
Fated
Enam Belas
Wanita itu terdiam melihat hasil testpack yang sudah menunjukkan hasilnya. Salah satu dari kelima benda pipih itu menunjukkan hasil negatif. Sisanya? Tak perlu dijelaskan lagi.
Tampak begitu konsentrasi hanya untuk menatap testpack hingga kening berkerut dalam, Gween mencebik dan mengambil salah satu testpack yang menunjukkan hasil positif. Namun samar. Dan batinnya mengatakan jika hasil benda itu tak sah.
Ia eliminasi benda itu. Disejajarkan dengan testpack yang negatif.
Kemudian mengambil yang lainnya yang tak kalah samar dari testpack yang ia eliminasi. Ah ... Ini pun tak sah. Tak akurat. Ia sisihkan benda itu dan tersisah dua dengan hasil positif yang cukup terang.
Tiga dibanding dua. Baiklah. Dua kalah telak.
Menahan napas, hingga dirasa paru-paru menyempit butuh pasokan udara secepatnya. Gween menarik napas dalam kemudian ketika ia keluarkan karbondioksida dari bibir, ia pukulkan tangan yang terkepal ke sisi washtafel.
Bodoh.
Dia bukan anak SD yang tak mengerti hasil dari testpack meski samar, kan?
Berdecak, menyentuh kening tampak begitu gusar lantaran tak tahu harus melakukan apa. Gween keluar setelah membuang lima testpack ke kotak sampah. Mengambil sweater dan masker. Wanita itu memesan taksi, yang hanya dalam hitungan menit sudah datang menjemputnya.
Tujuannya adalah apotek terdekat. Dia butuh hasil lebih banyak untuk memastikan. Sungguh. Ia belum bisa mempercayai empat testpack untuk mengubah seluruh takdirnya di masa depan.
Hamil. Anak.
Dia tak siap.
Tidak seorang anak bayi, yang tak pernah ia sukai.
Sungguh. Bayi?
Mahluk tak berdaya yang hanya bisa menangis dan menyusahkan itu akan tumbuh dalam perutnya.
“Tunggu sebentar, pak.” Meminta sopir taksi untuk menunggu setelah ia tiba di tujuan. Gween memasuki apotek yang bersyukur tak dikunjungi pembeli lain.
“Cari apa, kak?”
Mengitari ruang dengan sepasang telaga beningnya yang menyorot tajam. Gween menatap gadis berkerudung abu di depannya. “Testpack.”
“Yang biasa at—”
“Yang bagus.”
Gadis berkerudung ungu itu mengangguk dengan senyum ramah. “Berapa, kak?”
“Dua puluh.”
Kening pelayan apotek langsung mengernyit. “Dua puluh? Untuk dijual lagi, kak?”
Langsung berdecak, Gween yang menutupi separuh wajah dengan masker hitam itu menggeleng. “Membeli banyak apa harus dijual lagi?”
Gadis di depannya menggeleng bingung.
“Kalau begitu berikan saya dua puluh testpack.”
Segera mengangguk masih dengan senyum tak peduli pada jawaban ketus Gween. Gadis itu mengambilkan pesanan Gween yang terlihat tak nyaman berada di tempat itu. Iya. Wanita itu takut ada yang mengenalinya sebagai cucu Janu Citaprasada.
“Ini kak.”
Segera menerima dan membayar benda itu, Gween yang segera ingin pergi, kembali berbalik dan berhadapan pada pelayan apotek. “Apa hasilnya kalau sebagian negatif dan sebagian positif?”
Tersenyum lebih lebar dan memamerkan lesung pipi yang samar, gadis berkerudung abu menjawab, “Positif, kak.”
“Tapi ada yang negatif.”
“Tetap positif, kak. Bahkan walau samar. Tapi untuk memastikan, lebih baik segera diperiksakan ke dokter.”
Diam dengan deret gigi atas menggigit-gigit bibr bawahnya, Gweeen menatap penuh selidik pada karyawan apotek. “Berapa persen kemungkinan kandungan gugur?”
Pelayan apotek langsung terbelalak kaget. “Ya?”
“Kandungan muda itu lemah, kan? Jadi bisa gugur. Iya., kan?”
Ketar-ketir menanti jawaban. Jantung Gween benderang begitu kencang, bahkan rasa cemasnya mencipta keringat dingin di telapak tangan.
“Kalau tidak ada masalah, kandungan akan baik-baik saja. Baiknya ibu hamil apalagi kandungan masih muda. Kurangi aktivitas. Jangan terlalu lelah.” Gadis berkerudung itu menautkan alis. Bingung dengan pertanyaan aneh Gween.
Mengangguk skeptis, Gween menatap kantong plastik putih di tangannya. “Kalau gugur menggunakan obat?”
Segera menggeleng cepat, wanita di hadapan Gween membuka suara. “Kami tidak menjual obat seperti itu.” Pelayan apotek itu sendiri sudah mulai tak nyaman. Ia takut jika jawabannya akan membawa malapetaka pada janin yang mungkin tumbuh di depan pembeli aneh yang entah mengapa datang di saat perutnya keroncongan.
“Anak anugerah, kak. Dijaga baik, apapun cara kita mendapatkannya. Dia tidak memilih tumbuh di rahim siapa. Kita yang membawanya ada. Iya, kan?”
Mendengar nasehat yang tak ia butuhkan dari orang tak dikenal, Gween langsung menatap tajam. “Menasehati?” tanyanya sarkas namun dengan tenang gadis di depannya menggeleng.
Gadis itu hanya takut jika ada orang yang mengambil langkah salah. Menggugurkan bayi. Oh jangan. Membayangkannya saja ia sudah tak tega.
Mengibaskan tangan, Gween langsung berbalik sembari berdecak. “Anugerah,” ucapnya tanpa suara sambil membuka pintu kaca apotek.
“Anugerah.” Dada Gween terasa terhimpit menimbulkan rasa sesak.
Ah ... Sialan. Ia tak suka dengan apa yang melintas di pikirannya.
Benar-benar seperti orang yang kehilangan arah, Gween lagi-lagi berbalik dan masuk ke dalam apotek, menghentikan pelayan apotek yang ingin masuk ke dalam. Sungguh, pelayan itu kelaparan.
“Berikan saya vitamin.”
Gadis itu melongo. “Vitamin? Vitamin ibu hamil?”
Memutar bola mata malas, Gween menjawab kian ketus. “Apa ada vitamin untuk menggugurkan kandungan?”
Pelayan apotik meringis dan menggeleng. “Nggak ada kak.”
“Kalau begitu berikan saya vitamin ibu hamil!” Langsung melengos, Gween melirik dari sudut mata pada karyawan yang masuk ke dalam sebelum kemudian ia pukul kepalanya berulang kali.
“Bodoh bodoh bodoh!” Ia mengatai dirinya dengan pelan. Sesekali ia remas kantong plastik di tangannya lantaran gemas. Gemas pada dirinya sendiri yang tak tahu mengapa malah melakukan ini.
Vitamin ibu hamil?
Kamu gila, Gween! Kamu gila.
“Ini, kak.”
Berhenti memaki diri sendiri tanpa suara, Gween menoleh ke arah pelayan toko dan mengambil obat yang disodorkan.
“Susunya nggak sekalian, kak?”
Melotot kesal, terlebih kala ia temukan segaris senyum geli dari gadis berkerudung abu di depannya, Gween mendengkus kesal. “Terserah kamu!” Tampaknya gadis di hadapannya ini senang sekali dengan keputusannya yang memilih menyerah pada anugerah Tuhan.
Segera membayar sekotak susu ibu hamil rasa coklat dan vitamin, Gween langsung keluar dan mimik wajah kian menunjukkan rasa kesal, kala pelayan apotek mengucapkan kata terima kasih, seolah sedang mengejek keputusannya.
Sialan! Sialan!
Setelah ini ia harus apa? Pergi ke dokter kandungan dan menanyakan usia kandungannya? Oh ... bagus. Sesaat lagi, hanya dalam hitungan bulan, maka Gween harus membuat spanduk besar bertuliskan. Selamat datang ke dunia yang menyebalkan, Gween Isabella.
Oh ... Apakah dia benar-benar ingin berurusan dengan mahluk bernama bayi?
Karena hidup bersama bayi tak akan menyenangkan.
*
Semua hasil testpack, juga testpack yang ia beli dan tak ia gunakan dibakar oleh Gween. Ia tentunya tak berharap benda itu ditemukan oleh Malla, kan?
Sementara vitamin dan susu ia pindah ke kotak lain yang tak bisa dicurigai oleh sang ibu yang sampai saat ini tak kunjung pulang.
Sebenarnya Gween sudah pasrah dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepala perihal mobil satu-satunya yang dibawa oleh Malla. Sungguh. Ia tak lagi berharap jika kendaraan roda empatnya yang tak murah itu akan pulang dengan selamat, mengingat Malla yang tak memiliki apapun selain benda itu.
Malla menjualnya. Jika tak menjualnya, maka menggadaikannya.
Satu bulan lebih ibunya menghilang tanpa kabar, dan tak mungkin jika kendaraannya itu hanya digunakan untuk ke sana sini sementara untuk bisa menggerakkannya, Malla butuh uang untuk membeli bensin. Lalu, uang dari mana untuk membelinya? Oh ... daripada membeli bensin bukankah lebih baik Malla jual benda itu, lalu digunakan uangnya untuk menyewa banyak lelaki muda, senang-senang, membeli pakaian dan tas branded lalu berkumpul dengan teman sosialitanya yang diberi nama Grandma Squad.
“Ahh....” Gween menyentuh perut yang kembali bergejolak, menandakan ia akan memuntahkan sesuatu.
Setelah beberapa hari menyadari keadaannya ini, Gween mulai paham dengan apa yang diinginkan sesuatu yang berada di dalam perutnya.
Menolak berbagai makanan yang berbau amis, dan ya ... Gween kini menjadi vegetarian tak peduli seberapa ingin ia membeli steak berukuran besar.
Sesuatu yang ada di perutnya juga selalu berulah tiap kali ia mulai memikirkan Malla. Tampaknya, yang di dalam perut tak mau ia menjadi durhaka dengan menyumpahi ibunya itu setiap hari.
Lalu entah mengapa semua terasa tenang dan nyaman tiap ia memberi elusan lembut di atas perut.
Dia tak mau melakukan itu sungguh. Tapi dia tak mau terus berhubungan dengan kamar mandi untuk muntah. Jadi untuk kenyamanannya sendiri, Gween mengalah.
Berjalan menuju sofa dengan membuang semua pikiran tentang Malla, ia membawa sepiring buah-buahan yang sudah ia kupas dan potong ke dalam pangkuan. Sambil mengusap area perut yang bersembunyi di balik kemeja besarnya, Gween menyantap buah-buahan itu penuh hikmat.
Dia mulai terbiasa dengan keadaannya ini. Dan menjadi pengangguran untuk saat ini mungkin memang harus ia syukuri. Karena ia tak mungkin bekerja, sebagai Gween Isabella yang masih dikenal sebagai cucu Janu Citaprada, mantan tunangan Elzir Abelard, dan sempat terkena skandal dengan seorang penyanyi papan atas bernama Langit Biru, dalam keadaan hamil tanpa suami.
Oh ... jika begitu orang-orang akan mengolok-olok dirinya. Mengaku tak melakukan apapun dengan Langit di hotel Kaisar, namun perutnya menghasilkan sebuah janin. Lalu anak siapa itu?
Akan menjadi sangat buruk jika orang-orang malah mengatakan jika ini bukan anak Langit, tapi anak dengan pria lain.
Ah tapi ... juga tak baik jika orang tahu ia hamil dan ayah dari bayi ini adalah Langit. Tak baik untuk dirinya.
Mengunyah potongan buah dengan pelan, Gween mulai berpikir. Kira-kira apa tanggapan Langit jika tahu ia mengandung anak pria itu?
Semakin dibenci, kah?
Tapi ... harus sampai kapan ia dibenci?
Tok tok tok
Ada orang?
Perasaan ia tak memesan apapun.
Turun dari sofa, Gween menyeret langkah pelan menuju ruang tamu dan mengintip melalui jendela mencoba melihat siapa yang datang. Dia benar-benar belum siap jika seorang debt collector yang datang untuk menagih hutang Malla. Sungguh menyesal ia membawa sang ibu ke sini.
Namun yang ia lihat hanya sebuah kendaraan roda empat berwarna putih terparkir di pinggir jalan depan rumahnya yang belum berpagar.
Menarik napas dalam, Gween berdoa di dalam hati sebelum ia buka pintu. Semoga yang datang hanya tetangga, atau pak RT yang datang untuk mengambil berkas-berkas yang harus ia beri untuk mendaftarkan diri sebagai warga baru di tempat ini.
Memutar kunci, Gween menarik handle pintu dan terpaku kala ia lihat siapa yang berdiri di hadapannya. Bukan debt collector, bukan pula polisi atau pak RT dan tetangganya. Tapi ...
“Keen ... Keenan?”
Menyeringai licik dengan kepala sedikit miring ke samping. Pria di hadapan Gween yang memamerkan ukiran tatto di sekitar leher membuka suara rendah, namun sanggup mendobrak benteng keberanian yang selama ini menjadi tameng Gween agar bisa menantang setiap hal yang meremehkannya.
“Ya, Gween. Keenan.” Mencondongkan tubuh ke depan, membagi aura menyeramkan pada Gween yang langkahnya surut ke belakang, seringai pria itu kian mengerikan.
Gween mencengkeram erat keliman kemeja yang ia kenakan.
“Apa kabar?” tanya pria itu, sebelum kemudian pekik nyaring Gween tertahan ke dalam bekapan tangan besarnya.
“Membuat masalah dengan Langit lagi, Gween.”
Gween yang mulai melemah, di dalam bekapan Keenan yang menempelkan erat lipatan sapu tangan di bibir dan hidungnya sempat menggeleng pada pernyataan Keenan yang tak berdasar.
Masalah apa yang ia buat dengan Langit? Tidak. Dia bahkan tak berniat meminta pertanggungjawaban Langit terhadap kehamilannya, lalu mengapa Keenan datang bersama seluruh rasa benci pria itu.
Sebelum hitam pekat melenyapkan seluruh kesadarannya, Gween bahkan sempat berpikir dan mencoba mencari tahu apa kesalahannya kali ini.
“Mengapa kamu tidak pernah puas menyakitinya?” Keenan menahan tubuh Gween yang sudah tak sadarkan diri lagi. “Kamu tidak akan lepas kali ini.”
Karena dia sudah pernah bersumpah. Siapapun yang melukai sahabatnya, maka ia akan memberikan orang tersebut pelajaran yang bahkan tak berani untuk sekadar diimpikan.
Fated
Tujuh Belas
Pria itu baru turun dari panggung ketika Umar menariknya dengan perasaan cemas ke ruang ganti. “Kenapa, Mar?” tanyanya tenang berbanding terbalik dengan kecemasan Umar yang mengibaskan tangan gelisah.
“Keenan, Mas.”
Diam sesaat, Langit yang tampil rapi dengan suit hitam dan rambut tersisir rapi ke belakang menaikkan sebelah alis. “Keenan kenapa?” Sambil mengedarkan pandangan mencari-cari Chandra yang tak berada di ruang make-up. “Mas Chandra kemana?”
Umar menggeleng cepat. “Nah itu, Mas! Mas Chandra kejar Keenan. Duh, Mas. Keenan bilang mau pergi ke rumah perempuan itu, Mas!”
Alis tebal Langit yang terukir sedikit melengkung itu bertaut. “Maksudnya perempuan itu?”
“Gween Mas! Ya ampun! Bisa dijadiin perkedel nanti, Mas!”
Kini kening yang mengernyit, Langit mengulang nama yang Umar sebut tanpa suara. “Gween.”
“Mas! Kalau gara-gara perempuan itu Keenan dipenjara gimana, Mas? Kasian Keenan Mas!”
Dan Langit semakin bingung. Sebenarnya siapa yang Umar khawatirkan. Gween atau Keenan. Langsung melengos seolah ia tak peduli, Langit melepas jas yang ia kenakan, dan membiarkan kemeja ungu tua melekat erat ke tubuhnya yang tercetak otot pada bagian-bagian tertentu dengan sempurna.
Sikap santai Langit yang tak memberi respon berarti, memantik rasa heran Umar. Wah ... sepertinya Langit memang sudah tak peduli pada wanita sialan itu, yang tahun lalu datang untuk meminta surat cerai.
Menurut kabar yang beredar waktu itu, wanita itu akan dijodohkan dengan keturunan Abelard. Dan demi memperjelas status, Gween datang setelah bertahun-tahun meninggalkan Langit tanpa lagi peduli pada pria itu. Iya. Sejahat itu iblis perempuan yang bersembunyi dalam tubuh bidadari. Rasanya Umar ingin mencakar wajah Gween ketika datang tanpa perasaan, memerintahkan Langit untuk mengurus perceraian mereka di Las Vegas.
“Mas Langit nggak khawatir?” Umar mendekati Langit yang melepas ikatan rambutnya, lalu menyugarnya, mencipta tampilan yang berantakan namun menawan. Lelaki seperti ini dicampakan. Andai yang menjadi Gween saat itu adalah Umar. Uuh ... tak akan pria ini biarkan Langit keluar kamar. Bahaya. Banyak pelakor berkeliaran.
“Apa yang dilakukan Keenan, Mar? Dia hanya berani menggertak.” Langit duduk di depan sebuah cermin sambil memainkan ponsel. “Telepon Mas Chandra. Urus saja foto-foto yang dikirim ibu wanita itu. Yang penting, jangan sampai muncul di media.” Ia tatap layar ponselnya yang menampilkan wajah keponakannya, putra sang adik yang baru lahir empat bulan lalu.
Keponakan lelaki yang sangat tampan.
“Mas! nggak mungkin menggertak, kalau Keenan niat banget dapetin alamat perempuan itu. Ya ampun, Mas! Beneran diusir dia dari rumah kakeknya, Mas. Beritanya udah di mana-mana, Mas! Udah dipecat juga dia kan dari kerjaannya.” Dan Umar malah bergosip. “Makanya sekarang sekongkol sama ibunya buat jebak Mas Langit lagi! Dasar pelac—”
“Gunakan kata yang baik, Mar.”
Umar yang alis matanya terukir cantik itu menggigit bibir bawahnya. “Mas, baik banget sih sama perempuan yang begitu.”
“Oh ya?” Langit menatap Umar dengan sepasang alis naik ke atas.
“Iya! Kebaikan! Duh!” Umar kembali bergerak gelisah. “Mas Chandra lagi, ke mana si—”
“Langit!”
Baru saja ingin dibicarakan, sosok yang Umar cari muncul, langsung memberondong masuk dan menghampiri Langit. “Foto pernikahan kalian sudah masuk ke akun gosip!” Chandra menunjukkan layar ponselnya pada Langit, sedang Umar langsung berteriak histeris.
Beberapa hari ini mereka seolah terteror oleh foto-foto masa lalu Langit. Seseorang yang mengaku bernama Malla mengirim beberapa foto pernikahan Langit dan Gween di Las Vegas, termasuk foto bulan madu pria itu.
“Cuma keliatan wajah kamu dari samping dan mantan kamu memang nggak kelihatan.” Foto itu diambil dari kejauhan, ketika Langit mengucap janji pernikahan dengan Gween di sebuah gereja. “Kita bisa bilang kalau itu foto lama dan hanya foto biasa. Tapi kalau foto yang lainnya keluar gimana?”
Mengusap dagu, Langit lalu menatap Chandra yang begitu cemas. Mencemaskan karirnya yang menjadi lahan pekerjaan untuk orang di sekitarnya. Keenan, Umar, Chandra, dan pengiring musiknya. Jelas, jika ancaman wanita yang mengaku sebagai ibu Gween ini terus berlanjut, maka tak hanya ia yang hancur. Selain orang yang membantunya menapaki satu persatu anak tangga kesuksesan ini, juga ada keluarganya yang pasti akan kecewa besar.
“Keenan ke mana?”
“Aku tebak ke rumah Gween. Beberapa hari ini dia keliatan sibuk, pas aku lihat hapenya, ternyata dia bayar orang untuk cari alamat Gween. Sekarang dia bisa saja berulah, dan semakin membuat kamu terancam.” Chandra menepuk kening kesal. “Ya ampun! Kenapa kamu bisa kenal dengan yang namanya Gween dan keluarganya sih, Langit?”
Mendengar keluh kesal Chandra, Umar segera menyahut. “Tau tuh Mas Langit! Kayak nggak ada perempuan yang lebih bener aja, sampai milih perempuan ular itu! Dulu demi harta dan jabatan dia tendang mas Langit. Sekarang, setelah kehilangan semuanya, ngajak balikan pakai ancem-ancem segala! Ya ampun! Gatel pengen cakar mukanya!” Sambil berkhayal jika wajah Gween bisa dipindah ke mukanya saja. Iya. Dengan sifatnya yang jauh lebih baik ini, ia merasa lebih pantas memiliki wajah cantik Gween, daripada wanita itu yang menurutnya berhati iblis.
Tak indahkan kecemasan dua orang di sekitarnya. Melepas kemeja dan menggantinya dengan kaos hitam yang tergantung di besi gantungan baju, Langit meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. “Aku nggak bisa ikut penutupan acara. Mas Chandra uruskan.” Menepuk bahu Chandra, pria itu kemudian bergerak pergi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Ini urusannya. Dan tak perlu bantuan untuk menyelesaikan masalah sekecil ini.
Gween.
Peringatan sudah ia layangkan. Jangan pernah menunjukkan diri di hadapannya. Namun, sepertinya hal itu seperti sebuah angin lalu. Maka jangan salahkan, jika ia benar-benar menuntaskan semua benci yang berusaha ingin ia leburkan.
Gween.
Wanita itu sendiri yang menceburkan diri ke dalam lautan amarah Langit yang terus terpendam tanpa pelampiasan. Bukan dia yang menariknya untuk masuk. Bukan dia yang memaksanya. Namun, karena sudah memilih untuk tenggelam ke dalam neraka kebencian itu, maka Langit harus menahannya. Terus tenggelam bersama dirinya.
Tak apa. Biarkan saja jika memang mereka harus mati bersama.
*
Wanita itu masih terduduk lemas di kursi kayu rotan dengan tangan dan kaki terikat. Rambutnya yang tergerai berantakan sebagian menutupi wajah yang pada sudut bibir terdapat lebam biru.
Dia tak tahu mengapa Keenan, pria dengan tubuh besar penuh tato di hadapannya ini menyiksanya tanpa mengatakan apapun setelah menuduhnya ingin membuat masalah lagi dengan Langit. Dia tak tahu, masalah apa yang Keenan maksud hingga ia pantas menerima sebuah pukulan di pipi dan jambakan keras di rambut.
Ah ... atau mungkin ini adalah dendam pria ini yang sudah bersembunyi lama dan baru kali ini bisa dilampiaskan. Ya ... pasti Keenan sudah tahu jika Gween kini tak lagi berada di bawah perlindungan Janu Citaprasada, dan melampiaskan dendam saat ini adalah waktu yang sangat tepat.
“Katakan apa masalah yang aku lakukan?” Mencoba menahan sakit, Gween yang tak berteriak bahkan ketika lebam biru ia dapatkan, hanya sedikit ringisan saja, lalu wajah datarnya kembali menguasai diri sebagai tameng jika ia tak takut. Sungguh. Dia tak setakut tadi kala pertama kali melihat Keenan berdiri di depan pintu rumahnya. “Aku—Ss!”
Mendesis hebat kala rambutnya tertarik ke belakang oleh cengkeram kuat Keenan yang tampak kesetanan. Gween terpejam, mencoba untuk tak memohon dilepaskan. Tidak. Dia kuat.
“Jangan pura-pura bodoh, Gween. Jangan!” Keenan menghentak ke belakang tangan yang mencengkeram rambut Gween namun sedikit saja tindakanya tak memicu respon berlebihan dari Gween yang hanya sekadar meringis.
Gween lantas menggeleng. “Aku benar-benar tidak tahu.” Terpejam sesaat untuk menikmati pedih di kepala yang tampaknya kehilangan banyak helai rambut. Sorot tajam Gween dilayangkan pada Keenan yang bergerak menjauh. “Langit ... Langit yang meminta kamu melakukan ini?” Oh ... hal yang tak ingin ia tanyakan, hanya karena enggan terluka jika prasangka di hatinya ini benar. Namun ia terlalu penasaran. Mungkinkah Langit membalaskan dendamnya melalui Keenan? Sahabat pria itu, yang sudah menjadikan Langit bak dewa.
Ya ... Keenan hanya gelandangan miskin yang tersesat ke lembah hitam obat-obatan terlarang. Mengedarkan dan menggunakannya, Keenan yang sejak kecil dijual ibu tirinya kepada seorang preman nyaris mati ketika Langit menemukan pria itu terkapar di pinggir jalan.
“Gween! Ada orang terkapar di pinggir jalan! Dia kenapa?”
Malam yang semestinya berjalan indah, karena setelah dua minggu tak bertemu, karena pekerjaan Gween menyita begitu banyak waktu, harus suram seketika saat Langit memutuskan menghentikan mobil yang dikendarai untuk menolong seorang berandalan yang tampak terkapar tak berdaya di pinggir jalan.
“Jangan main-main, Langit. Ini sudah malam! Bisa saja itu orang jahat.” Tentunya Gween tak mau mengambil resiko dengan menolong orang asing di jalanan sepi dan di waktu yang nyaris menembus tengah malam.
Tak mendengarkan larangan kekasihnya, Langit menggeleng. ”Kalau dia orang baik dan butuh pertolongan? Aku bisa sangat menyesal kalau membiarkan dia begitu saja. Kamu tunggu di sini.”
Mengabaikan Gween yang berusaha untuk menghentikan. Langit segera mendekati pria yang entah bagaimana tubuhnya bersimbah dengan darah. Tak banyak waktu untuk terpaku, Langit tanpa ragu memasukan pria itu ke dalam mobilnya.
“Langit! Kenapa dibawa masuk?!”
“Dia sekarat, Sayang! Sekarat!” Langit begitu panik malam itu. Seolah orang yang sedang meregang nyawa di dalam mobilnya itu adalah kerabat dekatnya. ”Kita bawa ke rumah sakit.”
Panik, takut jika orang yang ditolong Langit adalah penjahat, Gween menahan tangan Langit yang ingin bergegas menjalankan kereta besinya. “Bagaimana kalau dia orang jahat? Langit! Tinggalkan dia. Kita nggak bisa sembarangan bawa masuk orang ke dalam mobil kita! Dia sekarat! Kalau dia meninggal di sini, bagaimana?!”
Hari itu Gween rasanya ingin sekali memukul kepala Langit yang selalu saja berpikir secara lurus. Namun nyatanya Gween hanya diam dan pasrah ketika mendengarkan jawaban dari kekasihnya.
“Jangan menolong orang karena latar belakangnya, Gween. Menolong seseorang, nggak akan membuat kamu kehilangan pahala.” Dengan tangan penuh noda darah itu, Langit mencubit hidung kekasihnya begitu lembut. ”Kita bawa dia ke rumah sakit. Hari ini kita menolong dia. Dan mungkin besok, dia yang akan menolong kita.”
Dan ya ... pria itu menolong Langit. Keenan menolong pria itu untuk membalaskan dendam padanya. Ah ... balasan yang sepadan, bukan?
“Langit bukan iblis yang membiarkan aku melakukan ini, Gween. Kamu tahu betul. Ini tidak akan pernah terjadi kalau aku menunggu perintah laki-laki yang sudah kamu khianati kepercayaannya itu,” jawab Keenan pada pertanyaan Gween tadi.
Oh ya? Benarkah Langit semulia itu? Lalu, beberapa waktu yang lalu. Siapa yang membuat tubuhnya memar ketika seharusnya bercinta menjadi hal yang begitu mengesankan dengan saling membelai sayang.
Ya ampun, Gween lupa. Kejadian di hotel Kaisar yang menghasilkan sesuatu di dalam perutnya itu bukan bercinta. Itu hanya seks. Hanya pertukaran nafsu birahi semata. Dan ya ... Langit begitu bernafsu menghancurkan tubuhnya kala itu.
Bukan iblis. Pria itu sudah menjelma menjadi iblis. Tapi karena siapa? Jelas, tentu saja karena dirinya.
Berdecih, Gween menatap langit-langit ruangan pengap yang digunakan untuk menyekapnya. Entah di mana ini. “Jadi ini inisiatif kamu sendiri. Ck ck ck! Budak yang setia.”
“GWEEN!” Mengangkat tangan, kembali ingin memberikan tamparan yang kedua kalinya, tangan Keenan yang sepertinya siap menghancurkan rahang wanita yang duduk di hadapannya itu berhenti di udara kala pintu di belakangnya terbuka dan bersamaan dengan itu sebuah suara terdengar.
“Pesta sudah selesai.” Pria dengan kaos hitam itu berjalan mendekat, menurunkan tangan Keenan yang melotot kesal. “Umar butuh bantuan kamu.” Lalu tanpa ekspresi apapun, pria itu menunduk untuk menatap wanita malang yang terikat di kursi kayu sambil membalas tatapannya dengan sorot dalam.
Tatapan tajam wanita itu sirna sejak tahu siapa yang masuk ke dalam ruangan ini.
Sedikit membungkuk, membagikan aroma wangi perpaduan anggur dan mint pada Gween yang seketika merasakan gejolak aneh di perutnya. Pria itu membuka belitan tali pada tangan wanita itu sebelum kembali berdiri untuk menatap Keenan yang diam dengan raut tak suka. “Cepat, Keen. Bantu Umar,” katanya yang tak perlu diulangi lagi, segera Keenan laksakanan dengan terpaksa.
Senyap, dalam sekejap hanya hela napas Langit saja yang mendominasi atmosfir pengap di sekitar mereka. Langit masih tanpa ekspresinya menatap Gween yang harusnya menggunakan kesempatan ketika tangannya terbebas untuk melepas ikatan di kaki, kemudian pergi.
Tapi wanita ini malah diam terpaku seolah terhipnotis pada sosok pria yang kehadirannya terasa begitu mengintimidasi, padahal dibandingkan Keenan, ekspresi pria ini jauh lebih bersahabat. Tapi tidak. Tatapan Langit memancarkan sesuatu yang lebih mengerikan daripada sorot amarah Keenan yang menggebu-gebu ingin segera melenyapkannya.
“Seharusnya, saat aku bilang untuk tidak pernah menunjukkan diri di hadapanku, kamu benar-benar pergi sejauh mungkin.” Menunduk, pria itu mengusap lebam di sudut bibir Gween yang keberaniannya meredup. Ah ... mati seketika. “Tapi kamu malah di sini.” Pria itu berdiri tegap, berjalan menuju pintu untuk menguncinya, sebelum kembali berbalik pada Gween yang masih diam belum berusaha untuk melepaskan ikatan pada kakinya.
Tersenyum yang menurut Gween lebih seperti sebuah seringai mematikan, Langit melanjutkan ucapan namun dengan tangan yang bergerak menuju gesper dan melepasnya. “Jadi jangan salahkan aku untuk semua yang terjadi di antara kita setelah ini.”
Fated
Delapan Belas
Langit Biru adalah pria yang memiliki cerah seperti namanya. Aura yang senantiasa memancarkan hangat bahkan mampu mencairkan beku pada sosok gadis yang ditemui pertama kali di sebuah pesta pernikahan seorang kerabat.
Bukan dia yang pertama kali terpukau pada daya tarik wanita yang tampak menatap risih pada keramaian di sekitar. Terlihat jika begitu terpaksa menghadiri pesta. Bukan. Pria itu bahkan tak berniat mendekat, atau menyapa meski banyak pasang mata yang terpaku pada bibir bergincu merah muda yang aura cantiknya bahkan mengalahkan daya tarik ratu semalam yang memiliki acara. Namun wanita itu, yang rasa jengah perlahan memudar kala mendengar denting piano dan suara lembut dari seorang pria bernama Langit Biru.
Untuk pertama kali, semesta seolah turut bernyanyi di sekitar wanita yang hadir dalam balutan gaun hijau muda, dan rambut tergelung cantik ke atas. Surai rambut yang jatuh di sisi wajah berulang kali disingkirkan kala tiup angin membuatnya menghalangi pandangan.
Untuk sepersekian detik, ia lupa untuk bernapas, atau berkedip ketika hati merasa jika lagu itu dilantunkan untuknya. Ah ... melihat bagaimana gadis di sekitarnya bersikap tak ubah sepertinya, wanita itu lalu meringis.
Mengapa begini? Untuk pertama kali, jantungnya bernyanyi. Untuk pertama kali, denyut nadinya seolah ikut menari pada iringan piano yang mengalun merdu, mengikuti lembut suara pria itu.
Mengerjap, mengelak pada daya pikat surga yang dipancarkan seorang pria yang baru pertama kali ia jumpa. Wanita itu memilih menyudahi kunjungannya ke acara pernikahan putri salah seorang rekan Janu. Jika bukan kakeknya yang memberi perintah, ia tak akan datang ke tempat bising seperti ini.
“Tukang parkirnya mana?”
Di halaman parkir, Gween yang menjinjing tas hitam di tangan kanan tampak menoleh ke kiri dan kanan mencari tukang parkir yang semestinya ada di sini. Lihatlah, ada sebuah motor tak tahu aturan terparkir di belakang mobilnya.
Berdecak kesal, Gween berniat menyingkirkan kendaraan roda dua itu, namun terhalang oleh rasa malas, akhirnya wanita itu hanya menunggu sambil terus mencoba mencari tukang parkir hingga kemudian netra menemukan ia pada sosok lain yang mendekat dengan senyum ramah ... bolehkah Gween anggap itu sebagai senyuman memikat?
“Mobilnya mau keluar?”
Seolah memahami posisinya, pria yang baru datang sendirian dengan stelan jas rapi itu langsung menyingkirkan motor yang menghalangi mobil Gween. “Tukang parkir ke mana?” tanya pria itu pada dirinya sendiri, karena wanita yang ia tanyai tadi hanya diam menatapnya dengan sorot aneh.
Menyingkirkan kendaraan roda dua yang menghalangi mobil sedan putih Gween, pria itu kembali mendekat masih dengan senyum yang sama. “Sudah. Silahkan lewat.” Lalu tanpa menunggu ucapan terima kasih, pria itu bergerak menuju mobilnya yang ternyata terparkir di samping sedan putih milik wanita tanpa ekspresi barusan.
Masih terpaku di tempat, Gween membuka bibir yang entah mengapa mendadak tak tahu cara mengeluarkan sebuah suara. Mendesah kesal, pada sikapnya yang seperti patung bodoh, wanita itu membuka pintu mobil sebelum kemudian berbalik dan menatap pria yang ingin masuk ke dalam mobilnya sendiri namun urung karena merasa sedang diperhatikan. “Terima kasih.” Cepat, kata itu meluncur sedikit keras.
Mengangguk dengan senyuman, pria itu menjawab. “Sama-sama.” Akan bergerak melanjutkan niatnya masuk ke dalam mobil, lagi-lagi hal itu urung ia lakukan ketika wanita tadi, mengucapkan sesuatu bersama semburat merah yang begitu jelas di kedua pipi.
“Saya Gween.”
Mengerjap namun kini dengan senyum yang tak selebar tadi, pria itu mengangguk. “Saya Langit.”
Dan ketika ia berpikir wanita yang tiba-tiba memperkenalkan diri itu akan melanjutkan obrolan, pria itu dibuat tercengang ketika Gween, si gadis cantik bergaun hijau langsung masuk ke dalam mobil dan membawa sedan putih itu menjauh.
Mengernyit, pria itu bergumam setelah mendengkus geli. ”Aneh.”
Ya ... keanehan yang terus mengikuti. Karena dalam waktu singkat, tak tahu bagaimana semesta mengatur kisah ini dengan begitu apik, pertemuan kedua di antara mereka kembali terjadi.
“Gween? Benar, kan?”
Di sudut cafe, tepat bersebelahan dengan sebuah kaca besar yang menampilkan pemandangan taman di samping cafe, pria itu menemukan wanita itu sedang duduk diam, menatap taman tanpa kopi atau makanan apapun di atas meja.
Segera menoleh pada sumber suara, tubuh wanita itu menegang kala mendapati siapa yang mendatanginya.
Langit. Langit Biru.
“Mengganggu?”
Segera menggeleng, Gween mencipta senyuman kaku. ”Tidak.”
“Boleh duduk di sini?”
“Bo ... boleh.” Ya ampun! Dia gugup? Gween gugup hanya untuk seorang pria? Mustahil!
Tersenyum senang, dengan nampan di tangan, pria itu duduk dan meletakkan hidangannya di atas meja. ”Nggak mesan makanan?”
“Sudah.” Hanya air kosong, karena tujuannya datang ke sini hanya untuk berbincang dengan seorang rekan kerja yang sudah pergi.
Membulatkan bibir, Langit mengangguk-angguk mengerti. ”Tapi tambah sepotong kue lagi mungkin nggak masalah, kan?” Tanpa bertanya apakah wanita di hadapannya ingin atau tidak, Langit menyodorkan sepotong kue berwarna merah. “Red Velvetnya enak.”
“Ya?” Gween menatap sepotong kue yang diberikan padanya. Tapi ... dia tak menyukai hidangan manis.
Tak berbicara, namun langsung menikmati kopi hangatnya, Langit melirik Gween yang hanya diam menatap kue di hadapannya. “Aku sudah di sini dari tadi. Dan sejak temanmu tadi datang dan pergi, kamu hanya meminum segelas air putih.”
Langsung menatap tak percaya pada apa yang pria di hadapannya ucapkan, Gween mengurut tengkuknya yang tak sakit. Dia kenapa seperti seorang kekasih yang tertangkap sedang berbohong?
“Orang yang mengetahui namaku, dan yang aku ketahui namanya akan aku anggap sebagai teman. Dan sebagai teman, aku tidak akan membiarkan temanku hanya meminum segelas air putih di jam makan siang.”
Mengerjap, bibir Gween setengah terbuka sebelum sesuatu yang hangat menyeruak di balik dada. ”Teman?” Ia membeo, mengulangi satu kata yang Langit ucapkan.
Teman.
Hatinya menghangat.
Teman.
Bukankah mereka adalah sekumpulan orang yang hanya akan datang ketika ada yang ingin dimanfaatkan?
Langit mengangguk pasti, sebelum menyodorkan tangannya. ”Teman!”
Sesaat Gween menatap tangan yang menjulur ke atas meja sebelum segaris senyum tipis menghiasi wajahnya dan ia sambut uluran tangan itu.
Teman.
Namun hatinya berbisik penuh harap jika hubungan di antara mereka kelak, tak hanya sekadar menjadi teman.
Dan ya ... nyatanya pertemanan itu berubah menjadi rasa yang lebih bermakna. Hanya saja, rasa yang ada tak pernah sekuat dengan ambisi yang ia miliki hingga sebuah ikatan teman yang disodorkan Langit, kini berubah menjadi permusuhan.
Dan ya ... memangnya siapa yang mengubah pertemanan itu menjadi sebuah permusuhan.
Tak!
Tersentak dari lamunan, Gween menjatuhkan sorotnya yang meredup pada ikat pinggang yang sudah tergeletak di bawah kaki Langit, ketika pria itu hentakan benda tersebut dengan sedikit keras ke lantai.
Meneguk salivanya kasar, Gween melarikan pandangan ke samping kala pria di hadapannya melepas kancing pada jeans yang dikenakan.
“Kamu takut?”
Pada pertanyaan retoris itu, Gween hanya diam. Tak ada yang tak takut ketika dirinya berada di bawah ancaman. Namun tampak lemah bukan penolong untuknya yang tak pernah menunjukkan seberapa tak berdaya dirinya.
Tapi di hadapan pria ini, bukankah nyalinya selalu tak berarti?
Menahan napas, kala ia rasakan terpa hangat di telinga malah memberi aliran dingin ke setiap sendi. Gween mencoba menatap sepasang mata tajam yang tak henti memberinya tatapan benci. “Kali ini ... apa masalah yang aku buat?” Menahan untuk tak menggigit bibir bawahnya kala nyeri bermuara di ulu hati, Gween mengerjap mencoba menyamarkan rona merah di sepasang mata. “Setidaknya aku harus tahu apa yang terjadi di antara kita nanti, setimpal dengan kesalahnku kali ini.”
Tersenyum miring, Langit menggeleng sebelum ia berlutut, membuka ikatan pada kaki Gween. “Kamu tidak melakukan kesalahan apapun.” Ia tatap lagi Gween yang masih diam, ketika seharusnya wanita itu pergi. “Ini kesalahan ibumu.” Pria itu keluarkan ponsel dan menunjukkan banyak foto dirinya dan Gween di masa lalu yang membuat hati Gween mencelos seketika.
“Aku ... aku tidak memiliki foto itu lagi.” Sudah ia hapus semuanya demi melenyapkan jejak.
“Dan siapa yang menyangka kalau ibumu masih menyimpannya.”
Kali ini menggigit bibir bawah bagian dalam lantaran kesal pada Malla yang melakukan berbagai cara untuk kenyamanan wanita itu sendiri, Gween menggeleng pelan. “Dan aku di sini karena kesalahan ibuku?” Bukankah itu tak adil.
Mengernyit, Langit memperlihatkan wajah seolah-olah ia bingung dengan pertanyaan Gween. “Keenan yang membawamu ke sini.” Di gudang yang terletak di kediaman Keenan. Langit tahu jika Keenan akan membawa Gween ke sini, hingga ia tak perlu bertanya terlebih dahulu pada pria itu. “Dia berpikir ini ulahmu dan ibumu. Jangan salahkan dia untuk kesalahpahaman ini.”
Gween gemetar pada tiap kata yang Langit ucapan. Pada apa yang keluar dari bibir Langit, seolah ada duri-duri tajam yang menancap ke jantung Gween. Ulu hatinya kian nyeri.
Meletakkan ponsel ke lantai, Langit lalu berdiri dengan seringai yang tak kunjung hilang. Tiap detiknya, Gween seolah dicabut nyawanya hanya karena senyum pria itu yang siap meleburkan dirinya kapanpun. “Tapi aku tidak akan melepaskanmu bukan karena ibumu.” Berjalan ke belakang tubuh Gween, meletakkan jemari pada bahu wanita itu. “Aku tidak pernah berharap melihatmu lagi. Berapa kali harus aku ingatkan?” Jemari itu bergerak pelan pada leher Gween yang merasakan setiap ujung jarinya mendingin. “Tapi kamu datang lagi.”
Oh tidak. Keenan yang membawa Gween ke tempat ini dan ia malah menghampiri. Tapi jelas ia abaikan kenyataan itu.
Memberi sorot tajam, dengan jemarinya, Langit menekan leher jenjang Gween yang terus menelan saliva dengan susah payah. “Atas apa yang terjadi di antara kita setelah ini, bukan karena apa yang ibumu lakukan.” Menunduk, jemarinya mulai mencengkeram kuat, memutus pasokan udara Gween yang hanya diam tak mencoba memberontak meski tangan sudah terkepal kuat, tak sanggup merasakan sesak di balik dada.
Sungguh. Atas apa yang ia lakukan, ia pun merasakan sesak yang sama. Namun seperti sebuah candu. Menyakiti wanita ini, menimbulkan euforia menyenangkannya sendiri.
“Ini pembalasan, Gween. Ini pembalasan.”
Menarik cepat tangannya sebelum hasrat untuk melenyapkan itu menguasai diri sepenuhnya, Langit kembali bergerak ke hadapan wanita yang tengah meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tak menanti Gween terlepas sepenuhnya dari sesak yang menghimpit, Langit sudah membawa wanita itu untuk berdiri dan jemari kini beralih pada helai rambut wanita itu. “Aku membencimu.” Dan harusnya benci ini biar saja terkubur di dalam hati tanpa pernah muncul lagi, andai ... andai Gween tak muncul di hadapannya.
Tak peduli pada sakit di belakang kepala akibat tarikan keras jemari besar Langit yang ia harapkan segera saja melenyapkannya, Gween terpejam. Langit Biru. Pria dengan senyum yang tak pernah gagal membuatnya ikut menghangat.
Langit Biru.
“Apa yang bisa membuat bencimu tuntas, Langit?” Ia buka sepasang kelopak mata, jemari Gween terangkat untuk menyentuh wajah yang dulu mengubah hari-hari menjenuhkannya menjadi hari-hari yang selalu ditunggu. Bersama langit, dua puluh empat jam terasa kurang untuk dihabiskan bersama. “Lakukan apapun.” Jemarinya bergerak pada jakun yang naik turun, seolah tak sabar menanti waktunya pelampiasan.
Menekan tiap sayatan luka tak kasat mata yang muncul di balik dada, Gween meyakinkan diri jika memang ini lah yang harus ia lakukan. Terjebak di dalam neraka ciptaan Langit yang selama ini selalu ia hindari.
Tapi ... tak apa. Mungkin memang ini lah saatnya ia tebus semua kesalahan masa lalu yang pernah menghancurkan Langit dan semua impian pria ini.
Lagi pula, tak ada lagi yang ingin ia cari kini. Janu sudah melepaskannya. Tak ada lagi jabatan, atau pujian orang-orang yang ia kejar. Tak ada lagi, selain memusnahkan kelabu pada Langit Biru.
“Tuntaskan benci itu. Aku menerimanya.”
Dan tak ada air mata untuk menebus sebuah kesalahan. Gween tahu, semua tindakan yang manusia lakukan selalu memiliki hasil, layaknya tabur tuai.
Jika pembalasan kali ini bisa menghilangkan kelabu yang ia sisipkan dalam hidup Langit Biru, maka pembalasan apapun yang pria ini berikan akan sangat setimpal.
Fated
Sembilan Belas
Mereka bertemu ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun. Berteman, mulai menghapus jarak dengan waktu yang tak singkat. Dua tahun rupanya waktu yang dihabiskan untuk saling mengenal diam-diam, karena ketika wanita itu tahu siapa Langit, dan Langit tahu siapa Gween. Mereka menyadari dengan cepat hubungan tak akan berjalan baik jika sosok Janu yang berada di hadapan Gween layaknya tembok penghalang tahu ada percikan asmara di antara keduanya.
Langit adalah keponakan Bulan. Dan Gween adalah putri Sadewa.
Semesta menyatukan mereka, namun dengan begitu baik, turut mengungkap silsilah keluarga mereka yang terjalin layaknya air dan api.
Tapi Gween tahu jika hubungannya dengan Langit tak sekadar menjadi asap yang akan lenyap pada hembusan angin. Dia tahu, jika hubungan ini mampu bertahan, meski Janu tak akan merestui. Ah ... tidak. Gween tak akan membiarkan Janu tahu tentang hatinya yang bisa menggebu dahsyat pada Langit Biru.
Kisah cinta itu berjalan dengan baik, setelah dua tahun pertemanan terjalin, mereka memutuskan untuk mengikat hati dengan tali bernama asmara. Keluarga Langit, yang ternyata sama indahnya seperti hati pria itu. Tak pernah mengungkit siapa Gween, tak pernah membicarakan apapun tentang masa lalu Bulan dan Sadewa. Mereka memberi restu juga kasih sayang. Gween seolah mendapatkan keluarga baru yang berbeda dari yang ia punya selama ini.
Langit mencintai wanitanya, si angkuh yang tak pernah menundukkan kepala tiap kali mereka bertengkar. Dagu selalu terangkat, menunjukkan jika wanita itu selalu benar. Namun ... setinggi apa pongah itu berada, ketika pertengkaran di antara mereka akan selalu Langit akhiri dengan usapan di kepala.
“Sudah. Jangan buat aku gigit dagu kamu lagi.”
Dan hanya dengan sebaris kalimat itu, maka sorot tajam wanita itu meredup.
Langit yang selalu bisa menenangkan. Dan hanya dengan tindakan kecil pria itu, Gween akan kalah. Pongahnya tak pernah berarti pada Langit yang tak pernah berbicara menggunakan nada tinggi. Egonya meredup tiap kali emosinya hanya ditanggapi dengan pelukan pria itu. Pelukan yang erat, sebelum kemudian amarah wanita itu lebur di atas peraduan mereka bersama desah rendah, dan penyatuan selalu indah.
Langit ... yang tak pernah menyentuh dengan kasar tiap inci tubuhnya. Selalu penuh damba dan puji pada kulit putih pasi milik Gween yang hanya bisa merona pada sentuhan prianya, dan hanya bisa bereaksi pada belaian kekasih hatinya.
Langit ... kekasihnya.
Dulu, sebelum ia sakiti hati pria itu begitu dalam.
Langit ... yang tak sudah secerah namanya.
Mungkinkah akan begini jika ia tinggalkan pria ini tanpa sebuah drama?
Mungkin, jejak luka itu tetap ada ketika ia memutuskan untuk pergi dari sisi pria yang sudah mengucap janji di hadapan Tuhan, akan senang dan susah bersama, berkaitan jemari hingga maut memisahkan mereka. Ya ... pergi saja, tentunya tak akan membuat Langit menjadi sekelam saat ini.
Tapi ... Langit terlalu keras kepala. Langit tak pernah mau melepaskannya begitu saja.
Sungguh. Gween terpaksa. Ia terpaksa membuat pria itu benar-benar membencinya.
“Pasrah, hem?”
Berkedip lambat, Gween yang masih mengusap lembut leher pria itu dengan ibu jarinya menggeleng pelan.
Tuhan memiliki rencana yang begitu apik untuk memberinya sedikit saja pelajaran atas kesalahan yang sudah dilakukan.
Dan ya ... perginya Janu dari kehidupannya membuat wanita itu sadar jika ia tak akan pernah selalu berada di atas, dengan tatapan rendah pada orang-orang di bawahnya.
“Menurutmu aku akan kasihan?”
Lagi, Gween memberi sebuah gelengan tanpa berhenti mengusap lembut leher Langit yang tak ia sangka setiap sentuhan mereka masih memberikan efek yang sama.
Darahnya berdesir secara terbalik. Aneh, bukan? Iya. Seaneh itu dirinya.
Ketika berhasil membuat pria ini membencinya, kini ia berharap hal sebaliknya. Langit memandang ia seperti dulu. Tatapan lembut serta senyum merayu.
“Aku hanya ingin membuat penebusan.” Sebagai seorang istri yang bersalah karena telah meninggalkan suaminya. Menarik napas dalam, Gween menurunkan tangan, sebelum ia benar-benar terbuai dan hilang akal sehatnya.
Dulu ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang ia mau.
Seperti kini, ketika iblis berbisik, memaksa ia melanjutkan rencana Malla. Ya ... manfaatkan Langit agar bisa ia miliki selamanya. Bukankah ia kini sendirian? Tak ada siapapun dalam hidupnya selain janin dalam perut yang entah bagaimana nasibnya nanti. Gween tak tahu apakah ia benar-benar siap menerima benih ini.
Tapi ... sampai kapan ia harus melakonkan peran jahat, jika yang ia dapatkan kemudian hanya harapan tak bertali.
Gween tak ingin ambisi meleburnya ke dalam bara api. Kali ini ... ia ingin menyerah saja dan membiarkan semesta menentukan alur hidupnya.
Apapun takdir yang menanti, Gween harus siap menerima semuanya, karena berharap menuai bahagia atas ego yang ia tanam selama ini jelas hal yang sia-sia.
“Kalau begitu aku harus memberikan balasan yang setimpal, kan?”
Menatap rahang yang mengetat di hadapannya, Gween terpejam erat.
Nyatanya sakit di balik dada bukanlah karena kebencian Langit padanya. Namun, Langit Biru yang kehilangan cahayanya.
*
Pria itu mencengkeram kian erat rambut wanita di hadapannya kala yang ia dapatkan adalah pancaran menyerah, ketika ia pikir wanita ini akan menyangkal penuh pongah.
Di mana dagu yang selalu terangkat tiap kali pembenaran selalu dicetuskan lantang kala melakukan kesalahan.
Gween menyerah, entah karena benar-benar pasrah, atau karena ada tipu muslihat lain yang ingin dilakonkan. Langit tak bisa menerkanya, karena ketika wanita ini menyeretnya ke pusara kelam itu tanpa hati, Langit bersumpah untuk tak lagi menyerahkan seluruh rasa percayanya pada wanita ini.
Menarik napas, menekan marah yang entah mengapa kian mengkungkung diri, rahang pria itu mengetat dengan sepasang mata membara. “Kalau begitu aku harus memberikan balasan yang setimpal, kan?”
Dan ketika tanyanya dijawab dengan sebuah anggukan, amarah itu meluap tak terkendali. “Kamu harusnya menentangku!” pekiknya sebelum ia banting kursi yang Keenan jadikan tempat hukuman Gween, lalu kembali pada wanita itu yang tersentak kaget, Langit menarik kasar pinggul Gween, meremasnya kala tanpa jeda ia alirkan seluruh emosi pada lumatan di bibir Gween yang hanya bisa mengepalkan tangan di belakang punggung Langit.
Untuk yang kedua kali, setelah jebakan yang Elzir lakukan waktu itu, Gween mendapatkan ciuman yang tak seindah masa romansanya bersama Langit dulu.
Meliarkan jemari pada punggung Gween dan terus beranjak hingga rahang wanita itu. Langit, dengan wajah memerah mencengkeramnya kuat, tak peduli pada lebam di sudut bibir yang diciptakan oleh Keenan. “Aku benar-benar membencimu.” Meski nyatanya ia tak benar-benar tahu apakah hasrat yang ia miliki saat ini benar-benar benci, atau karena masih sakit hati. Dia tak bisa membedakannya, karena benci yang ia gaungkan berdampingan erat pada rasa yang masih enggan pergi dari sudut hati yang berusaha ia tutupi.
“Aku benar-benar membencimu.”
Bersama tatapan dendam yang tak pernah Gween bayangkan akan ia dapatkan dari seorang Langit Biru, mendorong tubuh wanita itu untuk merapat pada dinding usang yang mengelilingi mereka, menyekap bersama aroma panas dan pengap. Langit, menekan tubuh pasrah itu. “Aku katakan aku akan memberikan balasan yang setimpal!” Ingatnya lagi seolah berusaha menakuti Gween yang hanya mengangguk menerima terpaan panas napas Langit di lehernya, dan ia anggap itu adalah buaian cinta. Terlalu naif.
Sialan! Wanita ini harusnya menentangnya, agar Langit benar-benar merasa sedang berhadapan dengan Gween cucu Janu Citaprasada. Wanita yang menyakitinya. Wanita yang menjebaknya pada dunia kelam yang merusak nyaris separoh hidupnya.
Dengan gerak tergesa, satu tangan menekan punggung Gween ke dinding tanpa berniat memberi sedikit belas asih. Langit menggunakan tangannya yang lain untuk melepaskan birahinya yang menggelegak kuat. Hanya wanita ini yang memberinya efek seperti ini. Hanya Gween, dan ia membenci rasa ini. “Sialan kamu, Gween. Sialan!” makinya, dengan rahang kian mengetat, urat leher yang menonjol jelas, Langit menurunkan secara paksa, secarik kain pendek berbentuk celana yang menutupi tubuh bagian bawah Gween yang menahan napasnya.
Tidak dengan cara kasar. Tidak lagi tanpa kelembutan.
Gween tahu ini pasti sangat sakit. Pasti lebih sakit ketika Langit menyentuhnya di hotel Kaisar.
Tapi tidak, harapannya itu jelas tak terkabul, ketika di bawah sana, ada jemari yang menyentuhnya. Membuka jalan di dalam dirinya yang belum siap untuk apapun yang akan Langit berikan, Gween menggigit bibir bawahnya dengan keras, ketika tak lagi jemari Langit yang memasukinya.
Mereka kembali menjadi satu. Hanya saja kali ini, penyatuan yang terjadi, terlalu jauh dari kata nikmat seperti yang wanita itu terima dulu.
“Ssst!” Mendesis pelan, Gween menahan tangan Langit yang ingin memeluk perutnya ketat.
Tidak di sana. Jangan di sana.
Dan seakan mengerti pada ingin wanita yang sedang ia kuasai dengan seluruh birahi penuh emosi, tak tahu juga mengapa kali ini ia peduli. Langit menjatuhkan jemari pada pinggul wanita itu dan tanpa kelembutan, ia hentakan dirinya pada Gween yang menjadikan dinding sebagai tumpuan agar tubuh yang dikuasai rasa sakit itu tak segera runtuh.
Dia akan menerima balasan atas apa yang ia lakukan dulu. Dan meski ingin melolongkan kata ampun, Gween menekannya kuat, membiarkan kata itu tertanam di tenggorokan yang menggeram, tak kuasa menahan pedih di bawah sana.
Langit benar-benar membalaskan dendamnya. Dan ya ... mungkin memang hanya dengan cara ini, Langit bisa mencipta sakit yang sama seperti yang pria itu rasakan dulu.
Mendongak, masih dengan penyatuan yang tak kunjung ia lepaskan, Langit terpejam mendesah di tengah rasa sakit yang menghantam dadanya. Ini terasa sangat menyenangkan, sekaligus mematikan. “Aaaah!” Terus bergerak, kini dengan kedua tangan mencengkeram dada wanita tak berdaya di hadapannya, Langit meremas kuat benda yang seolah ikut pasrah di balik telapak tangannya.
Peluh keduanya banjir, desah parau nikmat dan kesakitan itu bersatu, menari di udara. Namun semua terdengar seperti jeritan di dalam neraka. Gween menyerah. Gween akan menyerah sebelum geraman kasar dari Langit terdengar, dan ledakan itu terjadi. Gween terpejam, menerima puncak gairah Langit yang tercipta dari sebuah emosi, sebelum kemudian wanita itu jatuh berlutut tepat ketika Langit melepaskannya.
Sakit.
Tidak. Pasti tak sesakit yang Langit rasakan dulu.
Mencoba untuk tak mengeluh, atau membangunkan angkuh yang larut dalam intimidasi Langit, Gween menoleh pada pria yang berdiri di sampingnya, menyimpan kembali bukit gairah itu ke dalam celana yang bahkan tak dilepaskan.
Menunduk, mengangkat dagu Gween agar menatap pandangan sinisnya, Langit berkata. “Kamu menyukai penebusanmu?” Menggeleng, pria itu mengatur napas yang terasa saling berkejaran. “Ini baru permulaan.” Menyentak rahang wanita itu, Langit kembali berdiri. “Aku tidak akan melepaskanmu kali ini.” Mengambil celana pendek milik Gween yang tadi ia buang ke sembarang tempat, Langit melemparkan benda itu pada punggung Gween yang masih diam, meremas kemeja pada bagian dada.
Ini baru permulaan. Ini baru permulaan.
Langit ... mengapa harus sebesar ini ia mencipta benci pada pria itu.
Fated
Dua Puluh
Tak ada luka yang tak sakit. Bahkan sayatan kecil pun tetap satu paket bersama nyeri. Namun besar kecil sebuah luka, bukan masalah jika obat bisa menyembuhkannya. Lalu waktu akan mengeringkannya.
Tapi bagaimana dengan luka yang tak kasatmata? Menguak lebar di balik dada namun tak ada obat yang bisa menjangkaunya. Bahkan ketika berpikir semua itu akan lenyap seiring waktu yang terus bergulir, namun ia salah.
Gween meninggalkan Langit. Sengaja membiarkan benci tumbuh dalam sanubari pria itu agar tak ada lagi perjuangan sia-sia yang Langit lakukan untuknya.
Ia ciptakan luka yang menganga lebar di hati pria yang selalu melakukan ritual romantis tiap kali mereka bermalam bersama. Lagu cinta akan Langit lantunkan pelan hingga cintanya terlelap dalam rengkuhan hangatnya.
Saat itu ia tahu telah berpikir begitu naif jika luka yang ia berikan pada Langit akan lenyap bahkan tak bersisa ketika pria itu menemukan cinta yang baru.
Iya. Dia siap jika dirinya tak lagi menduduki posisi ratu di singgasana hati Langit. Singgasana itu juga telah ia hancurkan bukan?
Pun dengan dirinya yang mencoba menghapus bayang pria itu, hingga sebuah televisi menjadi benda yang ia benci ketika dua tahun setelah ia tinggalkan pria itu, Langit kembali hadir dengan penampilan yang berbeda.
Pria itu memanjangkan rambutnya. Hal yang tak pernah Gween suka karena menganggap seorang pria sepantasnya berpenampilan rapi dan bersih.
Ketika bersamanya, mulai menjalin asmara, Langit rajin memotong pendek rambut sesuai dengan keinginan Gween. Wanita yang kata pria itu adalah denyut nadinya.
Langit dengan celana jeans dan kaos oblong juga telah menjadi ciri khasnya. Penampilan yang tak rapi entah mengapa menjadi jati diri pria itu kini.
Tidak. Gween memutuskan untuk tak peduli. Segala hal yang bisa membuatnya melihat sosok pria itu akan ia jauhi dan berharap begitu juga dengan Langit.
Berusaha melupakannya, mengobati sedikit demi sedikit luka yang Gween cipta.
Tapi ... tepat tahun lalu, ketika ia harus mengurus surat cerainya dengan Langit demi lancarnya acara perjodohannya dengan si mantan tunangan sialan yang kini sudah bersama seorang pembantu itu, Gween tahu jika waktu tak berhasil menghapus luka yang ia suguhkan secara paksa pada Langit beberapa tahun lalu.
Ketika bertemu, Gween yang tadinya hanya sendiri menemui pria itu kemudian memutuskan untuk membawa Regina ikut serta mengurus perceraiannya yang tak berlangsung rumit di Las Vegas. Sebuah tempat yang membantu pasangan kawin lari, dan mempermudah sebuah perceraian. Sungguh. Aura Langit yang tak banyak berbicara saat itu terasa begitu menakutkan dan mengintimidasi. Iya. Untuk pertama kali, setelah rasa takut muncul lantaran tak ingin Janu mendepaknya jika ia memilih Langit, menyeruak kembali saat mata bertatap mata dengan pria itu setelah sekian lama perpisahan mereka.
Dan sejak itu ia tahu jika Langit masih menaruh benci dan sakit hati yang begitu besar padanya.
Waktu tak berhasil membuang luka Langit yang ada karenanya. Dan ya ... nyatanya waktu juga tak berhasil menghapus sebuah rasa di balik dada Gween untuk pria yang kini bersedekap menatapnya.
Gween ingin mengenakan celananya kembali, tapi tidak dengan diperhatikan sepasang sorot tajam itu.
Menggigit bibir bawah bagian dalam, sambil menahan ringisan karena sakit pada pusat tubuhnya, ia lalu berdiri sambil menggenggam erat hotpants biru tanpa dalaman yang tak Langit kembalikan padanya. Benda itu ada di dekat pintu.
“Mau sampai kapan kamu di sini?”
Gween mendesah. Setidaknya ia masih bisa bersyukur karena kemeja yang ia kenakan mampu menutupi paha mulusnya.
Gween membasahi bibir dan menatap Langit yang menyugar rambut.
Tapi jika dilihat lagi ... Langit cocok dengan rambut gondrong itu.
Ya ampun!
Gween ingin memukul kepalanya yang berpikir secara terbalik ini.
Semestinya ia marah pada perlakuan Langit padanya barusan, kan? Atau setidaknya sakit hati atau ya ... setidaknya abai saja bukan malah mengagumi.
Apa ia terlalu bodoh? Terlalu mudah luluh? Oh tidak. Dia hanya tak bisa membenci.
Karena yang membuatnya seperti ini adalah Langit.
Dia gila?
Tidak. Dia hanya sedang menyesal.
Berbalik, Gween mengenakan celananya dengan begitu pelan seolah ia tak mau lelaki di belakangnya yang menyorot bak anak panah melihat apa yang sudah pria itu sentuh dengan kasar tadi.
Sia-sia, ya?
Klik!
Mendengar suara kunci dan menyusul pintu terbuka, Gween menoleh ke belakang dan Langit sudah tak di sana. Pria itu sudah keluar. Mempercepat mengenakan celananya, ia beranjak dan berhenti sebentar untuk mengambil kain segitiga berwarna putih di dekat pintu sebelum keluar dan terdiam melihat sebuah halaman penuh dengan beberapa jenis binatang di dalam kotak jeruji menyambut dirinya.
Baiklah. Selain Janu dan Langit. Yang ia takuti berikutnya adalah binatang yang tanpa akal bisa kapanpun membahayakan manusia dengan insting hewani mereka.
Merinding dengan koleksi binatang yang ia tebak milik Keenan, mengingat pria bangsat itu penyayang binatang seperti kelakuan Keenan sendiri, wanita itu meliarkan pandangan mencoba mendapati sosok Langit yang sudah pergi.
Segera mencari pintu keluar, menghindar dari gudang pengap dan halaman penuh binatang yang beberapa bergemerisik, bersiul, mendesis dan melolong, Gween menggerakkan dengan cepat kaki jenjangnya dan ia masuki sebuah pintu menuju bangunan yang ia sebut rumah.
Pintu itu tertutup namun tak terkunci.
Sebuah ruang keluarga segera nenyambutnya bersama aroma maskulin begitu kental, warna gelap yang menunjukkan jati diri seorang Keenan ditemui di beberapa bagian dinding yang dikombinasi warna abu. Ini adalah kediaman Keenan, karena ia tahu benci Langit padanya tak mungkin mengubah kesukaan pria itu pada warna putih dan biru. Hitam dan abu? Langit bisa menjadi begitu kelam, namun mengubah warna kesukaan?
Belum puas mata mengaggumi tata interior rumah milik Keenan yang tak ia sangka bisa serapi ini—mengingat pria itu dulu hanya memiliki rumah gubuk di pinggiran kota sebelum akhirnya Langit memperkerjakan Keenan di perusahaan milik keluarga Langit sebagai satpam, setelah pria itu entah mengapa begitu baiknya melunasi hutang-hutang Keenan—suara mesin mobil membuat Gween meninggalkan ruang tamu dan ia tak memperhatikan ruangan yang ia lewati berikutnya karena Gween hanya menyusuri beberapa pintu mengikuti sumber suara.
*
Gween tiba di sebuah halaman yang tak begitu luas. Dan tepat di depan rumah yang bercat coklat ketika Gween berpikir adalah abu-abu, mobil yang ia terka milik Langit sudah berada di pinggir jalan tak begitu besar.
Gween bergerak mendekat, sebelum kemudian kembali menatap rumah berlantai satu dengan model minimalis milik Keenan sebelum keningnya mengernyit dalam. Sebentar. Keenan mengubah gubuknya menjadi rumah ini. Gween lalu mengitari lokasi sekitarnya. Dia berada di kampung pinggir kota. Tempat ini cukup jauh dari rumahnya. Tapi ... memangnya Langit akan mengantar dirinya pulang?
Mendekati kendaraan Langit setelah ia tarik napas dalam, Gween masuk ke kendaraan yang pintunya tak terkunci. Duduk di samping Langit yang berada di balik kemudi Gween membuka suara. “Kita mau ke mana?”
Tak segera menjawab, Langit diam sejenak lalu menatap Gween dengan gelengan pelan. “Menurutmu?”
Setengah ragu, Gween menjawab. “Ke ... rumahmu?”
Dan dengkus geli menyambut jawaban Gween yang diucapkan penuh rasa tak yakin. “Sudah tidak ada tempat untukmu di rumahku.”
Segera saja Gween mengerjap dengan nyeri menyentak ulu hati.
Sudah tak ada tempat untuknya. Baiklah dia mengerti.
“Tapi bukankah kamu masih harus melakukan penebusan, Gween?” Setiap kata yang diucapkan tanpa nada oleh Langit, Gween jawab dengan anggukan. “Aku tahu kamu bukan pengecut. Bahkan ada kesempatan untuk kabur pun tidak kamu manfaatkan.” Langit menelengkan kepala menatap wanita di sampingnya.
Kabur. Ah ya ... harusnya kabur. Tapi sampai kapan ia harus lari setelah selama bertahun-tahun ia sembunyikan rasa bersalah. Menganggap apa yang dilakukannya pada Langit bukan hal yang perlu dipikirkan, tapi mimpi buruk yang berasal dari penyesalan sering kali menghampiri.
Gween menggeleng. Dia tidak bisa terus hidup dalam rasa bersalah. “Aku bukan pengecut, kan?” Ia tersenyum begitu tipis sebelum lenyap karena tatapan sinis Langit padanya.
“Ya.” Pria itu menghadap ke depan, mencengkeram erat setir, berusaha tak menunjukkan emosinya pada Gween. Entah. Ia hanya benci dengan semua rasa pasrah wanita ini, seolah kini ia yang keji, menindas seseorang yang sedang tak berdaya.
Hening, untuk beberapa saat keduanya membiarkan helaan napas mengalahkan sunyi. Langit membuka suara kembali. “Kamu tahu? Aku selalu suka cara berpikirmu yang rasional. Jadi ... aku akan membuat sebuah pertanyaan.” Langit menoleh pada Gween yang menunduk dalam memperhatikan jemari kuku yang masih tampak cantik hasil perawatan satu minggu lalu.
“Jika kamu menjadi aku. Apa yang akan kamu lakukan?”
Langsung mendongak, Gween mengernyit bingung.
Paham pada arti kernyitan di kening wanita di sampingnya, Langit mengulangi tanya dengan kalimat lebih spesifik. “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu menjadi aku. Ditinggalkan seorang suami di pernikahan yang baru berusia satu minggu. Aku mengusirmu, ketika kamu datang mencoba untuk mempertahankan rumah tangga yang masih terlalu muda. Muak dengan setiap kedatanganmu. Lelah, karena kamu terus memaksa aku untuk kembali denganmu, kemudian aku memutuskan untuk menjebakmu. Aku menghancurkan karirmu, membuatmu benar-benar tidak bisa menemuiku lagi.”
Diam, Langit bersama sorot penuh kebencian itu masih menatap ke depan, menahan ganjalan duri di balik dada tiap kali ia ingat bagaimana ia yang terus berusaha mempertahankan rumah tangganya yang dibangun bersama mimpi dan cinta. Berharap di sana kelak akan lahir buah asmaranya dengan sang istri, memberikan keceriaan kepada mereka dengan begitu berlebih.
Pria itu diam beberapa saat, memberikan siksaan pada Gween yang mencengkeram erat sisi baju, sambil berusaha menahan sakit di ulu hati yang merambat naik hingga tenggorokkan dan panas wanita itu rasakan di ujung hidung hingga sepasang mata yang memerah.
Bibirnya gemetar, tanpa berani ia tatap Langit yang begitu jelas menahan emosi dengan menekan rahang hingga bergetar.
“Ketika akhirnya kamu bisa menata hidupmu kembali dengan air mata dan darah, tiba-tiba aku datang. Aku akan menikah. Dan aku harus memiliki surat cerai pernikahan kita. Sekali lagi, aku menghancurkanmu dan aku tidak peduli. Tidak. Aku akan mendapatkan pasangan yang layak. Lebih hebat darimu. Lebih kaya raya, memiliki jabatan tinggi. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah kamu miliki.”
Cukup!
Batin Gween berteriak. Tak sanggup menerima semua ucapan Langit yang terasa seperti sebuah siksaan untuknya.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan orang sepertiku ketika kamu memiliki kesempatan untuk membalaskan semua rasa sakit hatimu. Apa yang akan kamu lakukan untuk orang yang sudah menghancurkan hidupmu. Pernikahanmu. Semua mimpi-mimpimu.” Menarik napasnya dalam, Langit mengerjap, membuang taburan air mata yang sudah berkumpul, siap luruh dan menunjukkan kelemahannya.
Memberi jeda untuk menenangkan emosi yang bergejolak, pria itu menoleh pada Gween yang tubuhnya menghadap ke jendela, tanpa Langit tahu jika wanita itu tengah berusaha meraup oksigen yang tak mampu masuk ke dalam paru-parunya. Menekan pelan, dan beberapa kali memukul dadanya yang terasa begitu nyeri, Gween berusaha melenyapkan semua lara yang memeluknya erat namun tak mampu.
“Meng ... menghancurkannya.” Bergetar, wanita itu menjawab.
Meraih bahu Gween, Langit membuat wanita itu menatap lagi kobaran kebenciannya. “Menghancurkan apa?! Semua yang aku miliki?! Itu tidak akan mudah! Karirku sudah berdiri dengan kokoh! Kamu tidak bisa membalaskan dendammu dengan meruntuhkan karirku!”
Menyelami seluruh amarah Langit dengan tatapan beraninya, Gween menggeleng tegas.
Tidak. Membalas pengkhianatan Mahesti, Janu tak membuang wanita itu. Tidak. Janu menghancurkan batin Mahesti. Menghancurkan hati dan buah cinta wanita itu. Memupus semua mimpi Mahesti yang akan hidup bahagia bersama Sadewa. “Menghancurkan hidupmu. Aku akan menghancurkan hatimu, jiwamu. Membuatmu tetap bernapas tanpa sebuah harapan. Aku akan membuatmu mati dalam raga yang masih bernyawa.”
Membiarkan peperangan emosi dan rasa bersalah dengan tatapan dalam, Langit menyentak kasar bahu Gween sebelum senyum lebarnya mengembang. “Aku menerima jawabanmu.” Menatap ke depan, Langit menggerakkan tongkat perseneling. “Caramu berpikir memang tidak pernah mengecewakan.”
Melajukan kendaraannya, Langit mengabaikan Gween yang merasakan kehancurannya yang pertama. Bernapas, tanpa mampu berharap jika ia bisa menghapus setiap benci Langit padanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
