Kali Kedua-Enam

262
109
Deskripsi

 

Zinia Tatiana 24 Tahun


 

Raddine baru tiba larut malam. Hal ini sudah ia konfirmasikan pada bik Ripah agar jika mertua mencari-cari dirinya bik Ripah bisa mengatakan jika ia ada di rumah orangtua.

Itu sebenarnya tak membuat Rissa berhenti menyindir dirinya di keesokan hari. Ibu mertuanya itu memang agak sewot jika ia pulang larut bahkan meski itu karena Raddine berkunjung ke rumah orangtuanya sendiri.

Tapi anggap saja karena Rissa khawatir padanya. Wanita pulang sendirian di malam hari, pasti tak baik dan berbahaya juga.

"Lo itu terlalu memaklumi. Sikap mertua lo ama mertua gue sih sebenernya sama toxicnya. Cuma beda nanggapinnya aja. Lo terlalu kalem, Raddine."

Masih terngiang ucapan Mila sahabatnya ketika wanita itu bertemu dengan Rissa dan merasa sikap mertua Raddine tak seperti yang Raddine katakan.

Teman yang lain juga mengatakan demikian.

Rissa terlalu dingin atau lebih terkesan angkuh. Bahkan sahabat Raddine hanya sekali bertamu di kediaman mertua wanita itu karena sikap Rissa yang tak ramah. Setelah itu mereka menolak untuk kembali datang dan bahkan tiga di antara mereka dengan kejamnya memblacklist nama Rissa dari keanggotaan pelanggan.

Rissa tak tahu jika sahabat Raddine bukan berasal dari golongan menengah ke bawah. Contohnya Mila yang memiliki saham nomor dua terbesar di salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan perhiasan. 

Memiliki beberapa cabang toko perhiasan pula yang mana Rissa suka membeli perhiasan di toko tersebut. Dan saat tahu bagaimana kelakuan asli Rissa, Mila memilih kehilangan satu pelanggan yang sudah bersikap tak ramah padanya kala bertamu.

Tapi Raddine tetap saja menganggap jika kelakuan Rissa adalah hal yang lumrah. Ia menganggap ibu Tyaga adalah orang yang anti sosial. Jadi mungkin agak sulit beramah tamah.

Ah ... Tapi sebenarnya sudut hati Raddine sudah muak dengan semua pemaklumannya. Ingin sekali ia bertindak untuk membuat Rissa berhenti bersikap dingin padanya, tapi ia tak mau merusak hubungan antara menantu dan mertua. Meski andai ia ingin menentang pun Tyaga tak akan marah.

Suaminya tahu sikap Rissa yang menjengkelkan. Dan jika Raddine ingin membantah, Tyaga mempersilakan selama tetap berada di batasannya. Tak berkata kasar dan main tangan.

Menghentikan mobil tepat di depan beranda rumah, Raddine segera menyerahkan kunci pada penjaga rumah untuk membawa kendaraannya ke area parkir. 

Baru akan berjalan menuju pintu, langkah wanita itu terhenti ketika dari pintu gerbang ia lihat sebuah kendaraan roda dua masuk.

Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. 

Pukul sebelas malam dan Nehan baru pulang. 

Adik iparnya itu tampaknya memang susah diatur. 

Sering sekali pulang malam. Apakah peringatan Rissa tak pernah diindahkan? Dan lagi ... Nehan adalah pendatang. Dia hanya anak dari wanita lain yang dibawa oleh Tiyo ke rumah ini ketika berusia lima belas tahun.

Kabarnya karena ibu sudah tak sanggup membiayai, jadi Tiyo memohon pada Rissa agar Nehan dapat tinggal di tempat ini. Namun sudah diberi tempat malah bertindak semaunya.

Ada beberapa hal yang kadang membuat ia kasihan pada Nehan. Namun beberapa hal lain membuat ia kesal kepada pemuda ini.

Hanya menggeleng saja melihat kelakuan adik ipar yang tak kunjung mendapat gelar sarjana di usia dua puluh empat, Raddine segera masuk ke dalam dengan kunci serep yang selalu ia bawa.

Dia tak mau membangunkan asisten rumah tangga selarut ini hanya untuk membukakan pintu untuknya.

Menutup kembali pintu dengan sangat pelan lalu menguncinya kembali tanpa menunggu Nehan masuk, karena berpikir jika adik iparnya itu pasti membawa kunci sendiri. Raddine segera berjalan melewati ruang yang hanya diterangi oleh lampu malam, tanpa suara.

Ia pergi ke dapur. Niatnya untuk mengambil segelas air putih, namun ketika mendengar derit pintu dapur terbuka, ia terhenyak kaget.

Nehan masuk dari belakang. Apa pria ini tak membawa kunci?

Menatap dirinya, lalu mengedikan kepala, Nehan menyapanya. "Kak?"

"Baru pulang?" tanya Raddine basa-basi. 

Dia tak ikut-ikutan membenci Nehan sebenarnya. Tapi hanya tak bisa bersikap terlalu ramah.

"Iya, " jawab pria itu lalu dengan wajah tertunduk ia berjalan ke dalam.

Sebelah alis Raddine terangkat saat ia dapati langkah Nehan yang terseok.

Tak hanya sekali dia atau anggota rumah lainnya mendapati kondisi Nehan yang penuh luka ketika pulang.

Mereka pun dirinya menebak jika Nehan pasti berkelahi.

Wajah lebam dan bibir terkoyak, apa lagi yang terjadi jika bukan berkelahi?

Tapi malam ini wajah Nehan baik-baik saja. Hanya seperti ada luka di kaki pria itu.

"Kamu kenapa?" tanya Raddine kemudian pada pria yang rambut ikal dan panjangnya terlihat berantakan, lalu penampilan dengan jaket dan jeans ala-ala berandalan.
 

Apakah Nehan tak punya baju yang sedikit lebih pantas?

Sebagai perancang busana, Raddine gemas melihat penampilan Nehan kali ini. Ingin sekali ia seret ke kamar dan meminta adik iparnya ini berganti pakaian milik Tyaga.

Berhenti, untuk beberapa saat Nehan yang menenteng helm diam di tempat sebelum berbalik dan menatap Raddine sambil menggeleng. "Ngga ada kak. Kenapa?"

"Kaki kamu luka?"

Nehan menunduk melihat kaki kirinya yang kemudian ia gerakkan ke belakang. Pemuda itu terlihat gelisah dan gagap seketika. "Eeng eng enggak. Cu cuma ... Cuma jatuh tadi."

Alis Raddine bertaut. "Ya berarti luka, kan?"

Nehan kontan meringis. "Nanti aku obati di kamar, kak. Permisi." Lalu kali ini cepat-cepat pergi seolah tak mau ada pertanyaan dari Raddine yang sudah tak berniat untuk bertanya.

Setiap melihat Nehan, sebenarnya Raddine selalu memikirkan bagaiman hati Rissa saat harus menampung anak suami dari wanita lain.

Pasti begitu menyakitkan.

Tak tahu mengapa, mungkin karena ia juga wanita. Raddine seperti ikut merasakan secuil kekecewaan Rissa. Mungkin itu alasan ibu mertua terlihat lebih dominan di keluarga ini dibandingkan Tiyo yang terlihat takut.

Ya wajar.

Sudah selingkuh dan masih diterima. Tiyo cukup beruntung. Karena andai Rissa adalah Raddine, dia pasti tak akan sudi memaafkan.

Kembali ke kamar, Raddine duduk di sisi ranjang. Mengecek kembali ponselnya dan desah kecewa meluncur.

Pesannya satu jam yang lalu tak Tyaga balas. 

Dia penasaran apakah pria itu masih di tempat pesta, atau sudah kembali ke penginapan. Jika sudah pulang, mengapa tak meneleponnya?

Tak rindu, kah?

*

Pria itu mengerang pelan saat kesadaran perlahan kembali. Mencoba untuk membuka mata dengan menahan rasa pening, Tyaga langsung bergerak untuk duduk kala ia dengar rintihan tangis dari sebelahnya.

Wajahnya lalu berpaling ke asal suara dan hati sontak bergejolak saat ia dapati Zinia duduk di atas lantai dengan tubuh berbalut selimut. 

Lidah mendadak kaku kala ingin ia tanyakan apa yang Zinia lakukan di kamarnya, ingatan tentang Laura tadi malam satu persatu mulai menyatukan tiap memori yang terjadi setelah ia pulang bersama Zinia.

Jantung berhenti, ketika ia ingat apa yang dirinya lakukan. Tubuh Tyaga langsung turun dari ranjang, menarik sprei untuk menutupi tubuh polosnya yang terhuyung nyaris jatuh.

"Hhah...." desah tak percaya jika yang terjadi tadi malam adalah nyata, tubuh pria itu bergetar, seiring dengan tangis Zinia yang makin menjadi.

Pria itu kehilangan kosa kata, entah apa yang harus ia katakan, tubuh yang seperti tak memiliki tulang itu lantas luruh.

Tyaga merasa dadanya akan jebol karena detak jantungnya berdebar begitu kencang. Dia ketakutan. Dia merasa bersalah dan marah dengan keadaan yang begitu menghakiminya saat ini.

Tapi Tyaga tak salah. Dia tak sengaja. Demi Tuhan ini adalah ketidaksengajaan yang mengerikan.

Tergugu ketika air mata tanpa sadar menetes, Tyaga menunduk dalam, menatap tajam ke arah lantai seolah ingin ia luapkan kecewanya ke sana. Sampai kemudian teriakan tak terkendali meluap, Tyaga menghantam berulang kali dengan tinjuannya lantai dingin yang jelas tak ikut andil terhadap apa yang terjadi tadi malam.

“AAAKKKHHHH!!”

Teriakannya membuat Zinia ketakutan. Melihat ngeri pada atasannya, Zinia yang tadi menangis sontak terdiam.

"MAAF!" Terpekik emosional, Tyaga lantas membungkuk.

Tubuhnya tak terlihat terhalang ranjang, namun ia tak peduli. Pria itu membungkuk ke arah Zinia dan berulang kali mengatakan maaf.

"Maaf." Lalu ia berdiri dan dengan langkah gontai mendekati Zinia yang tampak ketakutan.

Pria itu berhenti di depan sekretarisnya yang terlihat begitu pasi, sebelum kemudian jatuh berlutut dan kembali mengatakan maaf. "Maaf." Tyaga tak tahu harus melakukan apa sekarang. "Maaf."

Raddine ... Aku minta maaf.

Raddine-nya.

Akan begitu kecewa jika tahu ini semua.

Raddine-nya....

Bahu Tyaga merosot lemah.

"Zinia maaf." Mata yang berlinang dengan air mata kepedihan itu menatap penuh permohonan pada Zinia yang mengusap air matanya, tampak tak tega. "Maaf," ucap pria itu lagi kali ini terisak pilu.

Tyaga menghancurkan masa depan seorang gadis yang tak pernah sekalipun menggodanya. Tyaga hancurkan Zinia yang jelas tak akan pernah bermimpi ada di posisi ini sama seperti dirinya dan Tyaga menghancurkan pernikahannya. Ia hancurkan hati istrinya.

Oh ... Tyaga mendesah putus asa.

Mengapa Tuhan merancang kisahnya seburuk ini?

"Maaf...." Pria itu bersujud, menjatuhkan kening di atas lantai dengan bahu bergetar. "Laura ... Laura yang...." Tyaga berhenti.

Ia tak bisa melanjutkan ucapan yang mencoba untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.

Dia tak berniat menodai Zinia. Sama sekali tak pernah terlintas pemikiran seperti itu bahkan meski hanya sekali.

Tak pernah.

Zinia mengerjap. Kesedihan yang terlihat jelas di wajahnya perlahan ia ubah dengan sebuah senyuman hanya karena tak tega melihat betapa tak berdayanya Tyaga. "Baju saya basah, bapak." Bibirnya mencebik pilu namun tangis ia tahan sekuatnya. "Boleh pinjam baju? Saya ... Saya mau kembali ke kamar saya." Tapi ia berkata seolah tak ada nyawa yang menempel di raga.

Zinia seperti tak lagi memiliki harapan hidup. Ya ... Bagaimana tidak? Mahkota yang ia jaga selama ini raib sudah dalam satu malam.

Kembali duduk berlutut dengan sorot jatuh pada Zinia, Tyaga malah kian tersiksa.

Dia patut untuk ditampar atau ditendang. Tapi Zinia malah bersikap seolah yang terjadi bukan sebuah masalah besar.

"Kita lupain ya, pak?" Zinia telan saliva yang terasa kelat. "Saya ngga akan bilang ke ibu."

Hasrat menangis kembali datang namun ia terus menahannya hingga rasa sakit di tenggorokan menyerang. "Bap ... Bapak juga tolong ... Jangan--jangan sampai orang-orang tahu. Nanti...." Zinia langsung membekap wajah dan menangis terisak.

Dia tak bisa terus menyembunyikan kepedihannya meski itu jadi menambah rasa bersalah Tyaga.

"Aaaaa!" Zinia meraung memilukan. "Gi ... Gimana saya. Gi--" Wanita itu tersedak oleh tangisnya sendiri. "Bapak jahat," keluhnya kemudian. "Saya salah ... Salah apa?"

Oh ... Tyaga kian tak berdaya.

Zinia tak salah. Tapi ... Apa Tyaga juga berhak disalahkan sepenuhnya?

Semua karena Laura. Tyaga benar-benar tak sengaja.

Hanya menatap dengan sorot mata yang redup ke arah Zinia yang terus meraung, pada akhirnya Tyaga yang tak bisa melakukan apapun hanya diam dan pasrah. Bahkan andai Zinia menghajar dan memaki ia sepuasnya Tyaga pun tetap akan diam.

Dia menerima jika Zinia ingin meluapkan kekecewaan padanya. Bahkan untuk ini ... berapapun, berapapun yang Zinia minta akan ia beri.

Tapi meski ini akan sangat egois, Tyaga hanya ingin satu.

Raddine tak boleh tahu.

Tbc…

With love,

Greya

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kali Kedua
Selanjutnya Crazier Part 1-Tamat
68
16
Ucapan terima kasih Terima kasih kepada Allah SWT.Terima kasih kepada keluarga tercinta.Terima kasih untuk sahabat saya IPW.Terima kasih untuk Mbak Fatmah Kenez, Ndaquilla, RasdianAisyah, Pipit_Chie, Retysweet89, KaylaRavika, AyiSari8, Ciciputrina, Fatmalotus, dan Ayuuagassi. Makasih semangatnya selama ini.Terima kasih untuk Starmoonxx yang selalu ngirimin aku cover. Makasih banyaak!Terima kasih untuk Lanimaulani, mommy_ika, yang paling rajin ngecek typo dan kalimat rancu. Juga pembaca lainnya yang ngga bisa disebut satu-satu.   Analogi cinta sepasang manusia gila. Ibarat sperma.Meluncur tepat mengenai pasangannya.Kemudian bersatu, membesar, tercipta sebuah nyawa. –Bastian Dwi Baskara- Ibarat uang.Tak memilikinya merana.Tak memilikinya tak mampu berbuat apa-apa.Namun saat memilikinya.Serasa menjadi orang yang paling bahagia. –Renia Jessika-     Bab Satu (Jessi Pov)Aku berdiri di sini. Memaksaku kembali pada masa lalu buruk yang pernah menyakitiku bertubi-tubi. Menyakitiku dan mama.Di beranda rumah ini aku pernah berdiri dan melihat bagaimana papa menggenggam erat pergelangan tangan kekasihnya, melindungi wanita itu dari amukan mama yang kesetanan karena telah dikhianati.Alasannya simpel. Papa mencintai wanita berusia 25 tahun itu seiring berjalannya waktu kebersamaan mereka sebagai atasan dan bawahan. Awalnya ia menolak rasa itu, tapi semua mengalir begitu saja dan dia tak mampu menghindarinya. Dia sudah berusaha untuk tak berkhianat. Tapi cinta tak bisa ia pungkiri. Dia mengaku tak salah. Karena cinta memang tak pernah salah. Jadi dia datang untuk mengatakan bahwa mereka akan menikah. Dengan izin maupun tanpa izin mama.Wanita yang ia bawa pun menangis tersedu-sedu dan meminta maaf karena sudah mencintai lelaki yang sudah beristri. Tapi apa yang harus dirinya lakukan, karena cinta sudah menguasainya dan ia tak bisa menghalangi rasa yang tak berbentuk itu.Lalu aku yang berdiri menyaksikan mereka hanya diam dan dalam hati berdoa, agar pisau yang ada di tangan mama segera melayang di salah satu antara pengagung cinta itu. Tapi sayangnya papa menangkisnya membuat mama tersungkur jatuh. Membuat wanita yang katanya dulu sangat dirinya cintai, menangis di atas kerasnya paving block dengan hati tercabik-cabik.Bahkan tanpa mempedulikan aku yang katanya adalah buah cinta mereka, menyaksikan bagaimana dia melindungi selingkuhannya dan membentaki mama yang ingin berbuat gila.Gila! Dia yang gila.Aku sangat ingin meneriaki itu semua andai aku memiliki keberanian. Tapi keberanian apa yang dimiliki gadis berusia delapan tahun, selain menangis dan memeluk ibunya yang meraung-raung menangisi takdir pernikahan yang sudah dibina selama sepuluh tahun.Mama ... andai aku lebih besar sedikit saja saat itu. Aku pasti sudah membawamu pergi dan membahagiakanmu. Tapi sepertinya kamu memilih jalanmu sendiri untuk bahagia. Bahagia bagimu, tapi tidak bagiku yang kini sendiri tanpa penopang lagi. Kakak sudah datang?Aku menoleh pada suara pria berusia 19 tahun yang sejak satu minggu yang lalu terus membujukku untuk pulang, setelah sepuluh tahun aku tak kembali ke rumah ini.Rumah yang hanya memberiku kenangan buruk tentang mama yang memilih menggantung dirinya di kamar dan papa yang mengkhianati pernikahannya serta membawa wanita sok mulia itu ke sini. Aku menyunggingkan senyum tidak bersahabat pada anak pertama papa dari istri keduanya. Papa dan mama sudah menunggu. Masuk, Kak, ajaknya dengan senyum ramah yang membuatku muak. Karena senyumannya itu begitu mirip dengan ibunya yang jalang.Dengan langkah tegap dan santai, aku melangkah masuk memberi ketukan tegas pada kerasnya keramik putih di bawah pijakanku. Di kamar, Kak. Lelaki itu memanduku dan aku hanya mengikutinya saja.Walau sebenarnya aku tahu kamar mana yang ia maksud. Kamar siapa lagi jika bukan kamar mama dan papa dulu, yang kini sudah ditempati dua pengkhianat itu.Renia? Kamu datang, Nak?Aku tetaplah anaknya. Aku tahu itu. Sebenci apa pun aku padanya, mendengar suara paraunya yang tak berdaya membuat aku tetap terenyuh sakit. Tapi jelas aku menahannya. Aku tidak mau menjadi bodoh dengan menangisi kondisinya sekarang yang bisa dikatakan sekarat.Kanker paru-paru menggerogoti kebugarannya dulu. Tidak ada lagi pria tampan dengan tubuh berotot. Dia hanya seonggok tulang yang dibalut daging tipis dan kulit. Hanya nyawa yang masih setia di dalam raganya lah yang membuatnya mampu sedikit bergerak dan berbicara. Tapi tetap saja dia sudah renta.Hum. Menuruti permintaan orang yang sekarat. Tidak ad—Renia!Dan akhirnya suara yang aku benci itu terdengar. Aku menoleh memperhatikan wanita yang sudah menghancurkan keluargaku duduk di sisi ranjang lelaki pengkhianat yang masih setia aku panggil papa. Dia terlihat kurus. Kasihan sekali. Karena aku dengar, sejak lima tahun yang lalu papa mulai tidak bekerja lagi dan semua kebutuhan harus dirinya penuhi sendiri. Termasuk uang pendidikan dua anaknya.Papa memang memiliki jabatan tinggi di tempatnya bekerja dulu. Tapi sekarang sudah tidak bekerja lagi karena kondisinya. Seburuk apa pun aku sebagai anak. Aku tetap tahu apa yang terjadi padanya. Ya ... anggaplah sebagai hiburan yang menyakitkan.Karena setiap tahu keluarga ini menderita. Aku akan tertawa senang, kemudian menahan sakit yang tetap saja masih bersarang kuat di hatiku.Dia papamu. Tidak pantas kamu berbicara seperti itu, ujarnya mulai melembut. Ada sesal yang bisa kubaca dari sepasang mata sayunya. Tapi aku tak peduli. Aku hanya mendengus dan kembali melihat suaminya yang memandangku nanar.Sejak kematian mama 19 tahun yang lalu, ia pernah meminta maaf padaku. Tapi aku mengabaikannya. Dia saja tidak peduli pada rasa sakit ibuku. Lalu mengapa aku harus peduli padanya?Dulu aku bertahan hingga berusia tujuh belas tahun di rumah ini hanya demi pendidikan SMA yang harus aku tuntaskan. Setelah lulus aku meninggalkan rumah ini dan memilih mencari kehidupan sendiri.Hanya mendonorkan setetes sperma tidak lantas disebut ayah. Aku kembali menatap wanita itu. Sekarang aku sudah memenuhi permintaan kalian, kan? Aku sudah datang. Jadi permisi, pamitku melangkah mundur dan sialnya langsung terhalang oleh tubuh besar anak wanita itu.Aku memandangnya tajam dan dingin. Aku rasa tatapan ini cukup untuk membuatnya mundur. Tapi sayangnya tidak. Dia keras kepala. Dengarkan Papa bicara, Kak, ujarnya penuh penekanan.Apa urusanmu anak kec—Aku sudah memberi apa yang kamu minta agar mau datang ke sini. Jadi jangan ingkari perjanjian kita, desisnya tajam.Aku memutar bola mataku jengah. Harusnya aku tahu jika aku ke sini karena dibayar. Lumayan. Uang satu juta untuk pertemuan ini. Uang itu bisa aku belikan sepatu keluaran departemen store. Walau tidak bisa sekelas dengan rancangan desainer. Tapi tidak masalah untuk menambah koleksi sepatuku. Atau mungkin untuk membayar hutangku? Ah ... entahlah.Aku kemudian berbalik dan kembali melihat papa yang dari tempatku berdiri, bisa kutemukan lelehan air mata di pipinya. Andai dia tak melakukan kesalahan yang fatal, mungkin aku bisa memaafkannya. Tapi kesalahan yang dia lakukan sudah mematikan sebagian nurani dan perasaanku. Aku seperti hidup dalam raga yang tak bernyawa. Merasa kosong karena semua ulahnya di masa lalu.Ada yang ingin dibicarakan? tanyaku dengan tangan terlipat di depan dada dan kaki kuketukan ke lantai berkali-kali dengan ritme pelan, menandakan bahwa aku tengah bosan dan muak.Sebenarnya aku ada urusan setelah ini. Ada pertemuan makan malam dengan keluarga calon suamiku, atau lebih tepatnya mantan calon suamiku.Untuk mau menjadi istri dari lelaki itu saja aku sudah mendapatkan uang sepuluh juta. Sialnya sekarang posisi itu sudah direbut oleh jalang lain yang entah aku tak tahu namanya.Brengsek!! Voucher keliling dunia gratis musnah sudah jika begini. Bukannya menjadi istri dari orang kaya, aku hanya menjadi mantan calon. Memalukan. Mantan calon!! Mendekatlah, Nak. Papa ingin memelukmu.Tangan tuanya terulur, membuatku tersenyum miris. Dulu. Sebelum wanita jalang itu datang, tangan papa selalu terulur padaku dan mama. Memelukku terlebih dahulu, baru kemudian memeluk mama dan tak lupa ucapan cintanya yang membuatku berangan mendapatkan pria seperti papa.Dia dulu adalah cinta pertamaku. Pangeran kuda putihku yang kemudian menjelma menjadi iblis tak berhati. Dia yang mematikan semua impianku tentang adanya cinta sejati. Dia yang memberiku gambaran tentang besarnya keegoisan jika sudah melibatkan cinta.Aku menarik napas berat sebelum akhirnya melangkah mendekat dan membungkukkan tubuhku agar dirinya peluk. Entah perasaan apa yang menderaku saat tangan tuanya mendekap bahuku. Ada hangat, pedih, haru, dan sakit. Semua bercampur aduk dan itu membuatku mual. Aku segera menarik tubuhku ke belakang dan bisa kulihat matanya yang memancarkan kekecewaan.Namun meski begitu ia tetap tersenyum, membalas tatapan dinginku. Jujur. Aku masih ingin berlama-lama di dalam dekapannya yang dulu sangat aku sukai. Tapi mengingat luka yang sudah dirinya torehkan padaku dan mama, membuatku memilih memberi jarak. Membangun tembok tak kasat mata setinggi mungkin, agar dia tidak mampu menggapaiku lagi.Memang papa tidak membuangku. Sama sekali tidak membuangku. Tapi di saat dia mencampakkan mama seolah mamaku adalah wanita yang tak berguna, meninggalkan mama setelah mengenalkan wanita jalang yang akan ia nikahi kepada kami, lalu kembali lagi saat wanita itu mengandung besar dan tanpa malunya mengajak tinggal bersama kami. Sejak itu aku merasa bahwa aku juga dirinya campakkan secara tak langsung. Dia tak mempedulikan ibuku. Wanita yang melahirkanku. Lalu apa artinya aku baginya? Bahkan dia lebih memilih istri mudanya dibandingkan aku dan adikku yang masih bayi.Setidaknya jika dia tak bisa meninggalkan wanita jalang itu demi mama. Lakukanlah demi anak-anaknya. Anak yang masih mengharapkan kebahagiaan keluarga yang utuh. Tapi jawabannya waktu itu membuatku mundur. Dia mengatakan aku masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya dan akan tahu nanti saat aku dewasa. Dan setelah aku dewasa. Aku tahu bahwa cinta mematikan nurani. Aku tahu bahwa cinta harus berdiri di atas segalanya, tapi tidak denganku.Aku tidak memercayai cinta. Itu hanya satu kata yang tidak berbeda jauh dengan GILA.Maafkan ak—Aku memaafkanmu. Tapi tidak dengan melupakannya. Jadi hiduplah tenang. Di sisa usiamu. Saya pergi.Datanglah jika aku dikuburkan. Di samping makam Nita, ibumu. Aku sudah memesannya khusus untukku. Ak—Jangan merencanakan duka. Itu tidak bisa mengambil simpatiku. Tapi jika memang itu terjadi, saya pasti datang. Jeda. Memberi senyum untuknya. Jika tidak sibuk. Lalu berbalik dan pergi.Aku tahu jika apa yang barusan kukatakan akan berubah menjadi sebuah penyesalan. Tapi aku tidak akan pernah menyesal karena penyesalan itu. Setidaknya, tujuanku membuatnya menderita sudah terkabul. Aku ingin dia merasakan luka seperti yang aku rasakan bersama mama. Tapi itu jika ia memiliki hati. Jika tidak, maka dia tak akan terluka. Toh aku siapa? Mama juga siapa? Kami tak lebih penting dari selingkuhannya itu.Tidak bisakah kamu bersikap lembut sedikit saja? Setidaknya di sisa-sisa hidupnya dia bisa merasakan kehadiranmu yang dulu. Putrinya yang begitu manja dan riang. Bisa—Aku menghentikan langkahku lalu menoleh ke samping berbicara di atas bahu, Bisakah kalian kembalikan keluargaku seperti dulu lagi? Atau setidaknya. Bisakah kalian hidupkan mama kembali? Jika bisa. Aku akan kembali seperti dulu. Seperti anak kesayangannya. Jika tidak. Maka jangan berharap banyak.Maafkan aku. Maafkan aku. Kami tahu kami bersalah. Tapi kam—Tidak bisa menahan cinta yang tumbuh di hati kalian? Berhentilah memberikan alasan klise seperti itu. Jangan membuatku semakin membenci satu kata laknat itu. Lagian tidak perlu banyak mencari pembenaran untuk kesalahan kalian. Cukup jalani hidup kalian. Jika memang dengan memaafkan bisa membuat hidup keluarga ini berjalan normal. Maka aku maafkan. Tapi tidak dengan melupakan.Akhirnya aku mengatakannya. Walau tidak di hadapan papa. Tapi aku mengatakannya di hadapan wanita jalang itu. Aku meluruskan pandanganku ke depan dan kembali melimbai anggun ke arah mobil yang bahkan baru lunas bulan kemarin.Sialan!! Bukan hanya harus berdrama di hadapan keluarga pengkhianat ini. Aku juga harus berdrama baik-baik saja nanti malam, saat menemui istri mantan calon suamiku!!.Liandra brengsek. Dia sudah berjanji akan menjadikan aku menantunya, tapi sekarang dia yang malah membuangku. Lihat saja berapa uang yang aku minta agar tidak mengganggu keluarga baru anaknya nanti. Aku Jessika. Aku bukan wanita yang akan mundur jika berurusan dengan uang.Oooh uang!! Jika orang-orang bodoh dan gila karena cinta. Aku lebih memilih bodoh dan gila karena uang.Ayolah! Selain cinta. Uang juga memiliki kekuatan yang sama dan jauh lebih menguntungkan. Karena jika cinta hanya berupa rasa. Maka uang berupa harta yang bisa memberikan apa pun yang aku mau. Rumah, mobil, tanah dan yang terpenting adalah pakaian, sepatu, tas rancangan desainer terkenal dan juga perhiasan mahal. Ooh aku hidup untuk uang.*Aku, Kenzo, dan Bastian adalah teman jauh dan tak begitu dekat. Baiklah. Hanya sekedar kenalan. Dulu saat aku lulus SMA, Kenzo-lah yang memberiku pekerjaan.Mungkin dia kasihan padaku. Aku adalah keponakan mantan istrinya. Jika dijelaskan lebih rinci, Dinda si pengkhianat yang satu darah dengan papa adalah sepupu. Jadi nenekku yang sudah tenang di alam baka sana adalah saudara kandung ibunya Dinda. Kenzo tahu tentang keluargaku dari Dinda yang ikut menaruh simpati atas nasib yang menimpa diriku. Tapi siapa yang tahu jika dia juga melakukan pengkhianatan seperti yang papaku lakukan? Mungkin memang di keluarga mereka sudah kental darah pengkhianat.Jadi saat usiaku tujuh belas tahun—saat aku baru lulus SMA—aku pergi ke rumah Dinda untuk menginap—tumpangan yang paling dekat kala itu. Dinda yang sudah menikah dengan Kenzo, kemudian mengatakan pada suaminya itu agar membantuku yang malang ini. Akhirnya Kenzo memberiku pekerjaan sebagai kasir di salah satu supermarket milik rekan kerjanya.Dari sana kami menjadi teman. Walau tidak begitu dekat, tapi lumayan sering ngobrol berdua atau bertiga bersama dengan Bastian yang selalu muncul di mana Kenzo berada—kecuali saat Kenzo pulang ke rumahnya. Sementara Dinda si lemah lembut namun menggerogoti hati dari dalam itu lebih sering pulang ke rumah ibunya jika Kenzo tak di rumah.Aku tahu aku sudah sangat kejam menerima tawaran Liandra untuk menikah dengan Kenzo asal dibayar dengan kemewahan yang berlimpah. Tapi semakin dewasa, aku tahu hidup tak sepenuhnya harus diisi oleh kebaikan yang menurutku malah terkesan munafik. Jadi aku tak pedulikan kekejamanku, asal aku bisa hidup mewah.Tapi setelah kejadian makan malam barusan yang mengharuskan aku bertemu dengan wanita lembut, dan lugu tadi. Membuatku lebih baik mundur daripada semakin kecewa mengingat berapa uang yang harus aku lepaskan karena pernikahan Kenzo dengan si lugu tadi yang aku tahu bernama Rere. Entah apa kepanjangannya. Itu tidak penting.Meski begitu, aku tetaplah aku. Aku sudah bilang jika Liandra harus membayar semua kerugianku itu dan entah karena kasihan padaku atau memang tak mau berurusan lagi denganku. Dia mau memberiku cek berisi nominal yang cukup memuaskan. Sepuluh juta. Itu artinya dia sudah mengeluarkan uang sebanyak dua puluh juta hanya untukku selama dia menawarkan sebuah perjodohan hingga batalnya perjodohan ini. Sungguh malang. Semoga saja kehidupan rumah tangga anaknya baik-baik saja, karena kasihan juga jika gagal, sementara aku sudah dirinya bayar dengan jumlah yang besar agar tidak meneror si Rere-Rere itu. Sebenarnya dua puluh juta itu tidak besar. Tapi bagiku yang miskin ini. Dua puluh juta sangatlah berarti untuk membayar hutang. Atau membeli tas rancangan designer terkenal? Astaga Jessi! Hentikan, karena adikmu lebih membutuhkan uang itu.Tapi mengingat Dinda yang masih mendekati Kenzo hingga saat ini, membuatku tidak yakin jika pernikahan pria itu akan berjalan mulus. Aah, tapi apa urusanku? Sudahlah. Yang penting aku mendapatkan apa yang aku mau. Uang.*Aku menggeram saat merasakan pusing yang sangat kuat menerjang kepalaku akibat hangover semalam. Aku berusaha duduk dan mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan nyawaku yang berpencar-pencar.Setelah berhasil, aku segera mengedarkan pandangan dan mengenali sekitarku dengan cepat. Kamarku. Rumah peninggalan kakek dan nenekku dari pihak ibu yang sudah meninggal dunia.Awalnya rumah ini ditempati oleh adik ibuku, Tante Indah. Tapi karena prihatin denganku yang terus menumpang di rumah Dinda. Ia meminta aku untuk meninggali rumah ini, karena ia akan pindah ke Cimahi, Bandung.Rumahnya tak jauh dari rumah Liandra. Hanya berjarak beberapa rumah saja. Karena itu juga dia sudi menjodohkan aku dengan putranya. Sedikit banyak, ia tahu tentang diriku.Bodohnya. Sudah tahu bagaimana aku, tapi dia masih saja sudi menjodohkan aku dengan anaknya. Gila, kan?Aku masih duduk melamun seperti orang bodoh. Karena memang beginilah setiap paginya saat aku membuka mata. Jika ditanya apa harapan terbesarku di dalam hidup ini adalah tidak pernah membuka mata lagi. Karena setiap aku terbangun, maka yang aku hadapi adalah kesunyian. Sangat sunyi.Tapi meski begitu aku memiliki harapan lain. Harapan yang lebih indah daripada mati. Yaitu mama. Biarlah keluargaku hancur. Asal mama masih mendekapku erat seperti dulu. Tapi itu hanya sebuah harapan yang sia-sia karena mama lebih memilih meninggalkanku dan mati bersama cintanya yang dikhianati.Saat ponselku berdering nyaring. Aku segera menoleh ke arah nakas dan melihat nama Andian berjalan di layar ponselku. Dengan malas, aku menjawabnya dan segera menerima rentetan kalimat darinya.APAAN LO, BITCH?! LO NGUSIR STEVE DARI RUMAH LO SETELAH LO DIANTER PULANG?! KAMPRET MEMANG NIH ANAK! GUE UDAH CARI YANG TERBAIK DAN LO MALAH SIA-SIAIN GITU AJA?! KALAU GITU STEVE MENDING BUAT GUE—Aku langsung mematikan sambungan telepon dan mencabut baterainya. Malas berurusan dengan janda muda kegatalan. Dia selalu berusaha menjodohkan aku dengan pilihannya yang tidak aku sukai.Well ... lelaki yang dia kenalkan denganku semalam sebenarnya sangat tampan. Dibandingkan Kenzo yang membuatku uring-uringan karena batal menjadi orang kaya, Steve jauh lebih tampan. Maklum. Darah campuran. Matanya biru dan rambutnya berwarna coklat gelap.Yang membuatku menolaknya dan memintanya pulang setelah mengantarku semalam adalah karena dia menawarkan sebuah hubungan serius. Usianya sudah 30 tahun dan bukan waktunya untuk berpacaran. Dia mau aku dan dia belajar saling mencintai.Aku mundur. Andai dia menawarkan pernikahan dengan bayaran tinggi dalam bentuk harta. Mungkin aku akan mengangguk dan berteriak IYA dengan lantang. Tapi permasalahannya adalah dia menawarkan sebuah cinta. Bullshit! Aku tidak mau menggadaikan hidup berhargaku hanya untuk kata sialan itu. Walau hanya berpura-pura.Lebih baik aku menjadi perawan tua, daripada harus membina keluarga penuh cinta yang sebenarnya hanya berlaku di dongeng saja. Oow!! Apa aku baru saja mengatakan tentang perawan? Baiklah. Aku harap itu bukan masalah terbesar, karena memang untuk yang satu itu aku menjaganya dengan amat sangat baik dan cenderung berlebihan. Walau tidak tahu untuk apa aku menjaga mahkotaku itu. Setidaknya mama di atas sana masih bisa tenang karena anaknya masih menjaga keperawanan.Aku menjaganya dan berniat memberikan kepada lelaki yang menikahiku—dengan mahar yang sesuai mauku. Jadi kurang apa si Kenzo sialan itu?! Dia menolakku padahal aku siap memberinya servis terbaik di atas ranjang.Perawan pula!! Tapi dia malah mencampakanku! Arrgghh! Mengingat bahwa aku mantan calon orang kaya, membuat aku gila. Mengapa nasibku buruk begini? Ini karena si Rere sialan itu! Terkutuklah dia!Bab Dua (Bastian POV)Sebenarnya hangout sendirian itu tidak ada nikmatnya. Tapi apa dayaku jika teman seperjuanganku dalam menaklukan wanita kini sudah takluk oleh seorang wanita dan tak bisa menemaniku lagi.Lagi. Ya ... untuk kedua kalinya dia takluk dan tunduk oleh seorang wanita dan aku berharap jika ini tidak seperti yang pertama. Walau aku ragu, tapi aku mencoba percaya bahwa ini adalah yang terbaik.Setidaknya Rere jauh lebih terhormat daripada Dinda. Wanita lemah lembut yang meracuni rumah tangganya sendiri. Ah ... mengingat wanita itu hanya membuatku semakin kesal saja.Hai....Sapaan lembut disertai usapan yang tak kalah lembut di paha, tiba-tiba menghampiriku. Tidak tiba-tiba sebenarnya. Aku tahu bahwa wanita ini sudah melihatku sedari tadi. Melirikku dari tempatnya berdiri, dengan pandangan penuh rasa penasaran. Jadi saat dia menghampiriku, jelas ini bukan tiba-tiba melainkan terencana.Oke! Come to daddy, Hun.Hai. Aku menjawab sambil membalas kerlingan genitnya.Ck ck, aku heran mengapa di dunia ini dipenuhi oleh wanita cantik?Sayang tidak ada yang beres satu pun, kecuali Kak Suci, Tante Liandra beserta anak gadisnya—kecuali Yolan yang sedikit kelainan. Tapi aku suka. Tubuhnya menarik. Sayang hanya boleh dipandang, tidak boleh dipegang. Aku juga cukup sadar diri untuk tidak menariknya ke dalam belenggu liarku. Aku menyayanginya sebagai adik.Sendiri? tanya wanita ini dengan sedikit mendesah. Tapi mendesah yang aneh bagiku. Maksudku, desahannya terdengar dibuat-buat.Aku mengangguk sebagai jawaban. Lalu memperhatikannya dari atas hingga bawah. Dia terlihat masih muda. Aku menafsir jika usianya mungkin masih sekitar dua puluhan tahun. Begitu muda. Tapi jelas menanyakan umurnya bukanlah hal yang tepat. Aku tidak mau mengenalnya lebih dalam. Walau aku tebak jika dia masih kuliah. Jika dia berada di sini dan merayuku. Berarti dia ayam kampus?Tapi seolah tahu apa yang ada di pikiranku. Dia menarik tangannya dan memberiku senyuman tipis. Lima juta.What?! Baiklah. For your information. Aku tidak pernah melakukan itu dengan PSK atau penjual kenikmatan. Aku takut terkena penyakit. Aku hanya melakukan ONS dengan wanita yang mau sama mau. Tanpa paksaan dan tanpa bayaran. Hanya untuk sekedar menghabiskan waktu satu malam penuh kenikmatan. Dan esoknya kami pulang tanpa harus saling mengenal nama dan tempat tinggal.Tapi apa-apaan ini? Aku harus membayar lima juta untuk tidur dengan wanita ini? Yang benar saja! Bukannya aku kikir. Daripada membayarnya yang pasti sudah menjajakan tubuhnya dengan puluhan pria dan aku tak tahu bagaimana kesehatannya. Lebih baik jika uangku, kuberikan kepada yang jauh lebih membutuhkan. Tapi bagaimana jika wanita ini memang sangat membutuhkan uang? Bukankah PSK melakukan ini karena butuh uang? Huuft! Itu lah masalahnya. Mereka pasti terpaksa. Aku tidak berhubungan dengan P—Bukan. Aku bukan PSK. Hanya malam ini saja aku memberi tarif untuk diriku. Wanita ini menunduk. Aku membutuhkan uang. Ibuku sa—Perawan? tembakku.Dia tidak langsung mengangguk, tapi menarik napas yang terdengar berat. Kemudian ia mendongak dan matanya tampak berkaca-kaca. Tidak perlu dijawab dan aku tahu jika dia perawan.Aku membutuhkan uang. Ibuku sakit.Lalu dia mulai menangis dan aku membenci air mata perempuan. Senjata sialan untuk memojokkan kaum lelaki. Aku turun dari kursi bar yang sedari tadi aku duduki dan menarik pergelangan tangannya. Hapus air mata kamu! Bahaya jika orang menyangka aku yang membuatnya menangis. Hell, ya!!Aku biasa membuat wanita mengerang, mendesah dan berteriak kenikmatan! Bukan menangis. Kecuali Dinda. Aku suka dia menderita.Kemana? tanyanya yang sudah berhenti menangis. Aku sudah membawanya ke tempat yang sedikit sepi, tapi tidak benar-benar sepi tanpa orang. Tetap saja ada yang berlalu lalang, namun tak seramai tadi.Aku mengeluarkan dompetku. Sebenarnya aku tidak memiliki banyak uang cash. Dan lima juta di dompet adalah sisa uang cash yang aku punya dan aku bawa karena aku ingin belanja untuk mengisi kulkas apartemen yang kosong.Malangnya aku yang single bahagia ini.Aku segera memberikan uangku padanya. Tunggu di sini. Aku belum membayar minumanku. Dan untuk membayar minuman yang sudahku minum tadi, aku menggunakan sisa uang yang ada di saku celana. What's wrong with you, Bas! Mengapa mendadak menjadi malaikat berhati putih?!Sial! Memang susah kalau jadi orang baik. Aku segera meninggalkan wanita itu untuk membayar minumanku. Tapi baru ingin kembali menemui gadis tak bernama tadi. Keributan di lantai dansa langsung menarik diriku untuk menarik langkah ke sana.Ini sumber duit gue, bitch!Aku menyipitkan mata, saat melihat dua sosok wanita yang sangat tak asing bagiku.Aku menggeleng pelan. Bagaimana wanita bisa mengatai wanita lain dengan ungkapan yang kasar dan bahkan tak layak dengar? Aneh. Bahkan kami sesama lelaki tak pernah menghina satu sama lain dengan sebutan jalang.Kecuali banci. Mungkin.Kemudian pandanganku teralihkan pada pria yang sepertinya baru didorong oleh dua macan betina yang sedang saling jambak dalam keadaan mabuk itu. Lalu tanpa prikemanusiaan sama sekali, dia pergi menginggalkan si duo macan begitu saja.Lah! Terus apa yang harus aku lakukan? He? Mengapa aku bertanya seperti itu? Aku mengedikkan bahu, lalu berbalik.Jangan tarik rambut mahal gue, sialan!!Sekali lagi aku katakan bahwa menjadi orang baik itu susah. Sangat susah. Karena di saat genting seperti ini, aku masih saja berniat ingin melerai duo macan itu.Tuhan! Semoga amal kebaikanku ini cukup untuk menghapus dosa yang sudah dilakukan Juniorku yang tidak benar-benar junior ini. Aku melirik ke bawah. Melihat si junior yang masih terlelap tenang sejak tadi. Demi dia yang suka sembarangan masuk lubang. Aku akan melakukan sedikit kebaikan. Aah! Walau aku tahu jika semua ini tak berpengaruh apa pun. Dosa yang dibuat si junior, jelas tak akan bisa dihapus sedikitpun. Tapi mau bagaimana lagi? Memotongnya itu tidak mungkin. Dia memberiku kenikmatan tiada tara.Dengan langkah berat, aku kemudian berbalik dan melerai duo macan yang tampak teler itu. Alkohol membuat keduanya tidak berdaya. Walau sedikit susah dan setengah mengumpat karena pria tadi pergi begitu saja. Aku membawa Jessi dan wanita yang tidak kutahu namanya—tapi pernah melihatnya datang bersama Rere dan Sania—ini pergi.Aku membawanya ke dalam mobil—walau sangat ingin membiarkan mereka dibawa dengan taksi. Tapi aku takut jika ternyata mereka malah diperkosa oleh si supir taksi. Jadi tidak mau mengambil resiko. Aku membawa duo macan ke tujuan yang paling tepat.Nasib gue jelek, semenjak ngga jadi nikah sama si Kenzo brengsek. Sekarang lo mau rebut sumber penghasilan gue, jalang?! Dasar brengsek!Aku melirik Jessi yang terus berteriak di belakang melalui kaca spion tengah. Lalu melirik wanita yang satunya lagi, yang lebih banyak diam. Tapi kemudian aku mengabaikan keduanya, karena aku ada urusan sendiri setelah ini. Apalagi jika bukan mendatangi wanita yang sudah kubayar tadi.Tapi bukan untuk aku tiduri. Aku ingin membawanya pulang dan memintanya merawat ibunya. Sejauh ini, aku tidak pernah mau meniduri perawan. Aku takut dengan resikonya. Terlalu besar, bro!Itu Ling-ling gue. Jangan deketin dia selain gue!Baru akan masuk ke basement. Teriakan teman Rere langsung menggema. Demi luasnya samudra dan dalamnya lautan. Aku tidak akan pernah mengencani wanita macan seperti mereka. Rajam tititku, kalau sampai berani berdiri karena dua wanita ini. Tapi kalau dirajam. Matilah aku!Tiba di apartemen pria yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Aku segera menekan bel pintu dan mengetuknya beberapa kali dengan susah payah. Berdiri dengan dua wanita teler, membuatku cukup pegal.Hingga kemudian, pintu terbuka dan menampilkan sahabat terbaikku.Kenap—apa-apaan lo?! Kenzo langsung memekik. Pasti dia terkejut karena aku membawa dua wanita yang tengah mabuk dan kembali menceracau dengan kata-kata kotor dan kasar.Mereka berantem di pub, mabuk kayak orang gila. Jambak-jambakkan dan sebagai orang yang mengenal mereka, aku bawa mereka pulang, ujarku sopan dan baku.Tidak mau mendengar jawaban Kenzo yang pasti berupa pengusiran. Aku langsung masuk begitu saja. Pulang?! Maksud lo pulang ke rumah gue?! omel Kenzo.Mau gimana lagi?! Yang satu temennya bini lo! Yang satunya mantan calon istri lo! Gue cuma kurir yang bawa mereka ke sini. Sudah beraku-kamu dengan Kenzo. Sekarang balik lo gue lagi. Ini sahabat memang ngga bisa dilembutin.Kampret lo!Lo ken—Brengsek sialan!! Ling-ling kurang ajar! Tiba-tiba wanita yang tidak kuketahui namanya ini, langsung berteriak dan memaki si Ling-ling. Tadi menyanjungnya. Sekarang memakinya.Iya! Brengsek! Kenzo juga brengsek. Gara-gara dia, gue ngga jadi kaya! Disusul oleh wanita di sebelah kiriku yang tak lain adalah Jessi.Aku melirik Kenzo yang langsung berjengit kaget. Mungkin karena namanya disebut. Kan lo batalin perjodohan kalian. Jadi Jessi harus pontang-panting cari cowok tajir buat dipacarin. Itu asumsiku setelah mendengar ceracauan Jessi sedari tadi.Aku kemudian membanting dua macan ke sofa panjang dan langsung bernapas lega. Akhirnya beban di pundakku hilang sudah.Ya ampun!! Gendis!! Istri Kenzo tiba-tiba datang dan mendekati temannya yang baru kuketahui bernama Gendis.Mereka kenapa? tanya Rere jelas ditujukan kepadaku.Aku menggedikan bahu. Berantem rebutan cowok. Namanya—Ting tong!Aku langsung menoleh ke arah pintu. Cepat. Kenzo membuka pintu tersebut. Aku dengar dia menggeram sebelum bertanya. Anda siapa lagi?! tanya sahabatku itu pada pria yang menjawab pertanyaan Kenzo dengan datar dan dingin.Menjemput Gendis yang dibawa kabur ke sini, ujarnya lalu menerobos masuk dan mendekati Gendis yang sudah tertidur di hadapan Rere yang hanya memandangi Gendis iba.Aku mendengus. Apa dia bilang tadi? Dibawa kabur ke sini? Jelas dia yang kabur! Tapi sayangnya omelanku itu tidak meluncur dari bibirku.Saya akan membawa dia pulang, ujarnya pada Rere. Ia mendekati Gendis lalu mengangkat wanita itu di pundaknya. Permisi, pamitnya begitu saja. Dasar tidak punya sopan santun.Sementara itu Kenzo langsung mengumpat kesal, mungkin berpemikiran sama denganku. Mendapati tamu yang tak sopan memang membuat kesal.Tapi ya sudahlah. Toh aku juga bukan tamu yang sopan. Memanfaatkan keadaan Kenzo yang lengah. Aku melangkah pelan mendekati pintu.Lo bawa dia, atau—Kampret! Dia mantan lo, bro. Eh ... malam ini gue udah bayar cewek buat ngangetin ranjang gue. Lima juta amblas kalau gue bawa Jessi pul—Lo tidurin aja dia!! Bawa dia pergi. Se-ka-rang.Memang sahabat ngga tahu diuntung dia.Jangan ditidurin! Kamu kok gitu, sih?! Aku melihat Rere yang protes dengan ucapan ngawur suaminya.Lalu aku melirik Jessi dan menggetarkan bahuku. Disuruh nidurin dia?! Aah!! Gue juga ngga nafsu sama dia! Aku langsung menyerobot. Dengan kesal dan sangat terpaksa aku mendekati Jessi yang sudah tertidur. Sialan! geramku lalu mengangkat wanita ini di pundak.Mau dibawa ke mana nih cewek? Ke rumah Kak Suci? Lah! Minta dirajam. Ke apartemen? Mau ditidurin di mana? Bathup? Sudahlah. Pulangkan dia ke rumahnya.*Aku meletakkan tubuh Jessi di atas keramik di depan pintu rumahnya. Mencari-cari kunci yang mungkin dia kantongi, karena aku tak bisa menemukan tasnya yang mungkin ketinggalan di pub.Tak bisa mendapatkan kunci rumahnya. Tubuhku luruh ke lantai. Yang benar saja! Apa aku harus membawanya pulang ke apartemen?Aaah! Mengapa hal baik yang bisa diambil dari seorang wanita hanya kenikmatan di bawah perutnya saja? Selebihnya mereka hanya mahluk yang merepotkan. Sangat-sangat merepotkan dan aku membencinya!Karena membencinya, aku memilih berdiri, melihat kiri kanan memastikan tidak ada orang. Lalu aku mundur dan berjalan cepat ke arah mobil yang terparkir di luar rumahnya yang tidak berpagar.Aku mengusap tanganku senang, lalu menyalakan mobilku. Baiklah. Mari pergi sekarang dan abaikan Jessi yang pasti kedinginan di atas lantai, juga karena angin malam. Ya ... juga berkemungkinan dia akan sakit, atau lebih parahnya didatangi penjahat yang bisa saja menculiknya dan memperkosanya. Kemudian membunuhnya dan polisi akan menginterogasiku sebagai orang terakhir yang berduaan dengannya.Waaah!! Bagusnya karangan hati nuraniku yang memperolokku sebagai pria tak bertanggung jawab dan mulai menakut-nakutiku!Tuhan!! Aku menggeram kesal. Memukul stir mobil yang sama sekali tak berdosa, lalu turun dan menghampiri tubuh tak berdaya itu, yang kini meringkuk seperti janin. Terkutuklah nuraniku yang berhasil mempengaruhiku agar mengangkat wanita ini kembali, dan membawanya pergi bersamaku.Bab Tiga (Jessi POV)Aku tidak pernah mabuk total. Maksudku ... aku tidak pernah minum alkohol melebihi batas. Paling hanya dua gelas cukup membuatku sedikit limbung, tapi masih bisa mengontrol diri.Tapi tadi malam, rasanya aku minum lebih dari empat gelas vodka. Aku tidak suka mabuk. Karena itu akan mengambil alih kesadaranku. Jika sudah begitu, aku akan lepas kontrol. Aku bisa gila-gilaan mencaci siapa pun yang membuatku kesal dan ya! Aku melakukannya.Semalam aku ingat, aku ke pub untuk menenangkan pikiranku yang kacau balau, karena mendadak membutuhkan uang yang sangat besar untuk biaya kuliah Rifki adikku.Bukan adik dari pihak ibu tiri yang biasa kusebut jalang. Benar-benar adikku yang masih berusia dua tahun saat mama meninggal. Dan saat itu, aku menyerahkannya kepada mantan pembantuku, karena aku tidak sudi dia dirawat oleh istri kedua papa.Papa jelas tidak setuju saat aku yang masih berusia sembilan tahun, menyerahkan anaknya kepada orang lain. Tapi apa pedulinya? Saat itu aku hanya berkata biarkan Rifki dengan Mbak Ina. Dan aku akan tetap bersama papa. Jika tidak. Mungkin aku akan bernasib sama seperti mama.Di usiaku yang masih sangat belia. Aku sudah mengerti apa itu bunuh diri karena aku melihat langsung contohnya dengan mata kepalaku sendiri.Anak jauh lebih cepat meniru, kalian tahu?Awalnya papa mengabaikanku. Dia tetap mengambil Rifki dari Mbak Ina dan menyerahkan masalah penjagaan kepada istri keduanya. Aku yang kesal dan merasa sangat diabaikan. Langsung mengambil kain sprei dan mengikat ujungnya ke palang jendela, dan sisi lainnya kuikat di leher. Lalu aku berteriak kencang, mengundang papa untuk masuk ke kamar.Aku berteriak akan meloncat jika dia tidak menyerahkan Rifki pada Mbak Ina. Aku serius. Ancamanku bukan hanya ancaman anak kecil. Dan ya ... begitulah akhirnya.Papa menyerahkan Rifki pada Mbak Ina dan soal biaya hidupnya diurus oleh papa. Tapi sejak lima tahun terakhir, papa melepas tanggung jawabnya karena uang yang ia miliki habis untuk biaya pengobatan yang tidak murah. Ditambah biaya anak-anaknya yang lain.Karena itu, aku yang menanggung kehidupan Rifki yang sekarang berada di Jogja bersama Mbak Ina. Menjadi anak angkat pembantuku itu.Kembali pada topik di pub. Aku sering ke Jogja untuk mengunjungi adikku. Dan aku sangat mengenal keluarga Bramantyo. Bukan mengenal baik. Hanya mengenal namanya saja dan ya ... siapa yang tidak kenal dengan Linggajati?!Anak pengusaha konglomerat itu aku temui di pub. Aku sangat ingat, saat aku mendekatinya dan mencoba merayunya. Berharap mendapatkan jackpot! Jadi cadangannya pun tak masalah. Asal dia bisa membantu adikku yang akan di D.O jika tak melunasi tunggakkan semester akhirnya.Adikku mengambil jurusan kedokteran. Aku berhutang banyak untuk bisa menguliahkannya di jurusan yang sangat ia idamkan. Rumah yang aku tinggali bahkan sudah aku gadaikan pada pihak Bank dan kemungkinan akan disita jika aku tidak membayar cicilan lagi untuk yang ke ... aku lupa sudah berapa bulan aku menunggak cicilan hutangku dan berapa kali dihampiri debt collector.Tapi sayangnya usahaku gagal saat seorang wanita tiba-tiba menarik rambutku dan meneriakiku jika Linggajati adalah miliknya dan aku dilarang untuk menyentuh apa pun yang sudah menjadi miliknya.Waah! Dia pikir aku tidak tahu jika Linggajati belum menikah? Prinsipku. Selama janur kuning belum melengkung, selama cincin belum melingkar di jari manisnya. Maka pria itu bebas untuk siapa pun.Merasa tak terima, aku membalas serangannya dan kemudian aku lupa. Lupa dengan pria yang sudah melerai perkelahian kami. Bahkan aku belum mengingatnya saat aku membuka mata dalam keadaan pusing dan mual, di sebuah ruangan yang asing tapi tak asing.Ruangan ini berwarna putih, dengan dominasi batu alam di bagian dinding bawah. Ada wastafel pada bagian tengah ruangan, kloset tepat di sebelahku yang berbaring di dalam bathup dengan bantal dan selimut lengkap.Aku segera duduk dan langsung menggerung sakit karena pusing. Aku kembali mengedarkan pandanganku dan mengumpat kesal. Siapa yang menidurkan aku di dalam kamar mandi? Brengsek!!*Tanpa rasa bersalah, si pemilik apartemen yang sudah membawaku kemari menyengir lebar sambil menyantap sarapan paginya.Lalu aku? Hanya menatapnya jengah, tak peduli bahwa perutku kerontangan minta diisi. Aku punya harga diri untuk tidak menyentuh sarapan yang dibuatkannya untukku, walau aku sangat ingin mencicipinya.Tapi aku sekarang sedang kesal! Kalian pikir aku bisa makan dengan tenang sambil membicarakan tingkah kurang ajar Bastian padaku semalam?! Enak saja! Dia membiarkan aku tidur di kamar mandi, dengan alasan bahwa kamar lain berisi koleksi legonya yang tak boleh dimasuki orang lain.Dia tak mau jika mendadak aku menghancurkan legonya, yang sudah tersusun rapi di kamar itu. Dia pikir aku monster?!Sorry, Jess. Abis ngga ada tempat lain lagi buat lo. Kalau di sofa, ntar kalau tiba-tiba ada tamu gimana? Jadi ya ... cuma bath—Diem lo! Aku berdiri dan menggerakkan tangan kiri ke samping. Kebiasaan mengambil tas yang selalu aku taruh di kursi kosong di sebelah kiriku saat aku sarapan. Tapi sialnya tasku tidak ada.Aku menatapnya yang sudah menatapku bingung. Tas gue mana, Bas? Dia gedikan bahunya. Gue ngga liat lo bawa tas.Bawa! Semalem gue bawa tas! Di sana ada kunci mobil, rumah, Kartu ATM, kredit, handphone, dompet, duit! Aku terdiam. Lalu menggebrak meja histeris. Tas gue harganya sepuluh juta, setan!!*Lo masih punya kunci serep kan buat rumah lo? Jadi gue anter pulang aj—Aku langsung melirik Bastian dengan tajam. Baru saja aku terkena musibah. Tasku hilang. Mobilku ikut raib. Semuanya hilang dan dia ingin mengusirku begitu saja? Gue mau kerja, Jess. Ini udah jam sepuluh! Dia menunjukkan jam tangan di pergelangan kirinya. Sama. Gue juga kudu kerja.Ya itu urusan lo! Sekarang gue mau ke kantor. Kan gue udah nolongin lo. Ke tempat lo mabuk-mabukan semalam. Sekarang gue malah masih menawarkan kebaikan lain, nganterin lo pulang. Jadi? Apa lagi? Gue sibuk.Barang berharga gue di tas, Bas! Aku mau menangis. Sangat ingin menangis. Tapi air matanya tidak mau keluar! Dan itu mengingatkan kapan terakhir kalinya aku menangis. Ck!! Aku bukan mau menangis. Suaraku bergetar karena amarah yang sudah di puncak kepala dan aku bingung bagaimana meluapkannya. Aku menutup wajahku. Anter gue balik. Akhirnya aku pasrah. Aku tidak bisa merepotkan Bastian dalam urusanku ini.Dalam kamusku. Apa yang hilang dari diriku, merupakan sesuatu yang tidak berjodoh denganku jika dia tak kembali lagi. Jadi mengikhlaskannya jauh lebih baik, daripada harus uring-uringan memikirkannya. Tapi tidak memikirkannya adalah hal yang paling mustahil.Tak terasa, begitu cepat waktu berjalan. Hingga aku tidak sadar sudah sampai di rumah. Aku turun dan Bastian dengan sok perhatiannya mengikuti aku.Kalau butuh apa pun, hubungi gue aja. Gue siap bantu lo, ujarnya di depan pintu rumahku yang masih terkunci.Mendengar tawaran yang menggiurkan itu, aku langsung memajukan tangan. Kalau gitu kasih gue duit. Bastian langsung mencibir. Ngga tau orang cuma basa-basi lo, ya?! omelnya lalu memberiku uang dua ratus ribu rupiah.Aku lantas mengambil dua lembar uang berwarna merah itu, lalu membuka pintu dengan kunci duplikat yang ada di bawah keset. Beruntung ini masih ada di sini. Jika tidak, makin sial nasibku. Pasti!Melihat Bastian sesaat dengan pandangan tajam. Aku melemparkan umpatan ke wajahnya. Dasar pelit! sungutku lalu membanting pintu rumah. Aku yakin jika sekarang Bastian pasti mengumpat habis-habisan.*Maaf, Ki. Kakak ngga bisa wujudin cita-cita kamu. Maaf.Hanya itu yang mampu aku ucapkan saat aku meneleponnya tadi. Beberapa menit yang lalu melalui telepon umum. Setelah ini mungkin aku tidak akan pernah menghubunginya lagi. Karena takut dia mengharapkan aku yang tidak bisa diharapkan lagi.Rumahku akan disita jika sisa hutang yang jumlahnya ratusan juta itu, belum juga aku bayar. Aku dipecat dari pekerjaan karena selalu datang terlambat dan keseringan bolos. Aku tidak memiliki uang lagi, dan aku sekarang jadi gembel.Aku tahu aku tidak bertanggung jawab. Aku tahu aku pengecut dengan memilih menghindari adikku. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Memberitahukan keadaanku juga bukan pilihan terbaik. Sekarang lebih baik aku menghilang dan menjauh darinya.Lima jam aku duduk di Starbucks. Menatap tropical mango jelly frappuccino dengan pandangan kosong. Sekarang aku sedang memikirkan masa depanku yang entah apa jadinya.Lulusan SMA sepertiku, harus jadi apa sekarang? Sedangkan pekerjaanku sebagai Kepala Kasir setelah lima tahun menjabat sebagai Kasir sudah hilang dari genggaman.Saat sedang meratapi nasib yang tak tahu ujung pangkalnya. Tiba-tiba bayangan Bastian terlintas begitu saja dalam pikiranku.Kalau butuh apa pun, hubungi gue aja. Gue siap bantu lo.Ucapannya dua minggu yang lalu mengulang-ulang seperti kaset rusak di ingatanku. Bantuan. Bantuan. Bantuan. Bastian akan memberikan aku bantuan kapanpun aku membutuhkannya.Tidak mau melepaskan kesempatan yang ada. Aku langsung bangkit dan meninggalkan Starbucks untuk menemui Bastian. Kebetulan aku sudah pernah dibawa ke apartemennya. Jadi tidak sulit untuk menemui jomblo player itu.*Ini sudah jam tujuh malam. Berarti tiga jam aku menunggu di depan apartemen Bastian dan dia belum pulang juga. Aku tidak tahu dia sedang sibuk atau sedang berkelana mencari mangsa. Yang jelas aku sudah lelah menunggunya di sini. Sangat lelah. Andai tidak membutuhkan bantuannya, aku enggan menunggunya seperti ini. Melelahkan.Jessi? Lo ngapain di sini?Aku yang duduk memeluk lutut dan kepala terbenam di atas lantai, langsung mendongak melihat pria yang menyapaku. Akhirnya yang aku nanti datang juga. Bastian pulang.Aku kemudian berdiri dan menarik tangannya yang bebas dari tas kerja. Menggenggam penuh harap. Gue butuh bantuan lo.Ha?Lo bilang lo mau bantu gue kal—Kan udah! Duit 200 ribu. Bantuan apa lagi?!Pinjemin gue duit. Aku langsung memberikan tatapan memelas beserta binaran mata penjlat. Please?Bastian langsung menarik tangannya, menatapku kesal. Gue basa-basi, Jessi jenong!Seketika aku merapikan poniku agar menutupi keningku yang sedikit lebar. Dasar Bastian kurang ajar!Lo emang kelewatan ya?! Dikasih hati minta jantung! Dia langsung mengomel.Yang penting gue ngga minta nyawa lo! Pliiis ... bantu gue.Bastian terlihat menarik napasnya dalam. Bantu apa? tanyanya malas.Tapi aku tidak peduli. Aku hanya melebarkan senyumku, menambah pendaran penjilat di mataku. Pinjem duit dua ratus juta.WHAT?!! Dan aku tahu jika tidak mudah meminjam uang sebanyak itu dengan orang yang kita kenal sekalipun.Bab Empat (Bastian POV)Seperti yang aku katakan. Menjadi baik itu susah. Dan ya ... lihatlah! Kebaikanku dimanfaatkan oleh orang tidak tahu malu seperti Jessi.Sialan memang harus mengenal orang seperti Jessi yang tidak bisa mengerti arti dari basa-basi.Aku berkata siap membantunya hanya sebuah basa-basi. Tidak lebih. Tapi dia malah ngelunjak. Dari minta uang dan saat kuberi dia mengataiku pelit. Sekarang dia ingin meminjam uang sebanyak dua ratus juta, seolah uang itu bisa keluar dengan mudah, semudah aku berkeringat di atas ranjang bersama wanita one night stand-ku saja.Kalau gue ngga bayar juga, rumah bisa disita. Bas, please! Gue butuh bantuan lo. Cuma lo yang bisa gue harapkan.Aku langsung berdecak dan menyandarkan tubuhku ke punggung sofa. Tadi aku membawanya masuk ke apartemenku, karena tidak enak kalau dilihat oleh tetangga.Minta bantuan sodara lo lah! Kenapa minta bantuan sama gue?! Kami dulu memang dekat. Tidak begitu dekat. Hanya cukup dekat sebagai teman ngobrol. Dan sejak Kenzo kecelakaan, hubungan kami merenggang. Aku dan Jessi jarang berkomunikasi lagi. Hanya sesekali dan sebatas say hei. Lalu sekarang dia kembali mencoba menjadi temanku dengan memamerkan kemiskinannya. Berharap aku bisa bersimpati. Begitu? Sayangnya aku tidak terpengaruh.Bukannya pelit, atau tidak mau membantu. Tapi masalahnya uang yang dia pinjam itu tidak sedikit! Dua ratus juta, men! Berapa karung coba kalau gue beliin kondom?!Gue bakal balikin, Bas. Gue janji. Ngga akan kabur!Aku menggeleng lalu mendesah. Dua ratus juta itu duit, Jes. Bukan daun yang tinggal petik! Apalagi lo tau kerjaan gue apa. Pegang perusahaan property milik Kenzo yang baru dibangun. Masih merintis! Gaji gue ngga gede. Lo mau minjem duit sama gue? Salah tujuan!Terus sama siapa? Ngga mungkin sama Kenzo, kan?Kenapa ngga mungkin?!Ck! Dia udah nikah. Dan gue udah janji sama Tante Liandra buat ngga ganggu kehidupan rumah tangga Kenzo. Bantuin gue, Bas. Gue belum siap jadi gembel beneran.Aku mengusap rambutku kasar. Bingung antara memberi bantuan atau tidak. Tapi andai aku mau memberinya bantuan. Dengan apa? Uang di tabunganku memang ada dua ratus juta lebih. Tapi itu simpanan. Tabungan masa tua.Dia pikir hidupku yang terlihat mewah ini mencerminkan kekayaanku? Dia salah!Berapa lama lo bisa balikin duit gue? Shit! Kenapa malah nanya begitu? Seolah aku mau saja meminjamkan uang padanya.Jessi tampak semangat di tempatnya. Kasih gue waktu satu tahun dan gue—Satu tahun?! Yang bener aja!Tapi gue lagi usaha cari kerja, Bas! Atau gini aja. Gue kerja di tempat lo tanpa digaji deh. Ngga apa-apa.Ngga ada kerjaan buat lo! Lagian lo mau ngutang 200 juta. Lah, berapa lama lo kudu kerja sama gue, biar utang lo bisa lunas?!Seumur hidup. Gue siap. Ya?Ya ampun! Jessi apa beneran miskin, ya? Sampai segitunya yang mau ngutang. Tidak ada yang menyangka jika porselen berjalan yang setauku selalu tampil elegan dan mewah ini ternyata miskin. Sama kayak lo lah, Bas!Gue pikirin deh, Jes. Kalau lima puluh juta, mungkin masih bisa gue pertimbangkan dengan cepat. Tapi ini 200 juta. Kalau gue punya pohon berdaun duit aja, mau gue tolongin lo.Jessi kemudian berdiri dan mengangguk mengerti. Kalau memang ngga bisa. Lima puluh juta juga ngga apa. Makasih, ya?Aku mengangguk. Sorry ya, Jes?Dia memberi seulas senyum lalu pergi. Huuuh! Kasihan juga sama tuh cewek. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa membantunya jika dia meminjam uang sebanyak itu.*Satu minggu lebih, kira-kira Jessi tidak pernah datang ke kehidupanku lagi. Lega yang aku rasakan karena tidak dimintai hutang, ternyata tidak bertahan lama saat aku melihat Jessi sedang melakukan taruhan dengan minum alkohol sebanyak-banyaknya. Dan siapa yang teler duluan, akan dianggap kalah. Kalau masih sadar, akan diberi uang yang sudah para penonton kumpulkan.Hal seperti ini sudah biasa aku lihat. Tapi mengapa saat tahu Jessi ikut melakukannya, membuat aku kasihan. Tidak tega melihatnya jadi bahan tontonan. Aku membelah keriuhan dengan membawa Jessi yang sudah mau teler keluar dari club yang aku datangi malam ini.Lo apaan sih, Jes?! Penting banget ikut begituan?! omelku yang entah kenapa jadi terkesan perhatian.Aku melirik Jessi yang ternyata sudah teler di sebelahku.Alah! Begini kok sok-sokan ikut taruhan.Perjalanan mengantar Jessi pulang, terasa begitu hening karena Jessi benar-benar tidur. Mungkin kali ini kesadarannya hilang total. Entah berapa gelas yang ia habiskan tadi. Sepertinya lebih dari lima.Tiba di rumahnya yang tidak begitu besar dan mewah jika dibandingkan dengan rumah yang ada di sekitarnya. Aku membawa dia masuk dengan kunci yang ada di tasnya yang sempat aku ambil dari temannya yang membawakan benda itu.Miris. Itu yang aku rasakan saat melihat rumahnya yang kosong tanpa ada benda apa pun. Tidak ada meja, lemari, TV, atau apa pun. Benar-benar kosong. Dengan tubuhnya yang ada di gendonganku. Aku membawanya menyusuri rumahnya yang ternyata hanya terdiri dari lima ruangan. Dua kamar yang tidak besar. Satu ruang tamu. Dapur dan kamar mandi.Saat memasuki kamar utama, aku tidak mendapatkan apa pun. Kemudian aku pergi ke kamar kedua dan di sana ada kasur tipis serta lemari plastik yang terletak di sudut ruangan. Aku tidak pernah tahu jika kehidupannya menderita begini. Selama ini aku tidak pernah melihatnya menderita. Atau dia hanya menyembunyikannya saja?Mama....Langkahku berhenti saat mendengar Jessi memanggil ibunya dalam keadaan tertidur. Bawa Renia pergi. Renia mohon....Aku yang berdiri di ambang pintu, bersiap untuk pulang kembali berbalik dan menatapnya yang telentang dengan air mata mengalir dari pelupuk mata yang tertutup.Aku tahu jika ayahnya berselingkuh. Tapi aku tidak tahu kemana ibu Jessi. Sepertinya sudah meninggal, atau pergi karena tidak mau memiliki suami pengkhianat. Entahlah. Ternyata kedekatan kami dulu sebagai teman, tidak cukup untukku mengetahui tentang kehidupannya. Aku pikir dia happy-happy saja. Mungkin Kenzo tahu tentang Jessi, karena Jessi memiliki hubungan dengan Dinda. Tapi mengapa aku malah berpikiran seperti itu? Seolah aku ingin tahu tentang kehidupannya saja.Aku menunggu beberapa saat sampai Jessi kembali tenang. Kemudian menutup pintu kamarnya dan pergi dari rumah mungilnya ini, dengan meninggalkan uang lima ratus ribu di sisi bantal yang ia tiduri. Semoga itu bisa membantunya.Setelah pulang dari rumah Jessi. Sekarang aku bingung harus ke mana. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke apartemen, karena mendadak tidak nafsu mencari teman kencan satu malam.*Ting tong....Jika libur. Aku paling benci bangun pagi-pagi. Untuk apa bangun pagi? Aku tidak bekerja dan aku tidak akan kemana-mana selain tidur seharian. Lalu bangun untuk makan. Itu pun jika aku lapar.Tapi pagi ini, aku perlu menghancurkan jari seseorang yang berani-beraninya menekan bel pintu dan membangunkan aku.Aku menggerung kesal, lalu berdiri untuk membuka pintu. Saat akan mengeluarkan makian, aku langsung mengigit lidahku mengetahui siapa yang berdiri di depanku. Kak Liandra bilang, kalau kamu sering ke rumah Jessi. Pak Narno, satpam komplek yang sering lihat mobil kamu di sana. Ngapain kamu sama dia?! Awas ya, kalau kamu sampai tidur sama dia! Ngga ridho aku kalau itu terjadi.Aaah!! Kenapa dia mesti tahu, sih?! Cuma nolongin dia yang lagi mabuk, jawabku mengikuti kakakku tercinta yang masuk begitu saja ke apartemenku.Awas kalau kamu pacaran sama dia. Kakak ngga setuju. Dia hempaskan pantatnya ke sofa lalu melirikku tajam. Cari tuh yang kayak Rere. Sopan, baik, tubuhnya masih virgin sebelum disentuh Kenzo.Aku langsung memutar bola mataku semenjak Rere menjadi perbandingan wanita yang akan menjadi pendampingku. Padahal menikah saja aku tidak niat. Kalau kawin, baru aku mau.Kenapa harus yang virgin? Aku juga udah ngga perjaka. Aku bukan lelaki sok suci. Di saat beberapa pria di luar sana mengagungkan keperawanan bagi calon istrinya. Aku lebih melihat seorang wanita pada tingkat kesetiaannya. Aku tidak peduli dengan masa lalu seseorang. Karena masa laluku pun jelas hancur dan tidak bisa dibilang membanggakan. Yang terpenting adalah masa depannya. Begitu saja. Tapi mengapa aku membicarakan ini, seolah aku mau menikah saja.Kalau virgin itu, berarti dia wanita baik-baik.Terus Dinda? Aku melipat tangan di depan dada. Lebih baik milih bobrok di depan daripada bobrok di belakang. Jadi jangan pernah mendiskriminasi wanita begitu. Kalau yang virgin adalah wanita baik-baik. Terus gimana sama Tante Liandra yang sempat jadi janda? Dia nikah sama mantan pacarnya yang perjaka. Ngga masalah, kan?Ck! Kamu tuh kalau membantah, selalu paling pinter. Terserahlah, perawan ngga perawan. Asal jangan Jessi. Dia matre!Aku rasa itulah masalah terbesarnya. Kak Suci. Matre. Dasar wanita.Lagian kenapa sih, repot banget mikirin aku sama Jess? Aku duduk di hadapannya. Kak Liandra tuh! Masa mau jodohin kalian. Gila, kan?!He? Tante Liandra kesurupan apa, mau jodohin aku dan Jessi?Katanya kalian cocok! Dia ngga doyan lelaki. Kamu ngga doyan perempuan.Aku langsung berjengit kaget. Siapa yang ngga doyan perempuan?! Nyaris tiap malem juga aku ena-ena sama perempuan. Masa dibilang ngga doyan perempuan.Ya abis kamu ngga mau nikah, sih!Aku hanya mencibir saja dan kemudian kembali dengan ucapan Kak Suci yang mengatakan jika Jess tidak doyan lelaki. Katanya Jess ngga doyan laki-laki. Virgin dong dia? Kalau iya. Berarti itu berita hebat! Ngga nyangka aja kalau cewek begajulan kayak dia masih perawan.Kamu tau, kan? Ayahnya selingkuh. Jadi dia ngga mau cinta-cintaan. Dia ngelakuin apa pun demi uang. Nah, yang kakak takutin tuh, dia sering jual tubuhnya ke orang-orang kaya. Kan bahaya kalau sampai kejadian begitu.Aku mencebik tak percaya. Kayaknya ngga deh. Soalnya kalau iya dia begitu. Tante Liandra ngga mungkin jodohin Kenzo sama Jessi.Nah! Untuk yang itu no komen deh. Aku kembali mencibir. Begitu kakakku. Dia belum tahu kebenarannya, tapi berani berasumsi sendiri.Bab Lima (Jessi POV)Sepertinya melamun sudah menjadi hobiku selama satu minggu terakhir ini. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain duduk di atas kasur tipis, dengan nasi bungkus pinggir jalan yang harganya hanya sepuluh ribu rupiah dan pikiran yang melalang buana, ke mana-mana.Kadang aku merutuki kesalahanku. Kadang aku menyumpahi kebodohanku. Andai aku tidak meminjam uang ke Bank. Andai aku menjual saja rumah ini untuk biaya kuliah Rifki. Pasti tidak begini jadinya. Paling parah mungkin keluarga dari pihak mama akan mencercaku yang beraninya menjual rumah warisan hanya untuk kepentingan pribadi. Sudah. Hanya sebatas itu. Tidak lebih.Tapi di atas itu semua. Ada andai yang jauh lebih baik lagi untuk diriku ucapkan dan sesali. Yaitu andai mataku tidak jelalatan dan tanganku tidak gatal setiap melihat barang mewah yang harganya mencekik leher. Sudah terjadi begini, siapa yang bisa membantuku melunasi hutang? Menjual rumah sekarang juga pasti tidak secepat membalikan telapak tangan. Aku sudah menyerah dengan kehidupan ini. Aku putus asa. Renia putus asa, Ma. Renia menyerah.Aku memandang silet yang aku beli tadi pagi saat aku membeli nasi bungkus. Mengambilnya dan meletakkan sisi yang tajam ke pergelangan tangan kiriku. Tanganku gemetar.Apakah ini adalah pilihan terakhir? Mati? Bunuh diri? Tuhan. Bisakah beri aku kelonggaran sedikit saja? Setidaknya angkat satu beban yang ada di pundakku. Satu saja.Aku melempar silet di tanganku, lalu memukul dadaku yang terasa sesak. Hati ini sudah begitu nyeri. Tenggorokanku sakit bukan main. Tapi air mata yang aku nantikan tak kunjung keluar. Aku ingin menangis. Mungkin dengan begitu, bebanku akan sedikit terangkat. Tapi aku tidak bisa. Air mataku sudah kering karena menangisi jasad mama yang terbujur kaku di hadapanku dulu. Aku tidak bisa menangis. Aku membenci ini.Kusandarkan kepala ke dinding di belakangku. Memang bunuh diri tidak menyelesaikan masalah. Aku tidak bisa lari. Tidak. Aku harus mencari jalan keluar dan jalan keluarnya adalah....Lo kalau butuh duit, ke mami deh! Apalagi lo masih ting-ting! Uuh! Maahaal!!Seketika ucapan teman wanitaku yang biasa aku temui di club malam terngiang di ingatan. Dia PSK. Aku mengenalnya saat dia sedang menjajakan dirinya satu tahun yang lalu.Mami? Mami yang dimaksud adalah Mami Diana. Kasarnya adalah seorang germo atau muncikari yang merupakan perantara atau penyalur pekerja seks komersial. Jika aku mendatanginya. Setidaknya aku bisa membayar uang kuliah Rifki. Soal hutang dengan bank. Tidak masalah kalau akhirnya rumah ini disita, aku dihujat keluarga ibuku, dan akhirnya jadi gembel sejati. Setidaknya adikku sukses.Jadi, apakah aku harus mendatanginya?*Setelah berpikir satu malam dan satu hari. Akhirnya aku mengambil keputusan. Aku berdiri di depan sebuah mobil kosong yang terparkir di depan sebuah rumah bordil. Aku memperhatikan penampilanku dengan teliti melalui kaca jendela yang gelap.Jessika yang kuat telah kembali. Setelah sempat putus asa karena gagal menjadi istri konglomerat dari seorang anak pengusaha yaitu Kenzo. Akhirnya aku kembali menjadi diriku sendiri. Jessika yang kuat, bukan Renia yang lemah.Aku menarik napasku dalam, sebelum akhirnya melangkah percaya diri memasuki pintu rumah bordil yang dijaga oleh dua pria berbadan besar. Mereka sempat menghalangiku. Tapi saat aku mengatakan jika aku ingin bertemu dengan Mami Diana. Mereka akhirnya mempersilakan aku masuk.Tidak susah menemukan Mami Diana. Dia ada di lantai atas dan pasti sedang menantiku yang sempat menghubunginya sebelum kemari. Tapi saat aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, tanganku ditarik oleh seseorang yang dengan paksa menyeretku dengan kasar.Aku meronta. Memukuli tangan pria yang menarikku, tapi nihil! Dia berhasil membawaku keluar dan membalikkan tubuhku ke sebuah mobil hingga aku memekik sakit.Aku mendongak siap memaki pria lancang ini. Tapi saat tahu siapa dia. Aku terkesiap. Lo? Lo ngap—Lo ngapain di sini?! Jangan gila deh lo! Lo mau ngejual diri lo, kan?! pekiknya membuat aku meringis sambil mengusap telinga Lo kok bisa tau gue di sini? tanyaku tak nyaman. Sangat tak nyaman dengan kehadiran Bastian yang mengganggu rencanaku. Sepertinya sejak malam di mana dia membawa aku ke apartemennya, kami jadi lebih banyak bertemu. Aneh.Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Dia berdecak. Lo gila ya, Jess?! Ngapain datang ke sini?! Ini bukan tempat lo!Mendengarnya berbicara, seolah sedang mendengar teman dekat yang berusaha mengajak tobat. Terus tempat gue di mana? Di bawah kolong jembatan? Minta-minta? Gue butuh duit, Bas. Gue butuh itu untuk hidup.Aku jarang terlihat lemah di hadapan orang. Tapi di hadapan Bastian, sepertinya sudah dua kali aku memberi raut memohon padanya. Dan itu membuatku kesal.Tapi ngga gini kan, Jess?! Lo bisa kerja!Kerja apa?! Gue cuma lulusan SMA! Ngga gampang cari kerja! Aku mengibaskan tangan. Udahlah. Siapa lo ngelarang-larang gue?! tukasku kemudian melangkahkan kaki menjauh.Tapi belum itu terjadi, dia menarikku dan sekejapan sudah mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Mau lo apa?! gerungku frustasi setelah dia duduk di balik kemudi.Bawa lo pulang! Gue ngga peduli ya, lo ONS sama siapa pun itu. Asal demi senang sama senang. Bukan untuk dapat uang!Tapi gue ngelakuin apa pun demi uang! Lo ngga usah ikut campur kenapa, sih?! Kita bukan siapa-siapa. Cuma kenal—Oke, gue kasih lo pinjem duit. Tapi lo harus udah balikin itu dalam jangka waktu tiga bulan. Kalau belum lo balikin juga, gue bakal jual rumah lo, dan gue ambil duit gue. Sisanya jelas buat lo. Gue ngga makan duit orang lain. Deal?!Aku mengerjap tak percaya. Bastian benar-benar ingin membantuku?! Bastian makasih! Refleks aku memajukan tubuh dan memeluknya erat, mencium kedua pipi dan keningnya meninggalkan noda lipstik di sana.Dia memberontak dan mendorongku. Apaan sih, Jess?! Risih tau!Aku kemudian berdecak. Sok jual mahal!*Bas! Gue boleh tinggal tempat lo ngga?Benerkan lo bakal ngelunjak? Bastian memandangku dingin.Namanya juga mencari peluang.Ya kan, kalau nolongin orang tuh jangan setengah-setengah, Bas. Harus tot—Eh apaan sih Bas?!Tiba-tiba Bastian menarik kepalaku dan ditekan ke pangkuannya. Aku memberontak karena tindakan kurang ajarnya ini. Setan lo, Bas!! Apa-apaan sih?! makiku masih berusaha melepaskan diri.Diem! Ada Kak Suci. Kalau ketahuan bisa gawat. Ck! Kenapa rumah lo mesti ngelewatin rumah Tante Liandra, sih?! Kenapa juga malam ini mesti ada acara makan malam bersama. Dia hentikan mobil, di depan rumah tetangga yang jaraknya beberapa rumah dari rumah Liandra.Oh ... lo tahu gue pergi ke tempat Mami Diana, pasti karena mau ke rumah Tante Liandra buat makan malam, ya? terkaku dan dia mengangguk pelan sebagai jawaban.Bastian begitu memfokuskan diri pada rumah Liandra. Semoga dia ngga liat mobil gue, doa Bastian yang sama sekali tidak aku mengerti. Mengapa dia harus takut ketahuan jalan denganku? Memangnya kenapa?Aku diam sejenak mendengarnya mengoceh, sebelum kemudian membuka suara, Memangnya kenapa kalau ketahuan? tanyaku mencoba meliriknya, tapi yang kulihat hanya jakunnya yang bergerak naik dan turun.Bastian tidak menjawab melainkan melirikku dan kubalas dengan pertanyaan isyarat, dua alis terangkat. Kenapa mukanya jadi merah? Aku gedikan bahu dan kembali menghadap ke depan dan saat itu aku melihat gundukan besar di depan wajahku.Seketika aku sadar di mana kepalaku berada. Masih di pangkuan Bastian dengan wajah yang begitu dekat dengan tongkat sialannya.Setan! Lo mesum banget, sih?! teriakku, memberontak lepas dari tangannya.Kenapa lo marah? Junior gue berdiri itu karena naluri alami!Ngga peduli, setan! Yang jelas itu di depan muka gue! Kurang ajar lo, ya?! Aku kemudian memilih turun meninggalkannya. Besok ketemuan di mana deh! Jangan di rumah gue. Ngeri sama lo! omelku memandanginya tajam.Tapi Bastian hanya memberi senyuman mengejek yang membuatku makin emosi. Munafik banget sih lo, Jess? Biasanya juga lo mainin, balasnya membuatku tercengang.Mainin?Butuh waktu beberapa detik untuk aku bisa menangkap maksud ucapan Bastian sebelum akhirnya mengerti. Mungkin dia pikir kehidupan bebasku adalah kehidupan yang benar-benar bebas. Termasuk bebas tidur dengan siapa pun itu. Dia pikir aku benar-benar murahan? Aku mahal! Bahkan aku akan menjual keperawananku ini dengan uang yang cukup banyak. Bukan dibayar dengan cinta dan nafsu yang tidak bisa mencukupi kehidupanku. Tapi uang! Memangnya dia pikir aku ABG bau kencur, yang diajak tidur dengan kamera menyala untuk merekam setiap adegan di tengah hutan pun mau?! Huuh!! Aku bukan mereka yang bodoh itu! Aku pintar! Terserah! Aku melenggang pergi, enggan menanggapi ucapannya.Selama ini aku memang sering berkencan dengan banyak lelaki, bahkan aku akui juga dengan perempuan. Bukannya aku berkelainan. Bukan. Aku melakukan itu karena uang.Kesempurnaan fisikku cukup untuk memoroti sedikit kekayaan orang yang aku kencani. Setidaknya, aku pernah mendapatkan tas mahal yang akhirnya hilang. Kemudian juga bisa makan gratis setiap kencan. Punya pacar itu dimanfaatkan. Dan aku melakukan itu dengan baik.Tapi kemudian hubungan kami pasti kandas saat mereka meminta sesuatu yang lebih dariku, tidak sekedar ciuman dan foreplay. Karena aku menolak, maka biasanya mereka akan mencaci makiku yang katanya munafik dan bla bla bla.Terserah. Aku tidak peduli. Aku hanya jijik, setiap membayangkan milikku itu disentuh tangan lain. Ditambah harus menyatukan miliknya dan milikku. Iyuwh! Peduli setan dengan banyak orang yang mengatakan seks adalah aktivitas yang paling nikmat. Bagiku hal seperti itu tidak ada gunanya.Aku tidak bisa merasakan apa pun, bahkan saat kejantanan pria yang aku kencani ada di tanganku. Tidak ada denyutan aneh pada area sensitifku, juga cairan yang melembabkannya. Biasa saja. Aku tidak bernafsu.Kecuali jika mereka mau membayar keperawananku ini dengan nominal yang aku ingini. Aku pasti mau melayani mereka, tanpa pedulikan aku yang pasti merasa jijik. Sayang semua langsung mundur. Aku menengok ke arah kanan, di mana rumah Tante Liandra yang terlihat ramai. Tadi saat Bastian menarik kepalaku, aku sempat melihat mobil Om Raja memasuki perkarangan rumah Liandra.Saat aku melewati rumah besar ini, ternyata juga ada mobil Kenzo. Sepertinya sedang ada acara keluarga. Kalau gitu, sampai ketemu besok malam! Di Starbucks aja. Aku menoleh melihat mobil Bastian yang bergerak ke arahku, lalu berbelok ke perkarangan rumah Liandra. Dia melambaikan tangannya.Aku hanya menanggapinya dengan senyuman miris. Mereka terlihat bahagia. Keluarga lengkap. Walau bercerai, tapi aku tahu jelas apa alasan Liandra dan Om Raja bercerai. Tidak ada yang berkhianat dan terkhianati di rumah tangga mereka. Ini hanya karena perjodohan yang gagal dan itu bukan salah mereka. Salah kedua orangtua mereka yang memaksakan sebuah hubungan. Akhirnya, walau berpisah mereka tetap bisa damai.Sementara keluargaku. Papa Berkhianat dan mama terkhianati. Keluarga kami hancur, menyisakan luka untuk anak-anaknya.Bab Enam (Bastian POV)Ada banyak pekerjaan yang harus aku urus di kantor. Pembangunan proyek perumahan di daerah Jakarta Selatan mengalami kendala dan aku harus mengeceknya ke sana. Mengurus semuanya, dan berujung terlambat pada pertemuanku dengan Jessi.Di tempatnya menunggu, aku lihat Jessi sudah cemberut. Mentang-mentang gue yang butuh. Lo jadi sesuka hati gini, umpatnya hanya kubalas dengan senyuman biasa.Sibuk. Akhirnya aku membalas setelah memesan kopi espresso.Mana duitnya? Dia langsung menagih begitu saja bahkan sebelum pesananku tiba.Memang dasar matre.Tunggu! Gue minum dulu, sungutku sambil membenahi letak kacamata lalu mengedarkan pandangan. Di luar hujan. Tidak begitu deras memang. Tapi cukup untuk membuat orang takut keluar, sehingga mungkin banyak yang berteduh kemari hingga setiap kursi nyaris terisi oleh pengunjung. Langsung aja deh, Bas. Badan gue ngga enak, nih. Meriang. Gue nungguin lo udah dua jam di sini. Makin sakit gue!Mendengar omelan Jessi, aku langsung mencibir kesal. Sabar! kataku namun tetap mengeluarkan cek yang sudah aku isi nominal uang sesuai yang Jessi minta dan kutandatangani. Nih! Inget. Balikin dalam waktu—Tiga bulan! Gue tau. Dia mengambil cek yang ada di tanganku. Makasih ya, Sayang. Dia memainkan sebelah matanya lalu melenggang pergi.Habis manis sepah dibuang. Sudah dapat apa yang dia mau, aku ditinggal begitu saja.Aaah!! Bodohnya ngasih pinjeman.Aku menoleh melihat Jessi yang sedang membuka pintu keluar. Sambil berpikir, memang dia bisa mengembalikan dua ratus juta dalam tiga bulan? Gimana kalau dia niat buat jual diri lagi?!Aaah! Kenapa sekarang malah mikirin tuh cewek, sih?!*Jarang-jarang Kenzo datang ke Cipta Graha kantor kami jika memang tidak ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Aku memicingkan mata melihatnya yang duduk gusar di kursi kerjaku.Dia pemilik perusahaan ini. Dia yang membangunnya dan aku hanya menyumbang sedikit bantuan uang dan tenaga total sebagai direktur. Perusahaan ini baru berjalan sekitar dua tahun. Belum banyak rumah hunian yang kami bangun. Baru ada dua proyek di daerah Jakarta Selatan, yaitu Graha Nusantara dan Jakarta pusat, yaitu Pondok Nusantara. Itu juga hanya terdiri dari 30 unit rumah hunian saja. Terlebih Pondok Nusantara masih dalam proses pembangunan sampai saat ini.Karena itu aku bilang kalau aku miskin. Menjabat sebagai direktur di perusahaan yang baru dibangun. Belum banyak pendapatan yang aku terima. Begitu aku sudah sok-sokan memberi pinjaman kepada Jessi. Kemana pikiranmu Bastian?!Lo kenapa, Ntut? tanyaku duduk santai di sofa tamu sambil menghisap sebatang kecil sumber penyakit yang perlahan-lahan menggerogoti anggota tubuh bagian dalam.Gue diselingkuhi lagi, ujarnya memelas membuatku membeliak tak percaya.Ha?!Tiap malam dia tidur sama Dipta. Gue sendirian di kamar.Mendengar itu aku langsung menyipitkan mataku dan sangat berniat melemparkan puntung rokok yang masih terbakar ujungnya ini ke muka Kenzo. Bukannya merasa bersalah, dia tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku. Semoga lo ngga pernah tidur lagi sama dia! doaku kejam.Terserah saja. Aku sudah menanggapi ucapannya dengan serius, dan ternyata dia hanya main-main saja.Gue serius, Bas. Anak gue ngga mau lepas dari Rere. Gue inget tidur sama dia cuma pas setelah ijab dan resepsi dua bulan yang lalu. Ck ck! Kalau diprotes, Rere nangis.Salah siapa nikah?! Kan gue bilang kalau nikah itu ngerepotin! Melihat sahabatku uring-uringan begini, membuat aku semakin malas membicarakan pernikahan. Membuat mual.Dia hanya mendengus saja. Lo belum ngerasain. Makanya bilang gitu. Gue ke sini bukan buat curhat sebenarnya. Mau cek pembukuan aja.Tumben?! Biasanya semua lo serahin sama gue! Aku berdiri dan menyalakan laptopku untuknya, lalu memberi tumpukan berkas dan satu flashdisk. Bagus lah kalau lo mau bantuin gue. Gue pergi dulu, ya? Ada urusan.Kemana?Urusan orang kaya. Kacung ngga boleh tahu.Alaah!!Aku hanya tertawa lalu meninggalkan Kenzo dengan pekerjaanku yang dia handle untuk hari ini. Entah kesurupan setan apa sampai dia mau membantuku. Aku turun dari gedung DIAXA menuju basement. Kebetulan aku membawa motor karena tadi bangun kesiangan, dan karena tak mau terlambat. Aku harus membawa ninja hitamku ini.Hari ini adalah hari di mana harusnya Jessi mengembalikan uangku. Jujur saja, aku tidak yakin jika dia bisa membayarnya. Tapi demi mendapatkan kepastian, aku akan menemuinya yang selama tiga bulan ini sudah tidak aku temui lagi.Sebenarnya aku takut dia kabur dan menghilang bersama uang 200 jutaku. Tapi karena tidak mau dikatakan pelit dengan terus menagih hutang atau mengingatkan hutangnya padaku. Aku biarkan saja dia. Lagian kalau dia kabur, aku pasti bisa menemukannya. Lihat saja!Tiba di depan rumahnya yang selalu tertutup rapat dan sepi. Aku langsung mengetuknya. Tidak berapa lama pintu terbuka menampilkan sosok Jessi yang terlihat seksi dengan baju tidur terusan hingga lutut. Baju itu tipis dan tidak berlengan. Aku menelan ludahku saat melihat gundukkan kembar di atas dadanya yang menjulang menantang dengan puncaknya yang samar-samar bisa aku lihat.Damn it! Rambut sebahunya dilepas dan sedikit berantakan lagi. Kenapa aku jadi gemetaran begini?Elo, Bas? Masuk, ajaknya melenggang ke dalam menuntunku menuju kamarnya. Duduklah, ujarnya lesu sambil berjalan ke arah lemari mengambil sesuatu dari sana.Ah iya. Jessi terlihat lesu. Bahkan aku lihat lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan kalau dia tidak tidur semalaman. Lo kenapa? tanyaku.Jessi menggeleng, lalu duduk di sampingku dan menyerahkan plastik putih di pangkuanku. Makasih ya, pinjamannya. Tapi sori. Itu cuma 180 juta. Gue butuh yang dua puluh jutanya. Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Nope.Dia tersenyum padaku dengan sorot mata yang mengucapkan rasa terima kasih. Ya udah. Sana lo balik. Gue mau molor. Dia mendorong bahuku.Aku tidak segera beranjak dari tempatku, melainkan menatap uang yang ia kembalikan. Lo kerja? Dapet duit dari mana? Jujur. Aku masih takut menerima uang ini. Takut jika dia mendapatkan uang ini dengan cara yang salah.Dia gedikan bahunya.Kan yang penting gue bayar. Dapet dari mana itu terserah gu—Aku mencondongkan tubuhku. Lo datengin Mami Diana, ya? tembakku membuatnya seketika pucat. Jess.Ngga! Gue jual tanah warisan nyokap gue. Udah sana lo pergi. Gue ngantuk banget! Dia kembali mendorong tubuhku dengan tenaganya yang sangat lemah.Entah mengapa aku tidak bisa percaya dengan ucapannya. Tapi karena memang ini bukan urusanku, maka aku hanya menggedikan bahu, lalu berdiri. Makasih, ya? Lo bisa dipercaya ternyata, ujarku menunjuk bungkusan plastik putih di tanganku, lalu meninggalkan Jessi yang hanya membalas ucapanku dengan senyuman tipis.Baru tiba di ambang pintu kamarnya, aku kembali berbalik dan mendapati Jessi yang memperhatikanku dengan pandangan yang ... entahlah. Ada kesedihan di sana. Tapi secepat mungkin ia putus kontak matanya dariku saat tahu aku memergokinya. Lo udah makan?Ha? Dia kembali melihatku.Makan. Ini udah jam sebelas loh. Bentar lagi makan siang. Tidurnya habis makan aja. Gue traktir deh.Dia menggeleng. Diet ah. Lemak gue mulai bermunculan, jawabnya pelan namun tetap ia selipkan senyuman.Diet? Aku melihat Jessi dengan pandangan menelisik. Meneliti tubuhnya yang menurutku jauh lebih kurus dari tiga bulan yang lalu. Lo kurusan. Kurus banget malah. Ngapain diet?!Biar seksi! Udah sana pergi! Gue ngantuk banget. Dia kibaskan tangannya tanda mengusir, lalu membaringkan tubuhnya tidak mempedulikanku.Mengapa melihatnya yang seperti itu membuatku merasa iba? Lo punya duit? Gue—Gue minta lo balik, Bas! Kenapa lo jadi ikut campur urusan gue gini, sih?! Dia membuka matanya yang tadi sempat terpejam, untuk melirikku tajam.Gue mau nol—Gue ngga butuh bantuan lo lagi. Beneran. Gue baik-baik aja!Lo ngga baik-baik aja kalau lo bilang gitu. Jujur deh. Lo dapet duit 200 juta dalam waktu tiga bulan tuh darimana?!Lo kenapa sih?! Dia berdiri dan mendekatiku. Urusan gue dapet duit darimana! Dia dorong tubuhku keluar dan dia langsung mengunci pintu kamarnya. Yang penting duit lo balik!! Sekarang pulang sana! Gue ngantuk!!Sebenarnya tuh cewek kenapa, sih?! Dan herannya juga, aku ini kenapa? Kenapa kayaknya sibuk banget buat tahu masalah Jessi.Aah! Aku mengacak rambutku frustasi. Terserahlah! Dia bukan siapa-siapa untuk aku pedulikan.*Tapi sebesar apa ketidakinginanku untuk mengabaikannya? Sepertinya lebih kecil dibanding rasa aneh yang terus membuatku ingin tahu segala tentang Jessi. Sialnya aku tidak tahu sejak kapan hal ini terjadi.Aku kembali lagi ke rumahnya setelah membeli sebungkus nasi di rumah makan kesukaanku. Aku membawa dua bungkus dan berniat untuk makan siang bersamanya. Aku mengetuk pintu rumahnya. Tidak ada jawaban. Aku kembali mengetuk dan sama saja. pintu tidak dibukakan olehnya. Kemudian aku berinisiatif untuk membuka handle pintu dan ternyata tidak dikunci. Berarti dia biarkan begini sejak aku pergi. Sembrono.Aku kemudian masuk ke dalam rumahnya dan berjalan menuju kamarnya. Aku mengetuk pintu kamar Jessi yang pasti terkunci. Jes, bangun. Gue bawain makan siang buat lo. Buka pintunya, panggilku terus mengetuk pintu Jessi.Jes!! Aku setengah berteriak dan tetap tidak ada jawaban. Jessi!! Ketukanku semakin kuat dan perasaan was-was mulai menjalariku. Dia tidur atau mati, susah begini dibangunkan.Jessi buka atau gue dobrak! teriakku dan kini bukan hanya mengetuk, melainkan menendang pintunya. Tapi masih tidak dijawab dan membuatku semakin panik.Jess, lo baik-baik aja? Jessi jawab gue! Aku menendang pintu kamarnya beberapa kali. Bahkan mulai menabrakan tubuhku ke pintunya dengan membabi buta, tidak peduli makanan yang aku beli sudah berserakkan di lantai dan aku injak-injak tanpa sengaja. Jessi brengsek, bangun!! teriakku penuh emosi.JESSI!!Krak!Pintunya berderak. Engsel pintu bagian bawah lepas dan aku kembali menendangnya sekuat tenaga sampai engsel bagian atas ikut lepas. Aku berusaha mengintip dari celah pintu yang terbuka setengah dan mendapatkan pemandangan yang sangat tidak ingin diriku lihat.JESSI LO GILA, BRENGSEK! pekikku menendang pintunya lagi berkali-kali sampai pintu yang terbuat dari kayu dan triplek itu jatuh terhempas ke belakang. Tergesa-gesa aku menghampiri tubuh Jessi yang tergeletak tidak berdaya dengan tangan kiri yang masih mengucurkan darah segar. Ini gila. Perasaan takut menyelubungiku. Tidak mau membuat kondisinya semakin parah. Aku mengangkat tubuhnya berlari ke depan.Anjing! umpatku saat sadar bahwa hari ini aku mengendarai motor. Panik, aku membawa Jessi berlari ke arah rumah Tante Liandra dan kedatanganku membuat pekikan histeris adik-adik Kenzo, setelah sebelumnya satpam rumah ini berseru kaget karena aku membawa tubuh Jessi yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Yolan! Lo kenapa malah kabur?! Keluarin mobil!! Bawa ke rumah sakit! pekikku pada Yolan yang malah mau kabur.Takut, Kak!! Bahkan aku bisa melihat tubuhnya merinding hebat.Mama ... mamaa!! Kak Bastian bawa mayat!Aku langsung mendelik tajam pada Yasha yang baru saja berteriak histeris. Mayat setan?! omelku dalam hati.Tak lama Tante Liandra keluar dan dia juga sempat memekik, namun secepatnya menguasai diri. Setelah huru-hara terjadi di rumah ini, Tante Liandra membawa Jessi ke rumah sakit bersama Yolanda dan aku mengiringinya dengan motor dari depan, untuk menyingkirkan pengguna jalan lainnya agar mau sedikit menepi, memberi jalan untuk mobil Tante Liandra.Tiba di sana, perawat segera membawa Jessi ke ruang UGD untuk diperiksa.Apa yang terjadi, Bas? tanya Tante Liandra saat tubuhku merosot ke lantai dengan punggung menempel di dinding ruang tunggu.Entah, Tan. Ngga tahu. Aku menggeleng kencang. Tidak pernah aku mengalami hal segila ini sebelumnya. Belum pernah sama sekali. Jantungku bahkan masih bergemuruh sangat hebat.Beberapa bulan kemaren kan kamu yang sering datang ke rumahnya. Yakin ngga ada apa-apa? Tante Liandra duduk di depanku. Dia bunuh diri karena hamil, jangan-jangan?Dan aku sangat ingin memaki Tante Liandra saat mengucapkan kalimat itu dengan pandangan menuduh. Boro-boro ngamilin dia! Grepein dia aja ngga pernah! omelku tidak peduli pada orang-orang yang langsung melihatku saat lewat.Terus kenapa dia bunuh diri? Aku menarik napasku, lalu mulai menceritakan apa yang aku dan Jessi alami beberapa bulan yang lalu. Dari kami yang bertemu di pub saat dia berkelahi dengan sahabat Rere, hingga hari ini. Saat mengetahuinya bunuh diri. Dan tante Liandra kemudian mengangguk mengerti.Aku dan Tante Liandra menunggu hingga dua jam. Sementara Yolanda memilih pulang untuk menjaga Yasha. Sejak tadi perawat terus keluar masuk, tapi tak seorang pun bisa dimintai keterangan soal keadaan Jessi. Sampai akhirnya dokter wanita yang menangani Jessi keluar dengan senyum lega. Beruntung kalian cepat membawanya ke sini dan beruntung rumah sakit masih memiliki banyak persediaan darah A. Jika tidak, entah apa yang harus kami lakukan. Pasien akan segera dipindah ke ruang perawatan. Alhamdulillah semua lancar. Tante Liandra berucap syukur.Akhirnya aku bisa bernapas dengan tenang.Bab Tujuh (Jessi POV)Aku membuka mataku perlahan, saat mendengar dengkuran halus dari sisi kananku. Aku mengerjap untuk menerima biasan lampu yang terasa menusuk mata.Eengh.... erangku saat rasa sakit di pergelangan tangan kiri terasa begitu menyiksa. Aku kembali melihat sekitar. Ini di mana? batinku bertanya, lalu pandangan kembali mengitari ruangan putih dengan tirai yang mengelilingi sekitarku. Aku menoleh ke kanan dan sedikit kaget saat mendapati Bastian tidur di kursi dengan kepala di samping tubuhku. Bastian? panggilku sangat pelan, seolah aku baru saja kehilangan suaraku.Hanya satu kali aku memanggilnya, dan tidak ada jawaban. Dia begitu lelap. Aku hanya mencebik dan menjatuhkan pandangan pada langit-langit ruangan yang aku duga adalah rumah sakit. Begitu khas dengan bau obatnya.Aku meringis beberapa kali saat sakit kembali aku rasakan di pergelangan tangan kiriku. Mengingatkan aku atas tindakan bodoh yang aku lakukan. Aku tahu jika aku sangat bodoh. Manusia terbodoh yang ada di dunia ini.Aku bingung. Sangat bingung harus membayar dengan apa hutangku pada Bastian. Aku sudah mencari kerja di mana pun dan berujung dengan penolakan. Kalau hanya ingin bekerja di cafe saja, sebagai pelayan mungkin aku akan diterima. Tapi masalahnya aku butuh pekerjaan yang gajinya besar. Dan aku ditolak karena aku hanya lulusan SMA. Bahkan pengalaman kerjaku pun tidak sama sekali menjadi pertimbangan.Akhirnya karena aku frustasi dan putus asa. Aku mendatangi Mami Diana. Membuat perjanjian setan, di mana aku harus melayani tamunya selama lima tahun jika aku ingin uang 200 juta darinya.Aku ingat lelaki pertama yang menjadi pelangganku. Om-om mesum berperut buncit. Dengan lelaki tampan dan memikat saja aku tidak bernafsu. Apalagi dengan om-om begini? Tapi aku harus melayaninya karena aku sudah menandatangani kontrak.Lo udah bangun? Aku menoleh melihat Bastian yang tengah mengucek matanya. Hai.... sapaku tak tahu harus berkata apa. Hem ... hai. Dia mendengus lalu menarik pelan telingaku. Lo gila, ya?! ucapnya dengan nada kesal.Tapi aku menanggapinya dengan kekehan. Maaf ngerepotin. Harusnya lo ngga usah ban—Diem! Dia berdiri. Lo pasti lapar. Gue cari makan dulu.Ini jam berapa?Bastian melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam tujuh malam. Lo baru sadar setelah beberapa jam pingsan atau tidur. Entahlah. Lalu dia berbalik siap pergi.Kali ini gue mesti bayar pakai apa lagi? Gue banyak hutang sama lo. Kali ini hutang budi. Makasih aja rasanya ngga cukup untuk bayar semuanya.Entar aja dipikirinnya. Sekarang gue cari makan dulu. Lo jangan ke mana-mana, kalau memang mau balas budi ke gue. Dia berkata datar dan dingin. Aku tidak tahu mengapa malah dia yang marah seperti ini. Mungkin lelah terus mengurusi aku?Aku kembali melamun sambil memikirkan nasib adikku jika aku benar-benar mati. Ya ... walau rasanya tidak ada gunanya juga kalau aku hidup dan kemudian hanya merepotkan Rifki.Entah berapa lama aku berdiam diri seperti ini. Sampai Bastian kembali dengan dua bungkus nasi di tangannya. Ngelamun. Lo mau minum, ngga? tanyanya menyodorkan segelas air putih padaku.Aku mengangguk dan menerimanya dengan tangan kanan. Makasih, jawabku sedikit malu. Malu karena harus lemah di hadapan Bastian dan itu tidak hanya sekali. Melainkan berkali-kali.Eh sebentar. Kapan aku punya rasa malu?Nih makannya. Mau disuap atau—Sendiri aja, Bas. Aku segera memotong ucapannya.Oke!Dia meletakkan meja portable ke atas pangkuanku, lalu menaikkan ranjang bagian kepalaku agar aku bisa makan sambil duduk. Makanlah. Gue inget lo suka ayam taliwang. Kebetulan ada rumah makan terdekat yang jual. Lo habisin, ya? Dia buka box sterofoam untukku.Sebelum menyendoknya, aku melihat Bastian yang mulai melahap makanannya. Ada rasa sakit di dadaku karena menerima semua kebaikannya. Entahlah. Aku bahkan tidak tahu mengapa dia bisa sebaik ini padaku. Lo kenapa baik banget, sih? Dan pertanyaan itu benar-benar aku tanyakan.Dia menghentikan suapannya dan melihatku. Terdiam untuk berpikir, lalu menggeleng. Mau nolong aja.Aku berdecih. Lo banyak berubah kayaknya. Ngga biasanya baik begini sama cewek.Lo kan temen gue, Jess. Walau sempet lost contact. Tapi kita tetap teman, kan?Aku mengangguk pelan.Makanlah. Habis itu istirahat lagi. Tapi kemudian dia tertawa pelan. Ngga nyangka kalau aslinya Jessika tuh kalem, ya?!Aku langsung mencebik namun tak bisa menyembunyikan senyumanku. Aku memperhatikan Bastian yang masih terkekeh sesekali saat makan. Aku pikir Kenzo lebih ganteng dari Bastian. Tapi kenapa kayaknya Bastian yang lebih ganteng dari Kenzo, ya?Eh? Aku ngomong apa sih?!Makan Jess. Ngga kenyang kalau lo liatin gue terus!Grap!Aku langsung mengangguk kaku dan secepatnya menunduk melihat makananku.Pipi lo kenapa Jess?Ha? Aku menatapnya.Lo blushing.Shit! Bastian brengsek!*Jessi bisa akuntansi? Kalau bisa, kebetulan posisiku dulu di Gama masih kosong sampai sekarang. Nanti aku bilang sama Kenzo.....Aku merasakan dejavu. Ya ... seperti inilah saat Dinda menawarkan aku bantuan dulu. Apa semua istri Kenzo memang tercipta untuk memberi pekerjaan untuk para pengangguran?....nanti aku ajarin kalau memang kamu ngga bisa. Gimana?Aku tersenyum miring untuk menjawab tawarannya. Aku gembel banget, ya? Sampai semua orang iba dengan keadaanku.Gue ngga bisa. Dan gue ngga mau. Ooh ... terus mau kerja apa? Nanti biar dibantu sama Kenzo dan Bastian. Oh iya, kebetulan apartemen aku kosong. Kamu mau tinggal di sana? Lebih nyaman.Terus maksud lo tempat tinggal gue ngga nyaman?Eh? Ngga gitu. Dia menunduk. Maaf kalau menyinggung. Aku cuma mau bantu.Ngga butuh bantuan!Dia mengangguk mengerti, lalu mendongak menatapku. Kalau gitu aku permisi dulu. Dia berdiri. Mungkin tidak betah dengan sikapku. Terserah!Aku menatapnya dari atas ke bawah. Bener-bener wanita yang lemah gemulai dan paling enak dibikin gulai. Dimakan sedap. Aku merasa jadi kanibal mendadak jika berhadapan dengan wanita yang seperti itu. Heran. Mengapa tipe Kenzo begini semua. Paling, ngga lama bakal kayak Dinda. Membelot. Awalnya aja sok polos.Gimana kalau lo bantu gue buat nikah sama laki lo?Kalau dia baik dan bodoh. Pasti dia mengangguk. Rere memandangku dengan kening berkerut, namun kemudian menampilkan senyuman lembutnya. Aku pikir kamu pacaran sama Bastian. Dan aku tersedak dengan ludahku sendiri mendengar ucapannya yang terlontar begitu santai. Berantem sama Bastian, ya? Mau bikin dia cemburu?Astaga! Istri Kenzo ini mahluk jenis apa?!Re, ayo pulang. Ditelpon Kak Suci, Dipta nangis. Kenzo datang merangkul Rere dengan raut yang sama saja. Datar.Cepat sembuh, Jes, ujarnya padaku lalu hendak membawa Rere pergi.Nanti dulu. Jessi cepat sembuh, ya? Oh ya, kalau mau bikin Bastian cemburu jangan pakai Kenzo. Ngga mempan, ujarnya mengulum senyum. Aku lirik Kenzo yang memandang istrinya tidak mengerti. Yuk pulang. Wanita itu menarik tangan suaminya meninggalkan aku yang menggeleng tak mengerti dengan sikap Rere.Belum lama aku diam lantaran kehabisan kata-kata dengan sikap Rere. Bastian masuk dengan wajah merah karena tertawa. Kenapa? tanyaku.Lo dikerjain Rere?Ha?Flashback OnKamu ngomong apa sama Jessi? tanya Kenzo setelah dia berada di luar ruangan.Bastian yang sedari tadi duduk, ikut menyimak. Rere mengedikkan bahunya. Dia bilang mau minta dinikahin sama kamu, ujar Rere sedikit kesal.Ha?! Kenzo dan Bastian bersama.Terus aku bilang aja kalau dia sama Bastian pacaran, makanya dia bilang gitu cuma mau bikin Bastian cemburu. Tapi ngga mempan kalau bikin cemburunya sama Kenzo. Eeh dia malah blushing. Kayaknya Jess suka sama Bastian beneran, deh. Rere tersenyum-senyum membuat Kenzo dan Bastian menahan tawa.Flashback offRere setan! Emang perlu ya dia cerita-cerita gitu sama Kenzo dan Bastian?!Waah ... jangan-jangan lo beneran suka sama gue, ya? Bastian mencolek bahuku membuatku mendelik. Tapi wajahku malah terasa panas. Mau bikin gue cemburu?Ya ampun! Pipi lo merah lagi. Dia kembali terkekeh menertawakan aku.Apaan sih, Bas?! Tuh cewek aja yang aneh, tau ngga?! sungutku lalu memilih berbaring membelakangi Bastian.Iya-iya. Gue juga tau kalau itu ngga mungkin. Kita temen, Jess. Cinta-cintaan mah cuma ngerusak hubungan baik yang sudah ada. Alah! Kenapa malah ngomongin itu. Lagian gue lebih nyaman nganggep lo sebagai teman atau adik. Dia usap kepalaku. Istirahat. Gue balik ke kantor dulu.Aku mengangguk pelan tanpa berbalik melihatnya.Dalam hati aku sempat membenarkan ucapannya tadi. Tapi ... mengapa sebagian hatiku malah menolak pernyataannya itu? Mengapa ada kecewa saat dia mengatakan bahwa posisi teman jauh lebih nyaman untuk kami?*Tiga hari aku dirawat di rumah sakit. Semua biaya ditanggung oleh Bastian dan aku berjanji akan mengembalikan seluruh hutangku secepatnya. Lo beneran ngga mau cerita soal kenapa ngelakuin itu? Bukan karena sisa utang lo ke gue, kan?Bahkan selama ini Bastian masih terus menanyakan alasan mengapa aku memilih mengakhiri hidupku dengan cara bunuh diri.Ya oke. Kalau lo ngga mau cerita ngga apa-apa. Bastian menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. Tapi jangan pernah ngelakuin hal konyol lagi. Itu ngga ada untungnya buat lo.Aku hanya mengangguk saja. Aku tahu bahwa apa yang aku lakukan tempo hari adalah kebodohan dan aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku harus berani menghadapi semuanya, walau harus pasrah menjadi wanita malam untuk membayar semua hutangku kepada Mami Diana. Itu yang membuatku memilih mengakhiri hidup.Oh iya. Bastian mengambil sesuatu dari bangku belakang mobilnya. Biar lo ngga ngerasa sendirian. Boneka panda. Dia serahkan boneka itu padaku membuatku mau tak mau merasa terharu. Walau diperlakukan seperti anak kecil, aku tetap menerima dengan senang hati pemberiannya ini.Oke! Gue langsung balik.Aku turun dari mobil Bastian, kemudian lambaian tangan mengantarkan kepergian lelaki itu.Aku masuk untuk meletakkan boneka dan makan siang dengan makanan yang Bastian belikan untukku. Kemudian aku bergegas mengganti pakaian untuk menemui Mami Diana karena selama tiga hari ini sudah menghilang tanpa memberi kabar.Tiba di sana, sesuai dugaanku. Mami memakiku dan mengancamku. Jika aku kabur, maka dia tak segan untuk melenyapkanku atau menjualku.Aku hanya diam. Bukan karena aku takut. Selama ini aku hanya tunduk pada penguasa uang. Aku selalu mematuhi siapa yang memberiku uang. Maka aku tak bisa membantah Mami Diana. Dia yang sudah memberiku uang, dan menjanjikan kemewahan. Walau selama menjadi budaknya. Aku memberi syarat untuk melayani pria single. Terserah itu anak di bawah umur, atau lanjut usia. Aku hanya ingin melayani seseorang yang belum terikat pada janji pernikahan, karena tak ingin ada yang merasakan nasib seperti mama karena aku. Aku bukan si jalang itu, yang menghancurkan rumah tangga orang lain. Tidak. Aku melakukan semua ini karena uang. Bukan cinta. Aku tidak serendah dirinya. Tapi ... apalah guna syaratku ini? Tidak akan didengarkan.Baiklah!! Setelah menstruasimu selesai, kamu ke sini lagi. Mengerti? ujar Mami Diana dan kujawab dengan anggukan kepala.Ya ... aku menstruasi. Jadi dengan om-om buncit tempo hari, aku hanya memberinya handjob. Lalu aku masih perawan? Ya ... begitulah. Anggap aku sedikit beruntung.Usai menemui Mami Diana, aku kembali pulang dan beristirahat. Sebenarnya aku masih sangat lemah. Jahitan di pergelangan tangan kiriku bahkan belum kering dan masih menimbulkan rasa sakit.Kalau tahu bahwa aku selamat, aku memilih menenggak racun saja. Setidaknya aku tidak akan kesakitan seperti ini.Sedang berbaring, aku melihat boneka panda berwarna hitam putih yang ada di sampingku. Aku mengelus permukaannya yang sangat lembut. Memeluknya erat, seperti memeluk seseorang yang sedang aku pikirkan saat ini.Aku menggigit bibir bawahku saat sadar siapa yang aku pikirkan. Segera aku enyahkan sosok Bastian sejauh mungkin, sebelum aku bergantung angan kepadanya.Ck! Aku berdecak kesal karena merasa Bastian susah dilenyapkan dalam pikiranku.Aku duduk dan memandang boneka pemberiannya. Aku ini kenapa? Mengapa akhir-akhir ini selalu Bastian yang menyusup ke dalam hidup dan pikiranku? Astaga!! Aku rasa karena kami terlalu sering bertemu akhir-akhir ini.Oke, Jessi. Kayaknya lo mesti cepat-cepat ngilang, sebelum semua ngga bisa dikendalikan.Aku akui selama ini aku tidak pernah mengenal apa itu cinta. Tidak terlintas sedetik pun bahwa aku akan mencintai seorang pria dan mengharapkan hidup bersama dengannya. Tidak. Papa memberi trauma buruk untukku dan aku tidak pernah sudi hidup dengan seorang pria.Tapi mengapa aku merasakan hal yang berbeda saat bersama Bastian? Tidak sejak dulu memang. Baru-baru ini saja aku merasa getaran aneh di dadaku setiap berdekatan dengannya atau bahkan menyebut namanya saja, membuat gelenyar aneh di dadaku ini.Walau berusaha menampik semuanya, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa perasaan datar dan dingin yang biasa terjadi saat aku berdekatan dengan lelaki lain, terasa hangat dan berbeda saat aku bersama Bastian. Dan karena semua rasa aneh ini, aku memaksa diriku untuk berhenti menemui lelaki itu. Aku tidak ingin menjalani sebuah komitmen, terlebih lagi, apakah Bastian mau berkomitmen denganku? Jawabannya adalah tidak akan.Tidak dengannya. Tidak juga denganku.Maka aku harus menghindarinya sebelum perasaan ini semakin dalam dan malah menyakitiku. Aku tidak ingin terlalu tinggi menggantung angan, karena aku tak akan mampu meraihnya.Alah!! Kenapa sekarang aku jadi melankolis begini?! Hahaha!!Sadar Jessi. Hidup ini tidak butuh cinta. Tapi uang. Ya ... tapi bukan uang Bastian juga.Aaaarrgghh!!Kenapa aku harus menolak bantuannya? Menghindar tidak akan membantu sama sekali. Jadi berhenti menjadi munafik, Jessi. Kamu membutuhkan Bastian untuk selalu membantumu dan manfaatkan itu.Abaikan masalah hati. Bullshit! Itu tidak ada artinya. Sekarang yang terpenting adalah uang. Dengan begitu aku akan memenuhi semua kebutuhanku.Aah uang!Bab Delapan (Bastian POV)Lihat! Itu Om Bastian ngelamunin apa, sih?! Kak Suci menghampiriku dengan Dipta di gendongannya. Aku mengukir senyum tipis yang dibalas senyuman bayi tiga bulan itu. Kadang kalau melihat Rere dan Kenzo berjalan bersama bayi mereka. Aku berpikir bahwa yang melihatnya pasti akan menyangka jika Rere berselingkuh. Karena jelas Dipta sama sekali tidak mirip dengan ayahnya, bahkan rambutnya entah mengambil dari mana.Mungkin dari orangtua Rere yang entah siapa dan dari mana. Tapi jika melihat bayi mereka, pasti Rere memiliki darah campuran. Entah itu Inggris, Belanda, Spanyol. Entahlah.Tapi beruntung wajahnya masih mirip dengan Rere. Kalau tidak. Benar-benar dibilang anak tetangga.Gendong dulu, nih. Kakak mau panggil Yeza dulu. Belum mandi dari pagi dia. Aku langsung menerima Dipta dan bocah ini terlihat anteng di pangkuanku. Dia memang tidak cengeng. Kecuali jika melihat salah satu orangtuanya ada di dekatnya tapi tidak menggendongnya. Maka dia akan menangis histeris.Tapi karena orangtuanya sedang tidak ada di sini. Maka dia akan diam dengan siapa pun. Bahkan bocah ini sekarang sedang mengulurkan tangannya berusaha meraih wajahku. Aku tertawa saat melihat dia tertawa. Eh ... anak Bunda sama Om Bas? Rere menghampiriku yang sedari tadi duduk di depan TV dengan Dipta di pangkuanku.Udah? tanyaku.Rere mengangguk dan duduk di sampingku untuk meraih anaknya yang langsung merengek manja. Masih bayi saja sudah bisa minta perhatian begini. Bagaimana kalau sudah besar nanti?Re ... di mana? Itu Kenzo yang mencari-cari istrinya.Aah Kenzo. Rere menghilang sekejap saja pasti dicari ke mana pun.Depan TV, jawab Rere sambil mengajak putranya berbicara.Lo di sini, Bas? Kenzo datang dan mendorongku ke samping agar dia bisa duduk di tengah. Dasar tidak sopan.Hem. Gimana? Menepiskan rasa kesalku. Aku menanyakan keadaannya yang satu minggu belakangan ini dihampiri mimpi buruk lagi.Itu semua karena rasa takutnya jika Yeza menolaknya nanti, saat dia mengakui kebenaran status anak itu di keluarga ini. Kenzo terlalu memikirkannya, dan berimbas buruk pada pola tidurnya.Jadi hari ini dia melakukan terapi ditemani Rere, dan itu sudah dilakukan sebanyak dua kali selama satu minggu ini.Gitulah, jawabnya lalu mengambil Dipta dari pangkuan Rere.Aku ke belakang dulu, ya? Bantuin bibi bikin makan malam, pamit Rere.Dari sudut mataku aku lihat dia mengecup puncak kepala Dipta, dan sudut bibir Kenzo. Buat kopi dulu, titah Kenzo kemudian.Rere mengangguk dan berlalu.Enaknya sahabatku ini. Selama aku mengenal Rere. Tidak sekalipun aku mendengar wanita itu membantah suaminya. Dulu siapa yang berpikiran jika Kenzo akan menikahi wanita seperti Rere?Terlalu lemah lembut. Terlalu penurut. Bahkan secara fisik, dia cantik. Tapi tidak secantik wanita yang biasa Kenzo kencani. Terlalu lugu dan menurutku tidak seksi. Kecuali saat dia mengenakan maxi dress dan membiarkan bagian tangannya terbuka. Begitu baru seksi. Tapi tidak montok. Dada dan bokongnya rata.Sekarang mungkin sedikit berisi karena baru melahirkan dan menyusui. Dan semoga saja bobotnya tidak turun. Kalau turun, Rere persis seperti triplek. Jadi, walau cantik. Dia bukan tipeku. Dan sebenarnya juga bukan tipe Kenzo jika dilihat dari fisik dan penampilannya—kecuali sifatnya yang lemah lembut. Nyaris sama seperti Dinda. Tapi mungkin cinta sudah merubah semuanya. Kenzo sangat mencintai Rere, walau sahabatku ini tidak bisa bersikap romantis.Jessi gimana?Jessi? Tadi udah gue anter ke rumahnya.Kenzo manggut-manggut. Dia banyak berubah menurutku. Menjadi pesimis.Hem. Dia punya banyak hutang dan entah dikemanakan uang itu.Wanita dan shoping.Tapi rumahnya kosong. Kayaknya dia jual semua isi rumahnya. Ngga mungkin cuma demi fashion, dia sampai segitunya, kan?Kita ngga tahu jalan pikir perempuan, Bas. Demi diskon 50 persen aja mereka rela jambak-jambakan.Bini lo.Ngga. Kalau ada diskon, dia bakal menjauh sejauh-jauhnya.Kenapa?Takut keinjek.Sontak aku tertawa. Bahkan saat mengatai istrinya, tidak ada ekspresi yang Kenzo tunjukan selain raut monoton. Gue udah dari tadi di sini. Gue pamit balik, deh. Mau istirahat.Sudah dengar soal perjodohan kamu?Ha?! Aku melotot kaget.Ponakan papa. Sempet ke sini beberapa kali. Namanya Ella. Mama kamu setuju, dan keluarga Ella juga setuju.Aku yang sudah berdiri kembali duduk. Belum sempat membuka suara menanyakan lebih lanjut. Rere datang dengan segelas kopi. Dipta sama Bunda aja, ya? Ngantuk gitu, ujarnya membawa Dipta dalam gendongannya lalu meninggalkan kami berdua.Maksudnya apaan nih? Kok gue ngga tahu?Aku lihat Kenzo membenahi posisi duduknya. Bakal dikasih tahu, tapi nanti ngga tahu kapan. Gue juga ngasih tahu ini, karena ngga mau hidup lo berakhir dengan perjodohan yang ngga lo ingini. Jadi sebelum itu terjadi, lo cari pasangan yang lo mau deh. Daripada lo jadi sama pilihan orang lain.Aku menyipit memandangnya curiga. Kenapa lo baik?Lo tau gue baik, Bas.Aku langsung mendengus. Percaya banget, gue! Lalu aku berdiri. Tapi makasih untuk infonya. Jadi gue bisa cari alasan buat nolak perjodohan itu.Tumben lo punya rasa terima kasih?Ya ... gue kan memang begitu. Orang baik.Alah!Sebenarnya aku tidak memikirkan informasi yang baru Kenzo beritahukan. Pikiranku melayang hanya pada satu orang. Jessi.Merasa ada perasaan tidak enak saat meninggalkannya tadi. Tapi setelah aku pikirkan lagi, mengapa harus mempedulikannya yang bahkan tidak mempedulikan perhatianku?Jujur aku kasihan dengannya. Jessi yang sekarang jelas bukan Jessi yang selalu penuh rasa optimis. Dia terlihat buruk, mungkin karena perekonomiannya yang tidak stabil.*Aku melangkahkan kaki ke sebuah club malam yang sering aku datangi setiap malam Minggu. Tapi khusus hari ini, aku memberi keringanan hari. Datang di malam Rabu, karena sudah dua minggu aku tidak membahagiakan juniorku ini.Bukan hanya karena kesibukan. Tapi juga untuk menjaga Jessi empat hari yang lalu. Dan karena hari ini aku baru memiliki waktu senggang. Jadi malam ini waktuku mencari kenikmatan.Gue bahkan ngga tahu kalau Jess suka sama kakek-kakek.Telingaku yang tajam menangkap sesuatu. Jess. Ada yang menyebut nama si putus asa itu.Di tengah hingar bingar musik yang berdentang, aku semakin menajamkan pendengaran untuk bisa mendengar pembicaraan dua lelaki yang ada di sampingku. Tapi bukannya tuh cewek ngelakuin apa pun demi duit, ya? Kali aja dia dibayar.Maksud lo, dia jadi pecun?! Sembarangan lo. Nih selangkangan gue yang dia tendang jadi saksi kalau Jessi ngga suka lebih dari grepe-grepe.Gue ngga bilang dia begitu. Ya kali aja sama tuh kakek-kakek, cuma sekedar grepe-grepe. Lo juga ngeluarin sesuatu kan kalau mau ngerasain pijatannya?! Jadi kali aja begitu juga sama tu kakek-kakek.Tapi kan kudu pacaran dulu. Apa iya dia pacaran sama tuh kakek-kakek? Kenapa mendadak standar cowok yang dia kencani jadi turun drastis?Frustasi kali. Cowok seumuran ngga ada yang mau sama dia lagi. Matrenya kelewatan.Memang Jessi kenapa? Aku langsung ikut bergabung dalam pembicaraan mereka begitu saja tanpa harus berkenalan terlebih dahulu. Itu tidak penting.Ha?! Eh Bas! Salah satu menyapa dengan raut terkejut. Keduanya terkejut. Mungkin tidak menyangka aku mau ikut bergabung dengan gosip murahan yang dibicarakan para pria. Tapi karena yang menjadi objek pembicaraan adalah Jessi. Gosip itu tidak jadi murahan. Tapi menarik juga menjengkelkan. Menjengkelkan karena Jessi kembali membuat sensasi murahan.Pria yang matanya lebih sipit itu menjawab, Itu, lo kenal Jessi, kan? Tadi kita lihat dia check in sama kakek-kakek. Entah mau ngapain. Ya lo tahu lah, dia kan memang terkenal. Dia membuat tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Jadi kali aja ada bisnis pribadi yang lagi dikerjain di sana.Cuma ngga nyangka aja kalau sekarang seleranya kakek-kakek. Pria lain menyerobot.Aku mengangguk-angguk. Hotel mana?Lalu mereka memberitahukan salah satu hotel berbintang tiga yang berada tak jauh dari rumah bordil milik Mami Diana.Kampret! Tuh cewek memang gila. Jujur saja. Kalau dia mau ONS aku tidak peduli. Karena setidaknya pelaku ONS kesehatannya jauh lebih terjaga. Tapi ini PSK!! Sama saja dia mau merusak dirinya sendiri dengan penyakit kelamin.Aku turun dari kursiku, lalu segera menuju ke carport dan masuk ke dalam mobil untuk segera menemui Jessi. Aku akan menyeret wanita itu dan menuntut penjelasan.Tapi jangan bertanya mengapa aku melakukan ini. Aku peduli!! Dia temanku. Dan sesama teman harus saling membantu, kan?!*Aku menyogok resepsionis untuk bisa mengetahui di mana kamar Jessi dan pelanggannya melakukan transaksi. Sedikit susah memang, karena dia takut terkena tuntutan dari pelanggannya itu. Tapi aku menambah uang sogokan. Dan ragu-ragu dia memberitahukannya.Sebenarnya aku tidak tahu, atas nama siapa check in dilakukan. Tapi aku menunjukkan foto Jessi dari akun media sosialnya. Beruntung resepsionis cantik ini langsung mengangguk tahu.Dengan Pak Aji. Bapak itu langganan tetap hotel kami untuk melakukan itu.Aku sudah berdiri di kamar nomor 406. Aku juga mendapatkan kunci kamarnya. Jadi tinggal masuk dan mengacaukan semuanya.Tapi kenapa aku jadi deg-degan?! Aku menarik napas dalam, lalu membuka pintunya dan waaw! Pemandangan yang menakjubkan di depan sana. Jessi yang sedang berjongkok di atas lantai dengan lelaki tua yang mengangkang di depannya. Keduanya sama-sama tidak berpakaian.Anda siapa?!! tanya pria itu mendorong Jessi kuat sampai wanita itu terjengkang ke belakang.Sebenarnya aku mau tertawa. Melihat posisi Jessi yang terjengkang seperti itu jelas memalukan sekali untuknya. Tapi karena aku tahu kondisi. Aku menahan tawaku dan langsung mendekati mereka.Setan!! Lo ngapain ke sini?! pekik Jessi lalu dalam sekejapan menghambur pergi. Mungkin sadar dengan kondisi tubuhnya.Dia berlari cepat menuju kamar mandi, membuat bongkahan padat di belakangnya memantul indah, dan jangan lupakan dadanya yang berukuran ... tidak sangat besar memang. Tapi telapak tanganku tetap tidak bisa mencakup rapat payudara indah dan putihnya itu.Mengapa sekarang aku jadi gagal fokus?Anda siapa?!Kakek-kakek bau tanah yang aku perkirakan akan segera mati ini menyadarkan aku dari fantasi liarku. Saya mendapat perintah dari Mami Diana untuk membawa dia kembali ke sana. Saya membelinya!Aku memberinya tatapan mengintimidasi hingga dia mengkerut takut. Bukan hanya tubuhnya, tapi stick kecil, hitam, jelek, keriput dan menjijikannya juga mengkerut kecil. Aku jadi ingin bertanya apakah Jessi menikmati benda kecil itu?Mengabaikan si bandot tua. Aku melangkah ke arah kamar mandi. Mengetuk pintunya memanggil Jessi.Setan lo, Bas! PERGIII!!Keluar atau gue panggil polisi sekarang biar muka lo mampang di koran besok pagi.Dan saat mendengar suara pintu terbuka. Aku tahu jika ancamanku berhasil.LO KELEWATAN! teriaknya berapi-api. Tapi aku abaikan itu. Aku fokus pada dirinya yang sudah mengenakan pakaian lengkap.LO TERLALU IKUT CAMPUR! pekiknya lagi mungkin kesal karena aku tidak meresponnya.Tapi kemudian aku mendengus lalu memajukan wajahku ke wajahnya, melemparkan pandangan menindas. Ikut gue. Se-ka-rang. Untuk informasi saja. Aku tidak suka dibantah. Dan lagi pula, laki-laki mana yang suka dibantah?Aku menariknya kasar, mengabaikan kakek tua tadi yang hanya berteriak melarang aku membawa Jessi pergi, padahal dia sudah membayarnya.Tapi satu yang membuatku lega. Yaitu teriakan si bandot tua yang mengatakan bahwa dia belum sempat memasuki Jessi. Bab Sembilan (Jessi POV)Hari terburuk sepanjang sejarah adalah malam ini. Menstruasiku selesai dan mau tak mau aku harus mendatang Mami Diana dan melakukan tugas yang dia perintahkan.Aku berdoa—jika memang Tuhan mendengarkan doaku—agar aku mendapatkan pelanggan yang hot! Dan saat tahu jika doaku tidak terkabul. Aku hanya menelan ludah saja. Setan!! Kakek-kakek, lagi. Apa iya status perawanku harus direnggut oleh si bandot tua ini?! Tapi apa dayaku jika dia adalah langganan tetap yang mau membayar sangat mahal untuk diriku yang perawan ini. Jika begini aku memilih dengan pelanggan yang batal sebelumnya. Tapi ternyata dia tidak datang, dan aku diserahkan kepada yang lebih tinggi membayarku.Dengan senyuman palsu, aku mengikuti si bandot tua masuk ke dalam mobil jazz berwarna hitamnya yang meluncur halus menuju sebuah hotel yang tak jauh dari tempat Mami Diana. Kalau begini apa salahnya jalan kaki? Lumayan untuk mengulur waktu.Tiba di sana aku menunduk saat dua orang pria yang aku kenal melintasiku. Salah satu di antaranya adalah mantanku yang pernah kutendang selangkangannya karena mencoba untuk memperkosaku.Tuhan! Kenapa aku bisa lupa jika hotel ini tempat mereka bekerja?! Aaah! Hancur sudah martabatku.Tiba di kamar yang sudah dipesan oleh si bandot tua bernama Aji ini. Dia langsung mencium leherku, karena tidak sampai untuk mencium bibirku. Dia pendek. Sementara aku hanya berdiri kaku karena jijik.Ayo sayang. Kita ke ranjang, ajaknya menarik tanganku. Dia terlalu terburu-buru.Dasar bandot tua sialan.Astaga Jessi!! Putar otak. Putar otak! Pikirin gimana caranya untuk lepas dari bandot tua ini? Setidaknya diperlama!! Sabar, Sayang, jawabku mendorongnya ke kasur. Aku akan kumur-kumur setelah ini karena memanggilnya sayang. Dan lo harus kumur-kumur pakai rinso, karena sebentar lagi mulut kalian pasti bersatu! Aaah!!Aku ke kamar mandi sebentar. Aku menunduk mendekatkan bibir ke telinganya. Kamu siap-siap, ujarku setengah mendesah. Aaah!! Aku mau bunuh diri lagi. Pakai pestisida!Setelah menerima lumatan dari bibir tuanya yang menjijikan—benar, kan? Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk membasuh leher yang dia cium. Yaak! liurnya menempel! Aku juga membasuh bibirku dan berkumur-kumur. Rasanya aku ingin menangis tapi aku tidak bisa menangis!!Aku berlama-lama di kamar mandi. Bolak-balik ke sana ke mari untuk mengulur waktu.Sayang ... kenapa lama? Kakek Aji memanggilku dan mengetok pintu kamar mandi. Rasanya tubuhku mengigil.I—iya sayang. Sebentar. Aku lagi cukur! Cukur apa?! Tubuhku sudah bersih dari bulu-bulu yang harus aku singkirkan termasuk bagian inti yang aku cukur rapi. Jadi bercukur hanyalah alasan untuk memperlama saja.Ooh!! Aku suka yang bersih tanpa bulu. Aku tunggu sayang.Sayang pala lu peyang! umpatku pelan.Kemudian aku duduk di atas kloset. Diam merenung di sana.Sayang! Udah belum? tanyanya lagi dan aku langsung mengacak rambutku frustasi.Sebentar sayang. Lagi keramas. Biar seksi!Oooh!! Basah! Aku suka!Setan!! Lu suka, gue seneb!Aku kembali mengumpat, lalu berdiri menghidupkan shower. Mengeramasi rambutku yang sudah aku keramasi tadi sore.Sayang!! Sudah keramasnya?I—iya. Lagi pakai lingerie! Aku melirik bungkusan yang Mami Diana siapkan untukku yang aku tahu berisi sebuah lingerie berwarna merah.Sekalian ngga pakai baju aja lah, kalau lingerienya begini! Setelah beberapa tahun aku mengenal lingerie. Baru kali ini aku mengumpat lingerie yang kekurangam bahan, padahal selama ini aku mengenakannya dengan senang hati karena aku jadi terlihat semakin seksi.Tapi malam ini aku mengutuki lingerie sialan ini, juga bentuk tubuhku yang bagus. Oooh sempatnya aku memuji diri sendiri.Sayang....Sepertinya sudah satu jam aku berada di kamar mandi dan nada tidak sabar Pak Aji terdengar jelas.Aku menarik napasku sebelum membuka pintu. Ngga sabar banget, Sayang, ujarku tersenyum semanis madu.Melihatku dengan lingerie merah yang menampilkan jelas daerah sensitifku, membuat jakun Pak Aji naik turun. Wajahnya memerah dan matanya berbinar.Tangan tua itu kemudian terulur menuju payudaraku dan meremasnya pelan. Sepertinya aku memang harus pasrah. Percuma juga mengulur waktu. Jika memang ini adalah takdirku untuk melepaskan keperawanan pada si bandot tua. Maka aku harus menerima dengan lapang dada. Lagian dibayar.*Pemanasan sebelum berhubungan intim adalah yang paling utama. Jadi karena itu utama, maka aku memanfaatkannya.Tubuhku yang sudah tidak tertutupi sehelai benangpun, merangsek turun berlutut di hadapan Pak Aji yang dari tadi sudah merasa gemas ingin memasukiku.Tapi karena aku pandai dalam memberi kenikmatan tanpa harus masuk ke menu utama. Maka dia bisa menahannya dengan baik.Aku memainkan junior menjijikkannya dengan jemari lentikku dan berusaha keras tidak memasukkannya ke mulut walau Pak Aji sudah memintanya dari tadi. Tidak akan. Memegangnya saja aku jijik. Apalagi memasukkannya ke mulutku.Iyuwh!! Miliknya tidak seperti milik para mantanku. Ini menjijikan.Ooh ooh ... Jessi sayang. Oooh!! Ini nikmat! desahnya sambil memainkan payudaraku.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, walau dalam hati berdoa agar dia segera mati, lalu masuk neraka!Sedang melakukan handjob dengan setengah hati. Tiba-tiba Pak Aji berteriak kaget. Anda siapa?! Belum sempat aku menoleh, Pak Aji sudah mendorongku ke belakang membuat aku terjengkang dengan posisi yang sama sekali tidak elit.Aw! teriakku saat punggungku menempel pada dinginnya lantai.Kemudian aku bangkit berdiri dengan ringisan sakit dan berbalik melihat siapa yang dimaksud Pak Aji.Aku membelalak kaget dan sempat tercenung mendapati orang yang sama sekali tidak aku harapkan tahu tentang pekerjaan baruku ini.Tapi aku cepat tersadar dan langsung meneriakinya kesal. Setan!! Lo ngapain ke sini?! Aku sangat ingin mencakar wajahnya untuk menyembunyikan rasa maluku. Tapi belum itu terjadi, aku langsung berlari ke kamar mandi dengan pekikkan kalut saat menyadari aku tidak berpakaian sama sekali.Bastian setan!! Kenapa dia bisa ke sini?! Kenapa dia selalu tahu dengan keadaanku, sih?!Cepat-cepat aku kembali menggunakan pakaianku. Merapikan penampilanku agar terlihat senormal mungkin.Tok tok!Jessi buka.Bastian memanggilku, membuat aku semakin marah karena malu. Malu dia memergokiku seperti ini.Setan lo, Bas! PERGIII!! Aku harus mengusirnya. Apa pun caranya aku harus mengusir Bastian dan setelah ini menghilang. Mungkin bunuh diri lagi adalah jalan terbaik. Terserah jika akhirnya rohku tidak diterima. Aku disiksa di api neraka. Dililit oleh besi panas yang melumerkan daging dan kulitku. Terserah! Toh apa yang aku lakukan di dunia ini juga sudah merupakan dosa besar tak terampuni. Jadi lebih baik tutup dengan dosa yang lebih besar lagi yaitu mati bunuh diri.Tuhan. Maafkan aku. Dasar manusia. Di saat genting seperti ini barulah mengingat Tuhan.Keluar atau gue panggil polisi sekarang biar muka lo mampang di koran besok pagi.Aku kembali mengacak rambutku kasar. Memaki Bastian yang sangat keterlaluan. Apa yang dia bilang tadi? Memanggil polisi untuk menggrebekku?! Kalau begini aku takut. Aku langsung membuka pintu dengan amarah meletup-letup. Memandangnya dengan sorot mata penuh rasa kesal.LO KELEWATAN! Aku menudingnya dan dia diam saja sengan wajah datarnya. Dadaku naik turun karena napas yang terasa menggebu karena emosi. LO TERLALU IKUT CAMPUR! Lagi aku meneriakinya dan dia malah mendengus dan mendekatkan wajahnya padaku, memberiku tatapan mengintimidasi yang sontak membuat nyaliku ciut.Ikut gue se-ka-rang. Seperti robot yang dikontrol oleh majikannya. Aku menurut saja saat dia menarikku dengan kasar. Bahkan teriakan Pak Aji pun tidak membuatku sadar dan melepaskan diri dari Bastian.Jessika, lo kenapa? Kenapa nurut begini?Lo gila, Jess!! Lo gila! teriaknya melempar tubuhku ke kursi penumpang di samping kemudi mobilnya Aku mengerjap, baru kemudian sadar dengan perlakuan Bastian yang membuat pergelangan tangan kananku sakit. Bekas impus kemarin masih terasa sakitnya. Dia tarik begitu membuat rasa sakitnya kian menjadi. Untung bukan tangan kiriku yang dia tarik.Bilang dari mana lo dapet duit buat bayar utang sama gue! tanya Bastian setelah dia melajukan mobilnya.Aku mengabaikan pertanyaannya itu. Lebih memilih memandang pemandangan malam melalui kaca jendela.Lo pinjam sama Mami Diana? terkanya tepat sekali!Waw!!Berapa? 200 juta?! Terus 20 jutanya lo kemanain?!Aku menoleh memandangnya tajam. Lo kenapa ikut campur banget sama urusan gue, sih?! Nyesel tau ngga pernah minjem duit sama lo! Lo jadi sok mau tahu semua tentang gue!Ciit!! Tak!Bastian mengerem mobilnya mendadak hingga keningku berciuman dengan dashboard. Lo kenapa, sih?! Aku mengelus keningku yang sakit. Jangan benjol, pliis.Gue nolongin lo!Gue ngga butuh bantuan lo, Bas! Kenapa sekarang aku jadi munafik lagi?! Kenapa juga ngga mau dibantu sama Bastian?!Oh ya?! Bukannya kemaren lo yang mohon-mohon buat minjem duit sama gue?!Tapi kan cuma sekali itu! Lagian udah gue balikin!Kurang 20 juta!Bakal gue balikin, Bas!! Tapi sabar!Sabar apa?! Tunggu ada pelanggan kaya raya yang beli tubuh lo, baru lo bisa bayar hutang lo?!Aku mengedikkan bahuku. Doakan aja semoga itu terkabul. Kali aja dia bisa bebasin gue dari lo dan Mami Diana.Dia tersenyum miring. Aku benci saat dia menunjukkan wajah sok benarnya itu.Jadi bener? Lo pinjem duit dari Mami Diana?Aku langsung melihatnya kesal. Dia itu kenapa, sih?! Enggan menjawabnya. Aku langsung berpaling kembali menatap jendela. Aku tahu Bastian masih memperhatikanku, sampai kemudian aku merasakan mobil kembali berjalan dan Bastian kembali fokus pada kemudinya.Hening. Tidak ada pembicaraan apa pun hingga Bastian turun dari mobilnya masuk ke rumah usaha Mami Diana. Dia hanya berpesan agar aku tidak turun dari mobil. Cukup menunggunya saja sampai urusannya selesai.Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Walau sangat ingin bertanya, tapi aku menahannya. Gengsi!Lebih dari satu jam Bastian ada di dalam rumah itu, sampai kemudian sosoknya kembali datang dengan wajah merah padam. Dia masuk ke dalam mobil dan menutup pintu dengan bantingan keras.Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan dengan Mami Diana. Tapi sepertinya cukup serius.Lo perawan? tanyanya membuat aku tercekat.Mami Diana pasti memberitahukannya. Aku diam membisu tidak mau menjawab. Bukan urusannya untuk tahu.Lo minjem duit 200 juta dari dia untuk bayar hutang ke gue. Lo gadaikan hidup lo selama lima tahun ke dia? Otak lo di mana sih, Jes?! Lima tahun cuma untuk duit 200 juta?! Asli gila, lo!!Bukan urusan lo, Bas. Bukan urusan lo!Urusan gue karena lo make duit gue!! Lo balikin lagi duit itu dari hasil jual tubuh lo ke rumah bordil sialan ini?! Lo gila kalau lo mau jadi PSK!!Memangnya kenapa?! PSK ngga buruk kok!! Mereka juga manusia, gue juga manusia. Terus kenapa?! Lo ngga perlu ngerendahin gue!Bahkan semua yang ada di sini mau terlepas dari pekerjaan kotor ini, Jes! Dan lo malah masukin diri lo ke lubang macan ini?! Lo gila!Iya! Gue memang gila! Terus kenapa?! Gue butuh duit. Gue butuh makan! Gue butuh hidup, dan gue kudu bayar hutang gue!!Lo cukup bilang kalau lo belum bisa bayar hutang lo ke gue, Jess!! Tapi ngga gini caranya!Oh ya?! Bahkan lo ragu buat minjemin gue duit, Bas! Gimana juga gue bisa telat bayar hutang ke elo?! Bisa-bisa rumah gue lo jual!Dia menggeram dan meremas rambutnya frustasi. Sementara rasa kesal semakin membuat napasku memburu. Wajar kalau gue ragu buat minjemin duit, Jess!! Tapi kalau lo mau bilang lo belum bisa bayar hutang dan ngga kabur juga gue ngga akan nguber-nguber lo! sentaknya membuatku terkejut. Lagian kenapa jadi kayak gue yang salah gini, sih?! Dia menyalakan mesin mobilnya, membawaku pergi dari rumah usaha Mami Diana. Hutang lo udah lunas sama Mami Diana. Udah gue bayar.Sontak aku melihatnya tidak percaya. Lo gila, ya?! Gue ngga butuh bantuan lo lagi! Siapa juga yang mau bantuannya kalau dia jadi berhak untuk ikut campur semua urusanku?!Iya gue gila! So Jessi, hutang lo nambah jadi 270 juta!! Karena buat nebus keperawanan sialan lo itu!! Gue mesti nambah 50 juta!! Astaga!! Otak lo di mana sih, main-main sama orang kayak Mami Diana?!Aku bergeming di tempat. 270 juta? Hutangku jadi 270 juta? Jadi aku mesti bayar pakai apa? Aku memandang Bastian yang terlihat sangat frustasi.Lo boleh tidurin gue. Lo jadiin budak seks lo. Selama lima tahun atau seumur hidup.Lagi-lagi Bastian mengerem mobilnya mendadak. Dia memandangku dengan mata membeliak tidak percaya. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku hanya tidak ingin berhutang dengan Bastian. Kira-kira, cukup buat bayar hutang gue?Bastian kemudian menggeleng pelan dengan mata menyipit. Lo gila, desisnya.Aku tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuh ke arahnya. Gue tau lo pasti pengen. Apalagi pas liat gue naked. Bohong kalau lo ngga nafsu. Dan ya.... Aku membelai wajah Bastian. Gue yakin kalau lo Belum pernah nyobain Pe-ra-wan-kan?Bastian hanya mendengus, mendorongku menjauh dan langsung menekan pedal gasnya membuatku terlonjak kaget hingga kepala belakang terhantam jendela pintu di belakangku. Gue sumpahi lo impoten! omelku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan