
Part Enam
Diana kesal. Di saat ia harus menahan sakit pada area perutnya, pak RT yang mulutnya susah diatur itu menyebarkan gosip yang dibuat sendiri pada para tetangga. Dia sudah susah menahan sakit, diharuskan pula menahan emosi. Mengingat dirinya manusia, jadi Diana bisa menahan diri untuk tak mengobrak abrik pesta pernikahan Zeina.
Lalu ini lagi. Si pria yang bukannya menyangkal malah diam seolah membenarkan. Niatnya apa? Ingin membuat dirinya mengharap.
Khok cuih!
Hubungan mereka tak sedekat itu untuk bisa membuat Diana mengharap.
Tapi yang aneh, mengapa si dokter tetangganya ini malah bersikap seperti ini, sih? Ingin mempermainkannya, atau tak sengaja? Menanggapi ledekan para tetangga yang beberapa menjadikan mereka pusat atensi setelah mempelai di depan sana memang menjengkelkan. Tapi membiarkan gosip menyebar juga tak bisa dibenarkan.
"Eh Diana!"
Tepukan pelan mampir di bahu wanita itu dan seorang wanita muda bersama pria yang menggandeng mesra berjalan, mengambil tempat duduk di depan Diana lalu menoleh ke belakang untuk melihat Diana yang membalas tatapannya. "Datang kondangan terus, Di. Kapan kau undang kami ke acaramu?" Goda wanita itu yang mengerling menjengkelkan.
Tersenyum miring, tanpa sama sekali menutupi ekspresi kesalnya, Diana mendekatkan wajah pada wanita yang dulunya adalah adik kelas. "Kuundang, kalau kau punya anak."
Dan jawaban Diana membuat wanita itu kesal. Langsung melengos dengan wajah memerah, namun samar, Diana mendengar teguran suami wanita itu. Bukan untuknya. Tapi untuk istri pria itu sendiri.
Sedang Devan yang mendengar jawaban Diana, melirik wanita itu bersama sekilas ekspresi terkejut.
Pasalnya wanita di depannya yang menanyakan kapan Diana menikah sudah lima tahun menanti momongan yang tak kunjung hadir. Tapi dengan sekali tebas, Diana membuat wanita itu diam dengan mengungkit hal yang sangat sensitif.
Menyelesaikan makannya yang tak begitu banyak, Diana cepat-cepat berdiri. Mumpung makanan Devan masih banyak, jadi dia bisa menghindari gosip dengan membuat jarak. Percuma mengatakan tidak pada sekumpulan orang yang sudah merasa terkaannya benar. Jadi Diana memilih menjawab melalui tindakan.
Namun ketika sebuah tangan menariknya, membatalkan langkah yang akan mencipta jarak. Diana menoleh kesal pada Devan yang sudah berdiri di belakangnya.
Bahkan ketika ia sangat malu dengan kian banyaknya pasang mata yang fokus ke arahnya, Devan tampak biasa saja.
Dia memang bukan artis kampung hingga banyak yang menjatuhkan netra padanya. Namun dikenal sebagai anak mak Tiar yang selalu eksis tak hanya di dunia nyata juga dunia ghaib, maksudnya dunia media sosial. Diana harus pasrah jika status menyendirinya di usia yang nyaris memasuki tiga puluh tahun menjadi sorotan warga kampung. Dan ketika dirinya terlihat dekat dengan seorang pria, warga akan senantiasa mendoakan agar hubungannya lancar hingga jenjang pernikahan. Mereka memang para tetangga kepo. Tapi Diana tak menyangkal dari mereka semua ada yang baik padanya dan keluarga.
Mendekat, tahu jika Diana sedang tak nyaman dengan sikap tak sopannya, pria itu lalu berbisik. "Noda merah di rok kamu cukup banyak."
Dan informasi itu membuat Diana mendesis kesal sekaligus malu. Rona merah merambat parah ke arah wajah dan leher yang terbuka.
Padahal dia sudah menggunakan pembalut yang cukup panjang, tapi mengapa bisa kebobolan juga?
Miring kali, ya?
Duh ... Diana merasa konyol sekarang.
Melengos, enggan menatap Devan yang kian membuatnya merasa malu, Diana tetap melangkah, dan sungguh ia syukuri dengan keberadaan Devan kali ini.
Pria itu membantunya menutupi noda di belakang pantatnya. Bahkan tanpa ada rasa risih, mungkin karena profesi pria itu yang sudah terbiasa dengan darah, Devan berada tepat di belakang Diana tanpa peduli pada tatapan beberapa pasang mata yang jatuh padanya.
Tiba di pelaminan, memberi selamat pada mempelai yang menjadi raja dan ratu hari ini. Zeina yang tampil cantik dengan bulang berwarna emas yang menjadi mahkota si pengantin mengerling pada Diana yang sedari tadi menarik perhatiannya.
"Kutengok ada yang pacaran, kak." Ia menggoda kala Diana mencium pipinya.
Tersenyum, Diana hanya mengedikan bahu. Dia enggan menyangkal karena itu hanya akan memperpanjang waktu.
"Jangan turun dulu lah, kak. Foto dulu," ajak Zeina kemudian yang tak bisa Diana dan Devan tolak.
Mengapit mempelai, Diana dan Devan menatap kamera dengan senyum tipis, sebelum kemudian bergegas turun dengan Devan yang tetap di belakang Diana.
Pria itu tak memiliki maksud apapun melakukan hal ini. Hanya saja ia tahu jika wanita yang sedang mengalami siklus bulanan akan sangat malu jika mengalami kejadian seperti Diana.
"Udah, makasih, bang." Menoleh sebentar pada Devan yang mengangguk samar. Diana lantas menggenggam area yang terkena noda mesntruasinya, lalu berjalan cepat menuju rumah yang kali ini ia rasa berkilometer jauhnya.
Tak lagi menoleh ke belakang atau peduli pada teguran beberapa tetangga yang lewat. Diana memelankan langkah ketika ia lihat sosok yang tak pernah ia inginkan ada di rumahnya berdiri di depan pagar. Firdaus. Adik ipar sialannya.
Mematri tampang dingin, Diana membuat jarak pada Firdaus yang tersenyum kala melihat kehadirannya.
"Pulang, Di? Cepat kali?"
Masih enggan memberi tatapan ramah, Diana membuka suara dengan sinis. "Ngapain kau di sini?"
"Jaga rumah. Muda pergi, bapak ke sawah." Pria itu menunjukkan kunci pagar dan rumah, membunyikannya di depan wajah seolah meledek Diana yang seketika geram. "Masuk, Di? Dari pada panas-panasan di sini, mending panas-panasan di dalam nya kita."
Berdecih jijik, Diana bergerak mundur kala mendapati kaki pria berjarak dua langkah di depannya mendekat.
"Lempar kuncinya. Kau bisa pergi."
"Ck!" Firdaus berdecak namun tetap dengan senyum menjijikan yang tak luntur. "Kutemani kau di dalam, Di."
"Ngga mau kau kasih kunci itu, aku tereak!"
"Tereak?" Pria itu terkekeh pelan. Lalu melirik dengan senyum ramah pada beberapa tangga yang lewat, sebelum sorotnya jatuh pada Devan yang kian mendekat. Pria di depannya itu memandang tak acuh ke arahnya.
"Tereak, Di. Terus kau mau bilang apa kalau tereak? Aku perkosa? Mana buktinya? Kita di luar." Masih dengan tangan memamerkan kunci rumah yang dititipkan padanya.
Diana benar-benar kesal pada kecerobohan Muda yang seenaknya menitipkan kunci pada Firdaus. Adiknya itu memang tak tahu bagaimana kelakuan iparnya ini pada dirinya, namun sifat Firdaus yang tak bisa dipercaya semestinya tak membuat Muda segampang ini menyerahkan kunci pada suami Lella.
Menggigit bibir bawah, Diana melepaskan genggamannya pada area rok yang kotor, lalu berpindah ke perut yang kian melilit sakit.
Wajahnya mulai pasi, pandangan sedikit menggelap, mungkin selain karena menahan sakit, ia tak tahan pada sengat mentari yang menusuk tepat di atas kepala.
Bunyi pagar terbuka di belakangnya terdengar, Diana lantas menoleh dan mendapati Devan berdiri, menatapnya. "Di sini panas." Dia perlebar pintu pagarnya. "Ayo."
Pria itu tak perlu bertanya apa yang terjadi pada Diana yang hanya berdiri di depan pagar rumah, dengan Firdaus yang menenteng beberapa kunci yang disatukan dalam satu kaitan besi bulat. Apa yang ia lihat cukup menjelaskan apa yang tengah Diana alami.
Menatap lagi pada Firdaus yang tampak tak suka pada kehadiran Devan, Diana lantas mundur, mengikuti Devan yang sudah masuk tanpa banyak berkata lagi.
Sebenarnya wanita itu bisa ke rumah tetangga. Atau ke rumah Tulangnya yang hanya berjarak beberapa meter saja. Tapi jika ditanya ia harus menjelaskan apa?
Enggan pulang karena ada Firdaus?
Nanti ditanya lagi memangnya ada apa dengan Firdaus? Sesama ipar kok malah bermusuhan. Lalu ia diceramahi panjang lebar.
Ck! Diana malas menjelaskan panjang lebar yang malah akan berdampak buruk pada keluarganya.
Jadi yang paling aman adalah berlindung di rumah Devan, dan jika beruntung dia bisa menumpang kamar pria itu untuk melompat ke balkon kamarnya. Kebetulan kunci kamar ada padanya.
Namun kala ia memasuki teras rumah Devan yang sejuk karena di halaman ditumbuhi pohon mangga yang cukup rindang, Diana mengerjap bingung.
Sepertinya dari pada masuk berduaan dengan tetangga lelakinya, lalu menimbulkan fitnah, Diana berdiri saja di teras sambil menanti Tiar.
Tahu keadaannya akan begini, dia pasti tak meninggalkan ponselnya. Tapi tadi ia berpikir hanya kondangan di rumah tetangga, jadi ia merasa tak perlu membawa apapun selain kado yang telah disiapkan.
"Masuk, Di."
Melihat Devan yang sudah berada di dalam rumah, Diana menggeleng dengan senyum sungkan. "Ngga apa-apa, bang. Mamak bentar lagi juga pulang. Biar kutunggu di sini."
Tak ingin memprotes keputusan Diana, Devan hanya mencebik dengan bahu terangkat sekali. "Kalau gitu aku masuk."
Tanpa menutup pintu, pria itu pergi meninggalkan Diana yang kemudian menatap jalanan, sambil mengintip sesekali ke arah pagar rumahnya yang sudah tak ditunggu Firdaus namun kunci masih di tangan pria itu.
Mulai lelah, dengan rasa sakit yang kian menjadi. Diana duduk di sisi kursi rotan yang ada di samping pintu rumah, karena takut mengotori benda itu dengan noda menstruasinya.
Ck! Dosa apa aku, mak? Gini kali nasibku!
Diana mulai meratapi diri. Namun juga memaki muda yang tak kunjung menampakan diri. Entah ke mana pria itu pergi. Awas saja, jika bertemu akan ia cincang hidup-hidup dijadikan makanan ikan koi peliharaan pria itu yang ada di belakang rumah.
Mampuus!
Mengusap wajah, mulai merindukan empuknya kasur dan nikmatnya terpejam. Diana berdiri ketika mendengar langkah di sampingnya.
"Eh, bang?"
Pria itu menyerahkan sebuah handuk kecil. "Ini bersih. Bisa dipakai untuk menggantikan pembalut."
Mendengar kata pembalut keluar dari mulut Devan, Diana membeliak namun seiring kemudian tersenyum malu. Wajahnya yang pasi kembali berwarna oleh rona merah. "Ngga usah—"
"Kamu bisa bersihkan pakaian kamu di kamar mandi."
*
Setelah tak bisa menolak tawaran Devan yang sedikit memaksa menurutnya, di sini lah kemudian Diana terdampar.
Di sebuah ruang memanjang, yang bagian ujung terdapat kamar mandi bersekat kaca transparan, dan bagian tengah tempat lemari pakaian dan perlengkapan lain seperti dasi, sepatu, jam tangan, dan kaca mata. Diana yang berada di ujung lainnya sedang mengenakan pakaian yang sudah bersih, di depan sebuah kaca lebar yang tertempel di salah satu sisi dinding sebuah ruangan yang Diana sebut walk in closet. Dia pikir tempat seperti ini hanya ada di sebuah novel saja.
Diana tadi membersihkan diri selagi mesin cuci mahal milih Devan yang bahkan tak Diana miliki padahal wanita itu memiliki usaha binatu, mengeringkan gaun dan celana dalamnya yang sudah ia bersihkan bagian kotornya.
Sedikit lembab, karena mesin cuci mahal milik Devan hanya mengeringkan sekitar 80% saja, namun tak masalah karena Diana akan segera pulang dan mengganti pakaiannya. Wanita itu keluar dari ruangan yang berada di dalam kamar Devan yang tak ia sangka lebih mewah dari perkiraannya selama ini—karena dari balkon kamarnya ia bisa melihat sebagian sisi kamar Devan yang memancarkan aura maskulin.
"Sudah?"
Diana berjengit kaget kala suara bass Devan yang duduk di sisi ranjang di tengah ruangan kamar terdengar tiba-tiba.
"Sudah, bang. Makasih."
"Heem. Mak Tiar belum pulang. Firdaus masih di depan pagar. Lebih baik kamu tunggu dulu sampai mak tiar pulang." Tanpa beranjak, pria itu menyodorkan sesuatu pada Diana. "Perut kamu sakit? Kamu terus memegangnya dari tadi. Pakai ini untuk sedikit meredakannya."
Bantal penghangat. Bagaimana bisa Devan sepeka itu sebagai pria? Diana terharu dibuatnya. Meski sudah menolak untuk hanyut pada kebaikan si tetangga yang selama ini sering menampilkan raut ketus, namun apa daya, jika hati Diana malah berdenyut-denyut bahagia.
Ya ampun. Jomblo memang tak bisa diberi harapan sedikit saja.
Mengangguk pelan, kehilangan suara yang biasanya berkicau tanpa saringan, berteriak seolah tinggal di hutan, Diana mendekat mengambil bantal penghangat yang Devan berikan.
"Butuh obat pereda nyeri? Aku punya kalau kamu mau."
Diana lantas menyengir. "Lengkap ya, bang?"
Devan tersenyum dengan anggukan pelan. "Dokter harus memiliki perlengkapan untuk mengobati, karena akan diperlukan setiap saat."
Dokter.
Cengiran Diana kian lebar, namun malah memperlihatkan sebuah kebodohan. Iya bodoh.
Harusnya Diana tahu jika apa yang Devan lakukan padanya adalah sebuah kebiasaan seorang dokter yang terbiasa menangani seorang pasien yang kesakitan. Dan ya ... Diana pasien, karena dia sakit.
Sudah lah, Di. Ngga jadi baper, kau!
"Duduk di sofa, di sana ada stop kontak."
Diana segera menurut pada ucapan Devan. Duduk di sofa yang tak jauh dari pintu balkon yang tak pemilik kamar buka, lalu menggunakan bantal penghangat yang pria itu beri.
"Aku tunggu di bawah. Kalau sakitnya belum reda, bilang saja."
Diana mengangguk lagi. Devan benar-benar memperlakukan dirinya bak pasien. Duuh apa kabar baper yang seketika retak tak beraturan.
Pasien nya kau, mblo! Pasien. Ngga usah ngarep!
Elah! Ngapain pula ngarep ama tetangga. Diana! Setengah otak kau pasti dicomot Kamisol!
"Makasih, bang. Maaf kali ngerepotin abang."
"Heem. Tidak masalah." Karena setiap melihat orang yang kesakitan, jiwa mengobati dalam diri Devan seketika akan muncul. Mungkin itu yang dinamakan naluri dokter yang telah bersatu dengan jiwanya.
Benar. Kali ini ia memandang Diana sebagai tetangga dan pasien. Tak lebih. Bahkan sejenak pria itu lupa jika Diana juga seorang wanita. Wanita yang sebenarnya sangat ia larang memasuki area pribadinya. Tempat ini hanya pernah dimasuki oleh dua wanita sebelumnya. Sang ibu, dan mantan kekasihnya. Jihan.
Lalu mengapa tanpa berpikir, ia menawarkan Diana memasuki kamarnya, bahkan menggunakan kamar mandinya? Di dalam kamar, setelah kurang lebih dua jam lamanya Diana di rumahnya, menanti Tiar, lalu kini sudah pamit pulang meninggalkan Devan yang masih diam di atas ranjang sejak satu jam lalu.
Pria itu masih memikirkan kebodohannya yang menawarkan Diana masuk ke dalam kamarnya. Ya ampun. Tampang Diana tadi tampaknya benar-benar memelas hingga alam bawah sadarnya mendadak tak tega jika tak memberikan sebuah bantuan.
"HA HA HA! Eh!"
Devan yang terlentang, menatap langit-langit kamar yang tak begitu terang karena lampu utama ia matikan, namun cahaya lampu tidur masih tetap membantu penglihatan. Pria itu segera bangkit saat mendengar tawa lantang dari seberang kamar yang mendadak berhenti.
Turun dari ranjang, pria itu berjalan mendekati pintu balkon dan diam di sana mendengar percakapan tetangga yang tengah menelepon seseorang.
"Malam ini, Tam. Tidurnya tetanggaku. Kena tegur lagi nanti. Hehe. Udahlah. Besok kau lanjut curhatnya. Aku mau tidur. Capek nya aku gara-gara ulah Muda sama si Daus sialan. Babay kekasih gelapku."
Sesaat berdiam diri di balik pintu, Devan kemudian membuka kunci, membukanya dan mendapati si tetangga yang berbalut gaun tidur berlengan panjang menatap ponsel namun sebentar saja sebelum beralih ke arahnya.
"Eh, bang? Maaf. Ganggu, ya?"
Menggeleng pelan, setelah berdiam menatap Diana hingga wanita itu tampak salah tingkah dibuatnya. Devan menghela napas pendek, lalu berjalan menuju kursi di sudut balkon dan duduk di sana.
Menatap lagi Diana yang duduk di ayunan gantung sambil memainkan ponsel, tak menepati ucapan pada seseorang yang diteleponnya tadi, jika Diana mengantuk dan ingin tidur. Devan berdecak samar, lalu terpejam dengan kepala menengadah.
Tadi siang, dia dan Diana tampak normal meski tak banyak pembicaraan yang dilakukan namun seolah tak ada sekat ketika ia memberi bantuan. Namun setelah mereka kembali di tempatnya masing-masing, Devan berpikir jika yang terjadi siang tadi adalah mimpi.
Rasanya masih belum dipercaya ketika ia bisa beramah tamah dengan tetangga wanita yang biasanya membuat ia emosi saja.
Part Tujuh
Tak tahu berapa lama matanya terpejam. Yang jelas ketika ia terbangun, Diana sadar ia tidur bukan di tempat yang seharusnya. Di kamar lelaki lain, di atas sofa. Itu bukan tempat yang seharusnya untuk wanita yang bukan siapa-siapa si pemilik kamar. Dan bukan hal yang bagus jika apa yang ia lakukan menjadi bahan omongan tetangga.
Entah ke mana tadi akal ia letakkan. Karena Firdaus sialan, ia harus di sini dalam keadaan memalukan lalu lebih tak malu lagi menumpang tidur seolah ruangan ini adalah miliknya.
Lagian, si pemilik kamar bisa-bisanya menyuruh dirinya berdiam di sini sendirian, padahal bisa menawarkan Diana di kamar yang lain.
Tapi kata Devan, mesin cuci yang sistem pengeringnya paling bagus hanya ada di sini. Sementara yang ada di kamar mandi bawah adalah mesin cuci biasa. Baik. Itu bisa dimengerti. Tapi membiarkan Diana menggunakan kamar pria itu untuk beristirahat?
Ya ampun apakah Diana begitu memelas tadi, sampai dikasihani seperti ini?
Segera keluar dari kamar, tanpa merapikan sanggulan rambutnya yang sudah acak-acakan, namun berpikir apakah tadi Devan melihat wajahnya yang biasanya tak sopan kala terlelap, misal menganga atau ngiler. Ya ampun, Diana tak memiliki muka. Wanita itu turun, dan di belakang tangga, ia lihat Devan sedang duduk di sebuah sofa, menyaksikan berita dari layar televisi besar, yang menurut Diana mungkin empat kali lipat dari TV 21 inch yang ada di rumahnya. Mata pria itu apa tak sakit melihat layar seperti itu?
"Kamu sudah bangun?"
Diana yang masih berada di anak tangga terakhir langsung terkesiap namun segera mengangguk cepat. "Maaf, bang. Ketiduran." Karena dia memang sedang begitu lelah. Entah apa yang dikerjakannya, intinya tubuhnya lelah. Mungkin karena menstruasi yang menyerap sebagian daya tubuhnya?
"Ngga apa-apa." Meski dalam kepala sempat menyesali keputusannya yang membiarkan Diana menempati kamarnya yang merupakan tempat paling pribadi.
"Em...." Diana turun, berjalan ke arah sebuah pintu menuju ruang tamu. "Bang, makasih yah. Maaf kali ngerepotin. Aku pulang dulu, mungkin mamak udah di rumah." Diana tersenyum bersama anggukan singkat. "Permisi, bang." Lalu pergi, berjalan cepat tanpa menunggu jawaban Devan.
Dia tak tahu harus meletakkan di mana wajah satu-satunya yang sekarang sudah semerah saga. Tak lagi ia pedulikan apapun pendapat Devan padanya. Memalukankah, menjijikankah, tak tahu dirikah. Terserah. Yang penting sekarang ia pulang, dan jika ternyata masih ada anjing sialan itu di depan rumahnya, ia akan berbelok ke acara pesta Ziena dan menarik sang ibu untuk pulang.
Namun beruntung sekali memang si tepos ini. Ketika melongok ke arah rumahnya, motor Muda sudah terparkir di sana. Dia pulang!
"Eh, kak. ke mana dari tadi?" Muda tampak terkejut pada kehadiran kakaknya yang masuk tanpa berucap salam. Sudah biasa jika Diana tak memiliki sopan.
Mengernyit, Diana mengangguk pelan. Adiknya tak sendiri, melainkan tengah berduaan dengan Irish, calon istri Muda yang duduk anggun di sofa tunggal setelah tadi meloncat dari sofa panjang, ketika Diana masuk ke rumah tanpa suara. Gadis yang usianya baru memasuki dua puluh dua tahun itu tersenyum malu-malu minta ditinju.
Tadi tak memiliki malu saat berdekatan dengan Muda, menempel-nempel seperti lem alteco. Heran. Kenapa anak perempuan jaman sekarang, dipegang terlalu intim dengan lelaki yang bukan pasangan sahnya biasa saja. Diana saja masih merasa risih. Ya ... walau tadi saat tangannya dipegang oleh tetangga sebelah tubuhnya mendadak merinding disko. Tapi kesal dan memalukan juga. Eh tapi lagi, kan hanya pegangan tangan.
"Ngga usah gatal nya, kelen!"
Lalu melangkah cepat menuju anak tangga, meninggalkan Muda yang cengengesan, dan Irish yang langsung menunduk malu. "Ngga usah kau dengar kak Di. Irinya dia sama kita."
"NGGA ADA NYA AKU IRI SAMA KELAKUAN MESUM KALIAN, BODAT!"
Eh, Diana dengar rupanya.
*
Baper itu seperti sebuah penyakit berbahaya untuk para jomblowan dan jomblowati yang tak memiliki tameng tebal untuk menjaga hati agar tak patah hati. Karena efek baper bisa membuat tubuh gemetar, dada sesak, mulut tergagu, tak sanggup berucap, atau malah bersikap salah tingkah, dan sok malu-malu tai kucing! Tapi itu tak berlaku untuk Diana yang sudah terlalu banyak memakan manis, asam, asinnya sebuah harapan palsu dari para pria yang sekadar memberikan harapan tanpa iming-iming kepastian.
Baper boleh. Bodoh jangan.
Baper tak masalah. Namun kalau itu bisa membuat dirinya kemudian jatuh cinta, atau berusaha mendapatkan hak penuh atas perhatian si pria yang sekadar memberi perhatian, kadang tak bermaksud lain, hanya karena ingin berbagi kebaikan seperti tetangga sebelah pada Diana tadi. Oh ... jangan.
Diana melayang pada kebaikan Devan padanya. Pria itu tulus. Tapi selain karena memang pria itu dokter yang jiwanya sudah menyatu dengan profesi yang bertugas untuk menolong manusia, Devan baik padanya, juga karena Diana adalah tetangga. Hanya itu. Tak lebih.
Jadi setelah tadi ia dibuat dag dig dug oleh kelakuan si dokter sebelah, Diana kini tak merasakan hal lain, selain rasa malunya karena harus dipergoki tengah menstruasi oleh seorang pria yang kemudian menyodorkan bantuan dan dia seperti tak tahu diri malah menumpang mandi, cuci baju, lalu tidur, dan setelahnya pergi begitu saja.
Iya. Diana seperti kehilangan muka, bahkan tak tahu harus bertingkah seperti apa jika bertemu si tetangga sebelah. Duh ... pulang ke rumah, niatnya istirahat, si Diana malah memikirkan apa yang harus ia lakukan jika bertemu Devan yang tak mungkin ia hindari jika menampakan diri di balkon kamar pria itu.
Bersikap biasa saja? Tapi kok susah, ya? Mengingat apa yang terjadi tadi siang, bukan hal yang bisa dilupakan hanya dengan satu kalimat ; Lupakan itu Diana!
Tidak semudah itu Ferguso!
"Di! Mana kau, Di?"
Sedang duduk di sisi ranjang, Diana mendongak mendapati ibunya berdiri di pintu sebelum memberondong masuk dengan ekspresi begitu antusias. Tiar duduk di samping sang putri dengan sepasang mata mengerjap penuh sinar laser. Soalnya, tatapan mengharap Tiar seperti tatapan membunuh bagi Diana.
"Kau pacaran nya sama Devan? Iya nya? Ngga ada kau cerita sama mamak?! Udah main rahasia-rahasiaan rupanya kau, ya?!"
Diana mencebik, sebelum kemudian meletakkan punggung tangan di kening sang ibu sebelum ia letakan di bawah bokongnya. "Suhu mamak, normal?!"
"Kau pikir mamakmu, sakit?!" Tiar mengambil bantal, dan memukulkan di kepala Diana yang sontak berteriak. "Mamak serius! Kau pacaran sama orang sebelah?"
Diana melihat ibunya sudah persis seperti pembawa acara gosip Astrid Tiar. Bersemangat untuk meng-ghibah. Tapi tak masuk akalnya adalah Tiar menggosipi anaknya sendiri.
"Mak."
"Pacaran?" Senyum Tiar sudah seperti senyum lebar boneka Annabell.
"Ck! Apa lah mamak, ni! mamak tengok kami pacaran, ngga?"
"Kau yang pacaran! Nanya kau sama mamak?!"
"Ck! Ngga ada yang pacaran, mak! Itu si Kamisol aja yang mulutnya lebar!"
Tiar meremas gemas bibir putrinya yang segera mengomel pelan. "Kamli! Pak RT! Mantan kau!"
Kamli, si pak RT yang Diana sebut ember, menyebarkan gosip sialan, memang mantan pacarnya. Pria itu berusia tiga puluh dua tahun, ketika dulu berpacaran dengan Diana yang masih belia. Dua puluh tahun. Jadian ketika Diana liburan semester. Tapi usia pacaran mereka tak panjang, karena selain alasannya Diana jauh, di Jakarta, dan Kamli tak sanggup LDR. Kamli ingin dinikahkan oleh perempuan yang kata orangtua Kamli lebih dewasa, dan sesuai oleh pria itu.
Perbedaan usia dua belas tahun di antara mereka menjadi hambatan. Meski bagi Tiar dan Suryo tak masalah. Tapi namanya tak jodoh. Mau bagaimana? Toh meski dulu Diana sempat bersedih, karena Kamli menurutnya lelaki baik, dan memiliki selera humor yang sama seperti dirinya, kini Diana merasa jika takdir Tuhan lebih indah. Untung dia tak menikah dengan Kamli.
Sekarang di usia empat puluh dua tahun, Kamli si pak RT sudah seperti pria berusia lima puluh tahun, dengan sebagian rambut memutih. Lah, Diana masih kinyis-kinyis, seperti gadis belia yang manis. Dalam mimpi Diana. Tapi tak masalah. Diana memang jauh lebih muda dibanding teman seusianya, yang sudah menikah.
Ya ... mungkin teman-temannya sudah tak memiliki waktu untuk merawat diri, karena selain menjaga anak, juga ada suami yang sebenarnya untuk urusan makan bisa ambil sendiri. Tapi karena merasa memberi nafkah yang menurut Diana tak seberapa, tak sewajarnya para beberapa suami itu memperlakukan istri seperti babu.
Sedang Diana, seluruh waktunya ia habiskan untuk dirinya sendiri. Tak bagi-bagi. Lalu jika nanti ia menikah, ia hanya menginginkan satu hal dari suaminya. Hargai dirinya sebagai seorang istri, bukan babu atau sekadar mesin pencetak anak. Dan dia berjanji akan memperlakukan suaminya sebagai kepala rumah tangga, tak sekadar penghasil uang.
Tapi sayang, janji itu belum tahu bermuara pada siapa. Duh ... jodoh. Mengapa seperti barang antik yang sulit didapat, sih? Eksklusif.
Diana kembali pada ibunya yang masih setia menanti jawaban. "Mak. Tadi, kami ngga sengaja barengan ke tempat Ziena. Terus temu nya sama pak RT. Ngga ada angin ngga ada hujan. dia bilang kami pacaran. Mulutnya Kamisol kan kek ember pecah, mak. Meleber lah ke mana-mana itu gosip yang dibikin sendiri. Lah Diana males nggubris, bang Devan juga mungkin ngga mau peduli. Dilayan malah lebar nanti gosipnya. Ya diemin aja, lah!"
Lalu Tiar diam, menatap putrinya dengan bibir menganga. "Jadi ngga ada pacaran?" tanyanya kemudian.
"Ngga ada! Udah, ngga usah ngarep tinggi-tinggi. Orang sebelah juga ngga ada mau sama Diana! Tukang Laundry nya, Diana. Bukan bidan, perawat, polisi, apalagi dokter!"
Tiar mengerjap heran. "Heran nya, mamak. Kau mamak kuliahin sampai S2 biar kau bisa dapat laki-laki yang sepadan. Balik kampung, malah ngga ada yang mau sama kau! Katanya takut, Sinamotnya mahal! Takut ngga sepadan. Nanti kau melawan sama laki kau, karena pendidikan kau sama gaji kau lebih besar. Lah, ada dokter, kaya, dibilangnya kau ngga sepadan! Ngga cuma kau yang bilang! Wak Uli-mu tadi juga bilang gitu. Ada lagi orang yang bilang gitu. Cantiknya anak mamak." Tiar menjepit dagu Diana, lalu sedikit mengangkatnya ke atas.
"Pintar, pandai cari duit." Sepasang mata Tiar berkaca. Diana benci, ketika ibunya harus mempedulikan omongan orang tentang dirinya. Dan bodohnya ia juga merendahkan dirinya di hadapan sang ibu. "Ck! Bengak kali lah yang bilang anak mamak ngga sepadan." Namun kemudian Tiar memukul kepala Diana, namun pelan. Tak keras seperti biasanya, hingga membuat Diana mendesis kesakitan. "Kau juga! Kau sepadan sama siapapun! Cuma laki-laki bengak yang ngga sepadan sama kau! Udahlah! Pening palakku."
Tiar berdiri, dan segera meninggalkan Diana yang terpaku, menatap pintu nanar. Ibunya akan menangis diam-diam setelah ini. Dan Diana pasti akan melakukan hal yang sama.
Ini bukan tentang dirinya yang tak kunjung menikah dan menjadi omongan para tetangga. Namun tangis orangtuanya yang seolah takut, jika dirinya kelak akan tua sendirian tanpa siapapun yang mendampingi.
Berdiri, mengambil ponsel yang sedang ia isi dayanya di atas nakas. Diana berlalu menuju balkon, dan duduk di ayunan gantung, menghubungi seseorang sambil menahan isaknya. Diana menunduk, untuk berjaga-jaga jika tetangga sebelah keluar. Dia tak ingin siapapun memergoki kondisi malangnya, selain...
"Tama? Sibuknya, kau?"
Dari seberang, suara batuk pria terdengar. "Ngga! Kenapa, kau? Parau suara, kau. Sakit?"
Diana menggeleng, mulai menghapus air mata yang bercucuran. "Bingung aku, Tam. Bantu aku lah."
"Bingung? Kenapa? Kau nangis, Di? Jangan nangis, lah! Makin jelek kau nanti!"
Tertawa, di sela tangis yang tak mampu ia reda. Diana mengatur napasnya. "Mau balik ke Jakarta aja lah aku, Tam. Pusing aku kalau mamak sama bapakku ikut mikir jodohku. Sedih aku lihatnya, Tam."
"Masalah nikah lagi?! Ya ampun! Orangtua nya, Di. Udah biasa gitu."
Diana menggeleng. Tak peduli jika gerakan kepalanya tak dapat Tama lihat. Lalu membersit hidung yang sudah mampet karena menangis. "Tapi ngga kuat lama-lama nya, Tam."
"Kau bilang mau jaga mamak bapak kau, di sana. Terus mau balik ke sini? Ngga kasian?"
Kali ini Diana diam. Tujuannya pulang kembali ke kampung halaman adalah untuk menjaga kedua orangtua yang telah renta, karena mengandalkan Lella yang kadang masih merepotkan orangtuanya jelas tak mungkin. Apalagi Muda, yang membuat segelas kopi saja tak bisa. Nanti kalau Suryo sakit, dan Tiar kelelahan, siapa yang membuatkan teh ayah dan ibunya?
"Kalau jarak kita sekadar diukur sama KM, Di. Udah aku nikahi kau dari dulu. Tapi kau ucap salam pakai Assalamualaikum, aku Shalom. Kau Alhamdulillah, aku Puji Tuhan. Jauh kali jaraknya, Di. Ngga bisa aku jangkau sama kaki, pun lamborghini."
Diana tersenyum, di sela-sela tangis yang kian menjadi. Tama. Ia pernah jatuh cinta pada pria itu ketika dirinya memasuki dunia kerja di usia dua puluh tiga tahun. Saat itu, Tama adalah teman kerja senior yang membimbing dirinya.
Bahkan ketika ia pindah tempat kerja, pria itu masih mendampinginya, mengajarinya banyak hal. Ketika ia pikir jika kebaikan pria itu karena mereka berasal dari tanah yang sama, Medan. Pria itu malah menyatakan cinta.
Diana membalasnya. Karena terlalu munafik jika tak mengakui apa yang hatinya rasakan pada pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka memilih mengubah status di antaranya menjadi sekadar teman. Ah tidak ... persahabatan. Tak lebih. Karena ketika mereka berjalan bersama ke tempat ibadah mereka masing-masing, saat itu mereka sadar. Semakin jauh kaki mereka melangkah bersama, semakin dalam pula luka yang akan mereka terima.
Ini hanya sekadar cinta sesama manusia. Mana mungkin, demi ego agar bisa bersama, mereka khianati keyakinan mereka, ia khianati Tuhan mereka?
"Uluh uluh, manis kali lah bibirku." Di seberang sana, Tama tertawa. "Dag dig dug kah hatimu wahai Diana-Diana?"
Diana ikut tertawa, sambil menghapus air matanya. "Iya. Manis kali, sampai diabetes aku dibuatnya."
"Udah berhenti nangis, kau? Udahlah. Ngga usah kau mikir kawin! Kau tengok aku, masih melajang, ngga ada yang mau aku kawini! Baru kudekati saja mereka lari!"
Diana tertawa, mendengar hiburan hambar dari Tama. Namun ia harus tertawa, agar Tama tak kecewa. "HA HA HA! eh." Diana menutup mulut, kala ia sadar tak boleh membuat keributan jika tak ingin ditegur tetangga sebelah yang mengingatkannya lagi pada hal memalukan tadi siang.
Sialan!
"Fake kali lah tawa kau, Di. Ngga lucu, ngga usah nya kau ketawa!" Seketika Tama menjadi sewot. Pria ini memang sensitif sekali perasaannya. Dulu juga ketika mereka memilih putus, Tama yang lebih banyak menangis. Sedang Diana lebih banyak menegarkan. Wanita itu memilih menangis diam-diam agar Tama tak semakin menyesalkan kandasnya hubungan percintaan mereka.
"Malam ini, Tam."
"Terus? Udah curhatan, kau? Belum ada aku beri wejangan indahnya tadi, Di!"
"Tidurnya tetanggaku. Kena tegur lagi nanti." Diana terkekeh pelan. Baginya sudah sangat cukup membagi sedikit kegundahan dengan bercerita meski tak ada saran yang memuaskan. Ya ... nyatanya ia memang hanya ingin didengar.
"Eh! Aku mau curhat juga nya, Di! Tadi siang ak—"
"Udahlah. Besok kau lanjut curhatnya. Aku mau tidur. Capek nya aku gara-gara ulah Muda sama si Daus sialan. Babay kekasih gelapku."
Diana langsung mematikan panggilan, masa bodoh dengan rentetan pesan berisi makian yang akan Tama kirimkan padanya sebentar lagi.
Klek!
Bunyi pintu terbuka, seketika seperti sebuah vonis mati bagi Diana yang segera mendongak dan tersenyum kikuk melihat sosok Devan di depannya. "Eh, bang? Maaf. Ganggu, ya?"
Diam, menatap Diana seperti menatap korban yang tak berdaya di bawah kuasa pria kejam, hingga wanita itu duduk gelisah dibuatnya, Devan menggeleng dan menghela napas pendek sebelum duduk di kursi sudut balkon.
Diana yang sempat salah tingkah langsung mengernyit keheranan. Tumben pria di seberang sana tak menegurnya? Biasanya akan mengatakan; Bisa tolong diam?
Diana terkikik merasa lucu sendiri. Kenapa sih, dia bisa merasa begitu takut jika pria pemilik balkon kamar sebelah keluar dan menegurnya. Ya ampun, pasti bagi pria itu dirinya amat sangat mengganggu.
Part Delapan
Dulu, sebelum dirinya diboyong ke Provinsi Sumatera Utara, Devan tinggal bersama kakek dan neneknya di Jakarta. Orangtua kedua yang mengasuhnya, merawatnya tanpa pamrih, di saat Ima harus menemani Tommi, suaminya bekerja ke luar kota. Namun, kejadian buruk menimpa Devan kala itu.
Harusnya hari itu menjadi hari yang menyenangkan ketika ia bersama kakek dan neneknya menjemput sang ibu di bandara. Harusnya dia bahagia bisa menarik paksa sang ibu masuk ke sebuah toko mainan, dan memborong berbagai mainan yang ia inginkan. Harusnya. Namun, semua tak seperti yang ia terka ketika sebuah mobil sedan menabrak mobil yang dikenderai sang kakek, dan mencederai mereka yang ada di dalamnya.
Devan, dan neneknya turut menjadi korban. Namun, entah karena dirinya ada di belakang, tak terkena hantaman langsung mobil sedan yang menabrak dari arah depan atau memang dirinya sedang berada dalam keberuntungan. Luka di tubuhnya hanya berupa goresan. Tapi tidak dengan kakek, neneknya, orangtua sang ibu yang harus meregang nyawa di depannya.
Pertama sang nenek, meninggal ketika sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit. Dan kakeknya ... tak mendapatkan perawatan yang optimal ketika dibawa di UGD dan ditangani dokter yang terlihat kelelahan hari itu. Mungkin sudah begitu banyak pasien yang ditangani, hingga dia tampak lamban mengambil tindakan sebagai pertolongan utama.
Ia ingat, ketika dokter itu berteriak kepada seorang perawat, ketika darah segar keluar dari mulut kakeknya. Anak kecil berusia sepuluh tahun, hari itu hanya bisa melihat dan menangis, tanpa sang ibu yang masih menunggu di bandara, dan berpikir jika mereka telat menjemput karena macet.
Melihat bagaimana raut bingung dokter yang menangani sang kakek kala itu, juga kepanikan yang semestinya tak muncul di saat yang begitu genting, Devan bertekad jika ia akan menjadi seorang dokter yang bisa menyelamatkan pasien dengan mengerahkan semua kemampuan terbaiknya. Ia harus bisa mengontrol emosi, agar pasien yang menaruh harapan di tangannya, tak menerima tangis keluarga yang menanti kabar baik dari pasien yang ditangani.
Namun, setelah lima tahun ia menjadi dokter IGD, Devan kemudian paham jika dokter adalah manusia yang kadang tak mampu mengontrol emosinya ketika mendapatkan tekanan bukan sekadar dari kewajibannya yang harus menyelamatkan pasien, namun juga keluarga pasien, dan kondisi fisik yang kadang telah terlampau lelah.
Hari ini, ia bahkan baru akan menyeruput tehnya, kala seorang perawat datang dan mengatakan ada pasien sesak napas. Bergegas, melupakan jika seharian perutnya belum terisi dengan secuil makananpun, Devan segera menemui pasien dan melakukan pemeriksaan.
Selesai menangani pasien sesak napas karena alergi selai kacang, Devan yang baru menelan satu suap makan siang yang baru bisa ia nikmati di sore hari, perawat datang dan mengatakan jika ada pasien kecelakaan.
Dia belum menghabiskan makanannya, ketika harus melakukan operasi pada pasien yang mengalami luka parah pada area perut yang bisa mengancam jiwa jika tidak segera ditangani. Devan lelah. Ketika ia baru keluar dari ruang operasi, dan seorang perawat mengatakan jika pasiennya, wanita berusia dua puluh tahun yang baru saja menjalani operasi usus buntu enggan meminum obat jika bukan dirinya yang menemani.
Devan mengurut kening. Mengangkat tangan, pria itu menyerah pada kondisi tubuhnya yang butuh istirahat. "Bisa ditunda sebentar? Saya mau makan. Sebentar saja," katanya lalu segera pergi menuju ruangan.
Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis ilmu bedah, Devan tak menyesal kala ia memutuskan untuk menjadi dokter IGD saja. Di sana, jauh lebih membutuhkan dokter yang kompeten, karena menangani pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, dokter IGD harus memiliki pemahaman yang lebih jauh jangkauannya dari sekadar dokter umum biasa.
Namun terkadang ia merasa lelah, dan ingin menyerah, ketika menjadi dokter IGD, ia dipaksa untuk memiliki kesigapan, bukan hanya gerak, namun kecepatan berpikir, juga ketenangan di antara kepanikan pasien maupun keluarga pasien.
Terlalu sering menyaksikan pasien yang meregang nyawa sebelum berhasil ditangani, dan dengan seluruh rasa empatinya, Devan harus bisa menjelaskan pada keluarga pasien tentang kondisi pasien, dan siap menerima makian jika keluarga yang ditinggalkan merasa kematian pasien merupakan kesalahannya, meskipun tidak. Namun, seperti dirinya dulu yang pernah menyalahkan dokter UGD yang menurutnya tak sigap dalam menangani sang kakek hingga akhirnya harus meregang nyawa, Devan harus paham, jika keluarga pasien kini seperti dirinya dulu yang tengah berada dalam keadaan duka dan mencari pelampiasan untuk semua rasa tak terimanya, menerima kepergian orang tercinta.
Devan pernah lelah. Namun ketika ia ingat untuk sampai di tahap ini dia melakukan berbagai perjuangan, termasuk kehilangan seorang kekasih yang katanya memilih pria lain karena ia begitu sibuk mewujudkan impian, Devan berdiri lagi, dan mempertahankan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Menolong tanpa pamrih. Menolong tanpa batas.
Tok tok tok!
Dan Devan yang baru saja keluar dari kamar mandi menyelesaikan hajatnya langsung menghela napas pelan, namun tak menggerutu melainkan tersenyum senang. Setidaknya pintu ruangannya tak diketuk ketika ia masih berada di kamar mandi. Ingat! Kecepatan merupakan hal penting yang harus dimiliki dokter IGD, tak peduli dirinya sedang berada di kamar mandi, melakukan apapun yang bisa dilakukan di ruangan kecil itu. Keselamatan pasien adalah nomor satu.
Devan membuka pintu dan yang ia temukan adalah senyuman lebar Arum yang kemudian mengangkat sebuah bungkusan. "Taraaa! Katanya kamu lagi sibuk banget, ya? Aku tuh harusnya udah pulang dari tadi, tapi dompet aku ketinggalan. Dan pas balik perawat bilang kamu lagi dapet ujian." Arum tersenyum lagi, memamerkan jajaran gigi putihnya yang kian menyempurnakan kecantikannya. "Aku beliin ayam di kantin."
Kedekatannya dengan Devan beberapa bulan ini, wanita itu sambut dengan baik, meski ia tak tahu ke mana hubungan ini akan bermuara. Namun apapun tujuan Devan mendekatinya, entah karena suka dirinya, atau sekadar ingin mempererat hubungan pertemanan, Arum senang bisa mengenal sosok Devan lebih dalam.
Belum begitu paham memang, karena Devan adalah seseorang yang irit berbicara, dan terlalu tertutup karena jarang membicarakan hal yang begitu pribadi seperti keluarga, atau orang terdekatnya. Tapi Arum sedikit tahu jika Devan adalah pria baik yang tak tegaan.
Jangan pernah mengatakan pada Devan jika sedang dalam keadaan susah, seperti sakit atau telilit hutang. Tanpa banyak bicara, pria itu akan memberikan bantuan sebisa mungkin. Ya ... Arum baru tahu hal itu ketika dirinya dan Devan kian dekat akhir-akhir ini. Sedangkan dulu, ia hanya sekadar teman satu profesi di tempat yang sama. Memang ia sering mengajak Devan ke kantin bersama, namun hanya sebatas itu. Dan selebihnya, yang ia dengar dari orang di sekelilingnya, Devan pria tak peka, yang sangat jarang bergabung dengan teman seprofesinya, dan tak suka membuang waktu dengan berkumpul di luar rumah sakit, di waktu kosong.
Namun anggapan itu salah. Bahkan kata orang Devan adalah pria yang pelit memberi tumpangan, nyatanya pria itu rela mengantarkannya pulang waktu itu. Tak hanya sekali, malah berulang kali. Dan Devan juga tak segan turun dari mobil untuk memayunginya, ketika langit tengah menangis.
"Aku pikir ada pasien lagi. Masuklah." Pria itu memberi ruang untuk Arum yang segera masuk dan duduk di sofa sudut.
"Ngga. Di depan longgar! Bisa istirahat kamu," jawab Arum yang menyodorkan bungkusan pada Devan yang duduk di kursi lain di sampingnya. "Ada jadwal piket malam ini?"
Devan menggeleng. "Ngga ada. Besok." Pria itu membuka bungkusan pemberian Arum dan memakan ayam goreng yang ada di dalamnya. "Kamu ngga pulang?"
Arum mengerucutkan bibirnya. "Ngusir, nih?"
Seketika, Devan mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya tak mengerti.
"Ck!" Arum bersedekap, pura-pura kesal. "Kamu nanyain aku ngga pulang. Itu artinya ngusir?"
"Ohh." Devan segera mengangguk mengerti, seolah ia tak memiliki masalah pada tuduhan Arum barusan. "Aku ngga tau kalau pertanyaanku tadi kalimat pengusiran." Tak melihat pelototan Arum yang gemas pada kepolosan dirinya, pria itu melirik jam dinding yang berada di atas pintu. "Aku harus pulang. Kamu masih mau di sini?"
Sontak, mata Arum berputar dibuatnya. "Ya kalau kamu pulang ngapain aku di sini, dokter Devan?"
Devan segera tersenyum tanpa dosa. "Kalau begitu ayo ke parkiran sama-sama. Kamu bawa mobil, kan?"
Arum berdecak kesal. "Harusnya aku ngga bawa mobil, kalau tau pulangnya bisa bareng kamu."
Lagi-lagi, Devan tersenyum tipis. Arum kini sedang berada pada tahap mengharap, sama seperti Jihan saat itu, ketika berhasil ia dekati dan terbuai dengan pendekatan yang ia lakukan. Namun sayangnya, jika dulu ia menaruh hati terlebih dahulu pada mantan kekasihnya itu, kini ia sedang berada dalam tahap mencoba mencintai, namun nyatanya yang muncul hanya sekadar rasa simpati.
Katanya cinta bermula dari mata, baru kemudian turun ke hati. Sudah memilih wanita yang memanjakan mata, kenapa cinta belum juga menyambangi hati? Sebenarnya, apa sih yang dirinya inginkan? Kalau begini, kapan ia membawa calon menantu untuk sang ibu?
Devan pusing mendadak setiap mengingat teror sang ibu tentang menantu, pernikahan, lalu anak.
*
Seharian ini Diana tak henti-hentinya memaki. Afika dan Seto yang tak bersalah kena semburan api dari mulutnya yang jika sudah emosi lupa yang namanya tata krama, apalagi kosa kata bermakna positif.
Ini dikarenakan Muda yang diam-diam mengambil kunci mobilnya ketika ia mandi, untuk pergi bekerja. Sementara motor butut yang suka mendadak mati milik Muda ditinggalkan, beserta sebuah tulisan, "Kutitipkan kudaku ini padamu, kakak tecinta."
Tercinta dari neraka. Nanti jika Diana sudah tiba di rumah, ia jamin jika Muda tak akan selamat. Sialan! Ketika ia berharap motor matic yang ia kendarai ini tak kambuh penyakitnya, di hujan yang mendadak turun dengan derasnya, motor yang rasanya ingin Diana buang ini mati.
Mati total, tak bisa dinyalakan.
Diana akan membunuh Muda! Terlebih ketika adiknya itu tak mengangkat telponnya. Benar-benar akan ia buat adiknya tak bisa merasakan malam pertama yang sudah Muda idam-idamkan.
Seperti seorang penjahat, mata Diana berapi-api penuh dendam.
"Muda sialan!" makinya pelan, sambil mendorong motor butut itu di tengah hujan. Ia berencana memarkirkan motor ini ke sebuah minimarket, dan biar Muda yang menjemputnya nanti. Diana malas mencari bengkel, di saat hujan begini. "Kubunuh kau, Muda!" Dia kesal pada adiknya yang terlalu boros menabung untuk membeli sebuah kendaraan yang tak perlu mewah, namun setidaknya bisa melindungi dari sengatan matahari maupun hujan seperti saat ini.
Tapi dasar keras kepala. Bukannya menabung, gaji pria itu selalu habis untuk pacaran, rokok, dan jajan. Untung Tiar mendapatkan jatah bulanan. Jika tidak, bisa dipastikan Muda akan menyesal telah menjadi adiknya, dan anak mak Tiar.
Tiit tiit!
Diana segera berhenti ketika sebuah kendaraan bertipe SUV warna silver berhenti di depannya. Kening wanita itu mengernyit kala merasa kenal dengan mobil tersebut.
Namun pilih acuh, Diana kembali berjalan, mendorong dengan mengikis semua rasa malu karena menjadi tontonan. Wanita kurang kerjaan mendorong motor di tengah hujan. Bukannya dibantu, malah Diana sempat melihat apa yang ia lakukan direkam seseorang.
Dirinya akan dijadikan sebuah berita di instagram dengan caption ; kasihan kakak ini. Hujan-hujanan bawa motor yang dijual untuk biaya pengobatan.
Mulai ... Hoax mode on!
Sialnya lagi, si pengunggah dapat simpati, ucapan terima kasih, dan like juga pengikut yang banyak, sedang Diana masih di sini mendorong motor yang akan innalillahi.
"Diana!"
Ketika namanya dipanggil, wanita itu langsung mencari sumber suara dan terpaku pada sosok pria berkemeja biru langit, membawa payung dan mendekatinya.
Devan ... mengapa dia harus bertemu dengan pria ini, sih? Sialnya bertemu dalam keadaan yang perlu dikasihani begini. Lagi untuk kesekian kali.
"Motor kamu kenapa?"
Pria itu memayungi Diana yang tubuhnya sudah basah kuyup.
Mengerjap, merasa tak enak dihampiri begini, Diana menggeleng samar dengan bibir mencebik. "Mati mendadak, bang."
"Terus mau kamu dorong sampai rumah?" Pria itu tercengang dan terheran-heran.
"Ya ngga lah!" Diana tertawa pelan merasa lucu pada pertanyaan pria yang baru datang dan langsung memayunginya seolah sebelum hari ini, mereka begitu akrab satu sama lain. "Mau parkir ke minimarket depan." Diana menunjuk minimarket yang ia maksud. Jaraknya hanya tinggal beberapa meter lagi. "Abis itu cari ojek, pulang."
"Kita bisa pulang sama-sama."
Diana lantas menggeleng, menolak dengan senyum sopan. "Ngga usah, bang. Badanku basah. Nanti mobilnya basah."
"Pegang payungnya, biar aku yang bawa motornya ke sana."
Pria itu menyodorkan payung biru pada Diana yang terpaksa memegangnya.
"Beneran ngga usah, bang. Biar aku naik ojek aja nanti."
Namun seolah tak menerima sebuah penolakan. Devan yang sudah memegang stang motor Muda menatap Diana tegas. "Ayo."
Dan seperti sapi dicucuk hidungnya. Diana menurut sambil bertanya-tanya dalam hati atas sikapnya kali ini.
Kenapa dia harus menuruti Devan, sih?
Dan Devan mengapa memaksanya begini? Sebentar. Dalam satu minggu ini, mengapa dirinya bisa terlibat dua kali komunikasi dengan si kulkas ini? Ya ampun!
Tumben kali!
Dua puluh tahun saling mengenal sebagai tetangga, baru saat acara pernikahan Zeina seminggu yang lalu dan hari ini Devan berbicaranya lebih dari satu kalimat.
Bah! Perlu dapat rekor MURI ini!
Part Sembilan
Devan ingat apa yang temannya katakan dulu, ketika ia memberikan bantuan pada seorang wanita yang jatuh terjerembab ke dalam selokan kecil. "Jangan terlalu baik, kalau tidak mau dianggap memberi harapan."
Devan tak mengerti jelas apa maksud dari ucapan tak berguna itu. Maksudnya, jangan pernah menolong sesama, jika enggan orang tersebut berharap lebih padanya. Sungguh, Devan tak tahu mengapa opini terbelakang seperti itu masih melekat di otak beberapa manusia.
Bodoh sekali manusia yang mengatakan jangan menjadi orang yang terlalu baik, apalagi pada lawan jenis. Karena akan menjadi hal yang tak baik jika dia menganggap lain kebaikanmu, atau terpesona dengan kebaikanmu, lalu mengharap padamu yang bahkan tak bisa mewujudkan harapan-harapan itu.
Mengapa sebuah kebaikan harus diberi batasan, sementara tanpa batasan itu saja, banyak manusia yang melenyapkan kepedulian pada sesama.
Mengapa harus memikirkan resiko ketika ingin melakukan sebuah kebaikan, jika ketidakpedulian membuat manusia tidak berguna untuk sesamanya.
Devan membenci dengan opini terbelakang yang tak bisa diterima oleh logikanya. Pria itu akan membantu siapapun yang membutuhkan bantuan, dan tak perlu merasa takut jika dirinya akan menciptakan sebuah harapan. Karena sebenarnya rasa seperti itu tak akan pernah ada jika seseorang yang ia tolong bisa membedakan mana kebaikan tulus, dan mana kebaikan yang menyelipkan sebuah harapan kosong.
Ya ... itu yang Devan lakukan. Memberi pertolongan pada siapapun, tanpa memikirkan dampak buruk yang akan terjadi. Karena bagi pria itu, hal positif tak pernah menciptakan negatif.
Dan itulah yang ia lakukan kini. Menghentikan kendaraan kala ia melihat seorang wanita mendorong motor di tengah hujan deras. Sungguh, ia tak mengenali siapa wanita itu awalnya. Dari kejauhan ia terlampau iba pada wanita malang yang tampak kesusahan, dan dia ingin menawarkan bantuan apapun yang bisa ia lakukan.
Namun ketika samar-samar sepasang netranya menangkap sosok yang nyatanya ia kenal, Devan menggeleng pelan. Entah dosa apa yang dilakukan si tetangga yang setiap berteriak membuat emosinya mendadak membludak, melenyapkan seluruh ketenangan yang menjadi identitasnya. Hingga tampak begitu malang sebanyak dua kali dalam satu minggu. Hebatnya lagi, dua kali ini dia yang turun tangan memberikan pertolongan.
Eh tapi ... semenjengkelkan apapun Diana, Devan tak lantas lepas tangan jika melihat wanita itu dalam kesusahan. Tak perlu Diana. Tetangganya yang lain yang kadang terlalu suka ikut campur urusannya pun akan ia beri pertolongan jika memang membutuhkan. Dan pria itu tak perlu takut akan ada yang menaruh harapan padanya. Ya ... dia murni menolong, tanpa embel-embel ingin dikagumi.
"Ini bener ngga apa-apa, bang? Basah nanti mobilnya." Tampak sungkan, Diana ragu-ragu kala ingin masuk ke dalam kendaraan mewahnya.
Devan yang sudah ada di balik kemudi menggeleng pelan. "Masuklah, hujan makin deras."
Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Diana lantas hanya mengangguk saja dan menuruti si pemberi bantuan. Ya baguslah. Daripada dia pulang naik ojek atau taksi yang bisa menguras isi kantongnya. Lebih baik kan menumpang kalau ada yang memberi tumpangan.
Meski dia masih bertanya-tanya akan satu hal. Mengapa harus Devan? Dari sekian banyak orang yang ia kenal, mengapa ia harus bertemu dengan tetangganya ini yang sudah dua kali mendapatkan dirinya dalam kondisi mengenaskan.
Bukan apa. Hati jomblo itu lemah, jenderal! Diana takut jika kali ini tameng pertahanan dirinya dari virus baper yang berkepanjangan akan runtuh karena harus bertubi-tubi menerima kebaikan pria di sampingnya.
"Kenapa pulang dari arah sana? Bukannya terlalu jauh?" Merasa hening, setelah beberapa detik memulai perjalanan kembali, Devan membuka suara.
Dan Diana yang sudah benar-benar basah kuyup, dengan rambut yang ikatannya sudah ia lepas, kemudian disampirkan ke samping, berusaha sedikit mengeringkan, menatap Devan sebentar sebelum kembali fokus memukul-mukul pelan uraian rambut panjangnya. "Tadi anter baju pelanggan, bang. Harusnya Seto. Eh tiba-tiba anaknya sakit. Kan ngga enak sama pelanggan, pasti udah ditungguin. Jadi antar sekalian. Eh malah hujan. Pikir tadi mau berhenti dulu, kan, berteduh. Tapi takutnya malah kemaleman. Motor juga ngga mau nyala-nyala."
Devan lalu mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban panjang Diana yang komplit, hingga ia tak memiliki pertanyaan lain untuk membuat suasana di dalam mobilnya tak begitu sepi.
Eh ... memangnya kenapa jika sepi? Bukankah dia sudah biasa sendiri? Pun jika ada Arum di sampingnya, dia tak perlu basa-basi menciptakan obrolan, bukan?
Devan melirik Diana, yang kali ini mengusap-usap bahu, seolah mencari kehangatan. "Pakaian kamu terlalu basah." Devan mengecilkan AC kendaraannya. "Ada toko baju di depan, kalau kamu mau ganti."
Diana lantas menggeleng. "Bentar lagi nyampe, bang. Ngga apa-apa, lah." Wanita itu menyengir, menatap Devan yang hanya mengangguk, tanpa ingin mendebat. Tak ada urusan pria itu mendebat keputusan Diana.
Masih mengusap-usap lengan, bahkan gigi mulai bergemelatuk kedinginan, Diana menatap Devan yang begitu fokus mengendalikan setir. "Bang Devan di poli apa? Kok pulangnya sore?"
"Di IGD."
Kening Diana lantas mengernyit. "Lah, kata mamak udah ambil spesialis, bang?" Kini ia mengusap pahanya, yang juga meminta kehangatan. Duh ... bisa hipotermia jika begini. Duh, lebay sekali Diana.
"Iya. Tapi tetap di IGD."
Tak menatap Devan karena Diana terlalu fokus mengusap lengan dan pahanya bergantian, wanita itu berdecak kagum. "Waw. Bagus dong pelayanannya kalau ditangani langsung dokter spesialis. Tapi memang rumah sakitnya bagus sih, ya? Tapi mahal." Wanita itu terkekeh sendiri. "Tapi seimbang sih kalau pelayanannya memuaskan."
"Heem." Devan melirik Diana yang tampak sibuk memberi kehangatan pada tubuh yang dibalut pakaian basah. Pria itu menggeleng pelan. "Tidak masalah kalau kamu mau—macet." Pria itu memperlambat kendaraan sebelum menghentikannya.
"Ha?" Diana lantas mendongak, melihat ke depan dan langsung mendesah kesal melihat jajaran kendaraan yang berhenti di depannya. "Tumben kali jalan sini macet. Ya Allah." Dia bisa mati kedinginan kalau begini.
Tadi hipotermia, sekarang mati. Belum kawin nya kau, Di.
Devan tak hiraukan ocehan Diana karena ia sibuk menoleh ke kiri, mencoba mencari jalan alternatif untuk bisa keluar dari kemacetan. Pria itu lalu menurunkan kaca jendela dan bertanya pada pengendara motor di sebelahnya. "Macet kenapa, pak?" tanyanya sedang Diana hanya memperhatikan saja.
"Ngga tau jugak, awak!" Lalu pria yang Devan tanyai bertanya pada pengendara lain, sebelum kemudian kembali pada Devan yang masih menanti jawaban. "Pohon tumbang katanya, bang. CK ah! Putar balik lah awak!"
Sedang Devan mengangguk saja, sebelum kembali menutup pintu jendela. Ia tatap lagi Diana yang bibirnya sudah membiru kedinginan. "Pohon tumbang."
"Oh! pohon yang di depan sana nya, bang? Memang ngeri kali itu pohonnya."
"Mungkin." Pria itu menoleh ke belakang, melepas sabuk pengaman untuk mengambil tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam benda itu. "Kamu bisa pakai ini dulu."
Sebuah kaos berlengan pendek ia serahkan pada Diana yang langsung saja menggeleng, merasa sungkan. "Ngga usah, bang. Biar lah, bentar lagi jugak udah beres itu."
Namun sebentar lagi yang Diana tunggu tak kunjung tiba. Wanita itu semakin kedinginan, bahkan berulang kali ia memastikan jika ac mobil yang memberinya bantuan sudah pria itu kecilkan. Tahu begini, tadi dia naik ojek saja. Sudah sampai dia di rumah.
Sudah golek-golek manja aku di kasur, mak!
"Aku rasa pakaian basah tidak terlalu bagus." Masih terjebak macet, dan tak memiliki celah untuk mencari jalan alternatif, Devan menyodorkan lagi kaosnya.
Diana langsung saja menatap gugup ke depan sambil meremas kencang kancing di bagian dada. "Ngga usah—"
"Kamu ganti di belakang. Paling belakang." Devan memiringkan spion di atas nya ke arah kiri. "Tidak akan ada yang melihat."
Kian merasa malu dan dalam hati memaki diri sendiri yang tadi sok menolak membeli baju, mau tak mau, Diana mengambil kaos dari tangan Devan.
"Aku tidak punya celana."
Diana langsung melotot tajam penuh kecurigaan. Sepertinya tetangganya ini ingin mengambil kesempatan. Namun paham pada tatapan Diana, Devan tak bisa untuk tak memutar bola matanya. "Aku cuma punya sarung. Aku letakkan di kursi paling belakang."
Langsung saja Diana menghela napas lega. "Makasih, bang."
"Heem." Dia menunjuk ke arah belakang tanpa menoleh. "Lewat sini saja."
Dan Diana mengangguk, menurut lagi. Tujuan pria ini kan baik, mengapa harus ditolak, kan?
*
Untuk ke sekian kali, Diana mempermalukan diri di hadapan tetangganya ini ketika ia kembali ke kursi samping kemudi dengan kaos yang sedikit kebesaran, dan sebuah sarung yang menutupi hingga mata kaki.
Menyudut ke pinggir, Diana mendekap erat bagian dadanya yang malah tercetak jelas karena kaos tipis milik Devan basah oleh bra yang tak ia lepas. Kaos putih yang Devan pinjamkan terlalu kontras dengan warna merah bra yang ia kenakan. Jadi wanita itu hanya berharap Devan tak melihat cetakan warna dalaman yang ia kenakan. Diana yang wajahnya sudah memerah dan panas, menatap ke arah jendela, hanya diam dengan seluruh kosa kata yang hilang.
Tadi saja dia tampak cerewet sekali. Kini sadar jika kondisinya kian mengenaskan, Diana minder jika harus membuka suara, mengajak Devan bicara. Pria itu juga hanya diam di tempatnya, bahkan melirik Diana saja tidak.
Cetakan bra Diana yang berwarna merah menyala tertangkap oleh netranya, dan tahu jika wanita itu tengah malu, Devan memilih untuk tak memperhatikan. Tak mungkin juga dirinya melakukan hal itu, kan?
Dia lelaki normal. Tak bohong soal itu. Namun dia juga cukup normal untuk tak terus menjatuhkan pandang ke arah kiri dan menebak-nebak kira-kira ukuran berapa bra yang Diana kenakan.
Sialan!
Sekarang dia malah memikirkannya.
Yang dia tahu, Diana selama ini selalu mengenakan pakaian tertutup, dan terlihat nyaman menggunakannya. Jadi tak perlu pria itu pertanyakan jika wanita di sampingnya merasa malu kala mengenakan pakaian yang malah mencetak area pribadinya. Meski banyak wanita yang ia temui begitu percaya diri ketika mengumbar lekuk tubuh dan seolah senang jika ada yang memuji kesempurnaan tubuhnya yang dibalut pakaian mini. Minimalis.
Tapi Devan tak bermaksud membuat Diana mengumbar aurat wanita itu. Dia hanya murni membantu, jadi jika terjadi hal tak nyaman seperti ini jangan salahkan kaos yang ia beri. Salahkan wanita itu yang tak melepaskan bra yang sudah basah.
Sebentar. Bukankah itu malah lebih parah?
Kali ini Devan berdecak samar. Mengapa pikirannya malah lari ke mana-mana?
"Ada polisi," ucap Diana pelan.
Devan yang mulai menjalankan kendaraan karena mobil di depannya mulai bergerak, ikut melihat ke arah polisi yang mengatur lalu lintas. "Pakai sabuk pengamannya," pintanya sebelum mereka kena tegur oleh polisi.
Mengangguk, tangan Diana bergerak cepat untuk menarik sabuk pengaman. Kan tidak lucu yah kalau mereka kena tilang dalam kondisinya seperti ini. Sudah persis ondel-ondel betawi. Tinggal dandan menor saja, pakaiannya sudah pas. Kaos kebesaran, warna merah samar dari bra yang dikenakan dan sarung.
Kian dijelaskan, kondisi Diana mengapa jadi kian menggelikan, ya?
"Macet sabuknya." Fokus Diana beralih pada sabuk pengaman yang berusaha ia tarik.
Sekarang kedua tangannya berusaha menarik kaitan besi, namun tak ia tarik dengan kasar, takutnya malah rusak dan dia harus menggantinya.
Diana bisa menangis sehari semalam. Harga mobil yang ia tumpaki ini tak murah, dan pasti harga aksesoris dan spare partnya tak murah pula. Dia bisa potong gaji Seto kalau begini.
Baru ingat jika ada masalah dengan sabuk pengaman di kursi penumpang sebelahnya, Devan segera meminggirkan mobil. "Sèdikit susah, memang," katanya setelah melepaskan sabung pengaman lalu mencondongkan tubuh untuk membantu Diana memasang sabuk pengamannya.
"Keras sekali," kata pria itu lagi yang begitu fokus pada apa yang dikerjakan hingga tak ia perhatikan ada wanita yang nyaris dihimpit tubuhnya sedang berusaha mundur mencipta celah dari Devan yang dagunya ada di depan mata Diana.
Wanita itu menoleh ke kanan, kala aroma pria di depannya begitu membuai indra penciuman. Tak tahu mengapa, namun aroma keringat bercampur parfum yang pria itu kenakan membuat dirinya ingin terus menghirup seolah ada candu yang memabukan di sana.
Gugup, dengan jantung yang mulai berdebub, terlalu kencang hingga Diana merasa sesak sendiri untuk mengatur napasnya. Wanita itu kian berusaha mundur, namun sandaran di belakangnya membuat ia terpojok.
Diana menggigit bibir bawahnya, berusaha mengusir gelisah, namun wajah yang sudah mulai memerah karena sadar ada bagian dari tubuh itu menyentuh dadanya, juga tangan kokoh yang berpegangan sisi sandaran yang ia duduki melintang di depan wajah, pikiran wanita itu kian berkecamuk.
Dug dug dug dug!
Detak jantungnya kian tak terkendali, terlebih ketika ia rasakan gerakan-gerakan Devan yang berusaha menarik sabuk pengaman yang tampak ikut berkonsporasi dalam membuat virus baper dalam diri Diana berkembang biak, beranak pinak hingga susah dimatikan.
Ngga usah kau mikir macam-macam, Di!
"Kenapa susah?" Bisik Devan yang mengirimkan gelombang suara ke indra pendengaran Diana yang semakin gugup dibuatnya.
"Pin ... pindah ke belakang aja, bang."
Ucapannya berupa cicitan yang tak begitu Devan dengar. Menoleh, ingin menanyakan lagi apa yang Diana katakan Devan malah terpaku saat melihat wajah Diana dari samping yang sudah memerah dengan mata mengerjap gelisah.
Tak pernah ia perhatikan selama ini jika Diana memiliki bulu mata yang panjang, menghiasi sepasang mata wanita itu yang sedikit bulat.
Tanpa sadar Devan membasahi bibirnya kala menatap bibir merah Diana yang digigit gelisah oleh gigi-gigi wanita itu.
"Jangan menggigit bibir."
"Ha?"
Diana langsung memperhatikan Devan dan sepasang mata yang begitu dekat dengan sorot milik Devan menangkap kerjapan terkejut pria itu.
"Sudah." Devan melihat pada sabuk pengaman yang tiba-tiba bisa dirinya tarik. Aneh.
Menarik dan mengenakannya pada Diana, pria itu segera kembali ke kursinya, menahan gejolak di dada sambil berharap jika Diana tak mendengar apa yang dirinya ucapkan.
Bodoh! Mengapa dia harus mengucapkan hal seperti tadi. Bagaimana jika Diana jadi salah sangka?
Sialan! Bibir Diana terlalu merah dan....
Devan tak ingin memikirkan jika apa yang ia lihat tadi begitu menggoda.
Devan yang semburat merah mulai menghiasi wajahnya mengurut pelipis sebelum kembali melajukan kendaraan sambil mengatur napas yang rasanya tak bisa mengantar oksigen dengan sempurna ke paru-paru. Dia harus segera sampai ke rumah.
Pun dengan Diana yang kini memilih memeluk dirinya sambil menatap tanpa suara ke arah samping kiri, berharap pengalihannya ini bisa menghentikan otak yang terus memutar ucapan Devan tadi.
"Jangan menggigit bibir."
Sialan! Mengapa tiga kata itu harus terdengar begitu erotis di telinga Diana.
Ya ampun! Cepatlah ia tiba di rumah.
Part Sepuluh
Tiada satupun dari mereka saling membuka suara, tak peduli jika hening membuat keduanya kian terasa asing. Senyap yang diharap bisa mencipta tenang pada jantung keduanya yang berdentam, berirama, mengganggu saluran pernapasan, namun nyatanya, kian menempatkan mereka pada perasaan tak tentu arah.
Diana gelisah di tempatnya, berusaha mengusir tiga kalimat yang keluar dari bibir Devan tadi, dan sialnya harus ia dengar dan ingat-ingat tanpa henti, sedang Devan masih menerka-nerka apakah Diana mendengar titah bodoh yang ia lontarkan tadi, mulai memikirkan apakah Diana bisa melupakan semuanya, jika memang benar wanita itu mendengarnya.
Setan membuatnya nyaris tersesat ke labirin tak masuk akal, kala netra menatap bibir merah wanita di sampingnya digigit-gigit seolah sengaja menggoda. Meski ia tahu Diana tak mungkin bertujuan seperti itu.
Dua puluh tahun bertetangga, dan sekitar lima belas tahun kamar mereka bersebelahan, tak pernah sekalipun Diana menggoda dirinya seperti beberapa gadis tetangga yang lain, termasuk Lella adik wanita itu.
Diana yang ia kenal selalu membuat bising tak peduli pagi, siang, malam bahkan menganggap dirinya mahluk tak kasat mata. Di mana baru akan menyadari jika ada dirinya di sebelah balkon Diana, ketika ia keluar dan meminta wanita itu untuk mengecilkan suara.
Tetangganya yang satu ini terlihat lebih tergoda dengan pak RT, dulu ketika pak RT yang bernama Kamli itu belum menikah, dibanding dirinya yang jika dilihat dari manapun lebih unggul.
Jadi gagasan jika Diana berniat menggodanya barusan jelas tak mungkin. Tapi ... dia nyaris tergoda dan sialnya harus kebablasan dengan mengucapkan kalimat yang tak harus diucapkan.
Apa yang ia lakukan? Bagaimana jika wanita itu menyalahartikan maksud ucapannya?
Mencoba menepis semua perasaan gelisah, Devan mengulas senyum kala ia sudah membelokan kendaraan ke jalan menuju tempat tinggalnya. Sebentar lagi mereka akan terbebas dari suasana menjebak ini.
Berhenti, tanpa bertanya pada Diana apakah ingin mampir, atau segera pulang, Devan turun, lalu dengan payung birunya ia berjalan menerobos hujan untuk membuka pintu gerbang. Memanfaatkan keadaan, Diana yang untuk beberapa saat berubah menjadi batu langsung meloncat turun.
"Bang! Makasih tumpangannya, bajunya besok aku balikin." Seperti anak lelaki baru sunat, Diana menenteng tas dan sebuah plastik hitam berisi pakaian basahnya, menggenggam sarung bagian depan dan mengangkatnya agar mempermudah gerak kakinya untuk berlari ke rumah.
Di tempatnya Devan diam, melongo menatap Diana yang berlari tungang langgang, seperti menghindari setan. Pasti setan bagi Diana adalah dirinya.
Devan berdecak kesal. "Bodoh!" katanya untuk ke sekian kali, namun sekarang ia ucapkan langsung sambil menepuk kening. Sekarang, ia tak tahu harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Diana.
Devan memiliki rasa malu. Ya ... dia memang pria. Namun sampai detik ini dia masih manusia yang mempunyai rasa. Termasuk malu.
*
Ada Muda dan kedua orangtuanya yang tumben sekali duduk bersama di depan TV dan mendengar salamnya, mereka semua serentak melempar tatapan pada Diana yang datang sudah seperti badut Ancol sarungan.
"Bah! Napa kau, kak?!" Seperti baru melihat boneka Voodo disarungi, Muda tertawa terpingkal sedang Tiar menggeleng kepala dan Suryo mengerjap tak percaya jika yang ia lihat tadi adalah putrinya.
"Diam kau!" Diana berteriak sambil menapaki setiap anak tangga. Dia tak berniat berhenti menegur orangtuanya lebih dulu, jika tak ingin mendapatkan pertanyaan yang tak bisa ia jawab, perihal pakaian yang ia kenakan.
Biarkan Diana membersihkan diri dan otak yang masih saja mengulang kalimat bermakna ambigu yang Devan ucapkan tadi, baru ia turun dan menjelaskan pada kedua orangtuanya, pun jika dirinya ditanya. Jika tidak, ya lupakan.
"Kak! Kau ngga pulang sama motorku! Mana motorku, kak!"
Dari luar pintu kamar suara Muda berteriak panik. Diana yang tengah melucuti pakaian yang menempel ditubuhnya menatap pintu sinis, seolah itu adalah adiknya yang perlu dieksekusi mati. "Kujual!"
"Yang benar sajalah kau kak! Mana, kak? Ngga kerja nya aku besok!"
"BODO!"
Diana masuk ke kamar mandi, dan ia jadikan suara panggilan Muda sebagai lagu pengiring ritual membersihkan diri.
Tak pantang menyerah juga ternyata Muda. Masih mengetuk pintu kamar kakaknya, hingga Diana yang masih menggunakan handuk bermodel kimono dan handuk di kepala membuka pintu sambil menatap kesal pada Muda.
"Kak! Mana kau sembunyikan kuda gantengku, kak! Ish, lah! Jangan becanda lah kak! Ngga ada uang lagi aku buat belinya nanti." Muda bersungut-sungut kesal. Dia benar-benar takut dengan ucapan Diana tadi, karena pasalnya Diana dulu pernah melakukan hal yang sama.
Ketika dia SMA dia meletakkan sepedanya ke sembarang tempat. Malangnya Diana yang menemukan benda beroda dua tanpa mesin di pinggir jalan depan rumah. Tanpa banyak pikir Diana membawanya pergi ke pasar dan dijual. Uang hasil penjualan sepeda dibelikan pulsa dan bedak.
Kakaknya itu memang tak main-main kalau soal bertindak sadis. Jadi jika Diana mengatakan jual, maka akan benar-benar wanita itu jual. Dan jangan berharap akan Diana ganti uangnya.
Bersedekap menatap Muda marah, Diana lantas menendang kaki adiknya yang langsung melolong sakit.
"Kak!"
"Kau ambil mobilku, kau kasih aku motor rusak! Pulang kehujanan nya aku cuma gara-gara motor bobrok kau itu!"
"Ya maap! Irish minta jemput nya tadi. Ngga tega aku kalau jemput pakai motor."
"Ngga usah kau banyak tingkah, ya?! Ngga ada mobil belagak kaya, kau! Mana kunciku dulu!"
Dengan raut kesal, Muda menyerahkan kunci mobil Diana yang ia simpan di kantong celana. "Motorku!"
"Kau cari di parkiran alfamart ujung jalur sebelum lampu merah ke arah rumah sakit."
"He? Mana pula itu?"
Diana mengedikan bahu, lalu sambil berkata ia menutup pintu. "Kau doa sajalah, motor kau masih ada di sana!"
Pintu kamar langsung tertutup di depan wajah Muda yang melongo bingung. "Terus kuncinya?!"
"Di dalam jok motor!! Kau congkel lah jok motor kau!"
"Tega kali kau kak!!"
Dan teriakan protes Muda tadi Diana balas dengan tawa yang begitu meriah. Lagian siapa suruh bermain-main dengan dirinya.
*
Sepanjang malam, setelah bertahun-tahun ia tak merasakan bagaimana rasanya tidur gelisah, tak dapat lelap di saat mata lelah. Terakhir kali dulu ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Tama. Ya ... keputusan yang dibuat bersama. Alhasil dirinya merasakan perasaan tak nyaman. Seolah ada yang kurang. Sebelum kemudian ia kembali ke Medan untuk memperbaiki hatinya yang retak, sekaligus menjaga orangtua, kemudian lambat laun semua berjalan normal.
Tinggal kenangan yang biasa ia bicarakan dengan Tama sebagai bahan candaan. Sedang hari-harinya kembali berseri, tanpa ada lagi drama patah hati.
Namun kini, seperti ABG yang baru mengenal cinta, meski Diana tahu hatinya tak tengah merasakan rasa seperti itu, namun gejalanya mulai terasa sama. Beda tipis pula dengan gejala ketika ia patah hati dulu. Gelisah, susah memejamkan mata padahal rasanya sudah sangat mengantuk, dan bingung.
Sialannya kalimat yang ia dengar tadi, yang keluar dari bibir tetangganya masih terngiang seperti kaset rusak di kepala.
Diana segera bangkit, duduk di sisi ranjang setelah menendang guling yang tak berdosa, kedinginan di atas lantai tanpa pelukan Diana seperti biasa.
Mengacak rambut yang terurai, Diana lalu berdiri. Ia ingin mencari udara segar.
Ah ... wanita itu tak tahu mengapa sedari tadi detak jantungnya tak mau kembali normal. Setiap ia ingat aroma tubuh Devan, bisik pria itu, hangat napas yang menerpa wajahnya, Diana merinding seketika. Diana akan gila sebentar lagi jika tidak segera di rukiah. Mungkin saja setan dalam dirinya mulai kegatalan.
Tak jauh berbeda dengan dirinya ternyata. Di seberang kamar Diana, tergolek tubuh Devan di atas ranjang, sedang berusaha tidur dengan perasaan gelisah.
Pria itu mulai tak tenang, dan perlahan mulai membenarkan ucapan salah seorang temannya dulu. Kebaikan yang bisa disalahartikan hingga mencipta harapan.
Sesungguhnya ia tak perlu merasakan perasaan tak enak ini jika saja mulutnya yang mendadak tak berada di bawah kendali tidak melontarkan kalimat ambigu seperti tadi.
Jangan menggigit bibir.
Sialan! Dia bisa gila jika terus mengingat kebodohannya tadi. Dia bisa kehilangan logika jika mengingat apa yang ia katakan tadi.
Jangan menggigit bibir. Memangnya kenapa jika Diana menggigit bibir? Toh yang digigit adalah bibir wanita itu sendiri. Lalu mengapa harus dirinya yang tak nyaman melihatnya? Mengapa ia yang gelisah, seolah bibir itu adalah miliknya dan hanya dia yang boleh menggigit seperti itu.
Eh?
"Aaah!"
Devan segera bangkit, duduk di sisi ranjang ketika pemikiran liar mulai menguasai otaknya yang sudah tak sejalan dengan apa yang ia inginkan. Berhenti memikirkan bibir merah Diana dan kalimat yang ia ucapkan tadi.
Hanya itu.
Mengacak rambut penuh frustasi, Devan kemudian bangkit, bergerak menuju arah balkon sebelum kemudian berhenti ketika dari balik tirai yang sedikit tersibak ia lihat sosok Diana sedang berdiri di pinggir pagar balkon dengan rambut lurus wanita itu yang terurai jatuh melebihi pinggul. Diana tersenyum menatap langit yang sepertinya malam ini tampak cerah dengan kehadiran beberapa bulan dan bintang.
Tapi mana mungkin? Hujan bahkan baru reda.
Memilih abai, Devan kemudian membuka pintu balkon, mengganggu Diana yang mulai merasa damai.
Sedang menatap langit gelap tanpa kerlap kerlip bintang, Diana berdiri tegap, melepas earphone dan memberi senyum kaku pada Devan yang diam menatapnya.
Earphone. Sekarang Devan tahu mengapa wanita itu tersenyum-senyum sendiri.
Saling memberi tatap, keduanya membuka mulut. "Belum tid—" lalu bersamaan pula keduanya menutup mulut.
Diana membuang napas dari mulut, lantaran sedikit kesal dengan dirinya yang tak tahu telah melakukan kesalahan apa.
Sedang Devan bersikap seolah tak terjadi apapun, berdiri di sisi pagar balkon, tersenyum tipis pada Diana. "Sudah tidur. Tapi terbangun." Pria itu memberi jawaban dan Diana mengangguk pelan. Yang dia tahu sebagai tetangga selama berpuluh tahun memang begitu. Devan sering keluar kamar ketika malam, tanpa Diana tahu alasannya. Tapi dirinya? Baru malam ini dia begitu berani keluar kamar, di jam yang hampir mendekati angka satu.
Biasanya pukul sepuluh malam saja dia sudah mengurung diri di kamar.
"Agak dingin malam ini. Jadi susah tidur." Diana pun kemudian ikut menjawab. "Tapi kekknya udah ngantuk. Aku tidur dulu, bang." Diana menghindar. Tak aman berada di dekat Devan untuk sementara ini. Tak aman untuk perasaannya.
Mengangguk samar, Devan mempersilakan.
*
Kira-kira sudah dua hari Diana tak keluar ke balkon. Selain karena lampu balkon putus dan belum Muda ganti, dia enggan bertemu tetangga sebelah untuk sementara waktu. Dia ingin melupakan apa yang Devan ucapkan hari itu, dan sepertinya waktu benar-benar membantunya untuk melupakan hal yang kini sudah tak begitu ia ambil peduli.
"Masih pilek nya, kak?"
Afika yang baru melihat kedatangan Diana langsung menyapa bos, pemilik Binatu yang hidungnya merah dengan wajah yang sedikit pucat. "Heem. Mana badan mulai ngga enak. Mau acara nikah Muda, semua repot." Diana mendekati Afika yang menyetrika. "Kau cuci baju sajalah, Fika. Aku yang setrika."
Tak butuh perintah dua kali, Afika lantas berdiri. "Periksa lah, kak. Nanti malah ngga bisa ikut ke pesta Muda."
Diana mengangguk, sambil mengibaskan tangan meminta Afika pergi. "Heeem. Sudah, sana. Cuci bajunya."
Tak lama selepas Afika pergi, Diana mengecilkan suhu panas setrika, lalu berdiri mengeluarkan sesuatu dari dalam tas gendong yang ia letakkan di sebelah kaki meja di sampingnya.
Sarung dan sebuah kaos milik Devan yang sudah ia gosok dan ia beri pewangi. Benda yang menjadi bahan pertanyaan Tiar beberapa hari lalu dan ia jawab jika itu adalah baju milik salah seorang pelanggan yang ia pinjam agar dia tak kedinginan setelah kehujanan karena motor Muda rusak mendadak, ia letakkan di atas meja sebelum ia bergerak mencari sesuatu di etalase baju.
Sebuah bingkisan bertuliskan nama Devan ia dapatkan dengan senyum lebar. Ini adalah hari kamis, di mana Devan biasnya mengambil baju yang disetrika di Syauqia laundry.
Membuka kembali bungkusan berwarna putih yang sudah melindungi setumpuk pakaian milik Devan. Pelan-pelan Diana mengeluarkannya dan ia letakkan sarung juga baju milik pria itu di atasnya sebelum kembali ia bungkus di plastik baru.
Merasa tenang, tanpa perlu memikirkan pertanyaan Afika tentang kepemilikan kaos dan sarung itu, karena karyawannya itu sedang ada di belakang. Diana kembali menyetrika dan beberapa saat, waktu yang ditunggu tiba.
Devan datang dan mengambil pakaiannya. Bagus! Diana bisa mengatakan sekalian jika baju pria itu yang dipinjamkan padanya ada di dalam bungkusan dan dia akan berterimakasih sekali lagi tanpa takut Afika mendengar dan mulai bertanya-tanya.
Diana benar-benar tak suka ada yang menanyai perihal pria yang sebenarnya tak ada sangkut paut dengan dirinya. Dia enggan digoda seolah sedang menjalin hubungan. Hal seperti itu akan terdengar menjengkelkan terlebih jika sampai digoda langsung di depan pria yang dituduh menjalin asmara dengannya.
Langkah pria itu begitu tegap kala menghampiri Diana, dan menyerahkan secarik kertas tanpa mimik berarti. Sudah dua hari berlalu. Tak hanya Diana yang mulai bisa mengabaikan ucapan Devan sore itu. Pria itu juga sama. Kesibukan membuat ia tak lagi peduli, dan perasaan tak nyaman lambat laun menghilang.
Terlebih ketika Diana tak muncul di balkon, seolah membantu Devan untuk melupakan kejadian di mana ia salah melontarkan kalimat. Kini semua di antara dirinya dan Diana kembali normal, tanpa ada lagi resah dan degupan jantung yang membuat gelisah.
Mengangguk, tanpa mengambil nota yang Devan sodorkan, Diana memberikan baju pria itu yang sudah disiapkan. "Bang, kaos putih sama sarungnya udah ada di dalam. Makasih, ya? Maaf baru bisa balikin."
Devan menatap sejenak pakaiannya yang sudah Diana masukan ke dalam kantong plastik sebelum kemudian mengangguk pelan. Menyodorkan uang sesuai dengan harga yang harus ia bayar, Diana lantas menggeleng. "Ngga usah, bang. Anggap aja traktiran."
Melihat uang yang ada di tangannya, Devan diam sejenak sebelum mengangguk. Dia enggan mendebat. "Okey."
Diana tersenyum lagi sebagai ucapan terima kasih. Rasanya beban di pundak sedikit hilang ketika ia sudah membalas budi seseorang, meski ia tahu tak ada harga untuk sebuah kebaikan. Tapi tak ada yang bisa Diana lakukan selain hal ini. Dia juga tak mungkin membantu Devan suatu saat, kan? Ayolah. Pria ini sudah terbiasa dengan hidup normal tanpa masalah remeh, seperti kehujanan karena motor mogok.
"Boleh pinjam pena dan kertas?"
"Oh! boleh." Diana bergerak, mengambil pena dan kertas pada Devan yang masih belum beranjak dari tempat usahanya.
Menuliskan sesuatu, di selembar kertas yang Diana beri, pria itu kemudian menyerahkan kembali kertas yang sudah ia beri coretan dan pena. "Kamu batuk pilek. Suara kamu sedikit serak. Mata kamu merah, dan kamu terlihat pucat. Tebus obat ini di apotik." Devan menunjukkan uang yang tadi tak Diana terima. "Ini saya anggap bayaran konsultasi." Kemudian berbalik, meninggalkan Diana yang membuka mulut, lalu mendengkus pelan sebelum mengurut kening dengan mata terpejam. Ia kesal.
Sungguh. Sebenarnya apa yang Devan lakukan?
Memberikan sebuah kebaikan atau perhatian?
Ya Tuhan! Bisa-bisa Diana kehabisan cara mengusir baper yang terus menyambanginya tanpa salam setiap Devan menyodorkan sebuah kebaikan yang akan bahaya jika Diana anggap sebagai bentuk perhatian.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
