
Fated
Sebelas
Senyap tak melulu mencipta sepi. Pun dengan ramai yang tak selalu mampu membunuh sunyi. Ya ... seperti saat ini, di pusat sebuah ruangan, duduk di kursi jati berukir cantik. Denting sendok dan garpu yang saling bergantian mencumbu piring menjadi satu-satunya alunan yang mendominasi. Sangat tenang, bahkan hela napasnya saja nyaris tak terdengar. Namun, tak ada rasa sepi meski secara nyata ia sendiri menikmati sarapan pagi di saat dalam istana megah itu tak hanya ia yang menjadi penghuni.
Terlalu terbiasa, akhir-akhir ini menikmati sarapan dengan ditemani deretan kursi kosong, dan jajaran makanan yang mampu mengusik dendang keroncong yang dilantunkan perut dan sekumpulan cacing kelaparan. Hingga untuk meratapi sepi di saat seperti ini menjadi hal yang tak berarti.
Dia terlalu enggan peduli pada keluarga yang memiliki kesibukannya sendiri-sendiri hingga lupa jika mereka adalah keluarga yang harus melewati semuanya bersama-sama. Ah ... ya ampun. Dia ini lupa apa bodoh? Keluarga bagi orang-orang yang menemaninya sejak kecil ini kan hanya aset. Sesuatu yang bisa diperjualbelikan dengan mudah. Lalu dibuang kala tak berguna lagi.
Jadi sudah lah. Biarkan saja.
Biarkan saja, Janu Citaprasada sang kakek yang biasa mengembangkan dada dan sikap pongahnya tersudut pilu di dalam kamar tanpa ia tahu apa yang sebenarnya Janu ratapi. Aib yang terbongkar? Sungguh. Orang-orang bahkan hanya bisa memaki tanpa mampu merobohkan istana kejayaan Citaprasada. Lalu apa yang membuat Janu terlalu berlebihan? Mengurung diri di kamar, dan hanya keluar di saat mendapat kabar jika cucunya, Gween dikabarkan tidur dengan seorang penyanyi papan atas yang bagi Janu hanya seorang pengamen rendah tak bermasa depan.
Keluar untuk memberikan makian dan tamparan. Lalu mengancam sebelum kembali mengurung diri di kamar.
Ya ... biarkan saja. Sama seperti ia yang harus membiarkan Malla sang ibunda yang kini kian menjadi gila, bergonta-ganti pria seolah lupa jika sudah memiliki putri yang dewasa. Semestinya, semakin tua, semakin mapan kelakuannya. Bukannya kian beringas dengan mengobral tubuh pada pria-pria muda.
Ya ... biarkan saja kegilaan Malla yang lebih gila dari Mahesti namun malah membuat kepala lebih cenat-cenut rasanya. Terus saja merongrong meminta dibantu bebas dari sangkar megah ciptaan Janu sang suami, demi bisa bertemu cucu yang tak pernah ditemui setelah sekian tahun lamanya.
Sungguh. Bahkan Gween memilih menyerahkan kepalanya pada sebuah truk dan digilas hancur dari pada mendatangi seorang Greya demi sang nenek, Mahesti, kemudian berkata lembut; “Greya, Nenek kita mau bertemu.”
Ooh ... cih! Ia tak akan pernah melakukan hal rendah seperti itu di hadapan seseorang yang sudah merebut tunangannya.
Tunangannya yang tak bisa ia biarkan saja. Sungguh. Yang satu ini tak bisa ia abaikan, meski tak tahu harus melakukan apa.
Gween tak ingin bodoh dengan menjebak Elzir untuk menidurinya. Meski itu hal gila yang sempat terlintas di kepala. Tapi oh ayolah. Ia tak semurah itu. Ingatkan jika dirinya bukan Malla.
Namun sungguh. Gween harus mendapatkan Elzir agar ia bisa menjadi seorang nyonya sesungguhnya tanpa ada bayang-bayang Janu Citaprasada yang dianggap dalang kesuksesannya.
Ah ... bahkan untuk bisa duduk di kursi tertinggi d perusahaan seperti ini ia harus merangkak susah payah terlebih dahulu. Janu tak memberinya posisi spesial layaknya seorang cucu. Ia dipecut untuk bisa berdiri dengan tegap. Tak dibuai sayang sambil berleha santai di kursi kebesaran. Tapi pengorbanan itu dianggap sebelah mata oleh orang di luar sana. Karena mereka tetap menganggap jika keberhasilan Gween adalah berkat uluran tangan Janu yang mengasihinya.
Ah ... pengorbanannya tak seujung jari hingga hanya mendapatkan pandangan remeh para penjilat kaki Janu Citaprasada.
Sebentar. Dia masih mengunyah sandwich tuna kesukaannya. Haruskah membayangkan para penjilat menjijikan itu?
“Gween....”
Rahang terkatup pun dengan mata yang sontak tertutup. Menghela napas lelah, Gween mengintai pelan dari segaris celah kelopak mata yang perlahan terbuka, menyorot wanita tua di atas kursi roda yang sudah berada di seberang meja.
Sepagi ini. Haruskah Mahesti merusak harinya dengan pertanyaan, “Kapan kamu bantu Nenek bertemu Greya?”
Oh ya ampun. Dia masih emosi dengan hinaan dan tudingan para netizen Indonesia yang masih tak terima ia memiliki skandal dengan Langit, penyanyi papan atas yang kini memiliki begitu banyak idola. Orang-orang di luar sana bahkan mulai membandingkan dirinya dan Malla. Anak pelakor yang menjadi pengkhianat. Sialan! Bahkan ia yang dikhianati oleh seorang Elzir, pria bermuka dua!
Bisa-bisanya dalam kasus ini dirinya yang mendapatkan hujatan, sementara tunangannya yang jelas-jelas mengkhianatinya mendapatkan lemparan pujian.
Lalu di saat ia masih memaki sekumpulan orang bodoh yang menghinanya hanya dengan ibu jari, hingga ia matikan kolom komentar akun media sosialnya. Kini Mahesti ingin menambah beban stres di kepala.
Tatapan wanita tua di hadapannya mulai nanar, berkaca-kaca. Oh ... Gween kasihan. Tak tega. Namun permintaan Mahesti begitu berat untuk bisa ia wujudkan.
“Nenek selalu memikirkan Greya, Gween. Saudara kamu. Apa kabarnya dia hari ini?”
Dan setetes air mata itu nyaris membuat hati Gween mencelus. Setidak peduli apapun Mahesti padanya. Ia ingat dulu, Mahesti pernah mengelus puncak kepalanya. Dan meski perhatian itu hanya secuil, bekasnya bahkan masih tersimpan di balik dada. Gween menyayangi Mahesti namun tak bisa melakukan apapun atas permintaan wanita tua itu.
Mempertemukan Greya dan Mahesti. Mengapa tak sekalian memintanya memutuskan Elzir dan merestui hubungan tunangannya itu dengan putri lain ayahnya?
Oh dramatis sekali. Akhir bahagia untuk sebuah kisah yang banyak orang nanti. Tapi sayang, Gween tak sebaik hati itu untuk membuat orang yang menyakitinya mendapatkan akhir kisah yang bahagia.
Andai Greya tak merebut Elzir darinya. Andai Greya tak menjadi alasan Elzir menjebaknya. Pasti ia tak akan sebenci ini pada wanita itu. Oh bahkan tak sama sekali benci. Karena Gween tercipta untuk menjadi iblis bagi seseorang yang mengusik hidupnya dan malaikat untuk seseorang yang tak menjadi racun di hidupnya.
“Gween ... Nenek sudah tua. Kapan lagi harus bertemu Greya jika bukan sekarang?”
Ya ampun.
Gween mengerjap. “Nenek tahu jawabannya sama. Aku tidak bisa membantu.”
Oh ... sandwich tuna yang malang. Terpaksa Gween tinggalkan karena ia tak mau luluh oleh permintaan yang sudah berulang kali Mahesti luncurkan.
Bunyi decit kala kursi yang ia duduki tergeser. Lalu berdiri, meninggalkan piring yang masih terdapat setengah lebih sandwich tuna kesukaannya. Mahesti kembali bersuara dan hela napas Gween terasa kian berat.
Tak dipungkiri ada secuil sedih muncul di sudut hatinya. Untuk seorang cucu yang tak pernah ditemui, Mahesti bahkan sanggup memohon. Tapi untuk dirinya ... Mahesti terkesan membenci meski Gween tahu wanita tua itu begitu hanya karena perasaan bersalahnya pada Sadewa. Tapi ... Gween adalah cucu yang tak berhak mendapatkan balasan atas kesalahan ibunya.
“Nenek tahu kamu bisa bantu. Nenek mohon.”
Menggeleng, tanpa menatap pandangan sayu Mahesti, Gween menjawab tegas.
“Tidak akan, Nek.”
*
Saat ini ia tak ubahnya seperti Janu. Bersembunyi dalam kamar. Namun ia tak seperti Janu yang tak tahu mengapa harus terus berkurung diri. Karena seribu orang mencaci pria tua itu, maka ada seribu satu penjilat yang membela suami Mahesti itu. Berbeda dengan dirinya. Seribu orang mencaci, setengah jiwa pun tak ada yang mau membelanya.
Dia bersembunyi dalam artian sesungguhnya. Masih terbayang aroma menjijikan telur busuk yang dilemparkan padanya hari itu. Masih ingat betapa ia sulit membersihkan diri dari lendir bau yang nyaris membuatnya frustrasi malam itu.
Berulang kali mandi hanya karena merasa aroma telur busuk seolah enggan lenyap dari tubuhnya. Ya ... meski sebenarnya aroma itu telah hilang, tapi akhirnya ia menghabiskan malam dengan berendam hingga kulit tubuhnya menjadi keriput dan pucat. Ia takjub ketika pukul empat pagi masih bisa bernapas dan sadarkan diri. Ia pikir air bisa membuatnya mati. Oh tapi tidak. Ia tak selemah itu. Iya. Meski jika diingat lagi, bukan hanya perkara telur saja yang membuatnya nyaris gila.
Sialan!
Kenapa harus mengingat apa yang pria itu ucapkan? Oh ... atau mengingat betapa bodohnya ia yang menurut begitu saja ketika diminta untuk tak muncul lagi?
Gween benci pada nyali yang mendadak ciut jika dihadapkan pria itu. Sungguh. Rasa bersalah membuatnya tampil begitu bodoh.
Rasa bersalah. Sebentar. Mengapa harus terus merasa bersalah di saat yang ia lakukan hanya lah meninggalkan pria itu? Meninggalkan dengan sedikit drama tentunya. Ia hanya melakukan sesuatu yang ia anggap benar. Meninggalkan pria itu begitu saja jelas tak mudah karena Langit pasti akan berjuang untuk mendapatkannya kembali dan itu bukan hal baik untuk karirnya. Jadi ... jadi mengapa ia harus mengingat masa lalu itu lagi yang terus berhasil mencipta desiran aneh di balik dada.
“Sial!”
Dari ranjang yang ia duduki, Gween segera bangkit meninggalkan laptop yang mampu membuatnya waras hingga saat ini. Setidaknya pekerjaan di saat ia tak bisa keluar dari rumah menyelamatkannya dari kematian yang membosankan.
Mendengkus kasar, wanita itu bergerak menuju jendela, berusaha mengusir bayang-bayang dan segala ingatan tentang pria itu yang kembali mengusik dirinya setelah kejadian hari itu. Kejadian yang diinginkan oleh Elzir, lelaki brengsek. Oh ... sudah betul dirinya yang tak berusaha mencintai keturunan Abelard itu dan hanya menganggapnya sebagai batu loncatan. Karena Elzir bahkan tak berhak mendapatkan secuil saja rasa sayangnya.
Mestinya dulu, di hari ulang tahunnya ia tak hanya mendorong pria itu ke kolam. Tapi dari atas gedung agar mati saja sekalian.
Gween dan pikiran gilanya. Apa sekarang dia mulai tak waras? Lendir telur busuk mulai merusak sel-sel di kepala?
Mendengkus lagi. Gween menyibak tirai jendela dengan gerakan kasar, sebelum ia dibuat terpaku pada pemandangan di luar pagar rumah yang terlihat meski samar. Tapi dia tahu siapa orang yang netranya tangkap kini. Ia tahu siapa orang yang sialan sekali, bermesraan di pinggir jalan, seolah tak memiliki dinding untuk menyembunyikan keharmonisan yang membuat perut Gween seketika mual.
Elzir dan pembantu pria itu yang sudah resmi menjadi tetangga depan rumah.
Bagaimana bisa orang yang membuat hidupnya terpenjara seperti ini hidup tenang dengan akhir kisah yang bahagia, sedangkan ia harus menghindari cacian, hanya karena terlibat skandal dengan seorang penyanyi papan atas.
Orang-orang itu mencacinya seolah ingin ia lenyap dari dunia. Padahal apa yang ia lakukan pada Langit? Tak ada. Pria itu yang melakukan sesuatu padanya hingga sampai detik ini ia tak berhenti dihantui rasa khawatir.
Tapi ini juga karena dua sejoli yang masih berdiri di pinggir jalan itu, yang tak berhak mendapatkan bahkan secuil kebahagiaan.
Gara-gara mereka, Gween harus melalui waktu tak tenang dengan terus memeriksa kalender, dan menanti-nanti kapan jadwal bulanannya tiba.
Oh ya ... jelas tak mungkin ia hamil di saat seperti ini, kan? Mau ia apakan bayinya nanti? Lalu apa yang akan Janu lakukan jika benar itu terjadi. Dan Zinta pasti berbalik tak mempercayainya dan ... jangan katakan ia akan kehilangan semua kemegahan ini.
Janu bisa mendepaknya seperti pria itu mendepak putranya sendiri.
Di tempatnya Gween merasa menggigil. Janu benar-benar akan mendepaknya dan semua yang ia rintis harus berakhir begitu saja?
Sialan! Ia tak berhak mendapatkan semua penderitaan ini. Yang berhak hanya Elzir dan pembantu pria itu. Bukan dirinya.
Fated
Dua Belas
Wanita itu masih di kamarnya, melakukan pekerjaan seperti biasa. Di rumah, bukan berarti ia menikmati secangkir kopi hangat, di sudut taman, sembari menatap riak kolam yang bergerak mengikuti hembusan angin. Atau, menjadi penikmat belai lembut air kolam itu sendiri, di bawah terik mentari untuk memberi sedikit warna lebih gelap pada kulit tubuhnya yang berwarna putih pucat.
Bahkan hari libur di saat seharusnya ia menikmati waktu dengan bersantai menonton drama korea yang banyak digandrungi masyarakat Indonesia—dibanding sinetron negara ini sendiri yang entah melakonkan kisah apa, terpenting panjang episodenya, dan banyak pemainnya—atau memanjakan diri yang terlampau lelah karena terlalu banyak duduk di balik meja kerja, dengan pergi ke salah satu tempat perawatan tubuh. Gween malah memanfaatkan waktu liburnya dengan menyelesaikan pekerjaan yang ia bawa pulang ke rumah, seolah dengan begitu ia akan mendapatkan pendapatan lebih.
Menjadi pemimpin di perusahaan milik Janu Citaprasada sang kakek, bukan berarti ia mendapatkan apapun yang ia mau termasuk gaji besar dengan berbagai fasilitas. Dia hanya boneka yang setiap jemari tangan dan kaki terikat tali untuk digerakkan sesuka hati oleh seorang Janu.
Jabatannya yang ia dapatkan saat ini, bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan semu. Janu hanya meminjamkannya, sampai batas waktu yang belum ditentukan. Dan mengapa ia tetap bertahan, adalah karena dia menyayangi Janu, karena belum menemukan lelaki yang bisa membuatnya lepas dari belenggu sang kakek sekaligus mampu mengangkat derajat dan kehormatannya—lupakan Elzir yang sudah masuk dalam daftar hitam sebagai calon suami. Gween berpikir pria itu lebih layak dijadikan musuh yang diharapkan mati, dibanding suami—Karena ia masih membutuhkan uang dari Janu Citaprasada, dan terakhir karena ia sudah terlanjur melompat ke dalam belenggu sang kakek.
Untuk sampai dititik ini bukan hanya waktu, harga diri, dan tenaga yang ia buang percuma. Namun juga perasaaan yang harus mati. Ia tak berhak memiliki rasa pada siapapun, kecuali pada pria yang Janu pilihkan. Ya ... begitulah hidup yang ia jalani. Dan menyerah sekarang, sama saja memilih mati berdiri.
Tok tok tok!
Berhenti membaca proposal kerjasama dari layar laptop di atas pahanya. Gween menoleh ke arah pintu yang sudah dibuka salah seorang pembantu di rumah ini. Wanita paruh baya, yang sedikit membungkuk sopan. “Non, ada tamu.”
“Tamu? Siapa?”
Pembantu dengan pakaian rumahan biasa, tak seperti keluarga Abelard yang terlalu berlebihan dengan memberi seragam khusus untuk para pembantu yang jumlahnya juga berlebihan, karena di rumah Janu sendiri hanya ada seorang chef, tiga orang pembantu wanita, dan dua orang tukang kebun, ditambah seorang satpam dan sopir.
“Yang perempuan nggak tau siapa, non. Dia mau ketemu tuan. Tapi yang laki-laki ... tunangan non Gween.”
Langsung mencipta lipatan di kening. Gween diam sejenak, berusaha menutupi rasa terkejutnya sebelum ia turunkan laptop dari pangkuan ke atas kasur. “Elzir?” tanyanya sembari turun dari ranjang. “Kakek sudah tahu mereka datang?”
Pembantu wanita itu mengangguk. “Mei yang kasih tau ke tuan besar. Dan kata tuan, suruh mereka masuk. Makanya saya ke sini, kasih tau non Gween.” Pembantu wanita yang masih memegang kemoceng di tangan itu menggigit bibir bawahnya. “Itu perempuannya selingkuhan tuan El ya, non?”
Berdecak, Gween memberikan pelototan sekilas. “Jangan terlalu ikut campur.” Mengikat rambut yang tergerai, Gween segera melimbai ke arah pintu melewati pembantunya. “Kembali bekerja,” titahnya sebelum beranjak menuju ruangan di mana Janu sudah berada di sana. Duduk di sebuah kursi seolah menunggu seseorang datang menemuinya.
Setelah beberapa hari mengurung diri, pria itu akhirnya keluar dari persembunyian dengan senyum merekah. Gween benar-benar tak suka dengan keputusan pria itu. Memasukan sepasang pengkhianat ke dalam tempat tinggal mereka.
*
Berdiri di belakang Janu dengan perasaan kesal, Gween menghela napas berulang kali demi membuang debar kebencian yang bertalu keras di balik dada. “Kenapa Kakek kasih izin mereka masuk?” Harusnya dua orang itu ditendang keluar, bahkan bila perlu berikan caci maki agar tak kembali.
Seolah tak terpengaruh dengan amarah sang cucu, Janu tersenyum tenang, lalu menjawab. “Aku ingin mengakhiri semua lelucon ini.”
Dengkus tak suka Malla berikan dari tempatnya berada. Di salah satu bingkai pintu tubuhnya bersandar, tampak setengah minat menyambut tamu yang akan datang kali ini. “Maksud Papa apa? Papa mau minta maaf?” tanya wanita itu sarkas.
Tak melunturkan senyumnya, Janu menggeleng. “Bukan aku yang seharusnya meminta maaf. Bukan. Aku tidak bersalah.”
“Mas?” Dan dari arah lain, kursi roda membawa Mahesti yang terbebas dari sangkar emasnya. Sedikit heran, karena Janu membiarkan ia keluar kamar tanpa penjagaan. “Ada acara penting apa sampai aku juga diajak untuk berkumpul?” Di atas kursi rodanya, Mahesti menatap sinis sang suami yang terkekeh.
“Akan ada tamu spesial, Mahesti. Tamu yang kamu—aaah mereka sudah datang.”
Ketika pintu tinggi di depannya terbuka, bayangan dari sinar yang membelakangi dua orang tamu yang datang mewujudkan sosoknya lebih dulu sebelum si pemilik bayangan akhirnya muncul dan segera memicu lirih tangis Mahesti.
Ah ... wanita tua itu mengenali pemilik paras cantik yang datang sebagai tamu, bersama seorang pria yang ia kenal sebagai tunangan cucunya, Gween Isabella. Itu Greya. Mantan pembantu keluarga Abelard yang pernah bertemu dengannya namun dulu tak ia kenali sama sekali. Tapi kini ia tahu, sangat tahu, jika wanita itu adalah cucunya yang lain. Cucunya yang hilang, karena kekejaman sang suami.
Langsung menangis, merintih pada wanita yang mengingatkannya pada sang putra, Mahesti menggerakkan kursi roda yang ia duduki, mendekati Greya yang tampak kebingungan.
Wanita tua itu pernah ia temui. Pernah berbincang sesaat dengannya dan mengatakan jika memiliki seorang cucu bernama Greya. Itu dirinya. Namun tak sadar jika ia yang dibicarakan saat itu.
“Ibu Sadewa. Nenek kamu.”
Suara rendah dari sampingnya membuat Greya menoleh, menatap Elzir sebentar, sebelum kembali pada Mahesti yang sudah menyentuh tangannya, mengecup punggung tangan Greya berulang kali, membuat wanita yang akan menyentuh usia dua puluh sembilan tahun itu tak tega.
Ah ... tangan lain mencengkeram erat jemari pria di sampingnya, hati wanita itu mencelus. Neneknya. Wanita yang telah melahirkan ayahnya.
Menunduk, mengikuti tarikan Mahesti, Greya memeluk wanita tua itu yang menangis dengan raungan pilu.
Wanita ini ... juga korban keegoisan Janu, kan?
Tersenyum, menahan air mata yang bisa ia kontrol, tak seperti dirinya yang lepas kendali ketika bertemu keluarga Bulan. Greya melepaskan Mahesti yang terus mengucap maaf, untuk menatap Malla. Wanita yang seusia Andara itu pasti wanita yang ingin merebut ayahnya dari sang ibu.
Melirik sinis pada Malla yang turut mensinisinya, ia beralih pada Gween yang melengos tampak begitu membencinya. Sungguh, Gween sangat membencinya. Namun Greya, tak sama sekali memiliki rasa itu. Alih-alih benci, malah terbersit kasihan karena Gween terjebak dalam keluarga malang ini. Namun melihat bagaimana angkuhnya Gween berdiri di sana, tak sama sekali tampak seperti wanita anggun yang pertama kali Greya jumpai dulu. Membuat setengah hati Greya mensoraki sosok Gween yang harus tertimpa malang karena keegoisan Janu.
“Aku tidak menyangka jika kalian yang akan merendahkan diri untuk datang ke sini.”
Ketika atmosfer terasa tenang tanpa suara manusia selain desau angin dari luar, Janu membuka suara, menciptakan kesal dalam diri Elzir yang begitu ingin mencekik leher pria tua itu. Namun ia tahu kedatangannya hanya untuk menemani Greya dan melindungi wanitanya. Tidak untuk ikut campur. Tidak. Dia sudah bekerja ekstra keras untuk membuktikan semua kebobrokan Janu Citaprasada. Sekarang ia cukup mendengarkan pengakuan pria tua itu.
“Ah ya ... Sadewa juga tidak mungkin datang ke sini untuk meminta maaf, kan? Dia sudah tidak ada.”
Merasa tak pantas seorang ayah mengungkit kematian putranya sendiri dengan begitu santainya, Mahesti dengan lantang membentak. “Mas!”
“Apa? Aku benar, Mahesti. Sadewa membutuhkan perwakilan untuk merendahkan diri di hadapanku dan siapa sangka dia mengutus anaknya yang datang dengan calon suami saudaranya sendiri, Gween.”
Greya yang hanya mendengar nama Janu saja sudah merasa emosinya meledak-ledak, kini kian menjadi ketika dirinya dengar langsung bagaimana Janu menghina Sadewa dan dirinya..
“Katakan maksud tujuanmu, lalu kita pergi.” Elzir yang sudah tak tahan, membisiki Greya. Ia ingin semua ini cepat berakhir, lalu mereka pergi. Rasanya memuakkan berada satu tempat dengan manusia sepertu Janu.
Menarik napas untuk menyabarkan diri, Greya menatap sinis pada Janu. “Mengapa Anda tega menyakiti Papa seolah dia bukan manusia yang patut Anda kasihani? Kedatangan saya hanya untuk mendapatkan jawaban dari seorang ayah yang memperlakukan anaknya seperti binatang.”
Mendengar tanya Greya yang begitu berani, Gween segera menatap kakeknya. Pertanyaan ini, sudah lama ia nanti. Hanya saja, tak memiliki nyali untuk melontarkannya.
Janu Citaprasada, adalah pengusaha sawit sukses. Berawal dari perkebunan sawit yang berjalan dengan sangat baik, Janu mencoba membuka sebuah pabrik minyak dengan kualitas terbaik. Awalnya semua terlihat kecil, sebelum pria itu mengembangkan sayapnya pada bisnis properti, kemudian tak berhenti di sana, seolah bingung akan digunakan apa uangnya, Janu merintis usaha lain dari usaha kecil hingga besar. Semua hal pria pantang menyerah itu coba.
Pria sukses dengan aset kekayaan yang rasanya tak akan habis meski salah satu perusahaan milik pria itu mengalami kebangkrutan. Dan ... sebagai pria sukses, tak dipungkiri jika pria itu pasti membutuhkan penerus dan jawaban akan hal itu adalah Sadewa. Putra pertama dan satu-satunya.
Sungguh, Gween tak bodoh dengan menganggap tindakan kejam Janu pada putranya sendiri hanya karena Sadewa tak menurut sebagai seorang anak. Tidak. Seorang ayah pasti masih memiliki hati untuk tak menyakiti anaknya meski kesalahan darah dagingnya adalah hal yang begitu dibenci.
Sadewa adalah anak kandung Janu Citaprasada. Satu-satunya penerus yang dibutuhkan pria itu. Lalu mengapa hanya karena cinta Sadewa pada seorang wanita membuat Janu sanggup menyakiti anaknya sendiri sebegitu parahnya.
“Haha! Pertanyaan yang bagus.”
Namun bukannya bersedih dan menyesali diri. Pertanyaan Greya malah Janu tertawakan. Dan di dalam ruangan itu, hanya Malla yang melihat tawa Janu dengan perasaan begitu bahagia. Ya ... Janu memang tak perlu mengasihani kedatangan Greya dan menyesali perbuatan pria tua itu pada Sadewa yang sudah membuat Malla menderita karena harus hidup sendiri tanpa suami. Ah tidak ... wanita itu memiliki pria di luar sana untuk memenuhi hasratnya. Tentunya tanpa sepengetahuan Janu dan putrinya. Mahesti yang tahu, karena pernah memergokinya sedang pergi dengan seorang pria. Tapi hanya Mahesti yang tahu. Ia tak peduli.
Dia sungguh membenci Sadewa. Karena pria itu ia berkorban banyak hal untuk mendapatkan cinta Sadewa. Namun apa yang pria itu lakukan? Menikah dengan wanita lain dan hanya menganggapnya sekadar sahabat. Sialan!
“Ya ampun! Anak dan Ayah.” Hingga wajah memerah karena tawa, Janu memegangi perutnya yang terasa keram. Dia tenangkan tawa, sebelum menatap sinis Mahesti. “Apa kamu juga penasaran dengan jawabannya istriku?” Kemudian berdiri, berjalan ke tengah ruangan untuk bisa melihat ekspresi marah sang istri dengan lebih jelas.
Gween yang berdiri di belakang kursi Janu langsung mengernyit. Janu ... apakah kakeknya ini sudah benar-benar mati perasaannya?
“Dulu aku selalu bertanya-tanya kapan waktu seperti ini akan datang dan ... aku tidak sangka akan datang di usiaku yang sudah begitu tua.”
Janu tertawa lagi.
“Ah ... Sadewa anak yang malang.” Mendongak, pria itu menatap langit-langit rumah sebelum menatap Greya dalam. “Aku merawatnya sejak kecil. Memperlakukannya dengan baik. Kemudian setelah dia besar, dia mendapatkan kebencianku karena menikah dengan Bulan. Begitu yang kamu pikirkan, bukan?” Ia tatap Mahesti. “Begitu kan Mahesti?” Lalu menggeleng dramatis. “Itu yang bibirku katakan, tapi tidak dengan hatiku, istriku.”
Diam sejenak, Janu menatap Malla sebelum kembali pada Greya. “Bukan. Bukan karena Bulan. Itu hanya sebuah alasan. Nyatanya, andai Sadewa datang untuk menikah dengan Malla pun, aku juga akan menentangnya.”
Malla yang tadinya masih bersandar langsung berdiri tegap dengan tatapan tak mengerti. Pun Gween yang mendadak merasa aneh pada sikap Janu kali ini. Tampak mengerikan.
“Masalahnya bukan pada wanita yang dinikahi Sadewa sampai aku rela menyakitinya. Bukan juga kasta yang membuatku marah hingga senang melihat penderitaannya.” Janu menatap Mahesti lagi. “Aku dulu menikahi seorang gadis kampung juga kan, Mahesti?”
Mahesti masih menatap marah pada Janu. Sungguh kecewa pada pria yang mengaku sebagai suaminya namun memperlakukannya dengan begitu buruk. Benar, Janu tak pernah menyiksa fisiknya. Namun dengan menyakiti putra yang ia lahirkan, Janu sama saja menyiksa batin Mahesti yang setiap malam menangisi sang putra yang malang.
Greya yang jemarinya masih digenggam erat oleh Elzir menatap prianya bingung. Janu tampak tak sama sekali menyesal namun sorot pria itu malah tampak kian membenci.
“Ini bukan karena Sadewa menikahi Bulan, Mahesti.” Pria itu berjalan ke arah tangga. Berdiri di undakan pertama. “Bukan karena cinta Sadewa pada Bulan sampai aku tega menyakitinya. Tidak. Tapi ini karena kamu.” Sepasang mata tajam Janu menatap Mahesti lekat, dengan jari menunjuk wanita yang tak bisa lagi berjalan beberapa tahun belakangan.
“Apakah kalian percaya ada seorang ayah yang tega melihat putranya menderita? Putra satu-satunya. Kalian percaya?”
Mahesti di tempatnya mendadak menjadi gelisah dengan detak jantung berdebar. Sedang Gween, dan yang lainnya malah jadi kebingungan. Janu tampak seperti orang tak waras, tertawa, lalu marah.
“Dia mabuk,” bisik Elzir pada Greya yang mengangguk pelan. Sepertinya begitu.
“Tidak!” Sepasang mata Janu memerah sebelum setetes air mata jatuh. Hal yang disadari oleh Gween yang kian heran. Janu tak pernah menangis selama ini. “Aku tidak akan menyakiti anakku. Tidak, Mahesti.” Menatap Mahesti sesaat sebelum ia edarkan pandangan. “Kalian dengar? Aku tidak akan menyakiti putraku sendiri. Kecuali dia bukan darah dagingku.”
Melemah, Mahesti memanggil suaminya lirih. Kebencian di sepasang matanya berubah menjadi duka. Ia gerakkan kursi roda ke arah Janu namun pria di atas anak tangga pertama meminta Mahesti berhenti. “Tidak. Jangan mendekat. Aku sudah tidak tahan menjadi sosok yang paling jahat di sini.” Dia lalu tatap Greya. “Kamu ... bukan cucuku.”
Di tempatnya Greya terbelalak, pun dengan Gween dan Malla, sedang Mahesti masih berteriak memohon agar suaminya berhenti. Elzir yang kini menopang bahu Greya tampak tak menaruh ekspresi apapun karena pria pintar itu mulai bisa membaca situasi ketika mendapati kegelisahan Mahesti.
“Dan kamu....” Janu menunjuk Gween yang berdiri gentar di tempat. “Kamu juga bukan. Aku tidak memiliki siapa-siapa di sini selain Mahesti. Istri yang aku cintai, tapi dengan murahnya menyerahkan tubuh dengan lelaki lain.”
Gween mengerjap, meremas kain di depan dada dengan erat. Pengakuan Janu barusan, mengapa terasa begitu menyakitkan?
“Maaas!” Mahesti menyentuh dadanya, merasakan denyut yang menggila mencipta rasa sakit.
Tersentak, mendengar teriakan dan gerakan tangan Mahesti, Gween membuang rasa tak percaya atas pengakuan Janu barusan dengan segera mendekati Mahesti. “Nek!” Namun yang didekati malah menangis meraung, membuat wanita muda itu kian kebingungan.
Sementara itu, dari sisi lain Elzir membawa Greya untuk mundur. “Kita tidak ada urusan lagi di sini.” Dia sudah bisa menebak sekilas alur kebencian Janu pada Sadewa.
Benar. Ini bukan karena kedatangan Bulan. Namun ini karena Mahesti. Bulan hanya pancingan agar kebencian Janu dapat tersalurkan dengan sempurna.
“Aku tidak bisa memiliki anak!” Teriakan Janu menghentikan langkah Greya yang ketakutan pun dengan Elzir yang langsung memeluk wanitanya. “Bagaimana? Di usia pernikahan yang akan memasuki angka tiga, dokter mengatakan kalau aku tidak akan bisa memiliki keturunan, tapi di ulang tahun pernikahan yang ketiga istriku memberikan sebuah hadiah yang mengejutkan. Dia hamil!”
Janu tertawa. “Istriku hamil! Kalian tahu? Istriku hamil.” Pria itu melemah, seiring dengan panggilan Mahesti yang terus tiada henti. “Sesaat aku berpikir, mungkin saja dokter salah. Akhirnya aku menerima kehamilan istriku. Aku bahagia. Sebelum kemudian aku melihat wanita yang aku cintai, mengundang adikku masuk ke kamar kami. Melakukan hal paling menjijik—”
“Mas aku mohon!”
“Tidak Mahesti! Tidak! Aku muak terus dikatakan yang paling jahat, padahal aku sangat mencintai kamu. Aku melakukan apapun untukmu, dan kamu mengkhianatiku. Kamu dan adikku merencanakan kematianku agar bisa bersama-sama, hidup bahagia dan menggunakan seluruh kekayaanku. Kamu!” Pria itu menunjuk Mahesti. “Kamu yang aku cintai, yang tidak bisa aku sakiti adalah orang yang menciptakan penderitaan di kehidupan Sadewa, Mahesti. Bagaimana? Setelah Tuhan begitu adil, melenyapkan adikku dalam sebuah kecelakaan pesawat, kamu memberiku kesempatan untuk menyakitimu tanpa menyentuhmu. Sadewa adalah senjata untuk menyiksamu, Mahesti. Dan senjata itu kamu sendiri yang menciptakan. Aku hanya menggunakan sementara saja.”
“Mas!” Mahesti kian menekan dadanya sedang Gween kini berdiri, tak tahu harus bersikap apa setelah mendengar kenyataan memilukan dari Janu.
Sadewa bukan putra Janu. Sadewa hanya anak hasil perselingkuhan, lalu dia? Gween menatap Malla yang bergerak mundur, masuk ke dalam kamar. Wanita itu sangat terkejut jika dirinya tak menikahi anak seorang pengusaha kaya namun hanya anak hasil perselingkuhan. Malla memaki.
Sedangkan Greya yang tampak terkejut dengan kenyataan itu menatap Elzir dengan gelengan lemah. “Tuan, aku mau pulang.”
Elzir mengangguk. Dia tak lagi mempedulikan Janu yang tampak menghakimi Mahesti. “Kita pulang.” Lalu membawa wanita yang ia cintai mengakhiri drama ini di sini, tanpa peduli pada Mahesti yang tampak kesakitan menekan dada, dan Gween yang mulai kebingungan memikirkan nasibnya.
Mungkinkah Janu akan menendangnya dari sini?
Fated
Tiga Belas
Sesaat dunia seakan berhenti, seolah melenyapkan gaya gravitasi, pikiran Gween melayang-layang di udara. Mengerjap sesaat sebelum menoleh ke arah pintu yang membawa pergi tunangan yang mengkhianatinya bersama selingkuhan pria itu—begitu selamanya ia akan menyebut pasangan Greya dan Elzir—Gween lalu menjauhi Mahesti yang meraung dengan kata maaf meluncur pelan dari bibir wanita malang itu.
“Papa!”
Tak tahu tindakan apa yang harus dirinya ambil. Gween tersentak pada seruan Malla yang berusaha mengejar Janu yang kembali ke kamar pria itu di lantai atas. Ikut bergerak untuk menyusul sang ibu, ia rasakan genggaman hangat di jemarinya.
Dengan sepasang netra menyorot sayu, Mahesti memanggilnya penuh rasa iba. Wanita ini ... bagaimana bisa wanita ini yang menjadi dalang dari semua kehancuran.
Pengkhianatan.
Yah ... hanya pengkhianatan yang bisa menghancurkan segala sesuatu dengan begitu mudah.
Tapi ... Mahesti yang tampak begitu lugu dan tak berdosa selama ini adalah penyebab semua kehancuran ini.
“Gween.”
“Kenapa tidak jujur sejak awal?” Menemukan pancaran ingin dikasihani dari balik kelopak sayu Mahesti, sebuah iba terbit layak senja yang akan tenggelam dalam gelap. Iya, sesaat saja iba itu tampil pancaran wajah Gween, memberikan angin sejuk untuk Mahesti yang kini butuh sosok pendukung. Sebelum kemudian Gween tarik tangan yang menggenggamnya erat, dan menggeleng pelan.
“Setidaknya, kalau Nenek jujur dari awal, aku tidak perlu ada dalam kondisi seperti ini.” Siap didepak keluar. Ah ... ia paham sekali watak Janu. Jika pria itu rela melenyapkan Sadewa demi menyakiti Mahesti. Maka tak sulit bagi pria itu menendang Gween yang turut menjadi pusat balas dendam pria itu. “Bahkan aku rela jika tidak pernah dilahirkan di dunia ini.”
Karena kelahirannya pun tak pernah benar-benar diinginkan. Dia bukan Greya yang mungkin saat lahir mendapat uluran tangan hangat Sadewa.
Sementara dia ... pria itu, yang mengaku sebagai ayahnya, hanya menemuinya beberapa kali saja sebelum menghilang setelah perayaan ulang tahunnya yang kelima belas.
Janu hanya memanfaatkannya saja. Mengasuhnya seolah ia cucu, mendidiknya seolah ia akan menjadi pewaris utama kekayaan Citaprasada hanya kamuflase belaka. Pria itu merawatnya hanya demi hari ini. Dapat mendepak dirinya di hadapan Mahesti, menambah luka di hati wanita tua malang itu. Tapi ... Gween bahkan ragu jika Mahesti akan terluka hanya karena kehancurannya. Sang nenek juga tak benar-benar menerima kehadirannya, kan?
Dan Malla ... hanya melahirkannya agar bisa mendapatkan Sadewa. Agar bisa menikmati semua kemewahan ini. Ah ... tapi tanpa Sadewa pun, Malla menikmati dengan puas kekayaan Janu Citaprasada, kan? Biar Gween terka mengapa Janu mempertahankan Malla di sini.
Pasti hanya untuk membuat Mahesti kian menderita. Sungguh. Malla secara tak langsung turut andil dalam melenyapkan Sadewa dan keluarga pria itu. Dan tinggal bersama orang yang tidak disukai jelas akan membuat hati tersiksa dan ya ... terlihat jelas jika Mahesti terluka tatkala menatap Malla yang tak tahu diri.
Tapi tampaknya tugas Malla pun berakhir sampai di sini. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai wanita itu didepak bersama Gween.
Terisak lemah, Mahesti menggeleng. Berusaha meraih jemari cucunya lagi, namun tangan hanya menggantung di udara kala ia dapati Gween bergeser memberi jarak.
Dulu Gween selalu berusaha mendekatinya, mencari perhatiannya namun ia tak sanggup membalas semua itu secara langsung hanya karena beban bersalah terhadap Sadewa dan Greya. Menunjukkan rasa sayangnya pada Gween seolah membuat ia berkhianat pada sang putra, hingga ia hanya menyimpan rapat kasih itu dan membuatnya menjadi sosok yang seakan tak peduli.
Kini, ketika ia dapati Gween yang tampak tak sudi mendapatkan perhatiannya, ada yang menghimpit dada.
“Nenek tidak tahu akan jadi seperti ini.”
“Ya....” Gween mengangguk. “Sekarang sudah seperti ini. Harus apa lagi. Iya, kan? Kita akan ditendang dari sini sebentar lagi.” Gween mendesah sebelum dengkus geli meluncur pelan. “Akhirnya, kita sama seperti Papa dan istrinya. Dibuang.” Tanpa tatapan kasih seperti biasanya Gween menatap Mahesti datar. “Ini semua karena apa? Kebohongan. Aku tidak peduli dengan pengkhianatan Nenek. Tapi membiarkan semua kebohongan ini berlanjut begitu lama....” Jeda, Gween menatap langit-langit rumah yang menggantung lampu kristal mewah. “Kebohongan Nenek tidak hanya membunuh Papa. Tapi juga akan membunuh kami.” Ia gedikan bahu. “Berdoa saja, Janu Citaprasada tidak memperlakukan kita seperti Papa. Ditendang begitu saja rasanya jauh lebih baik, dari pada terus dihancurkan, sampai nyawa benar-benar tidak sudi lagi menempel dalam raga kita.”
Lalu benar-benar meninggalkan Mahesti yang kian tak bisa membendung air matanya.
Gween bergerak, menyusul cepat Malla sebelum kemudian berhenti di depan pintu kamar Janu yang terbuka ketika didengarnya suara pria yang memiliki kewibawaan begitu kontras dengan usia yang tak lagi muda.
“Karena kalian sudah tidak dibutuhkan lagi. Maka pergi.”
*
“Tapi, Pa! Bertahun-tahun kami di sini untuk Papa! Hanya karena kesalahan Mama, kami diusir?!”
Malla tak terima. Menepis pengusiran Janu dengan berbagai bujuk rayu. Biasanya Janu akan mendengarkannya.
“Kamu hanya pion, Malla. Keberadaanmu di sini hanya untuk membuat Mahesti semakin menderita.” Melihat wanita yang menghancurkan putranya, pasti membuat Mahesti terus dihampiri rasa tak nyaman dan ya ... Janu tahu itu berhasil.
“Tapi ini tidak adil Papa! Aku menantu di keluarga ini!”
Malla meremas rambutnya kasar. Gaun tidur bercorak bunga sakura tak mampu memberikan kesan anggun pada sosoknya yang terlihat kacau. Malla tak siap didepak.
“Kamu bukan menantuku. Kamu bukan siapapun.” Tak sama sekali menatap Malla, melainkan pada halaman luas yang terhampar di bawah sana, dari balik jendela besar di kamarnya. Janu menjawab dengan tegas tanpa terbersit sedikit iba pada Malla yang kini menangis berlutut di kakinya.
Dia tahu itu hanya lakon semata. Malla hanya terlalu takut kehilangan semua kemewahan ini. Tapi cukup. Cukup sudah Janu memberikan semua fasilitas untuk sebuah pion. Terlebih itu adalah Malla, wanita tak tahu diri yang melakukan berbagai hal licik di belakangnya seolah ia tak pernah tahu.
“Pa ... biarkan aku di sini. Pa ... Papa nggak mungkin sendirian, kan? Biarkan aku merawat Papa.”
Janu nyaris berdecih jijik. Merawat. Sungguh, Malla tak akan pernah melakukan hal itu.
“Sekarang pergilah. Aku tidak membutuhkanmu lagi.”
“Paa! Tol—”
“Pergi, Ma.”
Dari ambang pintu, mengepal erat telapak tangan, Gween angkat suara.
“Pergi, Ma.”
Tidak. Dia tak menginginkan ini. Tapi ... pengusiran Janu rasanya tak lagi mampu ia atasi bahkan dengan bujuk rayu. Pria itu keras kepala. Dan entah mengapa, di balik semua rasa takut akan kehilangan semua jabatan dan kedudukan yang sudah ia dapatkan dengan susah payah terkikis dengan rasa lelah. Lelah bersujud untuk memohon belas kasih seorang Janu.
Namun sebelumnya, ia pernah memohon pada seorang kakek yang membesarkannya ketika akan didepak, dulu. Tapi kini ... Janu sudah mengatakan jika ia bukan cucu pria itu. Bukan bagian dari Janu Citaprasada lagi. Dan untuk memohon pada seseorang yang bukan siapa-siapa dalam hidupnya ... itu tak akan terjadi.
“Gween!”
Bangkit, Malla menghampiri putrinya, menarik tangan wanita itu agar mendekati Janu dan memohon seperti dirinya. Namun, bergerak barang seinci saja tidak. Gween tak akan memohon.
Seiring dengan gerak Malla yang mendekati Gween, Janu yang sudah menoleh tepat ketika suara Gween terdengar, mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh.
Gween ... cucunya.
Tidak. Bukan. Wanita itu bukan cucunya. Gween juga pion. Ya ... Gween juga pion untuk menyakiti Mahesti.
“Gween! Minta Kakek kamu untuk menarik keputusannya. Dia pasti mau dengarkan kamu.”
Gelengan tegas Gween lantas Malla terima dengan kesal. Gween dan harga dirinya. “Jangan keras kepala! Ini tempat tinggal kita dan kita nggak akan pergi dari sini!”
“Apa yang tuan Janu katakan kurang jelas, Ma?” Tatapan selaksa anak panah itu Gween arahkan pada Janu yang menahan gerak tangan menyentuh dada yang mendadak nyeri. “Aku bukan cucunya. Dan Mama orang lain di sini. Kita hanya pion. Hanya pion.”
Segera melengos saat setetes cairan ingin meleleh dari telaga beningnya. Gween menarik tangan yang Malla genggam sebelum kemudian berbalik menahan diri untuk tak luluh di sini.
Ia takut kehilangan semua kemewahan ini. Takut semua kerja keras dan pengorbanannya musnah tak berarti. Namun di atas itu semua. Nyatanya ia lebih takut ketika Janu tak menganggap dirinya lagi.
Janu ... pria yang bahkan lebih berarti dari Sadewa dalam hidupnya. Hari ini, mengatakan jika ia bukan bagian dari pria itu. Bukan cucu pria itu. Mencipta langkah dengan kaki yang terasa goyah. Gween berhenti kala suara tegas Janu menyusup ke indra pendengarannya. “Aku sudah memecatmu.”
Menelan kasar saliva yang terasa seperti sekepal duri, Gween mengangguk tanpa mampu menoleh pada Janu yang sudah tak lagi memandangnya, melainkan pada langit mendung di luar sana. Namun tak dengan tatapan tajam seperti biasanya. Pria itu, memberikan sorot sayu, tanpa ada nyala kehidupan dalam netra tua itu.
“Ya....” Kek. ”Terima kasih.”
Dan kepergian wanita itu, diiringi jerit tak terima Malla akan keputusan sang putri yang menyerah begitu saja. Sungguh. Andai Gween ingin memohon sekali saja. Janu pasti akan luluh.
Fated
Empat Belas
Di balik setir kereta besinya yang tak lagi bergerak, wanita itu diam membiarkan suara radio mendominasi atmosfir sesak di sekitarnya.
Sesekali, ia menarik napas dalam, membuangnya pelan berharap sesuatu yang menghimpit dada ikut terlepas bersama udara yang keluar dari bibir tipis tak berpoles gincu itu.
Namun usaha yang ia lakukan tampaknya begitu sia-sia karena tak setitikpun beban di balik dada terangkat melainkan kian berat ketika ia ingat lagi semua ucapan Janu yang tak mengakuinya sebagai cucu.
Terlepas dari kekangan Janu adalah impiannya. Tapi jauh dari pria tua itu tak pernah terbersit bahkan selintas saja di kepala.
Ia membutuhkan Janu sebagaimana paru-paru membutuhkan oksigen.
Pria itu tak memperlakukan dirinya begitu spesial di hadapan rekan bisnis. Ya ... pekerja adalah pekerja. Di lingkungan kantor, Gween bukan cucu Janu Citaprasada.
Namun di balik semua sikap keras kepala pria itu. Ambisinya, sikap otoriternya yang begitu menekan Gween. Wanita itu tahu jika Janu tetap menyayanginya dengan cara yang sederhana.
Sesederhana pria itu mengunjungi Gween yang tertidur di meja kerja hanya untuk memberi sehelai selimut, melindungi dari udara AC yang menerpa.
Gween tahu, Janu sering melakukan hal itu. Karena diam-diam, demi sedikit perhatian itu, Gween akan pura-pura tertidur sebelum kemudian tersenyum kala ia dapatkan usapan lembut di kepala dari tangan tua Janu Citaprasada.
Gween membenci semua sikap Janu yang menjadikan ia layaknya sebuah boneka. Harus menuruti semua permintaan pria itu jika tak ingin menerima konsekuensi yang buruk seperti misal, diturunkan jabatannya.
Namun sifat pria itu yang Gween benci dan ingin Gween hindari. Bukan Janu. Bukan kehidupan pria itu. Meski kenyataannya Gween tahu, Janu yang menghancurkan Sadewa.
Dan kemudian sekarang ia kian tahu jika semua sikap keras Janu padanya hanya untuk menyakiti Mahesti saja. Namun ... Mahesti rasanya tak akan peduli pada tiap kekangan Janu padanya, kan?
Ya ... di mana memangnya Mahesti ketika Gween membutuhkan dukungan saat ia harus melepaskan seseorang yang ia cintai.
Cintai.
“Ssst! Ck!”
Berdesis seketika pada pikiran nyelenehnya, Gween memukul kepala sebelum kemudian ia memilih untuk terbebas dari semua hal yang tak semestinya ia pikirkan.
Dia didepak oleh Janu, lalu ia meninggalkan Mahesti yang tak ia ketahui keadaannya ketika ia keluar dari istana Citaprasada. Dan tak perlu ia pikirkan bagaimana kini dengan Malla yang entah masih mencoba merayu Janu atau kembali ke rumah keluarga wanita itu yang untuk saat ini amat sangat harus Gween hindari. Keluarga dari ibunya memiliki tabiat tak jauh berbeda dari Malla. Andaikan ada yang waras, mereka jadi tak berguna karena kewarasan membuat mereka hidup tanpa nyali. Gween tak menyukai keluarga sang ibu bahkan kedua orangtua Malla yang sudah tiada.
Ah ... baiklah. Sekarang lepaskan semua beban.
Ia tak harus larut ke dalam semua kesedihan yang memuakkan ini, kan? Karena yang terpenting sekarang bukan memikirkan bagaimana keadaan Janu, tapi di mana ia akan tinggal setelah ini.
Gween sudah tak memiliki apartemen karena belum lama ini Janu meminta ia menjual aset berharganya itu.
Tapi Gween tak semenderita itu. Tak memiliki tempat tinggal bukan berarti ia tak bisa membelinya.
Gween tak jatuh miskin hanya karena Janu memecatnya dan mengusirnya. Bekerja sejak remaja, tentunya membuat tabungan wanita itu membengkak. Cukup diam di rumah selama beberapa tahun ke depan, tak akan membuatnya mati kelaparan.
Didepak dan dipecat, juga tak membuatnya kehilangan penghasilan karena Gween memiliki saham di beberapa perusahaan.
Wanita itu seolah sudah mempersiapkan semuanya untuk hari ini.
Sungguh. Nyatanya Gween memang tak takut jatuh miskin karena memang itu sedikit tak mungkin. Ia hanya benci ketika harga dirinya jatuh. Orang akan kian memperolok dirinya, menjatuhkan martabatnya dan kian dipandang sebelah mata.
Dia benci ketika orang-orang tak lagi tunduk padanya. Meski dulu orang yang sudi menjilat kakinya adalah orang-orang yang ingin mendapatkan perhatian Janu. Ah ... lagi-lagi memikirkan Janu.
Ck! Sepertinya ia harus bergegas mendapatkan pekerjaan agar otaknya yang mendadak menjadi pengangguran ini berhenti memikirkan tentang Janu Citaprasada dan semua kerja keras dan pengorbanan yang rasanya kini sia-sia. Ia tak akan bisa menjadi seperti Janu yang dielukan banyak orang.
*
Sebuah hunian minimalis berlantai dua dengan fasilitas lengkap dan sebuah taman mini yang sudah dihiasi tanaman indah menjadi tempat tinggal Gween selama dua minggu ini.
Sejak ia menemukan tempat ini, hingga sekarang, Gween masih menyandang status pengangguran yang nyaris membuat dirinya gila.
Tak bekerja membuat pikirannya tak berhenti memikirkan sosok Janu yang ia dengar telah pergi ke luar negeri entah sendiri atau bersama Mahesti.
Bukan ia tak berusaha mencari pekerjaan, namun setiap rekan kerja yang ia hubungi menolak memperkerjakan dirinya karena dipecat dari sebuah perusahaan besar milik Janu Citaprasada sama saja dengan mencemplungkan diri ke daftar hitam orang yang tak berhak mendapatkan pekerjaan baru.
Dia berpikir jika Janu mengancam beberapa perusahaan yang ia hubungi, namun mereka mengatakan jika Janu tak sama sekali melakukan hal itu. Bahkan kabar jika Gween dipecat dan digantikan dengan sepupu wanita itu saja didapatkan dari para karyawan, bukan Janu yang tak sama sekali angkat suara perihal berita ini.
Janu tak membuat karir Gween berhenti dengan memblacklist namanya dari beberapa perusahaan, namun pria itu tetap membuat orang takut untuk menerima Gween seolah itu akan mencipta amukan seorang Janu Citaprasada.
Sebenarnya ada beberapa perusahaan yang bisa menerima wanita itu. Hanya saja posisi yang ditawarkan tak sesuai dengan ingin Gween yang hanya akan duduk di kursi Manajer. Itu jabatan paling rendah yang ia inginkan.
Andai harus membuka usaha baru dan dia akan menjadi pemimpin sekaligus pemiliknya ... Gween membutuhkan rekan sementara ia tak memiliki teman yang bisa dipercaya. Ia hanya memiliki uang dan itu tak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Gween tak ingin jatuh miskin hanya karena salah langkah.
Menikmati secangkir coklat hangat di depan televisi yang memutar berita politik dan bisnis. Gween yang mencoba membuat otaknya terus waras dengan tidak berdiam diri di kamar, makan tidur dan memainkan ponsel. Langsung menoleh pada gawai hitamnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping sofa yang ia duduki.
Berharap itu adalah telepon dari seorang rekan kerja yang memberinya kabar baik, kening Gween mengernyit saat melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya.
Menjawab panggilan untuk melenyapkan tanda tanya di kepala. Kernyitan Gween kian dalam kala ponsel ia tempelkan di telinga, suara Malla dari seberang sana langsung menyapa dengan lantang.
“Gween tolong Mama! Mama di kantor polisi.”
Oh ... baiklah. Malla tampaknya akan menjadi sebuah masalah kekal dalam hidup Gween setelah ini, selain menjadi pengangguran yang kaya raya.
*
Malla membuat keributan di salah satu club kala wanita itu lihat berondong yang biasa ia kencani, bergandeng tangan dengan seorang wanita sosialita seusisanya.
Merasa ditinggalkan kala ia terperosok jatuh, Malla mencakar wajah wanita yang menjadi dompet berjalan pria muda yang mengkhianatinya itu.
Mencakar, menendang, meninju dan berakhir dengan diseretnya wanita itu ke kantor polisi.
Ah Malla. Setelah tak mendapatkan harta dari keluarganya karena ia sudah menghabiskan semua warisan yang ayahnya beri bahkan warisan salah seorang saudara yang turut ia makan tanpa rasa malu, kini wanita itu benar-benar tak memiliki apapun selain putrinya yang selama beberapa hari tak bisa ia hubungi. Lebih tepatnya tak mau mengangkat panggilannya dan setelah ia hubungi dengan nomor tak dikenal, sang putri tunggal baru menjawabnya.
“Kenapa kamu sulit dihubungi, hah?!”
Sepanjang perjalanan, setelah mengeluarkan ibunya dari kantor polisi dan membayar denda juga uang damai yang diminta wanita yang Malla hajar, Gween belum membuka suara kembali.
Ia hanya diam seperti batu sambil menyetir kendaraan menuju tempat tinggal yang kini menjadi tempat ternyamannya. Di sana ia tak takut akan mendapatkan amarah Janu jika melakukan sebuah kesalahan atau hal yang Janu tak suka.
Celoteh Malla yang sedari tadi memaki polisi yang katanya tak bertindak adil bahkan tidak sama sekali Gween indahkan.
“Ck! Kamu jangan dengarkan yang polisi bilang! Mama bukan memukul orang karena laki-laki! Wanita itu—”
“Ma aku udah tahu semuanya. tidak perlu memberi pembelaan.” Gween menoleh sesaat pada ibunya yang mendadak gelagapan. “Mama dan banyak laki-laki yang Mama sewa. Aku tahu. Kami semua tahu.”
Malla langsung menelan salivanya dengan susah payah, sebelum mengerjap gelisah. Ia pikir hanya Mahesti saja yang tahu.
“Ma ... Mama kesepian! Ini semua ... ini semua karena Papa kamu!”
Gween melirik ibunya lagi yang tampil begitu kacau. Gaun sebatas paha tanpa lengan yang tak lagi cocok Malla kenakan mengingat usia wanita itu yang tak lagi muda, meski memang Malla tak begitu terlihat tua berkat perawatannya selama ini, tampak sobek pada bagian perut. Gween terka itu hasil perkelahian Malla tadi malam. Wanita itu menginap di kantor polisi sejak tadi malam hingga sore ini dan semestinya Gween tak membebaskan ibunya. Dia menyesal.
“Tidak perlu membuat pembelaan, Ma. Aku bukan hakim.” Meski tatapannya sendiri begitu menghakimi pada Malla yang rambut ikalnya sudah seperti sarang lebah hari ini.
Malla benci tatapan sang putri yang seperti itu.
Memilih bersedekap, Malla kemudian terpejam, dan sekejap saja kesadaran wanita itu lenyap. Di balik jeruji, Malla tak bisa tidur nyenyak. Yang jelas ia tak sudi tidur bersama banyak orang asing dengan berbagai kejahatan. Malla sendiri tak merasa jahat hingga berhak dijebloskan ke dalam jeruji besi.
Mendesah pelan tiap kali menatap Malla yang entah mengapa tampak begitu malang. Gween Yang sudah berhenti sedari tadi di halaman rumah, mengulurkan tangan untuk membangunkan Malla.
Menggoyang bahu sang ibu, Malla menggeliat lalu menguap sebelum kemudian membuka mata dan mengedarkan pandangan di sekitarnya.
“Ini ... ini di mana?”
Membuka pintu mobil, sembari turun Gween menjawab tanya sang ibu. “Tempat tinggalku.”
Ikut turun, Malla memberikan pandangan aneh pada bangunan minimalis di hadapannya. “Rumah kamu?!”
Mendengar suara Malla yang agak histeris. Gween melirik ibunya dengan sebelah alis terangkat.
“Rumah sekecil ini?! Halamannya kecil! Modelnya jelek! Gween! Mama malu tinggal di rumah sekecil ini! Kamu nggak benar-benar jatuh miskin kan, sampai beli rumah murahan begini?!”
Terdiam di depan pintu rumah bermodel gandeng, Gween berbalik dengan kedua tangan berlipat di bawah dada sambil menatap ibunya datar. Pada Malla yang masih memandang aneh tempat tinggalnya, Gween membuka suara.
“Benar. Rumah ini terlalu kecil, apalagi untuk ditinggali dua orang. nggak muat. Jadi, Mama silahkan pergi. Beli rumah besar dan mewah, dengan uang yang Mama punya. Mama belum jatuh miskin, kan?”
Kemudian masuk ke dalam rumah, membanting pintu di hadapan Malla dan menguncinya.
Untuk beberapa jam ke depan, Gween akan membiarkan Malla berteriak seperti orang gila di depan rumahnya.
Fated
Lima Belas
Berdiri di dekat bingkai jendela yang memamerkan hamparan taman kecil dengan bunga mawar berwarna merah muda yang mulai bermekaran, Gween melipat buku yang ia baca kala terdengar derap langkah dari arah belakang.
“Baju kamu kepanjangan! Mama butuh baju baru yang pas sama Mama!”
Tak bergerak selain bola mata yang bergulir malas ke arah Malla, Gween kembali membuka buku biografi di tangannya, menyandarkan bahu pada bingkai jendela.
“Mama bener-bener butuh baju!”
Menghempaskan tubuh rampingnya pada sofa di tengah ruang yang di sampingnya terdapat sebuah nakas berisi setumpuk buku yang tak menggugah selera Malla untuk membaca, wanita itu mendengkus kesal menatap sang putri yang tak mengindahkan ocehannya.
Putrinya sekarang menjadi anak yang kejam. Setelah membuatnya berteriak tak karuan selama nyaris satu jam, Gween memberinya baju tidur kebesaran sebagai ganti pakaiannya yang sobek.
Mendesah karena merasa tak digubris, Malla bersandar santai pada punggung sofa. Ia angkat kakinya, diluruskan ke atas sofa dan matanya terpejam, menikmati sorenya yang tak lagi berada dalam penjara.
“Oh ya.” Malla mengangkat kepala, menatap putrinya yang masih asyik pada bacaan wanita itu. Sosok Gween yang mengingatkannya pada Janu. Persis sekali kebiasaan mereka. “Mama dengar kabar soal ... Langit.” Demi melihat reaksi sang putri, Malla rela menegapkan tubuh dan sebelah alisnya menukik ke atas kala ia dapati Gween yang tak lagi menggerakkan bibir untuk membaca tanpa suara.
“Eem ... dia ternyata nggak segembel dulu, ya? Seinget Mama dulu di acara pertunangan kamu, dia nggak matok harga. Jadi, Mama pikir mur—”
“Jadi, Mama tau kalau dia yang jadi bintang tamu waktu itu?” Lirik tajam Gween dijatuhkan pada Malla yang berdecak ringan.
“Mama cuma kasih ide ke Kakek kamu, kok. Setelah itu si tua itu langsung info ke keluarga Elzir. Nyonya Zinta yang mengurus semuanya.” Malla terkikik merasa lucu. “Ya ampun, mantan calon besanku yang lugu. Nurut sama semua apa yang Mama dan kamu minta waktu itu. Sampai konsep pesta pertunangan dibuat ala negeri dongeng. Sejak kapan kamu suka dongeng?”
Gween menggeleng pelan menjawab tanya sang ibu. Waktu itu ia hanya iseng saja. Hanya ingin menghamburkan uang milik Abelard saja. Toh pada pesta pertunangan itu tak sama sekali menggunakan uangnya.
“Beberapa hari yang lalu dia telepon Mama menanyakan kabar tentang pembatalan perjodohan. Si kakek tua ternyata langsung membatalkan perjodohan kamu dan Elzir. Zinta juga tanya kenapa kamu dipecat.” Malla terkikik lagi. “Kamu tahu Mama bilang apa? Karena kamu mau bertahan dengan Elzir dan Kakekmu merasa terhina dengan tindakan Elzir.”
Bibir Gween mencebik samar. Pantas saja beberapa hari yang lalu Zinta meneleponnya dan meminta maaf sembari menangis. Ternyata Malla membohongi ibu Elzir yang lugu itu.
“Heem kenapa malah bicarakan dia?” Malla menurunkan kaki, menapak pada lantai granit berwarna coklat dengan corak putih. “Mama mau bicara soal Langit.”
Gween yang hendak kembali membaca, lagi-lagi menatap tak suka pada ibunya.
Namun tak merasa tertindas pada tatapan sang putri, Malla tersenyum. “Gween, Langit nggak gembel-gembel banget ternyata. Kamu bisa coba sama dia lagi. Ya ... hitung-hitung untuk menopang hidup kita. Mama tahu kamu punya uang, tapi ... kenapa harus menghabiskannya kalau ada yang bisa kita habiskan? Langit pasti mau terima kamu apalagi kalau ... kamu hamil?”
Masih diam menatap Malla tajam, Gween lalu menerbitkan senyum miring, meremehkan eksistensi Malla. “Kita? Aku tidak perlu bantuan orang untuk menopang hidupku.”
“Kamu tidak bisa melakukan semuanya sendiri, nak.”
Nak?
Setelah seperti ini saja Malla baru memanggilnya, nak.
“Apalagi kalau kamu hamil? Hari itu, kalian terjebak tepat di masa subur kamu. Mama tau.”
Hamil ... Gween menahan tangan untuk tak meraba perutnya. Sebenarnya ... ia takut sekali akan hal ini. Hamil ... sungguh, jika iya. Di mana ia harus menyembunyikan muka?
Orang-orang akan tahu jika dia hamil sementara dirinya sudah mengklarifikasi jika dia dan Langit tak melakukan apapun.
Atau ... mengatakan jika ini adalah anak Elzir?
Tidak mungkin. Kebohongan seperti itu mudah sekali terkuak kebenarannya melalui tes DNA.
Lalu bagaimana? Menggugurkannya?
Ah ... tidak-tidak. Mengapa memikirkan hal yang belum terjadi? Dia tidak hamil.
Tapi ... Langit hari itu ...
ck! Mengapa harus melakukannya berkali-kali!
“Aku dan Langit tidak melakukan apapun, ma. Aku tidak akan hamil.”
Malla lalu mencibir. “Bahkan berhadapan dengan Langit saja kaki kamu bisa meleleh. Apalagi ada di dalam satu ruangan yang sama. Jangan membohongi Mama.”
Menarik napas dalam, Gween mengangkat bahu yang menyandar malas pada bingkai jendela. “Sudahlah tidak perlu ikut campur.”
Berjalan melewati Malla, Gween berhenti kala suara ibunya terdengar lagi.
“Oh ya, dari sekian banyak foto pertunangan kamu. Ada banyak yang bagus-bagus.”
Malla berdiri, dan melemparkan selembar foto yang ia temukan di bawah tumpukan pakaian sang putri di dalam lemari ke hadapan Gween yang terpaku. “Tapi kenapa cuma bawa yang ini?”
Kemudian berbalik dan pergi.
Sendirian, diam sembari memastikan Malla benar-benar pergi melalui derap langkah sang ibu yang perlahan lenyap, Gween mengambil langkah untuk mendekati selembar foto yang ibunya lempar.
Menarik napas dalam, wanita itu menatap dengan ringisan tipis, lantaran sesak di balik dada kembali menyerbu sebelum ia menggigit bibir bagian bawah kala ibu jari mengusap satu wajah pada lembar foto tersebut.
Di dalam kertas itu terdapat dirinya yang berdiri tersenyum pada seorang tamu dengan latar belakang pria di balik piano, sambil menatap ke arahnya.
Pria itu menatapnya. Sungguh. Bisa ia pastikan jika pria itu menatapnya.
Senyum wanita itu mengembang. Hanya dengan melihat foto ini saja ia bisa tersenyum senang.
Sialan! Padahal dia tak seharusnya melakukan hal ini.
Brruuum!
Tersentak, lepas dari euforia menyenangkan secara paksa. Gween menoleh dan berjalan cepat ke arah jendela kala ia dengar raungan kendaraannya yang dibawa pergi oleh Malla.
“Ya ampun!” Gween langsung menyentuh keningnya.
Malla membawa pergi mobilnya begitu saja. Ini keterlaluan!
*
Malla benar-benar membuat Gween gelisah kali ini. Entah sudah berapa minggu ibunya itu tak ada kabar dan tak bisa dihubungi. Gween sampai tak sempat menghitung hari-hari yang ia habiskan untuk mencemaskan kepergian Malla.
Tidak. Dia tak cemas dengan ibunya. Dia cemas dengan mobilnya.
Tok tok
Terpejam erat kala pintu terketuk. Gween yang duduk di ayunan gantung yang ia letakkan di teras samping rumah segera bangkit untuk membuka pintu setelah ia berusaha mengusir rasa khawatirnya.
Tiap ada yang mengetuk pintu, ia harus menarik napas dalam untuk mempersiapkan hati atas kejutan yang mungkin saja Malla cipta.
Seperti misal, Polisi datang melaporkan kasus terbaru Malla yang tak hanya memukuli orang, namun digrebek polisi lantaran berlaku mesum di suatu tempat. Itu mungkin saja terjadi, kan?
Namun kala ia lihat penghantar makanan online yang berdiri di depan pintu rumahnya, senyum lega Gween segera terbit.
Tidak hari ini. Ya ... sepertinya tidak hari ini polisi datang oh atau ... penagih hutang.
“Pesanan atas nama Gween Isabella?”
“Ya.” Segera mengambil makanannya, Gween masuk ke dalam rumah untuk menyajikannya di atas meja makan.
Di rumah Janu Citaprasada ada seorang chef handal yang sekaligus menjadi ahli gizi yang akan memasakkan makanan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Tapi di sini, siapa yang mau mengaturkan semua itu untuknya?
Gween berdiri menatap dengan senyum semringah sepiring kepiting besar saos padang di atas meja yang tampak begitu menggugah selera.
Selama keluar dari rumah Janu, Gween tampaknya tak lagi mempedulikan gaya hidup sehat. Setelah dibuat pusing terus menerus dengan Malla yang tak ada kabarnya, Gween butuh asupan lezat dan persetan dengan kandungan gizinya, ia hanya butuh sesuatu yang bisa mengembalikan tenaga.
Tak menunggu malam untuk menyantap kepiting lezat itu. Gween segera duduk dan menikmatinya sebelum kemudian rasa bergejolak di perut datang begitu mengganggu tepat ketika kaki kepiting masuk ke dalam mulutnya.
“Sssh!” Mendesis kesal, Gween mundur mencipta decit kursi lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci mulutnya dengan air.
Ah ... perutnya tak cocok dengan kepiting saos padang ternyata.
Mengusap wajah, Gween menyandarkan tubuh pada dinding yang berhadapan dengan wastafel, wanita itu tersenyum tipis memperhatikan dirinya.
Lihatlah ia kini. Apa yang ia kejar selama ini? Sekarang ia sendiri. Lihat, tubuh yang kian kurus dengan sepasang kelopak mata cekung itu. Sungguh tak lagi terawat, seolah ia begitu frustrasi.
Jabatan dan harga diri yang ia kejar selama ini, membuatnya tak memiliki seseorang untuk berbagi. Berbagi keluh kesah yang entah lah ... kini ia membutuhkannya.
Dulu saja, ia tinggalkan orang yang tak mendukung obsesinya. Kini setelah obsesi tak mampu membuatnya penuh dengan gelimang pujian, ia sendiri.
Dulu tak pernah terlintas jika sepi adalah mimpi terburuk. Kini ... ia sadar jika sendiri adalah bagian terburuk dari hidup.
Sendiri.
Sudahlah. Bukankah ia masih memiliki banyak tabungan untuk membeli teman?
Berdiri tegap, wanita itu mencipta langkah menuju kamar dan melakukan aktifitas monoton selanjutnya.
Tak jadi ia isi perut yang mendadak tak lapar. Memeluk guling yang kini layak ia sebut sebagai teman karena selalu ada di sisinya kala ia ingin terpejam. Semesta menggelap, menggiringnya ke dunia yang jauh dari keserakahan.
Namun rasanya baru sekejap saja lelap mengistirahatkan pikirannya yang terlampau lelah. Dunia mimpi bahkan belum mempertemukannya dengan yang diharapkan hadir membelainya seperti dulu, ketika rasa bergejolak di perut kembali membuatnya merasa tak nyaman. Segera bangkit, wanita itu berlari sembari menahan hantaman sakit yang menyerang kepala secara tiba-tiba.
Di kamar mandi yang berada dalam ruang peristirahatannya, wanita itu memuntahkan isi perut yang hanya berupa air.
Mendesah, Gween mencuci wajah sebelum ia tatap dirinya di cermin dan kembali ia meringis melihat dirinya yang begitu mengenaskan.
Menggigit bibir, sebelum ia usap pelan sepasang mata yang tertutup. Mendesah lagi, kali ini bersama rintihan pelan. Gween tahu, ia tak bisa memungkiri apa yang terjadi padanya kini.
Mundur, wanita itu menyandarkan tubuh pada dinding sebelum merosot jatuh, berlutut di atas lantai basah dengan kedua tangan memeluk perut.
Atas apa yang terjadi padanya kini. Ia bersumpah, Elzir berhak mendapatkan balasannya. Setidaknya, pria itu harus kehilangan sesuatu agar bisa merasakan bagaimana sakitnya ia yang harus menanggung ulah pria itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
