Mati Rasa : Enam

134
32
Deskripsi

Kabar yang Juwita bawa seperti angin segar yang melegakan dada. Sejak Aiden dipindah di divisinya, sepanjang hari, hanya ketidaknyamanan yang Haraz dapatkan. Bagaimanapun, selama ini ia selalu berhasil membuat Husein mengirim Aiden bekerja di luar perusahaan pusat, seperti beberapa sepupunya yang lain, lantaran menganggap mereka sebagai batu kerikil yang menghalangi kesuksesannya. Namun saat tiba-tiba tanpa konfirmasi kepadanya, anak kedua dari Edna itu berada di bawah kepemimpinannya.

Suara bisik-bisik kala itu terdengar sangat berisik. Mengatakan Aiden akan menggantikan posisinya, yang dianggap tak mampu menjabat posisi direktur terlebih ketika Aiden yang hanya menjadi karyawan biasa, menunjukkan kualitas kerja yang jelas.

Sejak awal, Haraz telah menjadikan AIden sebagai salah satu lawan yang harus disingkirkan. Lalu tiba-tiba pria itu datang ke tempat yang tak seharusnya Aiden datangi, namun alih-alih mundur dengan berbagai perundungan yang ia buat bersama anak buahnya, pria itu malah menunjukkan keberanian yang semakin jelas.

Haraz semakin membenci. Namun ternyata ia hanya perlu menahan rasa muak ini selama satu tahun saja, karena dalam hitungan hari, Aiden akan keluar dari divisinya ini. Ah ... tidak. Bukan hanya dari divisi ini saja, namun juga dari perusahaan ini. Aiden akan dibuang lagi dan kali ini lebih jauh lagi.

Perkebunan dan pabrik teh di Kendal yang saat ini memiliki berbagai masalah karena kurangnya perhatian dari Husein Shadan.

Membawa pria itu ke sana, untuk mengatasi masalah yang ada. Sama dengan membiarkan kemampuan Aiden menyusut dan layu.

Perkebunan!

Anak yang terbiasa duduk di dalam ruangan itu memangnya bisa apa?!

Tapi malangnya lagi, Aiden tak dapat mengeluh. Memangnya sejak kapan Husein akan mendengarkan protes pria yang sudah dianggap pembangkang dalam keluarga itu? Apalagi sejak melakukan tindakan bar-bar kepadanya, beberapa belas tahun silam. Aiden si anak tukang roti, memperlihatkan dengan jelas darah siapa yang mengalir di dalam tubuhnya.

Darah orang rendahan yang Husein Shadan benci. Darah Prahlad, si miskin yang  mengabdikan diri menjadi kacung keluarga Shadan,namun masih tak mendapatkan simpati.

"Kasihan. Hahaha! Kasihan."

"Apa Aiden kita panggil sekarang, pak?"

Menghentikan tawa gembiranya, Haraz lalu menatap Inara yang memiliki meja kerja sendiri di sisi samping, tak jauh dari pintu. "Iya. Hahaha!" Haraz tertawa kembali yang tampak seperti penghiburan untuk Inara yang tersenyum lebar. "Panggil si brengsek itu. Panggil dia sekarang."

Gegas berdiri lantaran tak sabar juga melihat respon Aiden yang pasti akan seperti kepiting rebus, Inara langsung memanggil cucu Husein Shadan yang di dalam keluarga besar itu terkenal tak mendapatkan perhatian dari kakeknya. Namun baru beberapa saat keluar, Inara yang menggerai rambutnya hingga menyentuh punggung itu, kembali masuk dengan bibir cemberut.

"Dia belum datang, pak."

Haraz yang menatap pemandangan gedung-gedung tinggi di balik meja kerjanya, memutar kursinya kembali agar dapat menatap Inara. "Si brengsek itu belum datang?"

"Iya, pak."

"Cih! Dia pikir dia siapa?!"

"Ngga apa-apa, pak. Nanti dia pasti langsung ke sini, kok." Tak mau merusak kebahagiaan Haraz, Inara segera menenangkan hati Haraz yang hendak marah hingga pria itu tertawa lagi.

"Ya. Ya. Dia akan ke sini. Hahaha!"

Menyalakan sebatang rokok yang ia ambil dari lacinya, Haraz segera menghisap benda yang menjatuhkan butiran abu yang membuat ia kembali tertawa. Dia sudah seperti orang gila, terlebih ketika membayangkan Aiden yang tampak seperti abu rokok yang berterbangan tanpa tahu arah sebelum kemudian lenyap, bergabung dengan tanah.

Dengan kebahagiaan yang tak terganggu meski ia harus menunggu. Tanpa sadar, hanya untuk menyampaikan berita baik--baginya--ini kepada Aiden, Haraz telah menghabiskan beberapa puntung rokok, sampai ketika ia dengar pintu diketuk, dan dari Inara, ia tahu Aiden yang mendatanginya.

Mencipta senyuman culas, ia yang mematikan api di ujung puntung rokok yang baru ia hisap setengah, kemudian langsung menatap layar komputer, berlagak kerja, hanya untuk menunjukkan kuasanya pada AIden yang masuk dan masih bisa memasang wajah angkuh.

Lihat seberapa jauh kamu bisa bersikap sombong Aiden.

Ejek hatinya yang masih merasa jumawa, karena akhirnya dapat melihat langsung bagaimana AIden dibuang dari tempat ini.

"Suruh dia tunggu di sana dulu."

Tidak berbicara pada Aiden yang akan ia buat menunggu, seperti dirinya yang menunggu pria itu. Haraz memberi titah pada Inara yang menyembunyikan senyuman licik setelah dapat membaca rencana atasannya.

Aiden akan menjadi benda mati tak berguna di salah satu tempat di ruangan ini. 

Satu jam berlalu, dua jam terlewati. Aiden yang masih diam tanpa protes itu menjadi bahan lelucon untuk Haraz, Inara dan beberapa rekan yang masuk dan melihat pria itu hanya diam tak melakukan apapun. 

Aiden yang malang.

Bahkan setelah jam makan siang tiba, Haraz yang keluar tanpa mengatakan apapun pada Aiden yang masih menunggu sambil menahan amarah, kemudian keluar bersama Haraz yang kemudian memberinya titah setibanya di ruang.

"Suruh dia menemui aku di rooftop."

"Oh ... baik, pak," jawab Inara senang hati.

Tersenyum puas, merasakan diri berada di puncak kesenangan yang jarang ia injak, Haraz kemudian menuju tempat ia biasa berkumpul dengan para bawahan yang setia mengikuti dirinya.

"Jadi, dia masih di ruangan lo, Raz? Hahaha! kasian banget."

Mengisap ujung empuk rokoknya yang mengeluarkan asap lembut beraroma tajam, Haraz yang bersandar pada salah satu pagar dinding itu mengangguk. "Itu hukuman untuk orang yang udah berani buat gue nunggu!"

"Yes! Calon pemimpin Suluh Shadan, ngga seharusnya diremehkan." Lalu pria yang berdiri di sampingnya memberikan sanjungan yang kian mengembangkan dada Haraz yang terus bermimpi akan menggantikan posisi Husein.

"Oh ya, gimana soal Juwita? Ada yang menangin tantangannya?!"

"Ah ... sial! Sok jual mahal tuh simpanan! Jangankan pacaran! Gue ajak makan malam aja nolak!"

"Heh, Wo! Dia sudah sampai ke Berlin, loh, cuma untuk breakfast aja! Ya wajar kalau nolak ajakan makan malam lo yang mentok-mentok cuma lo bawa ke restoran bintang satu! Seenggaknya, ke Lombok, lah!"

"Aduh ... cuma untuk bekasan pak Husein, ngajakin dia ke Lombok?!"

Tertawa seolah membicarakan kakeknya adalah hiburan yang menyenangkan, Haraz lalu memukul pundak Bowo yang tiga bulan lalu berkata akan berhasil menaklukan hati Juwita demi uang beberapa juta, namun jangankan luluh, sepertinya memandang ia saja, Juwita jijik.

"Ayolah, Wo. Mata lo ngga kedip tiap Juwita lewat."

Wajah kontan memerah, Bowo yang mendengar ucapan Haraz barusan, kemudian tertawa malu

"Serius, kalau dia mau, ke Bali juga hayo gue, mah!" Kemudian temannya yang lain menimpali dan Haraz mengangguk setuju.

"Sikap jual mahalnya itu...." Haraz menyeringai ketika membayangkan betapa nakal baginya Juwita dengan wajah yang ketus dan kata-kata yang tajam. "Kalau aja bukan simpanan kakek gue."

"Siapa yang peduli, Raz? Kalau mau sih, sikat aja."

"Masalahnya, Haraz juga ngga bisa luluhin tuh tembok es Antartika."

Senyum seketika lenyap, Haraz yang merasa kemampuannya dalam mengambil hati Juwita diremehkan langsung menatap bawahan yang baru saja menghina dirinya. "Jadi lo nganggap gue ngga mampu?" Dengan dingin berkata membuat pria yang baru saja berucap seolah tengah meremehkan dirinya menelan saliva dengan debar ketakutan.

"Ha?" Lelaki berkumis tipis itu langsung gemetar bersama binar mata yang bergetar. "Eng ... nggak, bos!" Lalu tawa sumbangnya keluar seperti ringkikan kuda. "Tuh perempuan aja yang  ... yang ngga sadar kemampuan lo. Ya, kan?" Kemudian dengan tubuh yang masih berguncang karena sorot mata Haraz yang tajam, pria itu mengeluarkan korek api dan tangannya yang gemetar itu membantu menyalakan ujung batang rokok yang baru menempel di bibir Haraz. "Gue ... gue salah ngomong, Raz."

Mendongak, menjepit dan menghisap batang rokok di bibirnya, Haraz lalu mengangguk sambil membuang asap dari bibirnya ke udara.

Yah ... Tak sepatutnya calon pemilik Suluh Shadan diremehkan. "Gue cuma terlalu lembut aja sama dia!" Tak dapat Haraz bayangkan jika akhrinya nanti ia telah lelah menanggapi sikap angkuh Juwita. Wanita itu pasti tak akan mampu menghadapi murkanya.

Lihat saja, siapa yang akan memohon nantinya.

"Dan apa kabar Nando yang katanya masih mendekati Juwita? Ini sudah lima bulan."

Melupakan ucapan sembarangan dari bawahan yang sekarang hanya diam, terlebih rekannya yang lain, menatap rekannya itu penuh kebencian, Haraz menanyakan kabar bawahannya yang lain, yang mengambil tantangan darinya juga. Masih tantangan yang sama, yaitu menaklukan Juwita.

Setelah ada begitu banyak tantangan yang menyenangkan yang ia buat, Juwita masih menjadi tantangan yang paling sulit untuk ditaklukan. 

Ah ... Juwita.

Hasrat Haraz semakin rakus jika membayangkan wanita itu.

"Eh bos, itu Aiden!"

Pandangannya seketika lurus ke depan ketika mendengar bisikan salah seorang yang berdiri di sekitarnya seolah ia pusat dunia, Haraz kemudian mengembangkan senyumnya.

Aiden.

Akhirnya sepupunya ini datang juga.

*

Amarah yang mengalir deras, selaras dengan dendam yang berpaku keras. Hatinya mendidih oleh riak benci yang menggelegak, namun mengingat bagaimana ibu yang memohon agar ia tak terdepak dan ayah yang tak mau ia bertindak, membuatnya terpaksa untuk tak memberontak.

Namun pria itu tahu, kesabarannya serapuh kaca yang mudah pecah. Hingga tiap penghinaan yang ia dapatkan, menjadi duri yang semakin menumpuk di dalam hati dan suatu saat nanti, mungkin semesta tak akan mampu menghalangi pabila murkanya tak dapat terbendung lagi.

Hah ... Namun Aiden menahannya kali ini. Lagi, demi mereka yang harus ia lindungi, Aiden harus menahan diri untuk tak menghancurkan setidaknya salah satu tulang yang melekat di dalam tubuh Haraz.

Si mulut besar yang selalu berlindung di balik nama Shadan dan predikat cucu yang disayangi. Akan ada saatnya pria itu tak bisa menjadikan Husein Shadan sebagai perisai lagi.

"Sial!" Memukul tembok di samping tubuhnya yang tengah menaiki anak tangga satu persatu itu, Aiden kemudian diam, hentikan langkah untuk mengendalikan amarah.

Mereka akan bertemu di puncak gedung dua puluh lantai ini, dan ia tak mau ada salah satu dari kawanan Haraz jatuh terlempar dari tempat itu.

Aiden tahu ia bisa melakukannya, Namun hal itu lah yang membuat ia ngeri karena membayangkannya. Maka, jika tak mau terjadi hal yang bahkan tak ia ingini saat ini, Amarah ini harus berhenti di sini.

"Haah ... sialan! Brengsek!"

Abai pada beberapa orang yang melewati dirinya yang menatap aneh dan ngeri karena ia tak menutupi ekspresi marah, Aiden kemudian menarik napasnya dalam-dalam sekali lagi sebelum melanjutkan langkahnya untuk tiba di hadapan Haraz yang telah menanti.

Kay yang lucu, dan Key yang nakal. Bayangkan mereka saja, Bayangkan mereka saja.

Oh ... keponakan kembarnya, laki-laki dan perempuan yang menggemaskan. Membayangkan wajah lucu mereka, berhasil mengubur sedikit amarah Aiden.

Kay lucu, Key nakal. Anak-anak manis, om.

Ngeeeeekk!

Bunyi derit pintu besi yang mengganggu ketika ia membukanya. Aiden yang bahkan tak sadar telah melepas kemeja yang ia gunakan dan kini tersampir di lengannya itu mendengkus samar ketika di hadapannya sudah berdiri Haraz yang ditemani kawanan pria itu yang berlagak bak bodyguard, di belakang.

Haraz, adalah si congkak culas yang tak akan berani berhadapan dengannya sendirian. 

Tampaknya karena takut kejadian lima belas tahun lalu terulang, di mana ia membalaskan dendamnya dengan menghajar Haraz dan satu sepupunya yang lain karena beberapa bulan sebelumnya, ia dikeroyok oleh teman-teman cucu kesayangan Husein itu tanpa ada masalah apapun sebelumnya.

Perundungan memang selalu ia dapatkan. Hanya saja, mengeroyoknya kala itu sudah menjadi kejahatan yang tak terampuni. Jadi, Aiden yang hanya diminta untuk memaafkan Haraz dan sepupunya yang lain, memutuskan untuk mengambil kelas Karate dan Taekwondo agar dapat mengalahkan orang-orang yang sudah memukulinya termasuk Haraz yang kala itu sampai kehilangan dua buah gigi.

Oh, Haraz saat ini menggunakan gigi palsu yang hanya diketahui oleh keluarga Shadan dan pihak medis yang menanganinya kala itu saja.

Kenang-kenangan manis yang tampaknya tak membuat Haraz benar-benar trauma hingga masih berani mencoba memancing emosinya.

"Aiden!"

Suara lantang dan sumbang yang paling ia benci memanggil namanya dengan begitu akrab, membuat Aiden harus mendengkus lagi.

Rasanya jijik sekali menatap Haraz saat ini.

"Ah ... gue sibuk banget sampai ngga bisa langsung--"

"Tidak perlu berbasa-basi lagi. Katakan sekarang, atau ... aku benar-benar akan mengabaikan kamu sebagai atasanku."

Dengan nada angkuh dan tak peduli. Aiden yang tahu hanya ada basa-basi busuk yang keluar dari bibir Haraz itu segera menginterupsi ucapan sepupunya yang segera melenyapkan ramah di wajah.

Begitulah wajah tanpa topeng yang ingin Aiden hadapi karena ia benci kepura-puraan Haraz selama ini.

Pria itu berlagak simpati hanya untuk mendapatkan prediket sepupu yang baik hati.

Culas sekali.

"Heh! Apa si pedagang kue itu ngga ngajarin lo sopan santun? Kayaknya pak Haraz terlalu ngasih lo hati sampai lo berani ngelunjak beg--"

Bugh!

"AAaaahh!"

Pria yang berjarak lebih dari satu meter dari Aiden, yang berani membawa Prahlad dalam pertemuan ini, dalam sekejap mata mendapatkan salam manis di sepasang mata dari sabetan jas hitam Aiden yang kembali menatap lurus pada Haraz tanpa mimik berdosa.

"Brengsek!"

Plak!!!

Sebuah tamparan keras dari Haraz yang tiba-tiba menghadap pria yang baru saja mendapatkan sabetan di mata.

"Kamu tidak berhak menghina adikku!"

"Ma ... maaf!" Mata yang memerah hingga mengeluarkan air mata itu masih begitu pedih dan kini tamparan di pipi meradang, menimbulkan nyeri. Alih-alih protes dan membalas perbuatan Haraz yang malah membela Aiden setelah ia membela atasannya ini, pria itu hanya menunduk dan meminta maaf.

Permintaan maaf yang diucapkan dengan tubuh gemetar, menahan marah. Entah marah kepada Aiden atau Haraz yang jelas-jelas tak memiliki secuil nurani untuk para keturunan Shadan yang dianggap saingan.

"Cih!" Tak tersanjung, melainkan jijik dengan sikap Haraz, Aiden lalu memutar bola matanya, merasa muak. 

Drama Indonesia yang masih tetap tayang di televisi terlihat lebih baik ketimbang drama yang sedang Haraz buat dengan anak buahnya ini.

Membuat mual saja!

"Aku tahu. Aku tahu, Aiden. Kamu menganggap kebaikanku ini tidak tulus." Mendengar decih jijik sepupunya, Haraz bersuara dan menatapnya dengan cebik kecewa namun hanya sepersekian detik saja sebelum senyum culasnya terbit. "Baiklah, Aiden. Aku juga tidak mau membuang waktu terlalu lama. Jadi...."

Mengeluarkan lipatan surat dari saku celananya, Haraz menyerahkan itu pada bawahan di sampingnya untuk menyerahkan kepada Aiden. "Aku tidak bisa membantu banyak untuk hal ini, Aiden. Juwita tidak mau mendengarkan saranku, jadi...."

Menggantung ucapannya dan membiarkan Aiden membuka surat yang sudah diterima pria itu dulu, Haraz yang mengangguk-angguk itu kembali bersuara. "Sepertinya kamu sudah menyinggung hati kesayangan kakek kita, Aiden."

Untuk sesaat Haraz merasa telah melihat wajah tegang Aiden yang ia harap terguncang oleh surat keterangan pemindahan kerja Aiden, namun karena hanya sekelebat saja, ia jadi ragu apakah Aiden memang terkejut dengan berita ini.

Menautkan alis yang kaku, merasa aneh dengan sikap tenang yang Aiden tunjukkan padahal ia merasa tak salah membawa surat. Haraz lalu berdeham.

Bagaimanapun ia tak boleh menunjukkan kekecewaanya atas respon Aiden yang tak sesuai dengan ekspektasi.

Tapi ini benar-benar ingin membuat Haraz memaki.

"Yang membuat kamu ada di perusahaan ini adalah Juwita, dan sekarang yang membuat kamu terbuang ke Kendal sana, juga Juwita. Apa kamu membuat dia sakit hati? Kenapa? Apakah ... Kenyataan kalau dia lebih penting ketimbang kamu dan keluarga kamu itu membuat kamu kecewa, jadi ... kamu menyinggung perasaan Juwita?"

Hatinya terguncang, sesaat ia tunjukan keterkejutan. Namun enggan kekecewaannya ini terendus oleh Haraz yang akan semakin bahagia, Aiden perlahan mengangkat pandangannya dari kertas yang ia baca menuju wajah cerah Haraz yang masih saja berlagak simpati padahal lagi-lagi pria itu memprovokasi.

Juwita yang mendapatkan apartemen dari Husein sama seperti sepupunya yang lain sementara kado paling mahal dari sang kakek untuk Aiden hanya lah sebuah laptop untuk bekerja, menjadi olok-olokan yang ke sekian dari Haraz untuk dirinya, setelah dulu Juwita mendapat hadiah mobil dari Husein yang hanya memberi Aiden motor untuknya bekerja ketika ditempatkan di anak perusahaan Suluh Shadan yang ada di Bandung.

Haraz dan beberapa sepupu yang berada di pihak cucu pertama keluarga Shadan itu, membandingkan ia denganJuwita yang bukan siapa-siapa namun mendapatkan tempat spesial di hati Husein Shadan, sementara Aiden yang cucunya hanya mendapatkan rasa tak suka saja.

Ada banyak perbandingan-perbandingan yang ia dapatkan. Bahkan ibu dan ayahnya pun ikut ke dalam provokasi sebagai orang yang mencoba mengambil simpati Husein Shadan, namun perhatian si kepala keluarga tetap jatuh lebih banyak kepada Juwita.

Namun selama ini Aiden tak pernah terprovokasi. Aiden hanya mengabaikannya. Bahkan setelah ia begitu marah pada Juwita yang dapat bergabung di meja makan yang harusnya hanya diisi oleh keluarga sementara Prahlad tak mendapatkan satu kursi pun untuk diduduki, Aiden masih dapat meredam emosinya, meski bukan berarti ia menyukai Juwita.

Tapi kemudian, hari ini ia dibuang jauh ke Kendal setelah baru satu tahun dapat berkumpul lagi dengan keluarganya, dan bagian yang tak ia pahami adalah Juwita yang memberi saran ini. 

Benarkah Juwita yang membuat ia terusir dari perusahaan ini?

Ah ... tidak ... tidak!

Sialan! Jangan terhasut, bodoh!

Bahkan meski ia tak menyukai Juwita, juga bukan salah wanita itu jika mendapatkan perhatian lebih besar dari Husein ketimbang ia dan keluarganya, Aiden tetap tak boleh berprasangka.

Tidak.

Aiden tak akan mempercayai kata-kata Haraz yang ingin ia merasa kecil hati dan kemudian memutuskan mundur dari perusahaan Suluh Shadan.

Ah ... Aiden akan mundur. Tentu ia akan mundur. Tapi bukan sekarang.

PC Indonesia yang ia bangun dengan teman-temannya masih membutuhkan banyak dana untuk berkembang dan selain itu, ia masih harus membangun tembok yang tinggi untuk melindungi apa yang ia punya dari Husein Shadan yang tak akan suka jika tahu ia memilih untuk maju dengan kaki dan tangannya sendiri. Usahanya, teman-temannya, keluarganya. Husein Shadan yang pasti akan merasa tersentil egonya, pasti akan menghancurkan semuanya.

"Belum ada keterangan waktu, kapan tepatnya aku harus berangkat. Jadi...." Menguatkan hati di hadapan Haraz yang tak boleh mendapatkan celah untuk semakin mengejeknya, Aiden mengangkat sekali kertas di tangannya. "Tidak perlu membuatku menunggu seperti tadi dan jangan coba-coba mengulangi." Aiden memberikan tatapan mengancam. "Kabari saja informasi selanjutnya."

Kemudian dengan mudah ia ukir senyum setelah sebelumnya menatap seolah ingin menerkam orang, Aiden yang berhasil mencipta ekspresi terkejut dan tertekan Haraz pun dengan para kacung pria itu berbalik dan dalam sekejapan mata, ekspresi tenangnya berubah menjadi gelap gulita.

Pindah lagi.

Pria yang berhasil menyembunyikan rasa kesalnya akan berita pemindahannya ini, kemudian melangkah sambil mengeluh dalam hati.

Padahal sebulan lagi keponakan kesayangannya akan merayakan ulang tahun, tapi ia harus pergi.

Oh ... Aiden jadi tak bersemangat.

Kay ... Key ... Kenapa aku harus jauh dari mereka?! Sialan! Husein Sialan! Si tua bangka sialan!

Kalau tak ingat ibunya, ingin sekali Aiden sumpahin kakeknya itu agar cepat ... Tobat!

Tobat!

Siapa yang mengira ia akan mendoakan Husein agar cepat mati?!!

Sial!

Kenapa dia belum sekarat-sekarat juga?!

Tbc....

ngga loh, yaah. Aiden ngga seneng dipindah jauuh. Soalnya dia dari tamat SMA tuh udah jauh dari keluarga. Terus baru bareng-bareng setahun dah mau dipindah lagi. Sedih hati brondong kita yang punya hati selembut Spongebob ,meski bagi Juwita dia Squidward.

With love,

Greya

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mati Rasa : Tujuh
136
43
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan