Kisah Yang Kan Pisah - Sepuluh

355
116
Deskripsi

Part Sepuluh

 

Aku ingin mencumbumu
Layaknya mentari yang menembus tetes hujan
Hingga pelangi tercipta dalam pergumulan

Aku ingin merasaimu
Menjadikan kita satu
Seperti kopi dalam didihnya air
Berpadu mencipta aroma yang syahdu

Aku ingin milikimu...

Tapi kali ini entah seperti apa
Karena aku dan kamu
Hanyalah sebuah angan semu
 

Tak mampu pejamkan mata meski sudah hampir dua jam berada di pembaringan, Xaveer yang terlihat gelisah berulang kali mengecak ponselnya.

Ada hal yang ia tunggu. Sesuatu yang sebenarnya bisa ia pastikan sendiri namun entah mengapa tak bisa ia lakukan.

Terlihat cemas meski tahu perasaan itu tak berguna sama sekali, ketika ponsel yang ia letakkan di atas dada bergetar, Xaveer segera melihat pesan yang sudah begitu ia nantikan.

Berharap itu bukan notifikasi dari hal yang tak ia inginkan, senyum segera melebar ketika pesan masuk di aplikasi berlogo telepon berwarna hijau itu dari nama kontak Aldi, orang yang ia titahkan untuk mengikuti Ivanka kemanapun wanita itu pergi.

Sejak ia sadar ada orang yang mengikuti sang istri bahkan berulang kali mondar-mandir di depan rumahnya tanpa Ivanka sadari, Xaveer memerintahkan Aldi untuk mengawasi istrinya setelah di depan matanya sendiri seseorang ingin menikam wanita itu dari belakang.

Pagi itu perasaan tak enak menggelayuti hingga ia putuskan untuk mengikuti diam-diam Ivanka yang mengaku ingin lari pagi. Dan ya ... Firasatnya tak meleset. Seseorang ingin melukai istrinya dan dengan sigap Xaveer menangkis tindakan itu meski kemudian lengannya yang tergores ujung pisau pemotong daging itu.

Jadilah sejak itu Aldi menjadi pengawal jarak jauh untuk Ivanka yang tak pernah menoleh ke belakang ketika berjalan.

Sesungguhnya di balik sikapnya yang keras, Ivanka cukup naif.

"Dia baru pulang?" Pria itu bergumam sebelum mengetikkan balasan pada Aldi yang mengirimkan beberapa foto Ivanka yang baru tiba di rumah dengan menggunakan taksi.

Aldi : ya pak. Dalam keadaan mabuk. Oh ya.

Aldi : (send picture) roti dari bapak diberi ke anjing di dekat kotak sampah.

Napas Xaveer seketika itu tertahan Ketika melihat foto di mana Ivanka letakkan dalam keadaan terbuka roti pemberiannya kepada seekor anjing.

Ah ... Dia merasakan sakit di antara selangkangannya sebelum kemudian merambat ke hati.

Aldi : tapi saya tidak sempat memfotonya pak. Setidaknya satu bola bapak dia makan.

Napas Xaveer kian tertahan.

Sepertinya Ivanka benar-benar ingin menghancurkan miliknya.

Me : itu bukan bolaku Aldi! Itu kue!

Aldi : ah ya. Maaf pak ☺️☺️

Me : kayaknya kamu mulai gila!

Aldi : satu tahun mengikuti nona Ivanka. Tidak mungkin saya masih waras pal.

Aldi : saya butuh tugas lain 😭

Aldi : saya mohon.

Aldi : setelah gila. Sepertinya saya akan mati kebosanan.😵😵

Me : kamu menangisi pekerjaan?! Kalau begitu jadilah pengangguran!

Me : berhenti mengirim pesan dengan emot menjijikan itu!

Aldi : SAYA MENCINTAI PEKERJAAN SAYA PAK! 😍😍😍

Tatapan Xaveer menjadi dingin seketika.

Sepertinya besok dia akan menghajar Aldi.

Aldi : ah pak. Saya pikir daripada menunggu kabar dari saya tentang non ivanka. Mengapa tidak hubungi saja langsung?

Aldi : sekalian meminta maaf karena sudah menurunkan dia begitu saja

Hati itu terpukul oleh pesan yang disampaikan Aldi.

Dia memang sudab membuat kesalahan. Tapi ... Menyakiti Ivanka seperti sebuah kesenangan dan derita yang terjadi dalam satu waktu yang sama.

Me : jangan mengajari.

Keluar dari ruang obrolan bersama Aldi yang pastinya tak membalas pesannya lagi. Xaveer membuka album di ponsel hanya untuk melihat beberapa foto yang Aldi kirimkan untuknya. Satupun tak ada yang ia hapus.

"Itu siapa pa?"

Terbelalak mendengar tanya dari serak parau di belakangnya, Xaveer lalu berbalik dan melihat Gustav yang terbangun.

"Sinar hape papa ganggu, ya?"

Bocah yang terlihat lemas itu menggeleng dengan senyum tipisnya. "Dia siapa?"

Mematikan ponselnya, Xaveer lalu memeluk sang putra. "Teman. Ayo sekarang tid--"

"Teman yang mau rebut papa dari mama?"

"Heey." Pertanyaan itu membuat Xaveer terperanjat. "Siapa yang bilang begitu?"

Bibir putranya menekuk. "Papa marah?" Raut Xaveer memang tampak berbeda. Namun tak mau menakuti putranya pria itu lalu tersenyum.

"Papa ngga marah."

"Mama yang bilang."

Desah panjang Xaveer terdengar.

Ya ... Satu-satunya orang yang bisa mencuci otak putranya tentulah hanya Ghina.

"Papa ... Apa papa mau ninggalin Gustav demi teman papa itu?"

Bibir bawah segera Xaveer gigit ketika nyeri menghantam dada. "Apa papa pernah tinggalin Gustav selama ini?"

Bocah lelaki itu menggeleng. Namun di bawah sinar lampu tidur yang redup, ia tak bisa tutup air matanya. "Papa jangan pergi."

"Ngga akan. Papa ngga akan pernah pergi dari kamu. Lagian sekarang kita jadi lebih sering ketemu, kan? Dulu ... Kita malah jauhan."

Gustav lalu mengangguk. Begitu cepat suasana hati bocah itu berubah. "Gustav senang di sini. Ketemu papa setiap hari."

"Ya. Makanya jangan percaya dengan kata siapapun yang bilang papa akan pergi." Ia kemudian cubit gemas hidung putranya. "Karena papa selalu di sini."

"Terima kasih, papa."

"Sama-sama sayang. Sekarang ayo tidur."

"Iya." Memberi Xaveer punggung, namun tangan kecil Gustav menarik tangan sang ayah agar memeluknya. "Papa...."

"Apalagi, nak? Ayolah ini sudah malam. Kita bisa ngobrol besok lagi."

"Tapi ini penting, pa."

"Okee." Xaveer mengalah. "Sekarang bilang."

"Dulu setiap papa nemenin Gustav tidur, pas Gustav kebangun, papa pasti udah ngga ada. Papa selalu nyusul mama ke kamar. Tapi sekarang papa selalu ada tiap Gustav kebangun." Jeda. Bocah yang tampaknya sudah mulai bisa memahami situasi itu terdengar menghela napasnya.  Namun itu seperti sebuah beban untuk Xaveer yang tak pernah bisa memberi penjelasan untuk Gustav yang mulai kritis. "Mama bilang, mama rindu papa." Berbalik lagi menghadap sang ayah tangan mungil itu merangkum wajah Xaveer. "Gustav berani tidur sendiri, kok. Papa boleh temenin mama sekarang."

Ah ... Itu.

Sial!

Xaveer tak bisa memberikan jawaban selain memeluk putranya kemudian ia turun. "Kalau gitu papa ke kamar mama dulu." Lalu ia tinggalkan Gustav tanpa lupa menutup pintu kamar sang putra agar tak melihat apa yang ia lakukan saat ini.

Tidur di sofa depan TV dan memeluk dirinya sendiri yang mulai terlelap tanpa sehelai selimut namun ketika kemudian ia rasakan kehangatan mendekapnya, saat itu ia segera tersadar jika hangat ini berasal dari suhu tubuh yang bukan darinya. Sontak terbangun dan nyaris membuat sosok yang memeluknya menggelinding jatuh, Xaveer memandang terkejut pada Ghina yang entah kapan menyusul dirinya di sini.

"Mas kenapa?"

Pria itu segera turun. "Aku akan pergi kalau kamu melakukan ini!" tegasnya terlihat marah pada Ghina yang hanya bisa.

"Aku merindukan kamu," bisik wanita itu kemudian turun dengan wajah tertunduk. "Maaf." Kemudian pergi tinggalkan Xaveer yang hanya mampu meremas jemarinya sendiri dengan kuat.

*

Di tempat yang sama, Gazebo belakang rumah. Kertas-kertas yang ia terima barusan dari Damian dirinya buang nyaris ke wajah orang kepercayaan yang terlalu banyak berleha-leha setelah ia berikan posisi paling baik.

Menjadi tangan kanannya tentu hal yang menguntungkan setelah sebelumnya Damian hanya seorang pelayan.

Tapi bukannya bekerja seperti yang Ivanka inginkan, pria itu malah terlalu banyak kecolongan.

Orang-orang yang Ivanka ingin Damian cari dan melakukan pemeriksaan di restoran miliknya di Senopati sudah memberikan laporannya.

Mereka hanya ditugaskan untuk memesan makanan mahal lalu menghabiskannya tanpa bertanya. Ivanka yang membayar itu semua hanya sekadar untuk memastikan titik masalah di restoran miliknya.

Lalu setelah empat hari, baru Damian meminta laporan dalam seminggu terakhir. Mulai mencocokan dengan struk makan yang diterima orang suruhan.

Hasilnya tentu sesuai dengan dugaan. Andika melakukan kecurangan. Mereka menggunakan dua sistem informasi yang nyaris serupa dengan milik Laime Glory. Membuat input data berbeda di masing-masing sistem. Sistem informasi yang asli tentu saja akan dikurangi atau mengganti setidaknya satu atau dua menu dari pesanan. Tapi itu berbeda dengan yang didapatkan pengunjung.

Dan saat ini Ivanka mendapati beberapa pesanan di laporan yang tak sesuai dengan struk yang didapatkan orang suruhan.

Sialnya pesanan yang dihilangkan adalah menu makanan utama di Laime Glory yang harganya paling mahal.

Sialan sekali.

Semua jajaran yang ia percaya untuk memegang penuh kendali atas Laime Glory di Senopati bekerjasama dengan Andika dan tentunya Beti. Hanya saja Beti cukup jujur untuk mengelola Laine Glory pusat. Ah ... Itu juga pasti karena keberadaan Damian di sana.

"Bu saya benar-benar minta maaf. Setiap kali saya mau ke Senopati, bu Beti selalu ambil tugas itu. Dia bilang saya cukup awasi di pusat. Bahkan ketika saya bisa ke Senopati, semuanya akan bekerjasama untuk menutupi kecurangan. Saya jadi ngga bisa apa-apa."

"Aku bilang berapa kali, sih? Kalau ada hal ganjil, langsung infokan!"

"Iya. Saya minta maaf, bu." Membungkuk berulang kali bersama mimik takut, Damian yang gemetaran di hadapan Ivanka lantas memungut kertas yang atasannya itu buang. "Besok saya akan menindak tegas--"

"Ngga perlu." Damian yang baru meletakkan kembali kertas yang Ivanka buang, menatap atasannya kian takut.

Apakah dia akan dipecat?

Apakah dia sudah tak berguna lagi?

"Aku yang akan kerja di sana." Dia harus tahu siapa saja orang-orang yang harus diseret ke balik jeruji besi dan sekadar dipecat karena melakukan kecurangan di bawah tekanan.

Tentu, ia harus memberikan hukuman yang imbang mesti kemungkinan semua pekerja akan ia ganti.

Tapi ... Tunggu setelah semua bukti dikumpulkan.

"I ... Ibu ibu mau kerja di sana?" Tampak tak setuju dengan keputusan Ivanka, Damian yang jadi kian takut disingkirkan lalu jatuh berlutut. "Ibu ... Ibu mau pecat saya?"

Menatap dengan keryitan dalam pada pria yang memiliki rambut ikal pendek di hadapannya, Ivanka lantas mendesis sebal. "Apa aku bilang mau memecat kamu? Atau memang kamu mau dipecat--"

"Ngga bu!" Damian tangkupkan tangan di depan dada. "Bulan depan saya mau menikah. Saya harus gimana kalau saya dipecat, bu?" Bibir pria yang Ivanka tahu masih berusia dua puluh empat ini bergetar membuat ia tak tahan untuk tak tersenyum geli..

"Kalau begitu bekerja dengan benar." Tangannya lantas terulur untuk mengusap rambut Damian yang sebenarnya ia anggap seperti adiknya sendiri.

Damian selalu mengingatkan ia pada Rafa yang kemarin menghubungi ia hanya untuk mengatakan jika tindakannya yang langsung pulang dari rumah orangtua mereka adalah hal yang jahat.

Bukan karena Rafa mendukung kelakuan Vanya ataupun Irish. Hanya saja ketika tahu Ivanka berkunjung, keesokannya pria itu pulang. Hanya saja kecewa menyambangi ketika tahu jika Ivanka tak menginap.

Padahal Rafa bisa datang ke sini seperti biasanya jika pria itu merindukannya. Tapi ... Memang momen berkumpul dengan keluarga secara utuh itu berbeda. Hanya saja ... Ivanka tak pernah menikmati perkumpulan keluarga.

Terlalu membosankan dan ... Menyakitkan.

"Terima kasih, bu."

Menarik mundur tangannya, Ivanka mendapati Damian yang menunduk malu. Sesaat ia dapati rona merah di pipi pria itu.

Ugh ... Andai Damian tak akan segera menikah, barangkali ia bisa menjadikan pria ini sebagai simpanannya?

Ya ... Setidaknya jika menjadi kaki tangan tak cukup memuaskan.

Simpanan.

Ivanka mulai gila tampaknya.

Apalagi setelah satu minggu tak ada kabar dari suami.

Ah ... Sial!

Mengapa harus pikirkan pria itu lagi!

"Sepagi ini istriku didatangi siapa?"

Eeh ... Eeh?

Suara itu.

Ivanka yang masih tersenyum menatap ekspresi lucu Damian lalu mengernyit terlebih ketika bawahannya itu segera berdiri dan melihat gugup ke arah belakangnya.

Itu ... Benarkah?

Lalu ikut berdiri, Ivanka menoleh pada sosok yang ia kira sudah lupa jalan ke rumah istri muda.

"Ooh ternyata Damian."

Terlihat tampan namun tak mengurangi sisi angkuh yang menjadi ciri khas Xaveer kecuali ketika ketika tersenyum--seolah senyum itu mampu meluruhkan semua arogansi--Pria itu berjalan mendekat dengan langkah tegap.

Pria yang menjadikan usaha klub malam miliknya sebagai pekerjaan sampingan dan bisnis utama yang dijalani adalah menjadi pelatih sekaligus seorang pengawal bayaran--meski sekarang mulai jarang mengambil tugas itu--berhenti di samping Ivanka yang terlihat tak senang akan kedatangannya.

Tapi ia tak peduli. Tangannya yang tadi berada di saku celana kemudian bergerak untuk menarik tangan kanan Ivanka lalu menyatukan telapak tangan mereka sebelum memberi remasan yang kuat hingga ringisan keluar dari bibir sang istri.

"Sudah selesai kunjungannya Damian?"

Terpaku sesaat pada genggaman posesif Xaveer di tangan Ivanka, Damian lalu mengangguk sebelum ia kemasi kertas-kertas di atas meja dan memasukkan ke dalam tas dengan terburu-buru. "Saya permisi dulu kalau begitu." Kemudian pergi dengan langkah cepat pula.

"Apa-apaan kamu!"

Baru setelah Damian tak berada di sekitarnya, Ivanka yang terlihat tak suka menarik tangannya dari genggaman Xaveer yang ternyata enggan melepaskan.

Menghadap wanita itu, Xaveer kemudian memberikan tatapan yang menghunus tajam pada Ivanka yang memanggilnya dengan sebutan kamu.

Kata panggilan itu hanya digunakan di dua situasi yang berbeda.

Pertama ketika mereka bercinta--itupun kadang tak sengaja.

Kedua hal yang pasti terjadi adalah ketika mereka terlibat perbincangan serius.

Karena saat ini meretak sedang berbagi peluh, maka Xaveer tahu jika Ivanka tak sedang ingin bermain-main sekarang.

"Apa perlu mengusapnya begitu?" Mengangkat tangan Ivanka yang tadi ia lihat memperlakukan Damian begitu manis, Xaveer lalu meletakkan telapak tangan wanita itu di atas kepalanya. "Usap aku sepuas kam--"

Ivanka menarik tangannya turun sebelum kemudian bergerak menjauhi Xaveer yang pulang-pulang hanya membawa bahan perdebatan.

Tak terima diabaikan, Xaveer kembali menarik tangan Ivanka yang tadi terlihat jelas membelai Damian, lalu mengusapnya dengan ujung kemeja yang ia kenakan.

Tak ada kekerasan ketika ia melakukan itu selain sentuhan ringan yang lembut namun itu malah terlihat mengerikan bagi Ivanka.

Xaveer ... Pencemburu.

Tahu jika mereka menjalani hubungan yang terbuka.

Namun pria ini seperti tak membiarkan ia untuk mendekati pria lain bahkan sekadar melirik.

Ingatkan ia ketika tak berkedip melihat pertarungan Nehan di atas ring. Xaveer hanya tak bisa menunjukkan rasa tak sukanya di hadapan Raddine dan Tasyi yang saat itu ikut menonton. Jadi hanya menutup mata Ivanka sembari tersenyum lah yang pria itu lakukan.

Tapi setibanya di rumah, kecemburuan iti baru diperlihatkan. Hanya saja ... Ivanka tak berpikir hal lain selain Xaveer tak mau berbagi.

Bukan masalah hati.

Ivanka ibarat benda yang akan pria itu kagumi sepuasnya sebelum kemudian dilempar menjauh setelah tak berguna.

"Sepertinya aku terlalu menyenangkan kamu, ya?" ucap wanita itu.

Berhenti membersihkan jejak Damian dari tangan Ivanka, Xaveer mengangkat kepala untuk menatap Ivanka dengan pandangan tak mengerti.

Menarik tangannya lagi kali ini Xaveer tak menahannya, Ivanka menyeringai. "Aku pikir menjadi menjengkelkan bisa membuat kamu muak dan menyerah lebih cepat. Tapi ternyata kamu bertahan sampai hanya tersisa enam bulan lagi."

Angin yang menghantarkan hawa hangat di pagi yang mana mentari belum bersinar terlampau terik, membelai kulit sepasang manusia yang terlihat mendidih dengan suasana hati yang tak baik.

Ivanka yang benci ditinggalkan tanpa kabar seolah sebaik itu dirinya hingga Xaveer berhak mengabaikannya.

Sedang Xaveer yang tak bisa melihat bagaimana senyum dan sentuhan lembut Ivanka untuk pria lain selain dirinya.

"Berhenti bertindak seolah aku hanya bisa kamu miliki sendirian." Jeda. "Xaveer." Terdengar tekanan ketika Ivanka sebut nama pria itu. "Kamu mulai membuatku muak."

"Kamu marah?" Tak seperti Ivanka yang berucap tajam, Xaveer bertutur lembut, mencoba untuk menenangkan. "Aku berada di luar kota empat hari ini." Tiga hari yang lain memang ia habiskan waktu bersama Gustav. "Aku tidak menghubungimu. Karena kamu pasti tidak akan menjawabnya."

Bahkan sekalipun Ivanka tak mau menjawab, pria ini harusnya mencoba. Atau ... Bisa mengirimkan pesan yang dapat Ivanka baca ketika hatinya mencoba untuk meluluhkan ego. Tapi Xaveer nyatanya tak lakukan apapun.

Pria ini mengabaikan Ivanka dan kemudian pulang membawa kecemburuan tak berarti.

"Apa aku harus marah?" Dengkus sinis Ivanka meluncur halus. "Aku tidak perlu menguras tenagaku untuk hal yang tidak penting."

"Kamu marah?"

Maka minta maaflah! Bukan terus berusaha memojokkan Ivanka hingga wanita itu yang kemudian berharap agar Xaveer meluluhkan hatinya!

Xaveer sialan!

Hati wanita itu memekik!

Satu minggu menahan diri tanpa pria ini bahkan sekadar suara pun tak mampu ia dengar.

Tak tahukah Xaveer bagaimana tersiksanya ia?

Sial!

Ivanka membenci perasaan ini!

Ia membenci rasa yang mati-matian ia tekan agar tak menguasai rongga kosong di hatinya.

"Kalau begitu besok aku tidak akan menghilang seperti ini lagi."

Apakah Xaveer pikir kekecewaan Ivanka hanya terletak pada hilangnya pria ini selama satu minggu?

Hal paling menyesakkan adalah ketika pria ini tak mencoba untuk menahannya ketika turun dari mobil pada malam itu.

"Tidak perlu." Ivanka menggeleng. Kembali duduk, wanita itu keluarkan rokok dari saku celananya.

Namun ketika ia raba saku lain untuk mencari pematik, ia mengerutkan dahi ketika tak ketemu. Jadilah ia tatap Xaveer dan merogoh kantong pria itu.

Benda yang ia cari ketemu.

Menyalakan selongsong nikotin itu, Ivanka menarik dalam-dalam seolah ada sesak yang ingin ia cabut keluar lalu terbangkan bersama asap.

"Aku terobsesi membuat kamu mundur sebelum tiga tahun pernikahan ini." Mengangkat wajahnya, ia tatap Xaveer yang hanya diam terpaku. "Jangan mengabari aku tentang apapun, dan berhenti mengatur aku tentang apapun."  Meletakkan batang rokok yang berasap di selipan jemari kiri, tangan kanan Ivanka terulur ke atas untuk menarik bahu Xaveer yang benar-benar membisu.

Seketika pria itu tak bisa memikirkan apapun.

"Aku sudah memindah semua barang-barangku ke bawah. Ini rumahmu. Kamar utama milikmu."

Xaveer yang membungkuk mengikuti tarikan tangan Ivanka mengepalkan tangan dengan kuat.

"Aku akan mengubah permainan." Lalu jemari menelusuri wajah sang suami yang terlihat tegang. "Jangan berpikir. Bisa menyentuhku lagi."

Tentang hal ini, Ivanka memikirkannya dengan begitu keras.

Bagaimana pun ia bukan wanita baik-baik yang tak menjadikan seks sebagai prioritas. Oh ya ... Dia adalah jalang yang selalu kehausan. Sayangnya untuk saat ini dan mungkin seterusnya sampai ia bertemu pengganti Xaveer, Ivanka harus menahan diri.

Dahaga yang akan membuat ia kering tak boleh lagi menjadikan ia jalang yang melemparkan diri secara pasrah ke dalam dekapan hangat Xaveer.

Tidak.

Hubungan yang pria ini beri hanya untuk mengikatnya saja. Ia hanya pengganti. Ketika wanita pertama tak bisa memuaskan, Xaveer akan mendatanginya.

"Aku membenci pernikahan ini. Tapi Ivanka tidak pernah mengingkari janji. Aku mengatakan jika batas waktu adalah tiga tahun. Maka mundur atau tidak mundurnya kamu, tiga tahun adalah batas akhir untuk neraka ini. Aku--"

"Diam." Xaveer yang sedari tadi membisu terdengar begitu dingin dan tak tersentuh ketika membungkam Ivanka hanya dengan satu kata saja.

Diam.

"Kamu terlihat ketakutan, Vanka. Kenapa?" Tangan yang membelai wajahnya ia raih lalu perlahan jemari itu dirinya kecup. "Takut aku menaklukan kamu, oh ... Atau sudah?"

Sialan!

Ivanka menahan dengkusannya namun jantung di balik dada jelas menggebu tak karuan.

"Itu asumsimu." Wanita itu memberikan senyuman terbaiknya tak peduli jika hati sudah meronta. "Aku suka. Teruslah berpikir begitu. Ubah itu menjadi harapan. Harapan yang kamu tahu hanya semu."

Menatap dalam ke sepasang netra Ivanka yang menyorot penuh ancaman. Xaveer lantas melirik pada helai rambut terurai Ivanka yang berterbangan. "Baiklah."

Sepasang alis Ivanka bertaut.

Ketika Xaveer tak memperdebatkan ucapannya itu malah seperti sebuah pertanda buruk untuk Ivanka.

"Lakukan sesukamu." Tangan terulur, pria itu meraih rokok yang masih menyala di jemari Ivanka tak peduli apinya membakar dirinya.

Menyembunyikan kesiap kaget ketika Xaveer meremas dan hancurkan satu batang rokok yang menyala miliknya, Ivanka dibuat hampir gentar ketika satu kotak nikotin miliknya ikut pria itu remas dan lemparkan ke sembarang arah ketika sudah menjadi patahan-patahan tak berguna.

"Tapi...." Menarik napas dalam, dan membentangkan tangannya menikmati udara pagi. Xaveer kembali menunduk untuk melihat Ivanka yang terlihat was-was. "Kamu tau harus ke mana kalau sedang butuh, kan?" Pria itu kedipkan sebelah matanya sebelum kemudian memutar tubuh dan tinggalkan Ivanka yang begitu sembrono menemui Damian hanya dengan piyama ketat yang mencetak jelas bentuk payudara wanita itu yang tak menggunakan penyangganya--bra.

Sial!

Tapi Xaveer tak boleh memprotes itu.

"Ah ya!" Tiba di ambang pintu, emosi yang mencoba disembunyikan tampaknya gagal pria itu lakukan karena wajahnya terlihat jelas merah padam, Xaveer berbalik melihat Ivanka dan meliriknya.

Terlihat dingin dan bengis persis ketika awal pernikahan mereka, pria itu mengeluarkan pistol yang diselipkan di balik kemeja bagian belakang, lalu ia arahkan pada Ivanka yang menelan saliva.

Pria itu akan menyerangnya ketika ia tak bersenjata?

Benarkah?

Akan membunuhnya?

Dooorr!

Satu tembakan melesat memekakkan telinga ke arah Ivanka yang terpejam namun ketika tak merasakan apapun dan berpikir jika ia tak merasakan sakit ketika nyawa tercabut dari raga, Ivanka membuka mata untuk melihat apakah ia benar-benar sudah mati.

Melihat ke sekitar dan tak menemukan hal aneh selain halaman belakang rumahnya dan bulu-bulu yang berterbangan, wanita itu melirik ke arah tembakan Xaveer.

Alas kursi yang terbuat dari bulu angsa yang tadi Damian duduki.

"Aku benci aroma Damian. Cuci tanganmu. Aromanya menjijikan!"

Brengsek! Xaveer brengsek!

Sesungguhnya Ivanka memang tak memiliki ketakutan kecuali ketika ia mulai berdebat dengan Xaveer dan pria itu tak main-main dengan senjatanya.

Ah ... Sial!

Dia pikir hari ini ia akan mati.
 

Tbc....

mau dibawa ke mana cerita iniiiii (eaaa nyanyi.)

Ga usah bantu mikir. Gpp. Udah. Jangan ikut pusing. Udah. Biar aku aja yang mikir. Muter2 sampe keblinger. Sampe pusing tujuh putaran Bandara Soetta. Kalian baca aja terus misuh2 sambil nyemilin air biar ga gendut. Okeey gaees.

Gustav juga jangan didoain mati. Ga semua kematian bisa menjadi jalan keluar. Lagian dia salah apa? Anak semanis itu didoain yg jelek2. Dia sakit loh bukan kehendaknya. Terus lagi kalau dia ga sakit. Ga ada kisah ivanka xaveer kan. Eeeaaak eeaak.

Adanya gustav adalah sebuah ide untuk mencipta tragedi Ivanka Xaveer. Kalau dia ga ada ya jadinya Xaveer Ghina bikin Gustav sampai ada. 🤣🤣🤣

With love,
Greya 
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Thankyou And Goodbye
38
16
Thank You And Good Bye  Copyright © Greya Publisher, 2017Penulis : Greya CrazPenyunting : Greya CrazLayout : Greya CrazCover : Aziza Le Hak Cipta penulis dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian, atau seluruh isi tanpa izin penulis.   Ucapan Terima kasih  Terima kasih banyak untuk yang sudah meluangkan waktunya, membaca cerita ini. Terima kasih telah mengambil makna positif yang terkandung di dalam cerita ini.Terima kasih untuk umpatan, makian dan juga air mata yang sudah tercurah selama membaca cerita ini.  Thank You And Love you,Greya   Kenangan Ingatanku berlari pada kenangan yang melukiskan kisah kita.Semua tak hanya menggambarkan suka.Namun duka dan derita tak urung menyelimutinya. Aku mengganggam semua jejak kisah yang tergambar.Terus mengingat, seberapa besar luka yang kau berikan.Ternyata di sana hanya ada goresan sakit, dengan bahagia yang sedikit. Aku terus menjamah kenangan.Kenangan yang semakin menarikku pada luka yang terdalam. Tapi kala dentang jam menyentakku pada lamunan,Aku tertawa, mengapa masaku harus habis meratapi semua kisah yang sudah terlukis?          Bab Satu(Shannon Pov) Sang dara termenung di ambang jendela,Menatap sendu pada lembayung senja,Meratap pada Sang Pencipta mega,Akankah datang dia, yang menyambut kepakan sayapnya,   Aku memandang senja yang memerah. Jemariku menutup wajah saat sinarnya menerpa menyilaukan. Aku tersenyum setiap sapuan hangatnya menyentuh kulitku. Indah. Aku selalu menyukai sunset dan sunrise.Saat matahari mulai mengintip dari ufuk timur, aku akan pergi ke arah jendela yang menghadap arah timur. Jika matahari mulai pelit membagikan cahayanya dan bersembunyi ke arah barat, maka aku akan pergi ke jendela yang menghadap arah barat.Saat ini aku tengah memperhatikan senja yang berwarna orange kemerah-merahan, artinya aku ada di sebelah barat. Memperhatikan sang surya yang mulai tenggelam dan pastinya muncul ke belahan bumi yang lain. Mungkin Amerika? Entahlah. Yang jelas, jika tanah kelahiranku ini menggelap, pasti ada bagian lain yang saat ini masih terang atau mungkin baru memulai pagi.Allahuakbar ... Allahuakbar!Lantunan merdu pun mulai terdengar bersahut-sahutan. Aku terpejam. Panggilan salat untuk para hamba-Nya menyerahkan diri sejenak untuk bersujud syukur pada-Nya.“Bulik, maghrib! Jendela ditutup. Nanti setan pada masuk!” Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Keponakan perempuanku itu menutup jendela yang menghadap sebelah timur. “Salat! Jangan lupa doa minta jodoh,” celotehnya membuat bola mataku berputar malas.Jodoh! Aku percaya Allah menyiapkan setiap umatnya berpasang-pasangan. Namun jika memang belum datang, apakah aku harus memaksakan hal itu? Benar. Aku sudah tua. Not really old for me. Tapi bagi orangtuaku, lumayan tua. Andai mereka tahu, semangatku tak pernah terkikis oleh tuanya usia, oleh rapuhnya raga. Jiwaku masih muda. Masih sangat muda, apalagi untuk terus berkelana mengeksplore kemampuan diri. Seperti berbagi ilmu kepada yang membutuhkan.Namaku Shannon. Shannon Nieasha binti Panji Nugroho. Yang barusan berceloteh mengingatkan tentang jodoh tadi adalah keponakanku yang usianya sudah masuk kepala dua, bernama Riena. Bisa bayangkan seberapa tuanya aku?Usiaku 32 tahun, tahun ini. Kakak pertamaku adalah wanita yang menikah saat usianya menginjak delapan belas tahun, dan sekarang dia sudah berusia empat puluh tahun.Kemudian ada juga adik perempuan yang masih berusia dua puluh lima tahun. Namanya Shanas. Saat ini dia sedang melanjutkan pendidikan S2-nya di Universitas Indonesia, Jakarta, dan dia masih sendiri.Adikku itu katanya tak akan melangkahiku. Dia ingin menungguku menikah, baru kemudian memikirkan perihal jodoh untuk dirinya. Menunggu. Haah! Menunggu aku yang sudah berusia 32 tahun, tapi belum menemukan pria yang ingin menuntunku, menjadi pimpinan dalam mahligai indah yang disebut rumah tangga.Namun, walau begitu aku tidak khawatir atau merasa malu dengan sebutan perawan tua lantaran belum ada pria yang meminangku. Bagiku jodoh dan cinta adalah takdir, sementara menikah adalah nasib.Setiap manusia memiliki jodoh dan cintanya yang sudah ditulis di lauhul mahfudz. Aku cukup bersabar menantikan kapan dia akan tiba dan meminangku. Andaipun dia tak datang, itu artinya Allah telah menakdirkanku bersatu dengannya kelak di akhirat sana.Tapi bukankah kita harus berusaha?Usaha yang seperti apa? Berpacaran? Aku pernah melakukan itu. Tidak hanya sekali, melainkan tiga kali. Dan saat aku memasuki usia ke 25 tahun, aku berhenti.Apa gunanya aku berpacaran? Hanya menambah dosa dan lawan. Bagaimana tidak? Aku berpacaran dengan pria pertama saat usiaku menginjak tujuh belas tahun. Namun kemudian ia berselingkuh dan sekarang menikah dengan sepupuku sendiri. Ya ... mereka bermain api di belakangku. Akhirnya, hubunganku dengan Asma sepupuku merenggang. Dia selalu menjaga jarak karena menganggap aku akan balas dendam dengan merebut suaminya. Berpacaran membuatku kehilangan seorang saudara.Namun aku yang muda dan penuh dengki, memang awalnya marah dan berdoa segala hal yang buruk untuk keduanya. Tapi kemudian hilang sudah kebencian itu saat aku bertemu dengan pria kedua saat aku berusia 20 tahun.Kami berpacaran selama satu tahun lebih. Tapi memang dia bukan untukku. Hubungan kami tak direstui. Aku bukan dari keluarga yang kaya raya. Biasa saja. Lebih condong ke arah sederhana. Kami putus, dan setelah itu kami tak berkomunikasi lagi. Kami seperti dua orang asing. Bertemu tanpa mampu berucap kata selain, 'hai'.Aku yang masih penasaran, kembali mencoba menjalin hubungan dengan pria ketiga. Dua tahun kami berpacaran dan harus putus karena katanya tak sanggup menjalani LDR. Saat itu dia harus bekerja di Bali, sementara aku di Gunungkidul. Salah satu kabupaten yang ada di daerah istimewa Yogyakarta.Tapi kemudian kabar yang kudengar, ia menikah dengan sahabatku Iren, yang memang bekerja di Bali dan tak sengaja bertemu dengan dia si pria ketiga. Iren tahu aku dan dia berpacaran. Tapi entah apa yang mereka lakukan di sana.Dua bulan setelah mantan ketiga memutuskanku. Dia dan Iren menikah tanpa mengirim undangan. Lalu lima bulan kemudian aku kembali mendapat kabar bahwa buah hati mereka telah lahir. Lima bulan. Premature-nya bayi jaman sekarang. Lahir sehat dan normal tanpa satu pun yang kurang. Bukan kehamilannya yang premature. Tapi pernikahannya.Tahu jika mereka juga mengkhianatiku, lalu lagi-lagi hubunganku dengan seseorang merenggang. Ya ... aku dan Iren kini bukan sahabat seperti dulu. Semua kenang-kenangan saat kami kuliah bersama di Universitas Negeri Yogyakarta, seakan lenyap karena aku pernah berpacaran dengan jodohnya. Walau dia yang mengkhianatiku.Mungkin itu adalah salah satu hal, mengapa Allah melarang umatnya untuk berpacaran. Tidak membawa keuntungan. Melainkan kerugian. Andai aku tak pernah berpacaran, pasti sepupu dan sahabatku masih menjadi orang terdekat bagiku hingga sekarang.Sudah terlambat. Sekarang setiap bertemu, kami hanya memasang wajah canggung dan kaku. Walau aku bersikap biasa saja, tapi tetap saja jika mereka terlihat risih dan tak nyaman saat bersamaku, siapa yang bisa tenang?Yaa! Begitulah kemudian aku memutuskan untuk tidak berpacaran. Aku tak ingin merusak hubungan dengan orang lain lagi karena memacari jodoh mereka. Sekarang usaha yang aku lakukan hanya lah taaruf. Memasukkan proposal ke salah satu lembaga pelayanan yang melayani siapa pun yang ingin melakukan taaruf.Namun belum ada yang datang—berniat—untuk melakukan taaruf denganku. Entah karena apa, aku pun tak tahu. Mungkin karena usiaku? Atau riwayat penyakit yang menderaku dan kemudian menjadikan hal itu sebagai sebuah masalah.Empat tahun yang lalu dokter mengatakan ada kista di ovarium kiri. Terpaksa diangkat karena aku terlambat mengetahui tentang adanya pertumbuhan kantong berisi cairan yang terbentuk di dalam ovarium kiriku itu.Aku tidak tahu apakah aku masih bisa memiliki anak atau tidak. Tapi dari pengalaman teman yang pernah melakukan operasi yang sama denganku dan sudah menikah, dia bisa memiliki anak. Bahkan dua tahun pasca operasi, dia dinyatakan hamil.Tapi sesungguhnya, bagiku anak adalah hadiah sang pencipta yang akan diberikan kepada kita jika memang kita siap. Kapan kita siap? Hanya Allah yang tahu. Jika nyatanya Allah tak memberiku hadiah itu, maka aku tak perlu bersedih. Allah tahu yang terbaik untuk umatnya. Walau aku berharap. Sangat berharap jika kelak aku menikah, aku bisa merasakan bagaimana hamil, melahirkan dan membesarkan seorang bayi. Itu harapan semua wanita. Benar, kan?*Tujuh tahun yang lalu aku menetap di Yogyakarta. Aku bekerja sebagai guru SD di sana. Kebetulan saat ini sedang musim liburan. Liburan kenaikan kelas. Anak-anak kelas dua SD sudah pindah kelas ke kelas tiga. Dua minggu lagi muridku akan berganti. Seperti itu setiap tahun. Hingga kemudian kami akan kehilangan mereka, karena mereka harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Riena yang tinggal bersamaku di Yogyakarta juga tengah berlibur dan pulang ke desa kami. Sementara Shanas yang sudah merantau ke Jakarta sejak usia 18 tahun tidak ikut pulang karena dia sedang bekerja dan kuliah. Shanas merupakan karyawan di perusahaan swasta. Jadi tidak ikut libur sebagaimana aku dan Riena yang saat ini kuliah di UNY dan duduk di kursi semester enam. Sementara Ibu Riena, kakak pertamaku memang tinggal bersama ayah dan ibu. Menemani mereka yang sudah tua. Sementara suami kakak akan pulang seminggu sekali karena dia bekerja di Solo. Di salah satu pabrik obat dan makanan di sana.“Cepet kenalkan calon loh, nduk. Ibu sama ayah udah ndak sabar nimang cucu dari kamu,” ucap ibu yang hanya kubalas dengan anggukan kepala saja.“Apa mau tak kenalin sama om-nya temenku, Lek?” tanya Rizki, adik Riena. Bocah lima belas tahun itu kemudian tertawa saat melihat mataku yang melotot kesal. Anak kecil ikutan nimbrung! Batinku mengomel.“Lah ya ndak apa-apa kalau memang cocok. Iya to, Pak'e?” tanya ibu pada ayah yang kemudian mendongak memperhatikan ibu. Tanpa berucap, dia langsung mengangguk cepat dengan pipi menggembung penuh makanan.Ayah kalau lagi makan opor ayam buatan ibu, pasti lupa dengan segalanya.“Emang mbahti bilang apa? Mbahtong denger gitu?” tanya Riena memancing.Ayah langsung mengerjap dan perlahan menggeleng. Dia tersenyum lebar, lalu tertawa melihat wajah sewot ibu. “Wes-wes. Lanjutkan makannya!” putus ayah mengalihkan pembicaraan. Baguslah. Aku jadi tidak tersudut.Kembali kami berbincang berbagai hal. Bagaimana kuliah Riena, juga murid-muridku, serta Rizki yang menjadi juara satu di kelasnya.“Ganteng loh, Lek. Walaupun duda anak tiga!” Rizki mulai lagi. Rasanya aku ingin melempar mulut embernya itu dengan sendok yang ada di tanganku.Rizki tertawa tapi kemudian aku menjulurkan lidah senang saat dia yang mengaduh kesakitan karena Mbak Shinta, kakakku menggetok kepalanya. Rasain!“Oalah, duda anak tiga?! Ndak-ndak! Kasian bulik-mu. Ngawor!” jawab ibu yang tak terpengaruh dengan provokasi yang dilakukan Rizki. Lihat saja. Aku potong uang bulanan yang biasa aku kasih ke dia. Salah siapa, main-main denganku.“Gimana kalau sama anaknya Wisnu teman kerja ayah dulu? Mau, ndak?” Dan ayah pun mulai membuka suara. Aduuh! Kenapa tadi makannya ngga nambuh aja to, Yah? Biar ngga ikutan ngomongin suami. Ini gara-gara Rizki. Aku kembali mendelik tajam pada Rizki yang makin tertawa riang.Aku menggeleng dengan kibasan tangan. “Ndak ah. Kalo sama kerabat sendiri. Entar tiba-tiba gagal, persahabatan ayah yang malah rusak,” jawabku menolak.“Loh-loh. Belum apa-apa sudah merencanakan gagal. Ya gagal!” Ibu sewot.“Lagian aku ngga setuju! Anaknya Pakde Wisnu itu kan ombenane ciyu! Lah emang mbahti sama mbahtong mau punya mantu pemabok?!” Riena mendukungku. Aku langsung mengirimkan kecupan jauhku untuknya.Tapi kemudian tangan Rizki yang duduk di sebelah Riena terulur seakan merenggut sesuatu di udara. Kemudian ia lemparkan ke lantai dan diinjak, dramatis. Dasar Rizki sialan!“Waah! Kamu tahu dari mana itu, Nduk?” tanya ayah. Kami kembali memperhatikannya.“Kan adiknya itu temenku to, Mbahtong. Jadinya tahulah!” jawab Riena.“Lagian umurnya di bawah Shan, yah. Nanti malah bukannya menuntun, malah dituntun,” timpal kakak wanitaku tercinta, Mbak Shinta.“Iya juga, sih. Lah terus gimana?” tanya ayah terlihat pusing memikirkan jodohku.Aku yang jadi jenuh karena obrolan di meja makan kali ini, lantas mencebik kesal. “Ya udah lah, Yah. Ngga usah dipikirin, nantinya malah judeg sendiri. Kalau memang Shan bernasib baik. Nanti pasti ada yang menikah sama Shan. Datangnya jodoh ngga bisa dipaksain to, Yah? Nyatanya Shan udah usaha. Cuma belum dikasih aja,” jawabku kemudian berdiri mengumpulkan piring kotor.“Iya, sih! Tapi apa sesama guru di tempatmu itu ngga ada yang kepincut sama kamu?” tanya ibu yang tampaknya belum mau menyerah.Aku hanya menghela napas saja. Ada yang pernah mendekati aku. Tapi rata-rata yang sudah beristri. Mereka pikir, mentang-mentang aku sudah berumur, jadinya aku pasti mau saja kalau diajak nikah. Tidak peduli jadi istri kedua. Astaga ... Allah membenci umatnya yang melakukan tindakan tidak terpuji. Dan merebut suami orang termasuk bagian tidak terpuji menurutku.Entah itu disetujui oleh istri pertama atau tidak. Bagiku menikahi pria yang telah beristri, sama saja merebut perhatian pria itu dari istri terdahulunya. Bukan hanya perhatian. Namun juga cinta, kasih sayang, juga harta. Dan ... wanita mana yang sanggup berbagi seperti itu? Mungkin di mulut mereka berkata sanggup. Namun hatinya yang terluka, siapa yang tahu?Aku membenci poligami, tak peduli itu diperbolehkan agamaku. Jadi jelas, menjadi istri kedua, tidak masuk dalam list hidupku. Amit-amit.         Bab Dua(Shannon POV) Aku bukan duri, di atas jalan setapak.Bukan pula tajam, yang memutuskan sebuah pengikat.Aku hanya pungguk yang mengharap bulan.Di ujung dahan, menanti keajaiban.   Sebenarnya aku memang bukanlah wanita impian. Jelas sudah kalau ada lelaki yang mengenalku, mereka pasti berpikir ulang untuk meminangku. Aku tidak suka membersihkan rumah. Aku malas, karena aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri.Kadang di kos, Riena terus mengomeliku karena aku yang jarang bahkan nyaris tidak pernah memberesi kamar kos. Tidak pernah mencuci baju maupun mencuci piring. Bukan aku tidak mau melakukannya, sebenarnya.Ini karena dia yang terlalu banyak protes. Kadang apa yang aku lakukan selalu salah di matanya. Jadi ya sudahlah. Toh memang beginilah aku. Mau dipaksa menjadi dia pun aku tidak akan pernah bisa.“Ngga pernah ngapa-ngapain bulik, bu! Gitu aja terus!” celoteh Riena yang tak kupedulikan.Tapi walau tiap hari dia meluncurkan protes, keluargaku tak ada yang menanggapinya dengan serius. Bukannya mereka membelaku. Tapi mereka paham dengan Riena yang serba ingin sempurna. Jadi Andai aku rajin pun, semua apa yang aku lakukan akan diulang oleh Riena.“Kan bulik cari uang. Kamu ya beres-beres rumah. Lagian kamu tuh, boros banget kalau pakai baju. Bisa ganti berkali-kali. Jadi semua yang kamu cuci itu ya 75 persennya baju kamu sendiri. Makan juga kemayu banget. Ngabis-ngabisin perkakas dapur,” balasku sembari mengulek sambel terasi yang akan menjadi menu makan siang kami siang ini.Kata ibu, sambal terasi buatanku adalah yang ternikmat dari sambal terasi yang pernah ia cicipi. Aku tidak tahu enaknya di mana. Tapi yang jelas aku suka jika ada yang menyukai masakanku.Riena memutar bola matanya mengacuhkanku. Kemudian dia berdiri dari kursi yang ada di dekat pintu dapur. “Males ya males aja!” timpalnya lalu pergi.“Bapak sama anak memang ngga ada bedanya,” kata Mbak Shinta dan aku hanya tertawa bersama ibu.Dengan spatula yang masih di genggaman, Mbak Shinta menatapku. “Eh, Shan. Riena punya pacar?” tanya Mbak Shinta tiba-tiba.Aku diam sejenak, kemudian menggeleng. Menggeleng tidak tahu, karena memang aku tidak begitu suka mencampuri urusan orang, walaupun itu keponakanku sendiri.Kakak wanitaku itu manggut-manggut. “Tapi kok dia sering banget senyum-senyum liatin hape?” imbuh Mbak Shinta ingin tahu.“Terus kalau Shanas?” Kini giliran ibu yang bertanya.Kalau menyangkut pertanyaan ini, aku hanya diam. Shanas memang tidak punya pacar semenjak putus dari pacar pertamanya—yang tidak aku kenal—dulu. Tapi kami tahu kalau dia masih mencintai pacarnya itu.Saat putus dia sempat menangis sampai tak nafsu makan. Katanya sih, laki-laki yang namanya tak kami ketahui itu harus ke luar negeri, dan kemudian memutuskan hubungan begitu saja.Kami sih jelas tidak suka dengan lelaki itu—walau kami sendiri tak pernah tahu siapa dia. Shanas juga tidak pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya itu. Saudaraku itu tidak pernah berbagi hal-hal pribadi. Sama sepertiku. Kami memang begitu. Tapi setidaknya kami tak pernah menyembunyikan hal yang penting.Menurutku, laki-laki yang baik adalah yang ingin mengenal keluarga pasangannya. Jadi jelas tidak baik, kalau sama sekali tak berniat menghubungi kami untuk sekedar silahturahmi, walaupun akhirnya nanti hanya menjadi mantan.Apalagi, Shanas baru bercerita memiliki seorang kekasih saat mereka telah putus. Itu pun kami desak, karena kami khawatir dengan dia yang jadi jarang menghubungi kami, dan saat pulang, dia sedikit berubah. Pendiam, tak ingin keluar kamar, juga enggan makan. Begitu frustasi.Bahkan ia mengaku sulit untuk melupakan kekasihnya itu, hingga akhirnya menghapus semua foto kebersamaan mereka dan barang kenang-kenangan yang menyangkut hubungan mereka di masa lalu dengan cara membakarnya.Mungkin karena sudah berpacaran selama empat tahun. Maka perpisahan terasa sulit baginya. “Masih melanjutkan cerita lama?” Mbak-ku menyambung.Aku hanya mengerucutkan bibir, lalu menaikan bahu tanda tak tahu.“Ealah! Mau sampai kapan?” Ibu menimpali, ditambah bumbu erangan frustasi.“Sudahlah. Doakan yang terbaik saja,” jawabku.*“Bulik!” Aku tersentak mendengar panggilan Riena yang mengagetkan.Berdecak kesal, aku menyahut ketus, “Apa, sih?!” Sambil me-minimize lembar work-ku, lalu mendongak melihat Riena yang sudah duduk di belakang laptopku.Bibir bawahnya ia gigit gelisah, membuatku menyipitkan mata penasaran. “Riena mau ngomong, boleh?” tanyanya ragu.“Ngomong aja,” kataku.Dia membenahi posisi, jadi bersila di atas ranjang, menghadapku. “Bulik,” panggilnya lagi.Aku yang penasaran dengan tingkah anehnya malah kembali membuka lembar pekerjaanku di Microsoft word, karena dia tak kunjung berbicara.“Apa to, Rien?” Sambil mengetik dengan raut jengah.“Aku punya pacar,” katanya menghentikan pergerakan jemariku yang tengah menari di atas keyboard. Aku mendongak memperhatikannya yang menunduk takut.Aku mencebik dengan kening berkerut. “Terus?” “Dia ngajakin nikah. Tapi kan, aku ngga boleh ngelangkahin Bulik Shannon,” lanjutnya membuatku menganga tak percaya. Menikah? Riena sudah diajak menikah?“Katanya kan ngga baik lama-lama pacaran. Jadi dia ngajakin nikah aja. Dia udah kerja kok. Hehe, senior yang lagi lanjut S2.” Riena memandangku. Aku tersenyum melihat wajahnya yang tersipu.“Suruh dia datang dan melamar. Bulik ngga masalah dilangkahi,” ujarku membuatnya tersenyum cerah. Walau dia ini jengkelin banget. Tapi Riena keponakan yang paling bisa diAndalkan. Apa pun untuk kebahagiannya pasti aku lakukan. Lagian aku tak mau dijadikan penghambat jodoh saudara-saudaraku.“Makasih, Bulik!” Riena langsung berdiri siap untuk keluar dari kamarku yang ada di lantai atas, alias loteng yang kusulap menjadi kamar dengan dua Jendela kiri dan kanan. Karena itu aku bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam dari atas sini.Tapi baru berjalan beberapa langkah, Riena berhenti dan berbalik untuk memeluk dan mencium pipiku. “Makasih, Bulik sayang!” ujarnya maniis sekali. Dasar! Kalau begini baru dia bertingkah layaknya keponakan yang baik hati.*Aku memandang penuh sesal. Riena mencoba untuk tersenyum walau aku tahu kesedihan yang tersirat jelas itu tak mampu ia sembunyikan dari wajah ayu-nya. Barusan, di ruang keluarga ini, dia menyampaikan niatannya kepada Mbak Shinta, ayahnya dan kedua orangtuaku.Namun hasilnya adalah penolakan. Alasannya hanya karena Riena harus menyelesaikan kuliahnya, dan juga tak boleh melangkahi aku dan Shanas. Walau kalau untuk melangkahi Shanas tak begitu menjadi masalah. Tapi aku. Aku yang menjadi masalah di sini.Aku yang merasa ini semua tak adil bagi Riena, segera membujuk orangtuaku. Mencoba memberi pengertian kepada mereka. Tapi tetap saja. Mereka menolak, karena takut jika melangkahi aku, nantinya jodohku malah semakin jauh. Padahal sudah kukatakan berkali-kali, jodoh itu datangnya dari Tuhan. Bukan system langkah-langkahan.Sekarang bagaimana? Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Aku pernah dijodohkan oleh teman dari temanku. Tapi saat aku mengatakan bahwa aku hanya memiliki satu ovarium saja, lelaki itu lantas membatalkan niatannya untuk melakukan hubungan yang lebih serius.Aku berusaha hingga kemudian aku pasrah pada Sang Pencipta. Setiap pria yang mencoba dekat denganku adalah orang-orang yang memang bertujuan untuk menikah. Bukan pacaran. Tapi kemudian mereka urung menikahiku karena itu. Aku bingung.“Terus gimana, Mbak?” tanya Shanas yang kuinfokan tentang kabar ini setelah aku masuk ke kamar dengan pikiran runyam.Aku menggeleng lemah, memainkan keliman selimut yang menutupi tubuhku. “Ck! Ndak tau mbak, Nas. Padahalkan mbak udah berusaha. Jodoh ngga bisa dipaksa kedatangannya,” keluhku. Baru kali ini aku mengeluh karena aku benar-benar takut menjadi penghalang hubungan orang lain. Apalagi Riena bilang kalau Anjas—pacarnya—harus segera menikah, jika tidak ingin dijodohkan dengan wanita lain. Ya Allah. Mengapa rasanya sangat berat cobaan yang Kau berikan? Aku tak bisa mendahului kehendakmu karena aku hanya manusia biasa.Setiap hari aku meminta jodoh darimu. Andai memang tak Kauberi di dunia ini pun aku ikhlas. Tapi satu. Satu hal yang aku pinta dari-Mu. Tolong jangan pernah ada yang menderita karena statusku ini. Aku merasa bersalah.“Kasih pengertian?” saran Shanas.“Sudah. Aku udah capek, Nas. Kenapa statusku malah menjadi beban?” ujarku putus asa. Aku ingin menangis rasanya.*Semua kembali normal. Normal dilihat mata. Visualnya saja. Tapi di dalamnya? Riena tak pernah mengungkit kejadian hari itu. Dia tak membahas lagi tentang dia yang meminta menikah cepat dengan Anjas pacarnya.Walau terlihat biasa saja, tapi aku tahu kalau dia frustasi dan marah. Hatinya kecewa berat karena keinginannya untuk mengikat hubungan mereka menjadi sesuatu yang lebih sakral dan suci terhalangi.Keluargaku pun berusaha untuk tidak peka. Walau aku tahu kalau mereka tengah bingung saat ini. Mereka juga tidak tahu harus apa. Padahal gampang saja. Restui Riena dan Anjas. Selesai. Solusi ditemukan. Tapi mereka malah memilih untuk berselimut kebimbangan. Sementara di hadapannya jawaban terpampang nyata tanpa penghalang.Aku? Aku bukan penghalang. Jelas aku tak pernah iri akan hubungan Riena dan Anjas. Aku tak pernah ingin menghalangi kebahagiaan siapa pun.Makan malam berlangsung hening. Hanya tinggal seminggu lagi masa liburan kami dan selama di sini, semua dilalui dengan suasana tak mengenakan.Usai makan malam, semua masuk ke kamarnya masing-masing. Bahkan Rizki yang biasanya usil, sedari tadi hanya diam dan ikut masuk ke dalam kamar. Dia menghargai perasaan kakaknya.Sedang aku memilih berdiam diri di berAnda depan rumah. Menikmati semilir angin malam yang dingin tak sehangat sapuan matahari pagi dan sore hari. Aku memperhatikan anak-anak yang sedang bermain permainan Gobak Sodor di jalan depan rumah yang memang lumayan luas.Desa kami jalannya belum diaspal, Masih berupa tanah, yang ditumbuhi rerumputan liar. Selain itu, rumah-rumah di sini jarang yang dipagar, termasuk rumah ayah ini. Karena itu anak-anak bisa bermain dengan leluasa.Mereka bermain di bawah sinar lampu jalan. Astaga, suara teriakan mereka benar-benar kencang saat salah seorang anggota grup tertangkap oleh penjaga dari grup yang lain. Permainan masa kanak-kanak dulu yang mungkin sudah mulai jarang dimainkan oleh anak-anak jaman sekarang.Melihat mereka yang tertawa riang seperti itu, melemparkan aku kembali ke masa-masa di mana aku yang tak pernah terbebani dengan segala macam huru-hara yang mulai kudapatkan sejak aku menginjak usia dewasa.Kalau begini, inginku menjadi anak-anak saja. Bahagia. Andaipun menangis, pasti itu karena teman yang nakal atau dimarah karena tidak membuat PR atau aku yang selalu saja mencari gara-gara dengan memanjat pohon atau mengganggu Mbak Shinta dan adikku.Aku memang nakal. Sangat nakal. Tapi aku tidak merasa. Wajar kalau anak kecil selalu mencari masalah. Selama itu berada di batasnya saja. Tidak seperti anak jaman sekarang yang sudah mengerti adegan dewasa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah menikah saja.Rawan. Semakin tua dunia ini, semakin rawan manusianya. Dari anak-anak hingga yang tua, sikap mereka benar-benar memprihatinkan.“Le ... nduuk! Mulih-mulih!!” Seruan para ibu yang meminta anak-anaknya untuk pulang terdengar. Tak lama suara keluh kesah para bocah ikut menyusul, bertebar di kelamnya malam. Dasar anak-anak. Kalau main pasti lupa waktu.Setelah jalanan sepi, aku pun berdiri mengeratkan sweater yang kukenakan. Aku masuk dan mengunci pintu rumah. Berjalan pelan menyusuri rumah orangtuaku yang dulunya hanya berupa gubuk kayu. Namun pelan-pelan ayah mulai membangunnya, menjadi salah satu bangunan yang termasuk mewah di kampung kami.Di desa, kami bisa dibilang cukup kaya. Tapi kalau masuk kota, mungkin kami dibilang keluarga menengah.Ayah dulu merupakan seorang dosen di Jakarta. Namun karena menikah dengan ibu yang enggan ikut ke kota, akhirnya ayah memilih mengalah, dan memulai kehidupan di desa, di tanah kelahiran leluhur kami.Uang tabungan yang ayah miliki dari hasil mengajar, digunakan untuk membeli sawah, dan dari sana semua berkembang dengan baik. Dari sepetak lahan, sekarang sudah memiliki beberapa lahan sawah juga ternak sapi dan kambing yang di rawat di belakang rumah.“Terserah kamu ... hiks! Terserah Mas Anjas kalau mas harus menikah. Mungkin, mungkin kita buk—bukan jodoh, Mas.” Melewati pintu kamar Riena, aku mendengar suaranya yang berbicara sembari terisak.Aku menempelkan telingaku di daun pintu. Penasaran ingin mendengarkan dia yang sepertinya tengah berbicara lewat telepon dengan kekasihnya.“Ngga, Mas. Kasian Bulik Shan. Aku ngga tega ngelangkahin. Ngga apa-apa. Semoga mas bahagia, ya? assalamualaikum.”Hatiku seperti dicubit begitu kecil tapi kuat. Sakit. Bagaimana bisa aku menghancurkan hubungan keponakanku sendiri. Aku tidak bisa diam begini. Aku harus mengatakannya dengan ibu dan ayah. Aku tidak tega kalau harus melihat kesedihan di wajah Riena.         Bab Tiga(Shannon POV) Sang dara terbang dari bingkai jendela.Terbang tak terkungkung,Bersama sepasang sayap yang menyambutnya.Mereka bersama, menembus batas suci berdua.Bernaung di bawah kesakralan janji,Menempuh suka dan derita, membangun sangkarnya.   Seperti biasa, sarapan yang aku lewatkan karena aku selalu kembali tidur setelah subuhan. Mumpung liburan. Aku begitu menikmati setiap waktuku. “Ibu sama ayah kemana, Mbak?” tanyaku pada Mbak Shinta yang sibuk di dapur, menyiapkan makan siang.Sejenak ia menatapku dengan mata sembabnya. Lalu kembali ke ikan yang tengah digorengnya.. “Udah ke sawah pagi-pagi tadi.” Suaranya terdengar sumbang, terlihat sekali karena menangis semalaman.Bukan hanya Riena yang berduka. Tapi orangtua wanita itu juga pasti ikut merasakan pedih. “Riena?” tanyaku lagi.“Di kamar,” jawab Mbak Shinta lesu. Mungkin karena memikirkan Riena yang selalu menutup diri di kamar setelah orangtuaku pergi ke sawah.Aku berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Tanganku terulur, mengusap bahu Mbak Shinta yang mulai bergetar. “Restui aja, Mbak. Riena itu anaknya Mbak Shinta. Mbak yang harusnya mengambil keputusan.”Dengan air mata berurai, kakakku menggeleng lemah. “Ngga bisa nentang ayah sama ibu, Shan. Sudahlah. Lagian ayahnya Rien juga ngga setuju. Masih kecil.”Aku lantas berdecih, karena merasa alasan Mbak Shinta terdengar begitu konyol. “Kecil dari mana? Lah wong mbak aja nikahnya umur delapan belas tahun dan Mas Bakti masih umur dua puluh tahun. Riena udah masuk usia pantas menikah, Mbak.”“Gimana ya, Shan. Mbak ngga bisa membantah orangtua kita. Selama ini, yang membiaya hidup kami kan ayah sama ibu. Mas Bakti gajinya ngga besar. Mbak ngga bisa,” katanya semakin terisak.Aku menghela napasku dalam. Rumit. Merasa buntu akan solusi, aku berjalan keluar dapur. Mengikat rambut sebahuku, lalu berjalan ke halaman belakang. Biasanya, aku mencari ketenangan dengan memberi makan hewan ternak orangtuaku.Ada Pak Kardi yang diberi tanggung jawab untuk mengurus ternak. Dia tinggal di sebelah rumah. Kebetulan juga memiliki anak yang seusia denganku. Anaknya laki-laki, duda beranak satu. Namanya Seno. Lelaki yang mau bekerja keras. Dia juga guru, sama sepertiku. Tapi guru SMP. Seno itu teman sepermainanku, dan kami sempat ingin dinikahkan dulu. Tapi kami menolak, karena memang kami tidak memiliki rasa lebih selain kakak dan adik. Ya kami hanya tertawa saja, saat ayah menawarkan hal itu kepada kami.Konyol. Lah wong kami itu dulunya kemana-mana berdua. Masih SD suka mandi berdua. Eits! Jangan mikir macem-macem. Anak kecil jaman dulu tidak seperti anak jaman sekarang. Mandi, yah mandi beneran. Walau kemudian, aku malu kalau ingat itu semua. Ya ampun! Itu tetap aja tidak boleh. Bukannya apa. Malunya itu loh, dibawa sampai besar.Selain itu juga tahu bobroknya dia. Dia juga tahu bobroknya aku. Tidak tahu bagaimana rumah tangga kami nanti kalau kami menikah. Pasti heboh, karena kalau kami cekcok, semua unek-unek keluar bahkan sampai berujung pada jambak-jambakan.Walau memang sekarang sudah tidak begitu. Tapi tetep saja. Kalau ketemu, pasti berantem dan ujung-ujungnya saling sindir. Lucu saja kalau kami menikah. Pasti tidak akan pernah akur. Padahal kami berteman. Tapi lebih banyak berantemnya, walau itu cuma guyonan.“Seno ndak pulang, Pak?” tanyaku pada Pak Kardi yang memandikan salah satu sapi. Sementara aku memasukkan rumput ke dalam wadah makan para ternak-ternak itu.“Ndak, cah ayu. Suci mau di Yogyakarta aja,” jawabnya setengah berteriak, Karena jarak kami memang tidak begitu dekat. Suci itu anaknya Seno. Umurnya baru lima tahun. Istri Seno meninggal dua tahun yang lalu. Jadi si tangguh itu merawat putrinya seorang diri.“Cah ayu sudah dapet calon?” tanya Pak Kardi membuatku tersedak tiba-tiba. Ya Allah. Kenapa setiap pulang pasti yang ditanyain jodoh. Heeuh!“Belum, Pak. Nungguin Seno ngelamar,” jawabku asal lalu beliau pun tertawa.Lagi asyik-asyiknya memberi para sapi dan kambing makan. Tiba-tiba Riena menjerit memanggilku. “Kenapa teriak-teriak sih, Rien?!” jawabku kesal. Dari jauh, tampak Riena tersenyum cerah, sebelum akhirnya berlari mendekatiku. Wajahnya yang sembab itu tampak sedikit berbinar. Aku yang gelisah, menangkup wajahnya lantaran tak tega melihatnya terus bersedih dan pura-pura bahagia di depan kami. “Kenapa?” tanyaku pelan. Kedua tangannya menggenggam tanganku lalu diturunkannya.“Bulik,” cicitnya memanggilku.“Hem?.“Mas Anjas punya sahabat.”Keningku berkerut, melihat gelagat gelisah Riena. “Tinggal di Jakarta. Eeem ... usianya sama kayak Bulik. Dia mau menikah tapi belum dapat jodohnya.” Aku makin menilik Riena aneh. “Bulik mau ngga, kalau taaruf sama dia?” Riena menunduk, saat mengucapkan kalimat terakhirnya.Aku terdiam sejenak. Terkejut mendengar tawaran mendadak dari Riena. Namun, saat melihat wajahnya yang kini menatapku penuh harap, aku lantas tersenyum dan mengangguk pelan. Siapa yang tega menolak tawarannya yang menggantung asa? “Kalau memang itu yang terbaik. Bulik bersedia,” jawabku membuat senyumnya mengembang lebar.Riena langsung memelukku erat. “Makasih, bulik! Katanya Mas Anjas orangnya baik. Pendiem. Nanti mereka ke sini.”Mendengar informasi itu, tubuhku langsung menegang. “Nanti?” Aku mendorong pelan bahu Riena. “Cepet banget?”Riena langsung tersenyum malu, meremas-remas ujung baju. “Sekalian, Mas Anjas mau kenalan sama keluarga kita,” jawabnya tersipu.Aku terpejam erat, menahan sesak yang mendadak meninju dadaku kuat. Astaga. Aku kan tidak ada persiapan. Aku tengah mematut diriku di depan cermin. Memperhatikan Dress semata kaki, berlengan panjang dan berwarna kuning gading yang melekat, membungkus tubuhku yang kurus dan tinggi. Tapi aku tidak berbodi. Tidak ada lekukan di atas pinggul. Lurus kayak papan triplek.Setelah itu mataku menilai rupaku yang memiliki hidung mungil, bibir tipis, dan pipi yang tirus. Ah ... pipi itu benar-benar menghancurkan wajahku. Apalagi kacamata yang aku kenakan. Makin memperburuk saja. Ck! Mengapa sekarang aku malah mengeluh dan mencibir ciptaan-Nya? Ya Allah, Shan. Untung dikasih wajah. Bersyukur!“Bulik! Cantik banget!” puji Rizki yang nyelonong masuk ke kamarku begitu saja tanpa permisi. Iiih! Ini anak.“Emang dari sananya aku cantik!” jawabku jemawa.Aku tidak suka kalau Rizki mulai menggodaku. Ujung-ujungnya nanti, aku yang dipermalukan oleh dia.Tangannya langsung dikibas di depan wajah. “Ke.pe.de.an!” cibirnya lalu berjalan ke pintu keluar. Tahu mau kudepak mungkin. Makanya pergi sebelum misiku itu terlaksana. “Oh ya. Kata ibu, buruan turun. Mereka sudah datang. Sama aja, bulik dan Mbak Rien. Ngaca sepuluh jam juga itu muka ngga berubah!” Rizki melongokkan kepalanya di celah pintu, dan kemudian kabur sebelum lipstikku terbang ke wajahnya.Setelah dia pergi dan kupastikan dia tak datang untuk mengganggu lagi. Aku kembali menghadap cermin. Ya ampun. Kenapa aku deg-degan? Dengan tangan yang berada di atas dada.*Dia itu seperti Sunset. Senyumnya menghangatkan. Wajah indahnya, sama dengan ufuk barat yang selalu kemerah-merahan menawan, kala sang surya mulai menyembunyikan badan.Sungguh. Aku tidak berbohong, atau melebih-lebihkan. Pria itu begitu tampan. Mahluk Tuhan yang sangat mendekati kata sempurna.Suaranya bahkan seperti sapuan angin semilir, membawa hawa menyejukkan. Namun sorot matanya. Ya ... seperti sunset di sore hari, yang hadirnya menandakan bahwa petang akan segera tiba. Aku tersesat dalam kegelapan sorot matanya yang begitu tajam. Indah, namun menghanyutkanku dalam kegelapan.Seperti sang surya tenggelam, yang indahnya bisa membuatmu lupa, bahwa petang yang kelam akan segera datang. Begitulah aku saat melihatnya yang begitu indah. Aku tak mampu mengalihkan pandanganku darinya. Indah. Aku sudah siap terperosok jatuh dalam pesonanya.Sungguh. Aku siap mengarungi kegelapan itu bersama rasa kagumku, jika tidak segera disadarkan oleh Riena yang menepuk bahuku pelan. “Gimana, bulik?” bisik keponakanku itu.Aku menoleh dan melihat Riena yang duduk di sebelahku. Apanya yang gimana? Aku tidak mengerti. Aku memasang wajah bingung. Bahkan aku tak tahu mereka tadi tengah membicarakan apa“Bulik ngga nyimak, nih!” celetuk Rizki membuatku mendongak mencari sosoknya yang sudah lenyap. Dia kabur sebelum aku memarahinya.Aku kembali melemparkan pandangan pada Riena yang terkekeh. Ayah, ibu dan Mbak Shinta bahkan ikut terkekeh.Aku lantas diam, berpikir sesaat. Namun saat sadar jika sedari tadi fokusku melalang buana pada rasa kagum akan sosok yang datang bersama Anjas kekasih Riena. Aku langsung menundukan kepala, malu. Kurasakan pipiku memanas, dan bisa dipastikan memerah seperti kepiting rebus. “Kedua orangtua saya menjodohkan saya dengan wanita yang tidak sama sekali saya sukai. Karena itu saya diusir. Saya ingin menikah, tapi ternyata tidak mudah mencari pendamping hidup. Setelah Anjas menceritakan tentang tantenya Riena. Saya tertarik dan saya ingin menikahi putri Anda,” ucapnya. Pria yang datang bersama Anjas. Memberanikan diri, aku mengintip dari bulu mataku yang tumbuh panjang dan lentik. Uuh ... Sorot matanya yang tajam memancarkan keseriusan yang tak bisa diragukan.“Gimana, Shan?” tanya Mbak Shinta mengagetkanku.“Em ... ya, ya kalau ibu sama ayah setuju....” Aku menggantung ucapanku lalu memandangnya lagi. “Shannon setuju,” ucapku, kembali menunduk malu.Pandangan kami sempat bertubrukan tadi. Manik mata hitamnya yang begitu menyesatkan memerangkapku dalam kebisuan seketika. Dia membuatku terpaku.Duh! Mengapa aku seperti ini? Jantungku tak berhenti berdetak. Sedari tadi terus saja berdentam dengan keras, dan aku takut jika orang yang berada di sebelahku bisa mendengarnya.Ya ampun. Rasa aneh apa ini, yang menyusup di hatiku dengan tiba-tiba? Apa ini cinta? Ck! Mengapa harus bertanya, seolah aku baru pertama kali merasakannya.“Ha ha ha! Kalau sudah malu-malu gini yah berarti mau banget, Mbahtong.”Si bocah kecil, Rizki kembali ikut campur, memancing mataku untuk bergerak mencarinya.Ternyata dia di sana. Sudah kembali dan berdiri di sebelah ayah. Dasar siluman rubah!Lepas memelototi Rizki, pandanganku kembali bergerak ke arahnya, dan pipiku malah makin terasa panas hanya karena lirikan sesaat yang kulakukan.Tapi, melihat sikap diamnya yang tanpa ekspresi, mencipta bibit kecewa di hatiku. Dia diam karena canggung, Shan. Hatiku mencoba meyakinkan. Tapi benar juga, sih. Lagian tidak mungkin pertemuan pertama ini langsung membuat matanya bersinar penuh cinta saat menatapku. Mungkin cuma aku yang terjebak pada cinta tatapan pertama.Eh? Cinta?Tidak-tidak. Aku sekedar mengaguminya.“Loh, kok geleng? Ngga mau kalau nikahnya dipercepat?” Suara ayah langsung menyentakku.“Haa? Mak-maksudnya?” Aku mengerjap tak mengerti.“Bulik butuh aqua tuh, Mbahtong. Ngga konsen!” celetuk Rizki lagi, membuat semua terkekeh kecuali dia.“Kalian menikah dulu. Besok ayah persiapkan semuanya, agar cepat selesai. Soalnya nak Pras harus masuk kerja lagi, dan hanya cuti tiga hari saja. Gimana?” tanya ayah membuatku menganga bingung..“Mak-maksudnya?” tanyaku masih tak mengerti.Aku dengar helaan napas Mbak Shinta yang ada di sisi sebelahku yang lain. “Kalian menikah besok. Karena Nak Pras harus balik ke Jakarta secepatnya,” jelas Mbak Shinta.“Tapi muridku?” Aku masih bingung dengan keadaan yang serba mendadak dan aneh ini.“Saya yang akan pulang terlebih dahulu ke Jakarta. Nanti saya akan datang sekaligus menjemput kamu saat pernikahan Riena dan Anjas. Setelah semua selesai, kita tinggal di Jakarta,” ucapnya lagi-lagi memandang lekat sepasang mataku.*Namanya Prasraya Ferd Orlando. Dia orang Indonesia. Hanya saja, kakeknya yang merupakan keturunan Inggris, membuat kulitnya tampak berbeda dengan orang asia. Wajahnya juga memperlihatkan jelas, jika dia memiliki darah campuran.Usianya sama denganku. Tiga puluh dua tahun. Tinggal di Jakarta, dan bekerja di salah satu perusahaan asing. Kami tidak menanyai jabatannya, karena itu kurang sopan. Kami tak mau jika malah dianggap mata duitan. Orangtuanya yang hanya tersisa ibu saja, tidak tinggal di Indonesia, melainkan di Jepang bersama dua adik lelaki dan perempuannya yang kebetulan sudah menikah semua. Dia diusir lima tahun yang lalu hanya karena menolak perjodohan yang sudah dirancang oleh ibunya. Dan semenjak itu kedatangannya tak pernah diterima lagi. Jadi, karena hal itu kami tak mendapatkan restu orangtuanya. Tapi itu bukan masalah bagi keluarga kami. Menurut ayah, kedatangan Pras sudah disebut sebagai sebuah keseriusan. Apalagi pria itu memberikan uang pernikahan yang cukup besar, padahal tidak ada perayaan apa pun selain ijab qobul.Tapi ayah tidak menjual anaknya. Ayah mengembalikan uang itu dan hanya meminta Pras menjagaku dengan baik, juga memberiku kasih sayang yang berlimpah.Aku ingin menangis saat ayah mengatakan itu. Aku anaknya. Bersamanya selama 32 tahun. Tapi hanya dalam satu kalimat ijab qobul saja. Aku anak perempuannya akan menjadi milik lelaki lain.Betapa besar hati para orangtua. Mereka membesarkan anak perempuannya. Dibiayai dan diberikan kasih sayang yang berlimpah. Namun kami yang tak tahu diri, masih saja membangkang, dan menantang perkataannya. Tapi hebatnya, semua itu tak mencipta marah di hati mereka.Begitu besar hati orangtua. Rela anaknya dimiliki oleh pria lain, tanpa mengharap balasan apapun, selain janji bisa membahagiakan putrinya. Bahagia kami adalah bahagianya juga. Walau mereka tahu, kelak, jika kami besar, kami putrinya hanya akan pergi dari sisi mereka. Kami para wanita, terlahir untuk mengabdi pada suami. Pria yang mengambil alih tanggung jawab orangtua terhadap kami anak perempuannya.Aku masih menangis di pelukan ibu. Entah mengapa aku merasa begitu ragu untuk lepas dari mereka. Itukah yang dirasakan oleh semua wanita yang akan menikah? “Bu,” panggilku terisak.“Ssst, ojo nangis. Kan udah biasa kamu ninggalin ibu sama ayah, to?” ucapnya membuatku semakin menangis kencang.Entahlah. Rasanya ini berbeda. Tidak seperti aku akan pergi bekerja ke Yogyakarta dan baru akan pulang sebulan sekali saja. Rasanya berbeda. Ya Allah. Aku bahagia karena akhirnya engkau memberikan jodoh untukku. Namun aku juga merasa bersedih. Ibu, ayah. Maaf jika selama ini aku tak pernah membanggakanmu.Hari ini adalah hari pernikahanku. Ya ... pernikahan yang hanya dihadiri keluarga dekat dan tetangga dekat saja. Rencananya, kami baru akan mendaftarkan pernikahan kami secara hukum nanti setelah Pras memiliki banyak waktu luang. Tapi tidak masalah untukku. Yang penting kan dia tanggung jawab.Ada Anjas yang bisa menjaminnya. Anjas adalah sahabat, sekaligus saudara jauhnya. Namun mereka lebih dekat sebagai sahabat beda usia, karena Anjas masih 27 tahun saat ini. Tapi satu hal lain yang membuatku merasa begitu sedih. Adikku tidak bisa hadir karena pernikahanku yang mendadak. Tapi kami tetap senang karena aku akan tinggal di Jakarta, yang artinya aku dan Shanas tinggal di satu kota yang sama. Kami akan sering bertemu nantinya.Selain itu juga, nanti di pernikahan Riena, Shanas pulang. Dia akan bertemu dengan suamiku. Dia pasti iri. Huuh! Karena selama ini dia terus saja mengejekku yang tidak pernah memacari lelaki tampan. Haduuh! Memangnya aku mengejar fisik?! Tapi nyatanya Allah memberiku yang seperti Pras. Astaga, dia ganteng. Wes, pokoke ra perlu diragukan lagi.         Bab Empat(Author POV) Bahkan kuncup bunga pun belum mekar.Angin menerpa mematahkan tangkainya.Indahnya cinta belum dirasakan.Namun pahitnya sudah menyebar meracuni raga. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Shannon Nieasha binti Panji Nugroho dengan mas kawinnya yang tersebut tunai.”Sah ... sah ... saaah! Alhamdulillah!Sebuah hubungan telah terpadu dalam akad. Terikat dalam janji suci di hadapan Tuhan Yang Esa. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu kini telah dipersunting oleh pria rupawan yang hadir dengan menawarkan ikatan suci tanpa jalinan cinta kasih sebelumnya.Namun bukankah itu bisa mereka rangkai kelak? Berjalan bersama di dalam mahligai rumah tangga yang akan mereka bina. Cinta itu pasti tumbuh. Tumbuh lebih indah dengan ridho Sang Pencipta. Halal. Begitu katanya. Bahkan nafsu yang tercipta pun akan menuai pahala. Mereka halal. Pasangan yang telah disempurnakan dalam ikatan suci, pernikahan.Pihak keluarga turut bahagia. Semua menangis haru karena akhirnya sang putri menikah jua walau di usia yang sudah tak muda.Pras menoleh ke arah wanita yang kini telah sah menjadi istrinya. Miliknya yang harus ia lindungi. Dia terpaku melihat kecantikan alami dari wajah Shannon yang begitu anggun tanpa kacamata yang menempel di atas batang hidungnya.Namun sekejapan, ia tepis rasa kagum itu. Dia tak boleh mencintai Shannon. Mengapa? Bukankah mereka harus saling mencintai? Mereka sudah menikah. Tidak boleh. Pokoknya tidak boleh. Pria itu harus membuang jauh perasaan itu.Shannon yang baru keluar dari dalam kamar segera disandingkan di sebelah Pras. Wanita itu menunduk, tersenyum malu. Dia telah menjadi seorang istri sekarang. Dia bahagia? Tentu dia bahagia. Dia akan mengabdikan hidup pada pria ini? Ya ... karena sekarang sang suaminya lah yang akan menanggung hidupnya. Cinta? Bagaimana dengan rasa itu? Bisakah ia mencintai pria yang baru ia kenal ini? Tentu saja bisa. Karena pria ini sudah mampu menghipnotisnya, membuat ia lumpuh tak berdaya. Mereka segera memasangkan cincin pernikahan di jari manis masing-masing. Setelah mencium tangan sang suami. Shannon terpejam saat merasakan benda kenyal dan dingin menempel di keningnya. Rasa dingin dan basah itu menghantarkan kehangatan kepadanya. Dia terlena.*Memang tidak ada perayaan apapun, tapi para masyarakat di sekitar tetap datang ikut merayakan kebahagiaan keluarga Panji. Para ibu-ibu banyak yang berkumpul di dapur untuk memasak, sedang para bapak-bapak asyik berbincang di halaman rumah.Pras pun ikut bergabung, sementara Shannon yang bergabung dengan kumpulan ibu-ibu dan teman di desanya harus menahan malu karena terus mendapatkan ledeken dari mereka.“Siap-siap nanti malam, Shan,” ujar teman wanita mencolek bahunya.“Opo, to?” jawaban itu dibuat seketus mungkin. Namun rona merah di wajahnya tak mampu menepis kenyataan, bahwa ia tengah malu saat ini.“Tahu, Shan? Rasanya tuh pedih-pedih panas di awal. Terus baru lama-lama enak,” ujar temannya lagi membuat pipi wanita ini semakin memanas.“Huush! Saru!” tukas Luthfiyah, ibu Shannon. Shannon langsung terkikik geli karena temannya itu kemudian diam cengengesan. Tapi malangnya itu tak benar-benar cukup membuat temannya itu diam lama. “Suamimu itu turunan wong luar, to?” tanya temannya berbisik. Shannon kemudian mengangguk.“Ati-ati kalau gitu.”Shannon langsung melihat temannya tak mengerti.“Soale, 'itu'nya pasti gede.”Kali ini wajah Shannon sudah benar-benar merah, lebih merah dari sebelumnya. Wanita ini jengah dan kemudian berdiri. Dia harus meninggalkan kumpulan ibu-ibu ini, termasuk teman-temannya yang juga sudah menjadi ibu-ibu.Kesal dan ingin meninggalkan mereka semua, Shannon berbalik dan sial baginya. Pria itu berdiri di belakangnya, memegang bahunya, kala Shannon tak sengaja menubruk tubuh tegap itu. Shannon menggigit bibir bawah, rasa malu makin mempertajam rona merah di pipinya.Pras ... mengapa di sini?! Apa pria ini mendengar ledekan teman-temannya? Begitulah kurang lebih pertanyaan yang berlarian di pikiran Shannon.Memberanikan diri, Shannon menatap sepasang manik hitam kelam milik Pras. Membuat Jantungnya berdetak makin kencang. Aliran darahnya mulai bergerak tak normal. Sat terdengar riuh sorak dari arah belakang, Shannon tersadar, kemudian melepaskan diri dan berjalan tergesa-gesa ke arah tangga kayu, naik menuju kamarnya. “Kesini duduk dulu nak Pras,” ucap seorang ibu-ibu yang lalu dijawab anggukan oleh Pras.Mereka pun berbincang, atau lebih tepatnya menginterogasi Pras dengan berbagai pertanyaan. Pras hanya menjawabnya dengan singkat. Pria ini tampak begitu kaku. “Sudah-sudah, jangan diganggu terus. Tadi nak Pras mau kemana? Dilanjutkan saja,” potong ibu mertuanya menyelamatkan Pras. Dalam hati pria ini berucap syukur.*Shannon duduk di tepi ranjangnya yang berukuran Queen. Entah cukup atau tidak kasurnya ini ditiduri olehnya dan Pras. Mempertanyakan hal itu, membuat jantungnya kembali berdentum keras. Sanggupkah malam ini dia menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri?“Soale, 'itu'nya pasti gede.”Ucapan Dwi sahabatnya kembali terngiang. Temannya itu malah menakut-nakutinya. Apakah benar-benar akan sesakit itu? Pedih, panas. Kerja otak Shannon terganggu oleh dua kata itu.“Aw!” Suara bariton itu mengagetkannya.Shannon berbalik kemudian langsung berjalan mendekati Pras yang baru saja memekik kesakitan. Kepala pria itu menabrak sisi atas ambang pintu yang memang hanya setinggi 170 cm, atau lima cm lebih tinggi dari tubuh Shannon. Sementara Pras memiliki tinggi yang luar biasa. 183 cm. Tinggi yang lumayan fantastis bagi Shannon. Seperti artis luar.“Maaf, pintunya memang pendek,” ucap wanita ingin menyentuh kening suaminya, namun kemudian ia urungkan karena Pras sudah masuk ke dalam kamar yang hanya setinggi dua meter. Karena memang kamar wanita ini terletak di loteng.“Perlu aku ambilkan obat untuk mengobati lukanya?” tanya Shannon cemas.“Tidak,” jawab Pras singkat. Pria itu mengambil posisi duduk di tepi ranjang mungil Shannon. “Maaf kamarnya kecil dan pendek. Atau mungkin kita bisa bertukar kamar deng—”“Tidak perlu. Aku di sini hanya sebentar,” jawab pria itu memotong ucapan Shannon. Shannon mengangguk lalu ketika sadar pintu masih dalam keadaan terbuka, segera ia tutup pintu itu.Setelah itu dia bingung harus melakukan apa. Dia gugup.“Aku ingin bicara,” mulai Pras langsung membuat wanita itu mengangguk. Shannon mendekat dan duduk di samping Pras, namun dengan jarak satu meter. Dia tidak sanggup bisa menahan detak jantungnya atau tidak jika bersentuhan dengan Pras.“Besok aku akan kembali ke Jakarta,” jelas pria itu tak memandang wajanya. Shannon mengangguk mengerti. “Aku akan datang kembali sehari sebelum pernikahan Riena dan Anjas. Setelah itu, besoknya kita kembali ke Jakarta. Aku mau urusan kamu di Yogya sudah selesai.” Pria itu berucap dengan begitu dingin dan penuh intimidasi. Shannon tak mampu membantah.“Satu hal lagi yang lebih penting. Aku tidak mencintaimu.”Tanpa jeda, tanpa sebuah tatapan. Pras berucap begitu saja, seperti melempar gumpalan kristal es ke arah jantung wanita itu. Menghujamnya tanpa perasaan. Shannon menggigil. Tidak ada yang salah dari kalimat Pras, karena wajar saja jika pria itu tak mencintainya. Hanya saja, seperti ada penghalang tak kasat mata yang tengah Pras bangun agar Shannon tak mendekati pria itu. Tidak? Mengapa harus tidak jika ada kata belum. Tidak. Seakan pria itu tidak akan pernah bisa mencintai Shannon.“Aku hanya membantu Anjas. Itu saja.” Baru kemudian pria itu memandang Shannon yang menunduk pilu. Mengapa hati wanita itu terasa begitu sakit? “Dan aku rasa kamu juga tidak ingin keponakanmu putus dari lelaki yang dia cintai. Anggaplah kita berkorban untuk orang yang kita sayangi,” imbuh pria itu kemudian.Shannon mendongak. Mata sendunya bertubrukan dengan mata tajam milik Pras yang siap mengoyak-ngoyak hatinya. “Lalu pernikahan ini?” Shannon makin bergetar. Entah mengapa dia ingin menangis.“Tetap kita jalani seperti biasa. Hingga kita menyerah. Aku mencintai wanita lain.” Lagi, berucap tanpa jeda.Shannon mendengus geli. Tragis. Mengapa pria itu harus mengatakan hal itu padanya? “Lalu mengapa kamu menikahiku dan menempatkan aku sebagai wanita perebut?” tanya Shannon tak percaya.Pras menggeleng pelan. “Kami sudah berpisah lama. Aku pikir aku bisa melupakannya, tapi saat aku tiba di sini, aku yakin jika aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Karena bukan semakin jauh, dia akan menjadi semakin dekat.” Pras diam menatap Shannon dalam. “Setidaknya aku sudah jujur. Jadi bertahanlah, selama kamu bisa bertahan. Aku tidak memaksa.” Pras berdiri memutus pandangan mereka.“Aku tidak mengerti. Maksudmu aku bisa pergi kapan pun?” tanya Shannon mencoba memahami situasi yang membelenggunya dengan jerat yang begitu menyiksa.“Begitu lah. Aku tidak akan menyentuhmu. Aku tidak bisa mencintaimu.”Shannon berdiri maju dan berhenti di hadapan Pras. Dia menatap dalam sepasang mata elang pria itu. “Tidak ada yang bisa mengatur datangnya cinta.” Shannon marah. Dia tak menyangka pria ini begitu egois.“Lalu apa yang akan Anda lakukan, Nona Shannon? Memaksaku untuk mencintaimu?” tanya Pras dengan nada merendahkan. Shannon terluka.Wanita itu menggeleng. “Aku akan bertahan. Pernikahan ini bukan sebuah permainan. Aku akan tetap berada di sampingmu sebagai seorang istri. Aku akan berusaha mencintaimu.”“Itu pilihanmu. Aku tidak memaksa. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Kamu bisa pergi kemana saja, jika kamu menyerah.” Pras berbalik ke samping dan berjalan menjauh.“Terima kasih,” lirih Shannon bergetar. Dia ingin menangis. Wanita ini belum merasakan manisnya hidup berumah tangga. Namun ternyata ia sudah merasakan pahitnya terlebih dahulu.Pras berhenti tanpa menoleh. Namun dia mendengarkan. “Terima kasih sudah mau menikahiku dan memberiku kesempatan merasakan bagaimana mahligai pernikahan dan merasakan menjadi seorang istri. Terima kasih.” Shannon begitu tulus.“Percayalah. Pernikahan yang kamu rasakan tidak akan seindah pernikahan orang-orang di luar sana. Kamu istri. Tapi kamu tidak sama dengan para istri diluar sana. Permisi,” jawab Pras melukainya.Pria itu kemudian pergi meninggalkan Shannon yang diam dalam suasana hening, penuh taburan luka. Wanita itu menarik napasnya dalam. Setidaknya dia bisa membahagiakan Riena. Dihapusya bulir air mata yang begitu berani membasahi pipi. Ini adalah bagian dari cobaan. Maka dia akan bertahan hingga kemudian Tuhan berkata. Cukup. Berhentilah.Tubuh Shannon meluruh di lantai membekap mulutnya yang mengeluarkan isakan. Mengapa dia begitu sakit atas ucapan Pras? Dia tak pernah sesakit ini. sebelah tangannya memukul dadanya yang terasa begitu nyeri. Sakit. Batinnya.        Bab Lima(Author POV) Kumerindu pada senja yang menyambut malam.Kumerindu pada malam yang dipeluk kelam.Kumerindu pada hitam yang tak mengharap terang.Sedangku hanya siang, bukan bulan yang menyinari kegelapan. Walau begitu, selama Shannon masih di Gunungkidul, Pras tetap menghubunginya. Bukan karena perhatian, melainkan kedok agar orangtua Shannon tak curiga atau khawatir. Andaikan menelpon pun, dia hanya bertanya sedang apa. Setelah dijawab, Pras meminta agar ponsel genggam diberikan kepada ayah Shannon. Lebih ada banyak hal yang dibicarakan jika dengan orangtua Shannon. Berbeda dengannya yang mungkin hanya menjawab dengan satu atau dua patah kata. Namun walau begitu, Shannon harus tetap tersenyum senang seakan Pras baru saja mengucap kata cinta padanya.Shannon sudah mulai mengepak pakaiannya. Dia akan kembali ke Yogya, sedang Riena menyusul dua hari lagi karena jadwal kuliah tiga hari ke depan kosong. Di kamarnya, Shannon menghubungi Pras. Berpamitan kepada suami sebelum pergi.Wanita itu sedang belajar berteman dengan rasa sakit. Menerima sikap Pras, menganggap semua adalah cobaan agar semakin kuat.Senyumnya terbit, kala panggilan pertamanya langsung dijawab oleh Pras.“Assalamualaikum, Mas. Aku mau pamit ke Yogya,” pamit Shannon sopan, dibumbuhi dengan jantung yang berdetak cepat tentunya.“Hem,” jawab dari seberang kemudian disusul dengan nada sambungan terputus.Shannon meremas baju yang menutupi dadanya. Sakit. Selalu begitu jika dia yang menelpon. “Bulik, jemputannya udah datang!” teriak Riena dari bawah.Segera ia hapus air matanya lalu menjawab dengan setengah berteriak. “Iya! Sebentar.” Dia berdiri lalu menyeret koper kecilnya. Berhenti di ambang pintu, Shannon berbalik melihat ranjangnya yang kecil.Malam itu, malam pertama setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Shannon hanya berdiri melihat apa yang Pras lakukan. Pria itu membentang bed cover miliknya ke atas lantai. Mengambil bantal dan guling milik Shannon lalu membaringkan tubuhnya di atas sana.“Apa kita juga akan pisah ranjang?” tanya Shannon pelan.“Aku sudah katakan bahwa tidak akan pernah menyentuhmu. Jangan bersuara lagi. Aku harus tidur,” jawab pria itu dingin.Shannon mengigit bibir bawahnya. Ini baru hari pertama. Jika di awal saja dia sudah mengeluh, maka Shannon tak akan bisa bertahan dalam pernikahan ini. Dia menarik napasnya dalam. Batu saja bisa berlubang dengan tetesan air yang lembut. Tentu saja dia juga bisa mencairkan hati Pras yang begitu dingin dan keras. Walau semua itu butuh waktu. Dia akan bertahan.“Kubawain bulik,” tawar Rizki mengagetinya. Dia bahkan tidak tahu Rizki sudah ada di dekatnya. “Ayo turun,” ajak pemuda itu, membawakan koper miliknya. Shannon mengangguk, lalu menutup pintu kamarnya.*“Iya, Shannon sudah sampai, Bu.” Shannon menghubungi ibunya setelah tiba di kosan. “Ya wes, sudah kabarin suami kamu?” “Belum. Tadi langsung kepikiran buat nelpon ibu aja,” jawabnya pelan.“Kalau gitu telpon suamimu. Ibu matiin, assalamualaikum.”“Waallaikumsalam.” Shannon lalu memutuskan sambungan.Wanita itu menjatuhkan tubuhnya ke belakang, terlentang di atas ranjang. Dia menimbang-nimbang haruskah menelpon Pras sekarang? Entahlah. Dia tengah ragu dan takut akan sebuah penolakan. Namun kemudian, saat ia angkat ponselnya ke depan wajah. Ia langsung mencari kontak Pras. Dan beruntung, pria itu langsung menjawab panggilannya.“Assalamuallaikum, Mas. Aku udah sampai,” mulai Shannon cepat.“Hem.”Tut tut tut!Tidak ada perbedaan dari jawaban sebelumnya. Kalau begini, harusnya pria itu tak menikahinya saja. Tapi bagaimana dengan Riena?Sebuah ikatan sudah tercipta, bahkan Tuhan pun jadi saksinya. Namun akankah Tuhan sudi menuntun pernikahannya? Jika yang satu bertindak, sedang yang satu diam tak peduli. Pernikahan ini hanya untuk menolong dua insan yang ingin bersatu. Mereka bahagia, yang menolong entah bagaimana nasib pernikahannya.Kisah ini baru dimulai. Namun tidak dimulai dari awal. Melainkan dari akhir. Siap melompat terjun ke kedalaman jurang kehancuran. Hancurnya yang sudah direncanakan. Shannon tersenyum miris. Tidak pernah ia bermimpi akan menjadi istri yang tak dianggap.*Shannon sudah mulai mengurus pengunduran dirinya sebagai seorang guru. Tapi dia baru akan berhenti nanti, satu minggu sebelum dia pulang ke Gunungkidul. Yang jelas, saat ini sudah dipersiapkan terlebih dahulu.Banyak yang merasa kehilangan jika Shannon berhenti mengajar. Wanita itu baik dan penyabar. Namun semua berharap, Shannon tetap akan menjadi seorang pengajar di Jakarta. Bahkan kepala sekolah di tempatnya mengajar ingin merekomendasikan dirinya ke salah satu Sekolah Dasar di Jakarta yang kepala sekolahnya masih teman pria paruh baya itu.Namun Shannon menolak karena dia belum meminta izin kepada Pras, bolehkah ia bekerja di Jakarta nanti. Karena selama dua hari berada di Yogya, Shannon kesulitan menghubungi Pras. Bahkan pesan yang Shannon kirim pun tak dibalas oleh pria itu.Karena tidak mau hubungannya dicurigai oleh Riena yang sudah datang seminggu yang lalu. Wanita malang ini selalu berpura-pura menelpon Pras. Kasihan. Kedatangannya di Yogya, membuat pria itu berhenti menghubunginya.“Ibu Shan mau pindah?” tanya gadis kecil berusia delapan tahun pada Shannon. Itu adalah muridnya.“Kok Ayu tau?” tanya Shannon memangku Bocah yang bernama Ayu itu.“Nanti Ayu diajar sama siapa?” Ayu tak menjawab pertanyaan Shannon, melainkan melempar pertanyaan baru..“Nanti ada guru pengganti yang jauh lebih baik dari ibu. Nanti sesekali, ibu main ke sini,” jelas Shannon mengecup pipi Ayu.Dia menyukai anak kecil. Namun secercah harapannya yang berharap memiliki anak setelah menikah, sepertinya harus ia kubur kembali. Pras tak akan menyentuhnya. Itu janji pria itu.Tapi bukankah menurutnya anak bukan segalanya? Shannon tak peduli Andai dia tak memiliki anak. Namun tak tahu dengan Pras. Tak mungkin pria itu tetap akan mempertahankannya tanpa seorang anak. Pras pasti akan menikahi wanita yang pria itu cintai untuk mendapatkan keturunan. Lalu jika itu terjadi, apakah Shannon harus benar-benar mundur? Sanggupkah jika dia memiliki madu?Usai mengajar, Shannon tak segera pulang ke kos. Dia ingin me-refresh pikirannya. Pergi ke alun-alun kidul, mungkin bisa sedikit menenangkan pikiran yang tengah berkecamuk. Dengan motor, Shannon pergi ke beringin kembar yang terletak di alun-alun selatan, Yogyakarta.Mengapa harus ke sana? Karena menurut kepercayaan kejawen, alun-alun kidul dianggap berfungsi sebagai tempat peristirahatan para dewa, sehingga dijadikan sebagai tempat untuk menenangkan hati.Tiba di sana, Shannon berdiri tak jauh dari dua pohon kembar legendaris yang pastinya sudah sangat dikenal oleh banyak orang. Dia diam di sana menikmati sapuan angin yang menerpa kulit putihnya.Rambutnya yang ia ikat ponytail bergerak mengikuti arah angin. Dipejamkan matanya, untuk menenangkan hati. Meski ada banyak pengunjung yang asyik melakukan masangin—ritual melewati pohong kembar, yang konon hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berhati bersih saja—Shannon tak terganggu. Dia suka di sini, menikmati angin yang bertiup menghantarkan kesejukan dan kedamaian.“Tidak mau mencoba melakukan masangin?” Seorang pria mengagetkannya. Shannon segera membuka mata dan menoleh ke samping kanan. Pria asing yang tak dikenalnya.Pria itu tersenyum memamerkan lesung pipi yang begitu dalam. Membuat iri wanita yang tak memiliki lesung pipi saja.Manis. Shannon sepertinya harus memukul kepalanya yang baru saja memuji pria ini.Shannon menggeleng. “Cuma melihat-lihat,” jawabnya kemudian mengalihkan perhatian pada sumber suara yang terdengar begitu riuh. Para pengunjung tengah tertawa karena aksi seorang pengunjung lelaki yang gagal melakukan masangin dan malah jatuh terjerembab ke depan.“Tidak mau jatuh seperti itu?” tanya pria asing ini dengan nada mengejek.Shannon kembali melihatnya. “Maaf?” tanyanya sedikit tak suka. Pria itu menggeleng lalu tanpa persetujuan Shannon, dia langsung memasangkan kain hitam penutup mata kepada wanita itu.“Hei ... apa-ap—”“Ssst! Bermain-main saja. Mencoba peruntungan,” ucap pria itu lalu memutar tubuh Shannon sebanyak tiga kali. “Cobalah!” ucapnya seru.“Konyol,” ketus Shannon, meski ia sendiri merasa sedikit heran, mengapa dia tak menolak?“Ck! Bisa dilepas kalau ngga suka! Atau takut.”Pria itu menantangnya, memancing dengusan sebal Shannon. Dia tidak suka ditantang. Membuktikan bahwa dia bisa, wanita itu kemudian melangkah ke depan dengan hati-hati. Terus melangkah, dengan pikiran kosong. Ya ... raganya ada di sini. Namun pikirannya melayang kemana-mana.Pras. Sudah hampir dua minggu suaminya itu tak menghubunginya. Entah mengapa ada rasa rindu yang bergejolak. Dia merindukan suara pria itu. Suara dingin dan datar, yang setiap mengeluarkan sepatah kata, seperti melemparkan satu anak panah yang begitu tajam ujungnya. Melesat telak, menusuk jantung wanita ini.Bruk!Shannon tersentak. Dia langsung melepas penutup kain tersebut, saat menyadari bahwa dia menabrak seseorang. “Gagal,” ucap pria itu menggeleng dramatis.Shannon mendelik kesal, dengan bibir mengerucut. Pria ini menghalangi jalannya. “Aku tidak salah jalan. Aku tidak berbelok!”Pria itu mengangguk. Namun kemudian dia menggeser tubuhnya. Ternyata ada kucing yang sedang tertidur di belakang pria itu. Jika Shannon terus berjalan, maka dia akan menginjak kucing berwarna putih tersebut.“Sudah ada yang menghentikan jalanmu,” ucap pria itu mengembangkan senyumnya, hingga matanya membentuk sabit terbalik. Pria berkulit sawo matang dengan rambut cepak ini benar-benar manis dan tidak membosankan. Wajahnya. Tapi entah dengan sikapnya. Sepertinya menjengkelkan.Shannon hanya mencibir. Menarik tangan pria itu, mengembalikan kain hitam penutup mata. “Permisi,” pamit Shannon.Namun tak peduli akan keengganan Shannon terhadapnya, pria itu malah mengekor. Entah apa yang diinginkannya. “Aku dari Jakarta. Sendirian di sini karena tersesat. Em ... Hey! Dengarkan aku,” ucapnya meminta perhatian Shannon.“Apa?” Shannon berhenti lalu berbalik. Secepatnya pria itu menghentikan langkah, jika tidak ingin menabrak tubuh bagian depan Shannon dengan tubuhnya.Shannon mengernyit, saat ia pikir akan bertabrakan. Namun kemudian bernapas lega karena hal itu tak terjadi.“Aku tadi dicopet,” jelas pria itu.Alis Shannon menukik. Harusnya pria ini pergi ke kantor polisi dan melapor bahwa dia baru saja mengalami peristiwa naas, yaitu pencopetan. Mengapa malah mengikuti Shannon? Memang dia pencopetnya?“Tadi aku makan di sana.” Pria itu menunjuk sebuah warung makan. Shannon melihat ke arah yang ditunjuk pria asing. Lalu mereka saling menatap lagi. “Aku taruh semua barang di samping tempat duduk,” lanjutnya menggerakan tangannya seakan mempraktekkan posisi dia duduk, dan posisi di mana barangnya. “Tiba-tiba hilang.” Lolos helaan napas putus asa.“Terus? Ya ke kantor polisi,” tukas wanita itu.Pria itu mencebik sedih.”Lama. Itu pun kalau ketemu.”“Terus apa urusannya sama saya?” Shannon berdecak, mulai tak nyaman.“Karena aku kenal sama Mbake!” ujarnya seru.Hidung Shannon lantas berkerut, dengan ringisan tak mengerti. “Maksudnya?”Pria itu mengulurkan tangan. “Aku Satria, sepupunya Seno. Sesekali main ke Gunungkidul, dan waktu itu lihat Mbake lagi sama Seno di halaman belakang ngasih makan sapi.”Shannon menautkan alis, mencoba mengingat wajah pria di hadapannya, yang mengaku bernama Satria, sepupu Seno..Merasa Shannon tak akan menyambut uluran tangannya, Satria menarik tangan mundur. “Allah itu maha baik. Di saat saya terkena musibah, saya ketemu sama seseorang yang saya kenal dan insyaallah bisa membantu.” Begitu percaya dirinya Satria. Merasa Shannon pasti sudi menolongnya.Wanita itu lantas tersenyum geli, merasa ada yang lucu dari kalimat yang Satria ucapkan. “Masih untung, ya?”“Ya jelas! Ngga ada yang namanya masalah tanpa solusi. Beruntung. Walau kehilangan barang, tapi ketemu sama tetangganya sepupu. Jadi bisa minta tolong dianterin ke tempat Seno atau pinjem uangnya dan sekalian tanya alamat Seno. Dia pindah rumah, tapi saya lupa tanya alamat barunya. Hape ikut ilang soalnya. Sama duit juga kan ludes. Ini aja, makannya tadi digratisin karena kasian saya kecopetan,” jelas pria itu panjang lebar.“Berarti beruntung lagi, makan gratis,” ujar Shannon.Menaikan bahu jemawa. “Begitulah.” *Shannon mengantarkan Satria ke rumah Seno. Tak menyangka ia bisa bertemu dengan pria ini. Dia pun cukup salut dengan daya ingat Satria yang masih mengingatnya, padahal terakhir ke Gunungkidul, adalah tujuh tahun yang lalu. Shannon sendiri sama sekali tak ingat. “Langsung pulang?” tanya Seno pada Shannon yang hanya duduk sebentar setelah mengantarkan Satria yang memboncengnya. Pria ini malu saat dia ingin dibonceng oleh Shannon. Dia kan lelaki. Apa kata orang, duduk di belakang wanita?“Iya. Riena nanti nyariin,” jelas Shannon yang sudah berada di dekat motornya di halaman rumah Seno, sementara pria itu berdiri di ambang pintu.“Sekali lagi selamat atas pernikahan kamu, ya? Nanti kalau sampai di Jakarta, jangan lupa silahturahmi lewat telpon.”Shannon menganguk. “Pasti itu. Ya wes, aku pulang dulu.” Shannon menaiki motornya. “Pamit juga ke Satria.”“Wes molor dia,” jawab Seno lalu tergelak.Setibanya di rumah Seno, tujuan utama Satria adalah kamar. Bahkan dia tak ikut mengobrol terlebih dahulu. Kasihan sekali. Berniat jalan-jalan menghibur diri. Malah kejatuhan sial.Shannon tertawa kecil, melambaikan tangannya sebelum melajukan motor, keluar dari perkarangan rumah Seno yang tak begitu besar.Dia baru tiba di kos, jam lima sore. Riena tidak ada. Sepertinya keponakannya itu belum pulang dari kampus. Segera saja, dia merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Shannon kelelahan, hingga tak sadar ia tertidur.Adzan maghrib membangunkannya. Dia segera duduk, dan tak lama pintu kos terbuka. “Huuh! Ada jam tambahan tadi,” suara Riena yang baru pulang.“Pantes kok baru pulang.” Shannon menguap. Dia menggerakan tubuhnya hingga terdengar bunyi kretak seperti tulang patah. Kemudian mengenakan kacamata yang tadi ia letakkan di atas bantal.Kamar kos mereka memang cukup besar. 4 X 7 meter tanpa sekat. Cukup untuk satu kasur berukuran besar. Selain itu, juga ada TV, kulkas, lemari dan meja belajar. Di luar ruangan terdapat beberapa kamar kos lagi, juga sebuah dapur dan beberapa kamar mandi.Riena langsung duduk di atas karpet yang berada di depan TV. Wanita itu menyalakan si kotak ajaib, kemudian mengeluarkan ponselnya. Ponsel. Sepasang mata Shannon membeliak. Astaga. Dia belum menghubungi suaminya sejak tadi.Shannon segera mencari ponsel di dalam ranselnya yang ada di samping kasur. Ponselnya di-mode silent karena tadi dia mengajar, jadi dia lupa untuk mengaktifkan suaranya. Saat membuka ponsel berlayar pipih tersebut, Shannon melotot tak percaya.Tujuh belas panggilan tak terjawab dari Pras. Melihat itu, sebagian hatinya bersorak senang. Pras menghubunginya sebanyak ini. Shannon mengulum senyum. Kemudian ia berdiri keluar dari kamar.“Kemana?” tanya Riena.“Em ... nelpon Mas Pras,” jawabnya yang kemudian mendapatkan ledekan dari Riena. Shannon tak mengindahkan. Dia langsung berjalan ke lantai atas, menuju balkon yang biasa digunakan untuk berkumpul dengan anak kos yang lainnya.Cepat dia menghubungi Pras. Panggilan pertama tak diangkat. Kedua, hingga keempat tak diangkat. Shannon mengerucutkan bibirnya. Mungkin Pras sibuk, atau marah.Dia duduk di salah satu kursi kayu, menghadap rumah yang ada di depan bangunan kosnya. Diam beberapa saat sebelum memilih masuk mengambil wudhu. Namun baru dia berdiri, ponselnya berdering.Segaris tipis senyum tercipta indah. Secercah harapan timbul. Mengharap ada sang bulan memberikan cahaya indahnya di kala kegelapan akan menyapa. Shannon segera duduk sembari menjawab panggilan tersebut yang tak lain dari Pras sang suami.“Assal—”“Kamu kemana? Aku telpon ngga diangkat! Seharian ngga ngasih kabar! Kalau memang kamu ngga siap dengan pernikahan ini dan ingin menyerah saja. Katakan dari awal. Jadi kita bisa membuat perjanjian pernikahan, kapan waktunya kita bercerai!!” ”Mas ak—”Tuttut tut!!“Mas! Mas, hal—”“Bulik aku mau cari makan. Mau titip?” Riena menyusulnya ke atas, berdiri di ambang pintu.Shannon berdiri dan berbalik melihat Riena yang ada di belakangnya dengan alis naikturun menggoda sembari tersenyum jahil. Shannon membalas senyuman Riena, lalu mengulurkan tangannya meminta Riena menunggu sebentar.“Iya mas. Aku sehat. Mas hati-hati di sana, ya? Aku mau cari makan dulu. Assalamualaikum.” Shannon pura-pura memutus sambungan telpon yang sudah diputus sejak tadi oleh Pras.“Bulik juga laper. Tapi bulik salat dulu. Nanti kita cari makan bareng-bareng,” jawabnya menyembunyikan kesedihan melalui senyum.Harapannya sirna. Tak ada kelembutan dari setiap ucapan Pras. Tidak indah seperti bulan yang sudah memamerkan sinarnya di atas sana bersama beberapa bintang yang mulai bermunculan. Mengapa Pras berkata seperti itu? Tidak tahukah pria itu jika Shannon merindukannya?         Bab Enam(Shannon Pov) Rindu.Seperti satu piece yang menghilang,kosong, tak bisa menggenapi kesempurnaan. Aku menahan tangis haru saat semua murid dari kelas satu hingga kelas enam mengucapkan kata perpisahan sebelum besok aku resmi tidak mengajar lagi di sini. Besok aku sudah pulang ke Gunungkidul untuk membantu persiapan pernikahan Riena. Sementara keponakanku itu sudah pulang empat hari yang lalu.Beberapa yang dekat denganku menangis. Mereka menangis karena tidak ada yang menemani mereka saat menanti orangtua mereka menjemput. Karena aku memang tidak akan pulang jika masih ada murid yang menunggu jemputan di sekolah.Bagaimanapun mereka adalah muridku. Anak-anakku. Aku seorang guru juga merupakan orangtua kedua bagi mereka. Jika mereka belum pulang—khususnya yang masih kecil di bawah usia 10 tahun—Aku akan menghubungi orangtuanya dan menunggu bersama.Sekarang jaman makin gila. Bahkan masa depan anak-anak, tidak peduli lelaki maupun perempuan bisa terancam oleh nafsu binatang yang bercangkangkan raga manusia.Penculikan, pemerkosaan, pembunuhan, pencabulan bisa saja terjadi jika tidak ada pengawasan. Masa depan para murid juga masa depan seorang guru. Mereka hancur. Kami pun hancur karena merasa gagal. Kami yang bertanggung jawab atas mereka selama mereka berada di dalam ruang lingkup pengawasan kami, yaitu sekolah.Aku tidak mengajar lagi karena sudah selesai jam sembilan pagi tadi, kemudian melakukan perpisahan dengan berkumpul di lapangan, lalu perpisahan dengan para guru. Kemudian aku pulang dan menangis di jalan. Aku akan berpisah dengan mereka yang sudah menemaniku selama beberapa tahun. Aku pasti akan merindukan semuanya.Soal kepulanganku ke Gunungkidul. Sebenarnya bisa saja aku pulang hari ini. Tapi masalahnya aku belum memberesi barang-barangku yang ingin kubawa ke Jakarta. Hem ... berbicara tentang Jakarta, mengingatkanku pada Pras yang tidak menghubungiku sejak hari itu. Sementara panggilan dan pesanku tak ada satupun yang ia jawab ataupun dia balas.Aku memandang kamar kosku. Aku sudah berada di sini sejak sepuluh menit yang lalu. Tapi apa yang aku lakukan? Hanya duduk bersila di atas kasur dengan ponsel di tanganku. Aku kembali membaca pesan-pesan yang aku kirimkan kepada Pras.Jumlahnya tidak banyak. Hanya sekitar tujuh pesan dan delapan dengan yang ini. Aku malu sendiri membaca pesan yang aku kirimkan. Tujuh tahun berhenti untuk berhubungan dengan pria, sepertinya membuat aku rindu untuk berkirim pesan cinta dengan kaum adam.Sekarang aku melampiaskannya kepada Pras. Entahlah. Aku tidak tahu bagaimana raut wajahnya saat membaca semua pesanku ini. Aku malu! Astaga, Shannon! Mengapa aku harus mengiriminya pesan?Aku membaringkan tubuhku ke samping, sembari meluruskan kaki, lalu terlentang. Bagaimana jika dia mengatakan aku wanita penggoda? Alisku menukik. Istri menggoda suaminya sendiri itu tidak masalah. Lagian aku harus membuatnya jatuh cinta padaku, kan? Jadi ... aku harus berusaha. Aku bodoh, ya? Menyukai pria seperti Pras? Tapi aku harus apa? Toh aku jatuh cinta dengan suamiku sendiri. Bukan suami orang lain.Waaw! Aku terlihat begitu optimis. Padahal jelas kemarin pesimis menyapaku tanpa sopan. Sebenarnya ini karena Satria. Hem? Mengapa Satria? Dia itu ... pengganggu cilik yang mampir ke dalam hidupku sejak kejadian di Alkid beberapa minggu yang lalu. Dia datang kemari dan kami banyak berbicara tentang hal yang penting hingga hal yang tidak penting.Jadi hari itu,Tok tok tok!!Aku mendongak dari layar TV ke arah pintu. Siapa tamu siang-siang begini? Tidak mungkin Riena. Kalau yang pulang Riena, dia pasti sudah masuk begitu saja.Malas-malasan aku berdiri menuju pintu. Kala pintu terbuka, aku melihat pria berkulit hitam manis yang tersenyum menampakan lesung pipinya. “Hai,” salamnya.Aku menaikan sebelah alisku. Bagaimana dia bisa ke sini?“Aku meminta alamat dari Seno,” katanya langsung nyelonong masuk tanpa kulonuwun!“Yang sopan, Le!” tegurku sekaligus meledeknya. Dia masih kecil ternyata. Usianya baru dua puluh tujuh tahun. Muda, kan? Iya jika yang mengatakan adalah aku yang sudah berusia di atas kepala tiga. Karna normalnya, usia dua puluh tujuh tahun itu termasuk sudah dewasa.“Nggih, Mbok!” jawabnya lalu duduk santai di depan TV. Mengambil camilan milikku, memakannya dengan tenang. Astaga! Apa-apaan dia?“Ngapain berdiri? Ayo duduk. Ngga usah sungkan!” katanya tenang dan aku hanya membuka mulutku tak percaya. Di mana sopan santunnya?Aku berjalan mendekatinya lalu menjitak kepalanya. “Sakit, Mah!” “Hee?”Aku yakin raut wajahku saat ini pasti aneh. Mah? Apa-apaan dia?Aku lihat Satria yang mengusap kepalanya. “Jangan suka pukul kepala papa. Durhaka!” katanya lagi menyurutkan langkahku ke belakang. Kesurupan setan apa dia?“Hahahaha!” tawanya kemudian menggelegar.“Apa yang lucu?!” sergahku lalu mengambil posisi duduk di sebelahnya, merebut piring makananku yang berisi biskuit cokat. “Ngga sopan!”“Heem! Dasar mak-mak.” Habis mencibir, Satria meluruskan tangannya ke belakang, dengan telapak tangan menempel di karpet. Tubuhnya condong ke belakang, santai. Seolah sekarang dia sedang berada di rumahnya sendiri.“Kata Seno, kamu mau ke Gunungkidul, kan?” tanyanya.“Masih lama.”“Ngga apa-apa. Aku di sini juga masih lama. Rencananya aku mau ke Gunungkidul nemuin pakde. Tapi memang sekarang ini ngga bisa karena ada kerjaan. Pas buka E-mail, aku mesti ke Tegal karena ada kerjaan mendadak. Jadi nanti pas kamu mau balik ke Gunungkidul barengan aja, ya?”Aku mengangguk. “Boleh.” Sambil memakan biscuit coklatku.Kemudian hening. Tidak ada pembicaraan lagi sepertinya. Sampai kemudian Satria mengubah topik ke hal yang tidak aku duga. Yaitu 'cinta'.“Pernah jatuh cinta, Shan?”Anak itu memang tidak sopan. Memanggilku tanpa embel-embel 'Mbak'. Alasannya, bilang itu ngga pantes. Walau ya ... baguslah. Berarti dia menganggap aku masih muda.Aku terdiam sejenak sebelum kemudian mengangguk.“Rasanya gimana?” Satria menoleh melihatku yang sudah melihatnya terlebih dahulu.“Ya gitu,” jawabku mengedikkan bahu.“Deg-degan? Bahagia pas lihat dia. Sedih pas lihat dia sedih. Ikut seneng pas lihat dia seneng, walaupun kita berada di kondisi yang memprihatinkan.”“Kamu jatuh cinta?” tebakku asal. Habisnya, dia membahas cinta. Setahuku pria itu jarang sekali membahas hal yang menyentuh kalbu seperti ini.Satria mengangguk. “Tapi kayaknya susah buat ngedapetin dia, Shan.”“Kok?”“Ya ... gitu.” Satria mengalihkan pandangannya ke TV lagi. Aku pun mengikuti. “Tapi aku optimis! Sangat opimis buat dapetin dia! Kan harus usaha. Iya ngga, Shan?” katanya.Usaha. Berbicara usaha. Apakah selama ini aku sudah berusaha untuk mendapatkan hati Pras? “Shan!” kejut Satria.“Astaghfirullah,apa Sat?” tukasku kaget.“Ditanya kok melamun!” katanya bersungut-sungut.“Nanya apa?” Aku balik tanya. Aku lupa dia tadi tanya apa.“Ck! Harus optimis demi meraih cinta demi bersatunya dua hati yang memang sudah ditakdirkan, Shan!” ucapnya dengan otot. Santai aja, kenapa?“Kalau ternyata bukan takdir?” tanyaku dengan bola mata berputar kesal.“Pasti Allah akan menunjukan jalannya. Jika memang dia bukan takdir kita, perlahan Allah pasti akan menjauhkannya dari kita dengan mendekatkan kita dengan jodoh kita yang sesungguhnya, dan dia dengan jodohnya sesungguhnya.”“Terus apa aja usaha yang udah kamu lakuin selama ini?” tanyaku menantang. Ya mungkin saja dia cuma semangat di mulut, tapi nyatanya tidak ia laksanakan.“Aku sudah empat kali nembak dia, Shan. Tapi ditolak. Aku mau nembak dia lagi. Kalau sekali ini ditolak, berarti mungkin memang untuk saat ini, dia benar-benar tidak mau aku mengganggunya. Jadi waktunya aku untuk berhenti sejenak. Kalau memang dia jodohku, pasti nanti dideketin sama Allah. Kalau bukan, ya ngga akan dideketin.”Aku mengangguk-angguk. Lumayan salut. Empat kali ditolak dan dia tetap maju terus. Lah aku? Aku kan belum usaha apa-apa. Gimana mau terwujud menyiptakan keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah.Begitulah kemudian. Aku jadi jauh lebih agresif. Kalau dua-duanya pasif, ya ngga akan jalan. Walau pasti berat, menjadi pihak yang menarik.Tapi aku harus berusaha. Demi rumah tanggau. Lalu sampai kapan aku berjuang sendiri? Tiga pilihan. Sampai Pras luluh dan kami melangkah bersama, atau sampai Allah memintaku berhenti, atau jika memang aku sudah benar-benar menyerah seperti kata Pras.Walau Allah membenci sebuah perceraian. Tapi apa yang harus aku lakukan jika ternyata Pras bukan jodohku? Karena yang jelas aku tidak mau dimadu. Mengapa aku berpikir begitu? Karena ada wanita lain yang suamiku cintai. Dia sudah bilang itu. Kemungkinan dimadu itu sangatlah ada. Aku melihat lagi layar ponselku. Membaca ulang delapan pesan yang kukirimkan padanya.Pesan Pertama.From : MeTo : Mas PrasMas, apa kabar? Msih ngambek, ya? Maaf ga jwab telpon mas waktu itu. Janji ngga Shan ulangi lagi.Mas..... ngambeknya jangan lama2, ya? Nanti jngan lupa telpon Shan kalau ngambeknya udah reda.Pesan KeduaFrom : MeTo : Mas PrasKok aku msih dicuekin sih, mas? Jawab Telpon Shan, ya? Shan kangen pengen denger suaranya mas.Pesan KetigaFrom : MeTo : Mas PrasMaaas! Telponku ngga dijawab2 aja. Mas Pras ngambeknya awet bnget. Ngga kasihan sama istrinya yang nungguin kbar di sini? Sehat kan, mas?Pesan Keempat.From : MeTo : Mas PrasYa udah kalau masih marah ga apa-apa. Tapi kalau udah ga marah lagi telpon Shan, ya? Atau jwab telpon Shan. Mas, aku beneran kangen.Pesan Kelima.From : MeTo : Mas PrasMas Pras Ganteng lagi apa? Aku pmit pergi ke Prambnan, ya? Sama Riena dan Anjas. Coba klau mas disini. Sekalian blan madu. #Shy.Pesan Keenam.From : MeTo : Mas PrasAku tadi masak tumis cumi, mas. Kata Anjas mas suka banget sama cumi. Aku nyobain buat masak, jadinya kok aku mlah muntah-muntah. ga enak. Ktanya Anjas yang nyipin sih enak rasanya. Tapi kok amis ya mnurut aku. Kamu udah mkan blum? Mau aku suapin, ga? Hihi. #Ngimpi. Eh tpi mas. Aku pinter mask sambel terasi. Klau udh nyicipn skli. Psti ketgihan. Nanti kalau kita tnggl breng. Psti shan buatin.Pesan Ketujuh.From : MeTo : Mas PrasMas kangen, kangen, kangen, kangen. Jawab telpon aku, mas. Pliiiss! Masa kejadian udah lama, tapi Mas Pras masih marah aja. Kan aku udah minta maaf.Pesan Kedelapan.From : MeTo : Mas PrasHari ini aku perpisahan sama murid-muridku, mas. Aku nhan buat ga nangis. Soalnya takut klau nangis malah ga bisa berhenti. Tpi pas di motor, pas plang tadi. Aku mlah nangis.Mas msih marah banget ya? Mmangnya kmaren itu mas mau ngmong apa? Mas... Shannon kangen sama Mas Pras. Kangen dnger suara kmu. Biar ketus ttep bikin adem. Adem prasaan krena bisa tahu kalau kmu baik-baik aja.Ohya. Aku mau beres2. Siapin baju2 aku. Kmu beneran dtang ke nikahan Riena dan Anjas, kan? Jangan ga. Terus nanti aku gimana?Em ... mas. Jaga kesehatan, ya? ya udah. Nanti kalau dibca. Bales pesannya Shannon ya?Dah mas!I love you.Aku menarik napasku dalam. Aku mencintaimu mas. Aku tidak tahu mengapa perasaan ini bisa datang begitu cepat. Tapi aku benar-benar merasa seperti ikan yang terdampar di daratan. Menggelepar tidak berdaya. Rindu ini menggerogoti diriku. Dan setiap megingat jika rindu ini tidak akan pernah terobati, aku menangis. Mengapa aku yang mengalami ini semua?Drrrt Drrrt!Aku tersentak saat ponsel yang ada di perutku bergetar. Aku segera melihat siapa yang menelpon. Dan antara percaya tidak percaya aku memandang layarku yang berkelip-kelip menampilkan nama pemanggil.Mas Pras. Namanya berjalan di layar ponselku. Aku segera menjawabnya. Astaga, rinduku terobati.“Assalamuallaikum, Mas.”“Aku sehat. Aku sibuk. Dan hapus perasaanmu itu, sebelum kamu tersakiti jauh lebih dalam lagi. Ingat. Berhenti bermimpi.”Tut tut tut!Aku terdiam. Tenggorokanku rasanya tercekat. Mataku sudah berkaca-kaca siap meluruhkan cairan kristal yang udah menggenang mengaburkan. Rasanya sakit. Begitu sakit di ulu hatiku. Terima kasih sudah menelponku, Mas. Rinduku sedikit terobati.Aku terpejam. Memiringkan tubuh memeluk guling. Tidur sebentar. Sakit ini pasti akan sembuh sendiri. “Hiks!” Mengapa aku menangis? Aku tidak perlu menangis. “Allah, Allah, Allah.” Aku berharap Kau bisa menghapus rasa sakit ini,         Bab Tujuh(Author POV) Cinta.Tuhan pemberinya.Insan menguasainya.Seakan itu hak miliknya.Hingga jurang dalam nan gelap pun tetap diterjangnya.Abaikan moral dan peraturan yang ada.Seakan Sang Pemberi cinta, tak berhak ada di dalam kisahnya.   Shannon sudah tiba di rumahnya di Gunungkidul. Dia datang bersama Satria yang mau menemui Pak Kardi ayah Seno. Pria itu memilih menetap sebentar untuk ikut membantu persiapan pernikahan Riena dan Anjas, menggantikan Seno yang tak bisa datang.Sementara itu, Pras sendiri malah masih belum tiba, padahal esok Riena dan Anjas sudah resmi menjadi suami istri. Begitu pula dengan Shanas yang mengabarkan baru akan tiba nanti malam karena ada beberapa hal yang harus ia urus dulu di kota Solo.“Bulik ikut luluran. Biar nanti sama Paklek Pras, proses bikin bayinya lancar.”Plak!“Aduh!” Riena langsung meringis kesakitan saat merasakan pukulan di bahu telanjangnya.Sore ini dia dan Shannon sedang berada di kamar meluluri tubuhnya dengan lulur yang diracik dengan beberapa bahan seperti kunyit, beras, daun pAndan dan entah bahan apa lagi yang ada di dalam lulur yang saat ini tengah dibalurkan ke tubuh Riena yang hanya mengenakan kemben.Shannon memasang wajah jengkel karena ucapan Riena. Bukan jengkel. Lebih tepatnya malu. Dia malu jika harus membicarakan hal seintim itu dengan orang lain. Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil. Apalagi membicarakannya.“Kok dipukul, to? Saran Rien ini benar, Bulik!” protes Riena memejamkan matanya menikmati sentuhan Shannon yang meluluri bahunya disertai pijatan yang merileksasikan kekakuannya karena gugup menyambut hari pernikahannya esok. “Tapi bulik, rasanya gimana? Sakit, ngga?” Shannon mendadak kaku dengan pertanyan Riena.Dia saja belum melakukan itu. Bagaimana dia tahu rasanya, Shannon menggigit bibir bawahnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan. “Eem ... ya gitu. Sakit,” katanya kemudian.Menurut informasi yang dia dengar dari yang sudah berpengalaman, katanya seks yang pertama bagi perempuan itu sakit. Jadi dia berikan saja info itu kepada Riena.“Tsk! Ya sakit sih aku tahu. Temen aku yang udah nikah juga bilang gitu. Maksudnya sakitnya itu gimana?” Riena memperjelas pertanyaannya membuat Shannon seolah terkucilkan di pojok ruangan yang gelap. Dia tak tahu apapun tentang hal itu, kecuali teori yang bisa ia baca dan dengar dari siapapun.Dia tak tahu bagaimana rasanya, karena Pras saja tak pernah menyentuhnya. Sakit. Dia kembali sakit jika harus mengingat dinding tak kasat mata yang sedang dibangun oleh suaminya itu. Dinding itu yang menghalangi dia agar tak mampu merasai sang suami. Tak hanya sentuhan. Tutur lembut pun tak pernah ia rasakan dari setiap kata yang keluar dari bibir pria itu.“Emboh, Rien. Itu rahasia kasurku. Ngga boleh berbagi informasi!” Shannon menepuk pelan bahu Riena lagi. “Sudah. Aku tak—”Tok tok tok!!“Bulik. Paklik Pras sudah sampai!” teriak Rizki dari luar menginformasikan kedatangan Pras yang entah mengapa membuat jantung Shannon bergemuruh hebat.“Ciye ciye ... suaminya udah datang,” ledek Riena mencolek pipi Shannon membuat buliknya itu berdecak.“Bulik keluar dulu,” pamit Shannon lalu berdiri. Melewati kaca besar yang tertempel di lemari yang ada di kamar Riena. Shannon sempat berhenti sebentar memperhatikan penampilannya. Tidak ada yang aneh memang. Tapi dia cukup tak percaya diri menemui Pras dalam keadaan begini.Wanita ini mengenyahkan pikiran aneh-anehnya. Untuk apa memikirkan Pras yang tak akan menyukai penampilan rumahannya ini? Toh berdAndan cantik pun, Pras tak akan peduli.Riena yang memperhatikan polah buliknya itu tertawa kecil. Walau samar, dia bisa melihat semburat merah di wajah Shannon.Sebelum bertemu dengan Pras yang tengah berbincang dengan orangtua Shannon dan keluarganya di ruang tamu, Shannon pergi ke kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan tangannya dari lulur.Kemudian dengan celana batik panjang dan kaos berlengan panjang pula, dia langsung ke ruang tamu untuk menemui Pras. Mata yang memancarkan aura dingin itu bersirobok dengan pancaran sendunya. Bibir yang tak pernah terulas senyum untuknya itu, kini menyunggingkan senyum tipis yang cukup menghanyutkan diri Shannon ke dasar lembah yang menghangatkan. Betapa ia merindukan suaminya itu.“Nah itu Shan. Anter suamimu ke kamar. Pasti capek dia,” titah Luthfiyah ibu Shannon.Shannon mengangguk dan menunggu suaminya berdiri. Beriringan tanpa sepatah kata pun yang terucap, mereka berjalan menuju kamar Shannon yang ada di loteng.Tiba di tangga, Shannon berhenti lalu membuka suara. “Mas aku buatin minum sama ambil makan deh, ya? Mas pasti lap—”“Aku udah makan di luar,” tolak Pras cepat mematahkan keinginan Shannon yang berharap bisa melayani sang suami.Wanita itu lalu mengangguk mengikuti langkah Pras yang ada di depannya. Pria itu masuk ke kamar sang istri dan segera menjatuhkan dirinya ke kasur. “Aku mau istirahat. Kamu keluarlah,” usir Pras begitu saja membuat lobang luka di hati Shannon makin melebar.Wanita itu menggeleng pelan, berusaha menahan perih di hatinya. Bersama pikiran yang berkecamuk. Dia memandang Pras nanar. Tak mungkin dia keluar. Itu akan membuat curiga keluarganya. Mana ada seorang istri yang sudah lama tak bertemu dengan sang suami, malah meninggalkan suaminya sendirian di dalam kamar.“Mas tidurlah. Biar aku di sini,” jawab Shannon tak dipedulikan oleh Pras yang memilih terlelap di ranjang kecil Shannon.Menghela napas berat. Shannon berjalan ke arah jendela sebelah barat. Lamat-lamat, dia memperhatikan matahari yang mulai menyembunyikan dirinya ke belahan bumi yang lain. Saat-saat yang Shannon sukai. Dia melebarkan senyumnya saat menerima sapuan hangat dari sinarnya mentari senja.Larut dalam kebahagiaan sederhananya, sepasang mata memincing melihat Shannon yang begitu menikmati sinar mentari yang silaunya jelas mengganggu mata. Tapi sepertinya Shannon tak merasa begitu.Pras mendesah kecil. Pikirannya kembali berkelana ke satu hal yang selalu mengganggu kerja otaknya akhir-akhir ini. Dia ingin menceraikan Shannon. Tidak. Dia ingin Shannon lah yang menceraikan dirinya agar namanya tetap baik di keluarga ini. Tapi bagaimana caranya? Diurut pelipisnya yang terasa sakit. Pernikahan ini adalah hal yang dapat membantunya menjauh dari kejaran Tiara. Wanita matrealistis yang akan ibunya tunangkan kepadanya. Tapi mengapa dia seakan salah mencari umpan?Mengapa harus Shannon. Itu yang menjadi pertanyaannya. Karena dari sekian juta wanita di Indonesia. Mengapa harus Shannon yang menjadi bulik dari Riena. Mengapa tidak wanita lain saja, sehingga hal seperti ini tidak akan membuatnya semakin gila.“Kamu pusing?” tanya Shannon saat berbalik dan menemukan Pras yang sedang memijat pelipis.Pria itu menurunkan tangannya, memandang Shannon lekat. Tatapan dingin yang menghunus hingga ke jantung. “Kenapa?” tanya wanita itu, seakan tatapan Pras menyalahkan dia. Menyalahkan apa dia tak tahu. Atau karena dia bertanya keadaan pria itu, jadi dia salah?Tanpa berniat menjawab pertanyaan istrinya. Pras segera bangkit. “Aku harus mandi.” Menjangkau tas yang ia sAndarkan di samping ranjang, lalu mengambil pakaian ganti.Shannon yang memperhatikan, hanya mengangguk tanpa suara. Hatinya bertanya-tanya. Sampai berapa lama mereka akan seperti ini?*Malam yang terasa ramai. Ada sanak saudara yang berkumpul, juga riuh tetangga yang datang untuk membantu memasak, atau bergotong royong mendekorasi tarup. Suasana penuh kegembiraan, menjelah hari H.Menyambut keluarga yang sesekali datang bersamaan. Di ruang makan yang dibentang tikar di atas lantai, keluarga besar Shannon berkumpul, makan malam bersama dalam suasana yang begitu hangat.Pras yang duduk di sebelah Shannon juga ikut berbaur dengan sanak saudara mertuanya. Mereka para pria, lebih banyak membicarakan masalah politik serta keekonomian negara, seolah mereka lah pakarnya dalam bidang tersebut. Sementara Shannon dan beberapa perempuan lainnya hanya membicarakan hal-hal sepele seperti pakaian hingga ke anak-anak.“Assalamualaikum!” salam seorang wanita yang langsung memeluk Luthfiyah yang duduk di sebelah kanan Shannon.Melihat kedatangan adik yang dinanti. Shannon langsung membelalak terkejut. “Shanas!” pekiknya lalu mengelus punggung Shanas yang baru saja tiba.Mereka yang tadi asyik pada obrolan masing-masing, segera memutar alih fokus kepada Shanas. Merka menyambut saudara mereka dengan suka cita, mengabaikan satu sosok yang hanya diam terpaku.Pras memejamkan matanya erat, dengan tangan yang mengepal kuat. Dia sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Karena dia yakin saat seperti ini pasti akan tiba. Dia pasti akan bertemu dengan Shanas. Tidak mungkin tidak karena dia kini tengah berada di rumah mantan kekasihnya yang masih amat sangat ia cintai itu. Namun ketika akhirnya ia berada di posisi ini. Hatinya mendadak gelisah.“Ini suami Mbak-mu. Kenalin,” ujar Luthfiyah megenalkan Pras yang diam tak menoleh ke arah Shanas, bahkan hanya untuk sekilas saja.Shanas mencolek bahu Shannon sebagai tanda bahwa dia tengah menggoda kakaknya yang kemudian merona. Wanita berusia 25 tahun itu segera berjalan di atas lutut, menggeser Shannon dan menyurukan tubuhnya di antara Shannon dan Pras. “Mau kenalan dulu, mbaknya nyingkir!” cAnda wanita itu membuat Shannon mendengus kesal, namun seiring kemudian dia terkekeh bersama yang lainnya. Pras menarik napas dalam saat ia membaui aroma yang sangat ia kenali ini. Pria ini mengerjap, dengan jakun yang bergerak turun naik. Tak ingin ada yang menaruh curiga dengan sikapnya, dia kemudian segera menoleh, membalas tatapan Shanas yang terpaku kala mengenalinya dengan begitu baik.“Hai,” sapa Pras terdengar sopan, namun bak petir menggelegar yang menyambar tepat di depan hidung Shanas. Wanita itu mengerjap tak percaya. Keningnya bahkan berkerut dalam, lantaran belum yakin dengan apa yang ditemukan indra penglihatannya.“Nama saya Pras,” ujar Pras lagi mengenalkan dirinya dengan menekan kuat rasa sakit serta keinginan untuk memeluk Shanas detik itu juga.Shanas diam, menekan sesuatu yang mengganjal hatinya. Matanya memerah, namun ia memaksakan sebuah senyum, menghindari kecurigaan.“Kok diem?” tegur Riena menginterupsi keterpakuan Shanas. Shanas menggeleng dan tertawa kecil. “Ganteng banget!” Dia langsung menyenggol bahu Shannon, kembali menggoda kakaknya untuk membuyarkan rasa tak percaya yang diikuti rasa kecewanya. Wanita ini kembali memandang Pras bersama senyum lebarnya. “Shanas. Adik Mbak Shan.” Dia mengulurkan tangan.“Shanas. Dari Gunungkidul,” ujar wanita itu mengulurkan tangannya pada pria yang akan menjadi pelatih untuk melatih kemampuan beladirinya.“Pras. Saya akan menjadi pelatih khusus Anda selama Anda berada di sini.” Pria itu menjabat tangan lawan bicaranya.*Shanas membalikan badan penuh emosi. Tatapannya menghunus tajam ke arah Pras yang kini sudah bersamanya di samping rumah yang memang selalu sepi. Mata wanita ini basah setelah akhirnya ia bisa meluapkan tangisnya di hadapan Pras. “Kenapa bisa gini?” tanyanya lagi untuk kesekian kalinya. Pras menggeleng lemah. Dia tak pernah tahu jika Shannon adalah kakak dari Shanas jika ia tak melihat foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu saat dirinya datang melamar. Namun untuk mundur pun dia tak mampu karena sudah terlanjur berjanji akan membantu Anjas. “Maaf.” Pria ini tak mampu mengeluarkan kata lain selain satu kata bersama jutaan rasa sesalnya.“Kenapa Pras?” Shanas memukul dada Pras dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Kakinya sudah bergetar tak mampu menopang dirinya yang lemah.Pria itu menangkap kedua pergelangan tangan Shanas untuk ia tempelkan ke permukaan dinding. Dikuncinya tubuh mungil itu dengan tubuhnya yang menjulang tinggi. “Berhentilah menangis,” pinta pras tak kuasa menahan sakit seiring tetesan lembut yang keluar dari mata indah Shanas.“Kamu sudah mendengar penjelasanku tadi. Jadi aku mohon mengertilah,” ujar pria ini menyatukan keningnya dengan kening Shanas.“Kamu tega, Pras. Aku nunggu kamu selama ini dan kamu malah menikah. Teganya lagi, wanita yang kamu nikahi adalah kakakku sendiri. Kenapa selalu sakit yang kamu kasih ke aku?” Tubuh Shanas akan meluruh ke bawah jika Pras tidak menangkap cepat pinggang wanita itu.“Aku mau melindungi kamu dari keluargaku. Aku mau kamu bersabar sebentar, tapi malah ini yang terjadi. Ak—”Tatapan tajam Shanas membungkam Pras. “Apa kamu berniat menceraikan kakakku?” Pras diam, dengan sorot sendunya. Tanpa harus mendengar kalimat yang akan Pras ucapkan. Shanas tahu jawabannya. “Kamu gila? Dia kakakku! Ngga mungkin aku membiarkan kamu ngelepasin dia.” Shanas melirih. Namun tak sanggup pula ia membiarkan lelaki yang ia cintai hidup bersama wanita lain. Terlebih wanita lain itu adalah kakaknya sendiri. Dia pasti akan tersiksa dengan semua ini.“Aku tidak mencintainya, Nas. Aku mencintai kamu.”“Tapi Pras. Semua udah terjadi. Ngga akan mungkin aku menghancurkan kebahagian kakakku sendiri,” tutur Shanas pilu. Semakin sesak saat ia mengingat wajah merona Shannon tadi. Tak dapat dipungkiri bahwa kakaknya telah menaruh hati kepada Pras. Prianya.“Tenanglah, Nas. Jangan pikirkan apapun karena ini adalah urusanku. Jangan ikut terbebani. Tenanglah,” rayu Pras lembut sembari menghapus jejak air mata di pipi Shanas.“Tapi Pras, ak—”Pras langsung mengecup bibir Shanas untuk menghentikan ucapan penuh kekhawatiran itu. Dia tak ingin kekasihnya memikirkan apapun. Biar lah dia yang dibingungkan oleh semua ini. Jangan Shanas.“I love you,” bisik Pras lembut.“Kamu tahu perasaanku juga belum berubah sampai detik ini. Aku cinta kamu, Pras. Mencintai kamu lebih dari yang kamu tau.” Shanas memeluk Pras erat. Meluapkan semua rasa rindu dan kecewanya dalam dekapan hangat Pras.Wanita itu masih menangis di dada Pras. Pikirannya terus melayang pada takdir yang seakan mempermainkan dirinya.Dia tak tahu apa yang kurang. Selama ini ia terus menyebut Pras dalam doanya selepas sujud pada yang Kuasa. Dia tak meminta banyak hal, selain ingin bersatu dengan pria yang membuat hari-harinya hidup. Dia ingin bersama cinta pertama yang selalu ia harapkan menjadi cinta terakhirnya, dan akan menemani hari-hari tuanya kelak. Namun mengapa Tuhan malah mengujinya dengan kisah cinta yang bukan sekedar berbelok, namun juga menukik tajam hingga ia kesusahan untuk meraihnya.Pras. Mengapa cintanya ini harus menikahi Shannon, kakaknya sendiri.         Bab Delapan(Author POV) Derap langkah samar di padang ilalang.Namun berbekas, meninggalkan jejak yang dalam.Kudiam melihat aksimu yang mengendap-endap meraih bulan.Sedang kau tahu, itu milik sang malam.   Pria itu langsung menyembunyikan tubuh di balik tembok dengan menahan sejuta kepedihan. Dia menekan bibirnya hingga membentuk garis lurus seakan semua emosi sedang tertahan di sana.Perlahan tanpa ingin menimbulkan suara yang mencurigakan hingga diketahui oleh dua pengkhianat itu. Dia masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang.“Darimana kamu, Sat?” Tubuhnya menegang saat satu suara yang terdengar tua itu menyergapnya. Satria menoleh setelah menutup pintu dapur.“Dari sebelah, Pakde,” jawabnya senormal mungkin agar tak dicurigai. “Aku ke kamar dulu Pakde. Huaamh ... shudah nganthuk!” pamitnya sembari menguap panjang. Matanya disayukan agar orang yang ada di hadapannya ini percaya dengan acting murahannya.“Ya wes, tidurlah. Padahal tadi mau Pakde ajak ke sebelah.”Satria merenggangkan tangannya, kembali menguap lebar. “Waah, baru dari sana. Ke kamar ya, Pakde.” Kemudian langsung melengos pergi, masuk ke dalam kamar yang merupakan kamar Seno dari dulu hingga sekarang.Dengan tumpukan rasa gundah, sakit dan kasihan menjadi satu. Ia baringkan tubuh besarnya ke atas ranjang yang sudah tak empuk lagi itu dengan tumpuan kecewa. “Kenapa kamu bisa setega itu sama kakakmu sendiri, Nas?” tanyanya lirih kepada dirinya sendiri. Shanas. Itu adalah satu nama yang beberapa tahun lalu mulai mengisi relung hatinya juga mengganggu pikirannya. Shanas. Dulu adalah gadis cantik yang membuatnya jatuh hati saat pertama kali bertemu dengan wanita itu di sini. Saat dia berkunjung ke Gunungkidul dulu. Mengetahui Shanas akan kuliah di Jakarta membuat hatinya bersorak girang. Dia bisa menemui sang pujaan hati kapanpun jika begitu. Hingga kedekatan mereka pun terjadi. Namun sayang. Dia tak setampan, setangguh dan sekaya Pras. Pernyataan cintanya ditolak oleh Shanas walau ia tahu jika Shanas belum bersama dengan Pras saat itu. Namun kemudian ia mundur saat akhirnya Shanas dan Pras menjalin hubungan pacaran. Dia bukan lelaki yang sudi menghancurkan hubungan orang lain secinta apa pun dirinya. Hingga kemudian ia kembali lagi saat tahu Shanas telah ditinggalkan begitu saja oleh Pras.Berniat membantu mengobati luka hati wanita itu, Satria menjadi penghibur Shanas. Dan saat dia mencoba peruntungannnya kembali dengan menyatakan kepada Shanas. Tetap saja tak ada yang berubah. Penolakan lagi yang ia dapat.Tak ingin menyerah. Dia kembali menyatakan cintanya dan ditolak lagi. Lalu kedatangannya kemari adalah untuk melamar wanita itu langsung kepada orangtua Shanas karena tak sanggup melihat Shanas yang selalu bersedih karena kehilangan Pras.Satria ingin mengobati hati wanita itu dengan cara menikahinya, namun kenyataan yang dirinya lihat sekarang adalah hal yang mungkin merupakan teguran dari Tuhan.Berhenti. Sepertinya Tuhan meminta dia untuk berhenti mencintai Shanas, wanita yang selama tujuh tahun ini terus menjadi pusat dunianya. Kenyataan yang baru saja ia lihat adalah kenyataan pahit akan kejamnya orang yang mencinta, hingga mampu merusak tali pernikahan maupun persaudaraan.Satria mengepalkan tangannya lalu memukul pelan keningnya yang terasa sakit karena memikirkan semua masalah yang Shanas dan Pras cipta. Seperti buntalan benang yang kusut. Kedua orang itu membuat kerunyaman bukan hanya untuk keduanya saja, namun juga untuk keluarga Shanas.Namun yang terpenting adalah Shannon. Apa kesalahan wanita lembut itu hingga dikhianati begini rupa? “Malang tenan nasibmu, Shan,” ujarnya lemah. Walau baru mengenal Shannon. Namun dia sudah sangat tahu jika wanita itu adalah wanita yang tak pantas untuk disakiti. Ditariknya napas untuk melonggarkan kesesakan di dadanya. Tapi walau begitu, dia juga tak bisa menyalahkan Shanas yang mengkhianati Shannon. Karena nyatanya adalah Shanas mencintai Pras dengan tulus dan jauh lebih dulu mencintai Pras.Yang salah di sini adalah Pras. Pria itu begitu egois menurutnya.*“Kamu darimana?” tanya Shannon memutar tubuhnya menghadap pintu kamar saat Pras baru saja masuk.“Dari cari angin,” jawab pria itu singkat seraya berjalan mendekati Shannon yang berdiri di dekat ranjang mungilnya. Derap langkah pria itu membelah kesunyian di ruangan kecil ini.Pendar mata hitam legam pria itu berkilat aneh memandang Shannon yang menatapnya bingung. Wanita itu seakan dilucuti oleh pandangan yang tampak begitu seduktif menurutnya.Aah ... mungkin Shannon sudah mulai gila atau mungkin sudah tergila-gila, hingga pandangan mengerikan itu dia artikan menjadi pandangan liar, baginya. Walau tak ia pungkiri bahwa saat ini, Shannon merasakan lututnya goyah. Mengapa pria ini mampu memikat lalu menjeratnya begitu dalam?Jika sudah begini. Sanggupkah ia melepaskan diri dari Pras? Sanggupkah ia mencintai pria yang tampaknya begitu enggan untuk sekedar menaruh sedikit perasaan padanya. Jatuh cinta. Siapkah dia merasakan sakitnya jatuh karena mencintai lagi?“Ada yang mau aku bicarakan.” Tak biasanya. Pria itu berujar pelan dan sedikit lembut. Meski itu saja belum mampu memecahkan keseriusan dan ketegangan yang pria ini ciptakan tanpa sadar.Shannon kemudian menunduk tak mampu menyatukan pandangannya dengan manik hitam itu. “Apa?”“Mari kita buat perjanjian.” Pras menarik perhatian Shannon hingga membuat wanita itu kembali mendongak memandang wajah Pras untuk mencari maksud dari ucapan pria itu.Shannon mendongak. “Aku ngga ngerti.” Dengan kerjapan polos.“Kalau begitu aku jelaskan.”Shannon hanya mengangguk sekali. Mengapa dia merasa begitu gugup? Sepertinya ada hal buruk yang akan Pras katakan. “Aku tidak mau menyakiti kamu. Aku mau kita berteman.”Seketika Shannon mengulum senyum. Langkah awal yang bagus. Berteman. Bukankah dengan begitu ia bisa menjadi lebih dekat dengan Pras? Semoga saja begitu.“Jadi enam bulan dari sekarang kita berteman saja dan aku mau kamu menyepakati perceraian kita setelah enam bulan.”Hening. Tak ada suara setelah mendengar pernyataan terakhir Pras. Shannon membuka bibirnya namun kemudian ia menggeleng karena tak tahu harus berbicara apa.Dia mengerjap menghalau air mata yang mulai mengaburkan pandangann. Kembali dipAndangnya Pras untuk mencari segelintir kelakar di sepasang mata tajam pria itu. Nihil. Pras serius.“Apa kita tidak bisa menjalani pernikahan ini selamanya?” tanya wanita ini menekan kuat sakit dan kecewanya. Walau sejujurnya dia sudah sangat ingin menangis detik itu juga.“Aku mencintai wanita lain. Maaf. Aku tahu aku salah sudah mempermainkan pernikahan ini. Tapi bukankah memang pernikahan ini harus ada, demi Riena dan Anjas?”Pras seakan tengah mencari pembenaran dari kesalahannya dengan mengungkit masalah Riena yang jelas selalu membuat Shannon sadar jika tujuan awalnya menikah adalah karena Riena, bukan karena dia dan Pras yang menginginkan pernikahan ini terjadi.“Jadi maksud kamu, kita harus berpisah karena kamu yakin tidak akan bisa mencintai aku?” Wanita ini merasakan perih. Hatinya mencelos saat melihat anggukan pasti Pras.Rasanya begitu susah meneguk salivanya karena ada sesuatu yang seperti mengganjal dan terasa begitu sakit. Shannon mengatupkan rahang. Kemudian perlahan dia mengangguk menyetujui. Tak perlu memaksakan kehendak diri. Shannon akan menyerahkan semuanya kepada sang waktu karena dia yakin jika waktu bisa saja mengubah perasaan Pras yang saat ini membeku.. Kuasa Tuhan pemberi cinta, pasti akan membantunya.“Tapi dengan satu syarat,” ujar Shannon memandang lekat mata Pras yang memancarkan tanda tanya yang begitu besar.“Selama enam bulan ini....” Shannon menggantung ucapannya lalu tersenyum geli melihat wajah penasaran Pras. “Aku mau merasakan apa itu pernikahan. Aku mau menjadi istri yang merasakan nikmatnya berumah tangga.”“Aku tidak bisa.” Pras langsung menyela dengan cepat. Dia kemudian menggeleng dengan seluruh rasa frustasi yang menumpuk di keningnya yang seketika berkerut. “Aku tidak bisa menyentuh kamu.”Kecewa. Tentu itu yang Shannon rasakan mendengar penolakan Pras. Namun dia tetap harus tersenyum agar Pras tak semakin pusing memikirkan masalah mereka. “Tidak perlu. Cukup kamu bersikap baik sama aku, Mas. Makan sarapan yang aku buat. Biarkan aku melayani kamu seperti menyiapkan baju, memasak untuk kamu, mengimamiku saat menghadap Gusti Allah, juga menjadikan aku teman untuk berbagi semua keluh kesahmu. Hanya enam bulan saja. Setelah itu kita bercerai baik-baik,” jelas Shannon membuat Pras merasa lega.Pria itu kemudian mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih,” ujarnya membuat senyum bahagia itu tertular pada Shannon yang baru pertama kali ini diberi senyum tulus seorang Pras.Menghilangkan kecanggungan yang mendadak menyelimuti atmosfer di sekitar mereka. Shannon mengedikkan bahunya lalu duduk di atas ranjang sekaligus mengistirahatkan sepasang kakinya yang terasa lunglai akibat kenyataan yang dirinya terima barusan.“Kalau gitu ... kita ngga perlu mendaftarkan pernikahan kita ke KUA biar nanti cerainya ngga repot. Masalah orangtua aku, tinggal bilang aja udah kalau mereka nanyain. Gimana?” Shannon mendongak menatap Pras yang masih berdiri dengan pandangan yang tak terbaca.Pria itu hanya heran saja karena tak melihat kesedihan dari wanita itu. Shannon begitu luwes menanggapi permasalahan yang mereka hadapi. Dia pikir wanita itu akan menangis atau membuat keributan mengingat Shannon sudah pernah menyatakan cinta padanya. Namun ternyata tidak.Pras hanya mengangguk saja sebagai jawaban. “Tapi ... maaf sebelumnya.”“Iya?” Shannon menaikan alisnya menunggu lanjutan kalimat Pras.“Berhenti mencintai aku. Aku tidak mau menyakiti kamu Shan,” lanjut pria itu yang lalu ditanggapi senyuman lebar Shannon hingga mata wanita itu melengkung membentuk bulan sabit.“Tidak perlu merasa terbebani untuk hal itu,” lugas Shannon yang merasa bahwa Pras begitu egois.Melarangnya mencintai pria itu seakan hatinya adalah milik Pras saja hingga bisa dikendalikan sesuka hatinya. Tapi walau begitu. Shannon mendengarkan saran Pras. Dia akan berhenti mencintai pria itu. Tapi nanti setelah perceraian mereka.*Para keluarga yang menjadi saksi ikrar suci pagi ini duduk di belakang sepasang pengantin yang baru saja resmi menjadi sepasang suami istri yang sah. Bukan hanya di mata agama, namun juga di mata hukum.Shannon turut bahagia melihat senyum dan tangis haru Riena. Dia berdoa untuk kebaikan keponakan terkasihnya itu. “Riena cantik ya, Nas?” ujar Shannon terus menatap Riena dan Anjas yang baru saja saling melingkarkan cincin di jari manis mereka.“Ha? Iya mbak,” jawab Shanas terdengar sedikit gugup, namun hal itu tak disadari oleh Shannon.Shanas melirik Pras yang duduk di sebelahnya dengan pandangan kesal. Untung di belakang mereka tidak ada siapa pun selain tembok. Jadi tidak akan ada yang tahu apa yang diperbuat tangan jahil Pras kepada tangan Shanas. Pria itu meremas tangan mungil dan halusnya di belakang punggung. Mencipta detak jantung karena gugup dan bahagia memacu jadi satu di dada keduanya. Usai semua proses ijab kabul hingga sungkem, kini Shanas dan Shannon ke kamar Riena untuk membantu keponakannya itu mengganti baju. Walau sudah ada penata riasnya, namun mereka juga ingin ikut serta menemani momen merias ratu sehari itu.Baru saja Shannon memperhatikan Riena dirias, ponselnya bergetar. Keningnya mengernyit saat membaca pesan dari Satria yang akan pulang hari ini.Kok pulang? Batinnya bertanya. Lalu ia pun sadar jika sejak semalam, Satria tidak datang lagi kesini. “Aku keluar sebentar,” pamitnya lalu keluar dari kamar Riena. Dengan kebaya broklat berwarna coklat keemasan yang menjadi seragam keluarga pengantin. Shannon berjalan membelah keramaian para tamu yang berlalu lalang di sekitarnya.Di jalan depan rumah Pak Kardi dia melihat sebuah kijang innova berwarna hitam sedang berhenti di sana. Tak lama ia melihat Satria yang keluar dari dalam rumah bersama Pak Kardi. “Kok pulang, to? Acara kan belum selesai, Sat,” tanyanya menghampiri.“Ada urusan mendadak, Shan. Jadi mesti pulang.” Satria bohong. Tapi hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu jika dia berbohong.Dia pergi karena tak ingin Shanas melihat kehadirannya. Dia tak mau wanita yang masih ia cintai itu tahu kehadirannya lalu menyangka dirinya akan membeberkan masa lalu Shanas dengan Pras. Satria tak ingin ikut campur akan hal ini, walau dia sangat ingin membantu Shannon.“Nanti kukasih tahu alamat rumahku di Jakarta. Jadi kalau kamu kesepian, bisa hubungi aku. Oke?” ujar pria ini dijawab anggukan oleh Shannon. Namun walau begitu Shannon merengut sedih. Dia merasa ada teman jika bersama Satria. Tapi kini Satria malah ingin pulang ke jakarta.“Ngga usah cemberut. Nanti kalau kangen tinggal nelpon atau BBM. Jaman sudah canggih jadi ngga usah sedih gitu,” lugas Satria begitu percaya diri. Walau memang benar apa yang pria itu ucapkan. Dia sedih jika Satria pergi. “Shan. Kalau ada apa-apa, cerita sama aku, ya?”Shannon mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum senang. Satria begitu tulus mengatakan ingin mendengarkan keluh kesahnya.         Bab Sembilan (Shannon POV) Sepi itu ...Bukan sendiri.Tapi saat yang terkasih.Enggan peduli.   Aku masih termenung di dalam kamarku, memandang rembulan yang tengah memamerkan sinarnya bersama kilau ribuan bintang. Mereka seakan tengah memperolok aku yang jelas merasa sepi, sementara ada puluhan orang di luar sana yang sedang tertawa bahagia.Setelah kepergian Satria siang tadi, aku mengikuti serangkaian acara demi acara. Begitu antusias dengan pernikahan Riena dan Anjas sampai membuatku lupa jika aku belum makan seharian.Maagku kambuh dan alhasil, aku memilih untuk istirahat terlebih dahulu walau di luar masih ada acara untuk muda mudi desa.Aku sudah terbangun sejak satu jam yang lalu setelah memutuskan tidur lepas Isya. Sekarang sudah jam sepuluh malam dan mungkin sebentar lagi pesta dibubarkan. Aku menghembuskan napasku perlahan, lalu mundur selangkah untuk menutup jendela kamarku. Aku berbalik dan menyeret langkah menuju ranjang.Ingin keluar dan ikut tertawa bersama keluargaku. Tapi untuk saat ini aku sedang tak ingin berpura-pura bahagia. Jelas suasana hatiku sedang mendung, berbanding terbalik dengan langit di atas sana yang jelas tak menandakan akan turun hujan karena bintang dan bulan tengah unjuk diri seperti malam-malam sebelumnya, seakan berkata malam ini malam yang indah. Tak seperti hatiku yang mungkin jauh lebih gelap dari sekedar malam.Kubaringkan tubuhku. Meluruskan kaki dan memainkan jemari di atas perut. Enam bulan. Hanya enam bulan aku akan merasakan sebuah pernikahan—yang tak sempurna. Setelah itu aku akan menjadi seorang jAnda.Ingin menertawakan aku yang bersedih dan gelisah karena hal itu? Terserah. Aku sudah bisa melihat pernikahanku di ujung tanduk dan tak mungkin aku harus bersikap sok kuat di saat aku hanya sendiri saja.Suara decitan pintu yang terbuka membuat kepalaku sedikit terangkat untuk melihat siapa yang masuk. Tanpa membuat suara atau pergerakan yang berlebihan, aku mengembalikan kepalaku pada posisi semula dan mulai menutup mata. Aku rasa aku sedang tidak ingin melihat atau berbicara dengannya.Beruntung lampu kumatikan, hingga dia tak menyadari bahwa aku masih belum terlelap sekarang.Dering telepon yang terdengar membuat alisku bertaut. Bukan ponselku yang berbunyi. Tapi ponsel seseorang yang baru saja hadir menambah jumlah nyawa di ruangan kecilku ini.“Iya ... iya. Kamu tidur kalau kamu capek. Selamat malam. I love you.”Tahu apa yang sesungguhnya ingin kulakukan? Melempar wajahnya dengan bantal—ah itu terlalu ringan. Ingin kulempar wajahnya dengan nakas yang ada di sebelahku lalu memakinya, dan menginjak-injak ketidakpekaannya atas eksistensiku di kamar ini. Mungkin dia pikir aku sedang tidur. Tapi bisakah dia tak menelepon seseorang yang dia cintai di kamar ini, atau setidaknya jangan jika ada aku. Tak peduli aku sedang tidur atau mati sekalipun. Mengapa dia tak bisa menghargai aku?Helaan napas kasarnya kudengar walau samar. Sepertinya dia lelah karena pesta pernikahan hari ini. Lalu aku harus apa? Bangun dan menawarkan pijatan untuknya? Sungguh, aku sangat ingin melakukannya. Bagaimanapun dia suamiku dan aku ingin memperhatikannya. Tapi yang menjadi big problem adalah dia yang mungkin akan menolakku mentah-mentah.Sudahlah Shannon. Tidurlah karena besok akan ada perjalanan panjang, bukan? Tidur dan biarkan Pras karena dia tidak membutuhkan kamu. peri hatiku menenangkan aku dan memberi solusi terbaik.Aku memang harus tidur dan biarkan dia. Besok aku akan melakukan perjalanan panjang, yaitu pergi ke Jakarta berdua dengannya. Tinggal di rumah baru yang entah mengapa sepertinya akan membawa mimpi buruk tersendiri untukku. Seperti akan ada banyak hal buruk yang terjadi di sana dan ucapanku ini seakan mendahului takdir yang kuasa. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi denganku nanti. Tapi doaku dan doa orangtuaku pasti akan selalu memberkati setiap detiknya waktu yang kulewati. Jadi aku tak perlu pesimis seperti ini.Bismillah. Aku yakin Andai Allah memberiku cobaan di sana nanti. Pasti yang kudapat bukan cobaan yang melebihi kemampuanku. Aku yakin itu.*“Inget. Dengerin kata suami. Sering-sering nelpon, kasih kabar di sana.”“Cepet kasih cucu loh, Shan. Nanti kalau ada waktu, mbak main ke sana.”“Bulik jangan kangen Rizki, ya?!”“Bulik nanti Rien main-main ke sana sama Mas Anjas.”Begitu kira-kira pesan dan salam perpisahan dari keluargaku. Mereka sibuk memberi nasehat hingga mengajukan permintaan aneh-aneh—menurutku—seperti cepat punya momongan.“Hati-hati aja, Mbak. Aku sih ngga ada salam perpisahan buat Mbak Shan. Kan nanti juga bisa ketemu lagi,” ujar Shanas saat aku dan Pras sudah berada di depan menunggu travel yang akan mengantar kami ke bandara.“Nanti kalau memang kamu pulang ke Jakarta, kamu tinggal di rumah aja, Nas. Sekalian buat nemenin Shannon,” pinta Pras yang duduk di sebelah ayah sambil menikmati seduhan kopi di pagi hari.Seketika senyumku pun langsung mengembang. Kalau begitu, aku akan punya teman kan di Jakarta?“Waah bener itu. Sekalian jagain Shanas kalau gitu ya nak, Pras,” timpal ibu penuh suka cita.“Iya, Bu,” jawab Pras melirikku sejenak, lalu meraih mug-nya dan menyeruput kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas.“Ngga apa-apa, Mbak?” tanya Shanas yang tampak ragu.Aku langsung menggeleng dengan garis melengkung ke atas yang tercetak di bibirku. “Malah mbak seneng kalau ada kamu yang nemenin,” jawabku kembali melirik Pras yang berbincang dengan ayah.Apa senyumnya itu tak bisa dia berikan kepadaku sekejap saja?“Nah, tu travelnya udah datang,” seru ibu membuatku berpaling menengok ke samping.“Kami pulang dulu, yah-bu,” pamit Pras membuatku menoleh ke arah ibu yang kemudian mulai terisak pelan karena akan berpisah lama denganku.Sudah kukatakan. Walau aku tinggal di Yogya, kalau libur aku pasti pulang. Tapi sekarang? Mungkin satu tahun sekali aku akan pulang. Itu pun kalau aku berani pulang karena enam bulan lagi aku dan Pras akan berpisah.Tapi sekali lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Mungkin saja Pras mengubah keputusannya dan kami tetap menjadi sepasang suami istri selamanya. Lalu kalau ternyata keputusan itu diikuti dengan pernikahan kedua, bagaimana? Maksudku. Pras menikah lagi. Huuh! Aku rasa tak ada wanita yang mau dimadu. Begitu pula aku. Mengapa membayangkan Pras akan menikah lagi membuat hatiku begitu perih? Seperti ada selongsong besi panas yang menghujam jantungku dan meninggalkan lubang yang begitu besar di sana.Di perjalanan tak ada yang membuka suara antara aku maupun Pras. Berbeda dengan dua sejoli yang duduk di depan kami. Sejak tadi memamerkan kemesraannya membuat aku cemberut iri. Kesal dengan suasana canggung. Aku menyAndarkan kepalaku ke belakang dan memilih tidur. Lagipula Andai bicara, memangnya apa yang ingin kami bicarakan? Aku bahkan kehabisan kata-kata setiap bersamanya.“Maksudnya? Ngga. Kamu ngga usah takut atau khawatir. Ini urusanku dan kamu cukup menerima akhirnya saja.”Aku membuka sedikit kelopak mataku dan melirik lelaki batu yang tengah menelepon di sebelahku. Sepertinya dia sedang menelepon pacarnya. Astaga Shannon. Lelaki yang kamu nikahi ini sudah memiliki pacar dan kamu malah menikah dengannya? Ooh ... sepertinya aku harus dilempar ke malam di mana dia datang dan melamarku. Dia yang salah, Shan. Bukan kamu.“Jangan menangis. Tenang saja, oke?”Kemudian hening. Tak ada suaranya lagi maupun dua penumpang yang duduk di depan kami. Kecuali bunyi radio yang memutar tembang jawa dan siulan Pak Sopir.*Aku melihat sebuah rumah bercat putih terpampang di hadapanku. Rumah yang cukup besar dengan tiga kamar, sebuah ruang tamu yang ada di depan, sebuah ruang keluarga untuk berkumpul dan menonton TV, lalu sebuah ruang makan yang terletak bersebelahan dengan dapur. Sementara untuk kamar mandi, terletak di belakang, sebelah dapur yang juga menjadi akses menuju halaman belakang. Fungsinya agar setelah menyuci, tak perlu mengangkat keliling menuju pintu samping, melewati garasi baru bertemu dengan jemuran. Tapi tidak hanya satu saja kamar mandi di rumah ini. Semua kamar memiliki kamar mandi pribadi.“Kamu tidur di kamar belakang. Aku di kam—”“Ngga sekamar?” selaku cepat lalu berbalik membulatkan mataku melihatnya.Pras duduk di single sofa, menyilangkan kakinya yang lurus ke depan. Dia kemudian menggeleng tanpa melihatku.“Terus kalau Shanas tinggal di sini, apa dia ngga curiga?” tanyaku mendekat dan duduk di sofa panjang yang ada sebelah single sofanya, namun menghadap ke arah kanannya. Sementara dia menghadap ke arah kiriku. Aku menyerongkan duduk agar bisa melihat wajahnya yang tampak berpikir.“Kamu bilang kita mau jadi teman.” Dia memandangku dengan kelopak mata menyipit seakan tak suka dengan ucapanku barusan. Namun tak lama dia mendesah kasar.“Fine!” tukasnya terdengar putus asa. Aku tersenyum geli sendiri melihat kegusarannya. “Aku ngga akan nerkam kamu pas kamu tidur, kok!” Pandangannya semakin tajam menciutkan nyaliku. Aku menunduk menggigit bibir bawah. “Cuma tidur bareng. Ngga lebih. Aku ngga mau Shanas kepikiran yang macem-macem kalau lihat kita pisah ranjang.” Aku mendongak menyatukan pandangan kami lalu mengulurkan tanganku ke depan. “Kita acting selama enam bulan. Deal?!”Pras membagi pandangannya antara mataku dan tangan kananku yang terulur. “Aku benci ini,” ujarnya namun tetap menjabat tanganku. Hanya sekejapan saja karena kemudian dia langsung menarik tangannya ke belakang.“Makasih ya, udah mau nerima adik aku. Eem....” Aku mengedarkan pandanganku. “Kamu ngga punya pembantu kan?” Kembali aku melihatnya yang berdiri untuk mengambil remote AC yang ada di sebelah TV. Tak berapa lama, semilir hawa dingin menyusup ke kulitku. Sejuk. “Ngga,” jawabnya singkat lalu berjalan ke arah depan. “Aku ada kerja. Jadi aku harus pergi.”Aku langsung berdiri mengekorinya. “Di kulkas ada bahan makanan. Silakan masak kalau kamu lapar.”“Maaf!” seruku mundur selangkah saat aku nyaris menabraknya yang tiba-tiba berbalik. Ck Shannon! Jalan yang bener. Aku melirik Pras yang menelisikku tajam. “Aku ngga akan pulang sampai besok,” lanjutnya dingin.Eeh? Ngga pulang sampai besok? Ngapain?“Tapi—” “Jangan ikut campur urusanku. Kamu bisa menyibukkan diri dengan memberesi pakaianmu. Aku pergi.” Dia kembali berbalik, membuatku mendesah pelan.Apa nanti kegiatanku di sini hanya seperti ini saja? Aku mengikuti Pras lagi yang sudah membuka pintu depan. “Mas, apa aku boleh kerja?” tanyaku meminta izin.“Terserah. Itu hak kamu,” jawabnya. Aku langsung mengangguk semangat. Berarti aku bisa mengajar lagi. Kalau begini, tawaran kepala sekolah tempatku mengajar sebelumnya akan aku terima. “Hati-hati ya, Mas,” ujarku setelah berada di berAnda luar rumah, memperhatikan dia yang sedang membuka garasi yang ada di samping rumah. “Kalau bisa pulang, ya? Kalau pulang bilang. Nanti aku siapkan makan untuk kamu,” imbuhku saat dia sedang memanasi mobil.“Aku pergi,” ucapnya tak menjawab pertanyaanku. Biarlah. Setidaknya dia mendengarkan aku.Aku berbalik berjalan masuk ke dalam rumah. Aah ... asing. Aku benar-benar berada di tempat asing dan aku sendiri di sini. Pandanganku menyusuri setiap sudut ruangan. “Untung rumahnya ngga tingkat,” ujarku lesu lalu menarik koper menuju kamar utama yang terletak di sebelah ruang tamu. Kamarnya besar dengan petampakan maskulin yang begitu dominan. Jelas. Pras kan lelaki. Tapi masalahnya, warna catnya begitu gelap menurutku. Coklat dengan list hitam di setiap sudut ruangan juga garis gypsum yang menjadi langit-langit kamar ini.Ada sebuah meja kerja tepat di depan jendela yang tak begitu besar. Aku menoleh ke arah kiriku. Tepat di depan ranjang king size, juga ada jendela yang terbuat dari kaca tanpa teralis besi. Jendela yang ini, lebarnya mungkin sama dengan ukuran ranjangnya. Aku berjalan ke arah jendela, lalu membuka tirai berwarna cream itu untuk memberi kesempatan sang mentari membagi sinarnya masuk menerangi ruangan yang sejak tadi bercahayakan lampu yang terdapat empat biji di langit-langit kamar.*Aku menjalani semuanya seperti biasa. Beberapa hari ini, tak ada masalah yang terjadi di rumah tanggau. Semua berlalu begitu saja, tanpa pembicaraan. Sama sekali tanpa pembicaraan. Kadang aku berpikir, kalau begini kapan kami bisa menjadi teman? Heran. Mengapa ada orang seperti Pras? Batu.Menikmati makan siang seperti saat ini pun, jadi terasa hambar, karena Pras hanya diam saja tanpa membuka suara. Aku pikir semua akan menjadi hangat saat kami berdua, makan bersama seperti ini. Tapi ternyata diamnya Pras malah mengubah makanan yang tersaji, menjadi seperti kumpulan duri. Menyakitkan. “Assalamualaikum, Mbaaak!” Suara itu.Semangatku langsung terkumpul, kala mendengar salam dari suara yang sangat kukenal. Aku tersenyum, melempar pAndang pada pintu penghubung menuju ruang tamu. “Kayaknya adikku udah datang, Mas,” kataku semringah, lantas berdiri dan melangkah riang membukakan pintu untuk tamu yang telah aku nantikan sejak aku tiba di Jakarta. Shanas. Akhirnya aku tak merasa sendiri lagi di sini.         Bab Sepuluh(Author POV) Cinta terindah adalah yang berbalas.Namun sepahit empedu,Saat berbalas, namun tiada restu. Panas terik di luar tak mengurangi semangat Shanas yang bercerita panjang lebar tentang keluh kesah Riena perihal malam pertama. Keponakannya itu menceritakan semua tentang kesakitannya juga kepada Shannon melalui BBM. Hanya saja hari ini dia dan Shanas mengulanginya lagi untuk menertawakan kepolosan keponakan mereka sambil menikmati makan siang bersama.Kedua saudara itu berbincang asyik hingga mengabaikan satu sosok yang sejak tadi mencuri pAndang ke arah Shanas. Pandangannya menyorotkan kebingungan akan kehadiran Shanas siang ini. Hingga akhirnya kebingungannya itu terputus oleh pertanyaan Shannon yang mengarah pada hal yang juga ingin dia tanyakan sejak tadi yang menjadi sumber kegelisahannya.“Koper kamu mana? Masih di mobil?” tanya Shannon mengedarkan pandangan mencari barang adiknya. Dia masih berharap jika Shanas akan tinggal di sini bersamanya.Berharap dengan begitu mungkin Pras bisa bersikap baik padanya, mengingat Pras tak mungkin bersikap dingin atau menganggap dirinya tak ada jika Shanas tinggal di sini.“Oh ... ngga mau pindah ah, Mbak. Jaraknya terlalu jauh dari tempat kerja sama kampus,” jawab Shanas tak mampu melihat sorot mata Pras yang telah menajam siap merajam semua keputusan sepihaknya.Kepindahan Shanas di rumah ini sudah Pras rencanakan sejak awal, ia akan menikahi Shannon. Bahkan tanpa menaruh curiga, ia meminta Shanas tinggal di rumah ini langsung di hadapan mertuanya. Tapi sial! Shanas menentang keputusannya.Shanas, wanita dengan rambut sebahu itu kembali pada apel di tangannya. Mengunyah buah itu sambil memandangi kakaknya yang tampak cemberut sedih. Andai Shannon tahu jika Shanas tak mungkin di sini dan membuka jalan perselingkuhan semakin lebar.“Nanti aku sering-sering main ke sini, Mbak. Oh ya ... ibu titip pesan. Cepet punya momongan katanya.” Shanas langsung terkikik melihat wajah merah kakaknya. Tawa yang menyelipkan duka di hatinya.Ingin dia berlari menjauh dari rumah ini lalu menangis sepuasnya karena tak kuasa menahan semua sakit yang mendera batin. Tapi Shanas tidak akan melakukannya. Dia tak ingin tindakan bodohnya, malah akan membongkar semua kisah kasihnya bersama Pras.Bunyi benda bergeser mengalihkan perhatian dua wanita itu. Pras sudah berdiri dengan rahang kerasnya. Rahang yang begitu kokoh, membuat Shanas sangat ingin menjatuhkan bibirnya ke sana dan membuat dirinya merintih tak sanggup untuk segera memiliki pria itu.Sungguh pemikiran yang berbeda dengan Shannon. Karena alih-alih terpesona, Shannon malah sangat ingin melembutkan kekerasan pria itu dengan sentuhannya maupun dengan ucapannya. Dinginnya pria itu mengerikan baginya. Walau menggairahkan bagi Shanas.Batin Shanas berteriak menasehati, kala pemikiran nakal berputar liar di kepalanya, Nuraninya berjalan pada arah yang benar. Melarangnya mendekati Pras karena pria itu sudah bukan miliknya lagi. Namun perasaannya tak mampu dibohongi. Dia masih sangat mencintai pria itu. Dulu, sekarang bahkan nanti.“Aku kembali kerja,” pamitnya tanpa melirik ke arah Shannon maupun Shanas. Bagi Shannon ini adalah hal biasa. Malah kemajuan karena pria itu pamit sebelum pergi. Sementara Shanas tahu jika itu merupakan alarm bahaya yang menandakan kemurkaan seorang Pras.“Mana file fotonya. Mbak mau lihat,” pinta Shannon memecah keheningan yang terjadi beberapa saat setelah kepergian Pras.Shanas langsung berdiri mengeluarkan USB dari kantong belakang jeans yang ia kenakan. “Mana laptopnya. Aku males ke mobil ambil laptop,” ucap wanita itu lalu mengikuti Shannon yang mengajaknya masuk ke kamar.Shanas berhenti di ambang pintu. Menahan napas yang masuk ke tenggorokannya. Rumah ini adalah rumah yang jarang Pras tempati, karena pria itu memiliki apartemen sendiri. Tapi walau begitu, ia pernah kemari dan tidur di atas ranjang itu bersama Pras. Memang tidak tidur seperti yang orang dewasa lakukan. Hanya saling bertukar saliva dan sekadar mengerang karena sentuhan yang mampu menghanyutkan, hingga nyaris membuatnya menyerah untuk memberikan diri seutuhnya kepada Pras.Alih-alih memanfaatkan kepasrahan Shanas, Pras hanya akan mencumbui tubuh wanita itu dari luar dan membisiki kata-kata indah yang berputar pada keteguhan pria itu yang tak akan merenggut mahkota Shanas jika mereka belum menikah.Dia tahu Pras bukan lelaki yang benar-benar baik. Selama berpacaran dan mengalami beberapa kali putus-nyambung. Pras akan mengundang para wanita ke dalam kamar apartemennya setiap hubungan cintanya putus dengan Shanas. Beberapa kali Shanas memergoki hal itu dan semakin melukainya. Namun bukannya menjauh, Shanas malah akan mendekat setiap Pras mengatakan maaf.Nyatanya memang Pras tidak berselingkuh. Pras tidur dengan wanita lain di saat mereka putus dan yang menjadi alasan mereka putus adalah keengganan Shanas mengenalkan Pras kepada keluarganya demi tak menyinggung perasaan Shannon yang belum memiliki pendamping. Lagipula, hal yang sia-sia untuk dilakukan. Pras tak akan segera melamarnya walau sudah mengenal keluarganya di Gunungkidul. Yang ada hanya akan membawa perkara dalam kehidupan Shannon. Dia tahu betapa sedih kakaknya itu setiap diajak berbicara tentang pernikahan. Memperkenalkan Pras seakan memberi signal agar Shannon harus segera mencari pendamping agar hubungan Pras dan Shanas tak ada yang menghalangi. Padahal ini semua tentang keluarga Pras yang menjadi penghalang nomor satu dalam hubungan mereka. Ya ... Andai tak ada Shannon sebagai penghalang pun, Shanas dan Pras belum tentu bersatu mengingat betapa bencinya ibu Pras kepada dia.Lalu itulah yang sangat ia takuti sekarang. Pras menghilang menjauhinya karena ingin mengelabui orangtua pria itu. Tapi sudahkah hal itu benar-benar terjadi seperti dugaan pria itu? Pras kembali ke Indonesia karena mengaku sudah putus hubungan dengan keluarganya dan siap menikahi Shanas tanpa kendala apa pun lagi.Namun ternyata, bukannya menemukan Shanas, ia malah terjebak dengan Shannon. Lalu mengapa Pras menerima Shannon? Benarkah hanya demi Anjas? Sayangnya Pras tidak sebaik itu dengan seorang sahabat. Dugaan pria itu yang salah. Keluarga Pras tidak benar-bnar menyerah dengan melepaskannya begitu saja. Karena itu dia menerima tawaran Anjas karena Pras ingin menjadikan Shannon alat sebagai pelindung Shanas. Namun ternyata, wanita yang dipilihnya adalah kakak kandung Shanas. Ketakutan itu menyergap rongga dada Shanas. Ia takut hal buruk akan terjadi pada kakaknya. Takut kakaknya akan terluka, sama besarnya dengan ketakutannya yang siap melepaskan Pras untuk Shannon.“Ayo kesini. Mana USB-nya.” Shannon menembus lamunan sang adik. Membuat wanita itu terjaga dari kekhawatirannya. Dia mengangguk dengan seulas senyum, lalu mendekati sang kakak yang telah duduk bersila di atas ranjang dengan laptop yang terbuka di depannya.Duduk di atas ranjang itu membuat Shanas seakan dikuliti oleh kenyataan pahit. Ranjang ini sudah tidak menjadi ranjangnya dengan Pras, melainkan Pras dengan Shannon.Sambil melihat foto dari layar laptop Shannon. Mereka sesekali melayangkan ejekan satu sama lain saat melihat diri mereka yang tak sengaja tertangkap petikan kamera dengan gaya yang tak terduga. Namun walau begitu, ada satu kecemburuan Shanas yang terselip di dalam tawanya.Tak dipungkiri jika Shannon memiliki kecantikan yang begitu alami. Kelembutan terpancar di sorot nan sendu itu. Sorot yang tak pernah melukai siapa pun. Shanas merintih dalam hati. Nuraninya kembali bertanya; sanggupkah ia melukai hati kakaknya ini?“Mbak cinta sama Mas Pras?” tanya Shanas tiba-tiba membuat Shannon berhenti menggerakan jemarinya di tombol panah untuk mengganti gambar ke gambar berikutnya. Dia tersenyum malu sebagai jawaban. Tanpa kata, tanpa harus menunjukkan kepedihan. Dia hanya tersenyum malu saja. Dan itu cukup menjadi jawaban untuk Shanas. Tebakannya benar tentang Shannon yang mencintai Pras.Shannon kembali mengalihkan perhatiannya pada layar laptop. Tahu hal itu sebagai tanda jika Shannon tak ingin mebicarakan Pras, Shanas pun kembali menyinggung tentang foto-foto mereka.Matahari mulai bergulir ke arah barat. Shannon langsung mengeluh tentang dirinya yang tak bisa melihat matahari tenggelam dari kamarnya ini. Dia merasa hampa jika tak mendapatkan sapuan lembut dari sinar jingga sunrise maupun sunset. “Ke pantai sesekali,” jawab Shanas berupa saran. Shannon mengangguk setuju. “Mungkin nanti kalau memang pengen banget. Mbak ke pantai aja. Oh iya, malam ini aja, apa kamu ngga bisa nginep?”“Ada yang mesti aku kerjain, Mbak. Besok deh. Kapan-kapan aku nginep. Sekarang aku pulang dulu lah ya? Takut kesorean. Nanti kalau ada waktu, mbak main ke kosan. Masih inget, kan?”Shannon mengangguk. Dia beberapa kali mengunjungi adiknya di Jakarta sekedar untuk menjenguk keadaan Shanas. Namun tak sering. Kedatangannya bisa dihitung jari. “Ya udah. Aku pulang.” Shanas mencium pipi sang kakak lalu mereka keluar dari kamar beriringan.“Pokoknya kamu kudu nginep di sini secepatnya. Kalau ngga, aku seret kamu dari kosan,” ancam Shannon yang malah ditertawakan oleh Shanas.“Udah sana masak buat kakAndanya. Bentar lagi sore loh.”Shannon hanya cemberut saja mendengar ucapan adiknya. *Pras sudah berada di ruang kecil itu sejak satu jam yang lalu demi menanti sang empunya tempat yang tak kunjung datang. Dia tak bisa menyelesaikan pekerjaan kantornya dengan pikiran yang terus melayang pada keputusann Shanas. Tak tahu mengapa wanita itu memilih menjauhinya sementara tadi pagi mereka masih baik-baik saja. Pagi tadi? Ya ... pagi di mana Pras menjemput Shanas di bandara tanpa sepengetahuan Shannon. Dia menjemput kekasihnya dan mengantarkan Shanas pulang ke kosan wanita itu.Di sini. Tadi pagi di ruangan ini, mereka masih saling membuai satu sama lain dengan cinta yang menggelegak memenuhi hati keduanya. Namun, hanya dalam hitungan jam saja, Shanas sudah mengambil keputusan sendiri. Decitan pintu membuat Pras mendongak menyempitkan matanya saat melihat sosok yang dinanti. Shanas tahu Pras menunggunya. Terlihat dari mobil pria ini yang ada di luar. Tak mengindahkan eksistensi Pras, Shanas melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar berukuran lumayan luas ini. “Jangan menghindar, Nas!” pekik Pras tak kuasa mengurung semua amarahnya. Shanas masih memilih tak peduli. Dikunci pintu kamar mandi demi menghindari kenekatan Pras yang akan menerobos masuk dan menguncinya di dalam ketidakberdayaan.Tadi pagi, usai kepulangan Pras dari tempat tinggalnya. Shanas mulai memikirkan hubungan rumit mereka. Wanita itu memikirkan perasaan kakak dan keluarganya, jika masih melanjutkan kisah percintaannya dengan Pras.Dia tahu Pras tak akan mau membicarakan hal ini. Pria itu terlalu keras kepala untuk diajak berdiskusi. Jadi dia mengambil keputusan sepihak, tak peduli Pras akan memprotesnya. Dia tidak akan pindah ke manapun. “Cepat keluar atau aku hancurkan pintunya, Nas!” Ancaman Pras yang tak main-main. Pria ini sudah berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah yang memerah karena geram.Tahu jika Pras serius dalam setiap ucapannya. Shanas segera menghapus jejak air yang membasahi wajah, kemudian ia keluar dengan kesiapan menghadapi kemurkaan Pras. Namun ketika pintu terbuka, ia malah diserang rasa pedih, kala mendapati sorot luka di mata Pras karena penolakannya. Dia tahu, bahwa titik lemah Pras adalah saat pria itu tengah marah karena kekecewaan. Sangat ingin dibelai rahang keras itu. Ingin menyalurkan kenyamanan yang berguna untuk menyurutkan emosi Pras. Tapi dia tak bisa. Semakin banyak sentuhan, maka semakin terluka dirinya dengan perasaan yang selalu memenangkan nuraninya.“Dia kakakku. Aku tidak mau menyakiti dia,” ujar Shanas tak mau berbasa-basi.Geraman Pras terdengar putus asa di telinga Shanas. Prianya tampak begitu rapuh dan menyedihkan karena pernikahan ini. Tapi apa yang bisa dirinya lakukan? Sementara ini semua karena kesalahan Pras.Shanas tersentak saat tangan kokoh pria itu mencengkeram kedua bahunya. Mendorongnya ke dinding dan mengunci tubuh kecilnya di sana. Air mata telah mengalir tak dapat ia bendung kehadirannya. Dia tersiksa. Pras juga. Jika dia melanjutkan semua ini, maka semua akan tersiksa.“Pikirkan aku, kakak dan keluargaku!” erang Shanas penuh permohonan namun Pras tak peduli.Dienyahkan semua tatapan mengiba Shanas yang bisa saja meluluhkannya kapanpun. “Aku tidak sanggup berpisah dari kamu, Nas. Apa itu juga tidak kamu mengerti?!” teriak pria mengguncang wanitanya.“Lepas dan pergi.” Shanas melirih namun yang ia dapatkan adalah air mata kesedihan Pras.“Aku akan menceraikan Shannon, kalau—”“Terus setelah itu kamu mau ngelamar aku?! Apa kata mereka kalau kamu menceraikan Mbak Shan, dan kamu melamar aku?! Apa kata mereka untuk aku?!”“Kita jelaskan semuanya. Semua tentang hubungan kita dan mereka akan mengerti! ““Terus gimana sama orangtua kamu? Ibu kamu! Bukannya kamu bilang kalau kamu masih mau melindungi aku dari mereka?!”Pras mengerang frustasi. Jemarinya bergerak frustasi, menyisir rambut ke belakang. Tubuhnya membungkuk tak kuasaa menahan rasa depresi atas semua yang sudah terjadi. “Aku pikir melindungi kamu dengan hal ini adalah cara terbaik! Aku pikir menjauhi kamu untuk melindungi kamu dari mama adalah cara terbaik! Tapi ternyata aku salah!!”“Salah karena aku lebih terlindungi waktu kamu ada di sisi aku. Bukannya menjauh, karena itu malah menyakiti aku. Kamu mau menggunakan wanita lain sebagai alat untuk melindungi aku, untuk mengalihkan perhatian ibu kamu dari aku, tapi ternyata kamu salah langkah! Pertama yang kamu pilih adalah kakakku, dan yang kedua. Tidak peduli dia kakakku atau bukan, tapi kenyataan kamu menikahi wanita lain adalah bukti kalau kita tidak bisa bersatu lagi!”“Siapa yang bilang?!” Pras kembali memandang Shanas namun tak mencengkeram wanita itu lagi, walau shanas tetap pada posisinya. “Siapa yang bilang kalau kita tidak bisa bersatu?! Aku mencintai kamu dan aku akan mendapatkan kamu.”Pras berbalik dan detik itu juga dia pergi meninggalkan Shanas. Wanita itu merosot ke lantai. Perasaannya hancur berkeping-keping dan ini bukan untuk yang pertama kalinya. Berkali-kali dirinya hancur seperti ini dan berkali-kali pula ia harus menyatukan kepingan itu agar ia mampu berdiri lagi untuk hancur kembali. Mengapa dia tak bisa memiliki Pras?Semalaman ia menangisi nasib diri yang begitu susah untuk bersatu dengan Pras. Seakan Tuhan memang melarang mereka untuk bersatu, hingga walau telah bersama lebih dari empat tahun dan saling mencinta. Tak pernah sekalipun mereka lolos dari perkara yang rumit untuk diselesaikan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan