
BAGIAN DUA PULUH DUA, MUSUH ATAU TEMAN
BAGIAN DUA PULUH DUA, MUSUH ATAU TEMAN
Flashback on.
Pesta besar guna merayakan Harazelle telah memasuki usia dewasa akhirnya digelar. Para bangsawan dan seluruh kolega ternama diundang memenuhi aula kastil.
Hara sebagai tokoh utama tentu wajib menyambut mereka satu per satu. Di belakang Delzaka dan Amberly, gadis itu tampak bosan.
Senyum lebarnya gemetar tanda ia sudah tak mampu lagi menarik sudut bibir. Beruntung, Amberly peka. Dengan cara halus, sang ibu membantu membebaskan gadis itu dari diskusi membosankan mereka.
Betapa leganya Harazelle dapat berkeliling ke sudut lain sendirian. Dia mencari pelayan pembawa nampan yang memuat gelas-gelas wine di atasnya.
Hah. Dia kira akan selesai semudah itu? Mana mungkin.
Pesta sosial adalah medan perang yang tenang. Orang-orang bermuka dua akan berusaha menjilat pihak yang mereka butuhkan. Tak terkecuali mendekati ahli waris yang bersangkutan.
Gestan selamat dari mereka karena ia berdiam diri di lantai dua. Sembari memutar-mutar gelas anggur, pria itu bersandar pagar menikmati pemandangan di bawah sana.
Penampilan Harazelle hari ini Gestan akui cukup memukau. Dengan gaun selutut model panjang di bagian belakang dan tataan rambut yang rumit begitu, banyak pemuda pasti akan menaruh minat padanya.
Benar, 'kan? Baru beberapa detik membatin, beberapa serangga jantan langsung mendekatinya.
"Nona, maukah Anda berdansa dengan saya?"
"Tunggu, saya yang datang pada Nona Hara lebih dulu."
"Tolong menjadi pasangan dansa saya juga, Nona!"
Harazelle yang tidak terbiasa dengan situasi itu meringis canggung. Padahal niatnya hari ini cuma ingin bersenang-senang dengan alkohol saja. Bukan menyapa tamu, apalagi berdansa!
Ugh, menyebalkan! Bagaimana caraku terbebas dari mereka?
Ketika Hara berjalan mundur, punggungnya tak sengaja bertumbuk pelan dengan badan seseorang.
"Ah, maafkan sa-," pria yang ditubruknya ternyata adalah Gestan, "-ya."
"D-duke Muda," gagap salah satu pemuda. Bagaimana tidak kaget? Orang bermuka sadis itu adalah satu-satunya sosok yang tidak mereka harap kehadirannya. "S-saya pikir Anda tidak datang."
"Mana mungkin. Aku pendampingnya hari ini. Dari awal, sampai acara berakhir," lugas Gestan, merangkul gadis itu sementara pandangan matanya menyala penuh tekanan.
"O-oh, kami tidak menyangka."
"Kenapa? Ada masalah?"
"Ti-tidak. Maaf mengganggu Anda berdua. K-kami permisi."
Secara alami, para pemuda itu kemudian menjauhi wilayah yang sudah ditandai sebagai milik sang Predator.
"Terima kasih, Kak," ucap Hara begitu tersisa mereka berdua.
"Hmm."
Dirasa tidak ada lagi yang Gestan perlukan di sini, dia berbalik pergi hendak kembali ke lantai dua.
"Eh, Kakak mau kemana?"
"...,"
Tidak ada tanggapan. Namun, usai mengambil langkah lima kali, pria itu tiba-tiba berhenti. Masih ada satu lagi yang perlu dia sampaikan. "Hei."
"Ya?"
"Lain kali, gunakan namaku kalau mengalami kejadian serupa."
Huh? Kok tiba-tiba Kakak jadi perhatian begitu? "Kenapa?"
Tanpa menghadap Harazelle, Duke Muda yang terkenal mahal empati itu hanya menoleh sebatas bahunya saja. "Kau harus menjaga perasaan kekasihmu, 'kan?" tukasnya, membidik tepat sasaran.
Hara terkesiap. "D-dari mana Kakak tahu?"
"...," Gestan mengedikkan bahu.
Entah apa tujuan pria berhati dingin itu membantu, dia mengatakan demikian karena peduli padanya, bukan?
Hara hargai usaha Duke Muda dengan sebuah lambaian tangan dan senyuman tulus. "Oke, Kakak tidak bisa menarik kata-kata Kakak, lho. Hehe."
Rupanya, pertolongan singkat dari Gestan terbukti manjur. Sampai hampir penghujung acara, tidak ada lagi satu pun serangga yang mencoba mendekati Hara.
"Duke Muda, Anda harus berhati-hati. Saya mendapatkan informasi tentang identitas kekasih Nona Hara beberapa waktu lalu," lapor Dores disela ketenangan Gestan memperhatikan hiruk pikuk aula.
"Dia putra pertama dari bangsawan tinggi di Atlanika. Tertulis di catatan orang yang keluar masuk perbatasan, nama aslinya adalah Hergan," imbuhnya tanpa sang Majikan minta.
"Diamlah. Aku tidak peduli."
Meskipun begitu, Gestan sudah menduganya sejak awal. Ketika ia pertama kali melihat lelaki bernama Hero itu menenangkan Joviette, sekilas tato di punggung jari tengahnya terekspos jelas. Itu adalah lambang keluarga Crestio.
Salah satu keluarga bangsawan pendiri Atlanika. Mereka melahirkan keturunan dengan bakat penjinak hewan. Jika pria itu merupakan anak pertama dari keluarga tersebut, maka tidak aneh dia mampu memikat ribuan burung untuk datang padanya.
Hergan Crestio, ya. Beruntungnya dia. Apa dikehidupan sebelumnya Bajingan itu telah menyelamatkan satu negara?
Flashback off.
************************************************************
"Aku harus menyusup ke Atlanika."
Margrave seperti kehilangan akal sehat sejak mengetahui Labelina benar-benar anak dari putrinya. Dia bahkan berencana memasuki sarang musuh itu seolah datang ke sana untuk bertamasya.
"Jangan. Tetap tunggu aba-aba dari mata-mata yang saya tanam di Henvitas," cegah Gestan, tanpa mengalihkan badan dari ambang jendela.
Hembusan asap cerutu dari mulutnya ia arahkan ke luar. Rokok adalah satu-satunya penenang meski itu tidak berfungsi dengan maksimal saat ini.
Tentu saja, bukan hanya Margrave yang dilanda kecemasan. Gestan pun merasakannya. Detik-detik yang terlewati sama-sama terasa menegangkan bagi mereka.
Tapi Duke sadar betul, kepanikan atau kebingungan tidak akan menyelesaikan masalah. Justru apabila mereka bertindak ceroboh, tidak ada pihak yang akan diuntungkan.
Sejak meninggalkan Baltenas, Harazelle menjadi bagian Atlanika hingga sekarang. Sementara tanah Atlanika merupakan wilayah berbahaya bagi Aslett yang merupakan bagian dari Baltenas.
Baik Harazelle maupun mereka sendiri mungkin akan mati kalau ia membuat keputusan gegabah.
"Anda hanya akan bertemu ajal kalau tidak menyiapkan rencana dengan matang," imbuhnya, terus terang.
"Aku tahu. Aku sangat tahu itu," erang Margrave mencengkram rambutnya frustasi, "Tapi, tetap saja bagaimana bisa aku cuma diam saja sementara putriku di luar sana mungkin dalam bahaya?!"
"Setidaknya pikirkan keselamatan Anda lebih dulu sebelum menyelamatkan orang lain."
"Hara bukan orang lain. Dia anakku!"
Begitulah orang tua. Semarah-marahnya pada anak, mereka tidak akan berpikir dua kali berlari ke arah anak mereka yang dalam bahaya, tak peduli nyawa menjadi taruhannya.
"Jika dia memang anakmu, tolong pikirkan perasaannya kalau begitu!" tegas Gestan, menutup mulut Margrave dengan kata-kata informal.
Tidak semua. Namun, anak yang begitu menyayangi ayah ibunya pun pasti tak mengharapkan orang tua mereka terluka. Dan yang Gestan tahu, Harazelle termasuk dalam golongan anak yang seperti itu.
"Sama seperti Anda. Jika terjadi apa-apa dengan ayahnya, Harazelle pasti, akan dihantui perasaan bersalah sampai ia berpikir seharusnya dia saja yang mati. Anda ingin membebaninya dengan perasaan itu?"
Tok tok tok.
Di sela ketegangan tersebut, ketukan pintu yang Gestan kenali sebagai milik Dores terdengar. Mereka berdua pun menoleh secara bersamaan.
"Masuk."
Sang Asisten akhirnya kembali usai beberapa hari absen. Tentu dia bukan sekedar mengambil cuti liburan biasa. Ini menyangkut tugas rahasia.
"Saya sudah mendapatkan informasi mengenai Nona Hara. Boleh saya laporkan sekarang?" Mendapati tuannya sedang berunding serius dengan Margrave Delzaka, Dores meminta ijin terlebih dahulu.
************************************************************
"Lala, katanya mau beri makan Chocho sendiri?" tanya Joviette, menjinjing sekeranjang rumput sementara kepalanya menoleh ke anak empat tahun yang sedang jongkok di pojokan kandang.
"Lala cibuk."
Pria itu meringis gemas mendengar jawaban singkat Lala. Apalagi yang dia lakukan sekarang, tekun mengamati koloni semut yang berbaris melewati celah kakinya. Pffttt, sibuk apa sampai alisnya menyatu begitu?
"Cemutnya, meleka mau pelgi kemana?"
"Mereka mau berpindah ke tempat yang lebih hangat," sahut Joviette, lanjut memberi makan si kuda poni yang sudah kelaparan sejak tadi.
"Kenapa?"
"Karena sebentar lagi musim dingin."
"Kenapa?"
"Mereka bisa mati kedinginan kalau tidak berlindung di tempat yang hangat," jelas Joviette dengan sabar.
"Cepelti bluang?"
Bluang? Oh-, "Benar, seperti beruang."
Omong-omong soal beruang, binatang buas yang beberapa waktu lalu sempat diresahkan warga karena berkeliaran di kawasan penduduk itu akhir-akhir ini tidak kelihatan lagi. Tampaknya, karena musim dingin telah dekat, mereka bermigrasi ke tempat lain sebelum masa hibernasi.
"Darimana Lala tahu kalau beruang berpindah ke tempat hangat saat musim dingin? Apa Bubu-nya Lala yang bilang?" tanya Jov. Usai memastikan Chocho dapat menyantap makanannya dengan baik, pria berseragam ksatria itu menepuk-nepuk tangannya dari debu, kemudian menyusul jongkok di dekat Lala.
"Butan. Lala tahu dali Mimi."
"Haha, siapa lagi Mimi itu? Apa dia juga teman Lala?"
"Ung."
Joviette usap noda tanah yang menempel di pipi tembam si balita dengan jubahnya yang bersih. Sungguh mengesankan bagaimana takdir dapat mempertemukan dua manusia yang mustahil bertemu di tempat tak terduga.
Siapa sangka, bocah balita yang tidak sengaja mereka temui di tengah hutan rupanya adalah cucu kandung Margrave?
Jujur, selepas mengetahui bahwa ayah ibu Lala adalah orang yang Joviette kenal, pandangannya mengenai gadis kecil itu sedikit berubah.
Bukan benci atau kecewa, melainkan justru perasaan hutang budilah yang melingkupi hati Joviette.
Atlanika berisi orang-orang jahat, namun Jov yakin Hergan Crestio adalah pengecualian. Yeah, meski lelaki misterius itu menggunakan nama samaran tiap kali berkunjung ke panti asuhan.
Sedangkan Hara, jangan tanyakan. Dialah sosok yang paling dihormati Jov selain Duke dan Margrave. Ketika muda, gadis itu telah menjadi lanteranya anak-anak.
Dia banyak membantu meningkatkan semangat anak yatim piatu hingga mereka sama sekali tidak merasa kesepian. Tanpa usaha Nona Hara, Duke dan Margrave mungkin tidak akan mendanai seluruh panti asuhan di wilayah Aslett.
Joviette jadi ingin bersumpah setia untuk melayani balita menggemaskan ini seumur hidupnya sebagai ksatria.
"Eh, cuma ada kalian. Kak Danzel ada dimana?" tanya Odett tiba-tiba masuk kandang Chocho dan menginterupsi mereka. Dengan gaya angkuh, dia bersandar ambang pintu sambil bersedekap dan memainkan kuku.
"Alo, Otet."
"Sudah ku bilang namaku Odett!" sungut Odetter berkacak pinggang.
"Odyet?"
"Kau!" Tatapan Odett menggelap. Aura di sekitarnya mendadak menguarkan asap hitam pekat. Bak medusa, rambut kepangnya mendesis menyerupai ular berbisa. Sshhh!
Ralat. Sebenarnya, ilusi mengerikan yang dilebih-lebihkan ini hanya terlihat di mata panik Joviette saja.
"N-nona, Tuan Muda sedang ada ujian pedang hari ini! Beliau akan selesai sebentar lagi." Sebelum Odetter benar-benar meledak, Joviette cepat-cepat mengalihkan pembicaraan mereka.
Beberapa hari berlalu sejak Ilthera dan Odetter datang ke kastil, mereka sudah beradaptasi dengan baik. Sementara Ilthera fokus dengan pemulihan kondisi tubuhnya, Odett memanfaatkan waktu dengan mengintili Danzelion.
Karena pada jam-jam ini biasanya Danzel mengunjungi Lala, makanya ia datang kemari. Rupanya, Danzel belum terlihat batang hidungnya.
Yah, mau bagaimana lagi? Selagi menunggu Kakak tampan itu datang, dia bisa mengganggu anak rakus ini, 'kan? Begitu pikirnya sembari meneliti penampilan Labelina dari atas ke bawah.
Bagus, sesuai rencana. Ia berhasil meniru bajunya sama persis. Dengan cara ini, sedikit demi sedikit mungkin ia dapat menarik perhatian anak laki-laki Tuan Deus.
"Lala dan Nona Odetter silakan mengobrol berdua sebentar, ya? Paman mau ambilkan air dulu buat Chocho minum," pamit Joviette, pura-pura menyingkir.
Padahal, ia ingin mengambil kesempatan ini guna mengawasi apa yang kira-kira akan Odetter lakukan pada Lala ketika mereka sendirian.
Bukan maksud Jov mencurigai anak kecil berusia sepuluh tahun, hanya saja bocah perempuan dari Henvitas itu mewarisi kekuatan langka dari darah ayahnya. Jadi, seperti kata Tuan Duke, dia tidak boleh lepas pengawasan dari mereka.
"Hei, kenapa tiap hari kau kemari, sih? Apa bagusnya kuda itu?" Odetter mengajukan pertanyaan ketika Joviette sudah pergi.
Lala mengerjap. Lehernya yang tertutup syal tebal terarah pada Odett seorang. "Otet mau?"
"Mau apa?"
"Chocho."
Odetter tersentak dengan wajah merah padam. "Aku bertanya bukan karena menginginkan kudamu!"
Padahal dia cuma ingin meminjamkan kudanya sebentar. Kenapa Odett marah? Labelina benar-benar tidak mengerti. Oh, jangan-jangan dia kesal karena ...,
"Otet ili, ya?"
"Apa?"
"Ili."
"Siapa yang ili? Aku?"
"Iya. Otet ili, makanya malah-malah telus."
"Hah? Ili itu apa, sih?" Bisakah seseorang menjelaskan bahasa planet macam apa ini?
"Itu, loh, yang cuka dilakukan manucia jahat. Bubu bilang, anak-anak tak boleh ili. Yang cuka ili anaknya cetan."
Mulut Odett menganga lebar. Dia ingin melawan tapi tak tahu harus mengatakan apa. Pertama, dia tidak tahu apa itu 'ili'. Kedua, anak pemakan segalanya ini benar-benar lawan yang tangguh.
Segala macam gangguan tak berpengaruh padanya. Mau memprovokasi dengan cara apapun, nanti justru dia sendiri yang ujung-ujungnya kesal.
Jadi, Odett memutuskan untuk tak lagi mengajaknya berdebat atau dia hanya akan terserang darah tinggi. Lebih baik mencari tahu apa spesialnya putri Tuan Deus ini sampai orang-orang di kastil begitu menyukainya.
Selepas berpamitan dengan Chocho, Labelina berjalan keluar kandang menuju kursi panjang dekat taman tak jauh dari tempat itu. Dia ingat ada bekal yang Nana siapkan di dalam tas teddy-nya.
Odetter mengikuti di belakang sambil mempelajari cara Lala melangkah dan berupaya menirunya semirip mungkin. Entahlah, bagi beberapa pelayan yang berpapasan, mereka terlihat seperti dua anak penguin yang mengitari taman. Imut sekali!
Sampai di bangku terdekat, Lala dengan susah payah menaiki tempat duduk yang begitu tinggi tersebut. Pertama, tempelkan dua tangan di atas bangku, naikkan satu kaki dulu, lalu putar badan, dan angkat kakinya yang satu lagi.
"Hupla!" Berhasil!
Lala melepas tas teddy dan meletakkannya di atas pangkuan. Betapa beruntung, dudukan orang dewasa itu masih muat untuk kaki pendeknya berselanjar.
Usai menyandarkan punggung, satu helaan napas panjang pun keluar dari mulut gadis kecil itu. "Huft, hidup ini belat," katanya.
Odetter terpengarah cengo. Apa sungguh akan baik-baik saja dia meniru sikap bocah aneh ini?
Selagi Labelina fokus mengobrak-abrik sesuatu di dalam tas, Odett akhirnya pasrah dan mau tidak mau ikut singgah di bangku tersebut.
"Sebentar lagi, 'kan, makan siang. Kenapa sekarang makan?" komentar Odett ketika Lala mengeluarkan sekotak macaron warna-warni dan botol dot berisi susu.
Sebetulnya, itu bukan dot. Hanya botol sedotan dengan dua gagang pegangan. Bentuknya saja yang menyerupai dot.
"Kalna Lala cedang beltalung dengan maca petubulan."
"Ha?" Odetter mengerutkan kening saking kerasnya berpikir. Maca petubulan apa?
"Lala halus menang!" imbuh Lala bertekad maksimal. Dia tengok kotak bekal tersebut dan mendapati hanya ada satu macaron cokelat diantara banyaknya rasa lain.
Raut mukanya seketika muram.
Tidak! Ini dia krisis kehidupan yang amat menyiksa batin balita! Labelina ingin macaron cokelat itu, tapi, bagaimana kalau Odett juga suka yang cokelat?!
Haruskah ia memberikannya? Bubu bilang anak baik harus berbagi. Tapi, hanya ada satu. Kalau diberikan Odett, kapan lagi ia bisa makan yang rasa cokelat?
Saat ini, bayi empat tahun itu sedang bergelut dengan dirinya sendiri.
K-kenapa dia mempelototi roti? batin Odetter merinding ngeri.
Dua menit berlalu. Akhirnya, Lala pun berhasil membuat keputusan setelah mempertimbangkan banyak hal matang-matang.
Karena Lala sudah dewasa, mari menjadi pribadi yang bijak. "Lala halus mengalah pada anak-anak," gumamnya, lantas menyerahkan macaron cokelat tersebut kepada Odetter dengan lapang dada.
"Otet mau?"
Mata karamel gadis sepuluh tahun itu menyipit curiga. Biasanya Lala akan membuatnya kesal, kenapa tiba-tiba dia berbuat baik?
"Otet halus banyak mamam. Bubu bilang kalau tak banyak mamam tak bica tumbuh tingi, loh."
"Aku tau, aku tau!" jengkel Odett segera mengambil macaron merah muda agar Lala berhenti mengomel.
Alih-alih tersinggung karena Odett melewatkan macaron cokelat yang dia sodorkan, wajah Lala justru berubah cerah seolah dia tak sengaja menemukan koin emas di jalan.
"Otet tak mau ini?" tanya Lala berbinar-binar.
Apa, sih? "Tidak."
"Cungguh? Ini buat Lala?"
Odetter memutar bola mata malas. Dia abaikan keantusiasan Lala dan memasukkan satu macaron ke dalam mulutnya.
Manis lumer kue kecil tersebut langsung berasa. A-apa ini makanan surga?! Sesaat, Odett terperdaya oleh rasa macaron merah muda yang sangat sesuai dengan seleranya.
Namun sayang, rasa melayang di nirwana itu seketika buyar gara-gara cicitan Lala.
"Hehe, enyak, 'kan?" celutuknya sudah dalam keadaan belebotan cokelat.
Odetter tersentak sadar dan segera menggeleng cepat. "Hei, 'Bubu' yang sering kau bicarakan itu siapa?" Odett iseng bertanya. Tidak, lebih tepatnya dia cuma ingin mengalihkan perhatian Lala agar dapat memakan macaron sebanyak mungkin.
Selagi tak ada Nana, Lala mengelapkan telapak tangannya di kain baju. "Bubu itu yang melawat Lala cepelti yayah."
"Oh, maksudmu ibu. Asal kau tahu, ya, ibu yang kau sebut Bubu itu sudah bukan Bubumu lagi, tahu," ujar Odett asal.
Gadis kecil dari Henvitas itu sama sekali tidak menyadari bila kata-katanya barusan membuat kelereng biru Lala membulat sempurna.
"Kenapa?"
"Karena ayahmu akan menikah dengan ibuku," sahut Odett ringan.
Tapi rupanya, ucapan tersebut jauh dari kata ringan bagi anak empat tahun yang kini tertegun di tempat.
Labelina masih ingat betul kata-kata terakhir sang Ibu sebelum perempuan itu berlari meninggalkannya sendirian. "Pokoknya, Lala harus jadi anak baik. Mengerti? Lala, Bayiku. Tolong jangan ..., jangan rindukan Ibu, ya, Sayang. Ibu mencintaimu."
"Ke, kenapa?"
"Ya tentu saja yang akan jadi ibumu adalah ibuku, 'kan?"
"Ta, tapi, Lala tak mau Bubu yang itu."
"Yah, mau bagaimana lagi?" Odett mengedikkan bahu. Lagipula itu, 'kan, urusan orang dewasa. Mereka anak-anak cuma bisa menurut saja. "Pokoknya, Bubumu sudah hilang. Ibuku yang dibawa ayahmu itu adalah Bubumu yang baru, haha!"
Lala, 'kan, sudah jadi anak baik. Kenapa Bubu tak mau jadi Bubunya Lala lagi? Betapa sulit logika tersebut dicerna oleh otak Labelina.
Lala kira jika dia bersikap baik sesuai keinginan Bubu, maka perempuan itu akan menjemput dan membanjirinya pujian yang ia harapkan selama ini.
Tapi, apa yang ia dapatkan setelah menuruti perkataannya dengan patuh?
"B-bubu, tak cayang Lala lagi?" lirih Lala mulai berkaca-kaca.
Lala teringat hari ketika sang Ibu pergi. Itu adalah hari yang dingin. Saat tangan kecilnya dilepaskan begitu saja, Lala pun kehilangan dunianya.
Dia jeritkan 'Bubu' berkali-kali namun perempuan itu tidak peduli. Bahkan ketika ia pura-pura jatuh tersandung, Bubu sama sekali tidak kembali.
"Kenapa Bubu buang Lala?"
Odetter termangu kala cicitan Lala yang penuh semangat seperti biasa terganti dengan suara parau. Ia mendongak, mendapati wajah bocah tengil itu telah basah oleh air mata.
Eh? Sejak kapan dia menangis?
Hilang sudah selera Odett pada macaron-nya. Dia telan kunyahan terakhir tersebut dengan paksa. Apakah ini berarti adalah kemenanganku?
Odetter, 'kan, sudah lama ingin membuat Lala kesal. Tapi, setelah melihat bocah itu menangis, mengapa dia malah merasa tidak senang, ya?
"H-hei, aku cuma bercanda," ralat Odett menuruni kursi dan mencoba menghentikan tangis Lala dengan panik, "Ibuku baru akan jadi ibumu setelah dia menikah dengan ayahmu, kok."
Bukannya mereda, isakan Lala justru kian jelas. "Tak mau. Lala tak mau Bubu balu. Lala mau yang lama caja..., Lala mohon."
Joviette di sudut persembunyiannya menegakkan diri. Pertahanan ksatria itu goyah hanya dengan melihat Labelina menitikkan air mata. Baiklah, sudah cukup. Jov tidak bisa membiarkan Lala menangis lebih dari ini.
Baru akan berlari ke arah mereka, tiba-tiba seseorang bergerak kilat mendahului Jov lebih cepat. Netra sang Ksatria membelalak seiring dia menyadari siapa orangnya.
Danzelion sigap membentengi mereka, menyembunyikan Lala yang tidak bisa berhenti terisak di balik punggungnya.
"Apa yang kau lakukan?" geramnya, menyudutkan si Pelaku dengan tatapan nyalang nan membara. "Hanya aku yang boleh membuatnya menangis!"
To be continue...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
