
DAFTAR ISI
XXVI - AKU JUGA MENGINGINKANMU
XXVII - PASANGAN DANSA
XXVIII - KEKHAWATIRAN YANG SULIT DIUNGKAPKAN
XXIX - IBLIS BERKEDOK MALAIKAT
XXX - SUDAHI SAJA HUBUNGAN KALIAN
XXVI - AKU JUGA MENGINGINKANMU
Malam harinya, pasangan suami istri yang belum lama menjadi 'pasangan sesungguhnya' itu saling berbagi cerita sebelum beranjak tidur.
Brianna menempati sofa, sementara Bjorn bersila di bawah, bersandar antara sela kaki istrinya sambil melihat-lihat katalog bergambar dress wanita. Rambut legamnya yang basah sehabis keramas sedang Brianna bantu keringkan.
"Aku suka yang ini," tunjuk Bjorn pada salah satu gaun di katalog.
Brianna sedikit memajukan kepala. Pilihan Bjorn jatuh pada gaun satin merah muda dengan pola bunga sakura. "Gaunku sudah banyak."
Bjorn selalu memperhatikan apa yang dikenakan Brianna. Wanita itu lebih sering menggunakan dress sederhana daripada gaun mahal. "Aku ingin memberimu lebih banyak. Singkirkan saja baju lamamu."
"Kenapa? Kamu malu karena aku terlihat jelek saat pakai baju lama?"
Tentu saja tidak. Bukan masalah itu Bjorn ingin memborong gaun, tapi karena Brianna berhemat meski suaminya menghasilkan banyak uang.
"Kau mau pakai apapun tetap cantik," gumamnya pelan, "apalagi saat tidak pakai apa-apa."
"Apa?"
"Kau cantik."
"...,"
Karena tangan Brianna yang mengeringkan rambutnya tiba-tiba berhenti bergerak, Bjorn menutup katalog dan menoleh dari bahu. Ternyata wanita itu sedang membelalak dengan wajah merah.
Bjorn terkekeh gemas. "Kamu dengar, ya?"
"Jangan menggodaku!" Bisa-bisanya Bjorn mengatakan hal vulgar tersebut dengan santainya.
"Oke-oke. Aku akan berhenti kalau kamu membolehkanku membelikan gaun."
Bjorn sangat keras kepala. Kalau tidak dituruti, pria itu pasti akan mengerahkan segala cara. "Huft ..., baiklah, belikan aku satu saja."
"Benar, ya?" Smirk Bjorn terangkat. Tidak peduli yang penting Brianna sudah mengijinkannya membelikan baju. Toh, 'satu' memiliki banyak arti. Satu toko, misalnya.
"Bjorn."
"Hmm?" Bjorn tak melepas atensi dari katalog yang dia buka kembali.
"Terima kasih. Kau yang mengijinkan Zed tinggal di sini untuk sementara, 'kan?"
"Tidak perlu berterima kasih," tolaknya. Brianna mewakili apa yang seharusnya Zed katakan sendiri seakan-akan dialah yang bertanggung jawab. Dasar mata kadal tidak tahu diri!
"Kamu tidak akan salah paham lagi, 'kan? Aku dan Zed hanya teman. Kami tidak memiliki perasaan suka seperti yang dulu kamu bayangkan."
"Sudah ku bilang aku percaya padamu, Bia." Yang tidak ku percayai adalah Bajing*an itu.
Brianna tersenyum simpul. Sikap Bjorn sangat berubah sekarang. Pria itu benar-benar menepati janjinya untuk memperlakukannya dengan baik. Bahkan saat hendak menyentuh pun dia meminta ijin terlebih dahulu. Sungguh manis sekali.
Brianna jadi tak segan lagi membuka hati padanya. Dipeluknya leher kokoh pria itu dari belakang sebelum mengecup pipinya singkat.
Spontan Bjorn menoleh kaget. "Apa ini?!" serunya memegangi pipi.
"Hadiah."
"Untuk apa?"
"Untuk gaun dan telah mempercayaiku."
Sejak kapan memeluk dan mengecup pipi disebut hadiah? Bjorn mengerutkan alis tak senang. "Kurang. Mau lagi."
"Apanya yang kurang? Maksudmu ini?" Brianna menangkup rahang Bjorn dan mencium pipinya sekali lagi.
Sial, apa dia tidak tahu betapa manisnya dia saat menggodaku seperti ini? umpat Bjorn, berusaha tetap waras selagi hasrat binatangnya terbangkitkan.
"Bio, kenapa diam saja?"
"Aku ingin 'memelukmu'. Bolehkah?" tanya Bjorn, tak tahan lagi. Meski sebenarnya dia sendiri sudah bersiap, jika Brianna masih terlihat ragu, dia tidak keberatan menunggu.
Saat mabuk malam itu, Bjorn tidak bisa mengendalikan diri dan berakhir melukai Brianna. Momen berharga sekaligus pahit yang menjadi penyesalan Bjorn hingga sekarang.
Pengalaman pertama mereka terlewati tanpa kata-kata manis bagaikan itu adalah sebuah kesalahan. Maka dari itu, mulai sekarang Bjorn bertekad akan meminta ijin terlebih dahulu sebelum dia menyentuh Brianna.
Bjorn ingin membuktikan nilainya sebagai pria sejati. Bahwa dia menghargai, menghormati, menyayangi, dan tulus mencintai Brianna sebagai seorang yang akan setia mendampinginya hingga maut memisahkan mereka.
Semburat merah muncul di pipi Brianna. Tanpa berpikir lama, wanita itu mengangguk mengiyakan.
Bjorn langsung memajukan dagu, melumat bibir Brianna lembut sampai wanita itu terdorong mundur dan terkurung di atas sofa. Rahangnya dengan cekatan mendesak ceruk leher Brianna, menghisap dan meninggalkan tanda di sana.
"B-bjorn ...," lenguh Brianna kala sensasi aneh mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Deru nafas pria itu terasa panas sekaligus menggelitik di waktu bersamaan.
Memberi Brianna waktu untuk bernafas, Bjorn mengurungnya di bawah. Sorot teduh pria itu menyerupai rembulan merah dengan bayangan Brianna sebagai satu-satunya objek yang dia lihat.
Wanitanya tampak begitu indah saat dia memalingkan wajah. Rambutnya tergerai menjuntai bagai akar pohon salju. Sementara gaun malamnya yang sedikit tersingkap mengekspos kulit mulusnya dengan sangat menggoda.
"Ini kesempatan terakhirmu untuk berubah pikiran." Bjorn memastikan sekali lagi karena dia tidak yakin bisa berhenti jika sudah memulainya.
Brianna, mengalungkan lengan ke leher suaminya tanpa ragu. "Aku juga menginginkanmu."
Bjorn merasa lega sekaligus bahagia. Malam itu, mereka berbagi cinta dan kehangatan untuk yang kedua kali dengan gairah menyala-nyala melebihi 'malam pertama'.
*****
"Bjorn Hadeus Vulcan," suara sang pendeta menggema dalam aula, "bersediakah engkau, mengambil Brianna Camellia Gletser sebagai istri. Selalu setia, baik susah maupun senang, sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?"
Bjorn menunduk, menatap pengantinnya dengan kebahagiaan tak lekang. "Bersedia."
Pendeta itu lantas beralih ke pengantin wanita. "Brianna Camellia Gletser, bersediakah engkau menjadi istri dari Bjorn-,"
"Lompati bagian saya."
Sang pendeta membelalak, begitu pula dengan Bjorn yang membeku di tempat. Detak jantungnya nyaris berhenti mendengar penolakan tegas Brianna.
"Bia, apa yang kamu lakukan? Sumpah ini-,"
Brianna menengadah, menatap calon suaminya sinis. "Berhentilah protes! Kamu lupa ini yang kamu lakukan padaku?!"
Tidak mungkin! Bagaimana bisa Brianna bersikap sedingin ini padanya? Bukankah mereka sudah berbaikan?
Bjorn mengedarkan pandangan dengan perasaan terguncang ke para tamu undangan. Mereka memberinya tatapan penuh kebencian. Ayahnya, Beastan, Sergio, dan Lord Erik yang tiba-tiba menggandeng Brianna pergi.
"Menitipkan putriku padamu adalah kesalahan besar. Lebih baik ku ambil dia bersamaku."
"TIDAK! BRIANNA, JANGAN TINGGALKAN AKU!"
Sang Pendeta tiba-tiba menahan Bjorn mengejar Brianna.
"Percuma bilang baik-baik saja kalau pada akhirnya tetap hancur," kata Sang Pendeta yang ternyata telah berubah menjadi sosok pria bermata naga dengan belati berlumuran darah di tangannya.
Bjorn buru-buru melepaskan diri, tapi Brianna telah terbujur kaku dalam peti mati. Gaun pengantinnya menyerap darah segar yang mengalir sampai ke tempat Bjorn berdiri.
Bjorn tersentak bangun. Nafasnya memburu, sementara peluh membanjiri dahi. Perasaan campur aduk antara kalut, panik sekaligus gelisah sama sekali tidak berkurang meski dia menyadari bahwa itu hanya mimpi.
Pria bertelanjang dada itu mengusap wajahnya frustasi. Dia tak mampu membayangkan sehancur apa dirinya seandainya mimpi buruk barusan menjadi kenyataan.
"Brianna," desisnya memeriksa keadaan sang istri yang masih terlelap dengan tubuh polos terbalut selimut.
Bjorn menghela nafas kala mengetahui denyut nadi dan pernafasan Brianna stabil. Lantas dia kembali berbaring dan memeluk istrinya untuk menenangkan diri.
"Maaf, Bia. Maaf. Maafkan aku." Bjorn tak bisa berhenti menggumamkan kata maaf. Hanya dalam mimpi saja dia merasa sehancur ini saat Brianna memperlakukannya dengan dingin dan menolak mengucapkan sumpah.
Apa kabar dengan Brianna yang benar-benar mengalaminya waktu itu?
Seberapa hancur hatinya saat dia dipermalukan dan dikejami oleh suaminya sendiri?
*****
Pesta perjamuan sebagai acara penutupan Turnamen Api akhirnya digelar. Pesta ini berlangsung di ballroom utama Mansion Vulcan, dihadiri oleh para petinggi dan orang-orang ningrat dari seluruh penjuru bumi.
Selain sebagai acara penutup, pesta diselenggarakan guna memberi penghargaan bagi pemenang turnamen. Makanan dan minuman terbaik tidak hanya dipersembahkan dalam pesta, namun juga dilimpahkan hingga masyarakat biasa yang berkumpul di festival.
Bjorn dan Brianna mengenakan busana senada, perpaduan antara biru gelap dan hitam dengan corak perak yang elegan. Mereka telah berdiri di depan pintu masuk, mempersiapkan diri sebelum nama mereka dikumandangkan.
"Kamu gugup?" Bjorn menunduk ke samping dimana Brianna menggandeng lengannya sebagai pendamping.
"Sedikit."
Sial, Istriku terlalu cantik, batin Bjorn tak rela menunjukkan Brianna ke orang lain. "Bagaimana kalau kita ke kamar saja?"
Brianna mencubit lengan suaminya sebagai teguran. "Tidak."
"Sayang sekali."
Kala pintu agung berlambangkan bangsa Vulcan itu terbuka, nama mereka digemakan hingga ke seluruh sudut ruangan.
"Master Bjorn Hadeus Vulcan dan Evenette Brianna Camellia Vulcan memasuki aula!"
XXVII - PASANGAN DANSA
"Master Bjorn Hadeus Vulcan dan Evenette Brianna Camelia Vulcan memasuki aula!"
Perhatian para ningrat langsung tertuju pada pasangan Vulcan yang turun dari tangga. Terlepas dari statusnya sebagai mantan tawanan, tak ada pemuda yang tak terpesona melihat Evenette Brianna tersenyum anggun.
Separuh rambut ikal wanita itu dikepang berhiaskan mawar biru yang menyusuri hingga ujung. Sementara gaun gradasi biru-hitamnya menjuntai jatuh dengan taburan glitter perak menyerupai malam berbintang.
"Tidak salah orang-orang Gletser pernah menjuluki Evenette malaikat."
"Saya setuju, Evenette benar-benar cantik."
Tania Wisterlize mendecak lidah di antara mereka. Padahal sebelum Brianna datang kehadirannya cukup menjadi sorotan orang-orang. Tentu dia tidak lupa menyembunyikan luka lehernya hasil goresan Bjorn tempo hari dalam kerah.
Apa, sih yang dilihat dari Jal*ng itu? Bahkan gaunnya pun tak sebanding dengan gaun merah mengembangku yang lebih mewah!
Bukan hanya Brianna yang dipuja. Begitu anak tangga terakhir terlewati, Bjorn langsung dikerumuni oleh para nona dari berbagai bangsa. Meski sudah menjadi lelaki beristri, sulit mengabaikan pria yang nyaris sempurna tersebut untuk dijadikan sebagai suami.
Bjorn sepuluh kali terlihat lebih tampan sekarang, saat sebelah poninya disisir rapi ke belakang. Badan tegap pria itu dibalut jas biru dengan rumbai di bahu. Aura dominan serta kegagahannya begitu kental berkat mantel bulu hitam yang tersampir di pundak kanannya sebagai simbol petinggi Vulcan.
"Master, saya junior Anda di akademi. Anda pernah menolong saya dari monster."
"Sayang sekali tahun ini Anda tidak mengikuti turnamen lagi. Turnamen yang lalu saya mendukung Anda di bangku terdepan."
"Master Bjorn, ayah saya tertarik untuk berbisnis dengan Anda. Saya harap Anda berkenan mengunjungi kediaman kami."
Mereka mengabaikan keberadaan Brianna secara terang-terangan. Bahkan ada yang berani mendesak wanita itu hingga pegangannya dari lengan Bjorn terlepas. Beruntung Bjorn menarik pinggangnya lebih cepat.
"Evenette, saya ada urusan dengan Master. Tolong menyingkir sedikit."
Urat kejengkelan timbul di rahang Bjorn. Belum lima menit dia masuk bersama Brianna, para cecenguk busuk itu sudah membuatnya geram.
"Hei, kalian-,"
"Bio," cegah Brianna sebelum Bjorn melakukan kekerasan di tengah acara perjamuan, "biar aku saja."
"Tapi, Bia-,"
"Sayang."
Dipanggil dengan lembut begitu tentu Bjorn langsung luluh. "Hm, terserahlah."
"Nona-nona sekalian," sapa Brianna maju di depan Bjorn. Wajah menyilaukannya cukup membuat para gadis mencibir iri, "tolong ikuti acara perjamuan ini dengan tenang."
Beberapa gadis itu mengipasi wajah mereka lantaran kesal. "Evenette, kami sedang berbicara dengan Master. Bagaimana bisa Anda menyela-,"
"Saya istrinya," potong Brianna cepat. Dia berani menekan tanpa menghilangkan senyum ramahnya. "Saya berhak menyela jika lawan bicara suami saya adalah nona muda seperti Anda sekalian yang memiliki maksud tertentu."
"Astaga, tidak sopan sekali Anda menuduh kami memiliki mak-,"
"Bahkan jika mau, saya bisa mengusir kalian dari tempat ini karena telah mengganggu kenyamanan tamu lain."
"A-apa?"
"Saya seorang Vulcan sekarang. Meremehkan saya berarti meremehkan calon penguasa Vulcan," tegas Brianna tanpa menurunkan pandangan, membuat mereka sedikit menciut.
Orang-orang yang tidak berada di kubu manapun mulai berbisik, menyetujui ucapan Brianna. Terlepas dari mana Evenette berasal, jelas kedudukannya lebih tinggi di banding seluruh wanita yang berkumpul di ballroom saat ini.
Para gadis tak tahu diri itu melempar pandang satu sama lain, sebelum akhirnya menyingkir dengan perasaan malu. Brianna tahu mereka hanyalah orang-orang yang tidak diundang dalam pesta teh tempo hari, sebab itu tak tahu menahu Bjorn nyaris membunuh Tania dan pengikutnya.
"Tunggu." Bjorn mencegah gadis-gadis itu pergi. "Kalian melarikan diri tanpa meminta maaf dan memohon ampun pada Istriku?"
"Ka-kami mohon maaf-,"
"Terlambat." Sayangnya Bjorn bukan orang yang murah hati macam istrinya.
Para gadis itu merinding kalut, menyesal telah meremehkan sang Evenette yang berasal dari Gletser.
"Sergio!"
"Ya, Master."
"Usir mereka! Dan untuk seterusnya, jangan biarkan mereka memasuki tempat ini!"
"Baik, Master."
"T-tunggu, Master! Ini hanya kesalahpahaman kecil!" Ada yang meronta, bahkan ada yang langsung menurut tanpa diseret penjaga saking malunya.
"E-evenette, tolong ampuni kami! Kami bersalah!"
Brianna tak berkutik meski mereka menangis atau berlutut. Lebih baik diusir daripada Bjorn menebas lidah mereka.
Bermaksud mengumumkan sekaligus memberi peringatan, Bjorn meraih tangan Brianna dan memperlihatkan pada orang-orang. "Semua yang hadir di sini sudah lihat sendiri. Evenette Brianna adalah wanitaku. Hanya karena berasal dari Gletser, bukan berarti kalian boleh merendahkan martabat Istriku! Siapapun yang bersikap lancang, aku tidak segan menghukum dengan lebih kejam!"
Tania semakin panas. Orang yang seharusnya berdiri di samping Bjorn sekarang adalah aku! Meski begitu, Tania masih berpikir waras bahwa dia tidak boleh bertindak gegabah. Tunggu sampai Bjorn bosan, maka dia akan sadar bahwa aku adalah wanita yang paling pantas menjadi istrinya.
Suasana mencekam kembali mencair begitu Bjorn menitahkan para pemusik memainkan instrumen mereka. Perpaduan dari beberapa alat musik pun mengalun merdu mengiringi hiruk pikuk kemegahan ballroom.
Tak berselang lama, tokoh paling dikenal sejagad Vulcan dan Asteri akhirnya muncul diurutan terakhir. "Ruler Helios Asteri, Lord Deimos Hadeus Vulcan, dan Putri Galadina Asteri memasuki aula!"
Perhatian Ruler jatuh pada Brianna begitu pria bersurai pirang dengan anting jangkar tersebut menuruni tangga. "Sungguh menarik. Hanya gara-gara batu sandungan yang memikat mata, satu bangsa terancam pecah," gumamnya saat semua orang membungkuk hormat.
Putri Galadina dan pria beratribut penguasa Vulcan di samping Sang Ruler memilih diam saja. Prosesi pemberian penghargaan pada juara pertama Turnamen Api pun segera dilangsungkan. Mahkota emas berbentuk rangkaian daun disematkan kepada Scartaz Leonhart oleh Bjorn Vulcan sebagai piala bergilir.
"Aku baru tahu kamu adalah pemenang Turnamen Api sebelumnya," ujar Brianna begitu mengetahui Bjorn-lah yang menyematkan mahkota bergilir.
"Kenapa? Kau mau memberiku hadiah?" goda Bjorn menaikkan alisnya sebelah.
Acara selanjutnya adalah pesta dansa. Scartaz Leonhart menerima ajakan Putri Galadina sebagai tokoh utama yang memulai dansa. Pasangan kedua disusul oleh Bjorn dan Brianna.
"Dasar orang-orang kejam," rutuk Sergio, menyesap anggur sambil mencibir sebal menyaksikan 'rekan-rekannya' saling berpasangan, sementara dia sendiri kesepian.
Seorang wanita tua tiba-tiba menghampiri Sergio. "Anak Muda, kamu terlihat segar dan kencang."
Sial, nenek siapa ini?
"Hei, jangan menghindar, Anak Muda. Panggil aku Madam Virgin."
Sergio semakin keringat dingin. "S-saya mendadak tidak enak badan. Saya harus pulang."
"Dimana rumahmu? Akan ku antar."
Hiiiy!
Sergio yang malang. Melihat kesibukan pria itu menghindar dari nenek genit membuat Putri Galadina tertawa ditengah dansanya bersama Scartaz.
"Anda terlihat senang, Tuan Putri," ujar Scartaz, pengawal pribadi sang Putri sekaligus orang yang menjadi pemenang Turnamen Api.
"Saudaramu sangat konyol, Sir Leonhart."
"Dia bukan konyol. Hanya selalu sial." Scartaz akui saudaranya memang selalu ditimpa kemalangan. Seperti sekarang saat dia ditempeli nenek girang atau menjadi asisten Bjorn, misalnya.
Sementara di tempat lain, Brianna seringkali melirik Putri Galadina daripada fokus berdansa. Dia cukup kagum melihat kecantikan Putri Galadina tak sirna meski gadis itu mengenakan setelan resmi ksatria wanita dengan mengikat tinggi rambutnya. "Apa Putri memang suka berpakaian seperti laki-laki?"
"Hmm. Dia tomboi, garang, kasar. Jangan tertipu saat dia bersikap anggun. Itu hanya akting!"
Brianna meringis. Bjorn terlalu berlebihan. Padahal saat mengaku menyukai seseorang dengan pipi merona, Putri tampak seperti bunga dahlia yang baru mekar.
Melihat kedekatan Putri dengan pengawalnya sekarang, Brianna dapat menebak siapa yang gadis itu sukai. Terlebih sapu tangan berinisial 'S' yang Putri gunakan tempo hari. Siapa lagi pria itu jika bukan Scartaz?
"Dari tadi kau lihat kemana, Istriku? Kamu lebih menyukai nenek sihir ketimbang fokus pada suamimu?"
"Maaf, Sayang. Aku hanya berpikir Putri terlihat sangat cantik."
"Kamu lebih cantik."
Brianna tersenyum hingga lesung pipinya muncul. Satu putaran musik hampir berakhir. Brianna berputar dan Bjorn mengangkat tubuhnya sekali sebagai penutup tarian. Tepuk tangan bergemuruh di seluruh sudut ballroom, terkagum oleh dansa yang dibawakan oleh dua pasangan serasi tersebut.
Lagu kedua pun mulai dialunkan. Kini seluruh tamu undangan bisa bergabung di tengah ballroom untuk menari. Termasuk Ruler Helios yang tiba-tiba mendekati sang Evenette berdiri.
Pria itu tak pandang bulu dengan keberadaan Bjorn di dekatnya, nekat mencium punggung tangan Brianna. "Evenette, berdansalah denganku."
XXVIII - KEKHAWATIRAN YANG SULIT DIUNGKAPKAN
Ruler Helios tak pandang bulu dengan keberadaan Bjorn di dekatnya, nekat mencium punggung tangan Brianna. "Evenette, berdansalah denganku."
Semua orang menatap mereka bertanya-tanya. Mengapa dari sekian banyaknya gadis lajang, Ruler memilih wanita yang sudah bersuami?
Brianna terjebak dalam kebimbangan. Jika ia mengiyakan, Bjorn bisa sakit hati. Tapi jika menolak, konflik lain mungkin akan muncul. Apalagi dari kalimat dan nada bicara sang Ruler, jelas itu perintah. Bukan permintaan.
Gelar Ruler lebih tinggi daripada Lord. Menampik perintah Ruler sama saja dia membangkang kata-kata mutlaknya. Brianna tidak mau penolakkannya dianggap sebagai tindakan lancang hingga menimbulkan dampak buruk bagi Bjorn dan Bangsa Vulcan.
Maaf, Bjorn, sebentar saja. Jalan terbaik yang bisa Brianna pilih adalah menyambut uluran tangan Ruler dengan sopan. "Suatu kehormatan bisa berdansa dengan Ruler yang agung dan mulia."
Sesuai dugaan Brianna, Bjorn terbakar oleh rasa murka. Bara hitam berkobar dari kepalan tangannya tanpa dia sadari, nyaris menyerang sang Ruler yang melingkari pinggang Brianna.
Lord Deimos cepat-cepat menyadarkan sebelum putranya berulah. "Jangan gegabah," peringatnya, "bawa anak itu pergi dari sini selagi aku mengalihkan perhatian Ruler."
Lebih baik membawa Brianna dengan cara tenang daripada menyerang Ruler dan membuat masalah semakin runyam.
"Ruler, maaf menyela. Putra saya mengatakan Evenette sedang kurang sehat. Dengan segenap kemurahan hati Anda, saya mohon Anda mengijinkan menantu saya beristirahat." Lord Deimos membantu membebaskan Brianna dari genggaman Ruler sebelum mereka memulai dansa.
Ruler melihat Lord dan Brianna bergantian. Sudut bibirnya terangkat naik. "Begitukah? Kenapa kau diam saja, Evenette? Silakan beristirahat. Mana mungkin aku memaksa wanita yang sedang sakit?"
"Terima kasih, Ruler." Brianna membungkuk pamit. Ruler sempat mengecup kembali punggung tangan Brianna sebagai salam perpisahan.
"Ayo." Bjorn menarik Brianna pergi. Dia sedikit diherankan dengan sikap sang Ayah. Lord Deimos adalah orang pertama yang menentangnya menikahi Brianna. Tapi mengapa pria itu selalu turun tangan tiap kali Brianna mengalami kesulitan?
Ibarat mulut tak sinkron dengan tindakan. Tidak menyukai, tetapi peduli. Bjorn sudah merasa janggal sejak ayahnya mengundang Brianna ke Taman Wisteria.
Buat apa menunjukkan tempat berharga milik orang yang dia cintai pada menantu yang dia benci? Jangan-jangan ada sesuatu yang ayahnya sembunyikan terkait Brianna?
Begitu Bjorn dan Brianna meninggalkan aula, Ruler Helios berdansa dengan beberapa gadis muda sebagai bentuk formalitas sebelum menduduki singgasana di samping bangku kebesaran Lord Deimos.
"Lord, sampai kapan kau akan mempertahankan Evenette menjadi menantumu?" tanya Helios, lagi-lagi membicarakan Brianna.
Pertanyaan gamblang sang Ruler terdengar tidak pantas, namun Lord Deimos tetap menyahut dengan santun. "Seorang Evenette harus selalu berada dalam lindungan kami, Ruler."
"Ya ya, aku mengerti. Jika dia mati, maka putramu tidak bisa menggunakan kekuatannya lagi. Bukan begitu?" Helios mengetuk-ngetukkan jemari tangannya pada sandaran kursi sambil memikirkan pertolongan macam apa yang bisa dia tawarkan untuk membantu Lord Deimos.
"Anda tidak perlu khawatir, Ruler. Saya dan putra saya sudah mengerahkan pengawalan sebaik mungkin untuk Evenette."
"Tidak tidak! Aku sungguh khawatir dengan Evenette, Lord. Evenette berasal dari Gletser. Dan saat ini Gletser adalah objek yang paling diburu oleh orang-orangmu untuk dibunuh. Bukankah lebih aman jika dia tinggal di istanaku?"
Deimos mendadak terdiam. Kegundahan panjang yang selama ini mengusik pikirannya sedikit demi sedikit mulai terpecahkan. Dia tahu mengarah kemana tujuan Ruler membantunya.
Pesan yang pernah disampaikan mendiang Lord Erik sepertinya adalah kebenaran.
*****
Sementara di tempat lain, atensi Zed tertuju pada sang Ruler dan Lord Deimos yang sedang berbincang. Sedari tadi, pria bertindik itu berbaring miring di jendela atas dengan tangan menyangga kepala. Mata buasnya terus mengincar 'sosok mulia' yang ingin segera dia lempar ke neraka.
*****
Sembari menarik tangan Brianna, Bjorn melangkah dengan kasar seolah ingin menginjak orang-orang. Sorot elang dan urat di rahangnya adalah bukti kemarahan yang sekuat mungkin dia tahan.
"Bjorn."
"Hm."
"Kau marah?"
"Tidak."
Dari cara Bjorn menjawab saja kelihatan jelas bahwa pria itu sedang marah. "Bjorn, kau tidak mau melihatku?"
"...,"
"Bio."
"...,"
"Sayang."
"...,"
Masih tidak dihiraukan meskipun sudah dirayu, Brianna akhirnya menunduk melihat kaki bersepatu heels-nya yang terasa sempit. Sepertinya ini bisa dia jadikan senjata.
"Bio, kakiku agak sakit."
Langkah Bjorn langsung terhenti. Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu sigap membopong Brianna ke bangku terdekat.
"Tunggu, aku bisa jalan sendiri!"
Bjorn membelalak melihat warna kemerahan dan luka lecet di tumit Brianna begitu sepatu itu dia lepaskan. "Sial."
"Apa?"
"Maaf. Ini karenaku." Sungguh kekanakan jika kemarahannya yang ditujukan pada Helios dia lampiaskan ke Brianna. Kalau saja dia tidak buru-buru menarik Brianna. Kalau saja dia sedikit lebih memperhatikan Brianna, maka wanita itu tidak akan terluka.
Brianna cepat-cepat menyanggah. "Tidak, ini bukan salahmu. Aku sendiri yang terlalu memaksakan diri memakainya."
"Sepatu sialan! Apa gunamu dasar tumit lancip!"
Alih-alih menyalahkan Brianna, beruang besar yang berlutut di depan istrinya itu justru sibuk menyumpahi heels seolah benda mati tersebut bisa dia mintai pertanggungjawaban.
Brianna terkikik geli. "Jadi, aku tidak terlihat cantik meskipun memakai ini?"
"Kau tidak pakai ini pun sudah cantik." Toh, sepatunya tertutup rok gaun yang menjuntai. Orang-orang tidak akan menyadari meski Brianna telanjang kaki sekalipun.
"Bio, aku berdandan, memakai gaun, dan mengenakan sepatu merepotkan ini karena aku ingin terlihat cantik di matamu."
"Tapi aku lebih suka saat kamu tidak pakai apa-ap-,"
Brianna membekap mulut suaminya sebelum pria mesum itu selesai bicara. "Selain itu, aku juga ingin terlihat sempurna di pandangan orang lain sebagai istrimu."
Muka Bjorn memberengut lagi. "Kau berhasil melakukannya, sampai babi hutan itu pun menempel padamu."
Brianna mengerutkan alis. "Siapa?"
"Helios."
Brianna melotot. Bisa-bisanya Bjorn mengatai sang Ruler 'babi hutan'. Untungnya, kondisi taman yang mereka tempati sedang sepi. "Aku tidak bisa menolak perintah Ruler begitu saja. Aku khawatir tindakanku bisa berdampak buruk padamu dan bangsa Vulcan."
Bjorn terdiam sejenak. Bukan maksud dia ingin membuat Brianna kesulitan. Hanya saja, melihat istrinya berdansa dengan pria lain adalah bentuk siksaan tersendiri baginya. Apalagi saat Helios mengecup punggung tangan Brianna. Kala itu Bjorn gatal sekali ingin menggosok-gosok bekas kecupannya.
"Maafkan aku. Aku yang keterlaluan. Aku terlalu terbawa perasaan sampai tidak memahami kekhawatiran istriku."
Aneh. Brianna kira dengan sifat posesifnya itu, Bjorn tidak akan luluh semudah ini. "Tidakkah kamu terlalu sering minta maaf akhir-akhir ini?" tanya Brianna, menangkap rahang tegas suaminya hingga mereka bertatapan.
"Aku ...," merasa lebih tenang saat aku mengalah dan meminta maaf ketimbang kamu memilih pergi.
Sejujurnya, Bjorn takut dibenci. Mimpi buruk tentang dia yang kehilangan Brianna terus menghantuinya akhir-akhir ini, sampai menimbulkan efek traumatis yang tak mudah dilupakan. Apakah itu adalah tanda peringatan untuknya bahwa Brianna bisa meninggalkannya kapan saja?
"Bio, wajahmu terlihat pucat. Apa kamu sakit?" Telapak tangan Brianna yang kecil dan hangat itu sedikit memberi Bjorn ketenangan.
Bjorn segera menggeleng. Jangan sampai Brianna tahu tentang ketakutannya belakangan ini. Barangkali wanita itu akan kecewa, mengira suaminya sendiri meragukan kesetiaan serta ketulusannya sebagai istri.
"Kau tidak perlu khawatirkan apapun mulai sekarang, Bia. Kamu memilikiku. Bertindaklah sesuai keinginanmu, aku akan melindungimu dari belakang. Jangan segan menolak terlepas status orang itu adalah Ruler sekalipun. Lagi pula penolakan kecil seperti itu tidak cukup untuk menyulut peperangan antara aku dan Asteri."
Anggukan kecil Brianna bagai sebuah letusan kembang api di hati Bjorn Vulcan. Menghidupkan semangat sekaligus kelegaan yang meredup di tengah sunyinya malam.
"Ya, aku akan berusaha menolaknya lain kali." Brianna paham perasaan Bjorn. Mereka adalah pasangan suami istri, wajar jika pria itu cemburu. Jika Bjorn didekati gadis lain pun Brianna akan melakukan hal yang sama.
"Omong-omong, Bio. Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Hmm?"
"Setelah melewati malam pertama kita waktu itu, mengapa kamu memberiku tulip putih?"
XXIX - IBLIS BERKEDOK MALAIKAT
Menyebalkan! Harusnya aku tidak usah datang ke pesta menjengkelkan ini!
Sembari menggerutu, Tania Wisterlize baru akan menyeret gaun merahnya keluar ballroom ketika seorang pria berpenampilan elegan tiba-tiba mengulurkan tangan.
"Nona Wisterlize, alangkah baiknya menari sekali denganku sebelum meninggalkan tempai ini."
Oh, rupanya kamu. Tania tidak begitu terkejut kala dia mengetahui siapa pria itu. "Suatu kehormatan bagi saya."
Selepas saling memberi salam pembuka sesuai etiket, mereka pun memulai dansa. Tania kembali memasang ekspresi cantik begitu ia menjadi sorotan.
"Bagaimana dengan orang-orangmu yang kau taruh di sekitar Evenette?" tanya pria itu, menagih penjelasan sampai mana rencana Tania berjalan.
"Belum ada perkembangan. Penjagaan di sekitar J*lang itu nyaris tidak ada celah," sahut Tania dengan senyum natural.
Baik Tania maupun pria itu sudah terbiasa membicarakan hal penting di depan umum seolah mereka berbincang ringan. Lagi pula, dengan instrumen sekeras itu, keduanya yakin tidak ada yang bakal mendengar percakapan mereka.
"Setelah ku pikir-pikir, sepertinya kita tidak perlu menyingkirkannya."
Terakhir kali mereka bertemu di bar, pria itu buru-buru ingin menghilangkan Brianna lantaran 'orang itu' sudah tiba. Sekarang ada angin apa sampai dia berubah pikiran? "Kenapa? Kau menginginkannya?"
"Ya. Sebagai pajangan. Sayang jika wanita secantik itu mati tanpa bisa ku nikmati terlebih dahulu. Betapa beruntungnya Bjorn Vulcan mendapatkan rampasan perang sebagus itu. Seandainya aku bertemu dia lebih awal, aku akan langsung menandainya sebagai 'Regina' masa depan."
Tania memutar bola mata, jengah dengan selera sepupunya yang buruk. "Kemudian dia akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari aku?"
"Kau lupa bahwa kau seorang Wisterlize dari Vulcan? Meski gelarnya lebih tinggi, kekuasaanmu tidak bisa dibandingkan dengannya. Kau bahkan bisa mengaturnya seperti boneka. Tidak ada yang lebih baik dari itu, bukan?"
Apa yang diucapkan lelaki itu benar. Jika mereka mengambil 'Regina' dari bangsawan tinggi, Tania tidak bisa mengontrolnya. Sendirinya tak mungkin menjadi 'Regina' terlepas dari hubungan darah mereka yang sangat dekat, Tania lebih menginginkan kursi mendiang kakeknya sebagai penguasa Vulcan.
Ketika impiannya menjadi pasangan Bjorn tercapai nanti, semua menjadi sempurna bila perempuan yang ditetapkan sebagai 'Regina' adalah tawanan perang yang tidak memiliki kuasa. Dengan begitu, meskipun Tania hanya berstatus Lady Vulcan, pengaruhnya tak kan lebih rendah dibanding sang Regina.
"Kau membual dengan baik. Tapi, baiklah. Aku akan mempertimbangkannya." Belum terlambat mengubah rencana mereka.
Tania tinggal mengirim aba-aba kepada orang suruhannya yang kini menyamar di dalam mansion. Dia adalah orang yang memiliki obsesi tinggi untuk menyingkirkan si J*lang Gletser.
Orang dengan dendam pribadi sepertinya sangat mudah digerakkan. Terlebih, dia sudah mengenal seluk beluk mansion Vulcan sekaligus sistem keamanannya.
Tidak salah aku memilih orang bodoh itu untuk menjalankan rencanaku. Jika semua berjalan baik, aku tinggal menyingkirkannya.
Bjorn pasti kesulitan menemukan siapa dalang dibalik rencana kotor tersebut jika Tania memutuskan ekornya terlebih dahulu. Meski dicurigai, Bjorn tidak akan memiliki bukti untuk menuduhnya.
"Sebaiknya kita berhenti di sini," bisik pria tersebut kala dia merasakan tatapan tajam seseorang terus mengawasinya dari atas.
"Baiklah. Kita bertemu beberapa hari lagi."
Mereka segera berpisah sebelum ada yang semakin curiga. Jangan sampai ada tahu bila Tania Wisterlize memiliki hubungan darah dengan Helios Asteri.
Begitu Tania melenggang pergi, Helios menengok ke atas sekilas. Sesuai dugaannya, sang pemilik mata naga sedang mengawasi.
Beberapa hari lalu, setelah mempelajari sistem penjagaan di penjara bawah tanah Vulcan, Helios berhasil menyelinap kala para petugas sedang berganti shift.
Dengan kepercayaan diri yang tak lekang, dia mengunjungi kurungan sang pemilik mata dewa ditempatkan.
Seperti kata orang-orang, mata pria itu begitu indah nan agung. Sorot dinginnya serasa api membara yang membius mangsa di depannya.
Begitu pandangan mereka beradu, Helios sempat terjerat oleh perasaan tertekan entah mengapa. Darahnya berdesir merinding tanpa alasan. Panas dingin menguasai tubuhnya hingga kepercayaan diri itu runtuh seketika.
"Hei, kau. Aku lapar. Berikan aku lima porsi ikan goreng dengan saus tartar," titah pria mata naga itu semena-mena.
"Sayangnya aku bukan pelayan, Tuan Pemilik Mata Dewa." Helios menanggalkan kupluk jubahnya di antara minimnya pencahayaan penjara bawah tanah. "Perkenalkan, aku Helios Asteri, Ruler generasi ini."
Jangan mundur hanya karena mata busuk itu, Helios, batinnya, menguatkan diri.
Zed terhenyak dari rebahannya sejenak, lantas tiduran lagi. "Oh."
Sial, apa-apaan reaksinya itu? "Kau tidak tahu apa itu 'Ruler'?"
"...,"
"Hei, kau! Kekuasaanku lebih tinggi dibanding siapapun! Sebaiknya kau hormati aku jika ingin hidupmu tenang!"
Zed mengabaikan Helios seperti udara.
Bajing*n ini! Merasa bahwa ancaman apapun takkan berhasil padanya, Helios pun menenangkan diri. Tenang, tenanglah, Helios. Jangan risau. Dia hanya orang tak berpendidikkan. Keberadaannya tidak lebih seperti serangga diantara banyaknya hewan di bumi.
"Baiklah, sepertinya kau bukan tipe orang yang mudah terpengaruh. Tapi, bagaimana dengan uang? Aku akan membayarmu sebanyak yang kau minta asal kau bersumpah setia padaku atau pergi dari tempat ini dan jangan tunjukkan dirimu pada siapapun."
Zed mulai menunjukkan minat. Pria itu terhenyak dari rebahannya dan mendekati jeruji besi. "Kenapa? Kau takut padaku?" sindirnya.
"Berapa yang kau minta?"
"Apa aku terlihat misqueen?"
"Bukan hanya materi. Aku bisa berikan apapun yang kau mau, kecuali singgasanaku tentu saja."
"Apa gunanya kursi bekas bokongmu?"
Helios mempertahankan kesabarannya dengan tetap bersikap tenang. "Maksudku, kau boleh meminta apapun kecuali tahta."
"Sungguh?"
"Ya."
"Apapun itu?"
"Tentu."
"Yang benar?"
"...," Rasa ingin mengumpat lagi-lagi muncul. Sungguhkah bajing*n sinting yang susah diajak bicara ini adalah orang yang ku cemaskan akan merenggut posisiku? batin Helios semakin kesal.
"Sebenarnya, ada satu yang ku inginkan, sih."
Akhirnya! Helios merasa jerih payahnya akhirnya terbayar. "Ya, katakan apa itu? Akan ku berikan sebanyak yang kau mau!"
"Itu." Zed menunjuk dada sang Ruler.
"Apa?"
"Aku bilang itu, Bolot."
"UKH!" Dada Helios mendadak nyeri. Uap es keluar dari sana seolah pusat jantungnya dibekukan secara perlahan.
Sang Ruler tidak bisa berteriak meminta pertolongan lantaran dia masuk ke penjara bawah tanah dengan cara menyelinap.
Rona di wajah pria itu membiru seiring dia kehilangan daya untuk bernafas. "Hen-hentikan! Apa k-kau berniat mem-membu-bunuhku?"
Tepat sebelum Helios mencapai batas kehidupannya, Zed berhenti. Dilelehkannya bekuan itu tanpa rasa sesal sedikitpun. "Sudah paham, 'kan, apa yang ku inginkan?"
Selagi pria bermata naga itu terdiam, Helios buru-buru bangkit dan memaksa kaki lemasnya berlari pergi. Tak peduli mata buas itu terus membidiknya, yang penting ia harus keluar hidup-hidup dari sana!
Ternyata bukan tahta yang pria itu incar, melainkan nyawanya.
Helios menyembunyikan rasa kalutnya dengan membalas senyuman Zedio di jendela atas. Meski malam itu Helios gagal membujuk pria tersebut, beruntungnya dia berhasil mendapatkan sesuatu.
Sepertinya ada halangan yang membuat Zed tidak bisa membunuhnya begitu saja. Jika Zed bertekad, Helios pasti sudah mati malam itu. Tapi dia berhenti menyerang tepat sebelum mangsanya kehabisan nafas.
Helios tebak itu ada kaitannya dengan Brianna.
Mereka sama-sama memiliki darah Gletser. Bangsa yang telah jatuh dan terombang-ambing kuasanya. Jika sang Ruler mati terbunuh dalam keadaan jantung membeku, otomatis Brianna akan ikut dicurigai sebagai pelaku.
Mungkinkah Evenette Brianna adalah kelemahan terbesarnya?
Berdasarkan dugaan itu, Helios melarang Tania menyingkirkan Brianna terlebih dahulu. Dia akan mencari cara untuk mendapatkan sang Evenette sebagai sandera dengan dalih 'Regina'.
*****
Malam hampir melewati separuh jalan, namun acara perjamuan masih berlangsung. Dari segelintir orang di ballrom, Putri Galadina adalah satu-satunya gadis berpenampilan maskulin yang duduk santai di kursi dengan bersilang kaki.
"Hei, Leonhart. Kemarilah," panggilnya, membuat isyarat dengan jari telunjuk.
Pria bersurai hitam itu bergerak mendekat. "Anda butuh sesuatu?"
Akibat pengaruh alkohol, wajah Putri tampak memerah. Sembari menggoyangkan gelas anggur, gadis itu membisikkan sesuatu. "Aku menginginkanmu."
Tertegun sejenak, sang lelaki berdeham dengan pipi tersipu. "Anda mabuk."
Putri menganggap itu sebagai jawaban, ya. "Ku tunggu kau di ruanganku, Leonhart."
Meninggalkan aula perjamuan, Putri benar-benar menunggu kekasih rahasianya di dalam kamar. Hingga sosok pria berkebangsaan Vulcan itu muncul, membawa beribu keraguan. "Putri, kita tidak boleh seperti ini."
Pria itu tahu diri. Cinta mereka terhalang kasta. Sampai kapanpun, Leonhart hanyalah bangsawan biasa yang tak pantas bersanding dengan sang putri terhormat dari Asteri.
Melihat ketegangan Leonhart-nya, sisi dominan Putri terpanggil. Ditariknya lengan pria itu secara paksa memasuki kamar. Lantas mengunci pintu dan menyudutkan tubuh jangkungnya ke dinding.
"Pu-putri, ini salah."
"Kau tidak menginginkanku?"
"M-mana mungkin?! Saya menginginkan Anda! Mencintai Anda! Hati dan pikiran saya hanya dipenuhi oleh Anda!"
Lucu sekali. Sisi inilah yang membuat Putri Galadina tergila-gila padanya. Leonhart yang malang, mudah ditindas, dan tak memiliki ambisi apapun. Mungkin itu sebabnya mereka cocok satu sama lain.
"Kalau begitu berhentilah mengkhawatirkan apapun. Serahkan saja semuanya padaku."
Galadina menutup bibir kekasihnya yang baru akan menyanggah dengan sebuah ciuman yang manis dan memabukkan.
XXX - SUDAHI SAJA HUBUNGAN KALIAN
Beberapa hari berlalu sejak Turnamen Api berakhir. Para Asteri telah kembali ke wilayah mereka. Meski sudah tidak ada Putri Galadina, Brianna dapat melewati hari-harinya tanpa bosan dengan bermain bersama Zed dan Beastan.
Sesekali Bjorn bergabung, tetapi pria itu sedang memiliki banyak pekerjaan. Dia akan diseret kembali ke kantor tiap kali Sergio berhasil menemukannya. Pun Deimos pula, sang ayah mertua mengunjunginya beberapa kali ketika pria paruh baya itu memiliki waktu senggang.
Seperti saat ini, kala Bjorn harus meninggalkan mansion selama beberapa hari untuk menyelesaikan misi, Brianna menghabiskan waktunya bersama Deimos, Zed, Beastan, dan Canisa.
Hari yang cerah mendukung mereka mengadakan pesta teh kecil di taman wisteria, taman kesayangan Lord Deimos yang tidak boleh sembarang orang masuk ke sana. Zed dan Canisa adalah pengecualian lantaran mereka adalah orang-orang yang melayani Brianna.
"Kamu tahu, Nak? Saat muda aku berteman dengan ayahmu," celutuk Deimos di tengah percakapan.
Ada rasa tak nyaman tentunya ketika ayah mertuanya tiba-tiba mengambil topik tersebut. Namun, apa daya, Brianna tidak mungkin melarikan diri atau mengalihkan pembicaraan. "Ya, saya tahu."
Deimos menyadari perubahan air muka Brianna, tetapi pria itu tetap melanjutkan. "Erik kerap memamerkanmu padaku dulu."
Brianna tertegun. Dia tahu Lord Deimos dan ayahnya pernah berteman, tetapi dia tidak pernah mengira bahwa ternyata mereka sedekat itu. "Ah, saya baru mendengarnya sekarang."
"Tentu saja, kau masih sangat kecil waktu itu. Tiap kali bertemu denganku, Erik selalu bilang, 'Lihat, Deimos. Putriku lucu, bukan? Tiap saat dia mengikutiku seperti anak ayam sambil memanggilku Yayah, Yayah, Yayah'."
Brianna tersenyum canggung, tidak mengerti buat apa Lord Deimos menceritakannya.
"Ku pikir aku tidak akan tergoda, aku sudah cukup pusing dengan anak lelaki yang suka berulah dan sulit diatur. Tapi entah sejak kapan, tiba-tiba aku berpikir menginginkan anak perempuan juga."
Mengapa Lord Deimos berkata demikian? Apa maksudnya beliau akan mengakuiku jika aku berhasil melahirkan cucu perempuan seperti yang diinginkannya? batin Brianna, tak paham kemana arah pembicaraan Deimos bermuara.
"Seumur hidup, aku hanya pernah merawat anak laki-laki. Lalu, kau datang. Aku yang tidak berpengalaman ini tidak tahu bagaimana cara memperlakukanmu. Aku juga tidak tahu bagaimana cara bicara padamu atau cara menghiburmu.
"Sedangkan Bjorn, anak kurang ajar itu. Kau pasti sangat paham dia memiliki masalah dengan akhlaknya. Bahkan sampai sekarang pun aku juga heran darimana sikap kasarnya itu berasal.
"Oleh karena itu, Brianna, aku tidak akan memaksamu bertahan. Jika kau lelah dengannya, sudahi saja hubungan kalian. Ku harap kamu akan selalu bahagia."
Oh, begitu rupanya. Ternyata ada maksud terselubung Lord Deimos bercerita panjang lebar. Secara tersirat, pria itu menginginkan sebuah perceraian antara dia dan putranya.
Brianna tersenyum getir. "Baik. Saya ..., akan berusaha."
Bukankah sejak awal pria itu memang tidak menyetujui pernikahannya dengan Bjorn? Bahkan saat hari pernikahan pun dia tak hadir barang semenit saja.
Lagi pula, tidak ada untungnya bagi Bjorn menikahi tawanan. Justru kerugian yang didapat lebih besar lantaran Tania Wisterlize, jaminan yang menentukan persatuan ras hitam dan merah, gagal menjadi calon istri Bjorn Vulcan.
Begitu pikir Brianna.
"Kakak, kakak!" seru Beastan dari kejauhan, melambai antusias pada Brianna.
Sementara Canisa di sampingnya tampak mengomel gara-gara bocah itu dipenuhi dedaunan liar. "Master Beastan, tolong hentikan kebiasaan Anda berguling-guling di ilalang!"
"Hehe, maaf, Canisa. Kak Evenette, lihat sini! Saya menemukan batu unik!"
Brianna berpaling ke Lord Deimos meminta persetujuan.
"Pergilah," sahut Deimos mengijinkan.
Brianna pun segera menyusul Beastan dan Canisa. Mereka asyik bermain sesuatu, meninggalkan Deimos dan Zedio yang masih bertahan di tempat.
"Pfftt."
"Apa yang Anda tertawakan?" Deimos mendongak, menatap sang pemilik mata naga yang resmi disetujui Bjorn menjadi 'teman bermain' Brianna berkedok pengawal pribadi. Bjorn rela melakukannya agar Brianna tidak kesepian selama dirinya tidak ada.
Tentu ada syarat dan ketentuan berlaku dari kesepakatan mereka. Zed dilarang menyentuh, berduaan, dan mengikuti Brianna masuk kamar. Setidaknya harus ada Canisa atau Beastan yang menemani mereka.
"Anda terlihat canggung, kaku seperti lap kering," komentar Zed, tak ada takut-takutnya meski dia bicara formal.
Deimos diam-diam mengamati netra buas sang pengawal pribadi selagi pandangan pria itu tertuju pada Brianna.
"Anda menginginkan mata saya? Ingin coba mencongkelnya?" celutuk Zed membuat Deimos tersentak. Ternyata tanpa melihat pun dia tahu siapa yang mengawasi.
"Saya bukan orang sekejam itu. Omong-omong, Sir Zedio, mengapa Anda tidak beristirahat sejenak?"
Zed tahu maksud sang Lord menawarinya istirahat. Tanpa menyanggah, pria itu duduk di seberang meja. "Apa yang ingin Anda ketahui dari saya?" tanya Zed tanpa basa-basi.
Deimos memastikan jarak Brianna cukup jauh untuk mampu mendengar diskusi mereka. "Saya akan bicara langsung ke intinya. Apa mata itu membuat Anda memiliki kemampuan spesial?"
"Hmm?"
"Anda tidak perlu menjawab jika keberatan. Saya yang bersikap tidak sopan-,"
"Tidak begitu spesial, sih."
Berarti ada. "Kemampuan apa itu?"
Zedio mendadak menatap lawan bicaranya dengan lebih intens. Pemuda itu mencondongkan punggungnya ke depan, mempersempit jarak mereka seolah apa yang akan terlontar dari mulutnya adalah sebuah rahasia besar.
"Saya tahu Anda takut serangga."
Teh dalam mulut Deimos mengucur keluar.
"Anda pernah menjerit seperti wanita di depan istri Anda setelah ditempeli laba-laba."
Padahal selama ini hanya istriku yang tahu, batin Deimos. Dia menyembunyikan rasa malunya dengan pura-pura bersikap tenang. "Baiklah, saya percaya. Tolong yang itu tadi jangan bilang siapa-siapa."
"Okey."
Beberapa tahun silam, sebelum hubungan antara Vulcan dan Gletser retak, Deimos dan Erik pernah berbincang satu sama lain. Lord Erik yang rasional mendadak menyampaikan sesuatu yang bukan gayanya.
"Deimos, percaya tidak jika aku bilang dunia kita mendekati malapetaka?"
"Putraku habis menuang tinta ke tumpukan dokumen yang sudah ku selesaikan, jadi aku percaya."
Untuk kesekian kali Erik terkekeh mendengar keluh kesah Deimos mengenai Bjorn kecil yang suka membuat masalah. "Haha, jangan terlalu keras padanya. Dia masih begitu muda."
"Kau bisa bilang begitu karena putrimu sangat penurut."
"Hei, Deimos, aku bilang ini untuk berjaga-jaga saja, ya. Seandainya kau nanti bertemu utusan yang 'membawa pesan', mintalah pertolongan pada beliau untuk melindungi dunia kita dari malapetaka."
Deimos yang waktu itu belum memiliki kerutan di wajahnya menukikkan alisnya penuh tanda tanya. "Pesan? Maksudmu tukang antar surat?"
"Haha ..., terserah kau saja membayangkannya seperti apa. Pokoknya, kamu pasti akan langsung mengenali beliau hanya dengan sekali lihat."
"Erik, kau terlalu banyak membual belakangan ini. Seperti bukan dirimu saja."
Waktu itu Deimos sulit mempercayai Erik, mengira bahwa ucapannya hanya sekedar bualan. Akan tetapi, begitu dia melihat sendiri kemunculan Zedio yang begitu elok di pembukaan Turnamen Api, Deimos tak berhenti meragukan keputusannya berulang kali.
Mungkinkah pesan Erik bukan hanya omong kosong semata? Apa itu benar-benar nyata bahwa kedamaian dunia mereka dipertaruhkan?
"Apa kehadiran Anda berkaitan dengan dunia yang akan menjadi 'malapetaka'?"
"...,"
"Jangan hanya diam! Saya bertanya sekali lagi, apa dunia kita akan berubah menjadi seperti neraka?!"
Dunia dimana kedamaian tidak dikenali lagi. Kejahatan meraja lela, yang kaya akan semakin durjana, yang miskin akan mati, alam akan mengamuk atas buruknya ulah manusia.
Zed menanggapi kepanikan Deimos dengan tersenyum tenang.
"Sir Zedio, Anda ..., Andalah sang pengantar pesan yang dimaksud Erik, bukan? Anda pasti telah diutus Dewa Ilios!"
"Entahlah?"
"Tolong katakan, apa yang harus saya lakukan agar saya bisa mencegah itu terjadi!"
"Anda?"
"Ya. Saya akan mengerahkan segala cara untuk mencegahnya. Demi negara ini, demi rakyat, demi keselamatan manusia!"
"Anda, ya."
"Ya."
"Itu,"
"Ya?"
"Pertama."
"Pertama?"
"Tidak perlu lakukan apapun."
Hening sesaat.
"Apa maksud Anda?"
"Anda itu tidak diajak. Diam saja di rumah."
"Sir Zedio, tolong jangan bercanda disaat genting seperti ini!"
"Saya serius."
Deimos mengeraskan rahang. Baiklah, katakan bahwa wahyu yang diturunkan Dewa Ilios memiliki batasan tersendiri. Tapi sebagai pemimpin bangsa Vulcan, dia tidak bisa diam saja sementara kesejahteraan rakyatnya dipertaruhkan.
"Saya harus segera mengadakan rapat dengan para menteri," ujar Deimos, buru-buru bangkit berdiri.
"Tidak," Zed menahan lengan Deimos pergi, "jangan bocorkan informasi ini pada siapapun."
Deimos tiba-tiba terjebak oleh aura menekan sang utusan dewa. Pancaran dominan pria itu begitu kuat sampai Deimos merasa gentar untuk sesaat.
"AKHH!"
Percakapan mencekam mereka terjeda begitu pekikan Brianna melengking di udara.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
