
Deskripsi
Karya ini adalah extrapart dari mata turun ke hati yang tidak ada di buku atau ebook komplit yang saat ini tayang di GP.
Ini adalah extrapart baru yang diterbitkan secara terpisah dan tidak akan tayang di GP ataupun dalam bentuk buku juga termasuk PDF.
Extrapart 2 ini eksklusif hanya dijual di Karyakarsa.
Sinopsis
Pernikahan itu bukan menikah lalu bahagia.
Tidak.
Menikah tak semudah itu karena kadang terselip duka, sedih, juga ketakutan di tengah-tengah kebahagian yang ada.
Ya … itu lah...
14,218 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Hold The Night (Versi Buku Komplit)
53
18
Hold The Night Copyright @ Flamingo Publisher, 2021Penulis : Greya CrazPenyunting : Greya CrazLayout : Greya CrazCover : Alsey Art Hak Cipta penulis dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian, atau seluruh isi tanpa izin penulis.
Hold The Night adalah karya tersulit yang aku rampungkan, karena proses menamatkannya beriringan dengan tiap cobaan yang Allah beri pada keluarga kami.Sebagai penulis, saya sudah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan cerita ini, namun jika terdapat banyak kekurangan, dan saya yakin akan kalian temukan itu di sini, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.Selain itu, terima kasih teman-teman yang bersabar menanti lamanya buku ini selesai.Tanpa kalian, tanpa dukungan kalian, saya mungkin tidak akan mampu menyelesaikannya karena musibah yang tengah merundung keluarga saya membuat saya begitu tertekan, tapi kalian yang membaca ceritaku dan rela mengkoleksinya, terima kasih. Kalian memberi saya semangat yang besar. Greya Craz
“Harta tak memiliki rasa untuk memberi luka, namun harta tak memiliki hati untuk menyuguhkan bahagia yang sempurna.” BLURB Permintaan terakhir Brama Arundapati kepada sang putra, pewaris utama dari sebagian besar harta kekayaannya, Akira Ilyas Arundapati, nyaris membuat sang putra kehilangan napas saat itu juga.Setelah meminta ia menikahi putri sahabat Brama, di saat pria itu masih ingin menikmati masa muda. Menikahi wanita yang tak sama sekali ia cinta. Akira yang mengira ia akan dengan mudah mencintai wanita berkulit kuning langsat dengan rambut lurus itu lantaran sudah mengenal Nara sejak kecil, meski tak begitu dekat, nyatanya salah.Semua yang ia pikirkan, mencintai Nara dengan mudah, seketika sirna, saat Brama mengajukan permintaan terakhir agar ia menandatangani perjanjian konyol demi melindungi Nara dalam pernikahan ini.“Kamu sudah menikahi Nara, nak. Putri sahabat papa yang sangat papa sayangi seperti anak kandung papa sendiri. Sekarang, untuk membuat papa benar-benar tenang meninggalkan dunia. Boleh papa meminta satu permintaan lagi? Permintaan terakhir.”Saat itu Akira maupun ibunya tak berpikir jika permintaan terakhir Brama lainnya adalah permintaan gila yang memberatkan Akira, hingga mereka meng-iya-kannya.“Papa sudah membuat perjanjian hitam di atas putih, sebagai jaminan kalau Nara tidak akan dirugikan dalam pernikahan ini.”Dari sebuah kertas yang Brama minta dari pengacara keluarga untuk diberikan kepada Akira. Hari itu sehari setelah acara pernikahan yang digelar sederhana di ruang rumah sakit, karena Brama ingin ikut menyaksikan pernikahan sang putra. Disaksikan oleh ibu, juga Catra mertua Akira, Nara dan Agung sahabat dekat sang ayah juga ayah angkat Akira. Pria itu meremas ujung surat perjanjian yang harus ia tanda tangani.1. Akira Ilyas Arundapati akan menjadi suami Narasya Inke Raid sampai maut memisahkan. Jika Akira meninggalkan atau menceraikan Nara, maka Akira selaku pihak pertama akan menyerahkan sebagian hartanya pada Nara.2. Narasya Inke Raid akan menjadi istri Akira Ilyas Arundapati sampai maut memisahkan. Jika Nara menuntut cerai kepada Akira, maka Nara tak berhak mendapatkan harta Akira, kecuali harta yang dibawa Nara sebelum menikah.3. Akira Ilyas Arundapati akan memenuhi kebutuhan Narasya Inke Raid. Nafkah sesuai kesepakatan bersama.4. Perjanjian hanya akan bisa kedua belah pihak batalkan sesuai kesepakatan bersama, jika sudah memiliki keturunan di dalam pernikahan. Dan pembagian harta gono-gini bisa ditentukan sesuai ketetapan hukum yang berlaku (Jika terjadi perceraian).“Pa! Ini ngga adil untuk Akira!”Tentunya, Venita, sang ibu yang turut membaca isi perjanjian yang berisi empat poin itu angkat suara, melayangkan protesnya. Namun, Brama yang berbaring di atas ranjang bersikeras.“Papa mau hidup Nara terjamin.”“Dan membuat perjanjian seperti ini seolah papa ngga percaya kalau aku bisa menjamin hidup Nara tanpa perjanjian apapun?”Untuk pertama kali, Akira merasa tersingkir dari hati sang ayah hanya karena sosok Nara. Wanita itu orang lain, hanya putri seorang sahabat dan kemudian baru menjadi menantu sehari namun ingin merenggut hak Akira sebagai putra sah Brama.“Tandatangani saja, Akira. Atau ... saat ini juga, papa akan mencoret kamu dari daftar hak waris.”Akira geram. Ia kecewa dan marah. Venita bahkan sampai menangis hanya karena ketidakadilan Brama.Nara ... siapa wanita itu sampai bisa membuat Brama memperlakukan Akira dengan tidak adil.Namun tak ada cara lain bukan? Brama keras kepala. Keputusan pria itu tak akan bisa diganggu gugat oleh siapapun.Ah ... Akira menandatanganinya. Dan dalam sekejap ia menyesalinya.Brama meninggal di bulan ke lima pernikahan Nara dan Akira yang hambar.Brama meninggal, dengan membebankan dilema pada Akira yang ingin menceraikan Nara. Isi perjanjian itu membuat Akira tak bisa menceraikan istrinya yang tepat satu bulan kepergian Brama untuk selamanya, langsung Akira pindahkan di sebuah hunian yang terletak di pinggiran kota.Rumah itu mewah, Akira tentunya masih punya hati untuk tak membuang Nara begitu saja. Namun rumah itu terlalu sepi, karena Nara sendiri.Hingga kemudian, saat akhirnya Akira mengetahui, mertuanya yang diberi tanggung jawab oleh Brama untuk mengelola salah satu usaha properti milik Brama melakukan korupsi. Akira menemukan semua sifat licik Nara.Catra yang nyaris membuat bangkrut salah satu usaha milik Brama berhasil Akira penjarakan. Namun Nara, berjaya di sangkar emas ciptaan Akira.Sialan!Nara oh Nara.Yang bukannya tersiksa, namun malah bahagia di sangkar emas pemberian Akira.Nara ... Bagaimana agar wanita itu mau menggugat cerai Akira?Bahkan meski tahu Akira telah memiliki kekasih, Nara tetap tak bergerak atau sedikit menunjukkan emosinya.Rasanya baru kali ini ia menemui wanita yang keras kepala, tetap bisa tertawa meski selama lima tahun pernikahan tak pernah dianggap sebagai istri oleh sang suami. Buruknya lagi diselingkuhi dan wanita itu diam saja.Ah ... Akira ingin sekali membedah isi rongga dada Nara untuk memastikan apakah wanita itu memiliki hati atau tidak.
Hold The Night 1 Hal yang tak pernah ia sangka bahkan begitu ragu ia impikan dulu adalah menjadi seorang ratu di sebuah istana besar, bak Ratu Jahat ibu tiri dari Snow White. Eh, sebentar. Kok ratu jahat, sih? Dia kan tak membunuh raja. Malah ia diasingkan ke dalam istana megah yang letaknya jauh dari pusat kota oleh sang Raja.Seperti sebuah pengasingan seorang selir di jaman kerajaan kuno, jika melakukan sebuah salah.Tapi dia juga tak semenderita itu.Malah tinggal di sini menjadi suatu kebanggaan untuknya yang biasa menjadi babu di rumah keluarga sendiri. Dulu dia adalah pelayan untuk keluarganya. Menjadi pekerja kasar yang harus menurut perintah ibu dan ayah yang memperlakukannya bak orang lain. Kemudian ia dinikahkan dengan pria kaya raya yang niatnya untuk menunjang keekonomian keluarga.Eh jadi dirinya tak seperti Ratu Jahat, melainkan Cinderella. Tapi masalahnya setelah menikah Cinderella tak diasingkan. Sementara dia, setelah dinikahi, tak lama kemudian diasingkan dan menjadi Ratu Jahat di pengasingan.Eh sebentar, bagaimana sih alur ceritanya ini? Dia Cinderella yang menikah tapi kemudian diasingkan dan sekarang malah menjadi Ratu Jahat?Ah!Wanita itu membuka matanya lebar, memilih untuk berhenti memikirkan alur hidupnya yang entah mengapa bisa jadi seperti sekarang, lantas duduk dan bersandar di kepala ranjang.Masih sepagi ini ia tak mau gila dengan runutan kehidupannya yang rumit ... Tidak rumit. Tapi ... Persetan! Dipikirkan lagi!Mengacak rambutnya kasar, wanita itu menurunkan kaki kiri ke lantai dengan gerakan anggun, lantas disusul kaki kanannya.Menggetarkan tubuh kala dinginnya lantai granit berwarna putih menyentuh kulit telapak kaki, merambat hingga persendian. Ia angkat kembali kaki ke atas ranjang dan malah meringkuk ke dalam selimut tebal.Semalaman hujan, taman pastinya telah basah oleh rintik air yang Tuhan jatuhkan dari langit. Dan udara dingin pun menyengat, dari celah-celah kecil, hujan membawa rasa dingin hingga ke dalam kamarnya yang tak disejukkan oleh mesin pendingin bernama AC. Kepanjangannya pikirkan sendiri.Mendesah, merasa tubuhnya tak kuat menerima sengatan dingin di pagi ini. Wanita itu, menarik napas dalam, sebelum sebuah teriakan meraung dari bibir mungilnya.Cinderella tak mungkin berteriak. Oh sial! Tampaknya dia memang ratu jahat di tempat pengasingan yang seluruh fasilitas ia dapatkan gratis dari suami kaya rayanya.“MBO SUL!”Langsung berdeham setelah berteriak nyaring—sadar jika suara indahnya mendadak cempreng—Nara lantas menyibak selimut dan memberanikan diri untuk beradu dengan dingin. Uuh ... Dia benci dingin tapi juga tak suka panas.Tapi kalau dinginnya salju dan panasnya pantai akan ia terima dengan suka hati.Tapi kapan akan ke sana? Duh ... Cinderella perpaduan Rapunzel dan Ratu Jahat. Dinikahi pangeran, dikurung dalam kastil mewah, lalu menjadi Ratu Jahat bagi para pembantunya, memiliki apapun selain kebebasan.Uuh malangnya ia yang dinikahi pria kaya nan jahat bernama ... Siapa nama suaminya? Memang dia punya suami? Disentuh tak pernah, dikunjungi jarang-jarang.Jadi malas kan mengingat-ingat nama suami yang tak penting itu selain uangnya yang blink-blink di mata Nara.“Ck!” Berdecak, Nara yang rasanya ingin kembali menyusup ke balik selimut namun dilarang oleh batinnya yang memberontak hidup dalam tubuh wanita yang kalah cantik oleh asistennya sendiri, kembali berteriak.“Mboook Suul!”Dia harus mandi dan wangi di pagi hari. Jadi nanti saat Utami datang, ia tak perlu merasa gengsi bersanding dengan asisten yang lebih bening dari dirinya.Siapa sih yang memilih Utami jadi asistennya?Wanita bernama Narasya Inke Raid.Mengapa pula ia jadikan Utami sebagai asisten pribadinya?Perasaan dulu tak sebening sekarang si Utami-Utami itu. Semenjak bersamanya jadi memiliki kulit sebening kristal. Bahagia mungkin yah memiliki majikan seperti dirinya yang amat sangat royal dan suka berbagi.Contohnya saja dengan akal bulusnya, Utami berhasil mengambil satu jepit rambut miliknya dengan dalih jika itu adalah pemberian dari Akira. Sejak kapan Akira memberi dirinya penjepit rambut? Tapi karena sudah menyebut nama pria yang tak ia suka itu, dengan kesal Nara berikan barang miliknya pada Utami.Eh ... Akira siapa?Suaminya?Oh dia ingat nama suaminya?“Ssh!” Mendesis karena sakit kepala akan kambuh mendadak tiap benaknya menyebutkan nama sang suami, Nara berteriak lagi dan kali ini adalah teriakan terakhir jika yang dipanggil tak kunjung datang.“MBOOK SUL! TELINGANYA DIJADIIN TETELAN SAPI AJA KALAU DIPANGGIL ngga BURU KESINI!!”Dan kemudian tak perlu menunggu bermenit-menit lagi, wanita yang dipanggil Mbo Sul datang dengan gelungan berbentuk bakso besar yang menempel di belakang kepala.Tampak terengah, wanita paruh baya dengan kulit wajah kinclong meski berkerut itu, bertanya dengan nada tak suka. “Apa sih non, teriak-teriak gitu!”Pembantu ngga ada ahlak ya gini.“Apa sih mbok, dipanggil ngga datang-datang? Udah mulai budek? Faktor usia?”Dan bibir Mbo Sul langsung berkedut kian tak suka.Susah punya majikan OKB ya begini. Sombong bin Songong. Kaya dadakan sih. Hasil pelet pasti.Tapi karena ini adalah pernikahan hasil dari perjodohan, sudah pasti yang dipelet adalah ayah Akira yang Mbo Sul kenal sebagai pria berwibawa dan baik hati.Bisa-bisanya menikahkan seorang Akira dengan gadis udik seperti Nara. Norak dan tak berperikemanusiaan.“Kenapa malah melamun?! Ditanya kek, ngapain dipanggil ke sini? Bukannya diem!”Uh ... Andaikan tak dijebak oleh si wanita ular ini, dengan berhutang untuk mengobati anak yang sakit, Mbo Sul dan suaminya terpaksa menandatangini kontrak mati untuk mengabdi oleh wanita haus kedudukan ini.Tahu jika berhutang oleh Nara akan membuat hidup menderita, Mbo Sul memilih untuk meminjam dengan Akira saja. Tapi saat itu ia terlalu tak enak hati. Sudah sering kali keluarga Arundapati menolong dirinya. Lalu saat Nara memintanya untuk menjadi pembantu di sini—padahal sebelumnya ia bekerja di keluarga orangtua Akira—tak bisa menolak, akhirnya ia menurut saja. Ia pikir Nara adalah wanita yang baik bernasib malang karena setelah dinikahi malah diasingkan. Tapi ternyata wanita ular. Kenapa tak dipenjara saja wanita seperti Nara ini? Hobinya menyusahkan orang.Tapi nasi sudah menjadi bubur. Jika pergi dari Nara saat hutang belum terbayarkan, ia dan sang suami harus rela dipenjara. Tapi bertahan di sini juga seperti neraka. Apalah daya gaji yang ia dan suaminya terima selalu habis untuk membiayai hidup anak beranak yang sudah menikah tetap berkumpul jadi satu di rumahnya yang ada di pinggiran kota Jakarta.Menarik napas dalam, memilih untuk menyabarkan diri daripada mati di usia yang baru menginjak usia lima puluh empat tahun. Mbo Sul lantas membuka suara. “Non mau apa?” Nadanya merendah, sedikit lebih halus dari sebelumnya.Bersedekap, Nara membuat seperempat bongkahan payudaranya menyembul dari celah belahan gaun tidur yang terbuat dari satin berwarna merah cerah. “Siapkan air panas. Aku mau mandi.”Eh?Mbo Sul langsung melongo. “Kan tinggal dibuka aja keran air panasnya, non.”Langsung saja Nara yang rambutnya tergerai hingga punggung itu menggeleng tegas. “Air panas rebusan! Pakai daun sirih ya, biar wangi.”Mbo Sul kian melongo. “Wangi tuh mau dicium sama siapa sih, non? Mas Akira juga ngga pernah dat—”“Eh!” Raut Nara mendadak kelam. “Kok ngatur-ngatur, ya?! Siapa yang ngarep dicium dia itu siapa?! Pembantu disuruh banyak tanya, yah?! Buruan rebus airnya, terus siapin!”Ya Allah, sabarkan hati hambaMu ya Allah. Batin Mbo Sul menjerit kian pilu.Berbalik dengan amarah yang harus ia tahan, tiba-tiba suara dari majikan yang ia juluki sebagai manusia ular kembali terdengar memanggilnya.Menarik napas dalam, mengumpulkan sabar yang selalu habis tiap kali berhadapan dengan Nara, Mbo Sul berbalik dengan raut tak suka yang begitu kentara. “Apalagi, Non?”“Ambilkan hape itu di nakas. Saya capek.”Dengan tatapan malas, Mbo Sul lalu melirik ponsel yang berada di atas nakas, yang posisinya berdampingan dengan ranjang yang kini Nara duduki.Jaraknya dekat sekali, karena Nara kini duduk di sisi ranjang sebelah kiri dan ponsel berada di nakas samping ranjang di sisi kanan.Dekat sekali, bukan? Berguling saja, benda itu sudah bisa Nara raih. Tapi dasar majikan OKBnya itu ingin menyiksa dirinya.Mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, Mbo Sul lantas bergerak mengambil ponsel Nara yang sedang memperhatikan kuku jemari yang mulai panjang. “Nanti bawakan jepit kuku, yah. Sama sekalian kalau Utami datang, suruh pergi cari pancake disiram saos karamel dan selai blueberry, pakai taburan kacang almond dan dark chocolate. Jusnya aku mau Mbo Sul buatin, jus apel mix sama labusiam, jangan lupa ampasnya dibuang. Terus itu bilang ke Asep naruh bunga mawar jangan deket pintu, sengaja banget biar majikan lewat kena duri. Sama suami Mbo Sul, bilangin ngga usah pakai minyak rambut. Bau. Udah sana pergi sekarang.” Mengambil ponsel yang diangsurkan Mbo Sul sejak tadi tapi baru ia ambil setelah selesai bicara, Nara berhasil menghancurkan pagi Mbo Sul yang tak ingat dengan semua perintahnya.Persetan! Nanti kalau salah, biar dia racun saja makanan majikannya ini.Mbo Sul menyerah!Tersenyum jumawa melihat kepergian Mbo Sul yang memberengut kesal, Nara lantas membuka layar ponsel yang terdapat sebuah pesan dari nomor yang tentunya sangat ia kenal.Bukan nomor suaminya yang tak ia simpan meski hapal—karena ia perlu menghubungi nomor itu jika butuh uang—melainkan nomor sahabat ayahnya yang sudah ia anggap sebagai ayah sendiri.Om Agung : Nara, besok siang ke rumah om yah. Makan siang di sini. Wajib datang yah nak.Wajib datang yah, nak.Kalau sudah begini Nara bisa jawab apa selain. Ya, Om.Kan dia tak memiliki kuasa di hadapan suami dan sahabat sang ayah yang lebih memperlakukan dirinya seperti seorang anak dibanding keluarganya sendiri.
Hold The Night 2 Namanya adalah Narasya Inke Raid. Putri pertama dari pasangan Catra Bisma Raid dan Maya Surita Asyamdi. Wanita itu lahir Dua puluh tujuh tahun yang lalu, namun masa muda lenyap karena harus menuruti pinta sang ayah agar ia menikah dengan pria bernama Akira Ilyas Arundapati.Sejak kecil, sosoknya seolah dibedakan dengan saudara yang lain. Ketika menikah ia harapkan bisa mengubah nasib hidup yang selalu di bawah kekangan keluarga, mempertaruhkan masa muda dengan berpikir, ah ... Nanti suamiku pasti lebih baik dari papa dan mama.Harapan itu membuatnya setuju untuk menikah di usia dua puluh dua tahun.Namun ternyata asa yang ia tanam layaknya bibit yang tak mampu berkembang. Hanya membusuk di dalam tanah tanpa adanya tanda-tanda kehidupan.Mati.Benar.Harapan yang ia miliki mati kala ayah mertua, Brama, membuat perjanjian gila yang menimbulkan percikan kecewa, cemburu dan sakit pada hati Akira juga keluarga pria itu.Nara tak tahu mengapa Brama harus membuat perjanjian yang mencipta berbagai pikiran negatif, seolah-olah Nara lebih berarti dari keluarga pria itu.Brama ayah mertua yang baik. Tak tahukah jika perjanjian yang dibuat sama saja dengan menargetkan nasib Nara yang seketika tertulis secara tersirat, setelah Akira menandatangani perjanjian dengan terpaksa.Nasib buruk seorang istri yang tak akan mendapatkan cinta dari sang suami karena telah dianggap sebagai perusak hubungan seorang ayah dan anak juga suami pada istrinya, karena sejak itu ibu mertua tampak selalu menghindari Brama hingga kemudian nyawa Brama terlepas dari raga.Nara masih terlalu muda untuk memahami semua yang terjadi. Hingga hari-hari di awal pernikahan, Nara habiskan untuk diam menerima semua tatapan murka sang suami yang tak lama kemudian mengasingkan dirinya.Aah ... Diasingkan ketika ia pikir bisa memiliki sandaran yang tak bisa didapat selama hidup dengan keluarga sendiri.Tapi nasib buruk Narasya tak hanya sampai di situ saja. Benar. Sial sekali, bukan? Saat ayahnya didapati melakukan korupsi besar-besaran di salah satu anak perusahaan milik keluarga Akira yang sudah dipercayakan pada Catra untuk mengurusnya.Ah ... Nara tahu pernikahan ini jelas untuk keuntungan keluarganya yang hanya diam dan tersenyum kala Akira menandatangani perjanjian gila yang dibuat Brama. Tapi mungkin kematian Brama membuat keluarganya kecewa, karena Akira menaruh rasa tak peduli pada mereka dan kemudian ya ... Catra tertangkap karena melakukan penggelapan uang. Hal yang kian memperburuk citra Nara yang memilih bungkam atas tindakan licik sang ayah.Lantas setelah mendapatkan begitu banyak sial, Nara tak berpikir untuk menjadi bodoh dengan terus menambah daftar sial dalam hidupnya.Ia diasingkan oleh suami sendiri dan cap buruk pun sudah disematkan pada dirinya. Narasya Inke Raid yang menikahi Akira hanya demi bongkahan harta. Maka ... Fitnah sudah terlanjur menenggelamkan diri, lalu mengapa tak berenang saja, agar tak mati sia-sia?Narasya Inke Raid bukan lagi gadis dua puluh dua tahun yang menyerahkan nasib hidup pada orangtua yang tak pernah peduli padanya. Dan Narasya Inke Raid bukan lagi seorang istri berbakti dari pria bernama Akira semenjak ia dibuang dan diperlakukan tak adil.Ah ... Tidak-tidak. Hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Dan untuk memanfaatkan itu semua, mengandalkan kekuatan posisinya yang bisa melakukan apapun karena yakin sang suami tak akan menceraikannya—jika tak ingin kehilangan separuh harta kekayaan Arundapati—Nara membangun kerajaannya sendiri di dalam istana mewah pemberian sang suami yang digunakan untuk mengurung dirinya.Oh tentu, statusnya sebagai menantu keluarga Arundapati bahkan disembunyikan agar semua orang tetap mengenal Akira Ilyas Arundapati seorang pria lajang, yang sudah sukses di usia muda. Maksudnya sukses dengan harta orangtua. Ya ... Walau pria itu memang pandai mengelola usaha yang dijatuhkan padanya.Di dalam rumah besar berlantai dua dengan halaman luas dan sebuah kolam renang yang dialihfungsikan menjadi kolam ikan koi, karena Nara tak bisa berenang dan tak mau kolam renangnya digunakan oleh para pembantu, Narasya Inke Raid, hidup bahagia di bawah naungan uang bulanan dari sang suami dan empat orang pembantu yang senantiasa melayani.Mbo Sul dan pak Sul, pembantu yang mengurus urusan rumah dari pintu masuk depan hingga pintu keluar di belakang, lalu Asep si tukang kebun baru setelah tukang kebun lama menyatakan ketidaksanggupannya mengatasi kecerewetan Nara dan terakhir Utami yang Nara temukan di sebuah minimarket dan ia tawarkan pekerjaan untuk melayaninya dengan iming-iming gaji lebih besar.Asisten. Sesungguhnya ia hanya butuh teman. Tapi mengingat orang di sekitarnya tak ada yang bisa dipercaya dan menolak untuk menjadi sandarannya, maka Utami benar-benar ia jadikan asisten pribadi yang bisa ia andalkan untuk melakukan berbagai hal. Kecuali memanjat pohon matoa di belakang rumah. Ada pak Sul untuk melakukan tugas berat. Ah ... Sekarang juga sudah ada Asep.“Mbak mau pergi?”Tersentak pada pintu yang tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok wanita tinggi semampai dengan kulit sebening kristal, Nara menoleh ke samping dan menatap asistennya itu dengan kening mengernyit. Hanya dalam balutan kemeja dan rok span, mengapa Utami tampak begitu memukau?“Mau makan siang di rumah Om Agung. Kamarku ngga ada pintunya, ya?” menjawab santai, Nara melempar pertanyaan aneh seperti biasa.Utami yang mengucir rambutnya seperti ekor kuda itu melirik tak mengerti pada handle pintu yang masih ia pegang. “Ini pintu, mbak.”“Oh ada.” Nara memanggut-manggutkan kepala.”Terus kamu ngga liat atau gimana? Main masuk aja, bukannya ketuk pintu dulu. Sengaja mau ngagetin biar aku pakai lipstiknya belepotan?”Astaga ... Utami tersenyum kecut bersama kesabaran yang sudah dipersiapkan penuh sebelum berangkat bekerja, meladeni Nara.“Telpon taksi buat aku. Suruh cepet.”Utami menahan desahannya agar tak didengar Nara dan dianggap mengeluh. “Ya mbak.” Wanita itu asyik dengan ponselnya, ikut berbincang di dalam Grup SMA yang sedang ramai menggoda salah satu teman yang baru menikah kemarin.Panjul Tralala : si Nara ga dateng kemaren. Padahal dia di Bandung.Katanya saja di Bandung. Kalau mengaku tetap di Jakarta nanti banyak yang ingin mengajak bertemu. Bahaya.Siupik upil : au ih. Nara mah sombong. Diajak ketemuan nolak muluHensem tak terhingga : lah nara mash hdup?Me : kerja ebeb. Kan kadonya nyampe. Si hensem kalau nanya kayak ngelempar bom aton ke muka gitu yah.Kerja.Nara ternyata juga tak sanggup mengakui pernikahannyaKonon sudut hati merasa malu jika ia mengaku menikah, sementara suami tak bisa ia akui sebagai suami.Tak mungkin pamer suami, sementara Akira melihatnya saja selalu dengan pandangan jijik. Eh dia sekarang juga jijik dengan pria itu.Hensem tak terhingga : lah elu sombong. Btw typo lo ngingetin sama mantan yak. Aton-anton. Aduh duh ada yg rindu.Duh si hensem tak terhingga alias Iman teman pria yang selalu setia duduk di sampingnya semasa SMA mengingatkan Nara pada kenangan masa lalu saja.Uuh ... Mantan kekasihnya itu, jelas sudah menikah dan memiliki anak. Pasti sekarang sangat bahagia setelah dulu mengingkari janji pada Nara.“Nanti kita menikah dan punya anak lima ya, Ay?”Nyatanya menghamili anak orang setelah dua tahun lulus SMA. Padahal saat itu si Anton baru mengatakan pada Nara tentang uang nikah yang sudah mulai dikumpulkan.Memang lelaki tak bisa dipegang janjinya.Pacaran dengan siapa, yang dibuntingi siapa. Untung Nara dulu menjaga diri. Sekadar berpegangan tangan dan cium kening saja dengan mantannya yang bernama Anton juga mantan lain yang di tengah susah menghadapi hari di dalam keluarga penuh racun, ada pacar yang memberinya semangat mesti melalui janji manis penuh dusta.“Sudah sampai, mbak.”Langsung mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas jinjing kecil berwarna hitam, tampak serasi dengan gaun simpel berwarna merah yang ia kenakan, wanita itu membayar taksi dengan sejumlah uang lantas bergerak turun dengan anggun setelah kaca mata hitam yang bertengger di kepala ia kenakan kembali.Menginjakkan kaki di atas halaman berlantai kasar, Nara langsung menaikkan kaca mata ke atas kepala dan alis menukik indah kala ia dapati sosok yang membuat mual seketika. Kenapa suaminya juga di sini? Yang mengundangnya niat sekali sih mempertemukan ia dengan suami yang sudah berbulan-bulan tak datang ke kediamannya.Eh lagipula datang juga hanya untuk meminta dirinya menggugat cerai ke pengadilan. Enak saja memberi perintah. Memangnya pria itu siapa? Hanya suami tak penting selain isi dompetnya. Isi tabungannya. Juga harta kekayaan lainnya. Uuh ... Kapan sih Akira menceraikannya dan Nara jadi nyonya kaya raya yang sesungguhnya. “Akira, Nara, kalian sudah datang? Kenapa berdiri saja di luar? Mari, masuk.”Langsung mengalihkan pandangan pada sosok pria paruh baya yang masih bugar di usia yang akan menginjak angka enam puluh, Nara mengangguk dan melimbai santai ke arah tuan rumah, tanpa pedulikan lagi sosok pria yang menyandang status sebagai suaminya, menatap ia dalam seolah ada dendam di dalamnya.*Dengan rasa terpaksa sebenarnya pria itu memenuhi undangan untuk datang makan siang ke rumah ayah angkat. Sedikit malas karena ia tahu apa yang akan Agung bicarakan.Basa-basi tentang kabar dan perusahaannya lalu kemudian berfokus pada pernikahannya. Tapi ketika ia berpikir itu adalah obrolan paling memuakkan, rasa tak menyangka karena Agung turut mengundang sosok yang enggan ia lihat, ternyata merupakan hal yang lebih menjengkelkan. Terlebih saat wanita itu tak sama sekali menganggap kehadirannya.Hanya melempar tatapan layaknya orang asing, lalu melenggang santai, masuk ke dalam kediaman besar milik Agung dan sepanjang perbincangan wanita itu lebih mendominasi.Pria itu, Akira Ilyas Arundapati bahkan sampai lupa jika di antara mereka ada Narendra anak tiri Agung yang sedari tadi hanya diam sambil menikmati makan siang, sangking tak dapat sela untuk menyela ucapan Nara yang dari tadi tak bisa diam.Ia yang ditanya, Nara yang bercerita.Sebenarnya wanita jenis apa yang ia nikahi ini? Ah ... Rasanya malas juga mengakui Nara sebagai istri. Memalukan.“Tapi om, aku tuh kadang mikir kalau kerja tuh enak.”Entah apa yang dibicarakan oleh Nara dan Agung sejak tadi. Akira yang melonggarkan dasi setelah menyelesaikan makan siangnya menahan desahan bosan.“Ya enak kalau kerja dengan hati. Memangnya kenapa?”Nara mengukir senyum tipis yang mendapatkan sedikit perhatian Akira yang duduk di sampingnya. Wanita ini kalah cantik dari wanita idaman Akira yang tak tersenyum saja sudah semanis gula. Tapi Nara yang usianya menginjak dua puluh tujuh tahun memiliki perawakan mungil dengan wajah yang masih sama mudanya dengan gadis usia dua puluhan.“Mau dong om, kerja tempat om.”Lirikan Akira kian tajam ke arah Nara yang mengerling manja pada Agung, mengirim sinyal modus agar Agung memberi izin pada Nara untuk bekerja dan itu tak akan Akira biarkan.Agung yang sebagian rambut mulai memutih itu mengangguk dengan senyum syahdu, khas senyum penuh kasih sayang seorang ayah pada putrinya. “Boleh. Tapi izin dulu sama suami kamu. Dibolehin apa nggak?”Dan mendengar jawaban Agung yang jelas tak mendukung Nara kali ini membuat wanita itu cemberut. Menahan diri untuk tak menoleh pada wajah Akira yang pasti tersenyum penuh kemenangan sekarang, Nara membuka suara lagi seolah stock pertanyaan di kepala tak pernah ada habisnya. “Om, tante ke mana sih? ngga liat dari tadi.”“Ke rumah Arik dari tadi pagi.”“Ke sana terus, om? Kenapa?”Nara yang serba ingin tahu, membuat Agung gemas hingga tawa kecilnya terdengar. “Kangen sama anak.”“Naren ditinggal terus. ngga dikangenin?”Dan pria yang duduk di hadapannya langsung berdeham menatap Nara. “Kan ketemu setiap hari,” jawab pria itu singkat kemudian mencipta senyum geli Nara yang menyisipkan helai rambut ke belakang telinga.“Jadi, kamu udah punya kafe sekarang?” Dan Nara beralih kepo pada Narendra.Batal menyuapkan sendok, Naren mendongak. Tatapannya langsung bersirobok dengan sepasang mata bulat Nara yang memandangnya penuh binar.Nara dan Narendra selama ini hanya bertegur sapa saja, itu pun jika bertemu. Tapi meski begitu jarak kedekatan mereka tak sejauh dengan Narendra dan Akira, karena Akira adalah sosok yang terlampau kaku juga pemilih dalam pertemanan.“Iya, udah agak lama kok, sejak lima setengah tahun lalu,” jawabnya, kembali hendak melanjutkan laju sendok yang tertahan beberapa senti di depan bibir.Nara membulatkan bibir. Ia tak tahu jika Narendra sudah selama itu memiliki usaha cafe. Kemana saja ia selama ini? “Dan mau buka cabang?”Dan demi rasa kesopanan, Naren tetap tersenyum sebelum kembali menjawab. “Rencananya begitu.”Nara yang tadi memang menyimak cerita Agung tentang Narendra dan menyimpan bahan obrolan tentang anak tiri Agung itu seusai ia menghabiskan makan siang kian melebarkan senyum penuh makna. “Di Bali?”Narenda mengangguk saja dan Nara yang mendapat jawaban itu menunduk, mengeluarkan ponsel dari dalam tas yang sejak tadi ia pangku.Narasya : Kalo lo ke Bali, gue ikut, ya!Dan Naren pun tersedak, mencuri perhatian orang di sekitarnya, namun hanya Nara yang melempar senyum penuh arti pada pria itu.Ah ... Tampaknya dalam hati Narendra tengah mengumpat.
Hold The Night 3 Pria itu melarikan diri dari emosi yang selalu berhasil terpacu tiap kali kekasih hati mengungkit perihal istri yang enggan ia akui.Ini hari indah untuk Berlian, bukan? Untuk merayakan hari jadi wanita itu, ia bahkan memesan seluruh rooftop di sebuah rumah makan favorit kekasihnya itu. Tapi, bahkan belum satu jam ia dan Berlian bersua, keindahan ini rusak oleh obrolan mejemukan tentang istri sah yang ia asingkan namun tak bisa ia ceraikan.Untuk kesekian kali tanpa rasa sabar, lian meminta ia menceraikan istrinya. Tak bisakah Lian berhenti menuntut, namun mencoba memahami posisinya yang berada di antara kebimbangan? Ia mencintai kekasihnya, namun harus mempertahankan istrinya.Andai wanita di pengasingan itu mau menggugat cerai, ah atau setidaknya diskusi dengan hasil yang tak terlalu merugikan Akira dan keluarganya, mungkin dia sudah melamar Berlian.Sosok yang ia anggap jauh lebih baik dari Nara, istri sah yang hanya tergila-gila akan harta.Pulang menuju kediamannya sendiri, sebuah hunian mewah di antara bangunan mewah lainnya, Akira menghempas tubuh lelah ke atas ranjang yang bertahta di tengah ruangan yang didominasi dengan warna putih dan coklat tua.Lantai onyx putih bercorak hitam menampilkan suasana maskulin di kamar yang hanya ia tinggali sesekali, karena sang ibu selalu meminta ia untuk tidur di rumah.Menghela napas, berulang kali mengacak rambut yang tersisir rapi ke belakang, Akira mengendorkan dasi seperti biasa tiap kali ia merasa gundah dan kesal.“Apa kamu bisa memberi batas waktu? Sampai kapan aku hanya menjadi simpanan kamu?!”Kalimat sialan itu berdengung lagi di kepala. Ah sial! Akira bangkit, memukul udara yang tak bersalah.Berlian kekasihnya ... Berlian bukan simpanannya. Tapi kenyataan jika dirinya sudah menikah jelas tak bisa dipungkiri.“Ssh ... Aaakh!”Meremas rambutnya kencang, Akira berteriak kesal.Mengapa hidup begitu tak adil?!Dia sudah menjadi anak yang berbakti. Anak yang bisa Brama banggakan, tapi mengapa ia malah dikalahkan oleh Nara. Wanita dari keluarga lain. Hanya anak sahabat ayahnya yang berkhianat. Mengapa wanita itu mengacaukan semuanya?!Bangkit berdiri, menapakkan kaki yang masih terbungkus dalam sepatu hitam mengkilatnya, Akira bergerak menuju meja yang berhadapan dengan ranjangnya hanya untuk menghukum sebuah guci yang tak turut andil dalam mengacaukan kisah asmaranya.Prank!Pecahan guci mewah pemberian sang ibu bertabur di atas lantai. Memandang pecahan tak berdosa itu dengan pandangan nanar, Akira mendongak ke atap, memperhatikan plafon bercorak kayu yang memperindah interior kamarnya dan pria itu mendengkus mengejek diri sendiri.Tiap kali beradu argumen dengan sang kekasih, ia selalu meninggalkan wanita itu seakan tak mau memperlihatkan betapa tak berdayanya ia tiap kali diminta untuk memberi sebuah kepastian.Selalu Berlian yang tak bersalah menjadi sasaran emosinya, sedangkan ada yang lebih berhak mendapatkan amukannya.Nara.Wanita itu ... Jelas tak boleh lebih bahagia dari dirinya, kan?Langsung mengusap wajahnya kasar, mengusap dagu kala sesal mulai berdatangan. Hati pria itu berdenyut nyeri kala mengingat jika ia baru saja meninggalkan wanitanya di hari yang semestinya mereka lalui dengan tawa bahagia.“Sialan!” Mengumpat sekali lagi, Akira melepaskan dasi yang seperti menyekik diri, lalu dengan langkah besar ia keluar dari rumah yang memiliki warna biru pada bagian depan.Ah ... Harusnya tak seperti ini. Harusnya tak ia tinggalkan Berlian sedangkan marahnya jauh lebih besar untuk sang istri yang selalu berhasil menghancurkan suasana hati.*Gadis itu, dengan celemek hitam menutupi gaun indahnya, memegang spons cuci piring dengan ringisan setengah jijik dan ekspresi itu ia pertahankan hingga lebih dari satu jam.Ingin berteriak, memaki pemilik cafe yang membuat ia harus melakukan pekerjaan pembantu—hal yang tak pernah ia lakukan, karena akan merusak tekstur lembut telapak tangan dan kuku cantik yang selalu mendapatkan perawatan—Tapi Berlian tahu posisinya saat ini sedang kalah telak, hingga tak bisa menolak.Mencuci piring dan peralatan dapur lainnya yang kotor bekas makanan orang lain yang ... Uuh! Menjijikan! Berlian terus menahan muntah kala jemarinya menyentuh sisa makanan orang lain yang mungkin sudah menempelkan liur di sendok dan piring.Pemilik cafe sialan ini juga tak memberinya sarung tangan.Oh ... Kulitnya yang lembut.“Jangan membanting piringnya! Anda mau saya menambah piring kotor sebagai ganti piring yang pecah?”Berhenti membanting piring ke dalam wastafel yang terisi penuh dengan air, Berlian, gadis cantik bermata sipit namun tersirat tajam dalam sorot matanya memandang ke arah pria yang ia sumpahi dalam hati sedari tadi.Pria itu si pemilik cafe K(af)E Ren yang tak akan pernah lagi Berlian injak—Dia bersumpah—duduk di salah satu bar stool, tampak mengawasinya dan sesekali memberikan teguran mengancam tiap melihat pekerjaannya tak sesuai yang diinginkan pria itu.Menahan emosi hingga napas ikut tertahan, Berlian yang tubuhnya gemetar karena rasa kesal yang menggunung, meremas kuat spons di tangan seolah itu adalah mulut si pemilik cafe sialan yang tak ia kenal namun memperlakukannya seperti ini seolah menaruh dendam yang dalam.“Anda akan membayar apa yang—”“Apa-apaan ini?!”Terkesiap pada satu suara, Berlian yang ingin melempar ancaman langsung menoleh ke arah pintu. Dan tak peduli pada piring di tangan kiri yang langsung ia lempar hingga menimbulkan suara riuh peraduan piring dengan beberapa benda kaca di dalam wastafel, wanita itu segera melangkah ke arah pria yang semestinya bertanggungjawab atas apa yang terjadi padanya malam ini.Namun seolah marah dan kecewa lenyap saat melihat sosok itu, Lian memeluk seakan meminta perlindungan.Meradang mendapati wanitanya berada di dapur. Akira yang datang dan segera mencari keberadaan Berlian, lalu seorang karyawan cafe memberitahu jika sang pujaan hati berada di dapur, menjatuhkan tangan di belakang kepala Berlian yang segera merasa lega.Siksaannya berakhir.“Apa yang kamu lakukan?” tanya pria itu fokus pada Berlian tanpa ia sadari sepasang netra tampak menjatuhkan pandangan menghina ke arahnya.Berlian menggeleng pelan. “Kamu meninggalkanku begitu saja tanpa melunasi biaya booking cafe.” Nada kecewa terdengar dari sebaris kata yang Lian ucapkan, membuat Akira kian tertimbun oleh sesal dan marah.Tak membayar lunas booking cafe.Akira mengepalkan tangannya kuat, siap memberikan hukuman untuk asisten yang ia percayakan untuk mengurus acara ulang tahun Berlian hingga tuntas.“Dan kamu diminta untuk mencuci piring?”Berlian melepaskan pelukannya pada Akira, memandang sepasang mata indah sang kekasih yang menyorot penyesalan. “Pemilik cafe ini terlalu sombong.” Lalu ia jatuhkan arah pandang pada si pemilik Cafe yang segera turun dari bar stool.Geram, dalam sekejap siap membuat pemilik cafe menyesal karena sudah mempermainkan kekasih hatinya, Akira yang mengepalkan tangan di sisi tubuh mengikuti arah pandang Berlian dan intimidasi yang ingin ia lemparkan dalam sekejap mata lenyap kala ia dapati sosok yang begitu dirinya kenal berjalan mendekat dengan gerakan santai namun menyiratkan arti sebuah kemenangan, terlebih posisi kedua tangan yang berada di dalam saku jeans, seolah tengah mengejek Akira sekarang.Sialan! Pria itu ... Putra tiri Agung, sahabat ayahnya.Sialan ... Sialan! Bodoh sekali ia yang tak pernah peduli dengan anak tiri Agung hingga tak ia ketahui jika Cafe tempat ia merayakan ulang tahun Berlian adalah cafe milik pria itu ... Narendra.Sementara Akira merasa begitu bodoh, lantaran tak mengetahui tempat ini adalah milik Narendra, Berlian yang merasa mendapatkan perlindungan, tersenyum penuh kemenangan sambil melipat tangan di depan dada.Wanita itu bersiap melihat si pemilik cafe menangis dan berlutut memohon ampun pada dirinya karena sosok Akira yang mampu menghancurkan tempat ini sekarang juga.Tapi ... Hitungan pertama, bergerak pada hitungan kedua, lalu ketiga dan ... Hampir lebih satu menit. Berlian tak mendapati gerakan Akira yang ia harap memberikan ancaman, atau sebuah pukulan.Mengerjap bingung, terlebih senyum si pemilik cafe malah tak menunjukkan gentar, Berlian segera menoleh pada sang kekasih yang hanya diam dengan urat leher bertonjolan.“Sayang....” panggilnya pelan dan yang ia terima adalah genggaman Akira di jemarinya.“Asisten saya akan mengurus pelunasan malam ini juga.” Akira berucap tegas, Sebelum kemudian menarik Berlian pergi tanpa Narendra cegah sama sekali.Mengikuti langkah lebar Akira, Berlian terlihat heran karena si pemilik cafe melepaskannya begitu saja, juga bertanya-tanya pada tindakan Akira yang pergi tanpa menampilkan aksi setelah dirinya ditindas seenaknya.Ugh ... Akira tak mengancam atau memberi kecaman pada si pemilik cafe? Tapi mengapa?Masih tak menyangka, hingga tak mampu berkata-kata atas tindakan Akira yang malah menunjukkan sikap pengecut. Berlian mendengkus mengejek pada apa yang Akira lakukan. Melarikan diri begitu saja.“Apa?” Mendengar dengkusan samar Berlian, Akira yang sudah berada di balik kemudi menatap kekasihnya.Berlian mengedikan bahu. “Aku sudah berekspetasi terlalu tinggi, tapi hasilnya ... Kenapa malah pergi? Harusnya laki-laki tadi kamu ancam—”“Aku minta maaf sudah meninggalkanmu.” Akira langsung mengalihkan topik pembicaraan.Tidak. Dia tak mau kembali berdebat dengan sang kekasih di kondisi hatinya yang kian hancur karena melihat sosok Naren yang entah mengapa ia tangkap raut mengejek dari wajah pria itu.Kenapa? Naren memperolok dirinya yang berselingkuh?Persetan!“Aku mohon lupakan apapun yang terjadi malam ini dan kita nikmati saja malam ini dengan kebahagiaan yang seharusnya. Please?”Menatap Akira dalam, mempertemukan tatapan cinta mereka. Berlian, yang tadi masih mempertanyakan di mana arogansi Akira yang biasa tampil di hadapan orang tak tahu diri seperti si pemilik Cafe segera berganti dengan semerbak rasa haru karena permintaan tulus Akira.Mendesah, Berlian segera memeluk kekasihnya. “Kamu ngeselin!” rajuknya memukul kesal punggung Akira yang malah terkekeh.“Iya aku tahu. Makanya aku ke sini jemput kamu karena menyesal.” Melerai pelukannya, Akira mengecup beberapa detik kening Berlian. “Jangan marah lagi.” Lalu ia tatap sang kekasih yang mencebik manja. “Kalau kamu marah, nanti acara jalan-jalannya ngga seru, dong.”Langsung mengernyit tak mengerti, Berlian bertanya. “Maksudnya?”Melebarkan senyum, Akira mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sesuatu di layar ponselnya pada Berlian yang segera mengambil benda pipih itu dan sekejapan saja kesalnya tadi menguar ke udara dan berganti dengan aura bahagia.“Ke ... Ke Bali? Kita? Ke Bali berdua?”Tersenyum bahagia mendapatkan histeris dan rasa tak menyangka dalam ekspresi kekasihnya, Akira mengecup lembut bibir wanita itu. “Ya ... Jalan-jalan berdua. Bukankah kita tidak pernah melakukannya? Aku mau menghabiskan satu mingguku berdua dengan kamu saja.”Terharu hingga menimbulkan riak air di pelupuk mata, Berlian menggigit bibir bawahnya pelan, masih tak menyangka Akira mengajaknya pergi ke luar kota. Hal yang tak pernah mereka lakukan karena Akira selalu disibukkan dengan pekerjaan.“Jadi ... Aku dimaafkan?”Mengerjap, tak ingin mengisi malam bahagianya dengan air mata. Berlian mengangguk sebelum ia peluk kekasihnya. “I love you.”“I love you too.” Akira membalas pelukan kekasihnya. “Saat ini hanya bisa di Bali. Tapi kalau ada waktu yang lebih panjang, aku akan bawa kamu ke negara impian kamu.”Berlian mengangguk lagi. Malam ini Akira sungguh berbeda dari Akira yang biasanya. Ya ... Karena untuk yang pertama, Akira tampil menjadi sosok yang penuh dengan kejutan menggembirakan.“Terima kasih,” bisik wanita itu.
Hold The Night 4 Wanita itu bergulingan tak jelas seperti nasib diri yang berstatus istri tapi malah tetap sendiri. Sungguh tak jelas, cemberut sambil sesekali menggigiti bantal, lalu bangun untuk duduk di sisi ranjang dan kembali bergulingan.Tak jelas sekali hidupnya.Sudah dibuat kacau oleh suami, pertemuan dengan Narendra siang tadi membuatnya kian kesal karena pria itu menolak permintaannya yang ingin ikut ke Bali.Dia tak meminta banyak. Hanya diajak pergi bersama menuju bandara. Membantunya agar bisa masuk ke pesawat dengan selamat. Lalu turun dan menemukan taksi yang tepat sebelum berpisah dan dia menemukan hotelnya sendiri tanpa merepotkan Narendra lagi.Seumur hidup ia tak pernah bepergian menggunakan pesawat terbang selain naik wahana permainan di Pasar Malam berbentuk pesawat terbang dan itu saat ia kecil dulu. Ditemani pembantu karena orangtua dan adik-adiknya pergi ke mall untuk mengunjungi wahana permainan yang jauh lebih bersih dan modern.Nara takut jika nanti ia salah naik pesawat dan tak bisa kembali lagi ke sini, jika pesawat yang ditumpangi bergerak ke luar negeri. Dia kan tak bisa bahasa Inggris.Kalau hanya di Bali saja dia fasih berbahasa Indonesia. Dijamin tak akan nyasar. Jika salah jalan tinggal buka Google Maps atau pesan taksi dan beres.Tapi Narendra pelit.Mencebik kesal. Nara bangkit dari ranjang untuk yang ke sekian kali. Ia menapakkan kaki pada lantai yang dingin, lalu bergerak menuju pintu kamar untuk melongokkan wajah keluar.Sepi.Mbo Sul dan pak Sul pasti sudah tidur. Asep si pengurus taman sekaligus penjaga gerbang tentunya ada di luar, tidur di pos samping gerbang yang dibuat senyaman mungkin agar tak terganggu oleh nyamuk saat beristirahat. Tapi sialnya suka tak terganggu juga oleh gerak mencurigakan dari luar.Mendesah, Nara kembali ke ranjang.Sungguh tak ada hal yang bisa ia kerjakan untuk mengusir sepi juga kesal karena Narendra.Membuka ponsel, bibirnya mengerucut kesal saat chatnya di grup tak ada yang menanggapi.Nara kembali berbaring dan ia buka ruang obrolan dengan adiknya, si bungsu yang paling mengerti dirinya. Ingin mengetikan pesan, meminta teman karena ia tak bisa tidur. Kemudian pesan yang sudah dikirim segera ia hapus dan ponsel dikembalikan ke nakas.Adiknya pasti istirahat tengah malam begini.Mengurungkan niatnya mengirimkan pesan pada si bungsu yang berusia sembilan belas tahun, Nara meraih guling di sisi kiri lantas memeluknya erat.Tak ada teman di tengah malam begini, di saat seharusnya ia tidur bersama sang suami.“Aah! Nara apa sih! ngga usah mikir aneh-aneh!”Tiba-tiba berkicau, Nara melempar guling dari dekapannya lalu mengacak rambut sebelum bangkit dengan semangat kala mendengar nada pesan dari ponselnya.Berharap ia mendapatkan teman mengobrol malam ini, pesan dari seorang pria yang membuatnya kesal sejak tadi membuat Nara berhenti berkedip hanya untuk memastikan jika ia tak salah membaca.“Ke Bali tanggal sembilan?” Ia membeo.Langsung menggigit bibir bawahnya sebelum mendesah sakit, teriakan riang menyusul kemudian. Nara bergembira penuh perasaan tak menyangka. “Deeaal!” Wanita itu berdiri di atas ranjang dan langsung meloncat kegirangan. “Deaal deaal deeaal!” teriaknya bak balita yang kegirangan mendapatkan gulali di Pasar Malam setelah berbulan-bulan tak diajak jajan. Ia bersorak di tengah malam tak peduli Mbo Sul akan mendengar dan panik ketakutan karena mengira pekikannya adalah pekikan setan.“Akhirnya jalan-jalan.”Nara melempar tubuh ke ranjang hingga tubuhnya memantul pelan di atas kasur empuknya.Tersenyum lebar, tampak begitu senang bak tawanan yang akhirnya dibebaskan. Nara meraih bantalnya kembali dan memeluk benda itu.“Tanggal Sembilan aku peluk bantal di hotel. Jangan cemburu ya, ling?” ucapnya tak waras pada sebuah guling yang menjadi teman tidurnya selama beberapa tahun setelah dulu biasanya ia tidur ditemani pembantu di rumah kedua orangtuanya.Ditemani hingga dewasa, karena Nara tak memiliki kamar sendiri selain kamar pembantu yang harus rela berbagi dengan dirinya.“Ah, besok beli baju baru! Eh suruh Tami-Tami aja!”*Pria itu menggeliat sebelum ringisan terbit saat merasakan pegal di lengan kiri yang tertindih sesuatu. Mendesah, ia tolehkan wajah mengantuk ke kiri dan senyumnya terbit menggantikan rasa sakit saat mendapati siapa yang menjadikan lengannya sebagai bantal semalaman.“Selamat pagi, sayang,” sapanya dengan suara parau yang terdengar menggoda bagi si kulit sebening kristal.Wanita itu membuka kelopak matanya pelan, mengedip beberapa kali sebelum ia ukir senyuman manis yang seperti stamina baru bagi prianya.“Aku masih ngantuk,” keluh wanita itu manja. Kian merangsek dalam dekapan kekasihnya, ia kecup jakun si pemilik tubuh kekar yang memeluknya seperti sebuah tameng perlindungan.Semalam, rasa bahagia karena akhirnya mendapatkan kado spesial—meski tak sesepesial sebuah lamaran yang ia harapkan—Berlian memutuskan untuk bermalam di rumah sang kekasih untuk bermanja sepuasnya sebelum pagi menjelang dan Akira harus disibukkan dengan pekerjaan lagi seperti biasa.“Tapi kita harus bangun.” Akira mengecup puncak kepala Lian. “Kamu juga harus pulang.”Tapi Berlian menggeleng. “Mau sama kamu aja.”Akira menaikkan sepasang alisnya. “Ikut ke kantor?”Lagi, Berlian menggeleng. “Di sini aja.”“Tapi aku harus kerja, sayang.” Akira menguap lebar.“Tuh kan kamu masih ngantuk.” Mengangkat wajah, Berlian menatap Akira yang mengerutkan hidung dengan senyuman lucu. “Ngga usah kerja, ya?” Mulai mengeluarkan jurus jitu, merengek manja pada sang kekasih, Berlian menyusupkan jemari ke dalam helai rambut hitam Akira yang hanya tersenyum saja tak memberikan jawaban untuk permintaannya sebelum kemudian sesuatu yang ingin ia tanyakan sejak semalam membuatnya mengambil jarak dari sang kekasih secara tiba-tiba membuat Akira mengernyit bingung.“Sayang, kamu kenal pemilik cafe kurang ajar itu, kan?”Maksudnya adalah Narendra yang menambah rasa kesalnya setelah ditinggal pergi oleh Akira yang kesal karena tuntutannya meminta segera dinikahi.Pria itu memberikan kejutan ulang tahun di sebuah cafe langganan Berlian. Sebuah cincin pun menjadi kado spesial. Namun semua hancur, karena Berlian menuntut hadiah lain, yaitu sebuah pernikahan.Bukannya mendapatkan janji manis seperti biasa dari Akira yang meminta ia untuk terus bersabar. Berlian malah mendapatkan murka dari kekasihnya. Akhirnya ia ditinggalkan begitu saja di tengah kegembiraan yang harus hancur seketika.Bagian terburuknya adalah Akira belum membayar lunas booking cafe saat meninggalkan Berlian begitu saja.Disuruh untuk melunasi sementara Berlian tak membawa uang, karena tas yang bisa menyelamatkannya saat itu berada di dalam mobil Akira yang pergi begitu saja.Si pemilik cafe yang tak Berlian ketahui merupakan usaha milik pria bernama Narendra yang ia yakini mengenal sang kekasih, menyuruh dirinya untuk mencuci semua piring kotor untuk melunasi sisa pembayaran yang tak bisa diganti dengan sepasang sepatu mahalnya.Uh ... Sialan! Pria itu mengerjai Berlian semalam. Beruntung, dengan sebuah penyesalan, Akira kembali datang untuk menyelamatkan.“Kenapa?” Menautkan alis tebalnya, bukannya menjawab, Akira malah balik bertanya. Enggan menjelaskan lebih dulu tentang hubungannya dengan Narendra. Hubungan yang tak dekat memang. Tapi dia dekat dengan Agung.“Dia tahu tentang kita. Kamu, aku dan wanita itu.”Akira mencebik. “Wanita itu?”Masih pagi, mungkin otak jenius Akira belum bekerja maksimal membuat Berlian memutar bola matanya kesal. “Nara! ngga perlu aku jelaskan juga dia siapa kamu, kan?”Mendengar nada cemburu Berlian, Akira terkekeh lucu. Menarik pinggul sang kekasih, pria itu bertanya. “Apa yang dibilang Naren?”Sepasang kelopak mata Berlian melebar. “Kamu kenal, kan? Makanya kamu tadi malam ngga berani mengancam dia. Dia sudah bertindak kurang ajar dan kamu malah bawa aku pergi gitu aja.”Mendesah susah, Akira melepaskan pelukan pada pinggul sang kekasih untuk menatap langit-langit kamar.Ini bukan tentang berani atau tidak. Dari Agung, Narendra pasti tahu jika dirinya menjalin hubungan dengan Berlian. Hanya saja ... Entahlah. Ia benci dan merasa terpojok dengan tatapan Narendra tadi malam.“Dia juga kenal sama wanita itu.” Berlian cemberut. “Laki-laki itu menghinaku dan pasti itu karena Nara.”“Menghina?” Sebelah alis Akira terangkat. “Maksudnya apa? Apa yang dia katakana?”Merasa emosi kembali datang saat mengingat apa yang diucapkan pria bernama Narendra, Berlian duduk dan melipat tangan di bawah dada. “Simpanan! Dia bilang aku perusak hubungan kamu dan—sayang kenapa?” Langsung menatap pada Akira yang langsung meloncat dari ranjang, Berlian memotong ucapannya tentang apa yang Narendra tuduhkan padanya. “Kamu mau pergi? Kenapa tiba-tiba?”Akira yang bergerak menuju lemari untuk mengenakan jaket hitamnya, menatap sang kekasih dan menggeleng pelan. “Jangan dengarkan apa yang orang bicarakan tentang kita. Bagiku kamu adalah wanita terbaik dan bukan perusak.” Akira mengambil ponsel dari atas nakas.Ekspresinya yang begitu lembut pada Berlian tiba-tiba berubah menyeramkan, aura marah tampak melekat di sana membuat Berlian bertanya-tanya apakah ia melakukan salah?“Kamu mau pergi? Kamu marah karena—”Mendekati ranjang dan mencondongkan tubuh untuk menyentuh pipi Berlian, Akira memberi senyum menenangkan. “Wanita itu pasti mengatakan hal buruk tentang kamu.” Atau mungkin mengajak Narendra untuk berkomplot dalam memusuhinya dan perlahan mempengaruhi Agung dan dia dipaksa menceraikan wanita itu. “Aku akan memberinya pelajaran.”Lantas berdiri tegap, Akira langsung mengambil langkah lebar meninggalkan Berlian yang ingin mencegah karena cemburu selalu ada tiap kali Akira menemui Nara, namun satu sisi ia juga ingin lihat bagaimana Akira memberikan Nara pelajaran.*Merasa pesan dari Narendra semalam adalah sebuah keajaiban, Nara tak ingin mengawali paginya dengan memaki Mbo Sul yang pekerjaannya jarang beres di matanya.Bahkan Tami yang datang kesiangan saja tak ia omeli sama sekali. Keajaiban lainnya ia bangkit dari ranjang lantas menyiapkan sendiri air hangat beraroma mawar tanpa merepotkan Tami ataupun Mbo Sul.Hal yang membuat para pembantunya mengernyit keheranan, namun sedikit banyak setidaknya Tami bisa menebak jika ini pasti berkaitan dengan pesan yang Nara sampaikan malam tadi.Meminta dibelikan pakaian yang cocok untuk ke Bali. Memangnya Nara akan ke Bali?Tami yang berdiri di depan Nara yang tengah menikmati sarapan pagi dengan senyum yang terus melekat sedari tadi, masih tetap merasa heran pada aura cerah yang dikeluarkan majikannya.“Aku suruh kamu beli baju kenapa ngga beli?”Nara yang mengiris omelet membuka suara dan menatap Tami yang lantas memberikan cengiran lebar. “Mall baru buka jam sepuluh nanti loh, mbak. Lagian mbak mau ke Bali? Emang disuruh sama mas—”Urung menyuapkan potongan omelet ke dalam mulut, Nara mengangkat tangan memberikan Tami peringatan. “Jangan sebut nama mahluk asing di sini.” Dia lantas mendengkus tak suka. “Masih pagi juga, mau bikin emosi aja.”Tami langsung meringis. Baru kali ini ia lihat seorang istri alergi dengan nama suami sendiri.“Lagian ini udah jam sembilan. Kamu pergi sekarang nan—”“Ada di dalam, mas. Mas Akira mau apa? Mbo Sul buatin.”Memotong ucapannya sendiri, Nara menoleh ke arah suara Mbo Sul yang tampak berbicara dengan seseorang yang ... Rasanya enggan Nara bayangkan.“Aku cuma sebentar di sini mbok.”Ah ... Nara menelan salivanya. Benarkan. Pria itu datang tak diundang pergi tak diantar. Datang seenaknya tanpa peduli jika hari ini Nara tengah bahagia dan malas rasanya hari yang indah ini harus hancur karena pria itu.Tami yang juga menyadari kehadiran majikan prianya, lantas melihat Nara yang tampak mencoba untuk makan dengan tenang sebelum kemudian sosok bertubuh tinggi dengan jaket berwarna hitam muncul di ruang makan bersama Mbo Sul yang memberikan senyuman lebar.Nara berhenti menyendok. Ia tatap Tami, meminta asistennya itu pergi lantas menoleh pada Mbo Sul yang sudah bergerak ke dapur.“Kamu benar-benar menikmati hidup, ya?”Menggulirkan bola mata ke arah sumber suara, Nara mencipta senyum semringah yang terlihat terpaksa. “Suamiku. Inget jalan pulang ternyata. Aku pikir amnesia.”Mengambil ponsel di samping piringnya, Nara membuka kunci layar sebelum berdiri, mengabaikan sorot tajam Akira yang dilempar ke arahnya. Suaminya ini tampak marah. Entah apa kesalahan Nara kali ini, yang jelas jika Akira datang dalam keadaan marah. Nara harus menyiapkan taktik agar pria itu tak melakukan hal macam-macam padanya.Melimbai santai, mencipta lambaian pada gaun santai berwarna merah dan corak bunga berwarna merah muda yang ia kenakan. Nara mendekat pada pria yang ikut mengambil langkah ke arahnya dan kemudian berhenti ketika jarak di antara mereka hanya tersisa satu meter saja. “Pagi-pagi ke sini.” Menghapus jarak di antara mereka, Nara yang ketika berjumpa di rumah Agung tampak begitu pasif pada sosok sang suami, kini tampak agresif dengan mengusap pipi Akira dan memberikan senyuman manja.Hal yang membuat Akira mual.Bermanja seperti ini hanya pantas dilakukan oleh Berlian sang kekasih yang berasal dari kalangan atas. Tidak oleh Nara yang hanya berasal dari keluarga penjilat dan penipu.“Pasti ada yang penting.” Nara melanjutkan ucapan.Menepis tangan Nara yang sungguh ia tahu bertindak seperti ini hanya untuk membuat dirinya kesal saja dan ya ... Itu jelas berhasil. Akira mengangkat tangan untuk memberikan cengkeraman pada rahang Nara yang selalu pandai bersilat lidah. Di hadapan Agung tampil bak malaikat tanpa dosa. Lalu di hadapannya menjelma menjadi jalang rendahan. “Narendra.”Sebelah alis Nara terangkat dengan degup jantung yang bergerak cepat.Narendra. Mengapa Akira menyebut nama pria itu? Jangan bilang jika Akira tahu jika Naren mengajaknya ke Bali. Sialan! Bisa tak jadi ia menikmati indahnya pantai.“Sekarang kamu mempunyai komplotan baru untuk memojokanku?”“Sakit!” Nara setengah berteriak mengeluhkan cengkeraman Akira pada rahangnya. Namun itu bukan hal yang akan Akira dengarkan karena pria itu merasa tak mencengkeram dengan kuat.“Kalau kamu pikir melibatkan Narendra akan membuat aku melepaskan kamu begitu saja, itu tidak akan terjadi.”Nara tak tahu apa yang Akira ucapkan. Memangnya apa yang Narendra lakukan?“Pipiku sakit, Akira! Ini berdarah!”Tidak berdarah. Tak mungkin. Nara tahu pun dengan Akira yang kemudian terkekeh geli. “Aku akan membuat lukanya semakin parah kalau kamu terus menggangguku dan Berlian! Terlebih dengan melibatkan Narendra!”“Aaaw!” Nara berteriak seakan cengkeraman Akira begitu kuat dirinya terima membuat pria yang ada di hadapannya mengernyit tak mengerti.Nara tak mendengarkan apa yang dirinya katakan namun malah bersandiwara seolah tengah dirinya sakiti.“Kamu—”“Aku bisa mati kalau kamu mencekikku!”Apa? Batin Akira langsung melemparkan tanya sebelum ia terkesiap saat Nara bergerak menjauh dengan kekehan senang dan kembali duduk di meja makan sambil menunjukkan layar ponselnya.Akira dibuat tak mengerti dengan ulah wanita bernama Narasya ini. Kenapa wanita itu tersenyum senang?“Aku merekamnya.”“Ha?” Untuk pertama kali ah tidak ... Untuk kesekian kali Akira tampil bodoh di hadapan Nara.Cekikikan, Nara memutar rekaman suara dari ponsel yang sengaja ia bawa ketika mendekati Akira.“Aku akan membuat lukanya semakin parah kalau kamu terus menggangguku dan Berlian! Terlebih dengan melibatkan Narendra!”Akira melotot sambil menelan salivanya yang terasa seperti gumpalan duri saat ia dengar rekaman suaranya terputar dari ponsel Nara.“Gimana kalau rekamannya aku kirim ke om Agung? Aku bisa ajukan klaim untuk ini, kan? Atau membuat tuntutan dengan pasal kekerasan dalam rumah tangga.”Mengetatkan rahang hingga urat di leher bertonjolan, Akira mengangkat suara kerasnya sambil bergerak mendekati Nara. “Jangan macam-macam ka—”“Eeeits! Jangan deket-deket!” Nara mengangsurkan tangan ke depan. “Aku kirim ke om Agung sekarang.”Langsung mengatupkan rahangnya kuat, Akira berhenti di ujung meja makan. Tangannya terkepal di sisi tubuh dan ia tatap Nara dengan pandangan yang siap merajam tubuh wanita itu hingga menjadi potongan-potongan kecil.“Ayo kita buka lelang!” Nara meletakkan ponsel di atas meja, tersenyum lebar karena harinya kian terasa menyenangkan, ia mengambil sebuah sendok dan diketukan ke meja sebanyak tiga kali. Wanita itu sengaja memancing emosi Akira. “Dibuka dengan nilai sepuluh juta!” Wanita itu memanfaatkan rekaman yang ia buat.“Jangan macam-macam, Nara!” Akira menggeram. Dia benci pada sikap Nara yang licik dan memanfaatkan posisi Agung dalam hubungan mereka. “Kamu tahu aku tidak melakukan apapun!”Nara langsung mengerjap polos. “Kamu cekik aku, sayang.” Lalu memberikan cengiran lebar. “Ini ada rekamannya.”“Kamu lic—”“Naik jadi lima belas juta.” Nara menahan senyuman gelinya. “Kamu ngga takut selingkuh, tapi kamu takut kalau rekaman ini tersebar. Menganiaya istri memang lebih buruk bagiku daripada diselingkuhin memang. Mau kamu pacaran sama seratus perempuan juga aku tetap jadi istri pertama kamu yang berhak atas setengah harta kamu kan, sayang? Tapi kalau sudah menganiaya tuh ... Kamu ngga ada hak untuk sentuh aku dengan cara kasar, Akira. Aku ngga akan pernah menuntut kamu dengan pasal perselingkuhan, karena itu ngga penting bagiku. Tapi kekerasan?”“Aku tidak melakukan itu!” Akira ingin sekali mendekat, lalu benar-benar melakukan kekerasan pada Nara yang sudah asal memfitnahnya namun jelas ia tak segila itu.“Siapa yang peduli? Aku punya buktinya. Ini suara kamu. Jadi?” Nara memutar lagi rekaman suara yang ia buat. “Dua puluh juta—”“Sialan kamu Nara!” Mengeluarkan ponselnya, Akira mengotak-atik benda itu sebentar sebelum kemudian bunyi pesan masuk di ponsel Nara membuat wanita itu berseru riang.Akira menyerah dan malas berhadapan lebih lama lagi dengan Nara.“Yes! Uang jajan tambahan!” Cengirannya kian lebar sambil memamerkan bukti uang masuk ke rekeningnya pada sang suami. “Tapi cuma sepuluh juta. ngga apa-apa.”“Hapus!”“Iya, sayang. Sabar.” Menghapus rekaman dari ponselnya, Nara lalu menatap Akira. “Mau sarapan dulu sebelum pergi atau mau pergi langsung ngga balik-balik lagi?”“Kamu tidak ada hak untuk mengusirku!” Dada Akira mulai turun naik. Tak sabar menghadapi istrinya sendiri. “Ini rumahku.” Melepas jaketnya dan ia lemparkan ke kaki kursi, Akira mengambil langkah untuk mendekati Nara yang sontak berdiri dengan kening mengernyit. “Soal sentuhan...” Akira mengusap dagu. “Bagaimana dengan sentuhan yang lembut. Istriku tidak keberatan dengan itu, kan?”Nara membeliakkan matanya sesaat saja sebelum ia ciptakan senyuman kaku. Mengapa Akira tampak serius? “Oh. selama itu bukan penganiayaan.” Bergerak mundur menjauhi Akira yang kian mendekat, Nara menelan salivanya diam-diam.“Penganiayaan?” Akira menggeleng dengan kekehan pelan saat ia temukan semburat khawatir di wajah Nara. “Ini bukan kekerasan, sayang. Tapi hubungan ranjang.” Langsung mengangsurkan tangan ke depan ingin meraih tangan Nara, Akira langsung mendengkus kasar saat wanita bertubuh mungil itu langsung berbalik dan lari sementara tangannya hanya menggenggam udara kosong.“UTAMI! JAGA PINTU KAMAR!”Blar!Bunyi bantingan pintu terdengar lalu sekejap saja dari arah dapur sosok Utami datang dengan cengiran kikuk. Bersama Mbo Sul, ia mengintip adegan majikannya di ruang makan dan turut mengelus dada karena kelicikan Nara. “Mas Akira,” sapanya sebelum kemudian bergerak cepat menuju pintu kamar tempat persembunyian Nara yang letaknya paling dekat dengan ruang makan.Akira memutar bola mata malas sebelum kemudian berbalik memberikan napas lega pada Utami yang tak berharap menjaga pintu dari Akira yang mungkin akan menerobos masuk.Masalahnya jika Akira berhasil masuk maka Utami yang akan terancam. Gajinya bisa saja Nara mutilasi tanpa hati.Tapi beruntung Akira pergi. Jelas, Akira tak sudi menghabiskan waktu melakukan hal tak berguna dengan Nara yang segera keluar saat mendengar suara mesin mobil yang menyala.Membuka pintu, ia dapati Utami yang masih setia menjaga pintu. “Kenapa kamu masih di sini?! Buruan cari baju! Dari tadi di suruh ngga berangkat-berangkat.”Mendengar omelan Nara yang jelas memberi perintah padanya untuk berjaga di pintu, Utami menganga lebar dengan kerjapan lambat.Di mana raut khawatir Nara terhadap sosok Akira tadi?“Eh iya! Aku belum beli tiket.” Nara yang bergerak menuju tangga berhenti dan membuka ponselnya. “Suruh Naren aja,” ucapnya kian membuat Utami terheran-heran.Manusia jenis Nara itu ada, ya?
Hold The Night 5 Pria itu berdiri dengan menyandarkan punggung pada mobil kala bibirnya membentuk lengkungan senyum hanya karena sosok cantik yang ia tunggu keluar dari dalam rumah dengan menenteng tas bermerk yang harganya nyaris setengah miliar di lengan kiri dan tangan kanan digunakan untuk mendorong koper berukuran kecil.Melenggok anggun dengan heels tinggi berwarna putih bening, sosok cantik itu menjelma bak Cinderella nyata. Oh tidak ... Bagi Akira kekasihnya memiliki kecantikan melebihi Cinderella. Terlebih dengan rambut yang dibiarkan tergerai lurus dan jepit rambut kecil bertahta berlian bertengger cantik di atas telinga sebelah kanan.“Nunggu lama?” tanya wanita itu dengan nada mendayu manja.Ah ... Akira gemas dibuatnya.Mencondongkan tubuh ke depan, mensejajarkan wajah pada sang kekasih yang memiliki paras seindah namanya, Berlian. Akira menggeleng pelan. “Aku siap menunggu lebih lama lagi selama itu untuk kamu.” Pria itu mengecup pipi berwarna kemerahan sang kekasih yang kian merona karena ucapannya.Mengusap hidung pada hidung Akira, Berlian lantas mengangkat sebentar koper kecilnya. “Aku ngga bawa banyak pakaian.” Ya ... Isi koper kecilnya lebih didominasi dengan perlengkapan makeup dan bikini saja yang rencana akan Lian kenakan di pantai.Pantai Bali tentunya.Akhirnya ... Untuk pertama kali, Akira mengajak dirinya berjalan-jalan ke luar kota.“Untuk apa?” Akira mengerjap lambat sebelum berdiri tegap dan membukakan pintu mobil untuk kekasihnya. “Kita akan membelinya di sana nanti. Ayo tuan putri, kita berangkat.”Mencubit pelan perut datar Akira yang agak keras, karena pria ini begitu rajin olahraga membentuk otot tubuh, Berlian yang tersenyum malu masuk ke dalam kendaraan pribadi kekasihnya.“Oh ya, om Herry masih di London?”Mendengar sang kekasih menanyakan sang ayah, seketika suasana hati Berlian berubah tak nyaman. “Hem ... Oh ya, aku bilang soal kepergian kita ini ke Fio, ngga apa-apa, kan?” Berlian segera mengganti topik pembicaraan.Dengan sorot pandang fokus pada jalanan, Akira menggeleng lambat, menjawab tanya retoris kekasihnya. “Kamu bahkan sudah menginfokan ke semua pengikut Instagram kamu soal liburan kita ini, sayang.” Dan ucapan Akira yang menggoda Berlian karena wanita itu mengunggah seluruh aktivitas pribadi ke media sosial langsung Berlian respon dengan cubitan lembut di lengan pria itu.“Ngeselin.”Akira terkekeh saja, sementara tangan kiri yang Berlian beri cubitan mesra digunakan untuk mengelus puncak kepala kekasihnya. “Karena kamu, Fio jadi banyak titipan.” Ia tolehkan sebentar wajah pada Berlian, memamerkan kerutan di hidung. “Merepotkan.”Langsung memberikan senyuman lebar hingga jajaran gigi putih dan rapinya terlihat mempercantik wajah yang sempurna dengan polesan make up natural, Berlian menjawab. “Adik kamu ngga serius. Dia bisa beli sendiri kalau dia mau. Bali sudah seperti Jakarta bagi Fio.”Membenarkan jawaban Berlian, Akira mengangguk dan menimpali dengan tanya. “Kamu juga, kan? Tapi kenapa tetap sesenang ini pergi ke Bali?”“Karena ditemenin kamu.” Berlian langsung merangkul manja dan menempelkan kepala pada bahu kekasihnya. “Ini jalan-jalan pertama kita ke luar kota setelah tiga tahun pacaran, sayang. Bahkan walau hanya ke Bandung, itu tetap spesial selama sama kamu.”“Waw. Berarti mulai sekarang aku harus luangkan waktu untuk pergi ke tempat yang lain sama kamu, ya?”Berlian langsung mengangguk semangat. Melepaskan diri dari Akira yang membuatnya ingin terus bersandar manja, Berlian menatap pria itu dengan binaran harap di sepasang mata sipitnya yang cantik dengan segaris eye liner hitam. “Ke Paris?”“Heem? Paris van Java Bandung?”“Ih ... Masa ke Bandung?” Melipat tangan di bawah dada, Berlian menggeleng dengan mengulum bibir berlapis gincu merah muda.Terkekeh pada wajah merajuk kekasihnya, Akira mencubit gemas pipi wanita itu. “Katanya ke Bandung ngga masalah selama sama aku?” Dan tawanya kian terdengar saat ia dapati Berlian membuang wajah dari dirinya. “Kita nikmati Bali lebih dulu, setelah itu aku akan cari waktu untuk ajak kamu ke Paris.”Dan janji pria itu membuat semringah cerah di wajah Berlian kembali lagi.Melewati perjalanan menuju Bali dengan ceria dan diselingi obrolan beromansa penuh cinta, pasangan kekasih yang tak mau menyelipkan tentang kenyataan jika hubungan mereka dibangun di atas sebuah hubungan sakral yang sudah mengikat Akira bersama wanita lain, segera pergi menuju butik yang Fio, adik Akira usulkan untuk mencari pakaian di sana.Semua pakaian yang terpajang di mannequin pasti akan cocok dengan selera Berlian yang selalu memuji betapa cantik pakaian milik Fio tiap kali pulang dari Bali.Berdiri di dekat meja kasir, sambil menanti Berlian yang begitu lincah berburu pakaian indah, Akira hanya diam sambil memperhatikan dengan senyuman kebahagiaan sang kekasih yang sudah seperti dirinya ajak ke Nirwana saja, padahal ini hanya Bali. Tempat Berlian berlibur nyaris tiap bulan jika merasa suntuk dengan keramaian kota Jakarta yang jarang sekali menyajikan damai dan indah, selain malam hari ketika aktivitas manusia berhenti dan bintang-bintang dari lampu rumah dan gedung di Jakarta berkelip indah mengalahkan gerlap gemintang para bintang di atas sana.“Sudah?” Akira bertanya saat Berlian mendekat dengan cengiran lebar.Wanita itu menunjuk salah seorang pelayan yang membawakan pakaian miliknya, lalu mengangguk pada Akira. “Tapi ini baru beberapa saja. Nanti kita cari-cari ke tempat lain lagi?”Akira mengangguk mengerti. Berbelanja, jelas bukan hal yang bisa dihentikan dari sosok Berlian yang hobi mengkoleksi barang mewah, meski setelah sekali pakai, kemudian jarang sekali wanita itu sentuh kembali.Setelah melakukan pembayaran, Akira membantu wanita itu menenteng paper bag lalu membawa sang kekasih menuju sebuah tempat makan, Sebelum kemudian mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap.“Ada toko di dekat sini yang jual tas lucu-lucu banget! Nanti kita ke sana ya, sayang?”Akira yang merangkul pundak kekasihnya sementara paper bag ia biarkan bersandar di kaki hanya memberikan anggukan saja karena ia sudah lelah menanggapi Berlian yang ternyata sudah membuat deretan panjang rencana shopping di Bali, sementara Akira hanya berpikir mereka akan menikmati pantai dan pemandangan alam lainnya di sini.Setelah perutnya kenyang, yang Akira butuhkan sekarang hanyalah tidur.Ting!Tepat saat denting lift terdengar dan pintu bergerak ke samping, Berlian menutup mulut sebentar untuk bergeser bersama Akira, memberi ruang pada penumpang lift lainnya yang mungkin akan masuk. Ingin membuka suara kembali, berniat mengatakan jika setelah istirahat sebentar, dirinya akan pergi dan mengizinkan Akira untuk beristirahat saja di kamar, seluruh kata yang berada di ujung lidah tertelan, saat melihat pria dan wanita yang begitu ia kenal berdiri tercengang di depan pintu lift yang terbuka.Mengerjap lambat tak percaya, Berlian langsung menoleh pada Akira yang membuka suara, menyebut nama wanita yang tak pernah Berlian harapkan akan hadir di hadapannya secara langsung. “Nara!”Akira melepaskan rangkulan pada sang kekasih, sebelum kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh. “Sedang apa kamu di sini?!”Menangkap sorot terkejut, pada wanita yang begitu norak dengan lipstik dan gaun merah, sedang rambut tergerai dengan ikal menggantung, tampak seperti orang kampung masuk kota. Berlian langsung menganga saat wanita itu berlari dan sialnya, dalam sekejap, sang kekasih mengejar meninggalkannya sendirian di dalam lift.Akira bergerak pergi, membiarkan paper bag yang bersandar di kakinya jatuh, lalu dengan langkah lebar, seakan lupa pada wanita yang ia rangkul mesra sedari tadi, pria itu mengejar sang istri yang membuatnya begitu emosi.Nara di Bali. Berani-beraninya wanita itu pergi tanpa izin darinya. Sialan! Apakah Nara ingin menguntit dirinya?Terus mengejar bak raksasa yang begitu bernafsu menangkap si Timun Emas, Akira berteriak nyaring di lorong hotel yang sepi. “Berhenti kamu!” Sebelum kemudian mendorong pintu yang Nara masuki dengan buru-buru, tak sempat wanita itu kunci karena Akira sudah masuk dan mengurung tubuh kecilnya yang bersandar di belakang pintu dan menciut karena sorot tajam suaminya tampak siap mencincang habis dirinya.Duh ... Kenapa begini sih skenario jalan-jalan perdana dalam hidupnya?“Kamu mengikutiku?!”Eh? Mengikuti Akira? Untuk apa? Jenuh sekali hidupnya sampai harus dihabiskan untuk mengikuti sang suami yang pergi bersama selingkuhan.“Aku jalan-jalan.” Tak seberani beberapa hari lalu saat Akira mendatangi kediamannya, karena salah bertindak bisa-bisa Nara diseret pulang, wanita itu lantas memberikan cengiran lebar. “Ngga ngikut—”“Siapa yang mengizinkanmu?!” Dengan rahang mengetat, bola mata mulai memerah karena emosi yang menggelegak mendapati sang istri ada di hadapannya, Akira mencengkeram kedua bahu Nara yang menggeleng cepat.“Kan aku ngga minta izin. Jadi aku ngga butuh iz—”“Nara!” Jika wanita ini bisa bebas menikmati hidup, lalu untuk apa Akira bersusah payah mengasingkan Nara dan berharap wanita itu menyerah sendiri di dalam pernikahan yang tak pernah sama sekali Akira anggap.Sialan!“Lancang kamu!” serunya di depan wajah Nara yang sontak merasa kerdil.Akira benar-benar marah.Iya Nara tahu.Dia tak takut. Eh ... Sedikit takut. Apalagi kalau sampai dirinya diusir pulang.“Cuma jalan-jalan aja, kok. Aku ngga akan ganggu kamu—”“Pulang!” Akira merebut ponsel dari tangan Nara dan menyipitkan pandangan. “Jangan pikir aku akan terjebak lagi.”Sepasang kelopak mata Nara kian membulat dan binaran polosnya terpancar membuat Akira kian meradang. “Aku tau kalau taktik yang sama ngga bisa dilakukan lagi dengan orang yang sama.”Nara memang diciptakan untuk melatih kesabaran Akira. Wanita ini benar-benar menjengkelkan.Mendorong Nara menjaga jarak agar tak ia mutilasi istrinya, Akira lantas berbalik melihat tas koper wanita itu yang ukurannya membuat Akira menelan ludah. Nara ingin kabur dengan tas sebesar itu?Melihat istrinya lagi yang hanya memberikan cengiran seakan ingin merayu pria itu dari ekspresi tak berdosanya, Akira mendengkus kasar. “Kamu pulang sekarang!” Bergerak dan menarik handle koper milik Nara, Akira tersentak saat sebuah tas kecil yang bersandar di balik koper terjatuh dan ia mengernyit saat mendapati model tas tersebut yang lebih cocok dimiliki oleh seorang pria, bukan Nara yang pasti memilih tas yang lebih feminim.“Ini tas Naren.” Dia tak bertanya, melainkan menegaskan ucapannya. Narendra ia lihat bersama Nara tadi.Entah mengapa, nyatanya kehadiran Nara dan Narendra yang tampak datang ke Bali bersama membuat kesal Akira kian menjadi-jadi. Akira kembali mendekati Nara yang meringis karena tampaknya Akira lebih murka dari sebelumnya. “Kalian tidur—”“Biarkan aku di sini dan aku ngga akan update status tentang derita istri yang diasingkan suami dan diselingkuhi. Aku janji nama baik Berlian dan kamu akan aman damai tanpa sanksi sosial dari para netijen dan istri sah di dunia nyata.” Nara mengacungkan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V.“Kamu mengancamku?!” Akira menggeram kesal. “Nara....”“Aku ngga ngancem. Pacar kamu yang pinter. Jadi selingkuhan kok pamer.” Kadang jika benar-benar suntuk, Nara memang suka cari penyakit dengan menjadi stalker Berlian. Tapi itu dulu. Dua tahun terakhir ia memilih untuk benar-benar abai. Ya ... Untuk apa memikirkan suami yang tak memikirkan dirinya?Menurunkan kedua tangan yang jemarinya membentuk tanda V, Nara lalu bersandar pada pintu kamar. “Aku ngga berniat ngusik kamu, loh. Aku disuruh tinggal di pinggiran, aku nurut. Dikasih uang bulanan pas-pasan, ngga protes. Terus sekarang jalan-jalan aja kamu permasalahin. Ck ck. Padahal kan kalau aku jahat, aku udah beberin soal perselingkuhan terang-terangan kalian.”Mendengar ucapan Nara yang tampak tengah berkeluh kesah, Akira mendengkus kasar. “Kamu bahkan sudah terlalu jahat dengan tetap bertahan dan berharap aku menceraikan kamu! Untuk apa? Untuk mendapatkan harta yang jelas bukan hak kamu dan keluargamu?!”Ah ... Nara tau berdiskusi dengan Akira tak pernah berjalan dengan mudah. Tiap kali berhadapan dengan pria ini, jujur saja, Nara suka merasa lelah.Terus menatap Akira, Nara memainkan kuku-kuku jemari yang sudah Utami hias cantik kemarin. “Cuma jalan-jalan satu minggu aja,” ucapnya dengan bibir mencebik sedih.Andai perselingkuhan Akira bisa ia jadikan ancaman di hadapan Agung. Nara tak perlu bernegosiasi begini. Tapi masalahnya Agung sudah tahu tentang hubungan Akira dan Berlian dan yang Agung minta dari Nara adalah bersabar dan bertahan.Alah ... Kalau saja tak ada syarat aneh-aneh dari mertuanya tentang harta gono-gini, Nara pasti sudah menceraikan suaminya. Sayang, peraturan itu membuat Nara terkekang.Soalnya ... Nara juga mau harta milik keluarga Arundapati. Tak apa meski sedikit asal bukan tak dapat sama sekali.Hanya lulusan SMA, keluarga tak sepenuh hati membesarkannya. Nara bisa apa jika setelah cerai tak memiliki apapun juga? Kan dia tak mau jadi janda perawan miskin.Tapi mengharapkan Akira yang menceraikannya ... Bahkan meski Nara berulah pun itu tak akan berhasil. Ia hanya bisa melakukan taktik kecil untuk mendapatkan sedikit uang lebih dari Akira. Tapi jika melakukan pemberontakan besar-besaran, dia akan mendapatkan ancaman dari keluarga Arundapati dan itu tak baik untuk dirinya juga keluarganya yang tak ingin mendapatkan bagian sedikit dari harta Arundapati. Dia hanya memiliki dukungan Agung saat ini. Tapi Agung pun tak bisa berbuat banyak. Karena meski Akira menghargai pria itu, keluarga Akira jelas tak peduli.Duh harta ... Susah sekali sih mendapatkannya secara instan?“Kalau sampai aku lihat kamu, aku akan menyeretmu pulang.”Eh? Maksudnya apa?Nara mengerjap mendengar peringatan dari Akira yang bergerak mundur memberi jarak di antara mereka. “Dan usir laki-laki itu dari kamar kamu.” Menendang tas Narendra, Akira lantas keluar meninggalkan Nara yang mengerjap tak percaya.Sebentar.Apa yang Akira katakan tadi?Kalau sampai pria itu melihatnya, ia akan diseret pulang. Tapi jika tidak? Nara bisa bersembunyi dari Akira agar tak dilihat oleh pria itu, kan?Ya ampun!Nara menangkup pipinya. Wajah memelas yang ia buat ternyata ampuh juga. Uuh ... Nara tahu jika Akira masih memiliki hati.
Hold The Night 6 Pria itu baru melangkah keluar dari pintu kamar inap Nara ketika dirinya dapati lift pada lorong sebelah kiri tempat dirinya keluar begitu ramai dengan kerumunan orang yang beberapa berjalan berbalik untuk bergerak menuju lift pada sisi lainnya.Mengernyit dengan hati bertanya-tanya, pria itu bergerak mendekat untuk mencari tahu sebelum dering ponsel menghentikannya.Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal segera ia jawab tanpa berhenti melangkah dengan tenang menuju lift.“Halo, dengan siapa saya bicara?”“Akira, ini gue. Naren.”Kesal yang belum reda karena kehadiran sang istri di sini, kembali menyambangi Akira yang langsung mendengkus jengah.“Ngapain lo hubungin gue?” Pria itu sibak rambutnya ke belakang dengan gerakan kasar, sebelum melonggarkan dasi yang menjadi kebiasaan tiap kali dirinya merasa kesal.“Denger, ini penting. Gue sama Berlian terjebak di lift.”Dengan sepasang bola mata yang sontak membulat ke arah lift yang masih dikerumuni beberapa orang, Akira merasa detak jantungnya mulai bergerak mengerikan.“Terjebak di lift?” ulangnya dengan nada ngeri yang begitu kentara. “Apa ... apa lampunya mati?”“Iya.”“Oh ... Shit!”Langsung mematikan sambungan telepon, setengah berlari Akira menuju lift sambil menghubungi resepsionis hotel.“Ada lift yang macet! Apa kalian sudah bergerak untuk membukanya?!”Akira membelah kerumunan untuk melihat pintu lift yang tertutup rapat, menekan tombol buka berharap itu berhasil menyelamatkan kekasihnya.“Teknisi sudah bergerak untuk membukanya, pak. Dalam hitungan menit, lift akan kembali terbuka. Maaf untuk ketidaknyamanannya.”“Sial!” Akira memasukkan ponsel ke saku, tanpa pedulikan pandangan orang yang penasaran pada ekspresi kesal dan khawatir yang lekat di wajahnya.Ini bukan masalah lift yang berhenti. Tapi apakah harus lampunya ikut mati, sementara yang terjebak memiliki ketakutan akan gelap.Oh ... Akira gemetar ketakutan, karena Berlian bisa begitu panik jika mendapati kegelapan di sekitar wanita itu.Mengusap wajahnya kasar, pria itu segera berbalik. Ia akan turun menggunakan lift lain untuk menghampiri kekasihnya yang mungkin sesaat lagi atau malah sudah keluar dari lift yang mendadak macet.Bergerak cepat menuju lift yang terletak di sisi lain, Akira mendadak berhenti ketika sosok wanita bergaun merah dengan rambut ikal tergerai keluar dari sebuah kamar inap. Namun ketika sosok bermata bulat itu melihat dirinya, sontak langsung membeku sebelum berbalik cepat dan ... Bruk!Mengenakan heels tinggi dan bergerak cepat, seakan menemui serigala pemangsa. Wanita itu, Narasya, sang istri yang akan ia usir pulang jika sampai menunjukkan wajah di hadapannya terjatuh dengan pergelangan kaki kanan tertekuk ke dalam.Akira menahan napas, saat wanita itu berusaha bangkit dan segera kembali ke kamar inap dengan langkah terseok.Pasti sakit sekali.Tapi Akira memiliki urusan yang lebih penting daripada memikirkan kondisi kaki wanita itu.Mengabaikan pintu kamar Nara yang ia lewati begitu saja. Akira masuk ke dalam lift, bersama beberapa orang lainnya.Rasa cemasnya belum hilang. Benak masih terus memikirkan tentang Berlian. Namun saat lift terbuka tepat di lorong lantai kamar penginapannya, detak jantung Akira menggila, saat kaki malah melangkah keluar dan umpatan pelannya terdengar.“Sial!”Akira merasa tak waras sekarang, karena ketika hati memikirkan Berlian, kaki malah melangkah menuju kamarnya dan dengan gerakan tergesa ia malah mencari krim pereda nyeri yang biasa ia bawa jika suatu waktu mengalami kram otot atau pusing. Akira tak begitu menyukai obat yang ditelan langsung, selain pahit ia tak bisa menelannya jika tak dihaluskan lebih dulu.Tergesa-gesa keluar dari kamar inapnya, Akira kembali mengumpat habis-habisan di dalam hati saat di tangan sudah menggenggam krim pereda nyeri.Oh sialan!Mengapa ia harus merasa peduli pada wanita itu!*Wanita itu masih meringis sambil terus mengurut pergelangan kaki, sementara ponsel sejak tadi terus berbunyi tut ... Tut ... Tut ... Mencoba menghubungi nomor ponsel Utami yang tampaknya senang sekali ditinggal pergi majikan hingga berulang kali Nara hubungi, sang asisten tak kunjung menjawab.“Ssh! Utami sialan!” makinya sambil mendesis sakit karena pergelangan kaki mulai memberi rasa tak nyaman akibat ulahnya yang harus berbalik dan kabur dengan cepat dari suami yang lebih mirip iblis daripada manusia.Uh ... Harusnya tadi ia menahan diri untuk tak segera keluar. Harusnya ia bisa menahan diri dari bujukan perut yang lapar. Harusnya lagi ia tak perlu menggunakan heels jika itu hanya akan menghambat pergerakan.Sekarang lihat hasilnya.Ingin menghindari suami pengisi dompetnya, hanya karena tak mau disuruh pulang. Kakinya harus terkilir dan jika begini bisa dipastikan ia tak bisa menikmati liburannya dan menggoda bule-bule tampan yang mungkin salah satu dari mereka akan bersedia menjadi selingkuhan Nara.“Ooh ... Sakitnya.....” keluh Nara untuk ke sekian kali sambil terus menghubungi Utami yang ingin ia....“Halo Mbak? Kenapa? Maaf lama jawab. Ketidur—”“Ketiduran! Utami! Kamu aku gaji untuk kerja apa tiduran?! Pemalas! Lain kali, awas kamu lama jawab telepon aku, ya! Aku pastikan gaji kamu aku potong-potong sampai habis ngga ada sisa!”.... Maki.Dirinya menelepon Utami hanya untuk diberi makian saja karena asistennya itu lupa memasukkan kotak P3K yang sudah ia pesan untuk turut masuk ke dalam koper.“Iya, mbak. Maaf. Saya khilaf!”Khilaf! Tapi tak terdengar nada bersalah sama sekali dari jawaban Utami.Persetan!“Kotak obat yang aku suruh masukin ke koper kenapa ngga kamu masukin?! Utami! Kakiku kekilir dan sekarang ngga ada obatnya! Kamu sengaja kan, biar aku kesakitan di sini, makanya ngga kamu bawain obat-obatku!”Berusaha berdiri dari lantai yang menjadi alasnya kala mengobrak-abrik isi koper, Nara menggenggam ponselnya sambil bergerak menuju ranjang.“Lah ... ngga tau kalau mbak Nara bakal kekilir, mbak. Lagian kotak obatnya juga ngga ada hot creamnya. Cuma ada parasetamol sama obat merah. Mau aku bawain isinya aja, mbak Nara mau sama kotaknya juga. Mana muat mbak. Kopernya udah penuh.”Meringis sambil berusaha memijit pergelangan kaki kanan, Nara menatap bengis pada ponsel yang ia letakkan di atas ranjang, tepatnya di samping bokong yang berulang kali terangkat seakan itu bisa mengurangi sakit pada kakinya. “Kalau gitu kenapa ngga kamu lengkapi, Utami?! Kerja kamu itu apa?! ngga ada yang becus satupun! Kamu memang mau dipotong gajinya, ya! Aduuh!” Nara yang membungkuk menegapkan tubuh dan ia angkat kaki kanan ke atas lutut. “Awas aja kalau kakiku sampai patah! Kamu yang harus ganti biaya pengobatannya!”Langsung mematikan sambungan telepon tak peduli pada jawaban Utami berikutnya. Karena suara Utami yang memberi banyak alasan malah membuat Nara merasa kian kesakitan.Mengurut, menekan pergelangan kaki yang sakit dengan ibu jari, bibir Nara mencebik karena tak kuasa menahan sakitnya. Ini lebih sakit daripada tak dianggap dari suami sendiri.Tok ... Tok!Eh?Nara yang sampai menitikan air mata hanya karena sakit pada kakinya langsung mendongak ke arah pintu yang terketuk.Siapa?Mungkinkah Naren?Oh ... Beruntung sekali.Langsung mengusap air mata, Nara yang langsung menggelung rambutnya berusaha bangkit dan terpincang-pincang ia berjalan menuju pintu.Segera ia buka pintu berpelitur coklat di hadapannya, sosok yang sorot matanya tangkap pertama kali saat pintu terbuka langsung membuat tenggorokan Nara tercekat. Sialan! Mengapa harus Jelangkung sialan ini?“Tadi baru uji coba pertama! Aku janji habis ini kamu ngga akan lihat ak—”“Pakai ini.” Pria itu, si jangkung dengan tubuh kekar berbalut kemeja rapi dengan dasi berantakan, sungguh tak mengenal apa itu pakaian santai yang layak untuk dikenakan saat liburan, menyerahkan krim pereda nyeri pada Nara yang melongo seketika.Eh? Apa yang terjadi pada Akira?“Cepat ambil!”Langsung mengerjap mendengar bentakan di depannya, Nara langsung mengambil krim pereda nyeri dengan tatapan tak percaya.“Langsung periksa kalau nyerinya semakin parah.” Langsung berbalik setelah mengucapkan pesan yang kian membuat Nara melongo seperti orang bodoh, Akira bergerak setengah berlari menuju lift yang segera membawa dirinya ke loby hotel dan di sana ia lihat kekasihnya tampak tengah duduk di sofa dengan raut pucat dan beberapa orang tampak sedang menenangkannya.Mendekat pada wanitanya yang segera mendapati kehadirannya. Akira langsung memeluk wanita itu dan berulangkali mengucapkan kata maaf, karena telah meninggalkan Berlian begitu saja.Dan dari arah berbeda, satu sosok yang hanya mengawasi dari jarak beberapa meter langsung mendengkus samar sebelum berbalik menuju lift yang akan membawanya menemui seseorang di saat semestinya ia pergi mencari makan.Nara ... wanita itu apa kabar? Masih di kamar hotel, bersama cacing perut yang berdansa karena kelaparan. Atau malah sudah diusir pulang?
Hold The Night 7 Sesuai janjinya pada Narendra untuk tak mengganggu pria itu setelah mereka tiba di Bali. Jadi usai tiba di hotel dan mengalami patah kaki gara-gara Akira—karangan Nara yang hiperbola, nyatanya hanya sedikit terkilir dan sudah sembuh setelah Naren bawa wanita itu ke tempat urut, rekomendasi teman Naren di Bali—Nara tak mengganggu pria itu lagi. Sendirian di pulau wisata, Bali, ia menikmati suasana desir angin di pesisir pantai Sanur, sambil berjemur menikmati pemandangan bule yang juga turut menghitamkan kulit memamerkan dada bidang yang ingin Nara sentuh dan jadikan sandaran hati yang kesepian karena terlalu lama menganggur.Hatinya tak ada aktivitas mencintai atau menaruh peduli pada sosok pria yang bisa menciptakan debar-debar menggelikan.Tapi menatap para bule tampan bermata biru dan ada juga yang warnanya sehijau hutan belantara, membuat Nara ingin tersesat saja di sana.Uuuh ... Membuat adonan anak dengan bibit berkualitas dari para bule, mungkin Nara bisa menciptakan keturunan yang tampan dan cantik dengan perpaduan sempurna. Kira-kira bule mana yang sudi menikahinya?Aah ... Dua hari tak mengganggu Naren, ternyata tak \begitu buruk bagi Nara yang tetap menemukan jalan pulang ke hotel setelah ia berkeliling di sekitar pantai Sanur, sambil berpikir tentang masa depan indah bersama para bule.Tapi dua hari ini ia belum mendapatkan bule yang bisa diajak berkenalan, karena Nara sendiri bingung apakah para bule mengerti dengan bahasa Nasional yang ia gunakan. Jadi, tak mau putus asa, Nara berniat untuk mencari bule di pantai Kuta saja. Mungkin di sana ada bule yang fasih bahasa Indonesia.Setelah itu, memanfaatkan waktunya yang hanya sebentar saja di Bali, Nara juga ingin mengunjungi teh Keranjang Bali, untuk berfoto cantik dengan spot unik yang bisa ia pamerkan di media sosialnya, juga jangan lupa untuk pergi ke Pura Besakih. Nara akan menggunakan pakaian tradisional Bali dan berfoto cantik di sana, memamerkan betapa ramah lingkungannya wajah yang ia punya. Maksudnya ia cantik berdandan apapun, karena wajahnya yang memang selalu cocok didandani seperti apapun juga. Itu adalah penilaian pribadi seorang Nara terhadap seorang Nara.Lalu tempat lain yang juga amat sangat ingin Nara kunjungi. Tempat-tempat wisata yang ia dapatkan dari Mr. Google, si mesin pencarian canggih yang membantunya untuk menemukan tempat wisata menarik di Bali, adalah Monkey Forest Ubud.Ah ya ampun!Nara ingin mencari tahu kira-kira ada berapa monyet yang wajahnya mirip dengan Akira dan Berlian. Nanti jika bertemu dengan pasangan monyet yang begitu persis dengan suami dan selingkuhan suaminya itu, Nara akan memberikan satu sisir pisang, lalu foto bersama. Ah pasti lucu sekali.Memikirkan itu Nara jadi sangat tak sabar. Mungkin memang baiknya besok ia pergi untuk mengunjungi Akira dan Berlian ... Maksudnya para monyet lebih dahulu untuk menuntaskan rasa penasarannya terhadap rupa monyet yang persis dengan Akira.Menikmati terakhir kali debur ombak yang menyentuh jemari kakinya, Nara yang tampil menantang dengan tankini merah dan ia ikatkan di pinggang kain bali putih bergambar corak bunga berwarna senada dengan tankini yang ia kenakan lantas berdiri, menendang gulungan ombak kecil yang menghampiri, Nara kemudian berbalik dengan menenteng ponsel dan topi pantai yang ia gunakan hanya saat berfoto saja, agar hasil potret diri kian menarik.Bergerak pelan menyusuri tepi pantai seorang diri di tengah keramaian para pengunjung yang ingin mengabadikan indahnya jingga di langit sore, Nara lantas berhenti saat di hadapannya ia temui dua sejoli yang saling berhadapan dan salah satu tangan sang wanita memotret romantisme mereka dengan menjadikan debur ombak sebagai latar belakang foto.Menelan salivanya kasar, Nara lantas berbalik dan berjalan cepat ia menghindari dua sejoli tadi, Karena enggan rencana untuk menemukan kembaran suami di Monkey Forest Ubud batal karena dirinya harus dilempar pulang, kembali ke Jakarta.Ya ... Benar. Dua sejoli tadi adalah suami dan selingkuhan suami yang jangan sampai melihat batang hidungnya demi keselamatan diri.Dua hari Nara sudah menghindari Akira yang tampaknya sengaja sekali agar bisa bertemu dengan dirinya di manapun itu. Pria itu pasti berniat sekali memantau dirinya hanya agar bisa mengusir Nara secepatnya dari pulau Bali dan mengurung wanita itu kembali di sangkar emas yang Akira cipta. Jangan sampai setelah ini akan ada satpam yang berjaga di rumahnya dan Nara dibuat tak bisa ke mana-mana sama sekali.Nara mulai berpikir buruk tentang Akira karena, sore ini ia bertemu dengan pria itu. Sebelum sosoknya diketahui, jelas saja Nara langsung lari. Tapi sebelum sore ini, siang tadi mereka bertemu di sebuah rumah makan. Sialan sekali, karena Nara harus cepat-cepat meninggalkan makanannya yang baru setengah ia santap sementara ia harus membayar penuh hanya agar sosoknya tak didapati oleh Akira.Lalu tadi malam? Ketika ia akan keluar jalan-jalan, pria itu bersama calon madunya ia dapati berada di lobi. Sialan sekali karena akhirnya Nara harus kembali ke kamar dan mengubur niatnya untuk menikmati sejuknya angin pantai di malam hari.Ah ... Untuk jalan-jalan tanpa gangguan saja Nara harus kucing-kucingan.*“Lo dikejer setan?”Langsung berhenti mendengar suara yang begitu ia kenal dari arah belakang. Nara berbalik dan senyum lebarnya tercetak saat ia dapati Naren yang berpenampilan santai dengan jeans pendek dan kemeja biru bercorak siluet pemandangan pantai dengan tambahan warna jingga yang menggambarkan mentari tenggelam.“Ada suami sama selingkuhan suami. Hehe.” Lalu cengengesan, Nara membuat Naren menatap wanita itu penuh tanda tanya.Rasanya baru Nara saja, seorang istri yang bisa terkekeh lucu saat bertemu dengan suami dan pacar suaminya. “Akira beneran lo anggep ATM berjalan, ya?” tanya pria itu sarkas yang langsung wanita itu jawab dengan anggukan dan sepasang bola mata yang membulat dengan binaran polos.Benar-benar tak tahu jika tengah disindir.“Beneran, gue sejahtera semenjak nikah sama dia.” Lalu merasa gemas sendiri, Nara memukul bahu Naren sebelum diam dengan pandangan terpukau pada kamera DSLR yang menggantung di depan dada putra tiri Agung itu. “Ren, potoin gue, dong.” Lalu menunjuk pantai yang sesaat lagi akan menggelap, mengikuti warna langit yang tak mendapatkan sinar mentari. “Mumpung masih terang.”Berdecak mendengar permintaan Nara, Naren langsung memegang kameranya. Tak mau menolak panjang lebar karena itu tak akan berguna bagi Nara yang sedikit pemaksa. “Sekali aja. Gue mau balik ke hotel soalnya,” jawab pria itu malas-malasan.“Sekali!” Nara mengangguk sambil menunjukkan jemari kelingkingnya. “Bikin gue jadi cantik, ya!” Langsung berdiri membelakangi pantai yang memberi debur ombak pelan, tanpa aba-aba, Nara membuat posenya sendiri.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Dan ... Yang ke sekian kali.“Udah mau gelap dan lo masih minta foto?”Akhirnya Naren mengajukan protesnya yang kesekian kali juga, namun lagi-lagi Nara tanggapi dengan cengiran sok manis.Ah ... Memang manis. Tapi sisi polos menjengkelkan lebih kentara di wajah wanita itu.Narendra dibuat geram oleh tingkah istri sah Akira yang kalah pamor dari wanita simpanan ini.“Udahlah.” Pria itu lantas mengangkat bahunya lelah. “Lo mau balik bareng atau gue tinggal aja di sini?”Yah ... Padahal Nara belum membuat pose bidadari menari di bawah langit malam. Pasti akan cantik sekali, terlebih jika taburan bintang mempercantik aksinya di depan kamera.Mengerucutkan bibir lantaran sebal, Nara menendang pasir basah di bawah kakinya yang tanpa alas. “Padahal nunggu malem aja sekalian. Terus foto lagi—” Nara memotong ucapannya sendiri seiring dengan pandangan yang lantas menyempit kala ia merasa melihat satu sosok dengan gestur tubuh yang begitu ia kenal. “Eh!” Terkesiap kala ia dapati sosok itu kian mendekat, Nara langsung berpaling pada Naren dan melebarkan senyumnya. “Gitu aja lah!” Menepuk bahu Pria itu lagi, Nara dengan memegangi topi pantai di kepala, langsung lari tunggang langgang mencipta kerutan dalam di dahi Narendra.“Dia kenapa?” tanya pria itu tentunya pada diri sendiri sebelum kemudian menoleh ke belakang dan netranya menangkap sosok yang memberi sebuah jawaban.“Jadi ... kalian benar-benar memiliki hubungan? Sejak kapan? Sejak di pertemuan makan siang itu atau sebelumnya?”Langsung mendapatkan lemparan tanya dari sosok angkuh yang membuat Nara kabur bak rusa yang tengah diburu, Narendra mendengkus samar.Jika tak peduli pada Nara, mengapa harus bertanya?“Apa Nara juga mengajukan pertanyaan ini sama simpanan lo? Kalau memang nggak, gue rasa gue ngga wajib untuk jawab pertanyaan lo.” Mencebik, seakan memberikan ejeken pada sosok yang Nara hindari yaitu Akira, pria beristri yang memiliki kekasih lain. Narendra memasukkan tangan ke dalam saku jeans dengan gerakan santai sebelum melangkah dan meninggalkan pria yang sedikit lebih tinggi dari dirinya.“Ayah tahu soal ini? Kalau memang begitu, sebenarnya apa tujuan kalian? Berharap gue ceraikan Nara dan kalian bisa menikmati setengah harta keluarga Arundapati?” Akira berdecih samar. “Lebih baik lo minta Nara menyerah saja, karena jangankan setengah. Bahkan dia ngga akan dapat meski cuma seperempat.”Seperempat bagian seperti keinginan Nara. Wanita itu hanya akan menggugat cerai jika Akira setuju memberikan wanita itu seperempat kekayaan keluarganya. Diskusi beberapa tahun silam yang tak menghasilkan apapun, karena seperempat yang Nara minta terlalu banyak untuk ia penuhi.Lalu kini, setelah rasanya Akira muak mengharap Nara melepaskan ikatan yang membelenggu mereka, akhirnya Akira memilih untuk bertahan seperti ini saja.Ya ... Lebih baik seperti ini. Ia beli kebebasan Nara dan jadikan wanita itu sebagai wanita kesepian tanpa pasangan atau bahkan ... Tanpa keturunan.Segera berbalik dengan senyuman yang tercetak tipis, Naren menggeleng pelan. “Apa tuduhan itu untuk gue sama Nara? Kalau iya, lo berhak untuk terus hidup dalam prasangka.” Meski hati kecil Narendra membenarkan ucapan Akira.Nara hanya menginginkan harta pria itu saja. Bahkan selama lima tahun pernikahan. Apa yang Nara lakukan selain menanti uang bulanan dari Akira? Tak bisakah wanita itu sedikit saja berjuang? Bukan hanya menadahkan tangan padahal jelas, wanita itu begitu kesepian.Lalu Akira ... Sampai kapan harus hidup dalam prasangka? Tak bisakah berhenti menuduh Nara dan bersikap layaknya seorang suami pada istrinya?Ah ... Masalah rumah tangga ini jelas ada pada Nara dan Akira.Lalu karena kedua orang ini, Narendra terpaksa harus terlibat. Sialan. Ia tak bisa menolak permintaan Agung untuk bisa mempersatukan pasangan gila ini. Nara dan Akira.“Tapi kalau tuduhan itu juga lo tuduhkan untuk bokap gue, lo pasti tahu jawabannya, karena sebelum gue kenal papa. Lo yang lebih dulu manggil dia ayah.”Melanjutkan langkahnya, Narendra meninggalkan Akira yang hanya terdiam.Ah ... Sungguh kesalahan besar jika Akira berpikir Agung juga menginginkan harta dari keluarga pria itu, karena Agung sendiri bukan orang yang kekurangan. Selain itu, Akira harusnya tahu. Jika demi kebahagiaan Akira dan Nara, Agung mengorbankan Narendra.Benar. Menjadi mak comblang dari sepasang suami istri gila sama saja menjadikan Narendra sebagai tumbal. Tumbal demi kesejahteraan pasangan suami istri yang tak waras.Menendang bersama seluruh rasa kesal, kaleng minuman kosong yang berada di dekat kaki, Narendra lantas berhenti saat kekacauan lain dalam hidupnya semenjak menuruti permintaan Agung tertangkap pandangan.Berlian, yang tampak cantik dengan gaun biru muda tanpa lengan dan renda manis di bagian rok yang mengembang sebatas lutut tampak sedang berbincang dengan seorang pria berbadan besar, yang memiliki tato naga di lengan kanan yang tak tertutup lantaran kaos tanpa lengan yang pria itu kenakan.Mengernyit karena pemandangan aneh yang ia lihat—Berlian si simpanan manja sedang berbincang dengan pria berperawakan bak preman—sementara saat Naren berbalik dan di ujung sana ia dapati Akira sedang bergerak kian jauh. Pria dengan kamera yang masih menggantung di leher itu pun mengedikan bahu.Untuk apa ia memikirkan dengan siapa Berlian berbincang, lalu mengapa Akira malah menjauh dan Nara yang kabur saat melihat suaminya sendiri, sementara ada yang harus lebih Narendra perhatikan.Tenaganya.Sungguh. Ia lelah sekali dengan drama tiga orang di sekitarnya.Bergerak menjauh dari tempat di mana Berlian berada, Narendra menunduk dan menatap kameranya.Ah ... sebelum kembali ke hotel, mungkin mengabadikan suasana malam dengan taburan bintang di pantai Sanur bisa memperbaiki suasana hatinya hari ini. Hold The Night 8 Pria itu paham betul dengan sifat Agung, ayah angkatnya yang memiliki hati begitu lembut hingga semua yang pria itu ucapkan, Akira tak mampu menyangkalnya.Benar gila pemikirannya hingga tega menuduh Agung yang pastinya tak tertarik dengan semua harta kekayaan yang ia punya, karena Agung bukan Catra yang menggilai harta hingga rela menggadaikan sebuah persahabatan.Mendengkus kasar, Akira merasa kesal pada ucapan Narendra yang seakan mengatai ia sebagai anak angkat tak tahu diri, juga kesal pada diri sendiri yang bisa kelepasan hingga menuduh Agung begitu buruk, lalu kesal pada Nara yang lagi-lagi kabur.Tidakkah ia diberi kesempatan untuk mengusir lalu menendang pulang wanita itu agar berhenti mengacaukan konsentrasinya selama berlibur? Oh ... Berkencan bersama sang kekasih di saat ada istri yang berkeliaran di sekitarnya, membuat Akira seolah tengah dimata-matai.Melangkah cepat ke area parkir, sambil beberapa kali mengusap wajah, merasa begitu kacau dan tertekan karena tuntutan Berlian yang ingin segera dinikahi sementara ia tak bisa mewujudkan ingin wanita itu selama Nara masih menjadi istrinya, Akira pun terbebani akan Nara yang mengapa harus menjadi benalu dalam hidupnya.Wanita itu, dengan raut polosnya tega mengambil seluruh rasa peduli ayah Akira hingga membuat keluarganya sendiri terasingkan dari hati Brama. Semua untuk Nara. Apapun demi wanita itu. Bahkan ... Andai ibunya tak menghalangi, sudah tentu Nara akan tinggal di rumah mereka sejak dulu sebagai anak angkat yang terasa seperti anak kandung.Tapi dulu Akira tak sepicik itu untuk menyingkirkan Nara. Baginya perhatian sang ayah pada Nara adalah perhatian seorang paman yang baik hati. Oh ... Akira tak cemburu tentang hal itu. Namun setelah sang ayah turut mengorbankan dirinya demi seorang Nara ... Sial! Akira benci mengingat lagi bagaimana ia tak begitu penting bagi Brama yang lebih memikirkan kesejahteraan Nara dibandingkan ia, ibunya dan adik-adiknya.Meremas rambut kasar, frustasi karena hati dan pikiran tak pernah bebas dari belenggu permasalahan keluarga yang ia sangga sendiri selama bertahun-tahun, Akira masuk ke dalam kendaraannya.Melajukan pelan, keluar dari area parkir, tak sengaja netranya menangkap sosok yang kabur dari dirinya tadi, sedang terburu-buru memasuki sebuah mobil.Mendengkus dengan seringai liciknya, Akira melajukan kendaraan ke arah mobil yang membawa istri sahnya yang berlibur tanpa rasa tenang tentunya. Wanita itu benar-benar takut bertemu dengan dirinya. Memasuki jalan beraspal, Akira sudah kehilangan jejak Kendaraan yang membawa sang istri.Oh ... Nara pikir ia tak tahu ke mana wanita itu pergi?Mulai menciptakan siasat untuk mengerjai Nara karena melihat ekspresi takut wanita itu merupakan sebuah kesenangan baginya yang selama lima tahun pernikahan terlalu jarang berinteraksi dengan wanita itu dan tampaknya selain mengasingkan istrinya, mulai sekarang Akira harus sering tampil untuk menambah kesal wanita itu padanya. Akira melajukan kendaraan ke arah hotel tempat penginapan dirinya juga Nara.Tiba di hotel, raut wajah begitu semringah seakan menyambut rasa kesal dan takut Nara merupakan sebuah obat dari semua permasalahan yang membuatnya ingin menjadi gila saja agar tak perlu memikirkan segala macam problematika. Akira berdiri di depan pintu coklat dengan nomor 1103 tertempel di sana.Segera mengetuknya, antusias Akira lantas berubah menjadi kesal saat berulang kali ketukan yang ia buat, Nara tak kunjung membukakan pintu.“Dia sengaja?” tanya pria itu pelan, sebelum kembali mencoba untuk mengetuk dan yang ia terima masih sama.Pintu di hadapannya tak terbuka, bahkan tanda-tanda jika Nara di dalam sana pun tak ada.Wanita itu belum tiba?Mengernyit dalam, ragu-ragu Akira lantas berbalik. Ah ... Wanita itu mungkin memang belum pulang ke hotel, namun kembali berkeliling dengan baju basah. Akira mengingat kembali pakaian jenis apa yang istrinya kenakan.Tak seperti Berlian yang tadi bersamanya menggunakan gaun cantik yang akan melambai indah tiap kali angin bertiup, Nara ... Akira mencoba mengingat. Wanita itu hanya menggunakan kaos ketat tanpa lengan yang mencetak jelas dada besar wanita itu.Oh ... Tampaknya wanita itu ingin menjadi penggoda.Melangkah lebar, ingin kembali keluar menjemput Berlian yang ia tinggalkan di pantai dan sungguh ... Antusiasnya untuk melihat ekspresi takut Nara membuatnya lupa pada tujuan awal, mengambil mobil dan membawa kekasihnya pulang ke hotel. Akira hanya berharap semoga Berlian tak marah.Drrrttt......Melambatkan laju kendaraan, Akira merogoh ponsel yang bergetar di saku celana pendeknya dan dahi lantas mengernyit saat melihat nomor tak dikenal menghubunginya.Segera menepikan mobil sewaan untuk mempermudah akses perjalanannya selama di Bali. Akira menjawab panggilan dari nomor tak dikenal dan suara bergetar Nara dari seberang sana lantas membuat jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat, sebelum dentam kuat di balik dada menyerbunya.“Tolong. Aku dirampok.”*Terduduk diam di salah satu sofa dengan tubuh tertutup selimut, Nara tak mampu mengatakan apapun lagi setelah ia sebutkan nomor ponsel suaminya. Satu-satunya nomor yang ia hafal setelah nomor ponselnya. Namun tak pernah berharap akan ia jadikan sebagai penolong pertama di saat susah melanda.Nomor pria itu hanya akan ia hubungi jika terlambat mengirim uang bulanan dan jika pria itu lupa membayar gaji pembantu. Tak pernah ia hubungi Akira ketika tengah malam tubuhnya menggigil karena demam. Tak pernah pria itu ia hubungi saat tergelincir dari tangga, juga tak pernah ia hubungi untuk satu malam saja menemani dirinya.Tidak.Pria itu hanya kantong ajaib yang akan memberinya uang bulanan tanpa harus susah payah bekerja. Akira hanya ATM berjalan, alih-alih bersikap layaknya suami siaga.Tapi Nara terpaksa.Dia hanya ingin cepat-cepat kabur dari Akira. Lalu ketika ada sebuah mobil yang menawarkan tumpangan, maka Nara langsung menaikinya tanpa berpikir panjang.Ah ... Harusnya Nara berhati-hati, kan? Harusnya ia tak seceroboh ini.Mobil sedan berwarna silver yang membawanya, tak mengikuti tujuan yang ia sebutkan.Awalnya ke arah hotel tempat Nara menginap sebelum kendaraan itu berbelok dengan alasan terjadi kemacetan di persimpangan menuju hotel.Nara percaya. Iya. Dia memang begitu bodoh karena percaya saja dengan ucapan orang asing sebelum kemudian kendaraan melaju dengan sangat cepat dan Nara mulai didera perasaan tak enak.“Ini ke mana?”Tapi tak ada jawaban. Sopir taksi terus melaju dengan kencang, sebelum kemudian tangan kiri sopir dengan perawakan rapi, masih muda dengan kulit putih bersih itu melempar sebuah buku tabungan kepada Nara yang mengerjap tak mengerti.“Transfer semua uang anda ke sana.”Kalimat perintah yang membuat nyawa Nara seolah tercabut dari raga.Langsung berteriak mencari pertolongan namun tahu jika itu hanyalah perbuatan sia-sia, Nara lantas berbohong, mengatakan jika dirinya tak memiliki akun I-Banking yang membuatnya mendapatkan ancaman mengerikan.Dengan bibir bergetar ketakutan dan memohon agar setelahnya ia dilepaskan, Nara menstransfer uang di tabungan yang rencananya ia gunakan untuk keperluannya selama di Bali juga untuk kebutuhan pokoknya selama satu bulan ke depan.Benar. Tak lebih dari dua puluh juta uang yang ada di tabungan tersebut, karena semua uang miliknya, tabungan yang ia sisihkan dari pemberian Akira tiap bulannya ia simpan di nomor rekening adiknya.Tapi ... Tetap saja uang yang ia berikan pada perampok membuatnya ingin menangis ... Ah tidak. Bukan ingin, melainkan sudah. Nara sudah menangis.Uangnya diambil. Ponselnya pun harus ditinggalkan jika tidak ingin dibunuh atau diperkosa.Diturunkan di area yang sepi dan Nara tak tahu sama sekali di mana dirinya berada. Wanita itu yang sudah tak mampu berteriak meminta tolong, langsung terduduk lemas sebelum seorang warga lokal menghampiri dirinya dan memberi pertolongan.Secara singkat, Nara menceritakan apa yang terjadi padanya sebelum kemudian ia diminta untuk menghubungi nomor kerabat dan satu-satunya orang terdekat ... Maksudnya yang mengenalnya di Bali dan nomor orang lain yang ia hafal hanya nomor Akira saja.“Di minum dulu tehnya?”Mengangkat wajah, Nara tersenyum tipis pada wanita muda beraksen khas yang memberinya segelas teh hangat.Menerima gelas itu masih dengan tangan bergetar, Nara menyeruputnya pelan-pelan sambil mendengarkan ungkapan prihatin dari Praba, pria paruh baya yang menolongnya tadi.Melihat sekitar yang cukup ramai dengan kedatangan warga yang mungkin mendengar kabar tentangnya jadi berlomba-lomba untuk melihat korban perampokan, Nara menunduk lagi sambil terus berdoa agar Akira lekas datang.Diakan bukan binatang sirkus yang ditonton dan bahkan ada yang berusaha memfotonya. Jangan bilang setelah ini akan ada tulisan di bawah fotonya : Korban rampok, mohon yang kenal segera dijemput. Kasihan jadi linglung.Ya ampun, Nara berpikir apa, sih?“Apa ini jauh dari Sanur?” Nara bertanya pada Praba yang mengangguk.“Lumayan. Kalau mau, istirahat saja dulu.”Ya ... Nara memang membutuhkannya.Dipersilakan untuk masuk ke sebuah kamar, Nara yang segera meringkuk di atas ranjang dan menolak baju pemberian anak gadis Praba namun lebih memilih berkurung dalam selimut. Wanita itu terlelap dengan isak tangis pelan yang mengiringi tidurnya.Ini adalah jalan-jalan pertama dalam hidupnya. Namun mengapa harus sekacau ini?“Nara ... Nara.” Sebuah panggilan yang terdengar samar.Langsung membuka kelopak mata, menatap pada dinding di hadapannya, Nara langsung mengubah posisi tubuh menjadi terlentang dan langsung mengerjap tanpa suara saat ia dapati Akira duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan dirinya.“Kita pulang?”Menelan salivanya, Nara lantas bertanya. “Aku beneran dirampok?” Lalu mencebik sedih, meneteskan buliran air matanya.Padahal ia masih berharap jika yang terjadi tadi adalah mimpi.Oh ... Susah payah ia menabung, uangnya malah dirampok begitu saja. Apakah ini karena ia menjahili Akira beberapa hari lalu? Tapi kenapa balasannya datang secepat itu.“Ayo pulang.” Tak menjawab, Akira menarik bahu Nara dan melepaskan wanita itu dari lilitan selimut.Tak melakukan apapun, hanya diam menurut. Nara melangkah keluar bersama Akira yang menggandengnya.“Kami pulang dulu. Terima kasih sudah membantu istri saya.” Berpamitan pada pemilik rumah, pun dengan Nara yang mengucapkan terima kasih bersama perasaan sedih yang begitu kentara. Pasangan suami istri itu lantas pergi.Memasuki mobil Akira. Duduk di samping kemudi, Nara memeluk tubuhnya sendiri yang meremang karena tiupan AC.“Di tempat seperti ini, lain kali hati-hati. Jangan ceroboh.” Mematikan AC dan menurunkan sedikit kaca jendela untuk memberi akses udara agar tak terlalu pengap, Akira memberi peringatan tegas pada Nara yang langsung membuang wajah, menatap jalanan dari balik kaca jendela.“Memangnya siapa yang mengharap musibah? Kalau tahu begini aku ngga akan naik taksi itu.”Menatap lurus pada jalanan di hadapan, Akira yang mendesah lambat tak mengindahkan jawaban Nara. “Besok kamu pulang. Aku belikan tiket.”Pulang.Tak adakah solusi lain dari pria di sampingnya ini selain membuatnya kian sedih?Menahan isak di ujung tenggorokan, tak mau menjawab keputusan final Akira, Nara hanya diam.“Dan setelah ini jangan pernah berpikir untuk bisa pergi ke luar kota sesuka kamu.”Menghapus air mata sambil terus menggigit bibir bawah dengan kencang hingga rasa asin terasa menguar memenuhi indra perasa, Nara tak bisa menahan isaknya.Di saat seperti ini, jika Akira tak bisa membantu memberinya semangat untuk melupakan kesialan yang terjadi, tak bisakah pria itu diam saja?Oh ... Dadanya sakit sekali.
Hold The Night 9 Di loby hotel, Nara bertemu dengan Naren kembali. Pria itu tampak seperti malaikat penolong bagi Nara yang merasa lebih baik bersama Narendra daripada si jelangkung Akira.Tapi baru menceritakan sedikit tentang kemalangannya pada Narendra, Akira malah menahannya yang ingin bersama Naren saja dan secara tiba-tiba pria itu mengklaim dirinya sebagai seorang istri.Nara menjauh dari jangkauan sang suami yang membawanya masuk ke dalam lift. Menurutnya Akira sangat aneh hari ini. Apa karena iba pada musibah yang menimpanya sampai dua kali mengakui hubungan suami istri di antara mereka dalam waktu yang berdekatan?Berdiri di sudut ruang berbentuk kubus yang bergerak menuju lantai kamarnya, Nara mencoba untuk tak menjatuhkan pandangan ke arah Akira yang berdiri tegap di antara para pengguna lift lainnya. Dengan pandangan lurus ke depan, juga ekspresi angkuh yang melekat di wajah pria itu, Akira tampak begitu mendominasi.Lift berhenti seiring pintunya yang bergerak terbuka. Langsung menyelipkan tubuh mungilnya di antara pengguna lift untuk segera keluar, Nara tak menoleh lagi ke belakang saat sepasang kaki pendek yang ia punya bergerak cepat menuju kamar inapnya.“Kamu terlihat terburu-buru.”Nara tak berharap dirinya diikuti. Sungguh tak berharap jika Akira berada di belakangnya yang kini berhenti dan segera berbalik dengan senyuman lebar. “Sayang, kenapa ikut keluar? Kamar kamu kan ngga di sini.” Mendekati pria itu yang memberinya sebelah alis terangkat, Nara mendorong pelan dada Akira agar paham dengan isyarat mengusir dari dirinya. Tak nyaman berada di sekitar pria ini. “Makasih udah jemput aku. Sekarang aku udah nggak—”“Bagaimana bisa dengan lelaki lain kamu berkeluh kesah dan dengan suamimu sendiri kamu malah mengusir?”Langsung menganga, nyaris menjatuhkan rahang bawah ke lantai, Nara menahan diri untuk tak mendengkus jengah.Atas pertanyaan pria itu, haruskah ia menjawab; ”Bagaimana bisa dengan perempuan lain kamu tidur satu kamar dan dengan istri malah pisah rumah?”Perlukah?Tidak. Nara tahu batasannya.Jadi hanya memberi senyuman genit, wanita itu mengusap lembut pipi suaminya. “Oh kamu cemburu? Mulai besok—”“Siapa yang cemburu?!” Seketika, nada bicara Akira naik satu oktaf. “Kamu seharusnya bisa menjaga sikap di hadapan suami kamu!”Waah ... Memang tukang selingkuh itu rata-rata tak sadar diri, ya?Nara lantas menolehkan wajah ke kiri kanan, seakan mencari sesuatu.“Cari apa?” Penasaran, Akira bertanya, bahkan pria ini ikut-ikutan menoleh ke kiri dan kanan seakan ikut mencari apa yang ingin Nara temukan.“Cari kaca. Hahaa!” jawab Nara disusul tawa garingnya yang Akira tanggapi dengan raut dingin seketika.Hebat sekali, karena Akira tahu jika Nara tengah menyindir dirinya.“Jadi sekarang kamu mau ikut masuk ke kamarku?” Jemari wanita itu menyentuh bibir Akira, sebelum kemudian ia tarik cepat saat ada beberapa orang yang melalui lorong di mana mereka berada. Lalu ketika di lorong tertinggal mereka berdua lagi, Nara melanjutkan aksinya. “Nanti ... Ayang ebeb kamu gimana?” Mengalungkan tangan di bahu Akira, wanita itu mengerling genit. “Nanti mbak Berlian tercinta kedinginan loh, pacarnya tidur sama istri sah!” Kata sah Nara desahkan di jakun Akira, karena wanita itu terlalu pendek untuk menjangkau telinga sang suami.“Jangan memancingku.” Akira menggertak yang Nara dengar hanya sebagai gertakan sambal.Wanita ini tak takut lagi pada suaminya, karena percuma ingin bersopan santun dan menurut seperti kemarin, toh besok dia dipulangkan. Jadi Nara yang menjengkelkan, kembali lagi. Apalagi setelah dirinya kehilangan uang dan ponselnya. Hasrat untuk membuat Akira kesal jadi meletup-letup di kepala.Tapi ... Kalau pria ini jadi tertantang dan malah ikut masuk ke kamarnya bagaimana?Nara menurunkan tangan dari bahu Akira, lalu mengusap lembut pipi yang tersentuh helai rambutnya yang pasti berantakan sekali.“Aku tahu kamu ngga akan tertarik tinggal di sini dan membiarkan calon maduku tidur sendirian.” Ia tepuk pelan pipi Akira yang terasa kaku.Akira yang tak pernah bisa bersikap santai jika berhadapan dengan Nara. Kadang wanita ini heran. Diamnya saja bisa membuat sang suami emosi. Aneh, kan?Langsung berbalik dengan gerakan mengibas rambut hingga menyentuh dada Akira, Nara melenggok anggun, sebelum kemudian mengambil langkah seribu dengan kaki-kaki pendeknya.Langsung berdecih melihat tingkah polah Nara yang jika kabur darinya persis pencuri cilik, Akira berjalan santai dengan kedua tangan di dalam saku.Mendekat ke arah kamar Nara, Akira tersenyum penuh kemenangan saat ia lihat wanita itu diam berdiri di depan pintu kamar sambil menendangi pintu dengan kesal.“Kamu lupa?” Akira menunjukkan keycard milik Nara yang mereka ambil di resepsionis tadi dan dia yang memegangnya karena beberapa saat lalu Nara masih terlihat begitu terguncang.Menggoyang-goyangkan benda itu, seolah mengejek Nara yang gagal kabur dari dirinya, Akira membungkuk, menempelkan hidung pada pipi sang istri. “Ngga bisa kabur, sayang?”Lalu membuka pintu kamar hotel, bak pemiliknya, Akira melenggang masuk lebih dulu disusul dengan Nara yang bersungut-sungut kesal.“Aku mau tidur.” Nara membuka suara, berharap Akira segera keluar, alih-alih melihat seisi kamarnya seakan sedang melakukan inspeksi.“Kamu butuh mandi, bukan tidur.”Sudut bibir Nara kian berkedut. Apa urusan pria itu memangnya? Terserah Nara ingin tidur atau mandi.“Sebenarnya kenapa kamu ke sini?” Nara melipat tangan di bawah dada, tanpa sadar ia buat bongkahan kembar miliknya menyembul ke atas yang tak sengaja pula sorot tajam Akira tangkap hingga pria itu harus mengerjap dan segera berpaling.Seketika wajah pria itu terasa panas dan tak ia sadari jika kulit putihnya yang selama dua hari ini sedikit coklat karena terlalu banyak menikmati sinar mentari di pantai, memerah perlahan.Berdeham, melihat langit-langit kamar, perlahan pandangan Akira turun, berhenti di wajah Nara.Ya ... Berhenti di sana. Jangan lebih turun lagi.“Kenapa aku di sini....” Sebentar. Akira mencari jawaban mengapa dirinya begitu tertarik mengikuti Nara. “Em ... Karena aku suamimu dan aku berhak mengikutimu.”Bukan. Lebih tepatnya ia tertantang pada Nara yang selalu menghindarinya.Mendengar jawaban aneh Akira, karena selama lima tahun ini pria itu tak pernah mengikutinya. Nara memutar bola mata malas. “Ya ... Seolah selama ini kita benar-benar suami istri. Setelah ini, kenapa kita ngga tinggal dalam satu rumah aja dan tinggalin selingkuhan kamu, daripada tiba-tiba menyebut aku sebagai istri dan kamu suami, padahal selama ini hubungan semacam itu cuma kita anggap terjadi di buku nikah aja.” Langsung berbalik berjalan menuju kamar mandi, Nara meninggalkan Akira yang diam mematung.Err ... Pria itu kenapa? Tidak sedang memikirkan ucapan Nara yang menyentil dirinya, kan?Mendesis kesal entah karena apa, Akira menendang udara sebelum kemudian pergi keluar dan ... Mendengar suara pintu terbanting, Nara yang memang belum melakukan apapun di kamar mandi, namun berdiri di belakang pintu yang ia kunci, takut jika Akira mendobrak pintu kamar mandi karena ucapannya tadi, langsung menghela napas lega saat ia dapati pria itu tak lagi berada di dalam kamarnya.Syukurlah.Nara akhirnya bisa meratapi gundah gulananya karena kehilangan uang, dengan tenang.*Narendra yang pengertian. Tadi malam pria itu membelikannya makan malam. Lalu pagi-pagi mengetuk pintu kamarnya untuk mengajak sarapan bersama.Beberapa hari di hotel, Nara terbiasa sarapan sendiri dan itu selalu kesiangan karena ia yang selalu kembali tidur setelah shalat subuh. Tapi tak biasanya Naren mengajaknya sarapan bersama dan hal itu tak Nara tolak.Bukan karena tak punya uang untuk sarapan, karena sarapannya gratis—tidak benar-benar gratis karena sebenarnya biaya sarapan sudah masuk dalam satu paket biaya sewa kamar hotel—di tempatnya menginap. Tapi ... Ia akan membicarakan kepulangannya pada Narendra.“Lo butuh hape nggak? Nanti gue pinjemin duit dulu untuk beli.”Sambil melangkah bersama menuju restoran hotel, Nara menggeleng. “Gue balik hari ini.”“Eh?” Narendra berhenti sejenak, yang segera ditatap oleh Nara sebelum kemudian mereka kembali melangkah. “Tiba-tiba?”Nara mengedikan bahu sambil mengerucutkan bibir. “Akira suruh.”“Dan lo nurut gitu aja?”Narendra tak habis pikir.Demi uang, Nara seolah menggadaikan kebebasannya.Agung mengatakan jika Nara adalah wanita baik yang tak tertarik dengan kekayaan keluarga Akira. Tapi ... Tanpa menyangkal, Nara bahkan mengaku jika Akira hanya ATM berjalan wanita itu saja.Dan ... Lihatlah sekarang. Nara adalah istri sah yang rela dikhianati, diasingkan dan dikekang. Lalu itu semua hanya demi ... Uang?Narendra tak habis pikir.Menggaruk belakang telinganya, Nara meringis. “Bisa ngga dikasih uang bulanan gue nanti kalau ngga nurut.”Narendra kembali dibuat berpikir. Ya ... Aneh saja jika Akira begitu ingin Nara menceraikannya tapi malah tetap diberi uang bulanan.Apakah ada yang pria itu takuti hingga fasilitas untuk Nara saja tetap dipenuhi.Siapa yang Akira takuti?Agung?Ayahnya itu bahkan tahu perihal perselingkuhan Akira dan Berlian. Lantas, apakah Akira pernah menaruh rasa sungkan tentang pengkhianatannya itu? Tak pernah.“Em ... Nara.”“Ya?” Langsung menatap dengan sepasang mata membulat, Nara menjawab cepat panggilan Narendra.“Kenapa Akira memenuhi kebutuhan lo, kalau dia mau buat lo mundur dari pernikahan kalian?”Karena sedikit banyak, dari Agung Narendra tahu perihal perjanjian nikah antara Nara dan Akira yang harus keduanya penuhi sesuai permintaan Brama.Menggerakkan bola mata ke atas, wanita yang mengenakan jeans dan kaos berwarna merah itu karena tak sempat memilih gaun cantik apa yang akan ia kenakan di pagi ini lantaran Narendra meminta dirinya untuk bergerak cepat, mengedikan bahu santai. “Karena ada di perjanjian nikah. Lagian kalau ngga nafkahi gue, dia takut gue laporin ke om Agung.”“Oh ya?” Narendra tak sependapat. “Tapi papa tahu dia selingkuh dan dia ngga takut.”Nara menggeleng. “Kalau gitu takut gue laporin ke polisi kali. Eh bisa kan dilaporin karena ngga nafkahin bini, gitu?”“Terus kenapa dia ngga takut lo laporin soal perselingkuhan dia?”Berhenti, bibir Nara langsung terbuka. Ingin menjawab namun ia tak tahu harus menjawab apa.Sebenarnya ia tak pernah memikirkan hal ini. Karena ancaman akan diadukan pada Agung selalu berhasil membuat Akira menurut.“Ck!” Nara kembali melangkah. “Bodo ah, Ren. Penting gue digaji tiap bul—” Memotong ucapannya sendiri, Nara langsung berbalik saat sorotnya menangkap sepasang pengkhianat sedang duduk santai sembari sarapan di salah satu meja.Narendra yang berada di samping Nara segera menatap wanita itu yang seketika diam sebelum ia edarkan pandangan dan menemukan sumber masalah mengapa Nara berhenti dan berbalik. “Oh ... Lo mau menghindar lagi? Ck! Gue baru tahu kalau istri sah bisa setakut ini ketemu sama suami dan selingkuhan suami.”Takut?Nara tak takut.Hanya jengah.“Kita makan tempat lain aja lah!” Tapi Nara tak mau menyangkal ucapan menjengkelkan Narendra.“Jadi ... Beneran takut?”“Gue ngga takut!” Nara berkacak pinggang, menantang, yang Narendra tanggapi dengan bibir mencebik, meremehkan.“Oh ya? Terus kenapa kabur?”Nara mendengkus. “Gue mau sarapan! Bukan mau muntah-muntah.” Melihat Akira dan Berlian tentunya membuat ia mual-mual.Diam-diam Narendra menyetujui ucapan Nara. Karena ia juga merasa mual tiap kali melihat pasangan selingkuh itu. Tapi ... Ia mempunyai misi untuk mendekatkan Akira dan Nara, kan? Oh ... Atau setidaknya membuat si simpanan itu sadar, jika posisinya di samping Akira hanyalah selingkuhan.“Alasan.”Nara menatap kesal pada Narendra.“Lo takut dan minder, karena kalah saing sama selingkuhan Akira, kan?”“Ngga!” Biar kata kalah cantik, tapi Nara jelas lebih montok dan seksi. Pujiannya untuk Narasya Inke Raid yang tak terbantahkan.“Iya.”“Enggak! Narendra!”“Ya, Nara. Lo takut dan minder sama selingkuhan Akira yang lebih cantik dan berani duduk di samping Akira, sementara lo istri sahnya malah menghindar dan memilih ngga diakui.”Mencengkeram kesal kedua tangannya di sisi tubuh, Nara yang terpancing emosinya dan merasa tertantang dengan olokan Naren langsung meraih tangan pria itu. “Gue ngga kalah sama se-ling-kuhan!”Menarik Narendra dan membawa pria itu dengan langkah cepat, Nara menuju meja yang tadinya ingin dirinya hindari.Tapi ... Tidak. Dia tak suka jika ada yang mengatai dirinya kalah dari orang lain, apalagi kalah dari seorang simpanan.“Selamat pagi.”Nara menyapa pasangan yang sedari tadi hanya diam, fokus pada makanan yang dinikmati dengan perlahan, seolah sedang tak bernafsu. Namun mendapati salamnya, sepasang sejoli yang tengah berseteru itu kompak mengangkat pandangan dan jelas, ekspresi kaku dan tak nyaman pada kehadiran Nara segera menyentuh raut wajah keduanya. Terlebih saat mereka sadari jika Nara tak sendiri, melainkan bersama Narendra yang tangannya berada dalam genggaman.Wajah Akira mengeras. Wanita itu ingin memancing emosinya, kah? Tak cukupkah Berlian yang mengajaknya berdebat karena ia tinggalkan tadi malam, pagi ini Nara ingin menambahi?“Kita duduk di sini?” Seakan mengabaikan ketegangan yang menimpa pasangan selingkuh di hadapannya, Narendra membuka suara. Bertanya pada Nara.Mengangguk, Nara memberi seulas senyum pada Narendra yang langsung menarik kursi untuk Nara agar segera duduk di hadapan Berlian dengan meja berbentuk segi empat sebagai pembatas di antara mereka.Kedua wanita itu dengan paras yang berbeda, warna kulit yang tak sama pula, saling melempar pandangan tajam, seolah jika bisa mengeluarkan suara, sorot tajam keduanya yang beradu itu akan mengatakan; Aku akan membunuhmu.Ah ... Melihat ketegangan di sekitarnya, bahkan saat Akira juga memberikan tatapan membunuh ke arahnya, Narendra malah tersenyum begitu santai. “Gue ambilkan sarapan kita,” ucap pria itu yang segera berdiri tanpa pedulikan jika Akira menatapnya jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Ooh ... Tampaknya ada yang marah sekarang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan