The Bride's Deepest Hurt Part 1-3

1
0
Deskripsi

I - PERNIKAHAN

Brianna Gletser, gadis muram yang seharusnya menjadi tawanan itu kini menuju altar sebagai calon istri dari putra penguasa Vulcan. Tubuh manekinnya dibalut gaun pengantin serta riasan wajah yang sederhana.

Gadis itu tidak mengharapkan apa-apa dari pernikahan ini. Dia tahu pria dingin yang berdiri tegap di sampingnya sekarang tak kan memberikan apapun bahkan secuil kepedulian.

"Bjorn Hadeus Vulcan," suara sang pendeta menggema dalam aula, "bersediakah engkau, mengambil Brianna Camellia Gletser sebagai istri-,"

"Lompati bagianku," potong pengantin pria berkulit gelap tersebut tak pandang bulu.

Sang pendeta membelalak, begitu pula para tamu undangan yang hadir. Mengingat betapa buruknya hubungan mereka sebelum pernikahan ini terjadi, Brianna tidak terkejut lagi. Tapi menolak mengucapkan sumpah pernikahan, itu sungguh keterlaluan. Apakah status mereka bisa dikatakan sebagai suami istri yang sah jika pria semena-mena itu melewati bagian terpentingnya?

"Tapi, Master, sumpah ini-," melihat ekspresi geram dari mempelai pria seketika membungkam sang pendeta.

Pendeta itu lantas beralih ke pengantin wanita. "Brianna Camellia Gletser, bersediakah engkau menjadi istri dari Bjorn Hadeus Vulcan, untuk selalu mendampinginya, baik susah maupun senang, sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?"

Saat kecil, Brianna pernah mendambakan pertanyaan ini ditujukan padanya, sambil mengenakan gaun pengantin yang cantik bersama sosok pangeran yang tersenyum lembut dan memperhatikannya penuh cinta. Ayah ibu menangis haru dan orang-orang bersorak ikut merayakan kebahagiaan mereka. Dia pikir seharusnya begitu.

Namun ternyata pernikahan bukan suatu hal yang selalu menyenangkan. Calon suaminya tidak tersenyum sama sekali. Ayah ibunya sudah pergi ke surga. Lalu tatapan kebencian orang-orang di belakang mereka, Brianna tahu itu tertuju pada siapa.

Tentu saja padaku.

Siapa yang mau menerima putri bangsa musuh sebagai istri dari calon Lord mereka? Brianna sendirian di tempat mengerikan ini, tanpa seorang pun yang mengharapkan kehadirannya.

Butuh waktu lama untuk Brianna menjawab sampai si pendeta mendecak lidah. "Mempelai wanita, tolong fokuslah." Bahkan sang pendeta pun tak rela memberkati pernikahan mereka.

Bjorn menunduk menatap gadis yang akan menjadi istrinya. "Cepat, kau buang-buang waktuku."

Sejak menjadi tawanan, Brianna sudah siap untuk mati. Lagipula dia tidak memiliki apapun untuk dipertaruhkan lagi. Tapi mulai sekarang dia harus mendampingi pria bermulut kasar itu sepanjang hidupnya.

"Saya bersedia," jawab Brianna akhirnya. Mau mati atau menikah dengannya, itu sama saja.

Sebelum pendeta menjelaskan prosesi selanjutnya, Bjorn lebih dulu merebut cincin pernikahan miliknya dan memakainya sendiri. Lantas meninggalkan aula dengan langkah angkuh seperti tidak terjadi apa-apa.

Beberapa tamu tertawa. "Kasihan sekali. Belum apa-apa Master sudah mencampakannya."

"Lagi pula rumor tentangnya ternyata bohong. Dia tidak secantik kelihatannya. Hanya pucat seperti mayat."

"Saya setuju. Orang-orang Gletser pasti suka membual. Itulah kenapa sekarang bangsa mereka jatuh."

"Padahal dia seharusnya menjadi tawanan kita. Jika bukan karena dia adalah 'pasangan takdir' Master, pasti wanita itu sudah dijadikan budak."

Jika ditanya siapa yang paling terlihat konyol dan menyedihkan saat ini, itu adalah Brianna. Tapi Brianna tidak mengindahkan ejekan dan hinaan mereka dan memakai cincinnya sendiri.

*****
 


Brianna adalah seorang Putri dari Gletser. Ayahnya merupakan Lord yang memimpin daerah tersebut.

Singkat cerita, tempat tinggalnya telah ditaklukkan oleh Bangsa Vulcan setelah Lord Erik, ayahnya, meninggal disaat perang masih berlangsung. Demi menyelamatkan ribuan nyawa orang-orang Gletser, gadis itu menyerahkan diri menjadi tawanan mereka.

Akan tetapi, Bjorn Vulcan, putra kedua Lord Vulcan itu tiba-tiba mengakui Putri Brianna sebagai Evenette-nya dua hari silam. 'Evenette' adalah gelar bagi wanita yang menjadi 'pasangan takdir' laki-laki Vulcan. Dengan kata lain, Bjorn mengakui Brianna sebagai belahan jiwanya.

Berita menggemparkan tersebut langsung menyebar ke seluruh pelosok negeri hingga luar perbatasan. Berbagai media surat kabar hanya memuat tentang Putra Kedua Lord Vulcan dan Putri Brianna.

"Evenette Brianna, gaun mana yang Anda pilih?" Sekarang sebutannya bukan lagi 'Putri', melainkan 'Evenette'.

Awalnya tidak ada yang percaya, lantaran sudah lama sejak keturunan Vulcan tidak lagi memiliki pasangan takdir. Keberadaan Evenette hampir dianggap sebagai mitos belaka. Namun, Bjorn berhasil meyakinkan Lord Deimos bahwa Putri Brianna adalah Evenette-nya.

"Hitam." Pilihannya jatuh pada busana yang paling tertutup, meski sebenarnya itu tetap saja mirip pakaian dalam. Tidak, pakaian dalam bahkan masih terlihat lebih sopan.

Brianna merentangkan lengan, mempersilakan para pelayan Vulcan membalut tubuhnya dengan gaun malam pilihannya tersebut.

"Apa yang terjadi jika kami tidak melakukan malam pertama?" tanya Brianna spontan karena katanya 'itu' harus dilakukan oleh Vulcan bersama Evenette-nya.

Sebagai Putri Gletser yang berwawasan, sejujurnya Brianna tidak begitu tahu mengenai Vulcan. Terlalu sedikit informasi tentang mereka di buku, terutama yang berkaitan dengan 'Evenette'.

Beberapa pelayan tampak menatap satu sama lain. Dayang Canisa lekas berdeham, memberi isyarat pada mereka untuk fokus kembali. "Prosesi malam pertama sangat penting untuk Master kami," singkatnya.

"Lalu?"

"Saat seorang Vulcan bertemu Evenette-nya, kekuatan api mereka akan hilang. Mereka tak kan dapat menggunakan kekuatannya lagi sebelum melewati malam pertama bersama sang Evenette."

"Kenapa harus menikahiku?" Toh, mereka hanya perlu berhubungan satu malam, bukan?

Bjorn adalah orang berkuasa di wilayah Vulcan setelah Lord Deimos. Dia mudah melakukan apa saja termasuk melampiaskan nafsunya pada wanita manapun yang dia inginkan tanpa perlu menikahinya.

"Karena jika sang Evenette tiada, Vulcan akan kehilangan kemampuan apinya seumur hidup. Anda harus memiliki posisi yang aman agar mendapat perlindungan dan tetap hidup."

"Apa yang terjadi pada Evenette jika Vulcan yang mati?"

"Astaga, meskipun sekarang Anda adalah seorang Evenette, Anda harus menjaga bicara Anda."

Brianna tidak mengindahkan teguran Canisa. Wanita dingin itu membenahi letak kacamatanya dan lanjut menjelaskan. "Tidak akan terjadi apa-apa pada Evenette jika sang Vulcan tiada. Ia akan hidup seperti sebelumnya, jadi Anda tidak perlu takut. Apapun yang terjadi pada Evenette, hanya Vulcan yang dirugikan. Itulah mengapa keberadaan Anda sangat penting bagi Master. Anda sudah terikat di tempat ini, tolong pahami itu."

Kalau tentang yang terakhir dia tidak perlu menjelaskannya. Saat menjadi tawanan pun Brianna sadar bahwa dia sudah terikat dengan Vulcan. Bahkan jika Bjorn mati, statusnya sebagai Evenette akan dikembalikan menjadi tawanan lagi.

"Mulai sekarang, Anda harus hati-hati, Evenette. Banyak bangsawan Vulcan mengincar posisi Master agar dapat mewarisi gelar Lord. Mereka akan menargetkan Anda yang merupakan kelemahan bagi Master. Tempat paling aman untuk Anda saat ini hanya berada di sisi Master."

Tempat paling aman untuk nyawanya hanya di sisi Bjorn, katanya? Pria yang bahkan tidak sudi mengucap sumpah sebagai suaminya itu?

"Evenette Brianna, persiapan telah selesai. Kami permisi."

Merenungi penjelasan Canisa, Brianna duduk di tepi ranjang. Sekarang dia paham mengapa dirinya diperistri oleh Bjorn Vulcan. Ternyata mau menjadi tawanan atau Evenette sama saja.

Jika kemarin ditahan dalam kurungan, maka sekarang dibelenggu dengan gelar.

__________________________________________________________

II - MALAM PERTAMA

Harum maskulin menguar begitu Bjorn keluar dari kolam air panas hanya dengan linen melilit pinggang. Bulir air dari tubuh kekarnya menetes sepanjang dia melangkah ke ruang ganti.

Seorang petarung sepertinya tak merasa malu menunjukkan bekas luka hasil dia meregang nyawa di medan perang. Justru itu menjadi suatu bentuk medali atas prestasinya sebagai pahlawan.

Tiga butler segera memakaikannya jubah tidur berwarna hitam. Tubuh mereka jadi tampak kecil dibanding fisik Bjorn yang tinggi besar.

"Master, bagaimana dengan Nona Tania?" Sergio, asisten Bjorn, bertanya dengan sopan.

"Berikan kompensasi yang pantas dan pulangkan dia."

"Jika beliau masih marah?"

Bjorn terdiam sejenak. Wajar jika wanita itu marah. Dia membatalkan pertunangan mereka secara sepihak dan tiba-tiba menikahi wanita lain. Tania pasti menerima banyak kerugian dari berbagai pihak. 

"Berikan apapun yang dia mau." Setidaknya hanya itu yang bisa Bjorn lakukan sebagai bentuk permintaanmaafnya.

Meski mereka bertunangan atas dasar politik, hubungannya dengan Tania Wisterlize tidak begitu buruk. Selama ini gadis itu mampu bersikap sewajarnya sebagai 'tunangan politik'. Tania juga menghargai Bjorn yang benci skinship dan selalu berusaha agar mereka tidak bersentuhan. 

Begitu para butler keluar ruangan, asisten muda berambut panjang yang dikenal sebagai orang yang tenang itu langsung berubah ke mode aslinya. "Dasar gila! Apa yang kau lakukan tadi?"

Bjorn dan Sergio adalah teman kecil. Melihat sikap kurang ajar itu Bjorn sudah biasa. "Tentu saja menikah."

"Apa itu disebut pernikahan setelah kau melewati ikrar, memakai cincinmu sendiri, dan meninggalkan pengantinmu sendirian di altar?!" Singkatnya, menurut Sergio, tindakan Bjorn keterlaluan. 

"Dia harus ku perlakukan seperti apa?" 

Awalnya Bjorn tidak bermaksud begitu. Tapi melihat bagaimana ekspresi Brianna selama prosesi pernikahan berlangsung benar-benar membuat emosinya tersulut. Daripada menikah, dia terlihat seperti akan dihukum mati.

Bukankah seharusnya gadis itu berterima kasih? Berkatnya, dia tidak jadi dipenggal atau dijadikan budak. 

"Kalau kau memang berniat menjadikan Evenette-mu sebagai istri, harusnya kau perlakukan dia dengan baik. Dia adalah nyonya Vulcan masa depan kita! Dengan kamu menghinanya di depan umum begitu, dia akan diabaikan oleh rakyat Vulcan."

"Yang penting dia tidak mati, itu sudah cukup."

"Bjorn-,"

"Kalau kau berniat memihaknya, bawa dia melarikan diri. Aku akan memburumu sebagai pengkhianat Vulcan," ancamnya berhasil membuat Sergio mati kutu. 

"...,"

"Lagipula, apa kau sudah lupa apa yang dia lakukan padaku? Pada Balder, dan pada ibuku." Sergio diam seribu bahasa. "Ku ingatkan kamu sekali lagi, Sergio Leonhart. Jangan sampai lengah."

Walaupun terlihat ramah dan murah hati, siapa sangka Glester ternyata berisi orang-orang kejam tanpa hati nurani? Mereka ibarat iblis berkedok malaikat. Termasuk wanita Gletser yang tersisa itu. Mungkin dibalik sikap lemah lembutnya, dia menyembunyikan racun dan belati.

Bjorn segera berlalu dari ruang ganti sebelum Sergio berhasil menemukan cara untuk membantah. 

"Dasar tidak waras. Masa dia sekejam itu pada gadis yang pernah menjadi cinta pertamanya," gumam Sergio masih bisa Bjorn dengar.

Sial, omong kosong itu lagi

*****

Brianna menempati sebuah kamar yang luas dengan interior hitam bercorak emas. Terlalu megah untuknya yang seharusnya dikurung dalam penjara. Menunggu kedatangan Bjorn, Brianna duduk di tepi ranjang.

Tak selang waktu lama, pria yang dia tunggu memasuki kamar. Bjorn memakai jubah tidur dengan bagian dada terbuka. Rambut gelapnya meneteskan air. Sementara alisnya menukik tajam.

Seperkian detik mata mereka terjalin. Brianna memalingkan wajah, tak nyaman dengan raut muka Bjorn. Netra merah itu terus mengawasinya cukup lama, sampai dia duduk membelakangi Brianna di sisi ranjang yang lain.

"Bio."

"Berhenti menyebut nama itu."

Meski dulu Bjorn senang dia panggil begitu, seharusnya Brianna sadar itu sudah lama sekali. Sekarang dia bukan 'Bio' lagi. Lebih baik memanggilnya hormat seperti yang lain. "Master."

"Sial. Bukan itu juga maksudku." Lantaran Bjorn terus marah, Brianna akhirnya memilih diam. 

Kapan dia akan memulainya? Brianna menengok ke belakang. Pria itu terdiam cukup lama. Dia sibuk menenggak anggur yang tersedia di meja. Apa aku yang harus memulai?

Brianna lekas mendekati Bjorn. Meski melihat Bjorn dari atas, Brianna tetap merasa kecil di hadapannya. Lengan kekar pria itu mungkin dapat meremukkan tubuhnya dengan sekali rengkuhan. Brianna tak menyangka pemuda yang dia kenal di masa lalu sudah menjadi segagah ini.

"Apa?"

"Mari selesaikan dengan cepat." Brianna menanggalkan kimono putih, menyisakan gaun malam yang sebelumnya dia pilih.

Bjorn terkesiap melihat busana malam yang dikenakan Brianna. Jakun pria itu naik turun, nyaris dapat melihat seluruh lekuk tubuh istrinya di balik kain menerawang tersebut. "Tunggu!"

Brianna terus mendekat. Tangannya terangkat mengelus dada sang Vulcan. Darah pria itu berdesir seketika. "Hei, apa yang kau lakukan?!" interupsinya, namun Brianna seolah tak mendengar.

Sebelum gairahnya terpancing, Bjorn mencengkram pergelangan tangan Brianna dan membalik tubuh mereka. "Aku tanya, apa yang kau lakukan?"

"Luka di dada Anda, saya mencoba menyembuhkannya. Itu luka yang disebabkan oleh pengawal saya. Saya merasa harus bertanggung jawab." Brianna tidak bohong. Dia hebat dalam ilmu penyembuhan.

Bjorn tersenyum kecut. "Haaaa... Lalu, kenapa kamu tidak berusaha menyembuhkan kakakku saat dia mati di tangan ayahmu?"

Padahal Brianna sebagai keturunan terakhir Gletser punya kekuatan penyembuh yang luar biasa. Tapi apa yang dilakukannya saat melihat Balder sekarat? Tidak ada.

Nafas Brianna tertahan. Itu menjadi tamparan keras baginya. "Itu...,"  

Diantara tiga putra Deimos, si sulung Balder memiliki kekuatan api terbesar. Dia sedang mengunjungi wilayah Gletser ketika kekuatan api dalam dirinya mendadak tidak terkendali. Ayah Brianna ikut turun tangan meredakan Balder dengan kekuatannya hingga tak sengaja malah membekukan jantung pria itu.

Akibat kematian Balder, kemarahan Deimos Vulcan tidak dapat dibendung lagi. Beliau menyatakan perang dengan bangsa Gletser, tidak peduli meski kematian Balder disebabkan oleh faktor ketidaksengajaan. 

Brianna tak dapat membantah kata-kata Bjorn. Ucapan pria itu benar, seharusnya waktu itu dia segera berlari ke arah Balder dan menyembuhkannya meski harus mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dengan begitu perang antara Vulcan dan Gletser tidak akan terjadi.

"Maafkan saya. Saya akan menyerahkan tubuh saya untuk menebusnya." Brianna mengucapkan kalimat tersebut dengan entengnya seolah dia tidak memiliki harga diri.

Bjorn agak tertegun. Semudah itukah dia menawarkan tubuhnya? Tidak disangka Brianna adalah wanita murahan. Fakta itu membuat Bjorn marah entah mengapa. "Hei, kau pikir aku Bajing*n?"

Brianna membeku mendapati ekspresi Bjorn saat ini. Sungguh, tak Brianna sangka pria itu akan murka. "Benar juga. Kau, 'kan, memang selalu menawarkan tubuhmu pada setiap pria yang ingin kau manfaatkan."

Kenapa Bjorn marah? Apa kesalahannya? Jantung Brianna berpacu cepat. Bukankah dia membutuhkan 'malam pertama' bersama Evenette-nya?

Atensi Bjorn seolah menikam Brianna. Rahang pria itu mengeras, sementara cengkramannya meremas tangan Brianna dengan lebih bertenaga.

"Akh! Sakit," rintih Brianna.

Bjorn terkejut oleh tindakan impulsifnya sendiri, seolah apa yang terjadi barusan diluar kendalinya. Pria itu segera melepaskan Brianna dan keluar dari kamar mereka. 

"Dasar jal*ng," desisnya tajam.

_________________________________________________________

III - PEMUDA DALAM MIMPI

Apa dia dengar aku mengatainya jal*ng? Bjorn mengusap dagunya gelisah. Apa, sih, yang ku khawatirkan? Dia, 'kan memang seperti itu.

Pria berjubah tidur acak-acakan itu hendak kembali ke kamar setelah meredakan emosinya dengan berpedang melawan ksatria yang kebetulan berpapasan dengannya. Mereka adalah contoh orang-orang yang kurang beruntung.

Ketika membuka pintu, atensi pria itu langsung tertuju pada Brianna. Istrinya telah terlelap di sofa, tanpa selimut menutup tubuhnya yang nyaris telanjang. Dengan kulit porselen dan rambut keperakan bersinar saat tersorot bulan, yang terbesit di otak Bjorn pertama kali adalah, Brianna mirip peri. 

Andai kejadian di masa lalu tidak terjadi, Bjorn mungkin masih menyukainya.

Disela tidurnya, alis tipis Brianna mengerut beberapa kali, merasa tak nyaman. "Siapa suruh tidur di sofa!" Meski menggerutu, Bjorn mengangkat tubuh Brianna memindahkannya ke ranjang. "Jangan salah paham, Gletser. Bukan peduli, aku cuma tidak mau kau sakit dan cepat mati."

Brianna menggelayut lemah di rengkuhan Bjorn, tak terusik sama sekali. Gadis itu punya bulu mata yang amat lentik. Bibir ranumnya lembab seperti buah cerry. Harum bunga dan dagu mulusnya menggoda untuk di tandai.

Sial, Brianna sungguh mempesona.

Bjorn alihkan pandangannya ke arah mana pun asal tidak melihat Brianna. Kecantikan Brianna mungkin memang tak pernah gagal menarik minatnya, tapi Bjorn tahu itu hanya cangkang semata. 

Mengingat kemunafikan para Gletser kala itu, Bjorn kecewa. Mereka semua sungguh tak punya hati nurani. Brianna adalah wanita yang mengkhianati dan memberinya rasa sakit bertubi-tubi. Sementara ayahnya adalah pembunuh keji yang menghilangkan nyawa Blader.

Gara-gara mereka kedamaian Vulcan lenyap.

Bjorn meletakkan Brianna dengan hati-hati. Dan apa yang Brianna lakukan selanjutnya membuat Bjorn tertegun. Gadis itu mengigau, menahan tangan Bjorn pergi sambil memanggil seseorang dalam mimpinya. 

"Zed ...,"

Amarah Bjorn tersulut kembali. Lagi-lagi nama yang membuat hubungan mereka memburuk di masa lalu terucap dari bibir Brianna.

*****

Hutan yang indah. Brianna ingin tinggal di sini saja selamanya. Seluruh binatang menyukainya. Tak seperti orang-orang Vulcan yang membencinya. 

Brianna mengikuti kupu-kupu hitam yang terbang semakin dalam. Pemandangan tempat itu kian elok seiring gadis itu memasuki hutan.

Dengan penuh semangat dia berlari. Si kupu-kupu terbang semakin cepat, membawa Brianna ke sebuah danau yang luas. Seolah tersihir, gadis itu berjalan tanpa henti ke tengah danau hingga membuatnya nyaris tenggelam. 

Lengan kokoh seseorang tiba-tiba melingkari pinggangnya. "Bahaya."

Menyadari siapa laki-laki tersebut, Brianna membelalak tak percaya. "Hades Zedio Kalaferie?"

Pria itu terkekeh. "Itu, 'kan, nama anjingmu." Lantas diangkatnya tubuh ramping Brianna untuk berpindah tempat.

"Kenapa kamu tidak pernah mendatangiku lagi? Aku menunggumu. Aku kesepian tanpamu." Brianna tidak berhenti mengamati wajahnya. Pria itu masih sama. Dengan hidung bangir, bibir sedikit tebal, netra berkilau tajam mirip binatang buas, serta kulit agak kecoklatan yang membuatnya tampak manis. 

"Rangkul aku," perintah pria itu lembut. Brianna langsung menurut. 

"Aku rindu Zed," bisik Brianna pelan sembari memeluk dan menyandarkan kepalanya di ceruk leher pria bertindik itu dengan nyaman. Rasanya hangat.

"Bia."

"Apa?"

"Jangan lama-lama disini. Cepat bangun."

"Hmm?"

Sambil tersenyum lebar, Zed tiba-tiba 'menurunkan' Brianna ke jurang. "Zed? Tidak! TIDAAAAAAK!"

Brinna terjerembab ke bawah. Melihat keadaan sekitar masih di kamar megahnya semalam, ternyata tadi hanya mimpi. Syukurlah, lagipula tidak mungkin pria itu mengkhianatinya.

Bayangan Canisa telah berdiri di hadapannya dengan senyuman kelam. "Selamat pagi, Evenette. Anda sampai tidur di bawah. Seindah apa mimpi Anda?"

*****

Pagi yang cerah bagi Sergio. Kulitnya berkilau sebab semalam dapat terbebas dari kerja lembur. Sementara Bjorn dibalik meja besar itu, dia terlihat suram seperti masa depannya.

"Bukankah seharusnya semalam kau dapat jatah? Kenapa mukamu seperti tanah gersang?" sapa Sergio, duduk di meja asisten.

"...,"

"Ei, jangan bilang kalian belum melakukannya?"

"...,"

Melihat respon acuh tak acuh Bjorn, Sergio melotot. "Astaga! Kau benar-benar tidak melakukannya?!"

Sergio tahu Bjorn jijik menyentuh wanita, tapi jika disandingkan dengan gadis secantik Brianna Gletser pun nafsunya tak muncul, maka dipastikan Bjorn punya kelainan. "Apa jangan-jangan kau itu impoten?"

"Hei, kau mau mati?!" 

"Tidak." Sergio menghela nafas. Lagipula mana bisa Bjorn meniduri wanita yang dia benci. Skinship dengan Tania saja dia tidak nyaman, apalagi dengan Brianna. "Kau tahu, 'kan? Kau harus segera mendapatkan kekuatanmu kembali sebelum bangsawan Vulcan mengambil posisimu." Bjorn sudah bertemu Evenette namun mereka belum melakukan malam pertama, artinya saat ini kekuatan Bjorn masih tersegel.

"Bukan urusanmu. Urus saja pekerjaanmu yang menumpuk itu." Bjorn menunjuk meja Sergio yang penuh tumpukan kertas, sementara mejanya sendiri bersih tak bernoda.

Sergio tersentak baru menyadarinya. "Astaganaga! Kau melempar pekerjaanmu padaku? Kau tega merenggut malamku lagi?" Maksudnya lembur kerja.

"Berhenti bertingkah menjijikkan. Salahmu sendiri tidak kau kerjakan semalam."

Kulit segar Sergio langsung mengeriput. "Kau benar. Hidup ini bagai neraka."

"Omong-omong aku ada satu tugas lagi untukmu."

"Kau memberiku pekerjaan di dalam pekerjaan. Lalu di dalam pekerjaan itu ada pekerjaan lagi, dan di dalamnya-,"

"Yang ini lebih penting. Aku akan memberimu libur panjang setelah kamu menyelesaikan yang satu ini."

Mendengar kata libur, Sergio menjadi penasaran. "Apa ... itu?"

"Cari orang Vulcan bernama Zedio."

Aha! Mencari orang? Itu mudah! "Ada petunjuk lain?"

"Laki-laki. Tingginya kira-kira sama denganku. Rambutnya hitam, warna kulitnya sepertiku, kemampuan apinya adalah tipe petarung."

Sergio membisu, merasa dibodohi. "Apa, sih. Itu, 'kan, kau sendiri."

"Aku serius."

"Sungguh serius?"

"Memangnya aku kelihatan bercanda?"

"Baiklah. Tapi tolong berikan penggambaran yang lebih detail."

Bjorn bersedekap sambil menyentuh dagunya. "Aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya waktu itu matanya mirip naga."

"A-APA?! Yang benar saja! Mata naga hanya dimiliki oleh Dewa Ilios! Bahkan tiga anaknya pun tidak punya mata itu!"

Singkat cerita, dahulu kala Dewa Ilios diturunkan ke bumi untuk melindungi umat manusia. Seluruh manusia tunduk padanya, menjadikan ia pemimpin para raja dan memberinya gelar Ruler.

Selama menempati bumi, Ruler Ilios melahirkan tiga anak dewa dengan kemampuan berbeda.

Vulcan, berkekuatan api, bertugas mengontrol dan mengendalikan inti bumi.

Gletser, berkuasa atas kutub dan lautan.

Terakhir, Asteri, penjaga daratan dari bulan serta matahari.

Setelah mempercayakan umat manusia pada tiga anaknya, Ruler Ilios kembali ke dunia para dewa. Ia mewariskan singgasananya kepada Asteri yang tinggal di daratan.

Banyak pro-kontra atas keputusan tersebut, lantaran setiap manusia memiliki kepercayaan yang berbeda terhadap sang tiga anak dewa.

Demi mematuhi kehendak Ruler Ilios, Asteri ditetapkan sebagai pemimpin anak dewa dengan gelar barunya, Ruler Asteri. Sedangkan Vulcan dan Gletser disebut sebagai Lord, memiliki otoritas dibawah Ruler Asteri, namun tetap memiliki daerah kekuasaan masing-masing.

Dari generasi ke generasi, kemampuan Vulcan, Gletser, dan Asteri terwariskan kepada anak-anak mereka. Hingga saat ini, para manusia pun terpecah mengikuti anak dewa yang mereka percaya.

Kembali ke kehebohan Sergio. "Maksudnya kau melihat Ruler Ilios turun ke bumi? Kalau begitu mustahil mencarinya. Aku tidak bisa pergi ke dunia para dewa." Ternyata Bjorn menjanjikan hari libur itu hanya omong kosong.

Bjorn mengusap kepalanya kesal. Sial, begini saja sudah membuatku emosi. Bagaimana caraku menjelaskannya? "Sergio, aku serius. Kau harus menemukan bajing*n ini!"

"Dasar gila! Bisa-bisanya kau mengumpati leluhur kita."

"Mungkin kau sulit percaya, tapi dia cuma Vulcan biasa."

"Buat apa kamu mencarinya?"

Awalnya Bjorn berpaling, enggan menjawab. Akan tetapi karena dia butuh bantuan Sergio, akhirnya pria itu dengan berat hati mengaku. "Dia punya hubungan khusus dengan Bia."

Di balik muka datarnya, Sergio tertawa. Lihat, bahkan laki-laki ini tidak sadar memanggil gadis itu dengan nama kesayangannya di masa lalu. "Hmm, hubungan spesial dengan 'Bia', ya?"

"B-bukan! Maksudku Brianna!"

Sergio menyeringai.

"Aku bilang Brianna, Sial!"

"Ya ya ya, aku akan coba cari manusia dewa itu. Tapi kalau berhasil menemukannya, aku minta libur setahun."

Bjorn Vulcan, masternya ini cemburu dengan cara yang aneh.


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya The Bride's Deepest Hurt Part 4-6
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan