
BAGIAN DUA PULUH EMPAT, AWAL PENYESALAN
Sama seperti kemarin ya, guys. Ini lebih dari 4000 kata jadi harga naik 1k. Be My Father kemungkinan bakalan tamat di chapter 30an. Semoga sebentar lagi kelar wkwk. Sebenarnya part ini sudah jadi sejak minggu lalu, tapi ternyata ada masalah dikehidupan real yang mana bikin Bher sibuk dan tak punya waktu buat nulis. So, daripada double update dan Hiatus 2 Minggu, mending tetep rutin up 1 Minggu sekali aja. Selamat membaca🤗
BAGIAN DUA PULUH EMPAT, AWAL PENYESALAN
Baru kali ini para pelayan dan ksatria melihat Tuan Duke mereka tenggelam dalam kepanikan besar. Pria itu berlari kesetanan sambil mendekap Lala. Dia bahkan lupa menyuruh seseorang memanggil Marshall dan justru membawa Lala langsung ke ruangan sang Dokter.
Ilthera ikut menyusul. Wanita yang hanya berani berdiri di ambang pintu dengan napas terengah itu menutup mulut tak percaya. Bagaimana ini bisa terjadi? Aku yakin obat itu tidak ku tuangkan ke dalam cangkirku!
Ilthera ingat betul serbuk obatnya cuma dia masukkan ke dalam teko setelah ia menuangkan satu cangkir untuknya sendiri.
Gestan menyugar kasar rambutnya. Dia seperti kehilangan kendali. Sikap tenang yang telah mendarah daging dalam dirinya dilenyapkan hanya gara-gara melihat si Kecil itu pingsan.
Ini salahku! Harusnya aku lebih tegas menyuruhnya keluar saat itu!
"Tuan Duke, tidak ada yang salah dengan tubuh Lala. Anda mungkin keliru jika itu racun," terang Marshall begitu ia selesai memeriksa.
"Ulangi lagi, kau pasti salah!"
"Ta-tapi, saya sudah mengulanginya sampai tiga kali."
"Lalu kenapa dia tidak kunjung sadar?!" gertak Duke mengangkat kerah Marshall geram. Dia sudutkan dokter malang tersebut dengan sorot mata nyalang.
Beruntung, Margrave datang disaat yang tepat. Pria tua itu buru-buru mencengkram bahu Gestan menjauhkannya dari Marshall. "Tenanglah! Kau gila?!"
"Gah... hah... hah!" Marshall merosot jatuh nyaris kehabisan napas. Tangan gemetarnya memastikan lehernya masih tersambung utuh. A-aku selamat!
Gestan menepis kasar cengkraman Delzaka, sebelum berjalan dengan aura meremang ke arah Lala ditidurkan. "Bunuh dokter itu segera," titahnya, mutlak.
Para bawahan yang sedari tadi mengikuti Duke terkesiap kaget. Gara-gara selama ini sikap Duke melunak berkat keberadaan Lala, mereka jadi lupa bahwa sifat sejati pria itu bisa lebih parah dari iblis.
"Hentikan," cegah Margrave. "Kita bisa panggilkan Ophelia dulu. Siapa tahu bunga karoten bisa menjadi penawar-,"
"AKU BILANG BUNUH DOKTER ITU ATAU PENJARAKAN DIA SEKARANG!"
Kali ini, bukan cuma ksatria dan pelayan yang kaget. Labelina pun, iya. Diantara ketegangan mereka, mata biru itu membulat sempurna.
"Bu-buntal? Kau sadar?!" heboh Delzaka mendekat.
Tanpa menyadari bahwa ulahnya hampir menghilangkan satu nyawa manusia, Lala meloncat riang di atas kasur. "Hehe, ejutan!"
Suasana mendadak hening seketika.
Delzaka menghela napas panjang, menjadi orang pertama yang memecah kesunyian. "Jadi, barusan kau cuma pura-pura?"
"Ung, iya." Dia bahagia karena berhasil memisahkan Duke dan Ilthera. "Wuek, laca teh-nya cepelti pup-nya Chocho," komentarnya pada teh buatan wanita Henvitas itu.
"Astaga, aku hampir jantungan mendengarmu jatuh pingsan. Lain kali kau tidak boleh begitu lagi. Mengerti?" tegur Margrave. "Lalu kau, Gestan. Aku tahu kau kebingungan sampai tak mampu berpikir jernih, tapi-,"
"Anda terlalu banyak bicara." Duke hanya berujar demikian sebelum melenggang pergi. Aura kelam pria itu sama sekali tak membaik ketika mengetahui Lala ternyata hanya pura-pura.
"Dyuk?" panggil Lala.
Namun, Gestan tidak sedikit pun melambatkan langkah atau bahkan menoleh.
Ekspresi ceria Lala memudar. Si Kecil sadar Duke marah padanya. Ia lekas turun dari kasur dan mengejar. "Dyuk, Dyuk!"
"...,"
Saat Duke berpapasan dengan Ilthera pun dia tidak menghiraukannya.
"Dyuk, tunggu. Janan tinggal Lala! Maap Lala becalah!" jerit Lala, berusaha keras menggapai tangan Duke.
Tetapi, pria itu mendiamkan lengannya bergerak sesuai langkah sehingga Lala tidak mungkin bisa meraih.
Melihat punggung Duke semakin jauh, Labelina merasakan ketakutan yang luar biasa. Dia jadi teringat saat-saat ia gagal mengejar dan kemudian ditinggalkan.
"Lala, Bayiku. Tolong jangan ..., jangan rindukan Ibu, ya, Sayang. Ibu mencintaimu."
Apa Yayah juga akan meninggalkannya seperti Bubu? Tidak! Jangan perg-,
BUGH!
Saking tergesanya menggerakkan kaki, balita itu sampai tersandung tumit sendiri. Alhasil, ia jatuh telungkup cukup keras. Alih-alih menangis, wajahnya justru berubah cerah karena langkah gesit Gestan akhirnya tertahan.
Pria dengan sorot dingin itu kemudian berpaling ke belakang. Margrave dan beberapa orang tampak menyusul ke arah mereka. Sebab itu, dia merasa tak perlu membantu.
"Aku kecewa padamu," ujarnya singkat, sebelum benar-benar pergi tanpa mengindahkan Labelina lagi.
*****
"Loh, makan malamnya sudah berakhir?" tanya Joviette mengedarkan pandangan. Lelaki dua puluh tahun itu menggesek-gesekkan tangan sementara ujung hidung dan telinganya memerah.
"Sudah," sahut Natelia sembari membereskan meja makan. "Barusan ada kejadian tak menyenangkan, Sir."
"Kejadian apa?"
"Lala pura-pura pingsan. Sepertinya dia melakukan itu karena tidak mau Tuan Duke dan Nona Ilthera menjadi dekat. Akhirnya, Tuan Duke marah."
Joviette terkejut sampai menegakkan badan. "Tapi, Lala tidak apa-apa, 'kan?"
"Ya, dia sudah berhasil ditenangkan. Lagian Anda dicari-cari malah tidak ada." Secara, teman bermain paling disukai Lala adalah Joviette. Mereka pikir, anak kecil akan lebih mudah dibujuk ketika dia bersama orang favoritnya.
"Yah, mau bagaimana lagi? Saya kesulitan mencari tempat tinggal untuk serangga-serangganya Lala," jelas Jov, bersedekap untuk mengatasi dingin.
Perempuan yang kini mengelap meja itu tersenyum tipis. Betapa besarnya usaha Joviette menjaga 'teman-teman' Lala meskipun mereka cuma serangga.
Padahal, bisa saja Jov mengeluarkan serangga yang Lala gunakan untuk mengusili Ilthera itu asal lempar dari jendela. Tapi dia bersikeras menjelajah hutan malam-malam begini ketika dinginnya menusuk tulang.
"Sungguh, calon ayah yang baik," gumam Natelia tanpa sadar.
"Apa?"
Bahu Nana tersentak. "O-oh, maksud saya, apakah Anda mau minum teh?! Ini sangat dingin, 'kan? Lihat, Anda sampai menggigil begitu! Ahaha."
"Ba-baiklah?" Jov bingung Natelia tiba-tiba bersikap salah tingkah.
Buru-buru gadis itu menuangkan teh buatan Ilthera dari teko. Toh, isinya masih banyak. Sayang kalau dibuang.
Joviette melotot ketika cangkir penuh tersebut disajikan ke hadapannya. I-ini, 'kan, teh rasa pembunuhan dari Henvitas!
Jov menelan ludah. Lebih baik mati kedinginan daripada minum cairan hitam itu. Tapi, melihat Pelayan Natelia sudah bersusah payah menyiapkan, dia tidak enak hati menolak.
Natelia menyusul duduk di samping Joviette. Entah karena sedang gugup atau apa, dia sudah lebih dulu meneguk tehnya tanpa merasakan hal aneh sedikit pun.
Keren! Apa lidah Pelayan Nana terbuat dari kulit buaya?
Sementara, di tempat lain, Ilthera berlari tergesa ke arah ruang makan. Wanita itu baru ingat telah meninggalkan teh buatannya yang mengandung obat di sana.
Aku harus buang teh itu di tempat aman! Jangan ada jejak sedikit pun yang tersisa atau Tuan Deus akan mengusirnya jika keberadaan obat itu terbongkar.
Dengan napas memburu, Ilthera lekas membuka pintu. Sungguh na'as. Rupanya, teh itu telah merenggut dua korban.
"Nona Ilthera, kenapa Anda kemari?" tegur Jov sopan.
Natelia ikut menimpali. "Apa Anda merasa lapar? Saya akan mengantarkan makanan ke kamar jika Anda lap-,"
"T-Tidak. A-aku cuma salah ruangan," gagap Ilthera. "Ka-kalian silakan lanjutkan!" serunya langsung berlari keluar.
Astaga, kenapa mereka malah meminumnya? Orang-orang itu tidak akan menyadarinya, 'kan? Aku mohon, semoga keberuntungan kali ini berpihak padaku.
Tidak ada yang tahu apakah kejadian setelahnya disebut keberuntungan atau bukan.
Ketika serbuk putih itu menemukan takdirnya, dia berhasil membawa sepasang insan melayang ke dunia malam yang begitu menakjubkan.
Joviette dan Natelia sama-sama terbius oleh perasaan aneh yang mendesak sisi vulgar mereka keluar. Dan, selama detik-detik menggairahkan itu berlalu, jemari mereka saling bertautan menjadi satu.
Keesokan harinya, kala Natelia terbangun tanpa sehelai kain pun, ia memekik kaget.
Bukan karena dirinya tahu-tahu menempati kamar pria, tetapi karena Joviette telah mengambil posisi sujud menempel lantai.
"PELAYAN NANA, MAAF! AKU PANTAS MATI!" sesalnya, hanya dalam lilitan linen membalut tubuh bagian bawah.
*****
Mau berapa kali pun pintu itu diketuk oleh seseorang dari luar, Duke tetap berkutat pada dokumennya. Dia sedang tidak minat bicara dengan siapapun saat ini. Meskipun orang itu adalah Margrave.
"Gestan, aku akan masuk jika kau tidak kunjung menjawab," desak Delzaka kehilangan kesabaran.
"...,"
"Ck!" decak Margrave akhirnya benar-benar menyelinap tanpa ijin.
Oh, rupanya dia tidak sendirian. Di belakang pria tua itu ada sosok berkostum jumpsuit beruang putih mengikutinya.
Dia berjalan dengan alis mengerut fokus menyeimbangkan nampan. Lalu di atasnya ada kopi hangat yang bergejolak menyiprat ke sana kemari.
"Ayo, sedikit lagi, Buntal. Kau pasti bisa!" dukung Margrave harap-harap cemas.
Si Kecil yang pipi tembamnya di kelilingi kupluk bertelinga bulat itu kemudian berjinjit ketika hendak meletakkan nampan ke meja Gestan.
T-tidak, itu akan jatuh! Itu pasti jatuh! gemas Delzaka. Nampan yang Lala angkat ke atas masih kurang tinggi walau tubuhnya sudah bergetar mencapai batas.
"Ka-kau, biar ku bantu sedikit." Margrave benar-benar gatal sekali ingin mengambil alih nampan sial itu dari tangan ringkih sang Cucu. Tugas sepele bagi orang dewasa ini pasti begitu sulit ditanggung balita seukuran ibu jari.
"Tak! Lala bica cendili!" Lala bersikeras. Dia kemudian meletakkan nampan ke lantai untuk sementara. Lalu berlari keluar entah kemana dan kembali lagi sudah dengan beruang besar di pelukan.
Kira-kira untuk apa boneka itu? Margrave menduga Lala ingin mengajak bonekanya minum kopi seperti bayi perempuan pada umumnya.
Namun, prasangka itu terpatahkan begitu Labelina ternyata menggunakannya sebagai panjatan.
Tadaaa~, dia pun berhasil menyajikkan kopi hangat ke meja kerja Gestan.
Duke yang sedari tadi terdiam cukup terkesima dengan usaha keras itu. Tapi dia tetap berpegang teguh pada egonya untuk tak memberi respon apapun pada Lala.
"Dyuk!" seru Lala, memutari meja dan meraih lengan Gestan. "Dyuk macih malah? Lala janji tak nakal lagi. Janan malah, ya?" Lala memohon dengan mata bulat berbinar penuh harapan.
Sayang sekali, jawaban pria itu tidak sesuai ekspektasi. Dia hanya menarik lengannya dari pelukan Lala, kemudian berujar dingin seperti halnya dia memperlakukan orang lain, "keluar."
Labelina mencembikkan bibirnya ke bawah. Kenapa Duke terus marah? Apa karena dia terlalu nakal kemarin? Atau karena, "Dyuk benci Lala, ya?"
Kali ini netra sang Penguasa Kastil sedikit melebar. Dia tengok ke samping bawah dimana bayi lembut itu menunduk murung.
Mana mungkin aku membencimu? Entah mengapa lidah Gestan terasa kelu untuk sekedar berkata demikian. "Tidak. Aku, aku-,"
Terlambat. Sebelum Gestan menyelesaikan kalimatnya, Lala sudah berjalan keluar sambil mendumel dengan pipi bulatnya yang bergoyang-goyang. "Cih. Dyuk tak mau jadi Yayah-nya Lala lagi. Lala anak tak belguna, cuma bica habiskan mamam dan uwang!"
Huh? Duke memandang cengo ke arah pintu dimana Lala tampak menyeret kaki terakhir kali.
Bagaimana bisa balita empat tahun membuat kesimpulan sejahat itu? Dia benar-benar pandai membalikkan perasaan orang sehingga korban yang ditipunya justru diliputi rasa bersalah.
Rasakan, kau! puas Margrave dalam hati. Dia senang melihat putra angkatnya menunjukkan raut sesal. Haha, ini pemandangan langka!
"Ahem." Delzaka mengontrol muka bahagianya dengan berdeham. "Memang apa, sih, yang kau permasalahkan kemarin? Hara bahkan pernah pura-pura mati sampai Amberly nyaris bunuh diri."
"Jika Anda hanya ingin meledek, silakan keluar."
"Tega-teganya!" Margrave menempati sofa alih-alih pergi. "Biarkan orang tua ini beristirahat sejenak."
Anda mau jungkir balik pun saya tidak peduli, Gestan merotasikan netra datarnya ke arah lain yang penting tidak tertuju Margrave.
"Aku ingin memberitahumu ini sebelum terlambat. Diumur Buntal sekarang, dia sangat sensitif dengan respon sekitar."
Sesuai perkiraan Gestan, tak berselang lama, sang Legenda Perang mulai mengungkit kejadian semalam. "Saya tahu."
"Jika sudah tahu, kenapa masih kau lakukan?" serang Margrave penuh emosi. "Asal kau tahu, ya? Memang begitulah cara mereka tumbuh! Ada masa ketika mereka patuh, ada juga waktu ketika mereka menjadi sangat nakal, sulit diatur, memusingkan. Dan bahkan menyebalkan sampai kau merasa ingin mengikatnya menempel dinding saja!"
Gestan bergidik. Rupanya seorang Margrave pun pernah berpikir sekejam itu pada Hara saat gadis itu masih belia.
"Tapi, disitulah sesungguhnya peranmu sebagai seorang 'ayah' diuji, Gestan," imbuh Delzaka dengan sorot mata melunak. Seolah, dia sedang menuju bahasan terpentingnya. "Kau sendiri yang menawarkan diri menjadi ayahnya, bukan? Artinya, kau memiliki tanggung jawab berperan sebagai 'ayah' yang benar.
"Tinggal kau memilih bagaimana cara mendidiknya. Aku yang pada akhirnya mengusir satu-satunya darah dagingku memang tidak pantas mengatakan ini, tapi ketahuilah. Alangkah baik jika kau tidak berakhir menyesal sepertiku."
Margrave sudah pernah melewati fase demi fase pertumbuhan Harazelle. Dari kecil hingga ia dewasa. Dari dilahirkan ke dunia sampai memilih pergi bersama laki-laki yang dicintainya.
Salah jika membesarkan seorang anak dibilang mudah. Dikatakan sulit juga kurang tepat, karena nyatanya waktu-waktu yang dilalui bersama sang putri terasa begitu singkat.
Andai diberi kesempatan untuk mengulang dari awal pun Margrave tidak akan menolak. Karena memang seberharga itu seorang anak.
Duke dapat melihat genangan penyesalan terpancar di sorot mata tua itu. Kepalan tangan di atas pahanya meremat erat seiring ia mengungkapkan betapa kacau hatinya kini.
Walau hubungannya dengan Margrave tidak sebegitu akrab, Duke dengan intuisi tajamnya dapat mengetahui alasan Margrave melepaskan Hara di baliknya. Tentu pria tua itu mengusir Harazelle bukan tanpa alasan.
Dia lebih baik merelakan Harazelle pergi ketimbang putrinya diadili sebagai pengkhianat negara.
Kala itu, ketika Baltenas mendapat serangan dadakan melewati jalur rahasia, siapapun pihak yang dianggap mencurigakan pasti dieksekusi mati oleh sang Raja. Tak terkecuali Harazelle yang menjalin hubungan dengan salah satu putra pendiri Atlanika.
Diantara empat keluarga kuat di sana, Crestio termasuk dalam golongan anti-perang. Mereka adalah keluarga yang mencintai alam dan kedamaian. Delzaka pikir, Hara akan lebih aman tinggal di sana daripada menjadi buronan Baltenas.
Oleh sebab itu, atas keyakinan minim tersebut, Delzaka menitipkan Harazelle pada Hergan dengan dalih pengusiran.
Duke sudah menduganya sejak awal, namun dia tak pernah mengungkitnya sama sekali. Toh, jika Margrave meminta pertimbangan padanya, Gestan juga akan memilih keputusan yang sama.
"Sebetulnya, saya tak bermaksud mendiamkan anak itu selama ini," ungkap Duke, menyugar rambut sebelum menyandarkan diri.
Dia juga tidak sejengkel itu sampai merasa ingin mengikat Lala di dinding. "Saya hanya ingin membuat dia belajar kalau nyawa itu tidak boleh dibuat untuk bahan candaan atau main-main."
Dalam hati, Delzaka berkomentar terkait pernyataan Gestan barusan. Memangnya boleh orang yang mudah sekali menghabisi nyawa manusia ini bicara begitu? Lupakah semalam kau hampir membunuh dokter cuma karena jawabannya tak sesuai harapan?
"Ya, aku tahu maksudmu baik. Tapi mendiamkan bayi juga bukan hal benar. Dia baru berusia empat tahun. Lebih baik tegur langsung daripada membuatnya bingung."
Gestan agak terpengarah mendengar kata-kata Margrave barusan. "Dia, bingung?"
"Tentu saja. Memangnya apa yang kau harapkan dari bayi umur empat tahun?!" Margrave melongo melihat reaksi tertegun Gestan. Dia tampaknya benar-benar tidak tahu apa-apa soal bayi.
"Biar ku beritahu ini padamu. Semua tindakan kita ini akan mempengaruhi bagaimana kepribadian Buntal saat dewasa nanti. Jadi, sebaiknya kau berhenti bersikap bodoh daripada dia merekam kemarahanmu sekarang menjadi ingatan traumatis baginya."
"Saya tidak marah, saya hanya memberi dia pelajaran," keukeuh Gestan.
"Tidak marah? Kau menganggap sikap abaimu pada usaha kerasnya untuk berbaikan denganmu itu bukan ungkapan marah? Begitu dangkalnya otakmu ini-,"
"Kwak kwak kwak!"
Perselisihan mereka disela oleh seekor elang yang tiba-tiba mendarat di ambang jendela ruang kerja. Kedua pria dalam ruangan itu spontan menoleh bersamaan.
Gestan menghembuskan napas lega. Secara tidak langsung, Luke telah membantunya terbebas dari omelan panjang Delzaka.
Kau pantas mendapatkan bonus daging setelah ini, puji Duke, mengusap kepala si elang absurd.
"Kweeeeek!"
"Ah, apa itu surat dari mata-mata yang kau tanam di Henvitas?" tanya Margrave ikut mendekat di belakang putranya. "Omong-omong soal Buntalan, kita sudah tahu dia adalah anak Hara. Ku pikir sebaiknya kita harus segera mengembalikan dia ke Atlanika."
"Belum saatnya. Masih ada sesuatu yang harus saya pastikan."
"Apalagi yang mau kau pastikan?"
Surat yang diambil dari kaki Lucress inilah yang mau Gestan pastikan. Penting untuk membandingkan informasi dari Dores dan dari mata-mata yang menyusup di sana langsung.
Raut muka Gestan seketika berubah usai membaca isi surat tersebut. Dia hempaskan kertas itu ke atas meja.
"Sialan!" umpatnya, tajam dan penuh penekanan. Lengan berurat itu tertumpu pada meja, mencengkram erat kepalan tangan hingga garis-garis pembuluhnya semakin jelas.
Penasaran, Margrave bergegas mengambil surat lusuhnya dan membaca dengan cepat. Memangnya apa isinya sampai membuat Gestan tampak semarah itu?
Menyusul kemarahan sang Duke, netra biru gelap Delzaka pun menyala murka. "Apa-apaan ini?!"
'Hergan Crestio dibunuh oleh saudaranya empat tahun lalu. Sedangkan Nona Hara, dia melarikan diri dari kediaman mereka setelah itu', demikian isi surat rahasia dari mata-mata Gestan.
Tapi, itu bertentangan dengan informasi yang disampaikan Dores beberapa waktu silam.
"Kabarnya, anak perempuan Nona Hara menghilang. Pihak keluarga Crestio sedang berusaha mencarinya hingga kini. Selain itu, tidak ada masalah rumit lain di rumah tangga mereka," begitu katanya, tanpa menampakkan kesan ragu apalagi mencurigakan.
Lantas, informasi mana yang harus mereka percayai?
**********************************************************
Flashback on.
"Dia masih mengurung diri di kamar?"
"Benar, Duke Muda. Kami sungguh khawatir. Ini sudah hampir satu bulan, tapi Nona tetap belum bisa menerima kenyataan bahwa Duke Amberly telah berpulang."
Saat pelayan itu memasuki kamar untuk menyerahkan makan, Gestan dapat melihat keadaan Hara dari celah pintu sekilas.
Gadis itu hanya merenung diam, menatap kosong ke arah luar jendela sembari memeluk kaki seolah terperangkap dalam ruang hampa yang tak ada batasnya.
Wajar bila gadis itu terlarut dalam kesedihan. Di hari ketika seharusnya dia berbahagia merayakan usia kedewasaan, dia malah mendengar berita bahwa ibunya meninggal dunia.
Margrave sendiri tak mampu berbagi rasa kehilangan itu. Ia menenangkan diri dengan cara berfokus pada segudang pekerjaan. Sampai lupa bahwa ia masih memiliki putri yang perlu dukungan emosional juga.
Gestan awalnya enggan ikut campur masalah mereka. Namun, hati besinya yang untungnya masih menyisakan sedikit nurani itu memutuskan untuk membantu diam-diam.
Hal pertama yang terbesit dalam pikiran pemuda itu adalah mendatangi Hergan. Tidak sulit mencari Hergan, karena dia selalu datang ke panti asuhan setiap hari.
"Anda siapa?" tanya Hergan was-was ketika kerahnya tiba-tiba ditarik paksa ke tempat sepi.
"Aku, seseorang yang Harazelle anggap kakak." Gestan sengaja mengaku demikian karena dia tidak pernah melihat gadis itu sebagai adik.
Hergan terkesiap kaget. "Anda tahu dimana Hazell?!"
Tentu saja, sudah satu bulan Harazelle tidak keluar kastil. Lelaki ini pasti bertanya-tanya mengapa gadisnya tak nampak mengunjungi panti asuhan lagi.
"Dia membutuhkanmu sekarang."
Alis pemuda dengan rambut diikat separuh itu mengerut cemas. "Hazell dalam bahaya?"
"Ibunya belum lama meninggal. Dia terus mengurung diri setelah itu. Kami butuh seseorang yang bisa membujuknya keluar. Aku benci mengakui ini, tapi bajingan sepertimu mungkin bisa."
"Apa? Baji-,"
"Tidak ada waktu lagi. Cepat ikuti aku."
"Tunggu, saya tidak bisa mempercayai Anda begitu saja." Status Hergan adalah penyusup dari Atlanika yang menyembunyikan identitas aslinya sekarang. Mana mungkin dia langsung bersedia mengikuti Gestan?
Gestan menyugar rambutnya kasar. "Baiklah. Terserah. Tapi kau mungkin tidak akan bisa melihatnya lagi jika tidak menemuinya sekarang."
Setelah mempertimbangkan dengan cepat, Hergan pun mengiyakan. Meski keputusan ini berisiko tinggi, dia tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu Hazell-nya begitu saja.
Dan, ketika akhirnya sepasang kekasih itu berhasil dipertemukan, Gestan menyingkir dari kamar. Senyum pahit terukir di bibirnya melihat mereka berpelukan sebelum ia pergi.
Memang lebih baik begini, bukan? Menjauh dari perasaan asing yang mampu membutakan logika sehingga dia dapat berpegang teguh pada prinsipnya sampai akhir.
Beberapa hari selepas Harazelle bertemu Hergan, dia seperti pasien sakit keras yang perlahan pulih. Rona di pipinya berangsur kembali meski tidak secentil dulu.
Cinta dari seorang pemuda berandalan namun penyayang benar-benar telah mengubahnya menjadi sosok tangguh dan menawan.
"Kakak, ada titipan dari temanku. Untuk Kakak," ucap Hara suatu hari. Dia meletakkan sebuah kotak di atas meja ruang perpustakaan ketika Gestan sedang bergelut dengan setumpuk materi pengelolaan wilayah.
"Apa ini?"
"Buka saja. Dia memilihkan hadiah itu dengan sepenuh hati. Aku pergi dulu, ya? Sampai jumpa nanti."
Sedikit penasaran, Duke Muda menurunkan selanjaran kaki dari atas meja dan membuka kotak persegi itu tanpa mengurangi kewaspadanaannya.
Telur? Raut was-was sang Pemuda terganti dengan sebuah kebingungan. Lantas, manik kelabu itu tertuju pada pesan singkat yang tergeletak di sisi hadiah utama.
'Terima kasih kepada siapapun Anda yang Hazell anggap Kakak. Jika Anda merawat Lulu dengan baik, dia pasti bisa tumbuh menjadi elang pembawa pesan paling setia di dunia.'
-Hero^^
Tanpa sadar, sudut bibir Gestan tertarik sedikit saat dia membaca tulisan cakar ayam tersebut. Andai Hergan Crestio bukan terlahir sebagai Atlanika, mungkin...
Flashback off.
**********************************************************
Ilthera senang karena Duke menyempatkan waktu lagi untuk mengajaknya makan camilan bersama di dalam rumah kaca. Meskipun salju mulai menyelimuti wilayah Aslett, tanaman di dalam dinding transparan ini tetap dapat berbunga dengan baik lantaran dilengkapi dengan teknologi sihir dari Lembah Sabana.
"Apa..., Anda sudah berbaikan dengan putri Anda?" tanya Ilthera memberanikan diri memulai pembicaraan lebih dulu.
Alih-alih menjawab, Tuan Deus menyebat cerutunya dengan sebelah kaki berpangku di atas paha. Cara duduk lelaki itu benar-benar santai seolah, dia tidak berusaha terlihat sopan dimata Ilthera.
Bahkan ketika asap rokoknya melayang ke muka Ilthera, sang Pemilik rahang kokoh itu sama sekali tidak mengindahkannya. Ilthera menggigit bibir menyadari Tuan Deus belum melihatnya sebagai wanita.
Odetter yang ikut serta dalam pertemuan itu menatap sang Ibu dan Tuan Deus bergantian. Bukankah seharusnya orang dewasa yang menjalin hubungan romantis tidak sedingin ini?
Haruskah ku bantu Ibu? pikir Odett. Sisi inisiatifnya terpancing keluar.
"Anu..., Tu-tuan Deus, boleh caya mamam itu?" gagapnya, mencoba berbicara cadel.
Odett kira, Tuan Deus cuma seorang pria menakutkan yang mudah luluh terhadap anak kecil. Dia selalu bersikap lembut saat bersama Lala, 'kan? Mungkin, aku juga bisa mengambil hatinya dengan bertingkah lucu.
Gestan berpaling hingga asap tebal itu mengepul ke muka Odetter. "Ambil saja semaumu."
Nah, lihat, 'kan? Cara ini pasti berha-,
"Meski kau sudah membuat putriku menangis."
Deg! Odetter membeku di tempat. Dia urungkan niatnya mengambil roti selai kacang itu dengan nyali menciut. Cara Tuan Deus menggertak jauh lebih menakutkan daripada bentakan Ibu!
"Maafkan kenakalan putri saya, Tuan Deus. Saya pastikan akan mendidiknya dengan benar setelah ini." Selaku ibu kandung, tentu Ilthera mewakili Odetter meminta maaf.
"Daripada minta maaf soal itu, kenapa tidak kau jelaskan saja soal obat perangsang dalam tehmu semalam?"
Huh?! Seperti halnya Odetter, Ilthera juga berhasil dipukul mundur oleh suara rendah Duke Gestan.
"Apa, apa maksud Anda? Saya benar-benar tidak mengerti," bantah Ilthera, mencoba menutupi kegugupannya dengan meringis kecil.
Gestan mengayunkan satu jari tanpa menengok ke belakang. Kemudian, dua manusia yang Ilthera kenali sebagai 'korban' pun mendorong troli mendekat, dengan satu set perlengkapan minum teh memuat di atasnya.
Mata tembaga itu membelalak lebar. Itu, teh yang ku buat semalam!
Tanpa pikir panjang, dia segera bangun dan membungkuk sembilan puluh derajat menghadap sang Pemilik Kastil.
"Tu-tunggu, Tuan Deus! Saya, saya bisa jelaskan! Saya melakukan ini semata-mata karena kita adalah tunangan! Saya tidak bermaksud membahayakan nyawa Anda!" paniknya, membela diri. "Tolong, tolong maafkan saya jika Anda tersinggung dengan rencana kotor saya ini!"
Toh, cepat lambat mereka akan menikah dan tak bisa menghindari malam pertama. Jadi, dia melakukan ini supaya mereka bisa tidur bersama lebih cepat, begitu, 'kan?
Duke menyingkirkan ujung rokoknya yang telah menjadi abu ke asbak sebelum menghisapnya lagi. "Aku tidak tersinggung. Duduklah kembali."
"Ya?" Masih dalam posisi membungkuk, Ilthera mendongak bingung.
"Ku bilang duduk."
"Ba-baik."
Ilthera berasa menempati kursi berduri. Ketenangan pria itu justru membuatnya tak tenang sama sekali. Rasanya, seperti Tuan Deus hendak memanfaatkan situasi ini untuk mengikatku di sini. Jika memang demikian, Ilthera malah akan senang hati.
"Sebetulnya, aku justru ingin berterima kasih padamu," terus terang Duke.
"Maaf?" Apa aku salah dengar?
"Tidak. Kau tidak salah dengar. Aku mau berterima kasih, karena berkat ulahmu, aku jadi tidak perlu repot-repot mencari alasan untuk memulangkanmu ke Henvitas."
Ilthera tercenung lagi. Baginya, pernyataan barusan jauh lebih buruk ketimbang Tuan Deus mengamuk padanya. "Tu-tuan, Anda sudah sepakat akan menikahi saya. An-anda tidak bisa melanggar perjanjian itu-,"
"Bisa."
Kontrak mereka tertulis, jika salah satu dari mereka diketahui berbuat 'curang', maka pihak yang bersalah harus mempertanggungjawabkan itu dan pertunangan mereka otomatis dibatalkan. Jadi, mengapa tidak bisa?
Ilthera diliputi keresahan yang luar biasa. Ini bukan hanya soal masa depan Henvitas atau desakan Sharka. Ini juga soal perasaannya yang terlanjur jatuh pada pesona pria itu.
Bayangan hidup bersama Tuan Deus hingga tua sudah tertanam kuat dalam benaknya. Andai mimpi indah yang menunggu di depan mata ini terpatahkan begitu saja, dia tidak yakin mampu bertahan menghadapi otoritas Sharka yang terus menjualnya pada pria-pria asing di luar sana atau tidak.
Bahkan, jika Tuan Deus hanya ingin menjadikannya sebatas selir pun Ilthera tidak keberatan asal pria itu bersedia membiarkannya tinggal.
Hidup di kastil sungguh suatu berkah bagi Ilthera. Di tempat ini, dia jauh dari bayang-bayang ajaran Dewi Henvetoria yang begitu menyesakkan.
Kampung halaman memang membuat rindu, tapi hanya di sinilah Ilthera memahami arti 'kenyamanan' yang sebenarnya. Dia harus melakukan sesuatu. Apapun itu, entah memohon atau-,
"Kau dengar aku?"
Ilthera tersentak sadar. Pikiran negatif yang sempat menguasainya dapat ia tepis berkat guncangan dari tangan Odett dan suara Gestan.
"Ibu tidak apa-apa?" cemas Odetter, menyadari pikiran sang Ibu seperti berada di tempat lain.
"Ibu tidak apa-apa, Odett," sahut Ilthera, menyembunyikan pergolakan batin dari sang Anak. "Tuan Deus, saya mengerti bahwa tindakan saya memang tidak pantas dan begitu mengecewakan. Tapi, saya mohon pertimbangkan sekali lagi-,"
"Stop. Kita bicarakan itu nanti," sela Duke, melirik ke arah pilar dimana seseorang tak dapat menyembunyikan buah pipinya yang gembil. "Putriku sedang mengintip sekarang."
Ilthera berusaha mengatur ekspresi kesalnya pada Lala. Bagaimana pun, anak itu adalah salah satu alasan terbesar Tuan Deus tidak meliriknya sebagai wanita.
"Aku tahu kau di sana. Tunjukkan dirimu sekarang atau aku akan menyita semua kue di kastil ini," ancam Duke, membuat Lala tersentak.
Makhluk kecil bermantel tebal dan kupluk rajut itu langsung menggeserkan kaki dari pilar. Dia menunduk murung, mengerucutkan bibir karena amarah Duke tidak kunjung reda.
Ujung hidung dan pipinya memerah pertanda dia sudah berdiam di tempat itu sampai kedinginan.
Gestan menghela napas. Mana tega dia pura-pura tak tahu Lala mengintai sedari tadi sementara dirinya menikmati camilan dan minuman hangat?
"Duduk," titah Duke, mengarahkan dagu ke bangku kosong di sampingnya.
Lala menggeleng, mengeratkan genggaman di tali ransel. "Dyuk macih malah."
"Ada coklat panas di sini. Jika kau tidak mau, akan ku buang." Walau kesan pedulinya tetap ada, cara Duke bicara sungguh tidak nyaman didengar.
Tak cuma Joviette dan Natelia yang kasihan pada Lala, Ilthera pun iya. Meskipun dia ada setitik rasa tak suka pada Lala, melihat anak kecil yang tumbuh tanpa sesosok ibu itu dihindari oleh ayahnya juga membuatnya iba.
Labelina akhirnya menurut. Dia naik ke bangku usai memberi tatapan tajam pada Ilthera. Sedangkan Duke, pria itu tak banyak berpikir langsung mematikan rokoknya begitu Lala bergabung.
"Ini coklat untuk Lala kita yang pintar," hibur Nana, menuangkan cairan hangat tersebut ke gelas gagang dua.
"Ung. Tima acih." Meski mengangguk lesu, Lala tetap doyan menguyang roti selai kacang yang tersedia di meja.
Odetter dengan sedikit gengsi menggeser roti yang rasa cokelat ke dekat Lala. "Aku..., minta maaf. Nih, untukmu." Sebagai tanda perdamaian. Mengerti, 'kan?
"Ung! Otet juga mamam yang ini, ya. Enyak, lho!" Lala membagikan yang berselai kacang.
"Sudah ku bilang namaku-, ah sudahlah," desah Odett putus asa. Dia rampas roti yang dibagikan Lala tersebut dengan perasaan, senang?
Yah, dia cuma mencoba mempraktekkan usul Joviette kemarin. Dan sepertinya itu berhasil. "Anda bingung, 'kan? Bagaimanapun, Anda telah menyinggung Lala saat mengatakan Bubunya hilang. Coba mulailah minta maaf jika Anda ingin berteman dengan mereka."
Senyum Ilthera merekah melihat mereka berdua berdamai. "Pikiran anak-anak sangat sederhana, bukan? Kadang saya bertanya mengapa orang dewasa tidak bisa seperti itu saja."
"Pola pikir kalian sudah terlalu sederhana. Apanya yang kurang?" timpal Duke.
"Maaf?"
"Ini mengacu pada orang-orang di lingkungan tempatmu tinggal. Kalian sangat 'sederhana' sampai mudah ditipu."
"Kami, ditipu?"
"Ya. Kalian ditipu dewi gadungan yang tidak ada itu. Jika bukan terlalu naif, apa namanya?"
"Itu-,"
"Uhuk-uhuk. Ups!" Lala membekap mulutnya sendiri dengan mata membulat.
Duke merotasikan manik kelabu yang terkesan malas itu terarah Lala. "Kau mau menipuku lagi?
Lala menggeleng kencang. Kali ini sungguh diluar kendalinya. "Uhuk-uhuk!"
"Hm, benarka-,"
Darah yang menyiprat di taplak meja dari mulut Lala seketika membuat Duke menegakkan badan.
To be continue...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
