Part 6 & 7

284
55
Deskripsi

Harusnya 3 part. Tapi baru edit ini aja.

Gpp yaaah.

Part Enam
 

Keira tampak begitu bersemangat. Berbekal satu proyek yang ia dapatkan dari Galen, wanita itu segera menuju cabang perusahaan dan tak sabar memberitahukan pada tiga rekan kerjanya jika mereka akan mengerjakan pekerjaan mereka sendiri.

Dengan proyek pertama yang akan menjadi batu lompatan ia menuju proyek-proyek lainnya yang pasti akan menyusul. Keira yakin jika visi dan misi yang sudah ia rancang tadi malam pasti akan berhasil.

Yah ... Sepertinya sisi pesimis yang kemarin sempat muncul langsung tenggelam karena satu proyek yang Galen berikan.

Walaupun ia harus merayu sendiri klien selaku pemilik proyek. Dia akan menghubunginya nanti setelah membuat design dan penawaran harga yang kebetulan belum Galen kirim kepada klien.

Proyek yang pria itu berikan juga bukan proyek utama. Maka tak akan sulit merayu klien yang pasti akan senang jika proyeknya akan dieksekusi lebih cepat dari rencana yang dijanjikan.

Ya walaupun sebenarnya Keira harus mengikuti peraturan perusahaan yang tak bisa langsung menjalankan proyek yang masuk karena menyesuaikan dengan persediaan tenaga kerja dan alat.

Tapi dia akan membicarakan hal ini lagi kepada Abyasa nanti. Melalui Jemima ia pasti bisa meminta bantuan.

Tiba di kantor cabang yang belum ia periksa secara keseluruhan karena kemarin Keira langsung pulang bersama tiga rekannya yang berbincang dengannya di perjalanan pulang, Keira yang tampak simpel dengan setelan semi formal itu segera masuk dan menyapa Rasyi yang sudah duduk di balik meja resepsionis.

Kemarin setelah Keira mengoreksi cara berpakaian tiga rekannya ini, Rasyi hari ini sudah tak lagi menggunakan kaos biasa untuk bekerja.

"Hai Rasyi.

"Eh ... Pagi, bu."

Meletakkan empat cup kopi hangat di atas meja kerja Rasyi, Keira yang tersenyum lembut itu berisi menenteng empat cup kopi panas. "Pagi. Yang lain sudah datang?"

"Sudah, bu. Mereka di dalam."

"Oke." Dengan pancaran semangat yang menulari Rasyi, Keira kemudian melangkah ke dalam sambil berbicara. "Bawa kopinya, Ras. Ayo kita briefing dulu." Kemudian menoleh ke arah pintu dan menunjuknya dengan dagu. "Pintunya kunci dulu aja."

Menurut, Rasyi melakukan perintah Keira sebelum kemudian mengikuti atasan barunya itu namun seketika ia berhenti ketika Keira yang menarik rasa kagumnya itu tiba-tiba berhenti di depannya.

Keira yang tak percaya jika ruangan di balik tembok ruang utama hanya berisi satu meja memanjang dan dua kursi kayu yang mengingatkannya dengan bangku sekolah jaman SD dulu, kemudian meliarkan pandangan dan ia meringis miris melihat kondisi kantor cabang yang bisa dikatakan tak layak pakai.

Bagaimana bisa ruang kerja tak senyaman ini?

"Kalian ... Kalian kerja di sini?" Lalu bola mata berhenti pada dua unit komputer lama yang tampaknya buangan dari kantor pusat.

Mereka orang-orang pusat pasti memakan anggaran untuk kantor cabang yang malah diberi barang-barang bekas.

"Iya, bu."

Keira mendesah panjang saat mendengar jawaban lugu Dewi.

"Ada banyak hal yang harus kita lakukan ternyata." Kembali tersenyum karena menggerutu pun percuma. Keira lalu melirik Caca. "Ambilin kursi lain ya, Ca. Kita diskusi di sini aja."

"Ooh duduk di sini aja, bu." Caca berdiri dan menyerahkan kursinya pada Keira yang segera melongo.

"Kursi saya juga ngga apa-apa kok, bu." Dewi pun ikut berdiri.

"Kursi yang nyaman kursi saya, bu. Saya ambil--"

"Cukup." Keira menghentikan Rasyi yang hendak bertolak dan mengambil kursi kerja wanita itu.

"Kursi terbanyak ada di depan. Kalau gitu, kita pindah ke depan saja." Menyadari jika tak ada kursi lain yang bisa dibawakan untuk dirinya, lalu Keira mendesah lagi.

Ini bukan kantor. Ini tempat buangan.

*

"Oke, gitu aja diskusi kita saat ini. Karena memang belum ada pekerjaan yang harus kita kerjakan, kita beres-beres dulu saja, ya? Jadi nanti kalau barang baru datang, kita ngga repot lagi."

"Memangnya bakal dikasih, bu?"

"Ya kita maksa harus dikasih. Karena kita di sini kerja untuk memajukan perusahaan. Jadi kita juga harus difasilitasi yang sama seperti di pusat."

Tersenyum senang mendengar jawaban Keira, Rasyi lalu memandamg dua rekan kerja lainnya yang juga turut bergembira.

"Eh tapi, bu. Kerjaan kita gimana?" tanya Caca kemudian

Berdiri, Keira mengikat rambutnya tinggi-tinggi. "Dihubungi sama orang pusat?"

Saling melirik, ketiganya kemudian kompak menggeleng. "Tapi nanti pasti ditelpon, bu."

"Ya sudah. Nanti suruh mereka hubungi saya saja." Bertepuk tangan dengan penuh semangat, Keira lalu mengajak tiga bawahannya untuk mulai bekerja. "Pertama singkirkan semua rongsokan dari ruangan untuk saya kerja, ya? Saya mau turunin barang-barang saya di mobil, soalnya."

"Siap, bu!" Menjawab dengan semangat yang berkobar pula, tiga pekerja yang merasa senang karena akhirnya kantor cabang mendapatkan pemimpinnya kembali, kemudian mulai bergerak untuk membersihkan seluruh kantor yang ternyata memakan banyak waktu.

"Ibuuu ada orang katanya dari pusat!"

Baru beristirahat sejenak sambil menikmati mie goreng yang Caca buatkan di pantri, Keira kemudian berdiri dari alas tikar yang ia duduki bersama dua rekannya yang lain sementara Rasyi baru muncul setelah melihat siapa tamu yang mengetuk pintu padahal tanda closed masih terpasang.

"Namanya siapa?"

Menyeka keringat yang menetes di dagu, Keira lalu bertanya sambil melangkah menuju ruang resepsionis sambil diikuti Rasyi.

"Ngga tau, bu. Tapi cowok. Rambutnya agak panjang dikit--kenapa, bu?"

Berhenti berbicara saat Keira tiba-tiba tak lanjutkan langkah, Rasyi menatap penasaran pada atasan yang ia liat melotot seolah tak percaya.

"Ke ... Kenapa, bu? Itu bos, ya?"

Bukan.

Keira lalu berdeham dan menggeleng sebelum melepaskan ikatan rambutnya dan menepuk-nepuk wajah yang terlihat memerah karena panas.

Benar-benar panas karwna cuaca bukan karena sosok yang ia terka datang mengunjunginya.

Bukan ngunjungin!

Keira lagi-lagi menggeleng.

Mengapa dia terlalu percaya diri jika Galen datang ke sini untuk dirinya.

"Itu ... Itu kayaknya Manajer umum." Jemari Keira lagi-lagi menyentuh wajahnya seolah ada sesuatu yang merusak penampilannya di sana, membuat Rasyi meringis penasaran.

"Ooh ... Tapi ... Kenapa ibu gugup?"

Kontan mengerjap, Keira meloloskan dengkusan geli. "Siapa yang gu--"

"Kenapa kamu malah diskusi di sini?"

Menelan salivanya ketika suara yang terdengar dari arah belakang adalah milik orang yang ia terka dengan tepat. Keira lalu menoleh pada sosok Galen yang terlihat menaikkan sebelah alis. "Saya nunggu dari tadi, loh."

"Aa ... Iya, pak." Keira kemudian tersenyum. "Saya ngga tahu bapak bakal datang."

Keira langsung mendekati, sementara Galen kembali ke depan dan duduk di salah satu sofa tamu.

Masih terasa empuk seolah memang tak pernah ada yang mendudukinya.

Ah ... Tapi ruangan ini panas. Galen mengipasi lehernya dengan tangan membuat Rasyi yang mengikuti Keira berinisiatif untuk membawakan es teh yang tadi Caca buat. "Saya ambilkan minum ya, pak."

Tapi belum Rasyi berbalik pergi, Keira yang baru akan duduk langsung menghentikannya sejenak. "Es teh tawar aja, Ras." Lalu ketika Rasyi mengangguk dan segera pergi, Keira yang baru menempelkan pantat di permukaan sofa di hadapan Galen seketika itu terpaku dengan bola mata membulat.

Wanita itu baru saja tersadar dengan apa yang ia lakukan.

Mengapa juga harus menyebutkan minuman seperti apa yang harus Rasyi sajikan pada Galen seolah ia masih menaruh perhatian pada mantan kekasihnya itu.

Ah ... Wanita itu makin tak bisa memandang wajah Galen yang mataya terus menyorot lurus padanya.

"Kenapa kantornya tutup?"

"Ha? Aah ... Ooh." Keira menatap ke arah pintu sebentar sebelum mengangguk namun pandangannya masih belum terpaku pada sosok Galen. "Iya. Karena ada banyak yang harus dikerjakan."

Sial!

Keira tak tahu mengapa ia tiba-tiba merasa begitu gugup.

"Di sini panas."

Langsung mengubah topik pembicaraan, Keira hanya mengangguk dan menjawab singkat mendengar ucapan Galen. "Iya."

"Rambutnya digerai ngga panas?"

Lalu kini jantung semakin melompat tak keruan, Keira menarik ujung rambutnya. "Ya ... Panas." Ia mengangguk lagi dan menahan perasaan malu di balik dada karena ia sengaja menggerai rambutnya ketika tahu Galen yang datang, namun kemudian pria itu malah mengomentarinya dengan respon yang tak Keira terka sejak awal.

Cuaca sepanas ini dan malah menggerai rambut panjangnya. Ya ... Tak salah jika Galen yang melihatnya saja malah merasa risih.

Kemudian mengambil tali rambut yang tadi ia kantongi, Keira mengikat rambutnya kembali. Mengikat asal-asalan dengan gwrakan cepat sebelum ia tatap Galen dengan senyum formal. "Jadi pak Galen ada keperluan apa ke sini?"

"Hanya melihat-lihat keadaan."

"Dan kenapa baru datang sekarang?" Mengingat Rasyi tak mengenal Galen, ia menerka dengan tepat jika Galen tak pernah datang ke sini sebelumnya.

"Memangnya kenapa?"

Menatap lurus pada Galen yang malah melemparkan tanya bukannya menjawab. Keira lalu memilih menggeleng ketika sadar bukan haknya menanyai hal seperti yang ia tanyakan tadi.

"Ini tehnya, pak." Rasyi kembali datang dengan baki di tangan lalu meletakkan segelas es teh tawar di atas meja.

"Oh ya, Rasyi. Ini pak Galen, manajer umum di pusat. Beliau yang mengontrol kami selaku manajer proyek dan bawahan lainnya."

Mengangguk sopan pada Galen, Rasyi dengan senyum ramahnya kemudian pamit undur diri.

"Ini bukan kantor. Tapi tempat pembuangan. Jadi agar terlihat layak, kami harus membersihkan tempat ini. Karena itu kami tutup. Tapi tadi saya sudah info ke HRD."

"Ya." Menjawab singkat. Galen yang kemudian meminum es teh tawar yang disuguhkan, berdiri setelah menghabiskan setengah gelas. "Masih ada yang harus dibereskan?" Pria itu menggulung lengan kemeja biru muda yang dikenakan, membuat Keira tak sadar menelan saliva.

Galen tetap menarik dan mungkin makin menarik terutama semenjak mereka putus.

Aah ... Memang penyesalan selalu saja tempatnya di belakang, ya?

"Pak Galen mau bantu?"

"Saya sedang ada waktu luang," katanya kemudian menggerakkan tangan, memersilakan Keira untuk berjalan lebih dahulu.

Berdiri sambil menahan perasaan asing yang bergulung di balik dada. Keira lalu melangkah sementara Galen mengikutinya dari belakang.

"Ada sarang laba-laba di rambut kamu, Kei."

Berhenti, Keira langsung membawa tangannya ke atas kepala namun yang ia tangkap malah jemari Galen yang ingin menyingkirkan kotoran di rambutnya.

Terbelalak kaget, Keira yang merasa jantungnya akan meledak, langsung menoleh ke samping dan pandangannya langsung terkunci oleh sorot dalam Galen yang menghela napas, seolah ada beban berat yang menimpa pria itu. "Apa susahnya bilang kalau butuh orang untuk bersih-bersih?"

Keira yang pandangannya tak bisa berpaling sepasang iris bening Galen, hanya diam bahkan berkedip pun tidak.

"Kamu benar-benar berantakan."

Bola mata kontan membulat makin lebar karena merasa tak percaya Galen yang sudah tak pernah memberi ia senyum menaikkan kedua sudut bibir di hadapannya, Keira tak sadar mengangkat tangannya untuk menyentuh bibir itu agar bisa memastikan jika senyuman Galen bukan bagian dari imajinya saja.

"Kamu tersenyum?" gumamnya dengan bibir merekah pula, sebelum kemudian lenyap saat wajah pria di hadapannya tertarik ke belakang, hindari sentuhannya.

Benar.

Keira yakin apa yang ia lihat barusan hanyalah mimpi dan dengan lancangnya ia ingin menyentuh senyuman yang hanya bagian dari imaji.

Galen pasti tak suka.

"Maaf."

Menarik tangannya kembali, Keira yang pandangannya mulai mengabur karena dipenuhi bulir tangisan yang harus ia tahan, kembali melanjutkan langkah kali ini lebih lebar. "Ca, pak Galen mau bantu. Kasih tahu apa yang harus diangkat keluar, ya?" Bertemu dengan Caca yang sedang melipat tikar, Keira berbicara dengan wanita itu tanpa menatap karena ia terus berjalan lurus dan masuk ke dalam kamar mandi untuk menyembunyikan kesedihan berbalut penyesalan yang masih saja memayungi dirinya.

Aah ... Sungguh Keira tak menyangka jika proses move on akan jadi sesulit ini. 
 

Part Tujuh

Masih terlalu pagi ketika sebuah panggilan masuk dari rekan kerja yang tiba-tiba berbicara dengan nada menekan seolah ia telah melakukan salah.

Bangkit dari tidurnya dengan wajah yang masih mengantuk. Keira lalu menjawab; "Ya mas Farid. Rencana malam ini aku kumpulin tim untuk umumkan kalau Zoya yang gantiin aku. Kemaren aku sibuk bang--"

"Kamu ngga kasihan sama Zoya, Kei? Dia belum bisa kerja kalau dari kamu ngga ngasih serah terima pertukaran tugas di depan tim kamu. Sebagian ngga ada yang mau nurut sama Zoya karena ngga percaya sama kabar kalau kamu dimutasi."

Mutasi?

Kening Keira lalu mengernyit dalam. Dia memang dipindah tugaskan. Tapi dia masih memiliki meja kerja di pusat. Galen yang mengatakan itu kemarin meski dia tak bisa datang setiap saat.

"Iya." Tapi wanita itu tak mau berdebat. "Tapi aku pikir ini sudah diumumkan dan surat izin untuk Zoya juga udah keluar, kan?"

"Tapi kalau dari kamu diem aja gini! Ya mereka pasti mikirnya kamu ngga rela! Bikin Zoya seolah rebut posisi kamu!"

Menyugar rambut berantakannya ke belakang, Keira lalu mencari ikat rambutnya yang ia letakkan di samping bantal sambil menjawab pertanyaan rekan kerja yang begitu perhatian pada Zoya.

Ah ... Karena orang-orang menganggap ia marah pada Zoya, membuat hubungannya dengan wanita itu terasa menjauh. Padahal sedikitpun Keira tak marah pada Zoya yang menggantikannya.

Orang yang paling dekat dengannya itu tak juga pastilah tak percaya dan sulit mengelak tugas yang diberikan manajer umum.

"Ya mas Farid. Nanti malam aku kumpulin anak-anak."

"Iya dong, Kei! Aku ngga maksud apa-apa bilang begini. Cuma ngga tega aja sama Zoya. Masa katanya kemaren banyak yang mgga datang pas dia ajak rapat."

"Iya mas." Mengikat rambutnya, wanita itu kemudian berdiri sambil memegang ponsel yang menempel di telinga.

"Ya udah kalau gitu, Kei. Mas tutup."

"Assalamu--"

Tut ... Tut ... Tut!

Ah ... Keira mendesah ketika panggilan diputus begitu saja tanpa menunggu ia menyudahi salam.

Padahal rasanya ia tak pernah membuat masalah dengan rekan-rekan di kantor. Tapi entah mengapa banyak sekali yang tak menyukai dirinya.

Menggeleng tak mengerti juga enggan memikirkan apapun lagi. Wanita itu kemudian keluar kamar, memeriksa sang ayah apakah masih tertidur atau telah bangun.

Di kamar, ternyata Baddar masih begitu terlelap.

Tersenyum tipis, Keira lantas segera beranjak untuk beribadah dan bersyukur pula atas panggilan dari Farid karena hampir saja ia kesiangan. Keira melanjutkan rutinitas paginya dengan membuat sarapan sementara Baddar sudah diurus oleh Iwan, yang selalu datang pukul enam pagi.

"Assalamualaikum! Keeiii!"

Melongokkan kepala ke arah pintu. Keira kemudian meninggalkan Sayur yang ingin ia wadahi.

"Kayaknya bu Ruth, mba." Iwan yang sedang berdiri di luar pintu kamar mandi menunggui Baddar, memberitahu pada Keira yang tahu siapa yang datang pagi-pagi begini.

Mengangguk. Keira yang masih menggunakan apron itu langsung berjalan menuju pintu utama dan membukakannya untuk Ruth. Tetangga berjarak lima rumah sekaligus mantan calon mertua.

"Waalaikumsalam, ma."

Ia lihat Ruth yang menggunakaj jilbab berbahan kaos dan jaket tebal itu menenteng tas belanjaan yang masih kosong.

"Mama mau ke pasar. Mau nitip apa?"

"Kenapa ngga Minggu, jadi Kei bisa ikut."

"Si ayah kepengen dimasakin babat. Maunya hari ini." Ruth menghentak pelan tas belanjaan yang terbuat dari anyaman plastik itu bersama wajah yang bersengut-sengut sebal. "Makanya ini ke pasar lebih awal! Udah Kei titip aja. Kata Iwan, babe pengen rendang. Mama buatin, ya?"

"Itu mas Iwan yang pengen bukan babe." Keira lalu menggeleng, terlihat enggan merepotkan Ruth. "Bawang aja kalau gitu, Ma? Sayuran masih ada." Sebenarnya bawang pun masih ada. Tapi ia tak enak jika tak menitip sesuatu padahal Ruth menyempatkan untuk mampir.

"Iih si babe pengen rendang. Daging juga, ya?"

Keira sekali lagi menggeleng. "Ngga mau ah. Nanti--"

"Ma! Ayoo."

Terdiam saat mendengar suara yang tak sama sekali asing. Keira dengan mata membulat, melihat ke arah luar pagar di mana terdapat motor yang ditunggangi seorang pria.

"Kei pikir itu ayah."

Terkekeh, Ruth menepuk lengan Keira. "Galen. Mama paksa itu. Si ayah kakinya sakit. Ya udah itu aja titipannya?"

Menatap lagi ke arah Galen yang pandangannya lurus ke depan seolah enggan menatap dirinya, Keira yang tampak pilu itu lalu mengangguk sambil alihkan pandangan pada Ruth kembali. "Itu aja, ma. Bentar, Kei ambil uang--"

"Ah kamu tuh!" Ruth memukul tangan Keira lagi ketika wanita itu mau berbalik namun urung. "Ntar ada yang ngatain bunda pelit sambil bilang uang segitu aja diambil!"

Kontan menggigit bibirnya, Keira tampak meringis malu.

Dia tahu siapa orang yang melarang Ruth mengambil uang darinya.

Ini lah alasan kenapa Keira enggan menitip sesuatu kepada Ruth karena pasti uang darinya akan ditolak.

"Ya udah, mama pergi dulu!"

Mengangguk, Keira menyalami tangan Ruth yang kemudian beranjak sambil mengomel ketika Galen kembali menekan klakson.

"Ngga sabar banget ya kamu! Dimintai tolong sesekali aja langsung nyebelin begitu!"

"Ya pagi ini aku ada rapat, ma. Mama juga kenapa dadakan begini? Aku juga sudah mandi."

"Jadi yang penting itu mama apa rapat?!"

Mengulum senyum gelinya mendengar perdebatan Galen dan Ruth. Keira kemudian baru masuk ke dalam rumah ketika motor yang Galen bawa sudah benar-benar hilang dari pandangan.

"Rendang buatan bu Ruth enak loh, mba. Kenapa ditolak?" Baru berjalan beberapa langkah, sosok Iwan muncul sambil cengengesan.

"Mas Iwan kan yang mau. Bukan babe."

Iwan yang mendengar ucapan Keira yang selalu berbicara dengan lembut tanpa penekanan itu kemudian terkekeh. "Sesekali, mba."

"Mama repot pasti. Ayah lagi banyak maunya. Besok-besok aja minta buatinnya." Kemudian dagunya menunjuk ke arah meja makan. "Aku udah buatin sup cuma tempemya belum digoreng. Nanti mas Iwan gorengin, ya?"

"Iya, siap!"

"Kei! Kei! Babe mau es krim, ya?"

Mendengar panggilan dari Baddar yang berada di kamar. Keira lalu hampiri sang ayah namun hanya sebatas pintu saja. Ia melongokkan kepala, menatap Baddar yang duduk dengan kaki berselonjor di atas ranjang. "Ngga boleh. Nanti pilek."

Baddar yang kemudian cemberut itu, bersedekap membuatnya tampak lucu di mata Keira yang kontan saja tertawa.

"Kalau Galen pasti dibolehin!" jawab pria yang usianya sudah melebihi Setega abad itu.

"Tuh kan! Pasti banding-bandingin!"

"Be, lagian ini pagi. Masa udah minta es krim." Lalu Iwan muncul, dengan segelas air putih. "Ayo minum obat dulu."

Tersenyum melihat ayahnya yang tampak mulai membaik dan ia berharap pikunnya tak lagi sering muncul, Keira lalu berpamitan untuk bersiap-siap berangkat kerja.

Setelah ia tampil rapi dengan setelan semi formal, wanita itu duduk di sisi ranjang, melihat layar ponselnya yang telah lama tak menunjukkan notifikasi pesan dari kakak dan adiknya.

"Apa sesibuk itu sampai jenguk aja ngga bisa?"

Sudah hampir satu tahun dua saudara lelakinya tak datang mengunjungi Baddar. Sementara adik perempuan yang juga tinggal di kota yang sama dengannya, hanya datang satu bulan sekali.

padahal ketika cucu-cucu datang, Baddar terlihat begitu senang.

Ah ... Kalau saja Keira sudah menikah.

Dengan mata bergetar dan memerah, wanita itu meraba perutnya.

Seenggaknya sudah ada cucu dari Kei ya, Be?

Kemudian pilu menyeruak membuat ia terisak tanpa kendali. Keira membekap wajahnya hanya karena memikirkan Baddar yang pergi meninggalkan dirinya sebelum menikahkan ia dengan seorang pria.

Mengapa rasanya menyedihkan sekali?

*

Setelah merinci apa saja yang ia butuhkan di kantor cabang. Keira segera membuat surat permohonan sebelum ia kirim kepada Galen untuk meminta persetujuan lalu setelah itu baru ia arahkan surat permohonan tersebut kepada divisi General Affair.

Untuk sementara ini ia bekerja di meja resepsionis karena tak ada meja kerja di ruangannya, Keira yang ditemani oleh tiga rekannya itu lalu menyudahi pekerjaan tepat di jam istirahat. "Makan dulu, aja. Habis ini aku mau ajak kalian nemuin klien untuk proyek yang akan kita tangani."

"Kami, bu? Terus kantor gimana?"

Mendengkus geli, Keira yang berdiri sambil menggenggam ponsel itu lalu menjawab. "Kayak ada yang bakal datang aja, Ca. Aku mau kasih contoh ke kalian gimana caranya berbicara dengan klien dan meyakinkan mereka."

Duduk di sofa, ia membuka layar ponselnya sebelum menatap tiga rekan kerjanya lagi. "Kalian bawa bekel?"

"Cuma Rasyi aja yang bawa, bu." Dewi menjawab sementara Rasyi langsung menunjukkan bekal makan siang yang ia bawa.

"Ibu mau? Makan yang aku--"

"Ngga Rasyi. Aku minta dibeliin aja," jawab Keira cepat, menolak niat baik Rasyi.

Uh ... Tiga bawahannya ini selalu saja berhasil membuat ia merasa haru karena kebaikan mereka.

"Nasi padang aja yang deket."

"Oke, bu." Dewi pum menjawab cepat.

"Uangnya di dompet aku. Ambil aja. Kalian mau apa? Beli pakai itu aja."

"Iiih ngga, bu. Masa dibayarin terus sama ibu."

Tersenyum lebar, Keira kemudian menggeleng. "Ngga apa-apa, Ca. Kan cuma sampai bonus proyek ini cair. Abis itu kalian yang traktir, ya? Rasyi, kalau mau jajan ngga apa-apa"

"Aaah ... Makasih ibu Keii!" Terlihat begitu riang ketiganya kemudian bergandengan untuk pergi keluar bersama mencari menu makan siang mereka.

Tersenyum geli melihat tingkah lugu Caca, Dewi, dan Rasyi. Keira kembali menatap layar ponselnya dan segera menghubungi nomor Zoya. Wanita itu pasti sudah menunggu kabar darinya tentang rencana serah terima pekerjaan mereka di hadapan tim Keira sebelumnya.

"Keeeei! Ya ampuun. Aku pikir kamu udah lupa sama aku. Kok ngga nelpon dari kemaren, sih?"

Tersenyum senang karena Zoya menyambut panggilannya dengan semangat. Keira lalu mengangguk. "Memang sedikit sibuk karena banyak yang harus dibereskak di sini, Zoya. Oh ya, aku mau bicara soal rencana yang aku bilang waktu itu. Maaf sudah menundanya."

"Rencana apa, Kei?"

"Memperkenalkan kamu ke tim proyek yang aku tangani sebelumnya."

"Iiih ... Kamu kan lagi sibuk. Kalau ngga bisa cepat juga ngga apa-apa. Kenapa minta maaf?"

Tahu jika Zoya pasti tak mempermasalahkannya. Keira lalu tersenyum lega. "Nanti malam aku ada waktu, kok. Lagian anak-anak sudah aku hubungi juga." Jeda, Keira menarik napas dalam. "Katanya anak-anak pada ngga nurut sama kamu, ya?"

"Ha? Ya ampun. Kamu denger dari siapa?"

"Bener kan kabar itu?"

"Ngga apa-apa tau, Kei. Ya kalau mereka ngga bisa nerima aku tuh wajar. Apalagi tiba-tiba begini."

"Tapi itu tidak dibenarkan juga, Zoya. Maaf bikin kamu ngga nyaman."

"Ck!" Di seberang sana Zoya berdecak. "Udah ah. Ngga usah minta maaf. Salah kamu juga bukan. Eeeh ... Iya, Kei. Nanti pakai dong blazer yang aku kasih ke kamu itu. Masa ngga pernah kamu pakai, sih."

"Blazer?"

"Ya ampun. Pasti kamu lupa, kan?"

Tampak mengingat-ingat karena Keira banyak menerima barang pemberian dari Zoya hingga lupa balzer yang mana yang Zoya beri padanya. Bibir wanita itu lalu membulat saat ingat dengan pemberian terakhir Zoya yang seperti masih berada dalam paperbag.

Masalahnya barang yang Zoya beri selalu tak sesuai dengan seleranya namun tak enak hati jika menolak.

"Oh yang itu? Iya aku ingat."

Lalu terdengar desah lwga Zoya. "Aku pikir kamu hilangin."

Keira tersenyum saja. Walau tak suka, tak mungkin juga ia membuangnya.

Barang pemberian Zoya selalu ia simpan. Namun tak semuanya ia simpan.

Seperti jepit rambut, anting, gelang dan perhiasan yang terlalu girly, biasanya jarang Keira gunakan kecuali Zoya memaksa. Namun jam tangan dan sepatu yang temannya itu beri, masih sering Keira pakai walau hanya sesekali juga.

Tapi sebagai orang yang cukup tahu diri. Keira tak mungkin hanya menerima saja tanpa memberi kembali. Biasanya jika Zoya memberikan ia sesuatu, maka ia juga akan membalasnya dengan sesuatu.

Dan apa yang Keira beri, selalu yang lebih baik.

"Ya udah kalau gitu, Kei. Sampai ketemu nanti malam."

"Oke, Zoya." Menyudahi panggilan dengan salam.

Keira lalu bermain ponsel sembari menunggu kedatangan ketiga rekan kerjanya, sementara itu, di sisi lain, di tempat di mana Zoya berada. Wanita yang senyumnya selalu berhasil memikat lawan jenis yang menjadikan visual sebagai daya tarik utama dari seorang wanita itu membawa kembali ponselnya ke saku celana dan dengan senyum cerah membingkai wajah, ia kembali bergabung dengan rekan kerja lainnya yang sedang berbincang di salah satu meja di kantin perusahaan.

"Ya gue sih yakin kalau mba Mima udah jadi simpanan sejak lama pak Yasa. Tapi kok pak Yasa doyan, ya?"

"Mungkin dia sukanya yang berlemak gitu. Iiuuwwh!"

Mendengar bisik-bisik nakal rekan kerja yang membicarakan hubungan direktur CG Kontruksi dengan asistennya yang mencipta berita panas itu, Zoya lalu duduk tanpa lenyapkak senyuman di wajah.

"Darimana Zo?"

"Dari toilet tadi," jawabnya atas pertanyaan salah satu rekan sementara lirikan mata ia lempar dengan hati-hati ke arah meja lain yang dihuni oleh salah satu orang yang sedang rekannya bicarakan. "Suara kalian keras banget, nanti mba Mima dengar, loh."

"Mau dia denger juga pasti ngga peduli. Ya ampun. Gila ya, dia? Balik ke sini lagi ninggalin lakiknya."

"Ya mungkin yang pak Yasa lebih gedooong!"

Kemudian mereka tertawa kecuali Zoya yang hanya menggelengkan kepala. "Udah ih. Aku ngga mau kalian kena marah pak Yasa gara-gara ngomongin mba Mima. Udah cukup Difa aja korbannya."

"Uuh Zoya yang perhatian." Seorang wanita di sampingnya memeluk lengannya. "Iya. Kasihan Difa. Sekarang tuh anak ke mana, ya? Ngga keliatan."

"Nanti juga dia datang." Menarik gelas minum yang ia tinggalkan tadi, Zoya kemudian melirik salah seorang wanita yang duduk di meja yang sama dengannya. Tampak sedang menikmati makan siang sambil berbincang dengan teman sejawat di sampingnya. "Eh Lis. Blazer yang lo bilang hilang itu udah ketemu?"

Lisa yang baru akan menyendokkan makanan ke mulut kontan melirik ke arah Zoya sebelum bibir memberengut sedih dan bahu jatuh merosot, lesu. "Ngga ketemu. Sedih gue."

"Itu mahal pasti, ya?" Zoya tampak ikut prihatin.

"Hadiah dari pacarnya itu Zo." Lalu teman di sampingnya menjawab. "Padahal bagus banget. Masih baru pula."

"Nyesel ih gue bawa kerja waktu itu," timpal Lisa yang kemudian meletakkan sendok, tak melanjutkan makan karena mendadak tak nafsu.

Ia kehilangan blazer miliknya beberapa waktu lalu dan hingga kini tak ada yang menemukannya.

"Iya. Sayang banget." Terlihat ikut bersimpati, Zoya kemudian menarik napas seolah ia baru saja teringat sesuatu. "Oh ya, ntar malam ikut gue, yuk? Kalian yang bisa. Keira ngajakin untuk kumpul bareng tim." Kemudian perhatian jatuh pada Lisa yang masih terlihat lesu. "Lo harus ikut ya, Lis. Kan kos-kosan kita satu arah. Biar gue ada temen berangkatnya."

With love,

Karena ini hanya side story. Jadi ini dipastikan ngga panjang yah. Semoga ngga panjang. Aaamiiiinn!!

Greya
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Extrapart Satu
372
34
Hanya ada di Karyakarsa yaah. Di buku ngga ada dan terpisah dari paket.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan