
Deskripsi
Bumbu Cinta Ke 57-60
6,213 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Bumbu Cinta
Selanjutnya
Perfect Agreement Komplit (Versi Buku)
46
9
Perfect Agreement Novel By :Greya Craz
Perfect Agreement Copyright @ Flamingo Publisher, 2019Penulis : Greya CrazPenyunting : Greya CrazLayout : Greya CrazCover : Urcover DesignUkuran : 14x20 Hak Cipta penulis dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian, atau seluruh isi tanpa izin penulis.
Ucapan Terima kasih Terima kasih untuk Sang Pencipta.Terima kasih teman-teman yang meluangkan waktu untuk membaca ceritaku.Terima kasih keluargaku.
Mencipta janji, untuk tak saling mencinta.Mencipta ikatan, tanpa keinginan untuk bersama.Merencanakan kisah, tanpa tahu jika hati adalah tuan, dan manusia hanyalah hambanya.Dalam urusan rasa, logika tak pernah bisa mengatur.
Part 1 : Perfect Agreement Satu : Pisah Ranjang.Dua : Jangan masuk ke kamar lawan.Tiga : Masak sendiri-sendiri.Empat : Jangan Makan Snack milik Lawan.Lima : Gaji istri milik istri. Gaji suami milik istri. Dan geraman tertahan lantas terdengar dari bibir Erik selepas membaca poin ke lima yang ditulis oleh Syera yang baru beberapa jam yang lalu sah menyandang status sebagai istrinya.Matanya yang sedikit sipit, namun tak mengurangi ketajamannya itu dilemparkan pada sang istri yang melipat tangan di depan dada, merasa sudah memenangkan permainan.Erik ingin protes. Dia tak setuju dengan poin ke lima yang Syera tuliskan. Sangat-sangat merugikan.“Ayo tulis poin ke enam.” Dengan nada mengejek yang khas dirinya. Syera membuka suara, sengaja menimbun kekesalan Erik, pria yang beberapa jam lalu menjabat tangan ayahnya, mengganti status single yang ia miliki menjadi kawin.Tak ingin terkecoh. Erik menurunkan emosi yang sudah berpusat di ubun-ubun. Dia menunjukan seringai tipis, sebelum menulis poin ke enam.Enam : Sex satu minggu sekali.Brak!!“What the hell!!”Syera naik pitam. Tak tanggung-tanggung ia mendebrak meja hotel yang menjadi saksi sepuluh poin perjanjian pernikahan yang tengah mereka buat.Mata bulatnya makin membulat, kala melotot ke arah Erik yang memilih untuk tersenyum semanis madu, dari pada tersenyum mengejek yang tak ia butuhkan jika hanya ingin menunjukkan siapa pemenangnya kali ini.Ooh sudah jelas. Poin ke enam miliknya adalah juaranya, daripada poin ke lima milik Syera.Gajinya adalah gaji Syera. Tak masalah. Lagi pula wanita itu mana tahu penghasilannya setiap bulan? Ia bisa mengelabui hal itu. Tapi sex? Memangnya Syera ingin mengaku mens setia minggu? Jika benar begitu, ia tak sungkan-sungkan mengirim Syera ke rumah sakit. Bila perlu dioperasi saja, biar mensnya itu berhenti.“Curang,” desis Syera dengan tatapan membunuh.Erik bersedekap, mengikuti gaya pongah Syera tadi. “Ayo lah, lo masih punya dua poin untuk ngalahin poin ke enam puny—”“Tapi perjanjian awal jelas!! Kita-pisah-ranjang!” Syera menekan setiap kata, mengeja poin pertama yang ia tulis dengan raut frustasi.Santai. Erik mengedikan bahunya. “Well ... sebenarnya sofa jauh lebih menarik.” Pria itu meregangkan tubuhnya dengan kepala mendongak ke belakang. “Aah ... atau meja.” Dia terpejam, seolah membayangkan sebuah fantasi liarnya bersama Syera. Itu membuat wanita di depannya mual. Ingin muntah ke wajahnya. “Sarapan pagi diisi dengan se—”“Dalam mimpi!!” Syera menyela dengan napas menggebu.Erik segera menatap Syera lagi dengan tubuh yang menjorok ke depan, mendekati Syera. “Tapi di kamar mandi juga—”“Erik, please!” Kedua tangan wanita itu tertangkup di depan dada. Dia menggeleng penuh permohonan. Tapi raut monoton yang Erik tampilkan membuatnya menghela napas putus asa. “Oke! Gue hapus poin ke tiga. Lo hapus poin ke-enam.”“Perjanjian awal Syera.” Jemari Erik mengetuk kening wanita itu beberapa kali, dengan ketukan pelan. “Belum ada satu jam. Masa sudah lupa. Perlu diingatkan?”Tidak! Syera masih ingat dengan jelas, karena ia yang mencetuslan perjanjian itu.“Selama menulis peraturan pernikahan, dilarang ada yang protes dan meminta direvisi.”Dia pikir, mengatakan hal itu karena ingin Erik tak membatalkan poin ke lima yang ia tulis. Tapi sayangnya ia lupa jika Erik memiliki otak di selangkangan. Otak licik pria itu bisa mengacaukan semua rencananya.“Oke!!”Binaran di mata Syera lantas berpendar kala Erik membuka satu kata yang sebenarnya tak bermakna jelas. Tapi apapun itu, ia berharap Erik sudi menuruti inginnya.“Hapus poin ke lima. Dan gue hapus poin ke enam.”“Shit!”Tangan wanita itu terkepal kuat di atas meja. Menghapus poin ke lima, sama saja dengan menurunkan harga dirinya. Eh tidak. Tapi menjatuhkan harga dirinya ke dalam lubang pusara. Itu poin kemenangannya tadi.Sepasang mata bulat Syera masih menatap nyalang pada Erik yang terus saja tersenyum sok manis. Nyatanya memang manis. Hanya saja Syera enggan mengakuinya dan sampai kucing menggonggong pun ia tak akan pernah mau mengakui hal itu. Meski alis tebal yang pria itu miliki pernah membuatnya memilih Erik sebagai objek fantasi liar. Tapi dia tetap tak ingin mengaku jika senyum Erik begitu manis, apalagi dengan jakun yang sangat ingin lidahnya jil—Cukup Syera!!“Perawan, ya?”Erik menghancurkan semua perdebatan dalam kepalanya. “Diam!!”“Ssh!! Kira-kira apa yah bentuknya? Annular, septate, Cibriform, atau ... imperforate? Ooh kayaknya ini bukan.” Erik menggeleng dramatis. Sengaja memancing emosi Syera. Sepertinya sekarang posisinya ada di tingkat 10 lebih atas. Dia merasa di awang-awang karena merasa mengalahkan Syera.Tak bisa melawan. Syera terpejam dengan napas yang ia tarik dengan begitu berat. “Oke! Ngga ada yang dihapus!”Syera tak ingin dikatakan pecundang. Dia bukan pecundang. Erik yang mendengar keputusan Syera hanya menggeleng saja. Sungguh wanita di depannya ini memiliki harga diri yang begitu tinggi.“Yup! Jadi malam ini kita bisa—”“Gue mens, Rik.” Kirik! Ho ho ... Syera ingin tertawa dengan ejekan itu.Jentikan jari Erik memupus bahagia di hati Syera. “Nanti gue cek.”“Ya ampun! Serius. Gue—”“Ngga apa-apa Syera sayang. Biar gue cek yah, nanti?” Begitu lembut namun penuh intimidasi.Suera berdecak kesal. “Plis, kasih gue waktu.”“Oke satu minggu!”“Erik....”“Enam hari.”“Erik....!”“Lima har—”“Oke, satu minggu!!! BANGSAAAT!!”Tangan Syera menarik kertas yang berisi peraturan pernikahan. Dengan amarah ia membuat peraturan pada poin ke tujuh dan sembilan sekaligus, lalu membubuhi tanda tangan pada bagian bawah kertas, sebelum kemudian bangkit dan berjalan dengan hentakan kuat menuju ranjang.Kening Erik berkerut. “Sudah? Ngga baca poin dari—”“NGGA!!”Bibir bawah Erik mencebik sekali. “Oh oke.”Ia mengamati poin yang Syera tulis.Tujuh : Jangan jatuh cinta satu sama lain!!Sembilan : DILARANG MENJALIN HUBUNGAN DENGAN WANITA LAIN! (Buat bangsat ERIK!)Dua poin yang Erik setujui. Pria ini kemudian menulis dua poin sisa miliknya.Delapan : Pihak perempuan dilarang berhubungan dengan lelaki lain. (Untuk Syera yang akan dirobek hymennya)Sepuluh : Dilarang hamil.Erik ikut menandatangani kertas tersebut. Lalu tersenyum lega, setelah menyelesaikan peperangan sengit ini.Dia melirik istrinya yang sudah menguasai ranjang seorang diri. Baiklah! Merujuk pada poin pertama; pisah ranjang.Erik mengambil satu bantal yang tak digunakan, lalu membawanya ke satu sofa yang tersedia di kamar hotel yang mestinya ia gunakan untuk malam pertama.Ia terpejam setelah berbaring di sofa yang jelas tak membuatnya nyaman. Apalagi beberapa saat yang lalu ia memporsir tenaga untuk menyambut tamu. Sebenarnya dia butuh tempat istirahat yang tidak membuat tubuhnya semakin remuk.Tapi ... dia harus memenuhi poin pertama, bukan?
Part 2 : Awal Mula Di sudut ruangan, Syera menunduk frustasi, selepas menerima telepon dari keluarganya yang tinggal di Bandung. Jika panggilan dari orang tersayang hanya untuk menanyakan kabarnya. Dia akan menjawab dengan riang. Dia sehat. Sakit pun, dia akan mengaku sehat. Tapi jika hanya untuk ditanyakan kapan pulang dengan calon suami? Dia memilih pura-pura tuli seraya memikirkan topik peralihan. Itu kalau berhasil.“Jodoh lagi?”Meta, pemilik Syafa Gym tempatnya bekerja paruh waktu sekaligus teman dekatnya sebagai sesama instruktur senam ini datang dengan sebotol minuman dingin.Syera tak menjawab. Pandangannya sudah menjelaskan semua hal yang baru saja ia bicarakan dengan orangtuanya. Tangan wanita itu menerima minum dari Meta dan meneguknya hingga setengah.“Erik aja tuh diajak nikah.”“Uhuuk!!”Syera langsung memuncratkan sebagian air dari mulut dan hidungnya. Sedang Meta, tanpa rasa berdosa menepuk-nepuk bahu Syera.“Gue tau itu saran gila. Ngga usah dibilang.”Meta segera bersuara saat melihat bibir Syera yang terbuka, siap menyembur dirinya.“Sumpaaah!! Hani makin bohay, cuy!”Tiga orang pria masuk, berjalan mendekati mereka. “Kenapa malah mojok kalian?” Tama, suami Meta mendekat dan mengambil posisi duduk di samping istrinya. Ia merangkul wanita itu, lalu menaikan dagunya sekali, seakan bertanya ada apa dengan Syera yang kembali menunduk diam.“Biasa lah. Orangtuanya was-was anaknya jadi perawan tua.” Meta yang menyahut.“Hahaha!!” Dari loker, Rian mendekati Syera sambil terus menertawakan sesuatu yang jelas tak lucu.Sedang di loker satunya berdiri Erik yang menyimak sambil mengganti dengan baju kering.“Gimana kalau lo kawin ma gue aja?” Rian duduk bersila di hadapan Syera.Kepala pria itu ditempeleng oleh Meta sambil mengomeli pria itu. “Kawin kawin! Nikah!”“Kalau nikah, ayang ebeb gue gimana doong?”“Alah ayang ebeb! Barusan juga lo muji-muji si Hani murid lo itu. Gue laporin tau rasa!” sewot Meta yang begitu antusias meladeni Rian.Sementara yang lain cukup mejadi penikmat saja.“Huweeedeeeh!! Jangan gitu lah! Emang udah siap kehilangan adik ipar manis kayak gu—”“Gue juga ngga pernah sudi adik gue nikah sama playboy cap kadal kayak lo!”Mendengar itu Rian terkekeh saja, sambil mencolek betis Meta, kakak iparnya. “Yang marah, aduh lutuna!”“Berisik, ih,” desis Syera, lalu menenggelamkan wajah di antara lutut yang terlipat.Seolah peduli, Rian menepuk pelan kepala Syera. “Sabar sayang, sabar.”“Erik ke mana?” Tama membuka suara dengan kepala celingukan mencari Erik yang entah sejak kapan menghilang.“Tadi ngangkat telpon,” jelas Syera yang sempat melihat kepergian Erik.“Gue tau. Dia pasti ditelpon buat ketemu sama calon pilihan mama Vita.” Rian sok tahu.Jentikan Meta pertanda buruk bagi Syera. “Tuh kan! Kalian tuh sama-sama terdesak, Syer. Udaah!! Nikahin aja tuh Erik.”“Bodo!” Syera enggan mendengarkan, meski dalam hati mulai memperhitungkan saran Meta.“Iya. Kan biar kita jadi saudara beneran, Syer. Gue nikah sama Nia, jadi adik iparnya Meta. Meta nikah sama Tama, jadi sepupu iparnya Erik. Lo nikah ma Erik, jadi sodaraan sama Rika. Eeh ngomong-ngomong Rika kemana?”“Kencan. Ini malam minggu, adik ipar!” Meta yang menjawab pertanyaan Rian, lalu merangkul syera yang masih setia pada posisinya. “Udah, sayaaaang. Jangan dipikirin banget. Tua lo ntar.”“Emang udah tua!” Syera mengangkat wajahnya kesal. “Bapak gue patokannya abang-abang gue. Mereka nikah umur dua lima. Gue udah dua delapan tapi masih sendiri. Katanya ngga baik! Lebay tau, ngga?”“Namanya juga orangtua. Udaah. Ayo lah! Kita makan malam di luar, kan?”Rian berdiri terlebih dahulu. “Oh iya, ya? Gue jemput bini tercinta dulu.” Secepat kilat, Rian berlari pergi setelah menyambar tas dan kuncinya di loker.Meta dan Tama saling pandang kemudian menatap Syera yang masih terduduk lesu. “Ayo Syer, siap-siap.” Tatapannya berpindah pada Erik yang baru melenggang masuk mendekati. “Ngapain masuk? Jadi kan ke Queen? Laper nih!” Meta menarik tangan suaminya untuk berdiri.“Baru juga mau duduk istirahat,” protes Erik, kembali berbalik badan meninggalkan tiga temannya.*Langkah cepat yang berasal dari arah depan menarik perhatian tiga orang yang tengah menyantap sarapan pagi mereka.“Assalamualaikum, maa paa!!”Suara Syera melengking, menyebar ke segala penjuru. Erik yang di belakangnya hanya menggeleng memperhatikan tingkah bar-bar istrinya.“Loh!! Kok udah pulang aja?!”Vita, wanita yang selalu berkerudung panjang jika berada di luar rumah itu berdiri menyambut menantunya, kemudian ia dekap dalam pelukan.“Bosen ma di sana.” Syera beruntung bisa bersikap santai dengan keluarga Erik. Meski usia pernikahan baru satu hari satu malam. Tapi ia sudah mengenal kedua orangtua Erik dan adik pria itu sejak sepuluh tahun yang lalu, saat ia yang dari Bandung menyewa kos-kosan yang ada di samping rumah keluarga ini, sebelum kemudian pindah di usia 24 tahun. Selain itu juga, dia dan Rika—adik Erik—kuliah di universitas dan jurusan yang sama. Kebetulan yang membuat mereka dekat.“Eh katanya kalau bobol perawan jalan aja sakit. Kok lo bisa jejingkrakan?”Syera mendesis mendengar pertanyaan yang lebih menjurus pada pernyataan Rika itu. Namun tak lama suara pekikan Rika melengking karena Erik menjitak kepalanya dengan ekspresi santai.“Pa, abang aniaya!”“Kamu itu yang ngomongnya ngga bener.”“See?” Syera tersenyum menang. Rika yang merasa tak dibela, lantas melahap nasi gorengnya, rakus.Sarapan pagi itu dilalui dengan perbincangan ringan tanpa ada pembicaraan yang mengganggu Syera maupun Erik. “Orangtuamu kok buru-buru pulangnya. Tadi malam langsung pulang.” Vita beralih pembicaraan pada keluarga Syera yang semalam tampak terburu-buru untuk pulang ke Bandung.“Papa suka ngga betahan kalau tidur tempat orang, Ma. Terus kangen sama cucunya. Teh Maya kan ngelahirin dua bulan yang lalu. Jadinya gitu deh.” Syera mengedikan bahu.“Berapa cucu di rumah, Syera?” Kholis, ayah Erik bertanya.“Dari A’ Endra dua. A’ Ishak tiga.”“Waaah rame, ya?!” Vita bertepuk semangat. Wajahnya berbinar, dilemparkan pada Syera. “Kasih mama cucu juga, ya?”“Uhuk!!”Erik yang tersedak mendengar permintaan ibunya. Sedang Syera hanya meringis sambil membayangkan kengerian jika ia memiliki anak dari Erik. “Tunda bentar ya, Ma? Mau adaptasi dulu sama Erik.”“Ya ampun!! Adaptasi apa, sih? Udah kenal lama juga. Atau jangan-jangan sengaja ngga mau punya anak—Aw!” Rika melotot kesal pada Erik yang menendang kakinya.Erik berdehem sekali, lalu melihat ibunya. “Nanti ya, Ma? Kita usaha dulu. Kan punya anak ngga kayak cetak foto. Sekali jepret, cetak, jadi.”Vita lantas berdecak, tak mau menanggapi jawaban putranya.“Nanti dari aku aja ma, cucunya!”Tak!!
Tak!!Dan jitakan yang tak pelan diterima oleh Rika dari Erik dan ayahnya yang duduk mengapit dirinya.*Syera melipir, mendekati Erik yang fokus di depan layar laptop pria itu. Dengan pelan, ia duduk di samping suaminya, sambil melirik apa yang pria itu kerjakan. “Besok ke mana?”“Kerja.” Jawaban itu meluncur begitu saja tanpa berpikir bahkan hanya satu detik. Membuat Syera makin kesal saja.“Gue cuti satu minggu. Masa lo kerja?”“Sibuk!”“Ya Allah! Kan kata mama juga kita mesti bulan—”“Pergi sana sendiri.”Sepasang mata Syera langsung menyipit tajam. Andai posisinya sekarang sebagai wanita protagonis dalam sebuan novel yang menyajikan 80% kepahitan, 15% bahagia, dan 5% entah kabur ke mana. Sekarang semua pasti akan mengecam Erik, membela dia sebagai pihak teraniaya, dan semua akan menggerakkan ibu jari demi satu komentar : 'Dasar Erik bangsat. Biadab. Jahaaat. Syera sabar, yaah! Atau tinggalin aja yang begitu bentuknya'Tapi sayangnya ia berada pada posisi 180° berbeda jauh dari tokoh protagonis di novel yang biasa ia baca. Semua yang tahu apa yang ia dapatkan kini mungkin malah menertawakannya, dan mengatakan rasakan!!Ya ampun. Bolehkah ia meminta kisah hidupnya berganti genre dengan hastag hurt, sad, teraniaya.“Pergi Syer. Napas lo ganggu konsentrasi.”Oohh!! Syera memijat keningnya, mengurut dadanya, menggosok perut ratanya. “Amit-amit. Moga anakku ngga begini bentuknya.”“Siapa yang sudi nitipin anak ke perut lo?”Rupanya Erik melirik aktivitasnya.“Ada lah! Tapi yang jelas bukan lo.”“Syukur lah kalau lo sadar. Gue ngga mungkin biarin darah daging gue tumbuh di perut lo.” Pria ini menatap Syera dengan kening bertaut. “Ya ampun!! Kalau sampai itu kejadian, lo pasti ngga akan diakui sebagai ibu.”Syera langsung berdiri, berkacak pinggang. “Pokoknya gue mau bulan madu.” Dia mengibaskan tangan, enggan peduli pada ucapan menohom Erik. “Seenggaknya, gue ngelepas keperawanan gue di tempat yang mengesankan.”“Sofa mengesankan.”“Ngga semengesankan sofa di Wina.”“Sofa apartemen gue lebih panas.”“Oh, Rik. Sofa di tempat lo pernya udah pada lepas.”“Gue ngga semiskin itu, Syer. Sudah gue ganti lama. Lo mesti coba.”“Tetep, sofa di Hilton Vienna jauh lebih pas untuk moment bersejarah di hidup gu—”“Beruntung lo ngga gue perawanin di dapur, Syer. Ngga usah muluk-muluk.”Syera menganga dengan tampang tak percaya. “Ya ampun, gue tau alasan kenapa tunangan lo seling—”Syera salah berucap. Wanita itu mengatupkan rahangnya saat melihat lirikan tajam Erik. “Oke Mr. Galawers.” Dia mencebik. “Bali deh. Plis jangan di Jakarta.”“Besok gue ke kantor sebentar. Lo siap-siap.”Wanita itu langsung melonjak bahagia. “Yeeess!! Bal—”“Bandung. Mau lihat bayinya teh Maya.”“Doa aja besok lo bangun, posisi mulut lo ngga pindah di selangkangan.”“Makasih untuk peringatannya.”“Sama-sama!!” Syera mengentakan kaki melangkah ke arah pintu. “Oh dewa ... kutukan apa sampai bisa nikah sama diaa!!”“Tutup pintunya kalau keluar. Oh dan satu lagi. Lo yang ngajakin nikah.”“Makasih udah diingetin!!” Syera menutup pintu berusaha tanpa membantingnya.“Sama-sama, Syera.” Bahkan Erik sempat menjawab.*Satu minggu ia memikirkan segala cara untuk mendapatkan calon suami yang bisa dibawa pulang ke Bandung, hanya agar hidupnya tak berakhir pada perjodohan yang sudah direncanakan oleh sang ayah.Tapi sayangnya tak ada cara yang berhasil, bahkan dengan merayu secara blak-blakan salah seorang pria tampan yang menjadi anggota Syafa Gym.Ingin hati sih menghubungi mantan terindah. Tapi sudah tiga tahun berpisah. Dan lagi, pertemuan beberapa saat yang lalu di salah satu pusat pembelanjaan, ia melihat mantannya itu menggandeng wanita lain.Akhirnya karena begitu putus asa, Syera rela meratakan harga diri dengan tanah, karena mendatangi Erik untuk menawarkan sebuah pernikahan.Apa respon yang ia dapatkan kemudian?“Barbell mana yang nimpa kepala lo, Syer?”Syera duduk bersimpuh di hadapan Erik yang tengah mengistirahatkan diri selepas membuang tenaga di Biceps Curl. “Rik. Lo butuh istri. Gue tau.”“Terus?” Erik menanggapi dengan santai.“Gue juga butuh suami.”“So?”“So so sono mati lo! Ngga ngerti amat, sih? Posisi kita tuh sekarang sama, Rik.”“Beda!” Raut tak suka Erik ciptakan.Tapi Syera berdecak, dan menggeleng tak setuju. ”Sama.”“Beda! Gaji gue lebih gede dari gaji lo!”Rasanya Syera ingin melempar barbel ke kepala Erik sekarang. Ya ampun!! Siapapun itu. Tahan dirinya untuk tak membunuh Erik sekarang.“Gue ngga ngomongin itu.”“Heem. Jumlah mantan kita juga beda.”“Erik!”“Mantan gue ngga bisa dihitung dengan jari. Mantan lo cuma empat, dan yang kacamataan itu rasanya ngga tega untuk dihitung sebagai mantan lo.” Erik diam, meneliti wajah kesal Syera. “Kecuali si cupu berjerawat itu tetap kamu anggap sebagai mantan.”“Fine!! Terserah sama lo!” Syera berdiri. Dia menyesal sudah menjatuhkan harga dirinya di hadapan Erik. “Dan yah!! Shaka itu mantan gue dan sekarang dia jauh lebih ganteng dari lo.” Dia berbalik, dan bersumpah tak akan kembali meminta kepada Erik. Sumpah sampai mati.“Oke.”Tapi dia berhenti karena satu kata yang memiliki segala arti itu. Tapi apapun itu, semoga lanjutan dari kata oke, bukan : oke. Berarti mantan lo empat.Dia akan membunuh Erik. Benar-benar membunuh Erik.“Kapan kita kencan?”Pria itu sudah berdiri tegap di hadapan Syera yang melotot tak percaya. Erik merespon dengan baik keinginannya. Ya ampun. Syera nyaris menggigit puting Erik yang menonjol di balik kaos tipis pria itu, sangking tak percayanya.“Ngga mungkin, langsung ngelamar, kan? Seenggaknya kita kencan—”“Untuk membicarakan rencana selanjutnya! Siip!! Gue ngga pernah sesayang ini sama lo, Rik!!” Syera berjinjit, untuk mengecup pipi Erik, lalu berlari cepat dengan teriakkan girang.Sedang Erik di tempatnya mengusap pipi yang baru Syera kecup. “Gue butuh sabun anti bakteri.”
Part 3 : Gara-Gara Liliput Pernikahan itu sudah berjalan selama satu bulan. Berjalan macet seperti jalanan di kota Jakarta, khususnya saat akan liburan menjelang hari raya.Tapi semacet apapun itu, tetap saja sampai di tujuan. Artinya. Tetap akan berujung pada perdamaian. Hebatnya, perdamaian yang terjadi beberapa hari yang lalu dimulai oleh Syera. Sudah melewati lebih dari selusin perseteruan. Perseteruan terakhir dihentikan oleh Syera, mengingat Erik menerima gaji pada esok harinya.Sampai saat ini belum ada lagi perseteruan di rumah minimalis yang Erik beli secara kredit, satu bulan sebelum menikah. Pria itu sedang berada di luar kota karena sebuah pekerjaan, dan sudah tentu tak ada Erik, artinya tak akan ada keributan.Syera yang ditinggalkan merasa begitu bebas. Bebas dari wajah Erik yang memuakkan dan beresiko meningkatkan tekanan darah tinggi. Perginya pria itu, mengurangi jatah cekcok yang biasanya berjalan rutin, seperti jadwal minum obat.Selain bahagia Erik pergi, ada hal yang sangat Syera syukuri dari pernikahan ini. Yaitu Erik yang selalu gagal menidurinya.Tiga hari setelah menikah, mereka berkunjung ke Bandung. Niatan untuk 'membobol perawan' jelas tak bisa dilakukan di sana, saat keluarga sedang sibuk dengan urusan selametan anak kakaknya.Sepulangnya dari Bandung, Erik dan Syera disibukkan oleh pekerjaan yang menumpuk karena cuti. Saat ada kesempatan di hari libur, Syera mendapatkan tamu bulanannya. Hal yang membuat Syera melonjak bahagia, dan Erik mengumpat tak henti-hentinya. Lalu setelahnya, kesibukan Erik ke luar kota lah yang membuat pria itu tak bisa melakukan hajatnya.Setelah memberesi rumah sederhananya, dengan perasaan lega, Syera menghempaskan tubuh di atas ranjang queensize-nya. Lamat-lamat mata wanita itu kian menutup. Namun kembali terbuka kala dering ponsel memecah rasa kantuknya.Dia memberengut melihat panggilan dari Meta yang memintanya untuk datang ke Syafa Gym menggantikan Erik sebagai trainer fitnes salah satu anggota yang biasa dilatih oleh suaminya itu.Syera dan Erik memang merupakan Trainer khusus di Syafa gym yang dibangun oleh Meta sahabat mereka.Persahabatan itu terjadi karena Meta sahabat Erik, memiliki keinginan untuk menurunkan berat badannya yang tujuh tahun lalu mencapai 100 kg dengan tinggi 160 cm. Obesitas. Dan Meta tak tahan dengan hal itu.Erik yang memang rajin menjaga tubuhnya dengan fitnes, memberi usul agar Meta melakukan diet. Pria ini juga mengajak Rika adiknya yang saat itu memiliki tubuh yang tak jauh beda dari Meta. Merasa butuh teman, Rika mengajak Syera sahabatnya. Dan semua berlanjut hingga sekarang.Meta membangun Syafa Gym dengan harapan agar semua orang peduli akan pentingnya tubuh bugar.“Lili ya, Met? Sumpah, ih. Males gue. Tuh orang juga kan dah langsing. Ngga butuh trainer lagi.”“Iya, sih. Tapi ini minggu terakhir kok dia pakai jasa trainer. Minggu besok udah ngga lagi.”Syera berdecih. “Emang lo udah bilang ke orangnya kalau gue yang bakal gantiin Erik?”“Belum sih, Syer.”“Naah!! Dia bakal ngga suka kalau begitu. Dia maunya, kalau ngga Erik, ya Rian!”“Kan Nia lagi demam, Syer. Jadi ngga bisa.”“Laki lo?”“Belum pulang.”Syera terkekeh mendengar jawaban datar Meta. Bisa ia bayangkan bagaimana wajah bosan Meta saat mengatakan suaminya belum pulang bekerja. Tama itu memang workaholic. Karenanya tak bisa menjadi trainer khusus di Syafa Gym.“Ya udah gue berangkat. Tapi kalau si liliput itu marah bukan urusan gue, ya?!”“Iya! Ngga akan marah. Lagian apa bedanya lo sama Erik?”“Beda!! Pantat gue ngga bisa bikin dia ngences. Beda kan sama pantat sekal Erik!”“Eciyeew yang udah tau kesekalannya!”Syera sontak tertawa. “Ngga usah mikir aneh-aneh. Udah gue berangkat!”“Okeee cintaa!!”*Wajah wanita dengan kulit lengan kendur itu memerah bukan karena lelah, setelah menuruti apa yang Syera perintahkan. Sejak satu jam yang lalu dia juga tak bergerak dengan semangat, alias sengaja malas-malasan, untuk menunjukkan jika ia tak memiliki minat kuat untuk mengikuti fitnes kali ini.Dia merah lantaran kesal dan malu. Syera begitu sok berkuasa menurutnya. Sudah asal menggantikan Erik, juga Rian. Sekarang Syera malah marah-marah padanya.Benar. Syera marah-marah bukan hanya karena sikap Lili yang seenaknya. Tapi juga karena Lili tak serius saat mengayunkan barbel ke atas dan ke bawah. Genggaman lemah wanita itu nyaris membahayakan Syera yang sedang membenahi tali sepatu di dekat Lili.Untung Tama yang entah datang dari mana langsung mendorong Syera seperti seorang pahlawan dengan kekuatan kilatnya. Andai Tama datang terlambat satu detik saja. Mungkin sekarang wanita yang baru menikah dan belum melepas segel keperawanannya itu sudah berada di salah satu ruang di rumah sakit.Entah itu ruang IGD, ruang ICU, ruang perawatan, atau yang terburuk adalah ruang mayat.Mengurut keningnya, Syera mengibaskan tangan tanda menyerah. Ia tak ingin berhadapan dengan Lili, sebelum emosi menguasai dirinya dan berujung pada kepalan tangan yang mendarat manis di pipi Lili yang sudah tak chuby.Dia tak peduli, bahkan jika Lili merupakan salah satu anak atasan Erik yang sengaja dititipkan di sini untuk Erik bimbing, dan orangtua wanita itu juga telah menyumbangkan beberapa alat fitnes setelah Lili berhasil turun 10 kg dalam waktu dua bulan.Dia tak peduli akan hal itu, karena jika ia peduli, dengan tetap berdiri di hadapan Lili. Maka mungkin sekarang dia akan berakhir di kantor polisi.Seperti kejadian dua bulan yang lalu saat ia meninju salah seorang anggota wanita yang berani mengatainya genit.Ini semua karena Erik.Pria sok tampan dengan sikap sok manly itu membuatnya tampil bak mini peri yang dengan jahatnya merenggut dan merubah status hak milik publik yang tersemat pada diri Erik, menjadi status hak milik Syera seorang setelah mereka bertunangan.Dia tak suka ada yang mengatainya ganjen, genit, murahan, atau sejenisnya. Lebih baik dikatakan galak, daripada diejek dengan sesuatu yang menjorok pada perendahan harga diri.“Sok cantik.”Bahkan dia juga tak peduli pada ejekan itu. Dia tak perlu marah karena nyatanya dia memang cantik.“Sabar, Li.”Di belakangnya, beberapa anggota Syafa Gyn yang tak menyukainya terdengar mendukung Lili. Sedangkan Meta dan beberapa temannya tak bisa berbuat banyak, selain mencoba menenangkan Syera.“Mas Erik pasti diguna-gunain sama tuh cewek. Kegatelan!”Oh waw!!Syera berhenti dengan tangan terkepal. Telinganya masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Liliput sialan!Ya ampun!! Mengapa masih saja ada yang mengatainya dengan kata-kata laknat seperti itu, setelah dua bulan yang lalu dia berhasil membuat salah seorang anggota masuk rumah sakit dan terpaksa dioperasi lantaran hidungnya patah cukup parah.“Syera abaikan.”Meta menghalangi. Dia berjanji akan mengembalikan semua yang orangtua Lili beri, bahkan mengeluarkan beberapa anggota Syafa Gym yang tak menyukai Syera dengan senang hati, daripada melihat temannya ini kembali merasakan nikmatnya tidur di bui, meski itu hanya tiga hari.“Jaga Poci kalau gue mesti nginep di tempat kerja Pak Hendra.” Itu nama salah seorang polisi yang menangani kasusnya dua bulan yang lalu, dan beberapa kejadian yang sering terjadi jauh sebelum dua bulan yang lalu.Sedangkan Poci adalah nama anjing cihuahuanya yang terpaksa tinggal di luar rumah, karena Erik melarang binatang itu ada di dalam rumah. Najis katanya. Dan Erik akan kesusahan jika sudah tersentuh liur anjing lucu itu.Decakan Syera terdengar bukan karena mengingat Poci yang lupa ia beri makan sebelum pergi. Tapi lebih pada emosinya yang tak bisa terkontrol lagi. Dia meminta maaf dalam hati, karena tak bisa menuruti ucapan Meta untuk bersabar.Belum siap Meta menghentikan. Tapi Syera sudah meluncur cepat, kembali ke belakang untuk meletakan buku-buku jarinya ke dagu dan pipi Lili.Setelahnya, ia mendesah sambil mengibaskan tangan, santai.Mestinya semua yang tahu bagaimana dirinya, tak bermain-main dengan emosi yang ia miliki.“Lo bakal masuk penjara!!”Lili berteriak di tengah isakannya, dan Syera hanya meringis miris. Sepengetahuannya, dagu lancip wanita itu baru saja didapat dari sebuah meja operasi tiga bulan yang lalu.Sekarang Syera sudah menghancurkannya.Kasian.*Erik pulang.Masalah yang diciptakan Syera tak sampai ke telinga orangtuanya, dan Erika tak cukup membantu untuk mengeluarkan Syera.Pria itu memijit kepalanya pusing di hadapan Pak Hendra yang membacakan catatan hitam yang sudah dilakukan Syera, sejak wanita itu berada di Jakarta beberapa tahun yang laluSebelumnya, setiap ada masalah maka kakak Syera lah yang akan datang. Tapi mulai dua bulan yang lalu ia menjadi wali Syera sampai hubungan pernikahan mereka terputus. Tapi tak tahu kapan. Tak ada obrolan perihal itu.Tapi rasanya Erik ingin memutuskannya segera.“Saya minta maaf. Sangat-sangat minta maaf.” Erik menunduk dalam di hadapan Pak Hendra, Lili, dan Yansha ayah Lili dan merupakan atasannya di kantor.Syera yang melihat hal itu mendengus tak suka. “Ngapain lo minta maaf? Lo ngga salah.”Erik melirik istrinya. Dia menghela napas sabar. Sungguh tak menyangka usia Syera tak cukup untuk membuat wanita itu bersikap dewasa. “Kamu juga minta maaf.”Sepasang alis Syera menukik, tanda ia tak setuju. “Ngga akan.” Erik tahu jika Syera akan membangkang. Dan sebagai seorang suami, ia tak akan kalah.“Minta maaf. Dan terima kasih karena mereka memilih untuk berdamai. Lakukan sekarang.” Erik merasa seperti tengah berucap pada seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki tingkat kelabilan di atas rata-rata.“Nggak akan.” Syera bersedekap, dan tanpa ragu ia melirik tajam pada Lili yang bersembunyi di balik lengan ayahnya.“Syera.”“Ngga.” Dia menggeleng.“Minta maaf.”Udara keluar dari mulut Syera yang terbuka. Dia memandang pak Hendra dan mengangsurkan kedua tangannya. “Saya melakukan pelanggaran karena sudah memukul seseorang. Silakan penjarakan saya.” Dia memandang Erik dengan tatapan kesal. “Tapi saya tidak merasa menyesal sudah melakukan pelanggaran itu.”Erik merasa tengah dipermalukan bukan hanya sebagai seorang bawahan di hadapan atasan, tapi juga sebagai suami yang seolah tak memiliki nyali di hadapan istri. “Kalau begitu penjarakan saja, Pak.” Dia melihat Yansha sekali lagi. “Maaf. Syarat yang Anda ajukan, tidak bisa Syera penuhi. Dia tidaj mau meminta maaf. Jadi ... silakan lanjutkan perkara ini.” Erik menatap Syera lagi, dengan tatapan merajam. Tapi dia tak berucap apapun, bahkan saat kakinya beranjak pergi.Syera bergeming di tempatnya, sambil terus menatap sosok Erik yang semakin menjauh. Pria itu pergi tanpa berniat mendengarkan penjelasannya. Pria itu pergi, bahkan sebelum membela dirinya.Jika ia tahu menikah dengan Erik akan menjadi seburuk ini. Dia pasti tak akan mengusulkan ide menikah.Ini salahnya. Dia sendiri yang menjebak diri dalam pusaran Erik.Syera memandang Lili jengah, pun dengan ayah wanita itu. Tapi kemudian ia merendahkan kepala beserta tiga kata yang sudah begitu dinantikan Lili, Yansha, bahkan pak Hendra yang sesungguhnya tak tega jika harus kembali memasukkan Syera ke balik jeruji besi. Wanita itu mengingatkan dirinya akan sang putri. “Saya minta maaf.”Dia sudah merendahkan harga dirinya sekali. Dan mungkin ini akan menjadi awal di mana ia harus terus merendahkan dirinya di hadapan para wanita yang selalu Erik anggap lebih benar dibandingkan dirinya si biang masalah.
Part 4 : Perubahan Peraturan Syera lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya adalah laki-laki yang hobi berkelahi, sama sepertinya. Sedikit-sedikit adu otot.Ayahnya yang merupakan pensiunan TNI bahkan secara langsung mengajari anaknya cara untuk melindungi diri dari musuh—teman yang nakal.Pulang dalam keadaan menangis, akan semakin mendapatkan hukuman. Tapi pulang dengan wajah penuh lebam asal tak menangis, akan diberi senyuman.Begitu juga Syera tumbuh. Ibunya hanya mengajari ia sedikit tentang dunia wanita. Sisa pengetahuan hidup ia dapat dari kakak dan ayahnya.Dia dimanja sebagai anak perempuan. Tapi tak serta merta masa kecilnya habis dalam buaian kelembutan.Jika dia dan dua saudaranya melakukan kesalahan, maka ayahnya tak berat sebelah dalam memberi hukuman. Jika dua kakaknya harus berdiri dari siang, hingga sore di tengah halaman karena membuat kesalahan. Maka ia juga melakukan hal yang sama.Ibunya tak banyak membantu saat dia dan dua kakaknya melakukan kesalahan. Bukan karena takut oleh sang suami, melainkan juga lelah menghadapi kenakalan putra putrinya. Tapi setidaknya, jika anaknya mendapatkan hukuman dijemur di siang hari, maka dua jam kemudian ibunya akan datang dengan payung dan sepiring nasi dan lauk.Nanti jika ibunya sudah ikut berdiri menemani. Sang ayah akan luluh dan membebaskan mereka dari hukuman. Tapi sebagai gantinya, tentu saja mereka harus merapikan rumah, menggantikan tugas ibu.Begitu cara ia dididik.Mengalah ketika harga dirinya dijatuhkan jelas melanggar peraturan yang sudah ditanamkan di dalam dirinya sedari kecil. Ego Syera sudah dididik sedari kecil.Tapi karena Erik. Pria yang baru satu bulan menikahinya, ia harus menjatuhkan diri dan memita maaf atas kesalahan yang tak ia lakukan.Sebenarnya dia tak ingin meminta maaf. Tapi menetap di penjara, di saat ia harus bekerja esok harinya jelas bukan keputusan yang baik.Tadi itu bisa saja ia menghubungi kakaknya untuk datang ke sini dan membebaskannya. Tapi dia sudah menikah, dan membuat saudaranya marah akan kelakuan Erik yang enggan membebaskannya hanya akan memperkeruh suasana.Semua bisa mengendus ketidakberesan rumah tangganya dan sudah pasti Syera dipaksa bercerai dari Erik, kemudian dia harus mau dinikahkan dengan pilihan sang ayah.“Kalau dengan menyogok Syafa Gym bisa bikin mereka bersikap seenaknya sama trainer di sini, gue ngga akan segan-segan ngebalikin semuanya dan mencoret nama Lili dari keanggotaan.” Meta menggerung kesal dalam perjalanan pulang ke Syafa Gym.Ia dan suaminya menjemput Syera pukul sembilan malam, tak lama dari Syera menghubunginya. Wanita itu tadi sudah mengumpati Erik habis-habisan, lalu mengumpati Lili dan anggota wanita lainnya yang membuat suasana Syafa Gym jadi gerah.“Gue heran kenapa Erik bisa setolol itu!”Tama yang menyetir lantas berdehem. Dia berada di dua pihak. Pihak satu memaklumi sikap Syera yang melakukan kekerasan terhadap Lili. Pihak lainnya, tak bisa menyalahkan Erik karena pria itu terkesan tak membela Syera. Dia tahu jika Syera memang harus berhenti bersikap kasar kepada siapapun yang mengganggu wanita itu.Erik sangat ingin membuat Syera bersikap dewasa, sesuai dengan usianya. Sayang itu tak mudah untuk dilakukan. Syera dan sikap main hakimnya sendiri itu sudah bersahabat sedari bayi.Syera tampak mengurut puncak hidungnya. “Gue nginep rumah lo, ya? Tidur di sofa ngga apa-apa.” Syera mendramatisir keadaan. Yang mendengar hanya mendengkus saja.Syera menempati kamar tamu yang sudah beberapa kali ia tiduri setiap kali menginap di rumah Meta. Dia beristirahat dari penyesalan yang menghujam diri. Penyesalan karena sudah mengucapkan kata maaf terhadap orang yang jelas bersalah padanya.Dia mengusap wajah kasar. Menendangi udara yang tak bersalah, menarik sprei merah yang tak mengerti apa-apa.Dia ingin sekali memaki. Tapi sayangnya yang dimaki tak sedang di sini dan dia juga tak memiliki keinginan untuk menemui. Sepertinya menghindar lebih baik, daripada malah kembali berdebat.Setidaknya dia harus tenang dari semua kekacauan rumah tangga yang makin memperkeruh suasana hati.Syera mendesah merana.Klek!“Ayo pulang.”Baru akan memejamkan mata. Pintu yang lupa ia kunci dibuka oleh sosok yang ingin ia caci, tapi tak ingin ia temui.“Shit....” desisnya penuh rasa kesal.Derap langkah Erik dirasa makin mendekat. Syera langsung memasang sikap siaga dengan duduk, sambil menatap nyalang suaminya.“Ngapain lo—”“Kita pulang dan selesaikan masalah di rumah.”Erik menekan emosi, dan berusaha memenangkan kesabarannya.Dia ingat pesan ibu mertuanya sebelum ia pulang ke Jakarta. Syera akan kembali membuat masalah, yang mungkin tak jauh berbeda dengan masalah yang terjadi dua bulan yang lalu setelah mereka bertunangan. Jadi setelah Erik menggantikan posisi kedua kakak Syera yang menjadi pelindung selama ini, maka pria itu harus bertanggung jawab atas apa yang Syera lakukan. Termasuk membuat wanita itu untuk jadi lebih dewasa.Apa yang Erik lakukan tadi memang jahat. Dia meninggalkan Syera begitu saja. Tapi membiarkan ego wanita itu tetap mengawang di atas jelas bukan keputusan yang benar. Dia tak akan bisa mewujudkan keinginan ibu mertuanya yang ingin sekali melihat Syera bersikap dewasa, jika dia membantu Syera tadi.Dia tahu jika Syera tak benar-benar bersalah. Dia tahu Lili yang memulai semuanya setelah mendengarkan rincian kronologi dari Erika adiknya.Tapi andai Syera bisa mengontrol emosi dengan tidak membuat Lili cedera. Semua pasti tak serumit ini.Demi Tuhan. Syera akan berusia tiga puluh tahun sebentar lagi. Tapi kelakuannya masih seperti Lili yang baru menginjak usia 19 tahun. Labil.“Ngga ada yang perlu diselesaikan. Lo minta gue minta maaf, kan? Sudah. Jadi selesai.” Syera menentang dengan tangan terlipat di depan dada.“Kalau begitu kita pulang.”“Silakan pulang sendiri.”Erik hanya memberikan ekspresi monoton atas penolakan Syera. Dia mendekat dan tanpa susah payah memanggul tubuh Syera di atas bahunya.“Erik!! Lepasin!” Syera meronta setelah diam kaget menerima perlakuan Erik.Tubuhnya yang berusaha menggeliat kasar langsung kaku saat dengan kejamnya Erik mengendurkan cengkraman hingga nyaris membuatnya jatuh.Tahu apa yang ia lakukan untuk membuat Syera diam berhasil. Erik tersenyum menang.“Kalau gue jatuh gimana tadi?” desis Syera.“Antara keseleo, luka, atau patah.” Erik menjawab dengan begitu santainya.“Turun—”“Ya ampun, Rik. Mesti banget diangkat begitu.”Meta yang berada di ruang tamu bersama Tama, setelah membukakan pintu untuk Erik mengurut keningnya. Sepertinya selain Nia dan Rian. Akan ada pasangan gila berikutnya di Syafa Gym. Jangan bilang sebentar lagi dia ikutan gila.Syera meronta sekali lagi saat mendengar suara lelah Meta. Kali ini Erik menurunkannya.“Gue balik ya Met. Satpam gue jemput.” Syera lantas melimbai santai, keluar rumah.Erik yang melihatnya hanya menggeleng lemah.“Kok lo bisa tau Syera ke sini?” Tama angkat bicara. Menanyakan hal yang tak akan Meta sadari.“Eh, oh iya. Kok bisa di sini?” Meta menimpali terkejut.Erik mengedikan bahu saja, lalu berpamitan pergi menyusul Syera yang sudah berdiri di samping mobilnya.Tadi sore saat ia baru saja pulang ke hotel, setelah mengerjakan pekerjaannya. Erika memberi kabar jika Syera dibawa ke kantor polisi karena membuat masalah lagi.Tanpa mengganti pakaian, ia langsung pergi begitu saja mengambil penerbangan tercepat menuju Jakarta.Dia khawatir jika Yansha akan bertindak seenaknya dengan tak memberi ampun pada Syera. Dia tahu sifat atasannya yang gila hormat itu.Jadi selama di perjalanan ia sudah menyiapkan diri untuk merendahkan ego demi Syera. Tapi sayang, yang ditolong tak mau ditolong.Entah apa yang ada di pikiran Syera sekarang. Mungkin menganggap dirinya pengecut? Terserahlah. Yang dia butuhkan sekarang hanya istirahat.Dia tak benar-benar pulang saat meninggalkan Syera di kantor polisi. Dia tadi menanti di luar, menunggu sampai kapan Syera mempertahankan egonya.Dua jam menunggu, Syera keluar setelah sebelumnya Yansha dan Lili keluar tak lama setelah Erik pergi. Belum ia menghampiri, mobil Tama terlihat dan tak perlu Erik bertanya mengapa Tama dan Meta ada di sana.Dia mengikuti ke mana mobil Tama membawa Syera. Dan tak perlu terkejut lagi jika Syera lebih memilih rumah pasangan itu daripada pulang ke rumahnya.Jadi begitulah ceritanya ia bisa duduk berdua dalam keadaan hening di dalam mobilnya.Tak ada yang membuka suara bahkan setelah tiba di rumah. Tapi tak mau memulai perdebatan di saat tubuh sedang lelah. Erik memilih pergi ke dapur untuk mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya yang kosong sedari siang.Tapi malang. Ia lupa jika memasak bukan bagian tanggung jawab Syera di rumah ini. Tadi terlalu terburu-buru sampai ia tak sempat membeli makanan meski tahu sedang lapar.Mendesah kesal. Dia beranjak ke kamar. Sepertinya membersihkan diri dulu jauh lebih baik.Erik melewati Syera yang duduk bersila di atas permadani di depan TV begitu saja. Syera yang sempat melengos ke arahnya lantas tercenung saat menyadari apa yang suaminya kenakan. Baju kerja.Wanita itu memeluk lutut dengan dagu bertumpu di atasnya. Erik pasti terburu-buru ke kantor polisi untuknya. Tapi siapa yang minta?“Sssst!” Syera mendesah kesal saat sebagian hati malah menyalahkan dirinya sendiri.“Syer, hujan.”Erik tiba-tiba muncul lagi dengan tubuh bawah terlilit handuk. Sisa tubuhnya dibiarkan terbuka begitu saja.Sok seksi. Tapi mata jalang Syera tetap mengaguminya.“Terus?”Syera melarikan pandangan ke layar tv yang entah menayangkan apa. Dia tak boleh terus melihat Erik, jika tak ingin dikatakan terpesona.“Aku lapar. Niatnya mau cari makan, tapi tiba-tiba hujan. Tolong masakin, ya?”Syera lantas melotot kesal pada pria yang memilih beraku kamu setelah pulang dari Bandung. Alasanya; agar terbiasa. Jika orangtuanya mendengar mereka masih berelo-gue, maka Erik lah yang akan kena damprat. “Ngga inget peraturan—”“Peraturan apa, sih? Jelas kamu juga sudah melanggar peraturan yang tertulis.”Sepasang alis Syera menukik tajam, tanda tak setuju. “Mana ada?!”Erik langsung berkacak pinggang, membuat Syera tanpa sadar meneguk ludahnya. Sial!!“Sampai sekarang kita bahkan belum melakukan hubungan suami istri. Kamu terus menghindar. Itu kalau bukan pelanggaran apa namanya?”“Menghindar? Jelas selama ini lo yang sibuk.”“Oo gitu? Oke! Malam ini aku ngga sibuk.” Erik menunjuk permadani yang Syera duduki. “Kita melakukannya di sini.”Dengan santai Erik berjalan ke arah dapur. “Aku pinjam telur kamu! Besok aku ganti.”Bodo!!Syera yang tercenung menyahut dalam hati.Persetan dengan telur yang akan dimasak oleh Erik. Dia segera berdiri dan berjalan cepat ke kamarnya. Mengunci pintu, lalu masuk ke dalam selimut setelah lampu ia matikan.Syera merapal dalam hati doa apapun yang bisa menyelamatkan dirinya dari Erik.“Syera kamu kabur?”Pertanyaan terdengar dari luar kamar. Syera makin terpejam erat.“Oke!! Kamu melanggar satu peraturan! Jadi—”“TERSERAH!! CORET AJA YANG NOMOR 3 SAMA ENAM!!”Sepertinya lebih baik memasak setiap hari untuk Erik, daripada harus melayani pria itu. Jangankan seminggu sekali. Sebulan sekali saja ia tak mau.Terdengar gelak tawa Erik yang begitu mencemooh.Sebenarnya Erik lebih tertarik nomor enam diganti dengan nomor lima. Tapi sepertinya nomor tiga juga tak buruk. Dia jadi tak perlu repot-repot berteman dengan dapur, jika sudah ada yang memasakannya makanan.“Deal!” Erik menjawab di tengah-tengah tawanya.Ya Tuhan. Panjangkan lah kesabaran Syera sebelum ada adegan berdarah di rumah tangganya.
Part 5 : Kami Serius Suara hentakan langkah cepat menghampiri Syera yang baru selesai mengenakan jaketnya. Belum ia berbalik untuk melihat siapa orang yang kurang kerjaan berlarian ke arahnya, sebuah tangan melingkari leher. “Sayang. Kita dinner, yuk?”Syera memutar bola matanya. “Males!! Kalau sama lo mah dinnernya mentok di emperan jalan.”“Bener!! Jangan mau.”Suara wanita menyahuti Syera. Dalam dekapan pria yang tak lain adalah Rian, Syera langsung berbalik menatap tak percaya Nia yang tersenyum cerah padanya. “Ya ampun, sayang, kok ke sini sih?” Syera menepis tangan Rian dan berjalan menghampiri Nia. Dia memeluk wanita berperut besar itu dari samping, kemudian mengecup singkat pipi gembil Nia. “Bahaya loh. Ini udah sembilan bulan, malah jalan-jalan.”“Abis bahaya kalau Rian dilepas gitu aja. Nyangkut ke majikan lain dia entar.”“Ya ampun, Istri! Emangnya suami kamu ini anjing peliharaan?!” Rian cemberut dan Syera mual mendengar sebutan Rian pada istrinya.“Kalian di sini?! Ayok cari makan! Keburu kemaleman.”Erika datang, dan Syera berucap syukur karena tak harus lebih lama lagi menghadapi kelebayan Rian.Kemudian satu persatu muncul, mulai membicarakan di mana tempat mereka akan makan malam bersama seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam minggu.“Badanku ngga enak, Syer.” Di sela-sela perbincangan para sahabatanya, Erik mencuri waktu untuk berbicara dengan Syera. Pria itu mengurut keningnya yang terasa pusing.Syera yang ikut tertawa atas obrolan sahabatnya, melirik ke arah Erik. “Salah siapa kemaren hujan-hujanan.”“Aku sakit, Syer. Bukannya malah disalahin.”“Ekheeem!! Diskusi sendiri-sendiri!!”Erika menginterupsi perbincangan Erik dan Syera. Membuat pasangan itu mendesis tak suka.Rian yang tertarik pada ucapan Erika langsung menarik Syera masuk ke dalam pelukannya. “Sayang! Meski ada istri pertama. Pliis jangan beraninya selingkuh!” Rian yang gila dan kurang ajar mencibir Erik. Tingkah pria tiga puluh tahun itu benar kekanakan. Erik yang melihatnya saja mual.Syera memberontak. Lalu menepuk pipi Rian. “Sumpah, Ni! Lo kok betah sih hidup sama cangcupret macem Rian?!”“Terpaksa!! Gue tau kalau adik gue pasti diguna-guna!” Meta segera menyahut dan sebagai rasa prihatinnya dia memeluk Nia yang hanya tersenyum geli, dari samping.“Ya ampun!! Kenapa lelaki baik kay—”“Ayo buruan!! Gue laper.”Erik memotong ucapan Rian begitu saja, sebelum menarik tangan Erika dan Syera untuk meninggalkan Rian yang mencak-mencak, karena Tama, dan Meta juga pergi mengikutsertakan Nia. “Kalian yang jahat! Bukan Rangga!!”*Entah mengapa setiap ada kesempatan, Syera dan Erik berbincang di tengah-tengah obrolan sahabat mereka. Yang menyadari keduanya berbicara menganggap jika topik obrolan Erik dan Syera pasti tak jauh-jauh dari obrolan mesra.Tapi yang mendengarnya pasti langsung mendengkus tak menyangka, karena nyatanya pasangan suami istri itu bukan saling bertukar kata mesra, melainkan bertukar emosi.“Terserah! Gue ngga nyuruh lo hujan-hujanan kemaren. Terus lembur setiap hari. Males ngerokin! Ngga mau mijitin juga. Gue bukan tukang pijit.”“Dada sesek, Syer. Amal buat laki kenapa, sih?!”“Lakinya model elu? Sori yah! Ga sudi.”“Pijitin bentar, pokoknya!”“Ogyaaah!! Iissh nazis tralala trilili.”“Penganten baru bisik-bisik aja dari tadi!! Mau makan apa? Ditanyain dari tadi juga!”Erika menyela obrolan Erik dan Syera, membuat kedua orang itu lantas menjauh, menjaga jarak. Mereka mengambil buku menu begitu saja, kemudian menyebutkan pesanan agar Erika catat.“Ngobrolin apa, sih? Rencana malam jumat entar mau pake gaya apa?” celetuk Rian yang kemudian mendapatkan jitakan Dari Meta.“Ini meja makan, woy!”“Tau! Ngga sopan!” Syera menimpali Meta.“Udah ih.” Nia yang paling normal—meski tak normal karena memilih Rian untuk menjadi suaminya—menghentikan perdebatan. Dia menatap Erik yang ada di sampingnya. “Bang, katanya Minggu mau ke Solo? Titip serabi Notosuman, yah??”Erik mengusap perut Nia. “Ngidam, ya? Insyaallah nanti dibeliin.”“Yang banyak.”Tisu melayang ke wajah Rian. “Banyak-banyak! Modal sendiri!”“Ya ampun, Syer. Kayak lo aja yang ngeluarin duit—”Syera langsung membalas cepat ucapan Rian yang belum diakhiri dengan tanda seru. “Eeh! Lo lupa apa pura-pura lupa? Gue bininya Erik! Isi dompet Erik itu punya gue! Catat bila perlu di jidat lo yang lebar!”Rian langsung memegang keningnya.“....biar inget kalau duit Erik bukan milik berjamaah! Inget!”Erika yang baru pergi mengantarkan kertas pesanan mereka ke pelayan, langsung berdesis, menyela omelan tak bermutu Syera. “Sumpah! Ini ruangan isinya suara kalian berdua!”“Biasa lah!”Tama menimpali dengan gelengan kepala.“Gue juga males ngebeliin lo, Yan.” Jawaban Erik membuat Syera selangkah lebih tinggi dari Rian yang bersungut-sungut tak suka, lalu mengadu manja pada istrinya. Menjijikan.“Nanti abis ini kumpul di rumah lo yok, Rik?” Tama mengganti topik pembicaraan.Syera bertepuk senang, tanda setuju dengan saran Tama. “Yees!! Kita main ToD yah?”“Tapi gue balik aja deh. Hamil gede gini mas—”“Nanti nginep aja, jadi kamu ngga usah pulang, Dek. Sekalian semuanya nginep. Yang cewek tidur di kamar Syera, yang cowok tidur di kamar gue.”“Oke—eeeh!” Meta dan Erika yang menjawab semangat lantas sama-sama terdiam dan melemparkan tatapan mencurigai ke arah Erik dan Syera.“Apa maksudnya dengan kamar Syera dan kamar Erik?”Rian membekap mulut tak percaya, kemudian mengimbuhi cepat kalimat Meta. “Jangan bilang kalian pisah ranjang?!”Syera dan Erik gelagapan. Keduanya lantas mengibaskan tangan, sambil tertawa tak jelas. “Ngga lah! Ngacok! Tidur kelonan lebih enak, kenapa mesti pisah ranjang?!” Syera menjawab, sebelum akhirnya meneguk air putih dengan kegelisahan yang berusaha ditutupi.“Terus kenapa ada kamar lo dan kamar bang Erik?” Erika menyipit makin curiga. Gelagat gugup Syera patut dipertanyakan.“Ya kan buat privasi.” Erik menjawab dengan intonasi tenang. Dia sudah lebih tenang dari istrinya memang. “Barang Syera banyak. Barang gue juga banyak. Jadi barang kita ada di kamar berbeda—”“Yup! Makanya ada kamar gue dan kamar Erik. Tapi soal tidur mah satu kamar. Ngga enak banget tidur sendiri-sendiri.”Semua masih memberi tatapan curiga namun tak separah beberapa saat yang lalu. Syera dan Erik bisa sedikit berbanas lega.“Sampai sekarang kami berharap pernikahan kalian ini serius.” Meta menarik napasnya berat. “Jujur, kami masih merasa kalau hubungan kalian ini terlalu cepat terjalin. Tapi kami tetap berpikir positif kalau kalian nikah bukan cuma karena demi status dan dikejar-kejar orangtua kalian. Ngga masalah kalau itu motivasinya. Tapi seenggaknya setelah menikah kalian punya rencana untuk merajutnya dengan baik sampai mati.”Syera dan Erik diam, seolah mati kutu di tempatnya.“Jadi semoga ini bukan pernikahan hitam di atas putih. Kalian berdua sahabat kami. Jadi semoga kalian ngga saling menyakiti. Kalau itu terjadi kita ngga tau mesti bela siapa dan nyalahin siapa.”Syera tersenyum, mencoba menenangkan Meta dan lainnya. “Ngga lah! Kami berdua serius.” Bohong! “Kami bahkan berencana buat punya anak. Masa ngga serius.” Ya ampun! ”Jadi ngga usah khawatir, yah? Kami serius, kok.” Pura-puranya.“Kami baik-baik saja. Udah. Yuk makan.” Erik membagikan piring untuk sahabatnya.
Part 6 : Dare Or Dare Rian menolak permainan Truth or Dare di saat sang istri ada di sampingnya. Kalem begitu, kalau marah lumayan membuat bulu kuduk berdiri. Kan bahaya kalau moncong botol menunjuk padanya. Bisa-bisa ia dimintai kejujuran oleh sang istri perihal ke mana isi dompet yang dijatah oleh Nia. Mengapa bisa raib hanya dalam waktu satu hari?Uangnya tidak habis untuk senang-senang dengan wanita lain. Tidak. Dia tidak setega itu pada istrinya yang tengah hamil tua. Tapi habis untuk mentraktir teman kantornya. Kemarin saat Nia bertanya, ia jawab untuk disedekahkan. Sekarang kalau disuruh untuk jujur bagaimana? Dia takut bohong sekali lagi, akan dihadiahi kutukan ibu hamil.Jadi dia mengubah permainan menjadi Dare or Dare. Beruntung tak ada yang keberatan. Karena sepertinya semua yang berkumpul di ruang tengah rumah Erik dan Syera ini juga takut kalau disuruh jujur.“Kita mulaai!”Erika memutar botol yang ada di tengah, dikelilingi oleh mereka. Rian langsung tersenyum senang kala moncong botol berhenti tepat di hadapannya. Senang bukan karena akan dikerjai oleh teman-temannya. Bagian itu jelas menyesakkan. Dia senang karena tak ada truth di antara mereka.Nia melirik Syera yang mendapat bagian pantat botol. Jadi dia yang akan memberi tantangan, tentunya kompromi dengan orang di sekitarnya, kecuali Nia yang tak ingin ikut mengerjai suaminya. Takut durhaka. Andai saja truth tak Rian hapus begitu saja. Dia pasti sudah meminta Syera untuk bertanya perihal uang Rian yang dia jatahkan dari gaji suaminya itu.Di tempatnya Rian duduk santai, meski dadanya berdebar. Semua temannya tahu apa kelemahan yang ia miliki. Dan dia berdoa dengan wajah pura-pura tenang, semoga para temannya amnesia mendadak. Jadi dengan begitu tak akan ada tantangan untuk menangkap cicak atau kecoa.“Oke!! Bentar, yah?”Tama berdiri dari tempatnya setelah berdiskusi. Sedang yang lain langsung memberikan cengiran licik pada Rian. Perasaan pria itu tak enak. Nia yang tahu apa rencana temannya hanya bisa mengelus bahu sang suami. “Sabar. Ini ujian,” ucap wanita itu yang sama sekali tak menenangkan.“Oke!” Tama kembali. Ia duduk bersila di samping istrinya dan tersenyum lebar pada Rian. Senyumannya seperti boneka Annabelle. Menyeramkan. “Siniin tangan lo.”Rian terbelalak takut. Ia memandang istrinya mencari pertolongan. Tapi Nia malah bergeser, menjauh.“Yan!”Syera mengagetkan. Belum dapat tantangan saja dia sudah merinding duluan. Aduh tidak lucu kalau dia harus kencing di celana gara-gara dikerjai begini.“Ka ... kalian jangan macem-macem, deh!! Ngapain gu—”“Yan!! Profesional!!” Erik yang ada di sampingnya langsung menyerobot tangan Rian dan dengan berusaha keras menjulurkan tangan pria itu ke depan. Ada adu tarik menarik sebelum akhirnya Erika sang adik membantu agar bisa mengangsurkan tangan Rian ke depan.“Sumpah demi mak gue yang belum mau anaknya mati—”Buk!“Sayang kok ngomog gitu, sih?!”Nia malah memukulnya dan mengajukan protes. Punya istri kok seneng suaminya disiksa!!“Itu cicak kan, Yang? Kamu kok tega sih sama suami?”Siapapun yang mengidolakan ketampanan Rian. Jika melihat ekspresi pria itu saat ini, pasti semua yang mengidolakannya akan langsung memilih lupa dan jika ditanya; Rian itu siapa? Pasti akan menjawab. 'Nggak kenal'.Ekspresinya seperti banci bertemu satpol PP.Syera memutar bola mata jengah. Sama dengan yang lainnya. “Yang nentuin dare or dare kan elu tadi.” Wanita itu melirik Tama. “Ayo, Mas! Buruan! Keburu mati cica—”Rian menarik tangannya dan secepat kilat ia bersembunyi di belakang Nia. “Tod aja!! Sayang! Jujur nih, jujur! Uang yang kemaren abis buat nraktir temen, soalnya kalah taruhan!! Ya ampuun!!! Tolong jangan cicaak!!”Sontak yang lain tertawa bersamaan, bahkan sangking tak kuatnya, ada yang memukul lantai, sambil memegangi perut yang terkocok hebat. Mengerjai Rian memang paling gampang.“Mana cicaknya?”Aura dingin mencekam Rian kala Nia membuka suara. Mati sudah!!“Aku pingsan, Yang!”Dan dia langsung menjatuhkan tubuh ke belakang, dengan mulut menganga, dan mata terpejam. Tangannya terlentang kaku.Dia pura-pura pingsan. Tapi kalau sampai ada cicak di dekatnya, apalagi menyentuhnya. Sepertinya pingsan akan menjadi kenyataan.“Dasar penakut!!”Tama melempar benda di genggamannya pada Rian, membuat pria itu melompat cepat, berlari menuju salah satu kursi kayu di dekat mereka dan meringkuk di atasnya.Mukanya benar-benar seperti orang bodoh saat melihat gulungan kertas di atas lantai.Tahu begini dia tak perlu jujur tadi.*Entah keberuntungan apa yang sudah menimpa Erik dan Syera. Sudah sembilan putaran, moncong botol belum menunjuk ke salah satu dari mereka berdua. Sedangkan yang lainnya bahkan sudah ada yang mendapatkan tiga kali hukuman.Adalah Erika yang terus mendapatkan tantangan atau lebih enak disebut sebagai hukuman dari para seniornya. Hukuman paling tersialnya adalah menghubungi kekasihnya untuk meminta maaf karena sudah khilaf dengan mengkhianati pria itu.Itu adalah hukuman pada putaran ke tiga. Hukuman untuk meminta maaf. Sebenarnya dia tak berniat untuk berselingkuh. Dia hanya coba-coba saja mengikuti saran bodoh Syera beberapa hari yang lalu, yang menyarankan dirinya untuk sedikit bengkok, ketika mengatakan bosan pada hubungannya yang seperti diam di tempat dengan kekasih yang sudah dipacarinya selama tiga tahun. Itu pacaran atau kredit motor. Entah lah. Hanya Erika yang tahu.Lalu akhirnya, setelah hukuman ketiga ia dapatkan dari Erik yang selalu tahu apa yang dirinya alami termasuk kegundahan karena dimusuhi oleh kekasihnya. Erika pamit undur berhenti sejenak dari permainan, karena setelah meminta maaf, ternyata ia butuh waktu yang lebih lama untuk berbincang, melepas kerinduan, bahkan sambil menahan isakan karena tak tahan ingin berjumpa.“Oke!! Putaran ke sepuluh!! Udah ini selesai. Ngantuk.” Meta melirik Nia yang sudah tidur dengan berbantalkan paha Rian, lalu melirik syera dan Erik kesal. “Kalian doa apa, sih? Perasaan ngga kena-kena!” Sambil memutar botol. “Curang banget kalau mainnya begin—”“Yeeeesss!!!!”Rian berteriak, membangunkan Nia. Dia bahkan tak meminta maaf saat istrinya duduk lagi dengan raut kesal.“Kenapa?? Syera apa Bang Erik??!” Erika berteriak dari ruang tamu.Meta dan Tama berpelukan untuk menunjukkan rasa senangnya.Nia yang kesal langsung tersenyum lebar saat melihat kenyataan di depannya. Dia menatap Syera, lalu memeluk lengan suaminya. “Akhirnya bisa balas dendam juga!” Suara selembut Nia bahkan bisa mengeluarkan kalimat semenjengkelkan itu bagi telinga Syera.Sedang Erik yang duduk di samping istirnya hanya bisa tersenyum lega. Lega karena bukan dirinya yang kena.Erika berlari cepat dan mengambil tempat duduknya semula. Meta dan Tama sudah duduk tenang di tempatnya, begitu juga dengan Rian dan Nia.Syera melirik Erik. Memastikan ekspresi pria itu, apakah sebahagia ekspresi para temannya. Tapi tidak. Erik lebih tampak lega. Dia bahkan menepuk bahu Syera pelan. “Sabar. Ini ujian.” Karena ia tahu jika hukuman yang akan Syera dapatkan pasti mengerikan. Sekali lagi. Untung bukan dirinya.Syera bernapas putus asa. Dia menatap temannya, siap menerima pembalasan.Rian yang mengusap tangannya dengan tatapan penuh kobaran api semangat menjadi juri bicara. Pria itu terkekeh, lalu menunjuk Syera. “Lo....”Syera merasakan perasaan tak enak mulai mengecoh. Terlebih saat jari Rian berubah haluan ke arah Erik. Syera melirik suaminya kikuk.“Cium Erik.”“Buahahaaa!!”Tawa mereka serentak menggema. Pun dengan Erik yang ikutan tertawa, sebelum kemudian diam sambil memutar ulang tantangan dari Rian.Pria itu menatap satu persatu temannya yang mulai menenangkan diri sambil menggaruk dagunya yang tak gatal. “Yang ... yang kena siapa, sih?” Dia menatap botol yang masih berada di tengah. Kemudian melirik Syera yang menatapnya kesal. “Kamu, kan? Kenapa aku yang kena?” Dia melirik Rian. “Lo ngantuk ya, Yan?”Rian hanya menggedikan bahu. Dia menatap Syera yang masih terus memandang Erik. Di otak wanita itu sudah berisi rangkaian cara agar terhindar dari bibir Erik. Dia tak mau dicium oleh pria itu. Tak sadar ia mendengkus. Jangankan mencium Erik. Digandeng lebih lima menit saja rasanya tangan sudah gatal-gatal. Apalagi kalau dicium. Sariawan nanti. Bisa bahaya.“Ayo Syer!” Meta mencolek bahu Syera.“Buruan kakak ipar! Buktikan kalau ciuman kalian ngga kalah hot dari Nia dan sontoloyo Rian!” Erika mengimbuhi.“Ngga perlu diajari kan, Syer?” Tama membuka suara sambil mengecup sudut bibir istrinyaSyera geram. Lebih geram lagi karena Erik tampaknya tak ingin membantah ucapan temannya yang lain. Terlihat sekali jika pria itu menginginkan dirinya. “Gue nggak kayak kalian yang kalau ciuman di depan mas—”“Lo bahkan nunjukin foto Shaka nyium elo, Syer. Jadi plis ga usah beralasan.” Erika mencondongkan tubuhnya, menatap Syera penuh curiga. “Atau ... memang bener ada apa-apanya di anta—”Syera mendorong kuat kepala Rika ke belakang, lalu menarik kerah kaos Erik dan dengan cepat ia mendaratkan bibir ke bibir Erik yang cenderung tipis untuk ukuran pria.“Satu menit!!”Terdengar Rian mengucapkan syarat tantangan Syera. Wanita itu ingin menggeram. Tapi takut nanti disangka tengah bernafsu.Erika yang melihat aksi bibir menempel di depannya langsung bersemu merah. “Ish!! Bikin iri aja!” Dia berdiri dan memilih pergi melanjutkan obrolannya dengan sang kekasih, sebelum iri meraja, dan memaksa untuk pergi ke apartemen kekasihnya sekarang juga. Tapi itu tidak mungkin. Bisa dirajam Erik kalau tahu hal itu.Tama dan Meta masih memperhatikan Syera yang belum mau menggerakkan bibirnya. Yah ... sekadar berciuman. Dia dan suaminya sering melakukan hal itu di hadapan temannya. Dan itu bukan hal yang memalukan. Tapi yang ia lihat dari Syera saat ini jelas bukan sebuah ciuman, melainkan keterpaksaan. Dan aneh saja jika seorang istri harus terlihat terpaksa mencium suaminya sendiri jika bukan karena ada sesuatu yang disembunyikan.“Itu namanya ciuman, ya?” tanya Nia pada Rian yang menghitung waktu.Syera mendengarnya. Tapi dia berusaha tak menggubris hal itu. Memangnya dia harus berbuat apa sekarang? Melumat bibir suaminya?Begini saja rasanya sudah seperti akan menghancurkan dada yang digedor-gedor kuat oleh jantungnya. Dia ingin pingsan saja sekarang. Terlebih saat matanya tak bisa lari dari tatapan tajam Erik.Sekarang. Untuk pertama kalinya setelah ia putus dari Shaka. Syera ingin menangis. Menangis lantang karena kesal. Kesal pada Erik yang hanya diam tak merespon. Kesal pada pria itu yang hanya menatapnya mengerikan. Kesal pada semua yang menyaksikan ketidakberdayaannya.Hampir ia menyerah dengan melepaskan bibir dari pasangannya, tapi sebuah tangan mendekap pinggul, dan menekannya ke dalam.Syera mengerjap tak percaya, disusul kesiap dari teman-temannya.Erik telah melumat bibirnya. Bahkan geraman halus terdengar dari tenggorokan pria itu, dan ciuman menjadi jauh lebih dalam, disertai lidah Erik yang mulai mencari celah, memancimg mulut Syera untuk terbuka.Remasan kecil pada bongkahan pantat wanita itu membangkitkan sisi liar yang tertidur sejak hubungannya dengan Shaka berakhir.Napas Syera tersengal. Jemarinya mulai merayap nakal pada helaian rambut tebal Erik.“Sial! In udah lebih dari semenit.” Rian mulai merasakan jijik dan mual. Dia langsung menarik Nia yang terpana, menuju kamar Erik.Meta dan Tama saling pandang, kemudian bersama-sama undur diri menuju kamar Syera.Kini tinggal Syera dan Erik saja yang masih saling beradu kehebatan bibir. Bahkan Syera sekarang sudah duduk di atas prianya. Bergerak sensual, makin membangkitkan nafsu Erik yang sudah ia tahan sejak Syera menempelkan bibir mereka.“Ya Allah!!”Pekikkan Erika menghentikan keduanya. Mereka langsung melihat Erika yang kembali pergi sambil meracau mengomeli ulah mereka. “Kalau kepengen tuh ya di kamar!” Kalimat terakhir Erika yang tertangkap di pendengaran Syera, seketika menyadarkannya atas apa yang terjadi.Tanpa harus menambah banyak waktu. Dia segera mendorong dada Erik, berdiri dari pangkuan pria itu.Bibirnya kelu untuk berbicara. Bergerak gelisah, tak tahu harus menjelaskan apa atas kontrolnya yang sangat buruk barusan.Erik berdiri dengan helaan pelan. Dia makin tergugu kaku. “Kayaknya udah lebih dari satu menit.” Gerakan Erik yang mengusap bibir pelan seraya berucap mencuri perhatian Syera. Wanita itu meneguk ludahnya kasar. Bibir itu tadi yang sudah menciumnya dan membuat dia lupa.Erik mengerutkan kening melihat kekakuan istrinya. Tapi tak ingin membahas itu, ia memilih untuk memindah paandangan pada pintu kamarnya dan kamar Syera yang saling berhadapan. Sudah tertutup, dan empat temannya sudah menghilang.Bagus!! Sekarang ruang pribadi mereka sudah dinodai oleh pasangan Rian dan pasangan Tama.“Kayaknya kita mesti cari tempat tidur lain.”“Gu ... gue sama Rika di depan TV!” Syera melangkah mundur. Dia gemetaran kala mendengar kata kita Erik sebutkan.Enak saja kita. Ciuman saja membuat nyawanya seolah terbang setengah. Apalagi harus tidur bersama. Bisa mati suri dia.Erik yang melihat Syera menghindar cepat, meraba bibirnya. Ia masih tak menyangka jika sudah mencumbu bibir Syera. Mestinya tadi ia melepaskan diri dari wanita itu, bukan?Tapi sialnya bibir Syera terlalu manis untuk dilewatkan. Benar. Manis. Dan dia bersumpah akan mengulangjnya besok, dan besok lagi. Lalu besoknya lagi, dan seterusnya akan begitu. Lihat saja. Syera tak akan bisa menolak.“Bang!! Ngapain berdiri di situ?! Bentangin kasur tipisnya! Ngantuk nih!”Erika menginterupsi rencana liciknya. Erik menatap sang adik yang sudah melimbai ke arah TV. Lalu pada Syera yang sempat terpaku melihatnya, sebelum kemudan lari mengikuti Erika kala Erik melemparkan senyuman tipis.“Rika di tengah, ya? Gue gerah kalau di tengah.” Terdengar Syera sedang bernegosiasi dengan Erika yang langsung menjawab tidak.Senyum Erik semakin lebar. Malam ini mereka akan tidur bertiga dan Syera ingin menghindarinya. Hah!!mana bisa?Dia berjalan mendekat ke arah TV. Membantu Erika yang membentang kasur tipis yang selalu diselipkan di sela kecil di samping TV.Syera melihat kedatangan Erik langsung memasang sikap siaga.“Ya udah. Bang Erik di tengah deh!”“Ok!!”/”Nggak!!Jawaban itu tercetus bersamaan. Syera yang menolak usulan Erika langsung menatap Erik kesal. Pria itu pasti ingin mengerjainya. Apalagi setelah mempermalukan dirinya tadi. Erik pasti ingin menambah sikaaan untuknya.Erika memutar bola matanya melihat kesengitan yang terpancar di sepasang mata Syera. “Lo ngambek Syer, gara-gara ngga bisa ena-ena?”Syera terkejut. Dia menggeleng cepat untuk menjawab pertanyaan Erika. “Ngga!”“Ya udah, kalau gitu apa salahnya kalau lo di tengah, atau abang gue yang di tengah?!”Syera tak bisa menjawab.Erik terkekeh, lalu beranjak ke ruang tamu untuk mengambil bantal kursi. Saat ia kembali, dilihatnya Syera sudah bergelung dengan selimut, di samping adiknya.“Selimut di jemuran cuma ada dua, Bang. Tipis pula yang Rika pakai. Abang sama Syera, ya?”Erik mengangguk, kemudian memberikan satu bantal pada Erika yang mendumel kesal pada empat temannya yang membiarkan mereka tidur di luar.Erik sendiri tak pedulikan adiknya. Dia memilih pada Syera yang masih terpejam erat saat tangannya meletakkan bantal ke bawah kepala wanita itu.“Kalian jangan macam-macam, ya?!” Erika memperingati.Erik hanya tersenyum saja, dan Syera berdehem singkat tanpa membuka mata. Tapi pejamannya itu hanya sesaat saja, sebelum kemudian terbuka untuk melihat tangan lancang Erik yang bermain d atas bibirnya.Dia ingin menyembur marah. Tapi Erik langsung memberi tanda diam pada bibirnya. “Sssttt. Rika sudah tidur.” Dia berbisik, dan tanpa peduli pada lirikkan kesal Syera, kepalanya maju untuk melumat bibir wanita itu sekali lagi.Syera ingin memberontak. Tapi peringatan dari sorot tajam Erik menghentikannya. Sikap pemaksa pria itu yang berulang kali mengalahkannya, membuat dia ingin menangis. Dan benar saja. Dia menangis, seperti tengah diperkosa.Sayangnya Erik tak peduli. Karena ia tahu jika Syera hanya akan menangis sebentar, sebelum akhirnya mengimbangi permainan bibirnya.Tak harus menunggu lama untuk membuktikan pemikirannya itu. Karena selang dua menit. Syera sudah mencakar punggungnya, dan membalas tarian lidahnya.
Part 7 : Aroma CLBK Sebuah tepukan pelan di bahu Syera membangunkannya. Dia lihat Meta di sebelahnya, sedang Rika entah sudah ke mana. “Subuhan. Bangunin Erik.” Dia mengangguk, seiring dengan Meta yang beranjak ke dapur.Syera menoleh ke samping. Melihat sinis Erik yang tidur terlentang. Tak mau basa-basi membangunkan dengan cara lembut, Syera menampar pipi suaminya. “Bangun!!” ketusnya lantas bangkit tak peduli pada Erik yang langsung membuka mata dengan ekspresi kaget.Dia terpaku menatap Syera pergi, sebelum kemudian mengusap pipinya yang terasa perih. “Seminggu kamu bangunin, patah semua gigiku.” Dia menggerutu.Semua pria bergegas ke masjid. Sementara para wanita lainnya solat berjamaah di rumah, selesainya mereka ke dapur untuk memasak.“Duuuh! Berapa hari di dapur sih, Syer? Masak telor aja gosong!” Meta menggerutu sambil membuang telor dadar buatan Syera yang warnanya nyaris menyamai pantat panci.Syera duduk di meja bar, sambil memakan satu persatu kentang goreng buatan Meta yang paling pandai memasak di antara mereka. Nia adiknya saja kalah. Karena itu Rian paling suka kalau diajak ke rumah kakak iparnya itu. Bisa makan enak. Kalau di rumah, selalu saja menikmati makanan yang keasinan, atau hambar. Kalau hambar bisa ia tambahi bumbu sendiri. Kalau asin? Begitu terus bisa hipertensi dia.Pun dengan Erik yang sangat suka jika diajak makan ke tempat Meta. Setidaknya dia tak perlu berhadapan dengan masakan Syera yang selalu membuat perut melilit. Syera selalu masak segala hal yang berbau pedas.“Kan tadi diajakin Rika ngobrol. Makanya—”“Kok nyalahin gue, sih? Dasar kakak ipar jahat!”Belum apa-apa Erika sudah menyela. Sambil mengambil sebungkus snack dari dalam kabinet. Rika mendekati Meta. “Kak!! Semalam ada yang cipokan sam—aw!” Meta mengusap kepalanya yang dilempar potongan kentang mentah oleh Syera. Wanita itu melotot pada kakak iparnya. “Apaan sih, Syer.”“Lo tuh yang apaan!!”Meta melirik sekilas, lalu memutar bola mata. Sudah biasa melihat Syera dan Rika berdebat. Rasanya kalau tak cekcok sebentar saja. Bisa kena struk mereka.“Aah aah. Rik udaah. Udaah!!” Dengan gaya mengejek, Rika mengikuti apa yang Syera ucapkan tadi malam.Tidur malam yang semestinya indah. Hancur sudah oleh kakak dan kakak iparnya.“Gue ngga gitu!” elak Syera yang sebenarnya lupa apa yang ia katakan semalam. Itu karena efek ciuman Erik yang sialan nikmat!“Alaaa!! Ngga gitu sekali!! Tapi berkal—”“Sast! Pagi-pagi udah ribut.” Tiba-tiba Erik menengahi.“Eh. Udah selesai?” Meta yang bertanya.Erika merangsek maju, menggandeng kakaknya. “Bang!! Adek dianiaya sama kakak ipar.” Dia mengusap kepalanya yang terkena lemparan kentang. “Balesin!”Syera memutar bola mata disertai dengkusan kesal. “Plis deeh!!” Wanita itu memilih untuk mendekati Meta. Tapi nyatanya kehadiran Syera tak diharapkan. Dengan kejamnya, Syera diusir. “Ntar telor gue lo gosongin lagi!!”“Gusti Allah!! Leba—”“Adduuh!!”Nia mengusap perutnya dengan ringisan sakit. Sontak semua melihat ke arahnya dan mendekati. “Kenapa?” Erik bertanya.Nia diam sesaat dengan mata terpejam. “Sakit dari tadi. Tapi tadi ngga begitu kerasa. Tapi kok sekarang rasanya ... jelas banget, ya?” Nia kembali mengaduh. Tangannya mencengkram kuat tangan Erik.“Riaaan!! Riaaan!”Erik berteriak memanggil suami Nia, sedangkan para wanita mencoba menenangkan Nia yang makin merintih kesakitan.*Semua menanti di ruang tunggu dengan perasaan cemas. Rian yang tak ikut masuk ke dalam untuk menemani istrinya melahirkan lantaran tak tega, dan kebetulan Nia juga tak ingin makin gila melihat wajah pucat suaminya, duduk di samping Erik yang sedari tadi menepuk bahunya menenangkan.Lima belas menit yang lalu orangtua Nia dan Rian datang nyaris bersamaan, setelah Meta menghubungi mereka. Mereka ikut berbaur dalam kecemasan, kecuali ibu Meta yang memilih untuk menenmani putrinya di ruang bersalin.Tak ada yang bersuara, bahkan bernapaspun mereka atur sepelan mungkin, seolah itu mampu mengurangi sakit Nia di dalam sana.Terjebak di suasana yang menegangkan, sedang perutnya mulai merasa mulas karena panggilan alam. Syera berdiri, beralasan untuk membeli segelas kopi.Sialnya semua malah menitip minuman padanya. Kalau begini dia tak bisa santai di dalam toilet. Harus cepat-cepat kembali lagi ke sini.Tak mau waktu berharganya terganggu. Syera menarik Erika dan mengatakan dengan pelan apa yang sebenarnya sedang sangat ingin ia lakukan, dan Erika menjawab dengan dengkusan kesal, namun pergi juga.Akhirnya waktu berharganya Syera lewati dengan tenang tak tenang, karena masih menanti kabar Nia. Sudah dua jam mereka menunggu, dan kabar Nia sudah selesai melahirkan belum kunjung menjumpainya.Baru akan kembali menyusul Erika yang mengirimnya pesan dan mengatakan dirinya kerepotan membawa minuman seorang diri, sebuah suara yang berhasil membangunkan bulu kuduknya tertangkap indra pendengar.Bukan. Itu bukan suara setan, meski yang ia lewati barusan adalah kamar mayat. Bukan suara Erik juga, yang mulai semalam tampak horor di matanya.Tapi ini suara lelaki. Lelaki yang sempat dan bahkan masih menggenggam hatinya. Dia adalah, “Shaka?” Syera mengernyit menyebut nama pria yang sudah berdiri di hadapannya.Pria berkacamata berbentuk persegi, dengan rambut yang tersisir rapi ke samping itu tersenyum lebar padanya.Ini dia Shaka. Dulu saat mereka masih duduk di bangku SMA, penampilan yang seperti ini disebut culun dan katrok. Tapi sekarang, dengan tubuh atletis dan wajah nyaris menyamai ketampanan David Beckham, jelas tak bisa menyamakan Shaka dengan kutu buku yang biasa bertebaran di perpustakaan.Penampilannya malah dinilai seksi oleh kaum hawa, yang selalu ingin melarikan tangan di dada lebar Shaka. Sial!! Tersenyum saja Shaka sudah membuat celana dalam banyak wanita basah seketika. Tak terkecuali Syera yang sudah bersumpah dalam hati, jika ia mengelap kering organ vitalnya sebelum mengenakan celana lagi.Tapi sepertinya ia harus segera masuk ke kamar mandi dan mengeringkannya kembali.“Syer ... Syera. Melamun?”Wanita iu tersadar dari rasa kagumnya. Dia tersenyum kaku, menggaruk tengkuk yang tak gatal. Terlebih saat Shaka masih setia memberinya senyuman lebar. Ya ampun, Syera butuh penopang agar tak jatuh karena senyuman itu. Meski pilihan untuk ambruk di dada Shaka tak begitu buruk.Hayati meleleh, Bang!!“Pagi-pagi ada di rumah sakit. Siapa yang sakit?”Shaka tak seperti kenalan lainnya yang lama tak bertemu akan menanyakan kabar terlebih dahulu. Pria ini cukup realistis untuk tak bertanya kabar pada seseorang yang masih berdiri tegap, sehat, tanpa kekurangan satu apapun, meski mereka bertemu di tempat orang sakit sekalipun.“Nia melahirkan. Masih inget Nia, kan?”Wajah Syera bersemu. Entah apa yang membuatnya begitu. Tapi memandangi Shaka memang memberikan efek berbahaya untuk setiap inci organ tubuhnya.Shaka mengangguk mengerti. “Teman di tempat gym itu, ya?”Syera mengangguk pelan. Tak peduli pada Erika yang akan menjerit karena keterlambatannya. Syera lebih suka memandangi mantan kekasihnya yang ia putuskan tiga tahun lalu karena ancaman sang ayah, dan ketika bertemu lagi lima bulan yang lalu, pria ini sudah menggandeng wanita lain yang Syera sebut sebagai peliharaan. Sampai sekarang dia bahkan masih tak terima Shaka pacaran dengan orang lain.“Kamu sendiri, kok di rumah sakit?”“Aku kerja di sini.” Shaka berdehem. “Maksudnya. Aku dokter di sini, Syer.”“Oh ... iya.”Panik dengan kondisi Nia. Hingga ia mengabaikan jas putih yang Shaka kenakan. Kalau tahu Shaka kerja di sini, tadi ia tak ikut saja. Kalau begini kan, siapa yang bisa mengobati hatinya yang penuh luka?Pertemuannya dengan Shaka hanya memberikan sayatan luka, karena harapan tuk bersatu rasanya mustahil untuk terlaksana.Shaka oh Shaka.Dering ponsel Syera memutus kontak mata yang tengah terjalin. Wanita itu segera mengangkat panggilan, hanya untuk mendapatkan semburan dari Erika.“Lo ngeluarin anak kebo?!! Be'ol ngalahin lamanya orang lahiran!”Syera meringis. Melirik Shaka cemas, berharap Shaka tak mendengar pekikkan Erika. Si anak turunan toa masjid.Dimatikan panggilan begitu saja. Kemudian berdehem sekali, sebelum kemudian pamit pergi. “Ka ... aku ditungguin. Em ... aku pergi dulu, ya?”Kecewa. Itu yang Shaka rasakan. Ia ingin lebih lama lagi bersama Syera. Tapi apa daya, ia tak memiliki alasan untuk menahan Syera agar tetap di sisinya.Shaka menatap sendu pada punggung Syera yang kian menjauh. Namun satu keberanian tersulut di dadanya secara tiba-tiba.Pertemuannya hari ini dengan Syera jelas bukan hanya tak sengaja, melainkan karena takdir. Dia harus memanfaatkan hal ini. Mengambil kesempatan yang mestinya harus ia ambil sedari dulu. Ia yakin Syera tak akan menolakDengan langkah cepat, Shaka mengejar. Ia berhenti di hadapan wanita itu dengan gaya yang membuat banyak pasang mata terpana. Tangannya menyugar rambut, sekaligus menyeka sedikit keringat yang mengalir di sisi kening. “Nomor kamu masih yang lama, kan?”Syera mengerjap belum mengerti. Dia terlalu fokus pada aura dewa yang terpancar di wajah Shaka. Duuh kenapa dia mau menikah dengan Erik yang nilai ketampanannya hanya seperempat dari ketampanan Shaka? Itu efek jatuh cinta. Karena Erik tak seburuk itu.“Syer?”“Ha? Oh iya. Ma ... masih yang lama.”Shaka bernapas lega. “Eem ... aku boleh nelpon kamu?”Syera diam sejenak, sebelum kemudian mengangguk malu-malu.Ditelpon mantan terindah kok nolak!“Eem ... oke!” Shaka mengusap tengkuknya. Dia masih mencari cara untuk memperpanjang obrolan mereka. “Kalau ... makan siang, mau?”Sumpah demi kecebong peliharaan Tama!! Semalam mimpi apa sampai bisa mendapatkan rejeki nomplok begini?“Boleh!” Itu terdengar terlalu bersemangat. Tapi sudah lah! Tak usah merasa malu. Toh nyatanya ia bisa lebih keras lagi untuk menjawab pertanyaan Shaka.Seketika hidung Syera mulai membaui aroma CLBK. Cinta Lama Belum Kelar.
Part 8 : Kiss Everytime Jadi saat ini hati Syera tengah ditumbuhi kembang berwarna-warni. Pasalnya, setelah pertemuannya kemaren pagi dengan Shaka. Malam ini mereka janji bertemu untuk makan malam di sebuah rumah makan yang belum Syera tahu di mana tepatnya.Semestinya siang ini mereka bersua untuk menikmati kudapan berdua. Tapi tak bisa terlaksana karena Syera mesti mengerjakan pekerjaannya yang tertunda lantaran kemarin ia bolos tanpa keterangan, dan menelantarkan tumpukan tugas yang harusnya besok sudah selesai, agar bisa dijadikan bahan rapat untuk peluncuran tabloid, edisi minggu ini.Jadwal mengunjungi Nia ke rumah sakit yang sudah ia rencanakan dilakukan dengan secepat mungkin. Dia menggendong putri pertama pasangan Nia dan Rian, lalu berpamitan pulang dengan alasan banyak pekerjaan yang menumpuk.“Lima menit aja jenguknya?! Ck ck ck! Mana janjinya yang mau ngejagain?!” Itu protes Rian saat ia hendak pergi.Syera kemarin berjanji akan menemani Nia, sementara Rian lembur di kantor karena ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Tapi karena wanita itu ingkar. Alhadil Rian membawa semua pekerjaannya ke rumah sakit. Pria itu tak bisa berkonsentrasi dengan tumpukan pekerjaan, sementara Nia terus merengek minta diambilkan ini dan itu. Belum lagi bayi mereka yang terus merengek untuk meminta ASI. Baru sehari jadi ayah, kepala Rian serasa ingin pecah.Euforia kebahagiaan menjadi seorang ayah jelas masih unggul di permukaan. Tapi tak pelak rasa lelah muncul satu persatu, mengelilingi rasa bahagianya itu. Dia harus menikmati buah dari kegiatan malamnya bersama Nia.“Sorry ya, Yan. Bukannya ingkar janji. Tapi ini urgent banget. Berhubungan sama jiwa dan martabat!”“Udah! Pokoknya kita putus. Ngga sudi punya bini yang ngga bisa diharapin!”Dan di saat begini Rian masih sempat melempar lelucon yang mendapatkan tanggapan ekspresi kaget salah seorang perawat yang ada di ruangan Nia.Nia hanya tersenyum tak enak dengan tingkah suaminya. Sedang Syera memilih mengabaikan dan pergi. Tapi perawat yang mendengar ucapan Rian langsung menyumpahi semoga pria itu impoten dini. Mampus!*“La la la la la la la!!”Mengikuti nada suara Spongebob di salah satu episode, Syera merapikan rambut ikal pirangnya.Sebelumnya tak begini model rambut yang ia miliki. Kemarin warnanya masih coklat dan semestinya lurus. Tapi untuk Shaka ia ubah lagi warna rambutnya, lalu sedikit dirinya ikal.Shaka oh Shaka.Karena pria itu ia rela meluangkan waktu tersempitnya untuk bergegas ke salon sore tadi. Dua jam dia habiskan waktu di sana, untuk mempercantik rambutnya.Lalu sekarang ... TARAAAA!!Dia makin cantik saja. Ditambah satu lesung pipi di sebelah kanan yang akan muncul malu-malu kala ia tersenyum. Ya ampun, Erik pasti klepek-klepek!!Eeeeh!!Syera langsung mengibaskan kedua tangan di depan wajah, untuk menyingkirkan bayangan Erik yang tiba-tiba mengganggu angannya.Ngga ada Erik!! Dia udah mati, berenang di lumpur lapindo!!“Syeeer!!”Tok tok tok“Dari tadi ngamar mulu!! Makan, yok?!”Syera menggeram mendengar suara yang tak ia inginkan. “Itu arwahnya. Ngga usah digubris. Itu setan,” desisnya.“Syer!! Aku makan duluan kalau kamu lama keluarnya!”Syera mendengus. “Makan aja sana! Lagian gue mau makan di luar. Sama pangeran. Bukan setan.” Masih berbicara pelan, tak sampai Erik mendengar ucapannya.Dengan A-line dress polos berwarna peach, Syera berjalan percaya diri menuju pintu. Tak perlu merasa terkejut seperti melihat setan betulan, saat masih ada Erik di hadapannya.Suaminya itu memandangi bukan dengan tatapan takjub—yang membuat Syera sedikit kesal—melainkan menatap dengan kernyitan bingung. “Kamu mau pergi? Rian bilang kamu sibuk kerja.” Dia menelusuri penampilan Syera dari atas hingga bawah, dan dalam hati ia memuji. Dia menatap Syera lagi, lalu tersenyum. “Rambut kamu bagus. Besok kita jalan-jalan, rambutnya di model gini, ya? Jangan dicepol terus. Kayak liat bisul nemplok.”Ya ampun. Rasanya ingin melempar Erik keluar melalui jendela, tepat jatuh pada kotak sampah di luar sana. Boleh dipungut dan dijual ke pedagang barang bekas.Syera mengangkat tangan, menghentikan Erik. “Ngga butuh kritik dan saran.” Dia menatap pria itu jengah. “Malam ini, gue makan di luar.”“Tapi kata Ri—”“Gue udah janji sama temen duluan, Rik!”Pernyataan itu tak bisa Erik percaya. Ia menunduk, menatap intens pada Syera. “Oh ya? Temen, ya? Boleh ikut?”“Lo apaan sih!”“Temen apa temen?”“Ya temen lah!”“Kalau gitu gue ikut!”Syera diam, menahan kesal. Sebelum kemudian tersenyum dan mengangguk. “Oke! Siap-siap sana. Yang ganteng! Soalnya Riri ikut! Dia pasti—”Erik berdiri tegap, memasang sikap siaga. “Oke. Makasih!” Dia berbalik, berjalan ke arah meja makan. “Jangan pulang kemalaman!!”Syera menyembunyikan senyum puasnya.Riri itu teman kerjanya yang begitu menggilai Erik saat ikut Syera ke Syafa Gym setahun yang lalu. Sejak itu Riri begitu gencar mendekati pria itu. Hal yang sempat membuat Erik berpikiran untuk kabur. Karena satu hari bertemu dengan Riri, maka satu tahun rasanya usia yang ia miliki berkurang. Tapi beruntung, Riri berhenti ketika Erik membawa pacar bayaran ke Syafa Gym.“Issh sok perhatian banget ente, Bang?! Ngingetin gue jangan pulang kemalaman.” Syera melenggok ke arah pintu garasi. “Gue pergi dulu. Ngga usah ditungguin. Ngga usah kangen juga!” Gue mau pacaran! ”Bawa kunci soalnya.”Wanita itu siap mengeluarkan motornya. Yup!! Motor!! Dengan penampilan yang super girly, dia memutuskan untuk menggunakan motor, jelas hal yang salah. Tatanan rambutnya bisa berantakan. Bibirnya bisa kering. Tapi mau bagaimana lagi? Shaka sang pujaan yang mestinya menjemput, tentu tak ia berikan alamat di sini. Bisa kacau dunia pernikahan kalau Erik tahu dirinya dijemput seorang pria.Syera menunggu Shaka di tempat tinggalnya yang lama. Dia akan menumpang dengan salah seorang temannya di sana, sembari menunggu kedatangan Shaka. Pria itu akan menjemput Syera pukul delapan malam, sesuai dengan janji.Mesin motor baru menyala. Panggilan Erik di belakangnya membuat Syera malas-malasan untuk menoleh. “Apaan?”Erik menggeleng singkat. Pria itu diam, memandangi sepasang mata bulat Syera.“Kenapa?!” tanya Syera lebih tegas.“Yang kemaren malam—”Syera mengangkat tangan. “Stop! Lupain!”Kening Erik mengernyit. “Kok dilupain?” Terdengar tak setuju.“Ya iya lah!! Ciuman ngga masuk dalam peraturan pernikahan!”“Dan ngga ada larangannya juga, kan?”Syera mengangguk sebelum kemudian terpaku, menatap tajam Erik. “Maksudnya apaan?!”“Mau minta nambah.”Syera menganga mendengar permintaan Erik yang diucapkan dengan sedatar mungkin itu.“Nia yang lahiran, kenapa malah lo yang ngalamin putus saraf?”“Setiap hari.”“Apaan sih!!” Syera memilih mengabaikan dan mengenakan helmnya. Berniat kabur, namun sayang gagal terjadi karena tarikan Erik pada pinggulnya membuat ia urung mengendarai motor yang sudah cukup lama ia panasi.“Ciuman, Syera. Setiap hari.”Lalu tanpa bisa Syera tolak. Bibir Erik sudah mendarat manis di atas bibirnya, dan memberikan lumatan pelan yang menghanyutkan.Rok yang menutupi hingga lutut terangkat oleh tangan Erik hingga menyibak sebagian bokongnya yang diperindah dengan dalaman berwarna merah.“Ssshhh!!”Desah menikmati tak bisa ia sembunyikan kala lidah Erik mengacaukan rongga mulutnya dengan begitu ahli.Syera tak membalas setiap cecap bibir Erik di bibirnya. Tapi ia menikmati, lebih dari sebelumnya.Erik menghisap bibirnya, dan akal sehat Syera ikut tersedot keluar, bersama geraman menuntut lebih dari bibirnya.Tiga menit bertautan, membuat keduanya terengah kehabisan napas. Erik yang menyudahi aksi bibirnya yang menganggumkan. Dia tersenyum melihat Syera yang terpaku, dengan bibir yang sedikit membengkak.Lipstik wanita itu sedikit berantakan, dan tak peduli pada bibirnya yang pasti ikut belepotan lipstik Syera, Erik mengusap ujung bibir wanita itu. “Apa ... apaan sih, Rik?” Syera bertanya pelan, agak terbata-bata.Jantungnya yang berdetak kencang membuat ia tak bisa berpikir normal.“Kiss.”Syera menggeleng pelan, masih belum mengerti. Belum mengerti dengan maksud tindakan Erik barusan.“Aku ngga ngerti.” Dia memilih berbalik, daripada menyemprot Erik dengan amukannya yang sebenarnya tak terkumpul sempurna.Akan terdengar munafik jika ia memaki Erik, sementara tadi ia menikmati. Tapi akan terlihat murahan, jika ia tak marah atas tindakan Erik barusan. Dia bingung.Erik tersenyum. Mengabaikan marah sang istri, ia menarik pinggang wanita itu lagi, dan mendekapnya dari belakang.Jangan tanyakan mengapa ia jadi seperti ini. Dia sendiri tak mengerti. Yang ia tahu hanya menginginkan bibir Syera lebih dari semua yang ia ingini.Syera memejamkan matanya, kala hembusan napas Erik terasa di ceruk leher yang terbuka. Pria itu menghirup aromanya, membuat ia makin gelisah.“Aku mau ini setiap hari.”Satu kecupan Erik curi di lekuk leher putihnya. Syera bergidik. Bulu romanya meremang. Matanya kian terpejam. Deru napas sudah tak beraturan.“No.” Erik menggeleng pelan. Membuat Syera tergelitik oleh rambut pria itu. “Tapi setiap waktu. Setiap detik, menit, jam.” Erik memainkan jemarinya di atas tulang selangka Syera. “Setiap aku melihat kamu, aku mau mengulangi apa yang kita lakukan barusan. Selalu. Setiap kali—”Syera menggeliat, mendorong pelan Erik agar menjauh dari dirinya yang rasanya ingin jatuh saat ini juga. Sial!! Mengapa ucapan Erik membuat sebagian egonya runtuh seketika! “Aku pergi!”Dia berusaha ingin marah. Tapi sialnya tak bisa. Kalimat yang terucap malah terdengar begitu lemah.Mengendarai kendaraan roda duanya dalam pengawasan tatapan Erik yang terasa begitu seduktif. Syera mempertanyakan dalam hati bagaimana kelancaran acara makan malamnya bersama Shaka, jika pikirannya pasti akan berlari, dan berpusat pada pria yang baru saja melumpuhkan sebagian besar egonya.Rasanya julukan Erik playboy yang dulu pernah disematkan pada pria itu, jelas tak salah besar. Karena hanya dalam hitungan menit, Erik nyaris membuatnya menyerah untuk masuk dalam kubangan gairah yang pria itu ciptakan.Kalau begini terus. Gelar perawan yang ia miliki bisa hanya tinggal kenangan saja.Tidak!!!Dia tak akan ikhlas jika Erik yang mengambilnya.Tidak Erik. Bukan pria itu.Ya Allah, lindungilah hambamu yang akan bertobat secepatnya ini.
Part 9 : Balikan Tanpa daya, Syera mengetuk pintu kos temannya yang tertutup rapat dan terdengar sunyi dari luar. Di jam seperti Emma pasti sudah berkurung dalam selimut. Tapi kalau benar begitu, bagaimana dengan dirinya?Dengan pikiran dan kondisi kacau balau begini, apa ia harus menunggu Shaka di luar, sendirian, bertemankan jangkrik yang sibuk bernyanyi di pohon kelengkeng depan kosan, yang entah sejak kapan tak bisa beranak lagi—berbuah.Klek!!Syera terpejam, sambil mengucap syukur pelan, saat pintu terbuka. Emma keluar dengan wajah ngantuknya. Wanita itu menguap lebar, lalu meregangkan tubuh sambil berucap, “Datang juga akhir—” Dan kalimat itu terpotong saat dia mulai menyadari tampilan Syera yang terbilang tak layak untuk dibawa pergi kencan. “Ow-En-Ji bapaknya Bilqis!” Emma, wanita dengan rambut blonde ini membekap wajah teman yang ia kenal sejak tinggal di kosan Asmara khusus wanita ini beberapa tahun yang lalu. “Bibir lu jontor! Dicipok siape?!”Syera menyingkirkan tangan Emma, dan menyentuh bibirnya yang jontor kata Emma. Dia tak percaya ciuman Erik bisa sedahsyat itu. “Diisep tawon!”Emma ingin mendengar penjelasan lebih dalam. Ia tarik tangan Syera ke dalam dan mendorong wanita itu untuk duduk di ranjang queen size-nya yang berantakan. Dari sana bisa ditebak bagaimana ulah Emma kala tidur. “Tawon mana yang berani ngisep elu?! Ya Allah! Belepotan gitu! Ini udah kencan sama Shaka atau—”“Belum!”“Terus itu?”Emma bersedekap dengan pandangan menyelidik. “Jangan bilang itu dari pacar lo, tapi lo masih aja mau kencan sama mantan lo?” Emma, adalah salah satu dari sekian orang yang mengenal Syera, yang tak mengetahui perihal pernikahan wanita itu dengan Erik.Menurut Syera tak penting ada yang tahu tentang perubahan statusnya. Toh tak lama lagi ia akan kembali bercerai. Itu jika sudah menemukan pengganti yang dia cinta. Shaka misalnya. Karena cerai sebelum mendapatkan pengganti, bisa bahaya dengan perjodohan sang ayah yang siap menanti.“Syer?”Syera menggeleng lemah. Dia tak mungkin menceritakan tentang Erik, dan malah memperpanjang urusan dengan Emma. “Tadi gue tuh mau pergi ke sini. Tapi mantan gue yang dulu pernah gue ceritain itu dateng. Dia minta balikan dan main nyamber gitu aja.” Syera menatap Emma serius, ditambah mimik ketakutan. “Gue kabur dari dia!” Semoga aktingnya dipercaya oleh Emma yang ia yakini IQ-nya tak tembus angka 50. Astaga, menghina sekali.“Ya ampun! Kok bisa?”“Bisa lah! Dia kan cinta mati sama gue!”“Bullshit!! Kemaren gue liat dia jalan sama cewek yang pantat sama dadanya lebih gede dari elo!”Syera memasang wajah datar mendengar penuturan Emma. Itu menyakitkan, you know?Tapi tanpa rasa bersalah, Emma melanjutkan ucapannya. “Eh tapi kok dia bisa tau tempat tinggal lo? Gue aja yang temen lo yang tempat lo nyari utangan aja kagak tau lo tinggal d mana sekarang. Kok dia tau?!”Syera makin mengkerut masam. Hutang segala pakai diingat. Jangan bilang setelah ini ia malah akan ditagih. “Salah siapa yang sibuk?!”“Tapi gue beneran sibuk sih, Syer.” Emma berbalik menuju toilet usang peninggalan Syera. Itu juga dia harus memotong hutang Syera padanya, hanya karena ia sangat menginginkan benda itu, Dia suka dengan ukirannya yang membingkai kaca. Terlihat klasik. Seperti barang tua. Meski itu memang barang tua. Syera mendapatkannya dari seorang mantan yang menyukai barang klasik. Syera sendiri tak begitu membutuhkannya. Tapi karena menghargai dan belum bisa membeli yang baru, karenanya Syera terima. Sekarang wanita itu benar-benar tak membutuhkannya. Jadi saat dia mengadakan pelelangan, Emma yang maju duluan untuk mengambil toilet berwarna coklat itu. “Nih, lo rapiin dandanan lo.” Dia berbalik menyerahkan bedak dan lipstik pada Syera. “Lo kudu pindah kos-kosan. Bahaya kalau temu mantan sarap lo itu lagi. Walaupun gue masih ngga percaya dia masih selera ama pantat rata lo. Tapi yang namanya laki-laki kan kayak kucing. Dikasih ikan asin juga tetep diembat!”Tak ingin meladeni Emma yang hanya mendidihkan emosi saja. Syera meraih benda yang temannya itu sodorkan.“Ck! Kenapa gue masih belum percaya, ya? Masa sih, demi elo, yang teposnya saingan sama triplek—padahal rajin ngegym—dia ninggalin si pantat gentong? Sumpah! Itu tuh—”“Em, gue minta air es lah. Haus!” Bukan. Lebih tepatnya panas! Kalau bisa air esnya disiram ke wajah Emma.Emma mengangguk cepat, dan keluar dari kamar untuk mengambil segelas air dingin di kulkas yang terletak di dapur. Kulkas yang disediakan pemilik kos, untuk digunakan secara bersama-sama.Tapi jangan harap ada makanan di sana, selain air putih. Karena mereka takut stock makanan digunakan secara cuma-cuma oleh penghuni kos lainnya yang kebanyakan tak memiliki modal. Apalagi akhir bulan. Awal bulan saja sudah seret, habis untuk bayar kreditan.Syera yang ditinggalkan Emma lantas mencomel tanpa suara. Sungguh pilihan yang tak tepat menumpang di tempat Emma.“Tapi Syer, lo kenapa mesti numpang tempat gue, sih? Kenapa Shaka ngga jemput di kosan baru lo aja?” Emma datang lagi dengan segelas air dingin. Syera yang masih meratapi nasib malangnya akan dandanannya yang berantakan karena Erik, kemudian ditambah dengan perasaan kesal karena semua perkataan Emma, langsung mengumpat mati-matian di dalam hati.“Soalnya dia belum tau kosan gue. Nanti bukannya kencan, malah sibuk cari alamat.” Sambil menerima gelas dari Emma, kemudian meneguk isinya hingga tandas. Kalau saja emosi itu berupa api. Pasti sekarang asap keluar dari tubuhnya.“Ooh!” Emma melirik Syera. Baru akan kembali membuka suara. Bunyi ketukan pintu di luar membuat dia menoleh ke arah pintu, pun dengan Syera. “Kayaknya itu Shaka! Lo benerin aja dandanan lo. Gue yang bukain pintu.”Syera mengangguk setuju. Setelah merasa rapi dan siap untuk menemui Shaka, wanita itu berdiri dan tak sengaja berpas-pasan dengan Emma yang akan masuk ke dalam kamar. “Udah selesai? Tuh udah ditungguin pangerannya.” Emma mendekati SYera, dan berbisik. “Setdah! Ganteng, ciin! Dulu perasaan ngga gini. Kalau lo bosen, bolehlah koling-koling eike!” Emma mengedipkan mata sebelum kemudian mendorong Syera pelan keluar dari kamarnya. “Sukses kencannya!”*Kencan tak berjalan seperti yang ada di angan Syera. Makan malam yang cukup romantis. Menonton film yang tak kalah romantis dengan makan malam, obrolan ringan yang Shaka ciptakan, masih membuat pikiran Syera tak menentu arah.Dia ada di dekat Shaka. Tapi pikirannya melalalng buana pada pria yang tadi mencuri ciuman darinya lagi. Sial! Dia masih saja terbayang dengan kecupan Erik di bibirnya, usapan lembut di lehernya, dan permintaan pria itu untuk aktivitas berciuman yang dilakukan setiap saat.Syera meleleh! Duuh!!“Jadi sekarang masih di Syafa Gym ya, Syer?” Dengan tangan yang mengendalikan kemudi, Shaka menatap Syera yang melamun.Pria ini tersenyum samar, karena mendapati Syera melamun bukan untuk yang pertama kali, dalam tiga jam pertemuan mereka. “Kamu pasti capek banget, ya? melamun terus dari tadi.”SYera mengerjap, menyadari pertanyaan Shaka. Wanita itu menatap mantan kekasihnya itu tak enak. “Bukan, Ka. cuma ... mikirin kerjaan aja dikit.” Berbohong lagi. Malam ini dia kebanyakan bohongnya. Untung bukan Pinokio.“Ohh ... kalau gitu aku antar pulang aja gimana? Keliling Jakarta sambil ngobrolnya besok aja lagi, kapan kamu ada waktu.”“Duuh! Jadi ngga enak.” Tapi itu lah yang Syera inginkan. Hanya makin merasa tak enak jika memaksakan untuk terus bersama Shaka dengan pikiran yang tak berada di tempatnya.“Ngga apa-apa. Lagian juga ini terlalu malam untuk kencan.”Syera mengerjap lagi dengan bibir menganga. “Ha?”Shaka menatap Syera dengan kening berkerut. “Ya?”“Eem ... kencan?” Wanita itu memastikan apa yang ia dengar tadi. Kencan. Benarkah menurut Shaka ini adalah kencan? Jadi bukan dirinya saja yang menganggap ini adalah kencan? AAH! Kalau begini dia tak perlu memikirak Erik sepanjang masa perjalanan, kan?“Kencan?” Shaka masih tak mengerti. Ia berpikir keras, sebelum kemudian ikut menganga seperti Syera tadi, saat menyadari satu kata yang ia ucapkan sebelumnya. Pria itu tersenyum malu. “Sori.” Dia menatap Syera sekilas. “Kamu ngga nganggep ini kencan, ya?”Dengan cepat Syera menggeleng. “Ng ... nggak. Eh maksudnya iya. Eh...!” Dia menggigit bibir bawah, salah tingkah. Shaka tersenyum dibuatnya.“Jadi pulang?”Malu-malu, Syera mengangguk. “Belok aja langsung di Jalan Gempol yah, Ka.”Kening Shaka mengernyit. “Ngapain? Mau nginep tempat temen?”“He?” Syera mengetatkan rahang. Dia lupa kalau Shaka tak tahu perkara tempat tinggal barunya. “Eh iya! Nginep tempat temen.”Shaka membulatkan bibirnya.”Ooh! Oke!” Dia mengikuti instruksi Syera, hingga kemudian berhenti pada rumah dengan pagar tinggi. Syera melengok ke sana, seolah sudah tiba di tempat tujuan. “Di sini, SYer?”Wanita itu mengangguk.“Kayaknya sepi banget. Kita klakson aja, ya? Biar satpamnya kel—”“Eh jangan!!” Ini bukan rumah gue! ”Gue bawa kuncinya kok!” Syera terkekeh. “Em ... sssh! Gue turun sekarang, ya?”Shaka mengangguk ragu. Ragu meninggalkan Syera di tempat yang sepi begini. “Turun aja. Aku tunggu sampe masuk.”“Jangan!” Terlalu cepat menjawab. Membuat perasaan ragu yang ada di diri Shaka, menjadi curiga.“Kenapa?”“Ih! Nanti kalau ada yang lihat kamu jadi berabe! Ini tuh rumah om aku. Dia baru pindahan ke sini. Tadi aku bilang sebelum mampir ke sini, mau jalan dulu sama Emma. Kalau tau ada kamu, nanti malah berabe!” Duuh! Bohongnya berkalilipat ini!“Oh!” Sekali lagi, Shaka mengangguk-angguk mengerti.Syera bernapas lega, karena melihat Shaka mempercayainya. “Aku tur—”“Syer.”“Hem?”“Besok aku hubungin kamu boleh?”Syera mengangguk tanpa perlu memikirkan permintaan Shaka. “Boleh.”“Em ... kalau ketemuan lagi?”“Boleh juga.” Pakai banget.Shaka mengangguk senang. Senyumnya yang membuat Syera meleleh, sontak membuang bayangan Erik dari kepalanya. Terlebih saat tanpa ia duga, wajah Shaka maju, mendekatinya. Syera menahan napas, dengan mata tertutup. Dadanya seperti terhimpit oleh luapan bahagia yang begitu berlebihan, kala bibirnya yang baru Erik jamah beberapa saat yang lalu, kini disentuh lembut oleh Shaka.Cium yang dalam Shaka. Cium yang kuat. Hapus jejak yang ada di bibir ini. Hapus dengan ciuman kamu.Kini rasa Erik sudah terganti oleh milik Shaka yang juga membuat jantungnya berdentam mengerikan. Namun detak jantung ini berbeda. Ini detak jantung pertanda ia jatuh cinta. Lagi untuk kedua kalinya dengan orang yang sama. Shaka.“Kalau kita ulang lagi yang dulu, apa boleh, Syer?”Permintaan itu Shaka ucapkan di sela-sela ciuman mereka. Syera tersenyum, kembali menempelkan bibir mereka, sebagai pengganti jawaban Iya.Akhirnya balikan juga!*“Hampir empat jam.”Erik menghitung lama waktu Syera keluar dari rumah. Dia yang terlentang di kasur sambil memandangi geram jarum jam yang menempel di dinding di hadapannya langsung duduk bersila. “Ck! Dia jalan ke mana sampai selama ini?” Dia berdiri dan jalan bolak-balik, gelisah.Tapi kemudian berhenti, dan mengusap rambutnya kasar. “Ya ampun! Kenapa malah mikirin dia, sih?! Gila!” Kembali melompat di atas ranjang, dan memilih untuk menyusupkan kepala ke dalam bantal. “Ya ampun! Kenapa mesti ngerasa dosa, sih, khawatirin istri sendiri?” di balik bantal, kening pria itu mengernyit. “What?! Khawatir?”Dia membuang bantal, untuk mengusap-usap wajahnya. Mungkin ingin membuat kesadarannya kembali. Erik mengkhawatirkan Syera adalah mimpi! Jadi dia mencoba untuk bangun dari mimpi itu.Tapi sialnya gagal. Di sudut paling dalam hatinya, masih meneriaki Syera, dan mempertanyakan di mana keberadaan wanita itu sekarang.“AAH!!”Tak bisa dibiarkan! Baru juga dapat bibirnya. Masa sudah seperti ini. Murahan sekali hatinya ini? Padahal dibandingkan para mantan. Bibir Syera yang tipis itu jelas kalah ke mana-mana. “Tapi kok enak, ya?” Dia memukul keningnya beberapa kali. “Mikir apa, sih?!”
Part 10 : Satu Aneh Saja Erik berdiri di ambang pintu, memperhatikan langkah ceria Syera yang melenggok ke arah dapur. Kening pria itu berkerut, sekaligus mengerucutkan bibir. “Baru pulang?”Syera yang baru tiba di ambang pintu penghubung ke arah dapur berhenti. Wanita yang belum mengganti pakaiannya itu menampilkan raut terkejut saat berbalik melihat Erik. “Lo belum tidur?!”“Kemana aja? Keluar sampai berjam-jam.”Ekspresi Syera berubah masam. “Kalau keluar beberapa menit aja, berarti gue cuma sekedar beli sereal ke minimarket depan! Helow bro!! Ini jalan-jalan!! Dan cewek mana yang jalan-jalan cuma satu jam aja?! Andaikan ada pun, yang jelas bukan gue!”Ekspresi masam berganti pada Erik. Bertanya sebaris, dibalas lima baris. Begitulah perempuan. “Ngga ada suara motor. Motor kamu ke mana?”Wanita yang masih berdiri di ambang pintu itu tampak berpikir sejenak, sebelum menjawab, “Ada di kos temen. Tadi pergi pakai mobil temen, sih. Jadi baliknya diantar.”Erik diam, lalu mulai berjalan mendekat. Namun aura aneh yang terpancar dari mata tajamnya membuat Syera tergerak untuk mundur selangkah. “Ken—kenapa?”Erik menjawab setelah ia berada di samping sang istri. Kepalanya sedikit menoleh, menyatukan pandangan pada tatapan waspada Syera. “Haus.”Syera bergerak mundur dua langkah, untuk memberi ruang. Tatapannya yang belum teralihkan dari Erik, menjadi curiga ketika Erik tak bergerak dari posisinya.Tapi kemudian ia terkesiap kala Erik menghirup udara dengan agak kencang. “Kamu cium sesuatu, nggak?”Syera kembali waspada. Langkahnya bergerak cepat menghampiri Erik. Ia ketakutan. “Bau apa? Melati? Mawar? Kemenyan?”Dengan serius, Erik makin menajamkan penglihatannya pada Syera. Ia menunduk dan menghirup rambut wanita itu. “Bau kebohongan.”“Anjrit!” Sontak Syera mendorong Erik. Namun dorongannya tak cukup untuk mengeser tubuh besar sang suami.Erik hanya bergerak ke belakang sedikit, sebelum kemudian mendekatinya, dan menyudutkan ia di sebuah kabinet. Syera terpaku pada perlakuan menakutkan suaminya.“Kenapa??”“Kamu pulang sama siapa?”“Sama temen!”“Perempuan atau laki-laki?”“Ha?” Syera mengerjap. “Ya ... ya cewek lah!”“Heem. Aroma kebohongan makin tajam tercium!”“Ngga usah lebai!” Syera kembali mendorong Erik, namun yang didorong bergeser saja tidak.“Aku perhatikan lipstik kamu agak belepotan.”Setan! Batin Syera memekik.“Bibir istriku ngga mungkin abis nabrak tem—”“Kalau aku jalan sama cowok kenapa? Kalau bibir aku belepotan, kenapa? Masalah? Lagian kan tadi kamu yang bikin belepotan!!”Secepatnya, Erik mengambil tangan Syera dan meletakannya di atas dada. “Ucapan kamu bikin sesuatu yang ada di sini menjadi nyeri.” Erik menggeleng dramatis. “Sebelum jalan kamu pasti benerin lipstik kamu, Syer.”Syera melotot. Sangat tak yakin jika yang di hadapannya ini benar-benar Erik yang selama ini ia kenal. “Kayaknya tadi beneran ada aroma menyan, deh! Aroma setan yang ngerasukin elo!”Alih-alih tertawa dengan ucapan Syera, Erik makin memperpendek jarak mereka. “Kamu selingkuh? Kamu lupa kalau kita ngga boleh menjalin hub—”“Apaan, sih?! Lo jangan asal nuduh!”“Aku ngga nuduh. Semua bisa dibaca jelas dari ekspresi kamu. Jalan-jalan ke mana kamu, sampai bikin wajah kamu berseri-seri kayak tadi? Terus berubah pucet waktu kepergok sama aku.”“Lo ngarang!!”Erik menyipitkan mata penuh selidik. “Jalan sama cowok yang man—”Sekali lagi mencoba menyingkirkan tubuh sang suami dari hadapan, Syera berdecak kesal saat gagal. “Apaan sih?!”Erik bergeming, tanpa merubah ekspresinya. Kemudian tarikan napas terdengar kuat, mengundang perhatian Syera. Pria itu melepaskan kungkungannya dari sang istri, berbalik dengan tangan berlipat santai di depan dada. “Oke!! Kamu jalan sama cowok ngga apa-apa. Peraturan yang mengatakan tidak boleh menjalin hubungan dengan orang lain selama kita terikat dalam pernikahan akan dihapus.”“Serius?!” Syera nyaris memekik dengan nada girang.Erik berbalik, dan mengangguk mantap. “Jadi kamu jalan sama cowok tadi?”“Eh?” Syera membulatkan mata, lalu menggeleng ragu.“Oh ya? Kalau ngga mah, ya ngga usah dihapus aja peraturan—”“Jangan gitu dong!”“Kenapa? Kan kamu—”“Iya tadi gue jalan sama mantan.”Sekilas. Seperti ada yang menyubit perasaan Erik. Hanya sekilas, hingga tak begitu perlu untuk ia rasakan, atau ia pikirkan sakitnya. Ia tahu itu hanya sekadar rasa sakit yang numpang lewat, atau singgah sebentar, sebelum kemudian pergi bersama setitik perasaan yang ia miliki untuk Syera. Perasaan yang terbangun karena kebersamaan selama ini. Tapi tak begitu ia pikirkan, karena rasa itu belum meluap, mengaliri setiap nadinya. Rasa itu baru sejangkah melewati titik nadir. Sekejap saja, akan ia hapus semuanya. Bukankah rasa yang seperti itu memang tak boleh ia miliki, mengingat hubungan mereka yang tak akan terikat selamanya.“Tapi jalan doang.” Syera tertunduk malu, dengan kaki kanan yang bergerak gelisah.“Jalan doang, dan sekedar ciuman doang?”Syera menatap Erik dan mencibir pria itu.“Oke! Jadi peraturan yang tadi dihapus?”Syera mengangguk semangat. Sedang Erik tersenyum, menyamarkan kelicikan yang sudah ia rencanakan.Pria itu menunduk, mensejajarkan wajah dengan wajah Syera. “Tapi kamu tau, kan? Jumlah peraturan semakin menipis karena sudah kita hapus sebelumnya?”Sebelah alis Syera lantas menukik. Aura curiga mulai menyelimutinya.“Dilarang kencan dengan wanita atau lelaki lain ada di dua peraturan, kan?”Syera masih menatap penuh curiga.“Dua peraturan dihapus. Jumlah cuma tinggal enam.” Erik menggeleng dramatis. “Itu ngga bisa dibiarkan. Kecuali ... menambah satu peraturan lagi, dan aku yang—”“Peraturan yang dihapus kan cuma yang buat gue! Yang ngga boleh jalan sama cowok lain itu aja yang dihapus! Yang lu mah tetep! Jadi udah! cuma kurang satu, kan?!”Erik berdecih. “Jadi cuma kamu aja yang boleh jalan sama orang lain? Aku ngga boleh?”“Ya kalau lo mau jalan sama cewek lain juga ngga apa-apa, sih! Kita hapus dua-duanya. Jadi kalau gitu hapus dua peraturan, ganti dengan dua peraturan bar—”Erik lantas menggeleng pelan. “Ngga perlu. Hapus aja punya kamu.”Wanita di hadapan Erik langsung mencebik. “Yakin?” Penuh keraguan.“Yakin! Jadi ... karena peraturan yang aku buat, yang kita hapus. Aku harus menggantinya dengan peraturan baru, kan?” Erik menaik turunkan alisnya.Syera berdecak. “Jangan aneh-aneh,” desisnya.“Cuma satu aneh aja.” Erik menyampirkan dagu pada bahu Syera.“Gue serius, Rik! Sampai lo bikin peraturan yang—”“Ranjang aku dingin. Hangatkan setiap seminggu sekali.” Kecupan mendarat pada leher Syera yang tertutupi helaian rambut.Wanita itu lantas terpaku, tanpa bisa melanjutkan ucapannya. Dia diam, bahkan hembusan napas dari hidungnya pun sampai tak terdengar.Erik memang sialan. Pria itu selalu saja menjebaknya dengan cara tak terduga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan