memungkinkan cash, bila tidak memungkinkan transfer saja kata Pak Doni. Tukang-tukang tersebut menyetujuinya.
Tiga hari telah berlalu, rumah warisan paman dari Pak Doni telah dibenahi, dicat ulang dan sudah dibereskan jadi sudah bisa ditempati kata tukang tersebut, tapi berdasarkan laporan tukang itu cermin antik yang berada dekat ruang keluarga itu sedikit aneh, kadang bergerak-gerak dan kadang pantulan cerminnya berbeda dengan yang seharusnya. Selain itu semua tidak ada masalah dan kata tukang itu, ketika bertanya pada Pak Pono, Pak Pono hanya mengatakan itu cermin istimewa. Mendengar laporan para tukang, Pak Doni hanya terdiam setelah itu mengirim ongkos jasa para tukang secara transfer lalu mengucapkan terimakasih.
Ayah Fredi kembali teringat ucapan anaknya, sepertinya cermin dan Pak Pono itu memang aneh, akhirnya ayah Fredi mencoba mencari tahu kepada sepupunya mengenai Pak Pono dan cermin di rumah itu. Menurut sepupunya mengenai Pak Pono, dia diminta oleh Paman Bono untuk bersih-bersih pekarangan rumahnya karena kebetulan Pak Pono tinggal dekat rumah itu. Tapi memang tidak diberi kunci rumah, hanya pagar saja. Itung-itung menjaga rumah itu apabila Paman Bono tidak bisa ke rumahnya. Tapi tentang cermin itu sepupu dari ayah Fredi tidak ada yang tahu. Dugaan mereka sama seperti ayah Fredi, mungkin karena Paman Bono suka barang antik. Mendengar komentar dari sepupunya, Ayah Fredi memutuskan akan ke rumah itu Sabtu dan menanyakan langsung kepada Pak Pono, perihal dirinya dan cermin itu.
Saat hari Sabtu, Pak Doni bermaksud untuk ke rumah pemberian pamannya. Dia mengajak istri dan Fredi. Namun istrinya memilih di rumah saja, sedangkan Fredi awalnya takut tapi akhirnya dia bersedia ikut. Setibanya dirumah itu Fredi jalan-jalan mengitari rumah itu, sedangkan Ayah Fredi menemui Pak Pono untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang menggelayut di relung hatinya.
Akhirnya, diketahui bahwa memang benar Pak Pono tinggal di sekitar situ, dirinya menawarkan langsung kepada Pak Bono untuk menjaga rumah itu karena dirinya butuh pekerjaan yang akhirnya disetujui Pak Bono. Mengenai cermin itu, Pak Pono hanya bilang itu cermin istimewa, memang dirinya yang menawarkan kepada Pak Bono karena Pak Pono pernah melihat Pak Bono memiliki minat terhadap barang antik, yang akhirnya dibeli oleh Pak Pono. Lalu tentang laporan anaknya dan tukang yang beberapa waktu lalu bekerja beres-beres rumah mengenai bayangan di cermin yang tiba-tiba berganti pemandangan hutan malam dan cermin yang bergerak-gerak sendiri, Pak Pono tidak memberi jawaban yang memuaskan. Tiba-tiba terdengar suara Fredi menjerit dia mengatakan melihat bayangan itu lagi, segera saja Pak Doni menanyakan hal tersebut kepada Pak Pono tapi Pak Pono hanya meracau dan menjawab tidak jelas dengan terbata-bata. Akhirnya Pak Doni memutuskan hendak membawa pulang cermin itu, awalnya Pak Pono keberatan dan mencegahnya, tapi ketika ditanya alasannya, Pak Pono tidak bisa menjawab sehingga cermin itu tetap dibawa ayah Fredi. Cermin tersebut di taruh di kursi belakang, setelah itu ayah Fredi mengunci seluruh bagian rumah kecuali pagar karena masih ada Pak Pono. Di perjalanan terdengar cermin itu berderak-derak namun ketika Fredi ataupun ayahnya yang menyetir menolehkan kepala suara berderak itu menghilang, lalu seperti terdengar suara serak kakek-kakek dari cermin itu, tapi setiap kali mereka berdua menoleh suara itu menghilang.Fredi berkali-kali mengatakan dirinya takut, tapi ayahnya selalu mengatakan agar tenang.
Sesampainya dirumah cermin itu diletakkan di gudang dan ada selembar kain menutupi cermin itu. Karena sudah sore Fredi dan juga ayahnya mandi kemudian mereka tidur di kamar masing-masing. Saat tidur ayah Fredi bermimpi sedang di rumah kuno pemberian pamannya, dia berjalan di ruang keluarga itu dan menatap cermin kuno disitu, yang kini telah dirumah ayah Fredi. Wajah ayah Fredi perlahan menghilang dan berganti dengan suasana semak-semak hutan di waktu malam. Dari cermin itu terdengar suara serak berkata, “Kembalikan aku…kembalikan aku." Ayah Fredi merasa ketakutan, tiba-tiba muncul Pak Pono di dalam mimpinya dan berdiri di sampingnya.
“Apa Tuan Doni takut?”, kata Pak Pono.
Ayah Fredi tidak menjawab, mulutnya seakan terkunci, tiba-tiba dari cermin itu muncul seekor ular berbisa, perlahan-lahan ular itu keluar dari cermin dan mendekati ayah Fredi, kepala ular itu mendekati dada ayah Fredi dan ayah Fredi semakin takut namun mulutnya terasa terkunci.
“Bukankah saya sudah bilang agar cermin itu jangan dibawa, Tuan?”, kata Pak Pono. Ayah Fredi semakin ketakutan karena kepala ular itu mendekati wajahnya, ayah Fredi menatap Pak Pono dengan tatapan penuh kekesalan bercampur ketakutan. Saat ular itu bersiap mematuk ayah Fredi, tiba-tiba ayah Fredi terbangun dan tubuhnya basah oleh keringat.
Ayah Fredi keluar kamarnya dan duduk di ruang keluarga untuk minum segelas air, tak lama Fredi juga keluar dengan wajah ketakutan lalu minum. Ayah Fredi menanyakan apakah dirinya bermimpi seram, Fredi mengiyakan dan menanyakan pertanyaan yang sama, ayah Fredi pun mengiyakan. Ayah Fredi juga bertanya apa mimpinya tentang cermin itu, sekali lagi Fredi mengiyakan.
“Wah ada yang nggak beres ini Fred”, kata ayah Fredi. Fredi hanya mengangguk. Ayah Fredi pun pergi ke gudang.
“Mau kemana yah?”, tanya Fredi.
“Ke gudang liat cerminnya”, kata ayah Fredi. Fredi pun mengikutinya. Saat ayah Fredi ke gudang, dia melihat kain yang menutupi cermin itu hilang.
“Kok hilang ya kainnya”, gumam ayah Fredi. Ayah Fredi mencari kesana-kemari tapi tidak ketemu. Dia merasa aneh, karena selain dirinya tidak ada yang mau masuk gudang. Kalaupun istrinya mengambil kain itu, pastilah istrinya akan bercerita, lagipula ayah Fredi meletakkan cermin itu sudah sore menjelang malam, sepertinya mustahil kain itu diambil istrinya. Sebelum akhirnya ayah Fredi keluar, dirinya memegang cermin itu yang terasa dingin. Akhirnya dirinya pun keluar, Fredi dan ayahnya kembali tidur ke kamarnya masing-masing.
Pagi harinya, ayah Fredi menanyakan apa istrinya mengambil kain di gudang yang menutupi cermin dari rumah pamannya. Istrinya mengatakan tidak. Ayah Fredi menjadi bingung tapi dia tidak ingin larut dalam kebingungan. Akhirnya dia pun berangkat kerja. Malam-malam berikutnya ayah Fredi masih bermimpi buruk tentang cermin itu dan Pak Pono. Hingga suatu malam saat dirinya terbangun, ayah Fredi pergi ke gudang, menatap cermin dan tanpa sengaja jarinya menyentuh permukaan cermin itu, tiba-tiba jarinya seperti masuk kedalam cermin itu, permukaannya seperti air. Segera saja dia menarik jarinya dan keluar dari gudang dengan penuh ketakutan.
Keesokan harinya ayah Fredi masih terkenang mengenai cermin tersebut. Hingga akhirnya di tempat kerja saat istirahat, dirinya menanyakan pada kenalannya, termasuk mengenai mimpi anehnya, berdasarkan pendapat kenalan-kenalannya akhirnya ayah Fredi menghubungi kenalan dari kawannya yang paham seperti itu. Sesuai pendapat yang ada, cermin itu perlu dihancurkan, tapi memang banyak pendapat pula bagaimana cara menghancurkannya. Setelah memperoleh jawaban, ayah Fredi bermaksud menghacurkan cermin itu di depan Pak Pono, sekaligus mengharapkan jawaban mengenai asal usul cermin itu.
Pada hari Sabtu berikutnya, ayah Fredi datang ke rumah warisan pamannya sembari bertanya-tanya mengenai cermin tersebut. Pak Pono seperti menutup-nutupi sesuatu, dia hanya menjawab itu cermin istimewa dan kita kadang bisa melihat dunia lain di sana. Ketika ditanya lebih lanjut, dunia lain seperti apa, dan ada apa saja disana, Pak Pono terdiam dan terbata-bata. Akhirnya Pak Doni, membawa cermin itu dan berkata, “Bapak benar, benda ini harus dikembalikan.” Saat mengatakan itu Pak Pono tersenyum lega, namun sebelum mengembalikan, ayah meletakkan cermin itu di atas meja kayu dan menghantamnya dengan martil sekuat tenaga, seketika wajah Pak Pono ketakutan dan menjerit, “Jangan Tuan!”, saat martil menyentuh cermin itu yang terjadi justru tangan Pak Doni, kesakitan dan terluka hingga meneteskan darah. Pak Doni yang kesal terus mendesak Pak Pono agar mengatakan yang sejujurnya, tapi Pak Pono ketakutan bahkan menangis terisak-isak. Karena Pak Doni tidak mendapatkan jawabannya, setelah Pak Doni membersihkan lukanya, akhirnya kembali pulang dan tetap membawa cermin tersebut. Dalam perjalanan pulang, Pak Doni menelpon kenalan temannya dan menceritakan kejadian tersebut, akhirnya disarankan bila nanti bermimpi lagi, coba hancurkan cermin itu dalam mimpinya. Pak Doni bingung bagaimana caranya kenalan temannya kemudian membahas tentang Lucid dream secara rinci, terdengar agak sulit mengontrol mimpi, tapi Pak Doni paham. Menurut kenalan temannya itu, mimpi kita adalah kerajaan kita dimana kita mampu menciptakan apapun dalam pikiran kita, asalkan kita mampu mengontrol keraguan dan ketakutan kita, masalahnya mengontrol ketakutan di alam mimpi tidak mudah bagi ayah Fredi. Setelah pembicaraan selesai ayah Fredi menutup teleponnya. Sesampainya dirumah dia kembali menarih cermin itu di gudang lalu mandi dan berganti pakaian dia terus memikirkan bagaimana caranya mengontrol mimpinya. Tak lama diapun masuk kamar dan tertidur.
Saat tidur ayah Fredi bermimpi mengenai cermin itu lagi di ruang keluarga dan bertemu dengan Pak Pono.
“Bagaimana tangan Tuan?”, tanya Pak Pono. Pak Doni mulai merasa takut tapi berusaha mengontrol ketakutannya, lalu menjawab kalau sudah membaik. Pak Doni melihat tangannya dan melihat lukanya yang mengering. Tiba-tiba dirinya teringat ucapan kenalan temannya kalau mimpi kita adalah kerajaan kita dimana kita bisa melakukan apa saja. Akhirnya Pak Doni mencoba membayangkan tangannya sudah sembuh, ternyata di mimpi itu tangannya mendadak sembuh. Akhirnya dia mulai paham bagaimana mengontrol mimpinya.
Pak Pono kembi menoleh ke Pak Doni perlahan muncul tiga ular berbisa keluar dari cermin. Pak Doni menjadi ketakutan, dirinya mulai tidak bisa mengontrol mimpinya, tapi perlahan dia memberanikan diri untuk menghadapi ular itu. Dia akhirnya bisa membunuh ular-ular itu. Pak Pono semakin ketakutkan. Kemudian Pak Doni berusaha mencari martil yang tak kunjung ditemukan, tapi tak lama dia berhasil menemukan tidak jauh darinya. Sekali lagi, dari cermin itu muncul belasan ular, namun karena Pak Doni sudah bisa mengontrol ketakutannya, ular-ular itupun dibunuh semuanya.
Pak Doni mendekati cermin itu yang tergantung lalu membantingnya sampai pecah, tak hanya itu dengan martil di tangannya pecahan cermin itu dihancurkan lagi hingga menjadi serpih halus, seketika itu Pak Pono menjerit histeris seperti kesakitan, lalu Pak Doni pun terbangun dengan perasaan lega. Setelah terbangun dirinya pergi ke gudang dan melihat cermin itu dan menggenggamnya, sudah lebih dari lima menit tidak ada yang terjadi, dirinyapun lega dan tidur kembali.
Keesokan harinya di pagi hari yang cerah, ayah Fredi kembali menelepon kenalan temannya dan menceritakan mimpinya. Kenalan temannya menyarankan agar cermin itu dihancurkan sampai menjadi debu seperti dalam mimpinya dan debu cermin itu dikubur di lubang tanah di tempat berbeda, tidak perlu membuat banyak lubang, dua lubang tak masalah asal tidak berdekatan, setelah itu tanyakan seluk beluk cermin itu pada penjaga rumah warisan pamannya karena boleh jadi penjaga itu selama ini terkena pengaruh jahat cermin itu. Kemudian Pak Doni menghancurkan cermin itu sebagian dikubur di tanah lapang dekat rumahnya. Sisanya di tanah lapang lain yang jaraknya sangat jauh. Setelah itu Pak Doni kembali ke rumah warisan pamannya, dia bertemu Pak Pono. Pak Doni menanyakan semua kepada Pak Pono, diluar dugaan Pak Pono menangis menyesal karena dia berpikir jangan-jangan Pak Bono mati karenanya. Pak Doni minta dijelaskan semuanya khususnya cermin itu.
Pak Pono mengatakan, karena dirinya melihat Pak Bono menyukai benda antik, dia menunjukkan cermin itu yang dia temukan sewaktu jalan-jalan di pasar loak. Pak Bono minta tolong difotokan dan tanya harganya, melihat foto di kamera ponsel Pak Pono, Pak Bono terpikat apalagi harganya tidak terlalu mahal. Akhirnya Pak Bono menyuruh Pak Pono membelinya, lalu dibawalah ke rumah, hari demi hari Pak Bono semakin senang dengan cermin itu bahkan sering dibersihkan sendiri. Seminggu setelah itu Pak Bono sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal, suatu saat Pak Pono menatap cermin itu dan melihat bayangannya berubah menjadi pemandangan semak-semak hutan di malam hari, karena penasaran bukannya takut dirinya tetap melihatnya, tiba-tiba dia merasa dirinya ditarik ke dalam cermin. Semenjak kejadian itu, dia sulit membedakan yang dialaminya itu nyata atau mimpi. Dan hari ini dia akhirnya sadar sepenuhnya tanpa keragu-raguan. Akhirnya Pak Doni mengerti, setelah itu tidak ada kejadian aneh lagi di rumah itu. Fredi dan ayahnya pun tidak mengalami mimpi buruk lagi. Sebagai ucapan terima kasih pada kenalan temannya, Pak Doni mengirimkan sejumlah uang kepada kenalan temannya, kenalan temannya pun juga mengucapkan terimakasih dan senang persoalan Pak Fredi sudah selesai.
Setelah kejadian itu segala sesuatu berjalan dengan baik dan normal. Untuk sementara rumah tersebut dikontrakkan saja karena belum mau ditempati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
