Kali Kedua-Dua

192
8
Deskripsi

Apakah sekarang Raddine masih harus memaklumi kelakuan ibu mertuanya?

Dia tak tahu mengapa. Seminggu belakangan, Rissa seolah ingin membuat dirinya tak betah. Namun jika memang ingin mengusirnya dari tempat ini, katakan saja. Raddine bahagia jika harus tinggal di rumahnya sendiri. Namun ... Dia malah ditahan, alasannya tak mau jauh dari Tyaga.

Uh ... Kesabaran Raddine benar-benar diuji. Namun tak terbiasa meluapkan emosi, ia hanya bisa mengelus dada dan lagi-lagi terpaksa memaklumi.

"Besok jangan mau kalau disuruh masak mama."

Mencoba untuk tak cemberut, namun tetap saja tak bisa mengelabui suami yang tahu dirinya kecewa, Raddine lalu mengusap saos di sudut bibir Tyaga yang berusaha menghabiskan masakannya yang masih bersisa banyak.

Tamu yang kata Rissa akan datang katanya memilih untuk bertemu di luar saja. Raddine tak tahu apakah memang benar begitu, atau mertuanya saja yang ingin mengerjai dirinya.

"Udah, ya? Biar nanti mba Lea anter ke rumah sodaranya."

Mubazir dibuang. Tapi jika harus Tyaga habiskan, Raddine tak tega. Suaminya pastilah kekenyangan.

"Ini pertama kali kamu masak sebanyak ini. Rugi kalau dikasih orang. Simpan di kulkas, besok dipanasi aja, ya? Aku bawa ke kantor."

"Ngga." Raddine tak akan memberi suaminya makan dari makanan yang dihangatkan. Menurutnya itu tak sehat. "Lebih baik secepatnya dihabiskan. Jadi biar mba Lea antar ke sodaranya."

Raddine berdiri dan menarik tangan sang suami untuk ia bawa ke wastafel. "Cuci tangan dan tidur," katanya yang mau tak mau Tyaga turuti.

"Perut aku rasanya penuh."

"Makanya, dibilangin juga." Memukul pelan perut Tyaga yang hanya membusung sedikit, Raddine lantas tertawa mendengar desis kesakitan prianya.

"Nanti keluar lagi makanannya," kata pria itu. "Ya udah ayo ke kamar." Tyaga memeluk leher istrinya dari belakang. "Kangen kamu," bisiknya seduktif.

Segera melepaskan diri dari Tyaga karena tak mau aksi mereka ada yang memergoki, Raddine berjalan mendahului. Namun tiba di anak tangga, langkahnya berhenti ketika ia dipanggil oleh ayah mertua.

"Maafin mama ya, Raddine?"

"Ooh." Raddine tersenyum sebelum bola mata mengarah pada Tyaga yang mendekat lalu ia tatap Tiyo kembali. "Ngga apa, pa. Lagian kan untuk makan malam juga," jawabnya dengan hati menghangat saat jemari Tyaga mengisi sela-sela jemarinya.

"Papa ngga usah mikirin apa-apa. Sekarang tidur. Kami juga mau tidur," timpal Tyaga kemudian.

Lagipula ia juga tak bisa marah dengan sikap Rissa meski kecewa.

"Ya sudah, istirahat lah Raddine." Tiyo menatap putranya. "Papa mau bicara, ditunggu di ruang kerja, ya?" Ada keseriusan di sorot Tiyo namun Tyaga menanggapinya dengan santai.

"Oke, pa," katanya lantas mengajak sang istri untuk ke kamar.

"Papa mau bahas apa?"

Tiba di kamar, duduk di sisi ranjang. Tyaga tak langsung menjawab tanya sang istri, sebelum ia baringkan tubuh ramping itu dan menindihnya. "Mungkin masalah Nehan. Setelah dia lulus, papa mau memberi jabatan di kantor."

"Jabatan apa?"

Tyaga mencumbu leher sang istri yang memiliki wangi buah. Perpaduan beberapa buah yang terasa segar ketika menghirupnya.

"Entah. Itu terlalu terburu-buru, kan? Dia bahkan ngga tau apa-apa." Lantas duduk berlutut dengan mengapit paha sang istri, Tyaga melepas piyama yang dikenakan.

