Kisah Yang Kan Pisah-Dua

245
28
Deskripsi

Part Dua

Bersabarlah pada suatu ketika
Di saat senja tenggelamkan kita
Gelap merayap sesatkan mata 
Di saat itu kau dan aku ada di persimpangan berbeda

Tak mengapa karena itu kisah yang kita rangkai
Sengaja menyudahinya bahkan sebelum mekar
Kuteteskan tangis dengan tawa sumbang
Sedang kau sulam air mata dengan jerit penyesalan

Sudahlah sayang

Kita terlalu berbeda untuk terus bersama.

Ternyata alasan pernikahan ini tragis juga. Ada budi yang harus dibayar hingga korbankan perasaan. Ck ... Ck. Ketika tahu cerita sebenarnya, Ivanka hanya menggeleng miris padahal hatinya terlalu dingin untuk bisa merasakan luka yang orang rasa.

Apalagi mengingat dirinya dilibatkan dalam drama yang tak pernah ia harap sepanjang hidupnya. Mirisnya itu hanya basa basi saja.

Ya habis dia kesal.

Ketika ternyata dugaannya salah--Xaveer bukan penyuka pedang--eeeh malah ternyata pria itu mendua.

Tapi bagian terburuknya, bukan Ivanka yang ditikung dari belakang, melainkan ia lah yang menikung tanpa sadar.

Tahu begini biar saja jika Xaveer adalah seorang gay.

Ah ... Setelah berbulan-bulan pernikahan, Junior menceritakan semuanya. Mungkin tak tega karena satu tahun pernikahan, Xaveer lah yang menderita. Barangkali juga takut temannya mati sia-sia di tangan Ivanka, jadi pria kurus berkacamata itu mengakui semuanya.

Xaveer telah memiliki istri sebelum Ivanka.

Bahkan masih berstatus istri ketika menikahinya.

Semua karena apa?

Donor sumsum tulang belakang dari Byantara untuk putra Xaveer yang kala itu masih berusia empat tahun.

Kasian yah. Masih kecil, sudah penyakitan dan merepotkan orangtua. Akibatnya kemudian merembet pada Ivanka.

Ya ... Ya.

Dia kasihan.

Tulus dari hati terdalam.

Sangat kasihan.

Tapi yang lebih kasihan justru dirinya.

Dirinya adalah pion untuk kesuksesan beberapa orang di sekitarnya.

Pertama orangtua yang jengah melihat dirinya di rumah.

Kedua mertua yang menginginkan investasi dari Wishma Global.

Ketiga Byantara yang terbebas dari pernikahan bisnis dengannya.

Ketiga Xaveer dan istri pria itu yang ingin menyelamatkan nyawa anaknya.

Baiklah ... Baiklah.

Ini mulai membingungkan.

Menghindari pusing karena cerita rumit dari kisah rumah tangga Ivanka maka akan wanita itu jelaskan intinya.

"Sebut aja nama istrinya Iyem, punya anak Tono. Nih anak penyakitan ceritanya. Nah biar ngga mati, dia harus dapat donor sumsum tulang belakang. Ini kondisi udah kritis gitu kan. Jadi cari donor susah dong. Akhirnya si Iyem bilang sama suaminya Xaveer, gimana kalau cek semua orang terdekat dulu baru cari keluar. Karena kan susah tuh apalagi si Iyem dan Xaveer udah dicek apalah gitu dan dinyatakan ngga cocok. Jadi singkat cerita setelah melewati perdebatan alot, Xaveer yang ngga mau minta bantuan keluarganya akhirnya ngalah. Minta ke ibunya apakah cocok tapi ternyata ngga. Eeeh eeh kok pas cek si adik tiri. Malah cocok. Ya udah dong, mereka manfaatkan lah itu untuk menekan Xaveer."

"Mau donor kalau Xaveer yang nikahin elo?"

Duduk melingkar di atas ranjang, Tasyi dengan mimik heran lalu menebak akhir cerita Ivanka.

Menaikkan bahu wanita itu lantas mengangguk.

Jadi seharusnya adik ipar tirinya yang menikahinya. Tapi menolak.

Padahal Ivanka tak jelek, kan?

Cuma gila saja. Itu pun tak banyak.

"Demi anak nih ya. Si Iyem mohon-mohon Xaveer untuk turuti syarat si bangsar Byan. Tapi Xaveer nolak awalnya. Dia usaha cari donor dari orang lain. Sampai habis uang banyak itu untuk cari pendonor yang bisa selamatin nyawa anaknya. Tapi si Iyem yang ngga sabaran mogok makan. Katanya buka puasa kalau Xaveer udah dapat pendonor. Akhirnya baru seminggu dan Xaveer mengalah."

"Kok keluarganya jahat banget?"

"Yah....." Ivanka menghela napasnya panjang. "Namanya anak tiri. Sebenarnya ibunya ngga setuju sih. Cuma gimana ya. Suaminya ini yang bantu gedein Xaveer walau hubungan antara anak tiri, bapak tiri, dan saudara tiri ngga baik."

Diam, sunyi untuk sesaat menguasai suasana yang terasa dingin hanya karena kenyataan yang baru terungkap. Ivanka yang tetap terlihat begitu santai mengulurkan tangan ke arah papan di mana bagian atas terdapat sebuah botol yang akan berputar dan menunjuk ke arah pemain lainnya.

Barusan ia yang mendapatkan bagian untuk ungkap kejujuran atau mengambil tantangan. Namun lelah merahasiakan semua kenyataan, akhirnya Ivanka ungkap di hadapan semua teman.

Nadhira yang tak ikut datang pun juga hadir walau tak ikut bermain. Namun wanita yang duduk sendirian di kursi meja rias itu lemparkan tatapan iba pada sahabat yang selalu tampil paling tegar.

"Bentar." Raddine yang sejak tadi membisu tak kuasa mengucapkan sepatah kata, mengulurkan tangan menghentikan Ivanka yang hendak memutar botol untuk memulai lagi permainan. "Kamu ngga apa-apa?"

"Kenapa?" Alis wanita itu tertaut dengan guratan tegas di kening. "Apa aku harus kenapa-kenapa?"

Lagipula setelah tahu kenyataan itu dari mulut Junior sendiri, malamnya Ivanka meracuni Xaveer.

Dosisnya telah diatur agar pria itu tak mati.

Hanya mual-mual, pusing, dan lemas.

Ya ... Satu minggu suaminya kemudian dirawat dan dinyatakan hampir sekarat. Ivanka sih tak melihat keadaan Xaveer selama di rumah sakit.

Saat itu ia memilih liburan seorang diri di Jepang, menggunakan kartu kredit Xaveer yang sengaja ia curi.

Dia menggunakan kartu itu untuk membeli apapun sampai kemudian ia menerima pesan dari nomor tak dikenal.

Di dalam pesan itu dikatakan : apa anda tidak malu? Suami saya hampir mati karena anda, dan anda malah menghamburkan uang kami.

Ka ... Mi

Katanya begitu.

Ka ... Mi.

Seolah Ivanka bukan siapa-siapa.

"Sayang...." Mila di sampingnya lantas memeluk. "Toh nangis ngga bikin orang jadi lemah, kok."

Dengkus geli Ivanka lalu terdengar. "Aku nangis waktu Raddine keguguran. Dan aku ngga merasa lemah."

Mungkin benar jika setiap ibu pasti rela lakukan apapun demi anaknya. Seperti Raddine yang hampir gila karena keguguran setelah sebuah pengkhianatan.

Lantas si Iyem yang rela ngambek agar suaminya mau menikah lagi demi nyawa sang anak.

Gila!

Dunia ini sudah dipenuhi banyak orang gila. Ya, termasuk Ivanka tentunya

"Tapi kalau soal aku dan Xaveer ... Aku udah tahu lama. Ya ... Sekitar setahun pernikahan. Dan ... Aku ngga masalah."

Tak ada yang perlu dipermasalahkan karena ia bukan perebut. Tak berniat juga merebut. Namun untuk melepaskan ... Enak saja. Dia sudah dipermainkan dengan seenak hati lalu membiarkan mereka yang membuatnya jadi boneka bahagia begitu saja?

Tak akan!

"Mereka udah cerai?" Joana yang bingung harus merespon dengan cara apa cerita mengejutkan dari Ivanka, lantas angkat suara.

Dia dan yang lainnya dibuat penasaran, bagaimana bisa Ivanka menjalani pernikahan yang rumit begini. Pantas jika tiap saat mengatakan ingin cerai. Meski alasannya adalah bosan, tapi kini mereka tahu jika nyatanya Ivanka tak lagi tahan.

"Entah."  Menatap tangan yang berada dalam genggaman Raddine.

Diremas kuat seolah ingin membagi kekuatan. Tapi ... Ivanka sudah kuat.

Sangat kuat.

"Gue ngga pernah tahu muka istrinya, ngga pernah tahu muka anaknya, ngga sama sekali pernah ketemu. Males aja. Ngga penting juga."

Kini ia benar-benar mendapatkan tatapan iba.

"Tapi gue bukan Zinia, ya." Lalu ia tertawa, membicarakan pelakor dalam kehidupan Raddine, sahabatnya. "Gue ngga berniat ngerebut. Cuma karena udah terlanjur nyemplung ... Ya udah lanjutin." Menghela napasnya kuat, ia kemudian tatap Nadhira yang senantiasa diam tapi tatapan wanita itu begitu dalam padanya.

Ah ... Alasan Ivanka tak mau menceritakan masalahnya adalah karena tak mau mendapat belas kasihan.

Lagipula semua orang sudah rumit dengan masalahnya masing-masing. Jadi dia tak mau menambahi.

Tapi hari ini dia hanya ingin menggunakan nasib sialnya sebagai bahan pancingan saja.

"Apa kejujuran yang lo simpan sampai saat ini jauh lebih miris dari yang gue alami, Nadhira?"

Wanita dengan hijab hitam itu tersenyum tipis pada Ivanka. "Sori. Sebenarnya gue udah nikah."

*

Jadi hasil dari permainan Truth or dare siang tadi adalah kegaduhan.

Ivanka dan ceritanya membuat iba, Nadhira dengan beritanya membuat heboh.

Benar-benar mengguncang persahabatan mereka yang kemudian saling kesal, merajuk, namun kemudian membagi kehangatan dengan saling memahami.

Tapi ... Meski begitu mereka belum tahu siapa pria yang menikahi Nadhira dan wanita itu memohon untuk tak mencari tahu itu sampai ia ungkap sendiri sosok suaminya.

Ya sudahlah.

Setiap orang memiliki rahasia.

Pulang ke kediaman yang akhirnya Xaveer sediakan untuknya di pernikahan ke enam belas bulan--sebelumnya di apartemen sewaan milik Xaveer--Yang menyambut wanita itu adalah sepi.

Ini malam rabu.

Xaveer tak di sini.

Pria itu akan pergi ke rumah istri tua. Tapi tiap Ivanka berkata begitu, Xaveer tak terima.

Pria itu pasti berkata. Aku mau menemui anakku.

Padahal tak masalah sih jika memang ingin pergi ke rumah istri pertama. Toh mereka menjalani hubungan terbuka.

Terserah dengan siapa saja Xaveer ingin tidur dan berkencan. Asal bukan seseorang yang Ivanka kenal.

Yah ... Alasan mengapa ia marah saat tahu Laura--mantan kekasih dari mantan suami Raddine--mengajak suaminya check in.

Tapi saat itu Xaveer bersikeras jika tak pernah meniduri wanita penipu itu.

Hem ... Ivanka tak tahu apakah ia harus percaya.

"Non?"

Menyipitkan mata saat ruangan yang ia injak menyala lampunya, Ivanka larikan pandangan ke arah mbok Wal, asisten rumah tangga di rumah ini.

Wanita itu dibawa oleh Xaveer. Sudah bersama mereka sejak masih tinggal di apartemen.

"Ngagetin ah mbok," katanya lantas mendekat. "Kok belum tidur?"

Asisten rumah tangga yang selalu menyanggul rambutnya dengan tambahan rambut palsu itu mendekat pada Ivanka yang hempaskan tubuh di sofa. "Jam sebelas malam kok baru pulang?"

"Heem." Wanita itu terpejam. "Biasanya jam satu ya, mbok."

Lantas wanita paruh baya itu terkekeh. "Dari mana, non." Tanpa diperintah, mbok Wal memijiti kaki Ivanka.

Tak pernah meminta diperhatikan namun wanita yang baru ia kenal belum genap tiga tahun ini selalu saja mencurahkan kasih sayang padanya.

"Rumah Raddine."

"Uuh iya, non Raddine hamil katanya? Kamaren kami teleponan."

"Oh, ya?" Ivanka tatap mbok Wal yang cukup dekat dengan kelina sahabatnya.

"Alhamdulillah ya non. Dapat suami baik. Semoga aja yang ini setia. Aamiin."

"Yang itu ngga didoain?"

"Yang itu?" Mbok Wal berpikir sejenak sebelum desahnya terdengar. "Aduh ... Susah kalau yang itu." Tahu siapa yang Ivanka bicarakan.

Tentu suami wanita itu yang jelas tak setia. Persetan dengan alasan di belakangnya.

Hanya geleng kepala sebentar, Ivanka menepuk bahu mbok Wal yang harusnya sudah istirahat. Tapi berulang kali ia bilang jangan menunggu kepulangannya, tapi tetap saja menanti tak peduli meski Ivanka pulang terlalu larut. "Istirahat. Sana tidur."

"Non udah makan belum?"

"Udah. Tadi sempat mampir ke Laime--restorant miliknya."

"Mampir aja ngga makan kan percuma, non."

Ivanka tersenyum. "Udah, mbok. Udah makan, kok."

Berdecak samar karena khawatir jika Ivanka hanya berusaha mengelabuinya, mbok Wal kemudian menyentuh perutnya yang rata. "Kapan kasih mbo momongan biar ngga sepi, non? Jangan KB terus, ah."

Momongan?

Ah ... Mengapa Ivanka ingin tertawa mendengarnya?

"Jangan minta ke aku kalau itu ah."

Minta saja dari istri pertama Xaveer.

Jangan Ivanka yang memutuskan tak akan mengandung keturunan suaminya.

Yah ... Sebesar apapun keinginannya untuk memiliki seorang anak, Ivanka tetap enggan memiliki bayi dari Xaveer.

Apalagi dengan sisa masa pernikahan yang tak sampai setahun lagi ini.

Wah ...

Cepat sekali, ya?

Sudah hampir tiga tahun bersama, melewati waktu dengan aksi saling menikam terang-terangan.

Hebat.

Karena sudah selama itu, tak ada yang mati di antara mereka.

Ah ... Hela napas Ivanka terdengar berat.

Selama itu?

Kenapa rasanya baru kemarin ia dan Xaveer menikah?

Diam tak bisa merespon jika Ivanka sudah mengungkit istri pertama Xaveer, Mbok Wal menatap wanita di hadapannya yang tak pernah menunjukkan sedih.

Jika tak tersenyum senang pasti teriak-teriak penuh suka cita setelah berhasil mengganggu emosi suaminya.

"Mbok."

"Ya, non?" Alis wanita tua itu bertaut kala tak percaya temukan guratan sendu di wajah nona mudanya.

Mbok Wal yang khawatir karena jarang sekali Ivanka begini, langsung duduk di samping wanita itu sambil memegangi tangan majikannya dengan erat. "Kenapa non?"

"Tidur yok, mbok. Ngantuk."

Ah ... Kenapa sih mbok Wal bisa berpikir jika Ivanka akan berbicara serius dengannya.

Mustahil sekali.

"Ya udah ayo tidur. Ih ... Non Vanka tuh. Pikir mbo mau curhat." Wanita itu berdiri diikuti Ivanka yang mengernyitkan kening.

"Curhat apa?"

"Ya ... Apa gitu!"

"Mbok gali tanah halaman belakang?"

"Eeh ... Kok ke sana! Buat apa?" Gemas, mbok Wal cubit pelan bahu Ivanka yang terkekeh geli

"Nguburin bangkai Xaveer besok."

"Ya Allah gustiiii. Udah non, udah. Jangan bikin mbo jantungan gitu looh!"

"Hahahaha!" Tawa Ivanka berderai di keheningan malam. "Ya udah ayo tidur. Ngantuk." Lalu merangkul tangan mbo Wal yang menekuk wajah, merajuk. "Tidur sama aku, ya? Xaveer ngga pulang kan."

"Emoh ah! Non kalau tidur polahnya ngga karu-karuan."

Lagi, Ivanka tertawa.

"Janji nanti bakal anteng."

"Ngga mau, non."

Sepanjang perjalanan ke kamar, Ivanka masih terus merayu mbo Wal yang tetap menolak namun tetap tak bisa menghindar karena Ivanka menariknya ke kamar dan memeluknya dengan kuat.

Tapi untungnya itu tak berlangsung lama.

Pelukan kuat itu perlahan mengendur. Istri Xaveer yang telah terlelap kemudian mbo Wal tinggalkan.

Melangkah begitu pelan untuk keluar kamar, mbo Wal berjengit kaget saat melihat kehadiran majikan pria yang ia asuh sedari kecil.

"Loh mas, kok pulang?"

Xaveer yang terlihat lelah tersenyum tipis pada mbo Wal yang baru keluar dari kamarnya.

Sejak awal pernikahannya dengan Ivanka, mereka memang selalu tidur bersama.

Hanya saja awalnya ia di sofa. Namun kemudian semua berubah.

"Vanka udah tidur, mbok?"

"Barusan."

Mengangguk lemah, pria itu meminta mbo Wal tidur sementara ia segera beranjak ke kamar.

Di dalam ruangan yang bernuansa retro yang mana lukisan di atas ranjang adalah karya dari Ivanka sendiri, pria dengan jeans biru itu melangkah pelan sebelum naik ke atas ranjang. Berbaring di samping Ivanka, lalu ia miringkan tubuh dengan tangan menopang kepala

Sorot matanya yang tajam diarahkan pada sang istri yang mendengkur halus.

Cantik sekali.

Wanita ini ... Benar-benar cantik sekali.

Ulurkan tangannya yang bebas, ia sentuh sepanjang hidung bangir Ivanka sebelum ibu jari berhenti di atas bibir wanita itu.

Ia memberi usapan lembut. Merasakan tekstur kulit bibir yang masih terdapat sisa-sisa warna lipstik yang wanita itu gunakan.

Wanita ini ... Selain urakan dalam penampilan, juga jarang sekali peduli dengan fisik yang hanya dirawat jika ingat.

Untung ada sahabat yang baik, yang selalu mengingatkan Ivanka jadwal pergi ke salon kecantikan.

"Kapan kamu ceraikan wanita itu, mas?"

Kelopak mata lantas tertutup rapat dan erat bersama ringis kesalnya.

Di saat begini haruskah kepala memutar memori yang terjadi beberapa saat lalu dan selalu diulangi di waktu-waktu yang lalu?

"Bertahun-tahun keluarga kamu ngga mau akui hubungan kita! Terus sekarang kamu malah senang-senang dengan dia! Kamu hancurkan keluarga kita! Kamu hancurkan, mas!"

Sial!

Pria itu tarik mundur tangannya.

Ia hancurkan pernikahannya.

Pernikahan pertamanya.

Brengsek!

Ingin sekali ia hancurkan sesuatu untuk ledakan emosi.

"Oke! Tiga tahun seperti janji kamu dulu! Kalau sampai saat itu kalian belum cerai, aku bawa pergi Gustav! Seumur hidup, kamu ngga akan ketemu sama dia!"

Ah ... Diancam lagi.

Lagi-lagi ditekan.

Lagi-lagi membawa-bawa nama anaknya.

Mengapa harus begitu?

Mengapa selalu begitu?

"Xaveer?"

Mengerjap, ia buang gundah yang barangkali terlihat di sepasang netranya, pria yang sempat hanyut dalam lamunan menoleh pada sang istri.

Plak!

"Lo ngapain balik, sih?!"

Ah ... Ini sakit!

Kepalanya masih pusing dan tanpa tedeng aling-aling Ivanka menamparnya.

"Apa harus mukul?"

"Masih untung ngga gue tendang!"

Ah ya benar.

Untung tak ditendang.

Dasar bodoh.

"Ngapain sih lo bangun?!" Pria itu bangkit untuk duduk dan mengelus pipinya yang baru mendapatkan sapaan manis dari Ivanka.

"Napas lo tuh ganggu! Bau!"

"Ck!" Lalu melirik tajam pada istrinya yang menarik bantal untuk menutupi hidung dan mulut.

Memang kelewatan sekali wanita ini.

"Ketagihan juga sama aroma gue."

"Ih ogah!"

Mengambil guling di bawah kakinya, xaveer lemparkan benda itu ke wajah sang istri yang lantas memaki.

Tak ia indahkan, pria itu turun untuk mengganti pakaian di bawah tatapan Ivanka yang terus memperhatikan. "Kenapa? Pengen?"

"Ih ... Najis."

Pria itu langsung mendesis sebal.

Awas saja besok memohon-mohon untuk dibelai.

"Ngapain lo balik? Ngga dapet jatah?"

Menggunakan piama dan melemparkan pakaian kotor ke kamar mandi--lagi-lagi membuat Ivanka mengomel panjang--Xaveer lantas menjawab. "Jatah dari siapa? Istriku di sini."

Ck!

Memangnya Ivanka akan percaya?

Entah berapa selangkangan wanita yang sudah Xaveer cicipi.

Ya ampun!

Ini bagian dari doanya juga, kan? Tak masalah jika Xaveer adalah pria brengsek selama bukan gay! Apalagi jadi pihak yang ditusuk.

Ah ... bodoh bodoh bodoh!

"Basi! Dah gue mau tidur."

Membelakangi Xaveer yang sudah kembali ke ranjang, Ivanka mendapatkan pelukan dari pria itu di bagian perut.

"Xaveer lepas." Ia singkirkan tangan pria itu, terlihat risih. "Seenggaknya lo mandi dulu! Gue benci aroma lo sekarang!" Bukan parfum yang biasa pria itu gunakan.

Jelas!

Aroma parfum ini sering menempel di tubuh Xaveer tiap pulang dari mengunjungi anaknya. Anak dan istri tentunya.

Hanya mendesah saja, pria itu lalu mundur dan ikut memberi punggung.

Xaveer benar-benar lelah.

Tbc...

Yah perselingkuhan lagiiii.

Ngga kok.

Ini ngga aku sebut selingkuh yees. Karena dapet izin dari istri pertama. ๐Ÿคญ

Becanda gaes. Kalian baca aja. Jangan ambil kesimpulan di awal. Okeey.

Yang nunggu nehan di karyakarsa sabar yah. Bukan fokus ke sini. Tapi aku lagi sibuk mindahin naskah kali kedua dan edit2 biar tahu jumlah halamannya ๐Ÿคง๐Ÿคง sabar ya.

With love,
Greya

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Kisah Yang kan Pisah-Tiga
307
85
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan