
Dari Mata Turun Ke Hati
Copyright @ Flamingo Publisher, 2019
Penulis : Greya Craz
Penyunting : Greya Craz
Layout : Greya Craz
Cover : Nanmah Art-Lana Media
Ukuran : 14,5 x 20,5
Hak Cipta penulis dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian, atau seluruh isi tanpa izin penulis.
Terima kasih untuk Sang Pencipta.
Terima kasih teman-teman yang meluangkan waktu untuk membaca ceritaku termasuk yang sudah menanti cerita ini tamat dari lama.
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini dalam waktu yang tidak singkat.
Dan Terima kasih keluargaku.
Greya Craz
Part Satu
Sudah setengah jam lebih rasanya Afika melihat bu bos si pemilik usaha Binatu tempatnya bekerja duduk diam di samping mesin cuci berjenis front load dengan bibir manyun lima senti.
Biasanya bibir itu digunakan untuk mengajukan komplen. Komplen atas kinerja karyawan yang kadang membuat tensi darah naik seketika. Tapi hari ini, Diana berbeda sekali.
Afika lega sih, karena untuk beberapa menit tak mendengar omelan Diana. Pasalnya, Afika tadi melakukan kesalahan kecil. Yaitu salah memasukkan celana milik pelanggan ke pelangganan yang lainnya. Tapi kelegaan itu mengandung rasa khawatir. Bagaimana jika Diana sedang menyiapkan amunisi untuk mendampratnya?
Bu bosnya itu tak seperti wanita-wanita pemeran utama yang ada di FTV yang biasa ia tonton. Baik hati. Bah! Apa itu baik hati? Diana tampaknya tak mengenal dua kata itu. Yang Diana kenal adalah sekumpulan nama binatang di Ragunan.
Tapi bukan monyet, onta, komodo, jerapah yang keluar dari mulut Diana ketika marah. Bukan. Melainkan Babi dan Anjing! Naaah kira-kira Ragunan juga memelihara kedua binatang itu tidak, ya?
"Sumpah! Diana kalo lagi diam kek gitu auranya nyeremin kali!"
Afika melirik Seto, sesama pekerja di Syauqia Laundry milik Diana. "Diam kau, bang. Kalau didengarnya, kena amputasi gajimu!"
"Ish! Jelek kali doamu."
Seto pergi, dan Afika yang beristirahat dari pekerjaannya menyetrika, menggeleng kepala. "Semoga ini bukan tanda-tanda kiamat ya ALLAAAAAH!" Afika setengah berteriak kaget, kala yang ia pikirkan sedari tadi berteriak memanggil dirinya.
"AFIKA! KENAPA ADA YANG NANYAIN CELANANYA YANG ILANG?!"
Diana, si wanita dua puluh sembilan tahun, yang sering dijuluki perawan tua karena belum menikah dan bahkan tak memiliki pacar karena katanya dia lebih garang dari para lelaki yang sempat dekat dengannya datang menunjukkan sebuah pesan di layar ponselnya pada Afika. "KAU KERJA KEKMANA, KA?! CANGCUT MAREBU AJA JANGAN SAMPAI KETUKER! LAH INI CELANA JEANS ORANG! KALAU GANTI, DUITNYA DUA KALI LIPAT DARI BIAYA DIA LAUNDRY!"
Afika terpejam sepanjang Diana mengeluarkan caciannya. Dia berharap gendang telinganya dapat bertahan. "Iya, salah nya kak. Maaf." Dia melirik Seto yang berdiri di belakang Diana, tampak tersenyum mengejek.
Pria itu bisa tenang sekarang. Lihat saja sebentar lagi dia juga akan kena amukan Diana.
"KAU KIRA BERAPA HARGA MAAFMU? NGGA BISA BUAT BELI CELANA BARU! SEKARANG CARI CELANANYA, CEPET!"
"Udah aku cari, kak. Orangnya kan tadi pagi ke sini." Afika menyengir lebar. "Keknya sih ... masuk ke bungkus pelanggan lain."
"MASUK KE BUNGKUS PELANGGAN LAIN?! LAIN KALI OTAK KAU YANG SALAH BUNGKUS!" Diana yang hari ini datang dengan setelan jeans panjang dan kaos oblong itu berbalik. "LEBIH DARI LIMA KALI YA, KAU SALAH MASUKAN BARANG ORANG! BESOK-BESOK, KUPOTONG-POTONG GAJI KAU!"
Afika diam, melihat ke arah pintu yang menelan sosok Diana. Hanya sosoknya saja. Tidak dengan teriakan Diana yang mengerikan yang masih berkumandang bak terompet sangkakala.
Tapi sesaat saja sebelum Diana diam dan Afika, wanita berambut pendek itu langsung bernapas lega. "Kenapa diamnya kak Di ngga selamanya aja sih ya Allah?"
"SETO! KERJAAN KAU BELUM BERES DAN KAU SUDAH DUDUK SANTAI DI TERAS, YA?! KAU JEMUR CUCIAN SEBELUM KEPALA KAU YANG KUJEMUR!"
Afika kembali menegang kala mendengar teriakan Diana lagi. Tapi sesaat saja, sebelum ia tersenyum bahagia. Senangnya jika Seto juga kena omel Diana.
*
Syauqia Laundry hanya memiliki dua orang karyawan. Maksudnya hanya dua orang yang bertahan. Sisanya paling lama satu bulan bekerja di sini, sebelum memilih keluar.
Tak ada yang tahan dengan omelan Diana yang tak pernah lelah mengeluarkan suara yang kerasnya mengalahkan toa Masjid.
Tapi Afika dan Seto, yang bertahan sejak bisnis Binatu ini dibuka, karena mereka tetangga Diana, dan tahu betul bagaimana sikap si perawan tua itu.
Mulutnya memang jahat. Tapi kalau soal uang tak pernah pelit. Ancaman potong gaji bahkan tak pernah direalisasikan mesti karyawannya memang layak mendapatkan hukuman di setiap kesalahan yang sudah dilakukan.
Diana juga bukan bos yang asal memberi perintah pada karyawannya. Kadang, jika pekerjaan sedang begitu banyak. Diana akan ikut turun tangan, bahkan ketika dua karyawannya sudah pulang, Diana masih di ruko berukuran empat kali delapan miliknya, untuk menyelesaikan pekerjaan yang tak diselesaikan Seto dan Afika.
Tak ada lembur untuk para pekerjanya. Bukan berarti ia tak mampu memberi gaji tambahan. Tapi Diana tak mau mengurangi jatah istirahat karyawannya.
Mungkin itu alasan mengapa Seto dan Afika bertahan bekerja di usaha yang dibangun dengan kerja keras Diana sendiri itu. Ya ... mungkin hanya itu. Nanti kalau ada kebaikan Diana lainnya, akan Afika sebutkan. Tapi nanti, kalau Diana insaf, menjadi wanita sejati.
"Sudah makan nya kau, Ka?"
Seakan tak ingat jika beberapa jam yang lalu mengamuk seperti kesetanan. Diana menghampiri Afika yang masih menyetrika.
"Belum lah, kak. Deadline ini. Nanti sore diambil."
"Seto keluar, jemput pakaian pak RT. Kau cari makan, Ka. Biar ini aku yang kerjakan."
Afika menatap lekat ekspresi lelah Diana. "Kenapa nya, kak? Dari tadi muka kusut kali."
Diana, wanita dengan rambut lurus hingga bawah pinggul itu menggantikan posisi Afika setelah mengeluarkan selembar uang bergambar presiden pertama Indonesia. "Biasalah! Bapakku sibuk minta cucu. Dia pikir cucu bisa keluar dari mesin cuci?"
"Ooh. Aku pikir masalah apa." Afika meremehkan kegundahan Diana. Karena hal seperti ini biasa sekali terjadi.
"Enak kali kau cakap! Masalah genting, ini!"
"Iya lah." Afika tersenyum lebar. "Aku keluar dulu cari makan."
"Jangan lebih dari tiga puluh ribu ya, Ka? Awas kau beli macam-macam. Kupotong gaji kau!"
"Iya lho, kak. Iya! Tau aku!"
Sepeninggalan Afika, Diana yang bibirnya hari ini bebas dari gincu coklat kesukaannya mematikan setrika, lalu bersandar lelah pada punggung kursi plastik yang ia duduki. "Cari cucu di mana coba?! Ck! Serba salah kali! Kita belum nikah, dimintai cucu! Nanti kukasih cucu! Diamuknya aku, karena dapat cucu tanpa mantu. Orangtua, makin tua makin aneh perangainya."
*
Setelah mengantarkan Afika pulang, Diana segera pulang ke rumah dan teriakan sang ibu langsung menyambutnya.
"Kau pulang?! Baguslah! Mamak mau bilang kalau tadi mamak ketemu sama kawan SMA mamak dulu! Ya ampun! Masih cantik kali! Masih kencang kulitnya! Mungkin kalau mamak rajin ke salon, mamak juga masih kencang macam dia!"
Diana melirik malas pada sang ibu. Ada kode rahasia di sebaris kalimat yang ibunya ucapkan. Minta uang untuk biaya perawatan.
"Sudah lah, mak! Sudah tua. Ngga ada yang naksir pun kecuali bapak."
Tiar langsung mencebik, mendengar jawaban menohok putri pertamanya yang tak kunjung menikah, padahal sebentar lagi, sebelas bulan tiga hari lagi, Diana akan berusia tiga puluh tahun.
Anak nomor dua, yang merupakan adik perempuan Diana bahkan sudah menikah. Si bungsu yang berjenis kelamin lelaki berusia dua puluh empat tahun pun sudah berpamitan untuk menikah. Tapi Diana, jangankan pamit menikah. Pamit cari pacar saja tak pernah.
Tiar dulu kembang desa yang pacarnya tak bisa dihitung dengan jari. Tapi Diana yang ia akui cantik, karena tak ada seorang ibu yang mau mengatai putrinya jelek, mungkin baru berpacaran sebanyak tiga kali. Itu pun laki-lakinya pasti khilaf saat berpacaran dengan Diana.
"Diana! Ndook? Buat teh, ndook!"
Dari teras belakang rumah, suara Suryo, ayah Diana yang merupakan orang Jogja asli itu terdengar dengan aksen khas pria itu.
Tinggal berpuluh tahun di Medan, tak sama sekali menghilangkan aksen jawa Suryo. Malah menurut Diana, aksen jawa Suryo kian kental di telinganya. Apalagi saat memberi nasehat. Persis dalang.
"Pak, lebaran nanti katanya pulang Jogja?" Sambil menyerahkan segelas teh hangat pesanan rutin Suryo tiap kali Diana pulang bekerja.
"Masih lama lebarannya."
Duduk di samping sang ayah, Diana memijati pundak tua Suryo. "Ya maksudnya, kalau iya kan aku kumpul-kumpul dari sekarang. Tiket pesawat udah naik loh, pak."
"Heeh!" Suryo menyeruput teh panasnya. "Ojo numpak pesawat. Ngentut neng langit, bahaya."
Diana langsung meringis mendengar ucapan nyeleneh ayahnya. "Pak, pesawat ngga kentut."
"Lah itu, motor Sukarni." Suryo sedang membicarakan tetangganya yang sering mengajak Suryo pergi ke sawah bersama. "Sering dut ... dut ... dut. Terus mati total! Lah kalau pesawat mati total, kan medeni."
"Alah! Bilang aja kalau bapak naik pesawat, bapak mual. Masuk angin!"
Tiar menyahut. Wanita berusia lima puluh dua tahun dengan daster dan rambut di rol itu mengangkat jemuran yang berada tak jauh dari teras di mana Diana dan Suryo duduk.
"Besok bapak saja lah naik bus! Ngga usah bawa-bawa aku! Mau coba naik burung terbang!"
"Iya mak, ya? Asal jangan pesawat mamak jadikan tempat piknik. Segala macam barang dapur dibawa."
Karena pasalnya, jika Tiar berpergian ke manapun, jauh atau dekat, termos, piring, sendok dan bekal yang bisa menghidupinya selama satu minggu akan dibawa dalam satu tas besar. Iya. Serepot itu ibunya.
"Alah, cerepet kali lah kau! Eh!" Dengan pakaian di tangannya, Tiar menghampiri anak dan suaminya. Meletakkan pada satu kursi kayu semua pakaian kering. "Tadi mamak belum selesai ngomong soal kawan mamak."
"Ngga ada duit nya, mak!"
"Siapa yang mau minta duit sama kau?! Mamak mau bilang soal anak teman mamak itu! Tadi dia bawa anaknya! Laki-laki, ganteng, mapan, dan belum nikah!"
Bulu kuduk Diana meremang seketika. Ibunya pasti menyodorkan dirinya pada teman lama Tiar itu.
"Terus mamak tawarkan kau!"
"Mamak pikir Diana barang?"
Dan Suryo yang ingin anaknya cepat menikah tau-tau ikut masuk dalam obrolan, yang jika didengar orang akan menyangka itu sebagai sebuah percekcokan"Dicoba dulu, Di. Mungkin kan jodoh."
Diana langsung memberengut malas mendengar ucapan ayahnya yang mendukung gerakan obral anak yang dilakukan Tiar. "Masalahnya dia mau ngga sama Di?"
"Mau lah!" Tiar menjawab dengan semangat. "Anak mamak kan cantik." Mengedipkan mata, menggoda Diana yang masih tetap berekspresi datar.
"Memang aku cantik." Diana berdiri, melepas gelungan rambutnya.
Rambut panjang indah itu jatuh, menjuntai nyaris menyentuh pantat teposnya. "Diana kamar dulu, lah. Kalau anak teman mamak itu mau ketemu sama Di, bilang aja." Dia langsung bergerak pergi.
Malas sekali rasanya membicarakan perihal lelaki dan jodoh.
*
Diana berguling ke kiri dan kanan. Ekspresinya tampak menyeramkan ketika ia sedang kesal.
Kecoak saja takut lewat di depannya. Iya. Takut digenjet mati oleh sandal rumah bergambar helo kity milik wanita itu. Bah! Helo kity! Malu lah sama kelakuan yang seperti singa kelaparan.
"Jodoh bisa dipesen pakek ojek online ngga sih?!"
Dia memang suka iri ketika melihat teman-temannya sudah menemukan pasangan masing-masing, dan bahkan sudah menggendong anak.
Tapi itu semua tak sampai membuat ia gundah gulana. Galau merana.
Ini bukan karena jodoh tak kunjung datang. Ini tentang kedua orangtuanya yang terus memborbardir dirinya dengan pertanyaan kapan bawa jodoh. Dua orang tua itu tampaknya takut sekali Diana akan sendirian menghabiskan masa tua. Padahal ada Afika dan Seto yang sampai gigi rontok semua, tak akan ia pecat meski kerjaan selalu saja terdapat kesalahan. Afika dan Seto akan ia jadikan karyawan seumur hidup. Peduli setan dua orang itu tidak betah. Jadi Diana tak begitu khawatir tak bisa mendapatkan teman di masa tua.
Walau ia juga ingin sekali merasakan bagaimana rasanya tidur dipeluk pria. Dicium-cium mesra. Lalu dibelai- belai manja. Uuuh ... pasti rasanya seperti terbang ke angkasa.
Membayangkan hal yang mulai nyeleneh, bunyi notifikasi pesan dari sebuah media sosial menarik perhatian Diana. Ia melirik ponsel yang ia letakkan di atas nakas sebelum berdiri dan mengambil benda canggih kesayangannya.
Juli Panjul : beb! Telpon beb!
Tak menunggu permintaan berikutnya, Diana segera membuka pintu balkon, duduk di atas ayunan gantung dan segera menelpon sahabat lamanya. Sahabat yang ia pungut di Jakarta semasa kuliah dulu.
"Miskin kali kau, ya?!"
"Pulsa gue tinggal marebu perak! Jaga-jaga kalau quota habis. Ini udah sekarat juga! Makanya minta telpon!"
Diana langsung mencibir, peduli setan temannya tak bisa melihat cibirannya itu. "Kenapa? Plis, kalau tujuan lo nelpon cuma buat minjem duit gue ngga mau kasih."
"Eleeeh! Tau gue kalau lo sekarang udah jadi pengusaha laundry sukses! Tau gue. Tau! Tapi siapa juga yang mau minjem duit! Gue mau curhat!"
"Kalau curhat soal lo ngga ada duit, plis! Curhat sama tembok aja!"
"Bangkek lo ye!"
Berhasil membuat temannya kesal, Diana tertawa riang. "Ya udah buruan curhat!"
"Gue dilamar!"
"ANJING!" Diana segera bangkit. "GUE UDAH DILANGKAHIN ADIK GUE, YA JUL! TERUS LO MAU IKUT-IKUTAN?! SETAN KAU MEMANG!"
klek!
Diana langsung menggigit bibir bawahnya ketika pintu balkon tetangga di depan balkon kamarnya terbuka.
Iya. Posisi rumahnya memang sangat dekat dengan rumah tetangga yang satu ini. Hanya berjarak sekitar tiga meter mungkin. Tapi, malangnya tetangga sebelah rumah yang menempati kamar lantai dua yang terletak di samping rumah. Malang, karena Diana juga menempati kamar di lantai dua yang terletak di samping rumah, membuat balkon kamar mereka saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.
Sangat dekat, karena balkon keduanya saling menjorog ke depan dan hanya menyisakan ruang kosong berjarak satu langkah kaki orang dewasa.
Sangking dekatnya, tak hanya Diana yang bisa melompat ke sana—tapi demi apapun tak pernah ia lakukan—suara Diana yang lengkingannya sanggup membangunkan beruang yang tengah hibernasi saja bisa melompat hingga kamar tetangga sebelah.
Harusnya pagar tembok yang dijadikan pembatas rumah mereka dibangun lebih tinggi agar setidaknya jika Diana berteriak begini tak kena tegur langsung.
Tapi apa daya. Sudahlah. Ia malas mengeluh hal tak berguna di saat ada yang lebih genting harus ia pikirkan.
Duh ... padahal dia yang salah, mengganggu kenyamanan tetangga sebelah. Malah dia yang mengeluh. Hebat sekali wanita ini.
"Bisa kecilkan suaranya?"
Diana yang pura-pura tak melihat ke arah balkon tetangga, mulai menoleh pada sosok pria bertubuh proposional di seberang sana, dengan tinggi yang cukup sempurna untuk ukuran orang Indonesia. Pria itu menatapnya tanpa ada guratan ramah sama sekali. Ah ... orang sebelah kan memang sombong menurut Diana. "Maaf, bang." Ringisnya seolah tak enak hati, padahal tidak.
Langsung melengos tanpa menjawab permintaan maaf Diana, pria itu kembali ke kamarnya. Tentu saja, si wanita tanpa pantat aka Diana mencibir kesal. "Sumpah! Sombong kali jadi orang!"
"Siapa? Dokter sebelah kamar lo?"
"Siapa lagi coba yang sombong kek gitu kalau bukan dia?"
"Ck! Orang kaya, pinter, ganteng, sukses, mah bebas, Di. Lagian lo teriak-teriak gitu. Inget, udah ngga tinggal di hutan sekarang."
"Sialan lo!" Diana kembali duduk. Sudah ia lupakan teguran tetangganya tadi. "Lampu kamarnya mati. Gue pikir dia belum balik. Jadi beneran lo mau nikah? Sama Mike?" Sesaat membahas tetangga sebelah, Diana kembali membahas tentang Juli.
"Ngga, Di. Dia ngga ada kepastian."
"Lah terus?" Diana langsung memasang tampang bingungnya. "Ngapain pacaran bertahun-tahun kalau ngga jadi? Buang waktu banget!"
"Namanya belum jodoh, Di. Em ... gue taaruf. Ngga berani cerita sama lo kemaren, soalnya kan belum pasti. Baru kenal dua bulan. Tapi ini insyaallah jadi. Sebenarnya, Di. Gue udah mau nikah dua minggu lagi."
Diana langsung bungkam, dengan sepasang kelopak mata bergerak naik turun. Juli akan menikah. Dua minggu lagi, akan menikah dengan pria yang baru dikenal selama dua bulan.
Dia bahagia. Sungguh. Tapi ... dia juga merasa iri. Juli dua tahun lebih muda dari dirinya, dan akan segera menikah sebentar lagi. Sedangkan dirinya?
"Diana? Kok diem? Marah, ya? Sori. Gue bukan mau nutupin."
Kekehan Diana lalu terdengar sembari menghapus setetes cairan bening yang menampilkan sosoknya di sudut mata. "Gue kaget. Ya ampun, Jul! Kabar baik begini kok ngga bilang-bilang, sih? Selamat yah, beb? Gue seneng lo mau bobol perawan duluan."
"Ha ha ha! Gila lo! Eh ... gue dipanggil nyokap. Ntar malam lo telpon gue lagi, ya?"
"Ya udah. Bye."
Diana mematikan panggilan. Diam sejenak, menatap kosong pagar balkon miliknya, sebelum kemudian menarik napas dalam, menikmati sakit di setiap tarikan.
Sepertinya ia sudah memasuki rasa cemburu di level tertinggi.
"Gue kurang cantik gitu, ya? Ngga ada yang mau sama gue."
Nyatanya dia hanya kurang semok di pantat dan kurang kalem saja. Selebihnya semua ... biasa-biasa saja sih. Dia tak putih, tapi tak terlalu hitam juga—berterimakasih pada skincare mahal, rekomendasi Lusi. Jadi walau tak terlihat putih, ia tampak bersih dan eksotis.
Dia tak terlalu mancung. Ya ... ukuran hidung standar. Dia selalu berucap syukur karena meski hidung tak semancung ayahnya, hidungnya tak bulat seperti ibunya. Lalu ... dia tak pendek. Karena tingginya 168 sentimeter. Apa lagi? Em ... oh ya, dia punya rambut yang bagus. Lurus dan panjang. Sempat ingin menjadi model shampo, sayang terhalang keberanian.
Iya. Dia itu jago kandang. Mulutnya saja yang besar. Suka maki-maki tak karuan. Tapi kalau dihadapkan dengan orang yang tak dikenal, dia bisa jadi pendiam. Saat casting iklan, gerak tubuhnya kalah luwes dengan robot buatan Jepang.
Apalagi kalau dihadapkan dengan orang galak seperti tetangganya tadi. Meski irit bicara, si tetangga cukup galak menurutnya. Selalu sinis setiap melihat dirinya. Nah ... Diana yang terkenal garang akan membatu jika dihadapkan dengan orang-orang seperti itu.
Ah ... benar. Sepenakut itu dirinya.
Part Dua
Hal yang tak boleh ia lakukan, keluar dari ruang operasi dengan sarung tangan penuh darah. Ia pergi begitu saja tanpa mampu menjelaskan apapun pada keluarga pasien. Tubuhya yang lelah kemudian bersandar di dinding lorong sepi rumah sakit, dan membuang semua rasa bersalahnya di sana.
Hari ini, satu nyawa tak sanggup ia selamatkan. Sudah semua kemampuan ia kerahkan, tapi ketika semua ia rasa berjalan dengan sempurna, ia malah keluar dari ruangan untuk memberikan kabar duka.
"Dok, keluarga pasien sudah ikhlas." Seorang wanita menghampiri. Tampak sekali kesedihan di raut wajahnya, sama seperti Devan yang sedang merasa bersalah saat ini.
"Iya." Pria itu berdiri. "Saya pulang, Vee." Dia melepas sarung tangannya. "Nanti kamu telepon saya kalau ada apa-apa."
"Iya dok."
Memasukkan mobil ke perkarangan rumah, karena tak ada orang untuk membukakan pintu garasi. Pria itu segera turun dari Land Cruiser silvernya, segera masuk ke rumah dan dengan langkah lunglai ia menapaki setiap anak tangga untuk menuju kamarnya.
Dalam seminggu ini terjadi begitu banyak kecelakaan yang sebagian besar korbannya harus mencicipi meja operasi. Dan hari ini pasien ke sekian harus meninggal karena berbagai komplikasi.
Dia kurang istirahat. Dan kejadian tadi membuat dirinya mulai merasakan lelah.
Langsung berbaring di ranjang besarnya, ia langsung terpejam masih lengkap dengan sepatu dan Snelli.
"ANJING! GUE UDAH DILANGKAHIN ADIK GUE, YA JUL! TERUS LO MAU IKUT-IKUTAN?! SETAN KAU MEMANG!"
Sontak, sepasang mata Devan terbelalak menunjukkan bola mata yang begitu merah. Dia baru terpejam rasanya. Mimpi bahkan belum sempat menyambut kedatangannya. Dan tetangga sebelah kamar yang tampak begitu susah untuk tak berbicara sekeras toa masjid itu berteriak lantang.
"Shit!" maki pria itu lantas berdiri dengan semua emosi tertahan.
Membuka pintu balkon, tatapan nyalang segera ia berikan pada tetangga yang berpura-pura tak melihat ke arahnya.
"Bisa kecilkan suaranya?"
Wanita itu melihat ke arahnya dengan sepasang mata bulat yang mengerjap bersama ringisan sungkan. "Maaf, bang," cicitnya.
Tak menjawab, apalagi memberikan senyuman setelah istirahatnya diganggu dan hebatnya ini bukan yang pertama kali. Devan kembali ke kamarnya dan menutup pintu cukup keras.
"Pengganggu," umpatnya.
Melepas sepatu dan Snelli, akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Teriakan tetangga sebelah benar-benar sudah menghancurkan keinginannya untuk tidur.
*
"Devan?"
Baru selesai berpakaian santai sehabis mandi. Devan berbalik dan menemukan wanita berusia lima puluhan melangkah anggun ke arahnya.
Ima yang selalu tampil menawan meski hanya berada di dalam rumah tersenyum melihat tatapan lelah sang putra.
"Mama ke sini? Kok ngga kasih kabar?" Devan tarik tangan sang ibu, ia kecup punggung tangan wanita itu. "Ke sini sama siapa?"
"Sendiri. Papa kamu ada urusan di Malaysia. Mama ngga mau ikut. Jadi deh tadi malam kepikiran buat ke sini." Sambil melangkah dengan Devan yang menggandengnya ke arah ranjang. "Pas perjalanan ke sini tadi Vee telpon." Duduk di sisi ranjang brrsama sang putra, Ima mengusap lembut bahu Devan. "Kamu sudah berusaha sayang. Selebihnya itu urusan Tuhan."
Tersenyum tipis, Devan mengangguk.
Helaan napas Ima tertiup lembut. "Mama bawa makanan kesukaan kamu, loh. Ayo turun."
"Mama duluan. Devan nyusul."
Mengecup pelipis putranya singkat. Ima lantas beranjak pergi meninggalkan Devan yang barang kali ingin merapikan rambut atau sekedar menyemprotkan parfum. Putranya itu begitu peduli dengan penampilan.
Turun dari kamar, Devan mencari sang ibu yang tak ada di dapur atau di meja makan. Mengernyit, pria itu melangkah keluar, dan melirik pada sumber suara yang berbeda tengah berbincang sesuatu yang tampaknya menarik.
Ima sedang berbicara dengan Tiar. Seperti biasa. Jika datang, Ima akan memberikan oleh-oleh pada tetangga kiri kanan rumahnya. Mengikat silahturahmi, meski ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta.
"Terus, Muda kapan nikahnya?"
"Minggu besok baru lamaran." Tiar menjawab tanya Ima dengan ramah. Tetangganya yang bukan asli orang Sumatra Utara itu begitu lemah lembut. Dan untuk mengimbangi, Tiar akan berbicara selembut bidadari. Dia takut jantung Ima tak kuat mendengar nada suaranya yang selalu tinggi. Eh tapi itu kan kalau ia berbicara dengan anak dan suaminya. Iya, benar. Keluarganya adalah ujian untuk emosinya. "Nanti kalau nikahnya, wajib datang."
"Insyaallah. Ya udah, mamak Diana. Saya masuk dulu."
Tiar mengangguk, dan sekali lagi mengucapkan terimakasih pada Ima sebelum ikut melangkah pergi menjauhi dinding tembok setinggi dada yang menjadi satu-satunya pembatas rumah mereka.
Berbeda dengan orang kaya lainnya yang biasa membangun tembok pagar tinggi seolah enggan mengenal tetangga. Keluarga Ima membangun pagar, bahkan tak setinggi tubuh, kecuali bagian belakang rumah yang memang lebih tinggi pagar temboknya. Katanya agar tahu apa yang terjadi dengan kiri kanan rumahnya. Sedangkan pagar bagian depan rumah, memang dibangun dari jeruji besi kokoh yang dirakit semewah mungkin.
"Kukira mamak cari mancis ke warung. Malah bekombur sama tetangga."
Tiar melirik sadis pada putrinya. "Kau pikir mamakmu ini Astrid Tiar yang suka gosipin artis itu?! Nama, bodi dan kecantikan aja pun yang sama!"
Diana langsung mencibir. Namun dalam sekejapan lirikannya berubah pada kantong plastik berwarna putih di tangan sang ibu. "Kutengok ada sesuatu di tangan mamak."
Secepat kilat, seperti petir yang menyambar hanya dalam hitungan detik. Tiar memeluk oleh-oleh yang Ima berikan. "Bukan buat kau!" Lalu pergi masuk sebelum Diana mengambil pemberian Ima yang jelas berisi makanan nikmat. Selalu begitu biasanya.
"Bah! Celit kali lah!"
Bersungut-sungut, wanita itu berjalan menuju selang air dan menjulurkan ke arah tanaman bunganya.
*
"Diana mau dilangkahi lagi sama adiknya."
Ima memulai pembicaraan setelah menyiapkan makan untuk sang putra. Mengedikan bahu, Devan melahap makanan di piringnya tanpa peduli pada apa yang ibunya bicarakan.
"Devan." Ima duduk di hadapan sang putra yang masih tak memperhatikan eksistensinya. "Mau mama jodohkan sama Diana?"
Dan kunyahan Devan seketika berhenti. Fokus pada makanannya berubah ke arah sang ibu, menatap malas wanita yang telah membesarkannya. "Bercandanya ngga lucu, mom."
Kemudian kembali pada makanannya, sedang Ima segera memajukan bibir, berpangku dagu. "Mama tuh capek liat kamu sendiri terus. Udah tua loh kamu. Papa dulu waktu nikahin mama umur dua tiga! Ini kamu udah tiga dua masih sendiri."
"Ya namanya jodoh belum datang."
"Jodoh itu perlu dicari, nak." Karena jodoh bukannya tamu tak diundang yang tiba-tiba mengetuk pintu.
"Ya. Besok Devan cari." Ia tatap ibunya. "Yang cantik kayak mama."
Ima lantas cemberut, karena ia menangkap guratan tak serius dari ucapan sang putra. "Ngga usah dicari. Sebelah kamar kamu kan udah ada. Tinggal deketin aja gitu."
Langsung saja Devan menggeleng. Wanita di samping kamarnya bukan wanita idamannya. Dua puluh tahun ia bertetangga dengan wanita itu. Tak terhitung berapa kali saling bertatap muka meski jarang atau nyaris tak pernah menyapa. Namun sekalipun tak pernah terlintas di benak Devan untuk memikirkan Diana menjadi pasangannya.
"Bukan tipe Devan."
"Ck! Mau kamu yang kayak gimana?"
Devan menggigit kentang goreng di tangannya. "Kayak mama."
"Bohong! Kamu mau yang seperti Jihan, kan? Nak, perempuan itu sudah jadi istri orang." Kemudian berdiri, menatap kesal pada sang putra yang semenjak ditinggal menikah mantan kekasih di saat masih menjalin hubungan sebagai kekasih, mulai tak pernah lagi menggandeng wanita manapun.
Hati Devan seolah ikut dibawa lari oleh Jihan, wanita yang sudah menjadi kekasih Devan semenjak duduk di bangku SMA hingga usia mereka memasuki dua puluh lima. Tanpa ada kata putus, atau pembicaraan apapun tentang hubungan mereka. Jihan menghilang, dan dalam waktu dua bulan, kabar jika wanita itu akan menikah segera terdengar.
Wanita berdarah campuran Pakistan, Bugis, dan Sunda itu memang cantik. Ima tak bisa memungkiri hal itu. Terlebih, di usia yang masih begitu muda, Jihan sudah menjadi seorang dosen di sebuah universitas. Jihan bahkan memiliki kepiawaian lain, yang mana kesempurnaan dalam diri wanita itu menjadi idaman seluruh wanita di muka bumi.
Tak heran jika Devan susah move on. Tak heran, jika memasukan Diana sebagai salah satu kandidat kekasih, langsung Devan tolak mentah-mentah. Putri dari salah seorang teman Ima yang tak hanya pintar, bahkan sekarang sudah menjadi dokter spesialis di Jerman, dan kecantikannya tak kalah jika disandingkan dengan Jihan saja Devan tolak. Apalagi Diana.
Duh ... Ima kehabisan kandidat untuk dijodohkan dengan anaknya. Semua mundur ketika Ima menawarkan sang putra, karena mereka semua enggan tak dipedulikan.
Sisa Diana yang ia kenal dekat karena wanita itu cukup ramah padanya. Tapi tampaknya Diana juga tak mau pada putranya. Kalau memang Diana sempat memiliki ketertarikan. Diana pasti setidaknya melakukan berbagai hal untuk bisa memikat Devan. Tapi apa? Wanita itu malah lebih banyak menunjukkan sisi kebringasannya dari pada sisi keanggunannya.
Devan jelas tak menyukai wanita serampangan seperti Diana. Tapi ... wanita itu baik.
Aah ... Ima sadar, jika pria tak hanya sekedar butuh wanita baik untuk dijadikan pendamping. Iya karena jika wanita banyak mencari pria berharta, maka pria banyak mencari wanita berupa.
"Siapa yang bilang harus seperti dia, ma?" Tanpa mau menyebut nama mantan kekasih yang sudah terlalu dalam menorehkan luka di hatinya, Devan tersenyum melihat ekspresi kesal ibunya. "Ma, istri itu bukan dicari untuk pemakaian sehari dua hari. Istri itu untuk menemani seumur hidup. Pilih barang aja kita harus tahu kelebihannya. Harus pastikan itu bagus dan berkualitas. Masa untuk cari pendamping mau asal-asalan yang penting nikah. Baju yang ngga dibawa sampai mati saja kita tetap mau beli yang bagus kok. Masa istri yang harus menemani sampai mati, carinya yang ala kadar?"
"Kamu itu!" Ima bersedekap. "Ada aja jawabannya kalau ditanya soal jodoh. Udahlah! Mama mau tidur."
Tertawa kecil, melihat ibunya pergi dalam keadaan merajuk. Devan segera menggeleng pelan, merasa lucu pada tawaran ibunya untuk menjodohkan ia dengan Diana.
Sepertinya ia memang harus segera mendapatkan calon pendamping, sebelum ibunya menawarkan jodoh lain, yang karakteristiknya jauh lebih di bawah tetangganya.
Sungguh, ia tak bermaksud menghina. Diana tak jelek, meski tak begitu cantik. Diana juga tak bodoh, karena wanita itu sempat kuliah meski Devan tak tahu berapa nilai yang wanita itu dapatkan ketika wisuda. Diana juga tak miskin, meski tak kaya. Tapi wanita itu cukup mandiri dengan memiliki usaha binatu yang cukup laris menurut Devan. Karena dia juga langganan di sana.
Tapi mau bagaimana jika hati tak sama sekali tertarik, bahkan sekedar melirik. Apakah harus dipaksakan?
Jika pakaian yang sempit saja bisa sobek ketika memaksa untuk mengenakannya. Bagaimana dengan hubungan?
Part Tiga
Diana mematut wajahnya di cermin sekali lagi sebelum memutuskan turun dari kamar, dan berangkat bekerja seperti biasa.
Ia melangkah pelan, menuruni setiap anak tangga sambil menatap layar ponsel di tangannya.
Berhenti di anak tangga terakhir, bibirnya yang baru akan terbuka memanggil ibunya, kembali terkatup kala sayup-sayup ia tangkap suara sang ibu yang menyebut-nyebut namanya.
"Ngga tega aku lihat Diana dilangkahi lagi. Dia bilang 'ngga apa-apa, mak'. Tapi nangisnya di kamar."
Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu menggigit bibir bagian bawahnya cukup keras. Terasa buruk ketika tahu dirinya tengah dikasihani. Namun lebih buruk jika yang mengasihani terlihat seperti terbebani.
Masalah jodoh ini, inginnya cukup Diana saja yang pusing. Tapi tak bisa begitu, karena ia masih memiliki orangtua yang berharap putrinya menemukan seorang pria untuk bersama membina rumah tangga.
Menarik napas dalam, lalu mengembuskan udara dari mulut berharap sedihnya ikut keluar, Diana melanjutkan langkah menemui orangtuanya di balik ruangan tak jauh dari tangga. "Mak! Diana pergi!"
"Eh! Ngagetin kau!" Tiar mengelus dadanya. "Pagi kali!"
Diana mencomot gorengan buatan sang ibu yang menjadi teman kopi Suryo sebelum pergi bertani. "Khan nhanti phulhang sephat," jawabnya dengan mulut penuh.
Tiar langsung memukul pelan kening putrinya. "Makan ya makan aja kau! Sudah sana pergi!"
Hanya menyengir, Diana menyalami tangan ibu dan ayahnya sebelum pergi. "Eh Diana! Kau jangan lupa ketemu anak temen mamak siang nanti, ya!"
"YA MAK!" jawab Diana lantang.
Wanita itu sudah berada di halaman rumahnya. Masuk ke dalam Jazz silvernya, mobil yang ia beli dari tabungannya semasa bekerja di Jakarta beberapa tahun silam. Gajinya cukup besar dulu. Namun ia memutuskan untuk berhenti dan memilih berdikari.
Persaingan, saling sikut menyikut demi jabatan dan juga agar dipandang oleh atasan akhirnya membuat Diana mundur. Ia tak bisa bersaing tak sehat dengan orang yang ia anggap sebagai teman seperjuangan.
Melihat pesan baru di ponselnya, Diana langsung mengernyit. "Bah! Jauh kali lah ketemuannya." Dia mendesah kesal, meski tak bisa berbuat apapun.
Setelah menyetujui permintaan ibunya untuk menemui anak teman lama Tiar. Malam tadi Tiar mengatakan jika anak temannya yang kata Tiar bernama Kaif mengajak Diana bertemu siang hari ini.
Tapi bukannya membiarkan Diana yang memilih tempat untuk bertemu, tanpa bertanya pria itu yang menentukan semuanya. Dan pagi hari ini Kaif memberikan alamat yang akan menjadi tempat pertemuan mereka. Dan tempat itu berada cukup jauh dari Syauqia Laundry.
Ah ... demi jodoh. Demi kebahagiaan orangtuanya agar tak pusing memikirkan dirinya yang terus menjomblo.
Toh menurut Tiar, Kaif anak yang baik. Jadi mengapa tak mencoba lebih dulu?
"Cepat kali datangnya, kak?"
Afika yang telah tiba terlebih dahulu segera menegur Diana yang baru masuk.
"Siang nanti mau keluar. Pulang cepat juga nanti. Muda mau lamaran. Seto sudah datang, Ka?"
"Sudah, kak. Langsung antar baju tadi. Ada yang minta diantar pagi ini." Kemudian menunduk, fokus pada pakaian yang ia setrika. Sedang Diana segera pergi ke ruang pencucian setelah meletakkan tas di atas kulkas.
Namun baru akan mengeluarkan baju yang telah dikeringkan dari dalam mesin, dia mundur dan kembali pada Afika. "Kakiku pegal kali lah, Ka. Kau jemur baju, aku manggosok sajalah."
"Eleh. Bilang saja panas di luar."
Afika keluar dari ruang kecil untuk menyetrika, dan segera Diana gantikan. "Lama kali lah, Seto. Awas kalau aku tau dia keliaran dulu!" gerutunya pelan.
"Permisi."
Mendongak melihat seseorang yang datang, Diana segera tersenyum kaku melihat siapa yang berdiri di samping mejanya yang berada dekat dengan pintu. Pelanggan setianya yang selalu menggunakan jasa setrika binatunya. Pria yang tak lain adalah tetangganya
Diana segera merasa menyesal karena menggantikan posisi Afika. Sungguh tak nyaman ketika berjumpa dengan tetangga samping rumahnya, karena ingin menyapa mereka tak begitu dekat. Tidak menyapa dianggap sombong. Pura-pura tak kenal, kok makin aneh.
"Eh bang. Mau ambil baju?"
"Iya." Tanpa ekspresi apapun, bahkan sekilas senyum. Devan memberikan selembar kertas kecil pada Diana.
Diana tak membutuhkan nota itu untuk mencari pakaian Devan. Dia sudah hafal di luar kepala.
"Kak Di! Eh, ada dokter Devan. Mau ambil baju?"
Devan mengangguk, tersenyum singkat pada Fika.
"Kenapa kau tereak-tereak?" Diana baru membuka mulut selepas menemukan bungkusan pakaian milik Devan.
"Eh, kak. Mamak Tiar baru sms. Dia bilang 'kau tengok, Ka. Nanti siang Diana pergi nemuin calonnya apa ngga. Kau bilang kalau dia ngga pergi, ya!'." Fika beralih pada Diana yang mendengkus, sambil memasukan pakaian Devan ke dalam plastik besar. "Ngga ceritanya kakak mau ketemu calon! Siapa, kak? Ganteng kah?"
"Alah!" Diana memutar bola matanya, terkesan tak acuh. Ia serahkan bungkusan pada Devan yang entah mengapa malah menyimak ucapan Afika dengan baik. "Tiga puluh, bang."
Devan segera menyerahkan uang pas pada Diana yang lantas melengos, kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaannya. Pun dengan Devan yang segera beranjak, meski samar-samar telinganya masih menangkap ucapan Diana sebelum ia benar-benar menjauh.
"Bukan calon! Mamakku sibuk kali jodohkan aku sama anak temannya. Aku nurut aja lah!"
"Oooh. Sukses lah, kak! Moga jodoh."
Diana melirik Afika. "Aamiin." Meski jauh di lubuk hatinya, ia meragukan hal itu.
*
Sudah satu jam Diana menunggu di tempat yang sudah dijanjikan. Meja nomor tujuh, tak jauh dari jendela yang memperlihatkan para pejalan kaki sedang lalu lalang di luar sana.
Sudah dua gelas green tea latte masuk ke dalam perutnya yang sejak pagi hanya ia isi satu potong bakwan buatan ibunya. Dia tak sedang berdiet. Rasanya sehari makan satu baskom nasi pun belum tentu bisa menggerakkan satu garis timbangan tubuhnya ke kanan. Banyak orang yang berharap seperti dirinya. Makan banyak tapi tak gemuk. Tapi di sanalah letak ketidakbersyukuran manusia. Karena Diana juga berharap ia seperti orang lain yang setidaknya bisa menambah angka timbangan. Ya ... setidaknya pantatnya sedikit lebih berlemak dari yang ia punya sekarang.
"Diana?"
Sebuah suara pria memanggilnya. Suara yang tak begitu familiar, jelas karena baru pertama mereka bertemu. Sesosok pria berkemeja biru muda, tampil rapi dengan rambut disisir ke belakang dan sedikit rumbut-rambut pendek di sekitar rahang.
Tampan. Begitu kesan pertama Diana pada pria yang berhasil membuatnya nyaris dibunuh oleh rasa bosan. Tersenyum samar pada pria yang setelah memanggilnya lalu duduk di hadapannya begitu saja, tanpa sama sekali peka pada raut kesal Diana. Wanita itu langsung membuang wajah ke arah jendela di sampingnya.
Melihat aktivitas orang di luar sana rasanya jauh lebih menyenangkan.
"Maaf membuat kamu menunggu lama. Tapi aku harus menjemput seseorang dulu."
"Ngga apa-apa."
Diana hari ini tak sama sekali berusaha memberi penampilan terbaiknya, karena tetap menggunakan gaun simpel berlengan panjang, tertutup di bagian dada dan tak memamerkan kaki jenjangnya. Jauh lebih baik dibanding harus mengenakan gaun berpotongan pendek seperti saran Afika. Tak benar-benar pendek sebenarnya. Hanya sedikit lebih bergaya dari yang ia kenakan. Tapi Diana tak suka.
Sejak mendapatkan menstruasi pertamanya. Diana mulai membenahi cara berpakaian. Memang ia belum menutup kepala dengan hijab. Belum siap katanya. Tapi dia juga tak terbiasa memamerkan lekuk tubuhnya. Bahkan, mengenakan pakaian sebatas lutut pun tak pernah kecuali di rumah. Namun tetap berpakaian rapat meski ia hanya ingin duduk santai di balkon.
"Sudah pesan minuman rupanya?"
"Iya." Ya kali baru pesan minum setelah pria ini datang."kamu ngga pesan minum? Atau makanan?"
"Diana." Kaif segera menyahut. Si tampan berbrewok tipis namun memiliki raut sedikit ramah itu tampak lebih serius dari beberapa detik yang lalu.
"Ya?"
"Aku ngga mau perjodohan ini."
Weew!
To the point!
Diana suka lelaki seperti ini. Tak manis di awal lalu pahit belakangan. Pahit di awal begini kan lebih enak. Tinggal buang, lalu cari yang asli manis tanpa pemanis buatan.
Ck ... ck ... ck. Belum mencoba untuk melangkah bersama saja dia sudah ditolak.
Kecewa? Iya. Sedikit.
Karena Diana tak mau munafik. Beberapa waktu yang lalu, ketika ia belum melihat bagaimana tampang pria bernama Kaif ini, ia cukup ragu untuk bisa melanjutkan perjodohan yang Tiar buat. Ketika berjumpa dan tampangnya tak hanya sekadar lumayan, enak dipandang. Diana sedikit berharap hubungan ini bisa dilanjutkan.
Dari mata turun ke hati.
Begitu kan tahapan cinta terjadi?
Maka wajar jika Diana ingin menjalin hubungan dengan Kaif yang bisa membantunya memberikan keturunan yang imut-imut, lucu-lucu.
Tapi sayang. Belum apa-apa sudah ditolak.
Aah sudahlah. Namanya belum jodoh. Nanti bisa dicari lagi yang tampan-tampan. Itu kalau Diana masih bernafsu untuk mencari calon imam. Di usianya yang nyaris mendekati tiga puluh ini Diana seperti kehilangan semangat mudanya untuk tampil mempesona agar bisa menjerat lawan jenisnya.
Dia jauh lebih tertarik menghabiskan waktu membaca novel dan mengkhayal, lalu bermain ponsel, membuka akun instagram pria-pria tampan, lalu tidur cepat sebelum migrain menyerang.
Dia merasa di usia sekarang ini, staminanya kian berkurang. Duuh belum menikah sudah begini. Nanti kalau menikah bagaimana ia bisa kuda-kudaan sepanjang malam dengan sang suami kalau sedikit-sedikit saja merasa lelah.
Loh looh. Malah melantur ke mana-mana. Ooh dasar otak jomblo jarang dibelai.
"Aku sudah punya pacar."
Kaif melanjutkan ucapannya karena Diana hanya memberi respon diam.
"Aku terpaksa datang ketemu sama kamu karena mama paksa dan kamu ngga mau ngebatalin. Mamaku belum mau nerima pacarku. Padahal dia pegawai sama kayak aku. Sebanding sama aku. Ngga ada yang kurang."
Sepasang alis Diana lantas terpaut. Dia tampak berpikir keras, mengartikan ucapan terakhir Kaif yang seakan sedang membandingkan dirinya dengan pacar pria itu.
"Sebenarnya ya bang, ya? Kau cukup bilang samaku, kau sudah punya pacar. Kau ngga mau perjodohan ini. Selesai. Aku juga pasti bakal mundur. Ngga mungkin lah aku paksa-paksa kau buat maju! Jadi ngga perlu lah kau pamerkan pacar kau, sementara kau tau kerjaku apa." Wanita itu lantas berdiri. Mencari calon suami bagi Diana itu memang wajib enak dipandang. Tapi ingat, tak melupakan poin lain yang jauh lebih penting.
Seagama, taat agama, rajin bekerja dan berahlak!
Yang sombong, tak masuk dalam antrian.
"Sombong kali, kau!" Dia mengambil tas tangannya di sebelah kursi yang ia duduki. Lalu sambil beranjak pergi, ia berucap, "Mantan menejer nya aku dulu! Ngga ada aku sombong kek gitu! Sebanding!" Dia berdecih, tanpa peduli pada tatapan tamu cafe siang itu yang mendengar omelannya. "Baru pegawai bank aja songong!"
Lelaki mencari wanita yang rupawan. Kadang tampang pas-pasan, inginnya pacar seperti Cinta Laura. Namun tambahannya sekarang, wanita yang dipacari atau yang akan dijadikan calon istri harus memiliki pendidikan yang setidaknya setara, lalu memiliki pekerjaan yang gajinya beda tipis.
Bah! Mau dijadikan tulang punggung juga sepertinya.
*
"Halo, Gas? Kenapa?"
Devan baru kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan ponsel yang menampilkan puluhan panggilan tak terjawab dari beberapa orang.
Baru akan memeriksa pesan whatsapp, panggilan dari suami sepupunya sekaligus sahabatnya masuk dan segera dirinya jawab.
"Sibuk banget, telpon gue baru dijawab."
"Heem. Kenapa?" Sambil membuka kotak makan dari katering langganan.
"Lo tau? Dari tante Ima sampai Jakarta, sampai hari ini. Dia ngga berhenti ngocehin tentang lo! Status jomblo lo bikin tante Ima ketar-ketir."
Devan hanya mencebik, tak begitu ambil pusing atas informasi dari Bagas.
"Beneran? Ini masih tentang mantan terindah? Lo ngga bisa lupain?"
"Itu cuma spekulasi nyokap gue aja."
"Ya. Semoga. Karena kalau lo masih berpaku sama Jihan aja. Gue ingetin, dia dah nikah."
Devan tersenyum hambar. "Udahlah. Gue sibuk."
"Tante Ima minta tolong ke gue buat ngomongin masalah ini."
"Masalah apa sih?" Devan menyingkirkan makan siang yang belum tersentuh, lantas berdiri dekat jendela. "Masih soal status gue?"
"Bro, ini udah terlalu lama. Ayolah! Lo bisa serius sama satu orang, kan?"
"Sudah!" Devan mendesah kasar. "Gue udah nyoba dan hasilnya gagal. Gue ngga ngerti apa yang salah. Yang jelas, gue ngga bisa ngerasain apapun setiap deket sama perempuan di luar sana. Lo tau, kan? Jatuh cinta ngga semudah lo matahin hati seseorang."
Devan frustasi. Bagaimana cara pria itu mengungkapkan isi hatinya cukup Bagas mengerti jika sahabatnya memiliki tekanan setiap membicarakan pasangan.
Pria itu pernah jatuh cinta. Berulang kali, namun pada satu sosok yang sama. Tak pernah berubah, sekian tahun cinta Devan hanya dijatuhkan pada Jihan. Hingga ketika pria itu ditinggalkan begitu saja, Devan lantas kebingungan bagaimana caranya ia menyusun kembali cinta yang dihancurkan oleh wanita yang menguasai takhta di hatinya.
"Lo mau solusi? Serius, ini pasti berhasil."
Menghela napas, Devan kembali ke kursi kerjanya. Ia tak begitu suka membicarakan perihal hati jika bukan karena sudah begitu terdesak. Dan kekhawatiran Ima atas kesendiriannya, mendesak dirinya untuk mengkonsultasikan hal ini pada Bagas. Meski sebenarnya Bagas tak begitu pandai dalam urusan seperti ini.
Tania lebih hebat jika memberikan solusi cinta. Tapi apa Bagas akan menyetujui Devan menghubungi istri pria itu untuk membicarakan cinta. Tak mungkin. Tapi Devan juga tak begitu tertarik berbicara tentang hati pada adik sepupunya itu. Tania pasti akan banyak mengatur.
"Ya udah. Apa solusinya?"
"Membiasakan diri lo untuk seseorang. Persis kayak lo membiasakan diri lo untuk menerima Jihan."
Devan lantas mengernyit.
"Pertama kali lo lihat Jihan. Yang bikin lo tertarik adalah fisiknya. Ngga munafik, semua orang pasti ngincer muka. Setelah itu, otaknya. Lo ngga nyangka aja, kan? Kalau Jihan ngga cuma cantik tapi pinter."
Bagas begitu tahu hal itu, karena ketika Devan mengagumi seorang wanita untuk pertama kali, ia menceritakannya pada Bagas yang saat itu teman sebangkunya.
Cantik. Itu kesan pertama Devan ketika bertemu dengan Jihan, murid pindahan dari Sulawesi.
"Tapi gue pikir abis lo bilang Jihan cantik dan pinter. Lo bakal nembak dia. Tapi ngga. Enam bulan lo dijadiin bahan ledekan karena terus ngeliatin Jihan. Selama itu lo bener-bener bikin kita gemes. Ngeliatin tapi ngga ngedeketin. Sampai kemudian lo ngajak dia ngobrol yang kami pikir tanda-tanda lo bakal jadian sama dia. Tapi ngga juga. Malah lo tiba-tiba cuekin dia sampai beberapa hari. Dia nangis karena sikap lo. Udah bikin dia kebaperan eh tiba-tiba dicuekin. Dan ngga ada angin ngga ada hujan. Lo tau-tau nembak dia. Lo masih inget kan kenapa lo ngelakuin hal aneh itu? Gue nanya berkali-kali dan akhirnya lo jawab. Lo pasti masih inget."
Ingat.
Memastikan dirinya jika ketertarikan yang berasal dari mata tak berarti cinta. Mungkin itu awal mulanya. Namun, jika tanpa berpikir panjang langsung mengartikannya sebagai cinta, maka hubungannya dengan Jihan tak akan bertahan hingga bertahun-tahun lamanya.
Membiasakan diri atas kehadiran wanita yang berhasil membuat dirinya tertarik untuk memiliki.
Devan tak ingin mengenal cinta monyet. Baginya cinta itu seperti hidup dan mati. Satu kali. Jadi dia ingin ketika hatinya mendamba seorang wanita, ia akan menjadikan wanita itu sebagai cinta sejatinya.
Butuh waktu yang lama untuk menjadikan Jihan sebagai pusat perhatiannya. Ia ingin membiasakan kehadiran wanita itu. Membiasakan indra penglihatannya untuk mengagumi satu wanita saja. Ketika akhirnya ia yakin, pandangannya benar-benar tak bisa lepas dari Jihan, ia mendekati wanita itu dan perlahan ia membiasakan indra pendengarannya untuk terbiasa mendengar satu suara yang akan menemani ia selamanya.
Usia yang masih muda tak membuat Devan bermain-main perihal cinta. Baginya perasaan murni itu begitu suci untuk dinodai dengan kata 'bermain-main'.
Devan memastikan jika Jihan adalah wanita yang dirinya cintai. Namun, seberapa besar cinta itu, Devan kemudian mengujinya.
Memilih bersikap tak acuh, untuk mengukur seberapa dalam hatinya butuh akan kehadiran Jihan.
Hingga hari ke lima, dirinya menyerah. Membiasakan diri atas kehadiran Jihan. Membuat ia kehilangan ketika pandangannya tak menemukan wanita yang berbulan-bulan menjadi pusat perhatiannya. Rasanya ada yang kurang ketika pendengarannya tak menangkap suara wanita yang ia dambakan. Dan rasanya begitu menderita ketika memilih menghindar dari wanita yang ia cinta.
Devan tergila-gila.
Caranya untuk jatuh cinta membuat ia benar-benar jatuh hingga ketika yang menjadi pegangan cintanya pergi, ia lupa cara untuk berdiri.
"Jadi gimana? Lo cukup nemuin perempuan di sekitar lo yang memanjakan mata lo. Lo selidiki otak dan sifatnya. Kalau oke, lo lanjut. Lo harus usaha, bro. Ngga selamanya lo berkubang sama masa lalu. Mantan yang terus lo pikirin itu, belum tentu mikirin lo juga."
"Udahlah. Gue coba."
Demi ibunya.
Mematikan panggilan dengan Bagas. Devan diam, memikirkan solusi yang Bagas beri. Kira-kira ke mana ia mencari wanita yang sesuai dengan karakteristik yang ia inginkan dan bisa ia dekati?
Tok tok!
Lamunan Devan buyar. Pria itu mendongak ke arah pintu, menatap seorang wanita yang berdiri anggun di sana. "Maaf ganggu, Dok. Aku mau cari temen ngopi. Ke kantin, yuk?"
Memperhatikan wanita yang masih mengenakan snelli, menutupi gaun bermotif bunga yang dikenakan, Devan mengangguk sambil tersenyum.
Arum. Dokter gigi kenalannya. Benar. Mengapa dia tak mencoba dengan dokter muda ini? Toh mereka juga sama-sama sedang sendiri.
Part Empat
Diana hanya diam di perkarangan rumah setelah turun dari mobilnya. Bola mata bergerak mengikuti lalu lalang keluarga sang ibu yang tampak sibuk karena akan ikut ke acara lamaran Muda, adik Diana yang terakhir.
"Ini ikut semua, Tulang?" tanyanya pada sang paman yang kebetulan lewat di belakangnya.
"Iyalah! Semua mau tengok Muda lamaran."
Lalu pria paruh baya itu pergi meninggalkan Diana yang seketika tak berniat untuk ikut. Hanya untuk lamaran saja, yang dibawa nyaris setengah kampung.
Diana sedikit tak menyukai hal merepotkan begini.
Sungguh, ikut dalam kesibukan pernikahan saudara yang nomor dua saja ia sudah sangat pusing. Sekarang ia juga ikut andil di dalam kesibukan acara lamaran saudara nomor tiga.
Sepertinya, jika ia menikah nanti ia tak akan melakukan hal rumit seperti ini. Berbagai tahapan adat yang tak ia mengerti sepertinya akan ia lewatkan.
Yang terpenting sah. Begitu yang ada dalam pikirannya.
Bahkan wanita ini tak akan menetapkan berapa besaran Sinamot atau uang mahar jika ada seorang pria yang akan menikahinya.
Dia hanya ingin menikah dengan cara sederhana. Cukup mahar seadanya, dan setelah menikah ia hidup bahagia beserta semua harta sang suami yang beralih menjadi hak miliknya.
Itu lebih baik, kan?
"Eh, kek mana?!"
Diana tersentak kaget pada suara Tiar yang tiba-tiba datang.
"Kek mana acara ketemuan tadi?"
Diana mendesah, mengelus lengan yang Tiar pukul. "Udah punya pacar nya, mak."
"Eh!" Tiar yang sudah tampil menawan dengan kebaya merah semerah bibirnya yang diberi gincu dengan tebal memonyongkan bibirnya. "Iya nya?!"
Diana mengangguk. "Mak, menor kali lah muka mamak. Kalahnya ondel-ondel betawi." Enggan membahas si pria sombong yang ia temui siang tadi, Diana segera mengalihkan pembicaraan dengan mengomentari penampilan sang ibu.
"Alah mulut kau! Kek mamak juga kau dandan nanti!"
"Ih!" Diana langsung merinding protes.
"Apa ah ih ah ih?! Banyak anak laki nanti di sana!"
"Ya terus?" Diana menggedikan bahu. "Diana di rumah lah. Jaga rumah."
"Ngga ada! Enak kali, kau!"
"Ih males kali lah aku mak, nanti ditanya-tanya, Diana kapan nyusul?!"
"Besok! Kau jawab gitu aja! Anggap doa."
"Ga lah!" Diana kemudian melangkah pergi. "Males kali aku jawabnya!"
Semakin dijawab semakin menjadi. Orang-orang yang selalu bertanya perihal kapan dirinya akan menikah itu, seolah jodoh ada di tangan manusia saja.
Memangnya Diana tak mau menikah? Sampai berulang kali pertanyaan bernada sama terus dilayangkan padanya, seolah jodoh bisa dipilih di Supermarket.
"Kupilih yang ganteng! Poliandri aku!" gerutunya sambil mengabaikan panggilan para keluarga yang seperti biasa pasti akan menanyakan kapan ia menyusul Muda ataupun Lella yang sedang hamil anak kedua.
Masuk ke kamarnya, membuka pintu balkon untuk memasukkan udara ke kamar, membuang sedikit gerah. Diana berjengit kaget saat pintu baru terbuka, sebuah tangan meremas pantatnya dengan lancang.
"Jutek kali kau, Di."
Segera berbalik, menepis tangan yang menempel di pantatnya, Diana mendorong pria berjanggut tipis yang tersenyum pongah padanya.
"Ngapain kau di sini?! Keluar!" Dia menunjuk ke arah pintu yang tertutup, tanpa ingin mencari tahu bagaimana Firdaus, suami Lella adiknya, masuk ke kamarnya sementara ada banyak orang di bawah.
"Rindu kali aku sama kau, Di." Dia bergerak mendekat, dan dengan sigap Diana bergerak mundur hingga pinggulnya menyentuh pinggiran pagar yang mengelilingi balkon.
"Ngga usah macam-macam, kau!" Nada panik terdengar jelas, namun di telinga Firdaus itu terdengar seperti nada penyambutan.
"Cuma mau satu macamnya ak—"
Klek!
Pintu di belakang Diana terbuka. Firdaus yang sudah mengurung tubuh Diana langsung mendongak, mengumpat kesal melihat seseorang muncul dan menatapnya dingin.
Sedang Diana yang wajahnya pucat pasi, ketakutan atas apapun hal lancang yang bisa Firdaus lakukan segera mengambil kesempatan untuk lepas dari kungkungan tubuh besar adik ipar kurang ajarnya ini.
Tersenyum sinis, Firdaus menatap Diana lekat. "Kita tunda dulu ya, Di?" Kemudian berbalik dan meninggalkan kamar Diana tanpa rasa khawatir sedikitpun karena apa yang ia lakukan dipergoki oleh tetangga sebelah.
Mengelus dada yang detak jantungnya memukul-mukul dengan keras, Diana mengucap syukur berulang kali dalam hati.
Setelah tenang dari gemuruh jantung yang menyerbu, ia berbalik menatap Devan yang tampak tak acuh. Pria itu menolongnya, tapi berpura-pura seolah tak melakukan apapun. Duduk di kursi sudut, fokus pada layar ponselnya, Devan hanya diam bahkan melirik Diana yang hanya menatapnya dengan ringisan tipis saja tidak.
"Makasih, bang." Namun Diana cukup tahu apa yang harus ia lakukan.
Kehadiran Devan menyelamatkannya dari kelakuan kurang ajar Firdaus yang bisa saja berbuat nekat.
"Harusnya kamu tidak diam." Perlu sepersekian detik untuk mendengar tanggapan Devan. Melirik Diana sekilas, ia kembali fokus pada ponselnya.
Sedang Diana hanya diam sambil membenarkan ucapan Devan. Harusnya ia tak diam. Harusnya ia berteriak agar Firdaus berhenti mengganggunya dan berlaku lancang padanya. Seharusnya begitu. Tapi ia kasihan pada Lella yang sedang hamil muda. Lella juga memiliki anak yang masih begitu kecil.
Tersenyum tipis, Diana berbalik, masuk ke dalam kamarnya.
Dia benar-benar membenci sifatnya yang terlalu iba pada sang adik hingga keselamatannya sendiri tak terjamin. Entah mengapa, sejak dulu Firdaus seperti menaruh obsesi padanya.
*
"Kekmana, kak? Sukses lamaran Muda?"
Diana yang sedang duduk menghitung pendapatan hari kemarin namun baru bisa hari ini ia kerjakan karena kemarin harus pulang cepat mengedikan bahu. "Kek gitu, lah!" jawabnya agak malas.
Semalam setelah Firdaus mengacaukan ketenangannya, Tiar yang memaksa dirinya menggunakan kebaya kian membuat kesal. Dia yang enggan ikut terpaksa turut serta menemani Muda lamaran karena masih takut jika sampai dikeluarkan dari KK.
Ibunya memang sekejam itu. Padahal apa salahnya yang terlalu bosan mendengar tanya "kapan nikah" dan berkenalan dengan pria sombong secara random.
Dia mengatakan sombong, karena jaman sekarang banyak sekali lelaki yang menetapkan kriteria calon istri harus sesempurna bidadari, sepintar BJ. Habibie, tapi tampang dan keuangan mereka sendiri masih patut dikasihani.
Diana merasa kesulitan mencari pasangan hidup. Ini bukan tentang tampangnya yang pas-pasan. Diana tak semerana itu. Dia masih cukup layak jika disandingkan dengan Tara Basro. Ya ... walau masih bagus hidung wanita itu dibanding dirinya. Matanya juga tak setajam itu. Terkesan sedikit lebih bulat. Tapi dia tak jelek juga. Ya ampun, siapa sih manusia yang sudi menjelek-jelekan dirinya sendiri?
Selain wajah, Usia Diana yang tak lagi muda juga menjadi salah satu faktor banyak yang enggan menjalin hubungan dengannya. Alasan mereka, melahirkan sekali saja onderdilnya pasti langsung menurun drastis. Dikira tubuhnya ini kaleng ikan sarden? Satu kali pakai.
Lalu yang ketiga adalah pekerjaan. Lelaki di luar sana lebih menganggap Diana sebagai pengangguran ketimbang wirausaha. Padahal penghasilannya di binatu ini lumayan cukup untuk membeli mulut pria yang selalu menganggap wanita kantoran lebih keren.
Kenapa sih mereka semua tak mencari wanita dari segi agama dan sikapnya saja? Eh ... agama saja. Sikap Diana agak sedikit barbar. Tapi setidaknya dia rajin mengaji dan sembahyang. Dia juga rajin bersedekah dan menolong sesama. Rajin menabung dan insyaallah bisa diajak sukses mendirikan rumah tangga yang SaMaWa.
Ya Tuhan ... kapan sih pria yang selalu Diana harapkan dalam doa datang melamarnya? Diana gerah dengan semua pertanyaan orang perihal "kapan nikah".
"Lesu kali, kak. Sedih nya mau dilangkahi?"
Diana menurunkan setumpuk lembaran uang receh di tangannya. "Ngga sedih, Fika. Nyesek aja dikit! Berbobot kali lah pertanyaan kau!"
Afika langsung terkekeh geli. Diana sedang sensitif hari ini.
"Afikaaaa!"
Seperti nada sebuah iklan makanan yang dulu sering berseliweran di layar kaca, suara Seto mendayu dari luar.
Afika yang sedang menyetrika segera menoleh ke arah Seto yang baru datang membawa bungkusan plastik di tangan. Diana yang melanjutkan menghitung uang receh di tangan ikut menatap Seto yang cengengesan minta ditabok. Karyawan yang selalu datang lebih lambat dari atasan!
"Abang Seto! Bawa makanan, kah?"
"Iya Af—"
"Ngga usah kau banyak cakap, Seto! Kau bawa ke sini makanannya, terus kau pergi ke belakang jemur pakaian! Enak kali ya hidup kau! Kerja datang siang! Mau jadi bos kau?"
"Ish! Pagi nya, Di! Udah merepet aja mulut kau."
"Eh sopan kali kau ya!"
"Iyalah nona muda!" Seto meletakkan bungkusan yang ia bawa ke meja Diana. "Istriku buat ... apa sih itu makanan orang jawa. Memet?"
Mendengar ucapan Seto ketika menyebut nama makanan yang dibawanya, Afika tertawa lantang. "Jelek kali lah nama makanannya! Hahaha!"
"Lemet!" Diana lantas membenarkan. "Udah kau diam, Fika. Pening palaku. Kau ke belakang, Seto! Banyak kerjaan ini."
"Iya, Di! Iya. Ish! Jutek kali kau pagi ini!" Seto lantas masuk ke dalam. "Ditanyain kapan nikah lagi, kau?" Pria itu melepaskan helmnya di meja setrika Afika dan menatap Diana yang langsung cemberut.
"Jodoh kau ada, Di! Udahlah, nanti juga datang. Kau ngga usah pusing-pusing kali lah!"
"Lama kali siapnya!" Diana menggerutu pelan, namun cukup dapat didengar Seto yang segera terkekeh.
"Ya sabar lah kau! Jodoh kan Tuhan yang nentuin! Kali aja udah siap, tinggal datang, atau baru dibikin, atau masih reinkarnasi lima puluh tahun lag—"
"Udahlah, pergi kau Seto!"
Segera menyerobot ucapan ngawur Seto, Diana siap melemparkan pulpen ke arah karyawan yang dulunya adalah kakak kelasnya di sekolah dasar.
Tertawa senang seolah membuat mood Diana kian terjun bebas adalah hal paling menarik, Seto berlari meninggalkan Afika yang tertawa dan Diana yang menggerutu sendiri.
*
Malam itu, Devan baru mengeluarkan mobilnya dari perkarangan rumah sakit tempatnya bekerja. Namun seperempat perjalanan, ia melihat Arum sedang berdiri cemas di pinggir jalan sambil mengotak-atik ponsel seperti sedang menghubungi seseorang.
Berhenti, pria itu keluar dan beranjak menemui dokter gigi yang ia tetapkan sebagai target pendekatannya. Dia masih bingung bagaimana cara agar mendekati wanita itu. Namun sepertinya ia memiliki cara sekarang.
"Dokter Devan?" Menyadari kehadiran Devan, Arum segera menyapa.
"Kamu kenapa?"
"Mobilku mogok." Arum perempuan berusia dua puluh enam tahun itu mendesah kesal. "Mobilnya udah dijemput orang bengkel. Ini aku mau minta jemput papa tapi ngga diangkat telponku."
"Kenapa ngga naik taksi?"
Bibir Arum mencebik. "Aku udah nunggu di sini dari tadi, tapi taksi ngga ada yang kosong. Mau naik ojek takut."
"Ya sudah. Aku antar."
Lantas saja Arum terbelalak tak percaya. "Kamu antar?" Sebentar. Sepertinya ada yang salah dengan Devan. Karena setahunya Devan selalu tak pernah mau mengajak siapapun naik ke dalam mobil pria itu. "Serius?"
Devan segera mengangguk tanpa pedulikan raut keheraman Arum. "Ayo."
"Waaah! Tumben banget kamu!"
Lalu tanpa tawaran yang kedua kali, Arum segera melangkah menuju kendaraan Devan lalu pria itu mengikuti pelan.
"Tau rumahku?"
Arum bertanya setelah Devan duduk di balik kemudi.
"Tau."
"Oh iya. Kamu pernah ke sana pas layat." Nada bicara Arum berubah ketika ia ingat kedatangan Devan beberapa bulan yang lalu, ketika ibunya meninggal dunia.
Menatap Arum yang seketika diam, Devan mendadak bingung. Bagaimana caranya memulai pembicaraan?
Ck! Terlalu lama berinteraksi dengan Jihan, membuat ia lupa cara membuka komunikasi dengan wanita lain, selain mantannya itu.
Melalui jalanan yang tak cukup padat, selengang suasana di dalam mobil yang senyap. Devan akhirnya hanya diam dan setengah perjalanan, mungkin karena bosan menikmati perjalanan tanpa obrolan, Arum segera membuka suara.
Wanita itu yang kemudian membicarakan beberapa hal tentang pekerjaan mereka, dan sesekali diam, kemudian berbicara lagi dengan topik yang sama.
Devan benci dengan dirinya sendiri yang kesulitan mencari bahan obrolan. Bahkan sampai Arum turun, ia masih belum bisa menemukan topik yang pas untuk berbicara dengan wanita.
Selama ini Arum memang sering mengajaknya melewati waktu istirahat bersama. Namun mereka hanya sekedar makan, minum dan membicarakan hal yang sama seperti yang mereka obrolkan di dalam mobil tadi. Pekerjaan dan pasien.
"Ck!" Masih kesal karena kebodohannya, Devan melucuti pakaiannya, dan segera ia bawa ke dalam keranjang pakaian kotor yang kosong.
Mengambil sebuah handuk dari dalam lemari, pria itu membungkus pinggangnya yang tak terlindungi apapun.
Mendinginkan tubuh sebelum ia beranjak mandi. Devan menyalakan televisi yang volumenya segera ia besarkan kala mendengar tawa membahana dari luar balkon.
"HAHAHA! Malang kali lah nasib kau!"
Devan segera membanting remot ke kasur, berjalan menuju pintu balkon, hendak menghentikan gangguan dari tetangga yang tak ingat waktu ketika membuka suara. Entah, berapa oktaf suara si kurus itu. Suaranya yang tak merdu selalu saja mengganggu.
Pintu terbuka. Lalu yang Devan dapati adalah seperti yang biasa ia lihat. Wajah pura-pura tak bersalah Diana yang menatapnya ragu-ragu.
"Bisa tolong diam?"
Diana yang menempelkan ponsel pintarnya ke dada, langsung meringis sungkan, namun kemudian menunduk, dan di bawah sinar lampu balkon Diana yang bersinar cukup terang, Devan mengernyit kala mendapati semburat merah di pipi Diana. "Maaf, bang," bisik perempuan itu yang lalu membuang pandangan ke arah samping.
Tanpa menjawab lagi, Devan segera masuk dan menggeleng heran. "Diganggu iparnya ngga ada suara. Giliran begini, suaranya ngga terkendali."
Lalu ia kembali menonton, tanpa lagi peduli wanita yang ada di luar sana, menekan dada sambil mengatur napas tak terkendali.
"Diana! Diana! Napa kau diam?!"
Mendekatkan ponsel ke telinga, Diana yang detak jantungnya masih menabuh kencang membuka suara. "Tama ... zina matanya aku barusan."
"Ha? Apaan?!" Nada bingung terdengar dari seberang.
Masih melongo linglung, Diana mengerjap pelan. "Dokter sebelah. Biasa nya kutengok dia ngga pakek baju. Tau nya aku dadanya kotak-kotak kek roti sobek. Tapi baru kali ini kutengok dia pakai anduk aja, Tam."
"Kau ngomong apa, sih?"
"Besar kali tonjolan di balik handuknya, Tam! Yakin aku yang kau ngga ada setengahnya!"
"Tai babi! Malas aku ngomong sama kau!"
Dan Diana kembali tertawa keras, namun segera ia bekap mulutnya dan dalam sekejap ia masuk ke dalam kamar sebelum mendapatkan teguran dari orang sebelah yang entah sudah menggunakan pakaian lagi atau masih berbalut handuk yang tak bisa mengendalikan tonjolan gagah di baliknya.
Ya ampun! Diana benar-benar butuh nikah!
Part Lima
Tak tahu apa yang menarik dari tayangan televisi masa kini. Jika dulu Minggu adalah motivasi Diana untuk bangun pagi, karena banyak tayangan anak-anak yang menarik, tak peduli usia telah dewasa, kemudian malamnya sebuah drama keluarga yang tak mencapai ribuan episode dan tak perlu tayang setiap hari hingga Diana paham betul bagaimana rasanya rindu hanya karena tak sabar melihat aksi aktor atau aktris kesukaannya.
Kini televisi seolah menjadi sebuah properti tak berfungsi yang lebih sering menampilkan gelap dibanding warnanya.
Tak hanya ia. Ibu, ayah dan adiknya lebih asyik sibuk dengan urusan mereka dibanding duduk di depan televisi menyaksikan drama tak masuk akal, atau berita yang rasanya tak menjunjung tinggi berita yang bersifat objektif.
Jadi, di malam yang rasanya lebih ramai jika digunakan untuk berkumpul keluarga, Diana hanya duduk di balkon sambil membaca novel romantis yang untungnya tak seperti drama aneh yang entah mengapa bisa diloloskan oleh KPI. Oh Diana lupa. KPI kini hanya sensitif dengan acara kartun, sampai tayangan Spongebob saja kena teguran. Atau Sizuka yang diblur kala menggunakan baju renang.
Mungkinkah bodi kartun Sizuka bisa meningkatkan libido penontonnya? Ah ... Diana masih cukup normal untuk tak bisa tidur dan terbayang-bayang penuh rasa penasaran karena memikirkan bagaimana bentuk isi di balik handuk milik dokter sebelah rumah, dibanding Sizuka, maupun Squidward yang tak pernah bercelana.
Eh ... dia memikirkan apa sih? Ck!
Sebenarnya tak jarang Diana menghabiskan malam dengan ayah dan ibunya, tanpa Muda yang lebih asyik bermain game atau menghubungi calon istri pria itu. Tapi akhir-akhir ini, semakin dekat dengan hari pernikahan muda, semakin muram wajah Tiar dan Suryo kala menatapnya.
Terlebih besok tetangganya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya akan menikah. Padahal Zeina tetangganya itu baru berusia dua puluh tiga tahun. Tapi besok sudah akan menikah. Diana? Masih betah dengan kesendiriannya.
Betah. Yang membuat gerah hanya pertanyaan orang sekitar dan yang membuat gundah adalah tatapan orangtua yang seolah takut dirinya akan menua sendirian.
Sudah sangat lama jarak Diana bertemu dengan pria terakhir yang dipaksa berkenalan dengannya namun ternyata pria itu memiliki pacar. Hingga sekarang, dia sudah tak berkenalan dengan pria manapun karena selain sudah jarang keluar rumah untuk tebar pesona, Diana lebih banyak menghabiskan waktu di Syauqia Laundry.
Ya ... mengumpulkan uang ternyata lebih menggiurkan dibanding mencari pasangan.
Klek!
Diana yang duduk santai di ayunan rotan berbentuk bulat langsung mengalihkan pandang dari rentetan kata, merangkai sebuah romansa, ke arah balkon tetangga yang terbuka dan menampilkan sosok si penghuni kamar.
"Ini sudah yang ke sekian kali mama ingatkan hal yang sama. Devan ngga akan lupa. Ya udah, sekarang mama istirahat. Titip salam untuk papa."
Bersandar di sisi pagar balkon berwarna hitam, kontras dengan warna putih pagar balkon milik Diana, Devan mematikan panggilan dengan sang ibu, kemudian berbalik melihat ke arah Diana yang sudah fokus pada novel wanita itu lagi.
Devan pernah bertanya-tanya ada sihir jenis apa pada setumpuk kertas yang merangkai kisah manja tak masuk akal yang bernama novel. Hingga tak hanya Diana yang ia lihat sering membaca benda itu, namun sepupunya, bahkan ibunya ikut tergila-gila dengan kisah-kisah aneh di dalamnya.
"Diana," panggilnya pada tetangga sebelah kamar yang langsung menatapnya.
Sepasang alis Diana naik, sedikit aneh si tetangga memanggilnya di saat dirinya tak membuat keributan. "Ya Bang?"
"Ini." Devan mengangsurkan bingkisan yang baru Diana sadari ditenteng pria itu sejak keluar kamar. "Aku beli makanan lebih, tadi. Buat mak Tiar."
Tadinya martabak durian yang ia beli akan diberikan pada Arum. Namun urung karena ia mendadak sungkan. Beberapa bulan mencoba mengakrabkan diri dengan wanita itu, Devan malah merasa aneh sendiri. Dia terlalu terbiasa menganggap Arum sebagai partner kerja, bukan seseorang yang ia suka. Beda dengan Jihan yang memang ia sukai sejak pertemuan pertama, dan mencoba untuk mencipta suka menjadi cinta terasa begitu mudah ia lakukan.
Jadi lah, merasa mubazir, akhirnya apa yang ia beli, diberikan pada tetangga sebelah. Dan ini sudah cukup biasa, meski sebelumnya lebih banyak sang ibu yang berbagi makanan dengan tetangga dari pada dirinya.
Berdiri, setelah tersenyum tipis, Diana menerimanya.
Tak ada rasa heran kala dirinya menyambut pemberian Devan, karena hal ini sudah jelas biasa. Meski jarang Devan yang memberikan langsung, namun bukan berarti tak pernah. Ia juga sering berbagi makanan dengan tetangganya ini. Eh ... ibunya yang berbagi, ia bertugas untuk mengantarkannya. Dan malas harus mengetuk pintu rumah tetangga, Diana juga lebih suka memberi melalui balkon. Lebih menghemat waktu.
"Makasih, bang."
Belum ia kembali ke ayunan bulat yang ia hias dengan bunga palsu, suara Muda dari belakang melenyapkan senyum Diana.
"Eeh! Dapat apa tu, kak?! Balenlah aku!"
Melihat Muda yang berdiri cengengesan di sampingnya, Diana menatap sinis. "Ada tangan nya buat ketuk pintu. Ada mulut nya buat ucap salam! Nyelonong aja kau masuk kamar orang! Ngga ada sopan!"
"Eh?!" Muda terkekeh geli mendengar omelan kakaknya. "Maafkanlah sekiranya adikmu ini membuat salah, kak." Ia lalu melihat Devan yang hanya diam menyaksikan interaksi tak akur antara adik dan kakak di depannya. "Eh bang! Lama nya tak kutengok abang di rumah!"
Devan tersenyum bersama anggukan pelan. "Sibuk di rumah sakit, Muda."
"Banyak kecelakaan ya, bang? Eh, dua minggu lagi mau nikah aku, bang. Datang ya, bang?"
Diana yang tak tertarik ikut campur obrolan dua pria di sekitarnya kembali ke ayunan, memilih membaca novel sambil menikmati martabak durian pemberian Devan.
"Datang, Muda. Insyaallah."
"Iya lah! Ajak calon nya, bang? Janganlah sendiri-sendiri terus!"
Devan lalu hanya tersenyum menanggapi ucapan Muda. Rencananya ia akan mengajak Arum ke acara pernikahan Muda kelak. Namun itu jika ia tak merasa sungkan lagi.
"Eh, atau abang sama kakakku aja lah—aww!!"
Teriakan Muda tak kepalang kerasnya kala sebuah tendangan berkekuatan banteng menendang betisnya.
Mengelus betis yang pasti memerah, Muda melirik pada Diana yang melotot memberi peringatan.
"Keluar kau!"
"Apa sih, kak?! Sadis kali, lah!" Sambil mendesis kesakitan, lalu ia tatap lagi Devan yang ikut meringis seolah turut merasakan sakit Muda. Ia melihat bagaimana Diana menendang kaki pria itu. Penuh tenaga ekstra.
"Ngga usah lah bang kau sama kakakku! Ngga ada hatinya dia bang!"
"Alah! Pergi kau!"
Devan menggeleng pelan melihat pertikaian di depannya lalu memilih duduk di sofa sudut balkon.
"Mau pergi nya aku! Mau tempat calon istriku! Maaf! Cukup jomblo yang cuma di rumah waktu malam Minggu."
Dan sebelum Diana kembali menendang atau lebih parahnya mendorong Muda dari balkon lalu tertawa jahat penuh kemenangan, pria dua puluh lima tahun itu segera berlari tungang langgang keluar dari kamar Diana.
Mendengkus kesal, Diana kembali melanjutkan aktivitasnya membaca novel, sambil menahan kesal dan malu karena ulah muda.
Diana sungguh tak suka dijodoh-jodohkan oleh seseorang langsung di depan wajahnya. Seolah dia benar-benar frustasi untuk menemukan calon pendamping. Ya meski memang begitu.
Sudah ia lupakan perihal Muda juga tak ia indahkan eksistensi Devan yang memang di sanalah tempat pria itu.
Suara kendaraan yang terdengar samar-samar seiring dengan bunyi decitan pagar kemudian menarik perhatian Diana untuk turun dari ayunan.
Wanita itu menoleh, melihat nakas samping kasur yang tadi tergeletak kunci mobilnya namun kini raib entah ke mana.
Terdengar lagi kian kuat suara kendaraan yang begitu ia hapal, Diana mendongakan kepala ke luar pagar balkon, dan langsung berteriak lantang kala mobil kesayangannya melaju keluar pagar yang tak lagi ditutup.
"MUDA! BODAT! KAU YA!"
Dan kali ini Devan memilih menghela napas kala mendengar teriakan lantang Diana. Ya ampun, benarkah tetangga samping kamarnya ini dilahirkan sebagai seorang wanita atau, hanya sekadar fisik, tidak untuk jiwanya?
*
Diana masih duduk di sisi ranjang, sambil memegangi perutnya yang terasa sakit.
Hari pertama haid selalu menjadi hari penderitaan untuk Diana karena ia pasti akan merasakan sakit bukan main di area perut.
Dulu bahkan ia sempat pingsan hanya karena tak kuat menahan sakitnya. Sudah berulang kali memeriksakan kondisinya ini, namun menurut dokter apa yang Diana alami adalah hal yang biasa terjadi oleh beberapa perempuan.
Pertanyaannya adalah, kapan rasa sakit ini menghilang? Diana tak sanggup jika seumur hidupnya akan merasakan sakit seperti ini ketika dirinya mendapatkan tamu bulanan.
"Diana! Belum juga siap, kau?!"
Menoleh ke arah pintu, Diana meringis pada Tiar. "'Sakit kali lah mak. Ngga kuat rasanya aku pergi kondangan."
"Bentar aja nya!" Tiar mendekat. "Ngga enak nanti dibilangnya kau cemburu si Zeina nikah duluan!"
"Kan penting kadonya, mak?!"
"Alah! Macam tak tau muncung orang sini aja kau!"
Diana langsung mendesis. "Yelah yelah! Diana siap-siap!"
Lalu ia berdiri, bergegas ke kamar mandi.
"Ya sudah! Mamak pergi ke sana lagi, ya?!"
"Ya!"
Lalu tak lama hening. Diana yang masih duduk di atas kloset tersenyum lebar. Sementara ibunya pergi lagi ke acara pernikahan Zeina, dia menenangkan diri di kamar mandi.
Setelah satu jam mendinginkan tubuh di bawah cucuran shower, Diana segera bersiap-siap.
Sebuah gaun putih dengan corak bunga berwarna hitam, dan lengan berbentuk terompet pada ujungnya membungkus tubuh Diana dengan sempurna. Rambut panjang wanita itu dibagi dua, kemudian dirinya kepang dari atas sebelum disanggul menjadi satu.
Diana selalu berpikiran untuk memangkas rambut panjang yang kadang menghalangi aktivitasnya ini. Namun setiap akan melakukannya dia merasa rugi.
Tak bersusah payah mengenakan sepatu tingginya, Diana mengambil flatshoes berwarna putih susu dari dalam lemari sepatu.
Memeluk kado berukuran sedang, Diana meninggalkan dompet yang tak perlu ia bawa mengingat dirinya hanya pergi kondangan di rumah tetangga.
Sedikit malas-malasan Diana melangkah menuju rumah Zeina, yang dari pagar rumahnya terlihat begitu ramai, bahkan suara organ tunggal terdengar jelas, membuatnya yang menahan rasa tak nyaman pada area perut kian meringis.
Beberapa langkah bergerak, suara pagar terbuka dari samping rumahnya membuat ia menoleh dan sepasang mata yang kelopaknya ia percantik dengan eyeshadow itu bersirobok pada sepasang mata tajam dokter muda tetangganya.
Diana tersenyum sekilas, sebelum kemudian kembali melangkah pelan, mengulur waktu untuk tiba di acara pernikahan Zeina tak peduli pada sengatan matahari yang membuat kulitnya menderita. Ya ampun ... belum tiba di sana saja, Diana seolah sudah mendengar pertanyan para tetangga dan sanak saudara perihal statusnya.
"Eh Diana! Devan!"
RT setempat yang akan menuju rumah Zeina berhenti, dan menyapa.
Kening Diana mengernyit bingung kala pak RT turut menyapa tetangga sebelah rumahnya.
Sebentar. Memangnya pria itu ada di mana?
Menoleh, Diana agak berjengit kaget melihat sosok Devan berdiri tak sampai satu langkah di belakangnya.
Pria itu tak mengikuti Diana. Hanya saja, sama seperti wanita itu, Devan enggan pergi ke acara pernikahan Zeina karena akan banyak para ibu-ibu yang berusaha mendekatinya untuk memperkenalkan anak gadis mereka pada dirinya.
Jadi ketika ia lihat Diana, Devan merasa Tuhan sedang menolongnya. Anggap saja ia memiliki teman untuk datang ke pesta pernikahan itu, dan sekaligus menjadikan Diana tameng. Dia tak bermaksud memanfaatkan Diana. Hanya memanfaatkan keadaan yang mendukung saja.
"Berangkat sama-sama, kelen?"
Diana langsung saja menggeleng. "Ngga!"
"Iya."
Langsung saja, Diana melirik tak mengerti pada Devan yang pura-pura tak merasa salah pada jawaban datarnya.
"Eeh pacaran, kelen?"
"Ngga!" Lagi, Diana memberikan penyangkalan, namun ketika ia lihat Devan, pria itu hanya menaikkan sepasang alis saja.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan tetangganya ini, sih?
"Eh! Bertengkar nya kelen?" Pak RT yang usianya masih empat puluhan, berpenampilan rapi dengan celana panjang hitam dan batik hitam bercorak burung bangau, berdecak. "Masih pacaran nya, Di! Jangan lah marah-marah."
Lalu tanpa peduli pada Diana yang akan menyanggah, pak RT beralih pada Devan. Membungkam mulut Diana yang langsung terkatup rapat.
"Devan! Jangan kau lama-pacaran. Nikahi Diana! Udah tua nya kelen berdua! Ngga iri nya liat kawan kelen sudah bawah anak daftar TK? Nikah! Jangan pacaran terus kelen!" Lalu menepuk bahu Devan yang hanya mengangguk enggan menanggapi terlalu serius ucapan pak RT yang kembali melanjutkan langkahnya.
Sedang Diana, kian mengernyit heran. Menatap Devan, yang juga menatapnya tanpa makna apapun, Diana lalu menggeleng, mengibaskan tangan pelan.
Sudahlah, ia enggan menggubris apa yang barusan terjadi.
Kembali melangkah, kali ini Diana mempercepat gerak kakinya, karena mendadak tak nyaman berdekatan dengan Devan yang tak pernah berdekatan dengannya.
"Eh! Pacaran nya kelen?"
Lagi! Ketika tiba di meja penyambut tamu, seorang wanita yang menjaga kado dan buku tamu menatap Diana dan Devan bergantian.
Diana langsung menautkan sepasang alis, pun dengan Devan yang berdiri di belakang Diana.
"Pak RT nya yang bilang. Ck! Mundurnya aku bang Dev dari kandidat yang memperebutkan hati abang?!"
Setelah menulis namanya di buku tamu, Diana mendorong kening tetangga wanitanya yang usianya masih cukup muda itu dengan tatapan kesal. "Alah muncung kau!" katanya lalu bergegas pergi, tanpa sadar pada wajah dan lehernya yang telah memerah karena malu. Sementara Devan menuliskan namanya di buku tamu tanpa pedulikan Diana yang pasti merasa risih menurutnya.
Sepertinya ia harus meminta maaf pada wanita itu. Tapi kalau ia meminta maaf dan menjauh sekarang, posisinya tak akan nyaman. Dia enggan mendengar permintaan para ibu-ibu yang ingin Devan berkenalan dengan putri mereka.
"Eeh! Cemburu nya, kak? Ngga akan kuambil pacarmu, kak!" Lalu terkekeh pelan, diikuti orang sekitar yang mendengar kalimat menggodanya pada Diana. "Bang Devan! Jangan cuma dipacari lah bang, Kak Di. Nikahi, bang! Ngga enak kan bang kalau orang kampung ngelangkahi dia semua bang."
Tersenyum, Devan hanya mengangguk saja. Dia masih enggan untuk menyanggah.
"Kita semua doakan, nya bang! Kelen nikah tahun ini!"
Lagi, Devan yang telah melangkah pelan, mengangguk, namun kali ini dengan ibu jari teracung.
Devan sepertinya tak takut jika doa orang- orang yang peduli pada status Diana akan didengarkan Tuhan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