"Kamu beri saran aja ke papa. Jangan mengambil resiko yang terlalu berani."

"Aku bisa apa?" Tyaga kembali mencumbu leher sang istri mencipta desah rendah Raddine. "Papa terlalu memanjakan Nehan." Lalu meraup bibir Raddine dengan bibirnya yang sudah tak sabar mencicipi bibir lembab sang istri.

Raddine terpejam, hanyut ke dalam godaan nakal Tyaga yang tak henti meraba tubuhnya.

"Papa nunggu." Ketika ada kesempatan bicara, ia ingatkan Tyaga namum oria itu sepelekan.

"Cuma bahas Nehan. Bisa besok," katanya kemudian dengan semangat melepasi kancing baju sang istri.

"Bee...." Menggunakan nama panggilan sayangnya pada Tyaga jika hanya berdua saja, Raddine menahan bahu sang suami yang tak sabaran untuk menyantapnya.

Sepertinya ia dijadikan penutup mulut yang terlalu manis.

"Ngga apa-apa sayang. Ngga masalah kalau papa tunggu sebentar."

Oh yeah ... Sebenarnya tak ada kata sebentar bagi Tyaga jika sudah bergelut dengan Raddine di atas ranjang mereka.

*

Pria itu memasuki gedung perusahaan tempatnya bekerja dengan hati kacau. Sang ayah terus memaksa dirinya untuk mengajari bisnis pada adik yang sama sekali tak pernah ia anggap.

Nehan adalah pengganggu. Dan ketika ia harus rendahkan diri untuk mengajari pria itu, Tyaga jelas menolaknya dengan tegas.

Lagipula siapa Nehan di keluarganya? Apa yang ia miliki saat ini adalah warisan sang kakek dari pihak ibu. Sementara Nehan hanya anak dari wanita lain yang hadir untuk mencoba menggantikan posisinya.

Tak akan berhasil.

Tiyo juga tak memiliki kuasa untuk menekan dirinya.

Brak!

Tas kerja ia banting ke atas meja, mengagetkan sekretaris yang mejanya tak jauh dari pintu masuk. Tyaga berada di dalam satu ruangan dengan sekretaris agar mudah untuknya memanggil jika membutuhkan bantuan.

Padahal tak sulit mengangkat gagang telepon untuk menghubungi Zinia yang menatap sebal ke arahnya.

Masih pagi sudah memberi aura negatif saja.

"Bapak mau kerja atau membuka medan perang?" Zinia yang tadi sedang membubuhi gincu di bibirnya menggerutu karena tindakan Tyaga membuat jarinya kepeleset dan lipstik melewati garis bibir. "Ah ... Nyebelin!" Tapi dia hanya menggerutu pelan.

"Minum."

Seakan tak peduli pada Zinia, Tyaga langsung mengeluarkan perintah pertama dan tak ada waktu untuk merapikan lipstiknya lebih dulu, Zinia langsung mengambil botol mineral yang selalu siap di dalam mesin pendingin di dalam ruang kerja khusus CEO muda yang bisa menjabat di posisinya karena warisan dari kakek.

Ya ... Begitulah enaknya menjadi orang kaya. Memikirkannya membuat Zinia iri sendiri.

Mendekat pada Tyaga yang wajahnya terlihat mengetat menahan emosi, Zinia berinisiatif untuk membuka tutup botol minuman di tangannya, namun seluruh tenaga dikerahkan hingga wajah meringis dan tutup botol tetap di tempat.

"Kamu ngapain?"

Lalu Zinia menunjukkan botol mineral di tangannya. "Coba dicek, pak. Mungkin ada kata sandi di botolnya sampai susah banget dibuka."

Raut kelam Tyaga sontak berubah, namun sebesar apapun pria itu ingin tertawa, ia menahannya.

Saat ini sedang tak mau mendengar lelucon Zinia yang baru bekerja dua bulan dengannya dalam satu ruangan namun sudah memberi warna di hidupnya yang seperti berjalan di tempat.

Tyaga memiliki karir yang bagus, kekayaan yang lebih dari cukup, dan istri cantik, pintar, dan mandiri. Tapi tak tahu mengapa ia masih sering merasa sepi. Tapi ketika ke kantor dan melihat Zinia, hatinya agak terhibur.

Tak berniat mengatakan Zinia adalah badut lucu. Tidak. Tapi melihat ekspresi sekretarisnya saat ini saja bisa membuat Tyaga tertawa.

Sambil mengambil botol di tangan Zinia, Tyaga berkata; "Kamu yang perlu cek otot kamu ada apa ngga. Buka gini aja ngga bisa." Kemudian menggeleng oelan melihat bibir Zinia yang belepotan dengan lipstik berwarna merah muda.

"Siapa bilang ngga bisa? Tutupnya aja tuh bandel," jawab Zinia sambil bertolak badan dan melangkah menuju mejanya kembali. "Bapak kenapa sih pagi-pagi marah. Cukup Senin aja jadi hari menjemukan, bapak. Jangan ditambah hari lainnya. Ngga capek apa tiap hari dibikin nyebelin?"

"Kamu terlalu banyak protes."

"Aku pikir itu salah satu tugas sekretaris." Lalu bibir Zinia melebar saat melihat Tyaga menatapnya dalam tanpa raut apapun.

Baiklah ia harus diam.

"Besok jadi ke Semarang?"

"Oh jadi dong, pak." Zinia menunjukkan jadwal kerja Tyaga yang ia catat di buku khusus.

"Kamu ikut."

"Harusnya ngga. Cuma karena kayaknya bapak butuh aku banget, ya udah deh. Aku ikut."

Bibir atas Tyaga lalu berkedut. Jelas memang ini adalah pekerjaan Zinia yang wajib mengikuti Tyaga tiap ada perjalanan ke luar kota.

Tyaga memiliki dua orang sekretaris. Satu berjaga di depan pintu ruangannya. Dan satu adalah Zinia. Mengapa Zinia? Karena ia butuh orang yang memiliki aura positif. Selain itu gampang memahami dirinya.

Sebelum ini Zinia berada di luar. Namun karena sekretaris yang lain begitu pasif, Tyaga kesulitan jika harus membangun chemistry, jadi ia pindahkan Zinia ke dalam. Awalnya untuk uji coba. Jika Zinia pun sama saja dengan sekretaris sebelumnya akan ia ganti juga. Tapi beruntung karena Zinia sesuai dengan  kualifikasi.

"Becanda atuh bapak, ih. Serem amat mukanya."

Tyaga lalu menghela napasnya saja menghadapi sikap Zinia. Tak apa. Setidaknya karena wanita ini ia sempat melupakan sejenak rasa kesalnya tadi.

Mulai mengerjakan pekerjaannya, lalu melalui rapat yang tak sebentar, keluar untuk menemui seorang rekan kerja, dan kembali ke kantor nyaris di jam pulang. Tyaga merehatkan tubuh dengan bersandar di kursi kerjanya.

"Bapak capek?"

Zinia yang dari tadi tak ke mana-mana, menanyakan hal yang tak seharusnya menjadi sebuah pertanyaan karena jawabannya sudah jelas di depan mata.

Tyaga lelah!

"Aku masih bisa kok turun ke lantai bawah tanpa lift."

Tak memahami maksud sindiran Tyaga, Zinia berdecak kagum dengan gelengan samar. "Kalau saya jadi bapak, udah ngga kuat ke mana-mana, pak."

Ya! Itu lah kondisi Tyaga yang sebenarnya.

Ah sial!

Kenapa sih Tyaga suka sekali meladeni ketidakjelasan Zinia?

"Tapi pak, dari pada buang-buang tenaga turun ke bawah, mending bapak pakai tenaga untuk cek ini deh."

Sebentar. Maksud Zinia apa?

Tyaga yang belum sempat memikirkan apapun karena dirinya begitu lelah, menatap horor pada Zinia yang tak begitu peka.

"Grafik penjualan minggu ini, ada penurunan di beberapa tempat. Dan kayaknya harus bikin strategi baru deh, bagian pemasaran udah ajuin beberapa rencana untuk dibahas besok."

Menatap sebentar pada Zinia yang selalu menjengkelkan di saat-saat tak tepat, Tyaga mengambil kasar lembaran kertas dari tangan sekretarisnya membuat wanita itu memajukan bibir, sewot.

"Pelan-pelan atuh, pak. Kalau sobek aku males ngeprint lagi. Tintanya abis, males ngisi."

Apa yang susah dari mengisi tinta?

Sudahlah.

Tyaga tak usah urusi itu.

Lebih baik sekarang ia periksa lembaran di tangannya dari pada menggubris celoteh Zinia.

Kriingg kriing.

Ooh ... Sepertinya ada dewa penyelamat.

Segera meletakkan lembaran di atas meja, Tyaga mengangkat telepon membuat bibir Zinia maju lima senti. Wanita itu ingin segera pulang. Secepatnya Tyaga memeriksa laporan yang ia beri, makin cepat pula dirinya pulang.

"Halo selamat--"

"Hai Axel. Ini aku Lau--"

Tyaga langsung menutup kembali gagang telepon dengan raut tak nyaman.

"Eh? Kenapa, pak?"

Menatap sebentar pada Zinia, Tyaga menggeleng.

Hanya telepon dari mantan pacar yang masih berusaha untuk mendekatinya.

Dalam keadaan begini, rumah tangga yang baru berjalan dua tahun dan tak jarang masih cekcok karena bebera hal, Tyaga tak mau merespon wanita lain apalagi mantan.

Tapi bukan berarti akan ia respon jika ia dan Raddine selalu baik-baik saja. Dia hanya tak mau merespon wanita manapun.

Kembali melihat lembaran yang tadi Zinia beri dan itu jadi lebih menarik dari yang meneleponnya barusan, kini aktivitas kembali terjeda karena panggilan di ponsel.

Awalnya Tyaga tak menggubris, karena khawatir itu panggilan dari Laura. Meski tak tahu dari mana Laura mendapat nomor ponselnya. Yang lama sudah ia buang dan kontak Laura sudah dirinya blokir.

"Dari ibu deh itu, pak." Zinia yang mengintip layar ponsel atasannya segera memberitahu dan secepatnya Tyaga mengangkat.

"Halo sayang."

Zinia mencibir.

Sebagai jomblo, ia cemburu melihat keromantisan Tyaga terhadap istri pria itu.

"Sayang, hari ini aku pulang malam. Ngga papa?"

Eh? Apa Raddine lupa jika besok Tyaga akan pergi ke luar kota etidaknya satu minggu.

"Kenapa?"

"Kemaren kan ngga jadi ketemu Asmara. Jadi diganti malam ini. Aku tunggu di kantor aja."

"Oh, oke." Mungkin Raddine memang lupa. "Ngga masalah. Nanti malam aku jemput."

"Ngga perlu." Kening Tyaga lantas berkerut dalam. "Aku bisa sendiri." Oh ya Tyaga lupa jika Raddine selalu bisa melakukan apapun sendiri.

"Oke."

"Bye Bee-ku sayang."

Agak lama Tyaga menjawab, entah apa yang ia pikirkan sebelum kemudian ia mengangguk pelan. "Bye."

"Kamu baik-baik aja?"

"Ya."

"Maaf ya ngga bisa pulang cepat."

Bukan itu hal yang membuat Tyaga sontak tak bersemangat. Tapi tawarannya yang selalu Raddine tolak.

"Ngga apa-apa sayang."

"Love you."

Tyaga melirik sekilas pada Zinia yang masih setia di sampingnya bak seorang mandor yang memastikan dirinya tetap bekerja, sebelum menjawab ucapan istrinya di seberang sana. "Aku juga." Dia masih ada hati kan, untuk tak berkata cinta di depan seorang jomblo?

Lalu mematikan panggilan, kini dengan raut letih Tyaga melihat laporan yang Zinia beri sebelum meletakkannya kembali ke atas meja. "Saya mau istirahat dulu, Zini. Nanti saya periksa."

Yah ... Bahu Zinia merosot lesu.

Jika ada kata nanti, itu tandanya Zinia harus menuda kepulangan.

Susah sekali jadi sekretaris yang loyal, ya? Pulang terlambat tak ada apresiasi. Pulang tepat waktu jadi bahan gunjingan. Apalagi pulang lebih awal.

Beeuh! Ditendang.

Tbc....

With love,
Greya

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kali Kedua
Selanjutnya Kali Kedua-Tiga
182
8
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan