[21+] Terjerat Pesona Vampir Tampan (Bab 1-4)

4
2
Deskripsi

"Shada... apa kau menikmatinya?" tanya sebuah suara yang terdengar serak dan begitu sensual di telinga wanita yang kini berada dalam kungkungannya.

Wanita bernama Shada itu menggeliat dengan mata masih tertutup. Ia merasakan sentuhan lembut di pipinya, kemudian mulai turun ke bawah. Bibirnya menerima sapuan hangat dan lembut, membiarkannya terus masuk ke dalam dan membelai setiap ruang di mulutnya.

Pria bermata merah dengan kobaran api gairah itu tak tinggal diam. Ia terus melumat bibir Shada, tak...

BAB 1. Seperti Mimpi


 

"Shada... apa kau menikmatinya?" tanya sebuah suara yang terdengar serak dan begitu sensual di telinga wanita yang kini berada dalam kungkungannya.


 

Wanita bernama Shada itu menggeliat dengan mata masih tertutup. Ia merasakan sentuhan lembut di pipinya, kemudian mulai turun ke bawah. Bibirnya menerima sapuan hangat dan lembut, membiarkannya terus masuk ke dalam dan membelai setiap ruang di mulutnya.


 

Pria bermata merah dengan kobaran api gairah itu tak tinggal diam. Ia terus melumat bibir Shada, tak membiarkan ada jarak di antara mereka. Perlahan ia mulai menyatukan tubuhnya dengan Shada.


 

Shada memekik karena sensasi aneh yang menjalari tubuhnya. Namun, setelahnya ia mulai menikmati permainan pria tampan yang kini menurunkan kepalanya ke ceruk leher Shada, memberikan tanda kepemilikannya di sana.


 

"Selamat tidur, Shada," bisik si pria sembari mengecup bibir Shada sekali lagi.


 

Shada sungguh tak ingin terbangun dari mimpi indah ini. Ia tak tahu kapan lebih tepatnya, ada pria tampan yang tak ia kenali datang ke dalam tidurnya dan memberikan kasih sayang yang tak pernah Shada dapatkan sebelumnya. Jika Shada bisa, ia tak akan bangun dari mimpinya ini. Tapi, jika ini mimpi kenapa rasanya begitu nyata dan luar biasa? Entahlah, Shada hanya ingin terlelap lagi, berharap jika pria itu akan datang kembali ke mimpinya besok.



 

♡♡♡



 

Sinar matahari yang menyelinap lewat celah jendela membangunkan seorang wanita yang masih menggeliat di bawah selimutnya.


 

"Hoaaam.. " 


 

Shada meregangkan tubuhnya, merasa segar setelah semalaman ia tertidur nyenyak. Ia berjingkat dari tempat tidurnya dan menggiring kedua kaki jenjangnya menuju ke kamar mandi.


 

Shada mengguyur tubuhnya di bawah pancuran shower. Ia menikmati serbuan air hangat yang menerpa tubuh serta wajahnya.


 

Shada terdiam. Ia teringat dengan mimpinya semalam. Tanpa sadar ia mengulas senyum sambil menyentuh bibirnya. Rasa lembut yang ditinggalkan pria di dalam mimpi Shada seakan masih bisa ia rasakan. Bahkan sentuhan tangan pria itu yang menggerayangi setiap inci tubuhnya. Sungguh mematik hasrat Shada kembali.


 

"Sial... Shada, singkirkan pikiran kotormu itu," ujar Shada pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir pikiran laknat dari dalam kepalanya.


 

Shada segera menyelesaikan aktivitas mandinya. Selepas itu, ia bergerak menuju dapur untuk mengisi perutnya dengan makanan seadanya. Sepotong sandwich sudah cukup untuk mengganjal perutnya di pagi ini.


 

Sembari mengunyah makanannya, Shada mengambil ponselnya dan meletakkan benda pipih itu ke telinganya setelah menerima panggilan dari Max, tunangannya.


 

"Sayang, kapan kau ke sini, hmm?" tanya Max dari seberang telepon, menerbitkan senyum Shada di bibir merah mudanya.


 

"Setelah ini, Max. Kau pasti sudah sangat merindukanku kan?" tanya Shada menggoda sesudah ia berhasil menelan sandwichnya.


 

"Aku sangat... sangat... merindukanmu, Shada."


 

"Padahal kemarin kita juga sudah menghabiskan waktu bersama," tukas Shada mengejek. Shada ingin membayangkan wajah Max yang sedang cemburut ketika ia goda, tapi wajah lain yang muncul di kepalanya. Wajah tampan pria semalam. Meskipun tidak terlalu jelas, dan, memang apa yang kau harapkan dari mimpi? Ah, Shada bisa gila jika terus memikirkan pria yang tak nyata itu.


 

"Shada, kau dengar apa yang aku katakan barusan?" Suara Max menyadarkan Shada dari lamunan.


 

"Apa? Bisa kau ulangi, Max?" Shada mengerjap cepat.


 

"Aku bilang jika pernikahan kita dipercepat. Apa kau senang?" Max terdengar bersemangat, bahkan suara pria itu setengah memekik sekarang.


 

Shada tak langsung menjawab. Padahal kabar yang baru saja didengarnya adalah kabar baik. 


 

Shada mengangguk pelan. "Tentu saja, aku senang."


 

Tentu saja, Shada bagaimanapun sangat mencintai Max. Mereka telah berpacaran sejak kelas satu di sekolah menengah atas, terhitung sudah lima tahun. Waktu itu ia menjadi warga yang dibilang cukup baru di Toronto, Canada ini, memulai segala sesuatu dengan beradaptasi kembali.


 

Sebelumnya, ia tinggal di Sierra Madre, daerah kecil tepi hutan dan lembah di Los Angeles. Shada dan kedua orang tuanya pindah ke sini lantaran nenek yang biasa menemani Shada telah memutuskan pergi selama-lamanya dari sisinya.


 

Dan dimulailah, kehidupan barunya, meskipun kedua orang tuanya tetap sibuk bekerja, di suatu kota maju yang damai ditepi pesisir ini.


 

Shada memutus sambungan teleponnya selepas Max mengucapkan kalau pria itu akan menanti di ruangannya. Ia bergegas keluar rumah dan menunggu taksi lewat. Kali ini ia ingin naik taksi dibanding menyetir sendiri.


 

Memang, rumah Shada tenang berada di pinggiran kota, tepat di tepi jalan besar namun dengan intensitas jumlah kendaraan yang cukup ramai seperti di pusat kota. Ia beruntung taksi masih lewat di depan rumahnya.


 

Shada langsung melambaikan sebelah tangannya untuk menghentikan taksi yang melaju ke arahnya.


 

"Nona, mau pergi ke mana?" tanya sopir sembari memutar setirnya ketika Shada sudah duduk di jok belakang.


 

"Antar saya ke perusahaan Holy Food, Pak," jawab Shada yang dibalas oleh anggukan dari sang sopir.


 

Tak perlu waktu lama untuk Shada sampai di perusahaan Holy Food. Taksi yang dinaiki Shada kini sudah berhenti tepat di depan gedung perusahaan.


 

"Terima kasih, Pak," ucap Shada setelah membayar ongkosnya.


 

"Sama-sama, Nona," balas sang sopir, melajukan kembali taksinya.


 

Shada bergegas menuju ke ruangan di mana Max sedang menunggunya. Ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol delapan belas.


 

Lift segera membawa Shada melesat ke ruangan Max. Ia melangkahkan kaki begitu pintu lift terbuka.


 

Shada menggiring kedua kakinya ke ruangan yang bertuliskan 'Ruang Direktur' di bagian pintunya yang besar.


 

Sebelah tangan Shada memutar knop pintu. Ia mendorong dan masuk tanpa permisi untuk mengejutkan pria berambut pirang yang sedang duduk di balik meja besar. 


 

Max tampak fokus dengan laptop di depannya, sampai tak menyadari kedatangan Shada di ruangannya.


 

"Max..." seru Shada memberikan pelukan erat untuk Max dari arah belakang.


 

Kedua mata biru Max berbinar. "Shada, kapan kau datang?" tanyanya dengan sebuah senyuman yang tercetak di bibir tipisnya.


 

"Kau terlalu sibuk dengan laptopmu sampai tak tahu aku datang," ujar Shada dengan sedikit cemberut, menggoda Max.


 

Max menarik sudut mulutnya ke bawah. "Astaga. Maafkan aku, Sayang."


 

"It's okay, Babe." 


 

Max mengernyit melihat noda merah yang cukup mencolok di leher putih Shada. Perlahan ia melepaskan pelukannya. "Noda apa itu, Shada?" tanyanya penuh curiga.


 

Shada spontan mengeluarkan ponselnya cepat untuk melihat noda yang dimaksud Max. Ia seketika tercekat melihat noda merah di lehernya. Shada tak tahu dari mana ia mendapatkan noda tersebut. Tapi, jika ia menjawab pertanyaan Max seperti itu. Max tak akan percaya.


 

Shada mengerahkan seluruh tenaganya untuk berpikir. Ia harus memberikan alasan secepatnya kepada Max karena pria itu sedang menanti jawabannya.


 

"Semalam ada nyamuk yang menggigit leherku. Aku yang tak tahan terhadap gatalnya, jadi aku menggaruknya terus. Aku tak sadar jika itu membuat leherku seperti ini." Shada berucap dengan menyapu lehernya pelan. Ia memaksakan senyumnya, berharap Max akan mempercayai ucapannya tersebut.


 

Max mengangguk dan membuang wajahnya kembali kepada laptop di depannya. "Sebesar apa nyamuknya sampai membuat noda seperti itu?" 


 

Shada terbungkam. Sekelebat bayangan pria bermata merah itu kembali memenuhi kepalanya. Mungkinkah itu semua bukan mimpi? Dia nyata?



 

- Bersambung..




 

BAB 2. Membuktikan Sendiri


 

"Tentu saja, nyamuk yang berukuran normal, Max. Hanya saja gigitan itu membuatku alergi hingga menjadi selebar ini." tunjuk Shada pada lehernya. Matanya memohon agar Max segera mempercayainya.


 

Max memalingkan wajahnya. Menyibukkan diri pada beberapa lembar kertas di depannya. "Sejak kapan kau punya alergi terhadap gigitan nyamuk?" kejar Max, semakin membuat Shada gugup.


 

"Aku memang tidak punya alergi, Max. Hanya saja. Kali ini.." Shada semakin tidak menemukan jawaban ketika mata biru Max beralih menghunjam mata coklat terang Shada, mencari-cari kepastian di sana.


 

"Aku percaya." sergah Max, lalu berpaling lagi pada dokumennya. Kini tangannya dengan lincah membubuhkan tanda tangan di kertas-kertasnya.


 

"A-apa?" Shada melotot tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Benarkah semudah itu?


 

"Beberapa nyamuk memang menyebabkan reaksi alergi pada orang-orang tertentu," tukas Max singkat diikuti oleh anggukan Shada.


 

Shada mengembuskan napas lega. Namun ia juga makin buncah dengan apa yang terjadi semalam. Ia harus segera melupakannya, apalagi di hadapan tunangannya sekarang. Ia lalu mendudukan dirinya di depan Max.


 

Max melirik Shada sekilas. Kemudian mengendurkan kerahnya yang tampak gerah dan mencekiknya di beberapa menit yang lalu. Ia harus segera menguasai situasi ini.


 

"Jadi, Max," Shada sengaja menggantung kalimatnya, ingin mendapat perhatian Max lebih dulu, "kira-kira kapan tanggal pernikahan kita?"


 

Max menatap Shada lalu bergeming. Ia terlihat berpikir sejenak.


 

"Beberapa minggu lagi kita akan melakukan pertemuan keluarga, jadi kau bersiap-siaplah."


 

Setelah Shada mengunjungi Max, ia berjalan-jalan mengelilingi kantor menghilangkan rasa penatnya. Rasanya, lebih baik jika sekarang ia sedang bekerja. Menyibukkan diri dengan maraknya tugas dan beberapa tumpukan dokumen yang tinggi. Pikirannya sungguh kacau hari ini.


 

"Shada!" suara seorang wanita membuatnya mengalihkan lamunannya sekarang. Ia menoleh mendapati sumber suara tersebut.


 

"Hai, Ruth!" Shada melambai senang ketika tahu itu adalah Ruth, senior yang sering membantunya. Ruth setengah berlari menghampiri Shada.


 

"Kau barusan bertemu dengan Max? Di hari liburmu?" Ruth mengernyit tak percaya. Mungkin baginya ini lucu, dan momen yang lumayan langka.


 

Pasalnya, setiap hari ia bisa bertemu dengan Max. Dan ketika libur pun, ia pasti menggunakan waktunya untuk seharian tiduran di rumah. Memeluk kesepiannya sendiri.


 

"Hmm, yeah. Tidurku agak bermasalah akhir-akhir ini. Mungkin, jika aku bertemu dengan Max bisa mengobati mimpi burukku." racau Shada memelas diikuti oleh tepukan empati Ruth di pundak wanita cantik itu.


 

Sangat menyedihkan mengingat hidupnya sekarang. Selalu kesepian sampai ia merasa sedang berhalusinasi dengan mimpi yang saat ini membuat rusuh pikirannya. Tidak, itu nyata. Tapi hal itu dirasa tak mungkin juga. Ia merasa sangat bersalah pada Max tadi.


 

"Oh iya, Ruth. Kau pernah merasakan mimpi yang.. hmm nyata sekali?" tanyanya hati-hati. Tiba-tiba ia bergidik mengingat perihal mimpinya semalam. Namun juga senang.


 

"Mimpi yang nyata sekali?" ulang pelan Ruth tidak mengerti. Terlihat sekali sedang berpikir dengan keras.


 

"Hmm, jadi.. kau tahu kan mimpi yang benar-benar real, yang misal kau menyentuh gelas maka kau merasakan dinginnya sungguhan." Shada berusaha menjelaskan kepada Ruth, meski ia sendiri tidak begitu yakin dengan dirinya.


 

"Kau yakin itu mimpi? Bukan mengigau?" timpal Ruth, hampir terkekeh karena menurutnya itu lumayan menggelitik.


 

"Aku serius, Ruth. Please." Kali ini Shada menyatukan kedua telapak tangannya, tanda memohon sambil menatap nanar temannya itu. Ia sangat bersungguh-sungguh meminta bantuan Ruth yang sudah ia anggap sebagai sahabat sekaligus saudara perempuannya.


 

"Ok. Aku juga akan serius kalau begitu," ia menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, "pertama-tama, yang kutahu tidak ada mimpi yang sungguh-sungguh kau rasakan. Dan yang kedua, aku jarang sekali mengalami mimpi tiap malam."


 

Shada mengamati Ruth lamat. Sedikit berpikir, lalu memutuskan untuk menceritakannya lebih spesifik.


 

"Jadi, Ruth. Aku mengalami mimpi. Rasanya benar-benar nyata. Dan kau tahu. Ada bekas noda merah ini sungguhan," ungkapnya sambil menunjukkan leher sisi kanannya.


 

Ruth langsung memekik kaget. "Bagaimana bisa, Shada? Mana mungkin!"


 

Yang terjadi sedetik kemudian dan seterusnya, Shada mulai menjelaskan kronologinya. Ia menjelaskan sambil merasakan kekalutan dan nyaris menangis. Sedangkan, Ruth terlihat mengerti dan beberapa kali ia manggut-manggut paham.


 

"Kalau begitu, coba kau tidak tidur malam ini, Shada." ucap Ruth mendadak. Mata hitam mengkilatnya meyakinkan Shada.


 

Shada sejenak memaku memandang Ruth.  Paras yang elok dengan kulit putih bersih pucat, apalagi dengan matanya yang hitam kelam. Semuanya itu dipangkas apik dengan rambutnya yang pendek berwarna merah burgundy gelap. Sama sekali terlihat kontras. Ruth sangat terkesan chic, trendy dan unik. Ia juga terlihat easy going. Seperti sebuah buku yang terbuka, namun memiliki beberapa chapter yang tidak diduga.


 

Sore itu Shada memutuskan untuk kembali ke rumah. Seperjalanan pulang hingga sampai di tempat tinggalnya, ia tetap terngiang-ngiang dengan nasehat Ruth.


 

'Jangan tidur malam ini. Dan coba kau buka jendela serta pintu kaca yang tepat menyambung ke balkon itu. Dengan begitu kau mempermudah akses siapapun yang ada di dalam mimpimu semalam.'


 

Ia kembali mengulang kalimat Ruth di dalam pikirannya.


 

Shada mencapai kamar. Ia duduk sejenak dan meraih ponselnya. Mengetikkan pesan di sana lalu mengirimnya pada Max. Ia memberitahu tunangan yang ia cintai itu bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat.


 

Shada menunggu beberapa menit, tapi ponselnya tak bergeming sama sekali. Ia menekuk wajahnya kesal, Max seperti biasa tidak segera membalas chat darinya. Apalagi setelah kejadian tadi. Rasanya mau menangis saja.


 

Setelahnya, Shada menyibukkan diri dengan mandi, membuat sereal dan pop corn lalu dilanjutkan menonton film di kasurnya. Sampai-sampai tak terasa malam semakin cepat menghampirinya.


 

Udara dingin menyergap tubuhnya. Ia pandangi pintu yang terbuka itu. Pemandangan di depannya langsung menampilkan balkon minimalis juga pepohonan besar yang menjulang tinggi. Tubuhnya meremang lagi. Tak lama lagi, pikirnya.


 

Malam semakin larut, namun sama sekali tak ada tanda apapun di sana.

"Ckk.. mungkin aku sudah gila." Ia bergumam merutuki diri sendiri sambil bangkit hendak menutup pintu.


 

Sebelum menutupnya, ia terpikat oleh bentang alam yang ada di hadapannya sekarang. Maka, ia mulai menyusuri balkon minimalisnya pelan. Kedua tangannya ia tumpukan pada pembatas dinding balkon.


 

Udara yang mengalir malam itu menyapu lembut wajahnya. Sejauh mata memandang,  ia disuguhkan dengan suasana hutan kecil temaram yang ada di samping rumahnya. Ia juga bisa melihat setapak jalan raya, yang kalau diamati dari balkonnya terasa lebih kecil daripada ukuran aslinya.


 

Shada menyadari sebentar lagi mungkin sudah pagi, jadi ia berencana segera masuk kamar dan mengunci pintunya. Ketika hendak menggiring kakinya menuju ke dalam, sesuatu mengusiknya. Ada suara gesekan ranting atau bahkan daun di seberang sana. Suara tersebut berasal dari pohon besar yang menjulang tinggi, melebihi tinggi balkonnya sendiri. Ia kembali meremang.


 

Dengan keberanian yang masih tersisa, Shada menoleh. Ia tercekat sampai terhuyun ke belakang. Wajahnya langsung memucat. Tiba-tiba kerongkongan dan tenggorokannya kering, apalagi kini suaranya menjadi parau.


 

"S-siapa kau?"



 

- Bersambung..






 

BAB 3. Siapa Dia?


 

Dilihatnya sosok yang berdiri di hadapannya sekarang. Shada mematung terpukau dengan keindahan yang sedang disaksikannya. Seumur hidup, ia tak pernah melihat paras seelok ini. Jauh elok dibanding aktor dunia mana pun.


 

Alis tebal dengan mata perunggu yang terkesan tegas. Kulit yang putih pucat, bahkan lebih putih dari batu pualam marmer yang murni. Rambutnya hitam legam. Dan juga setelah ia amati lagi, hidung mancung dan bibir merah merekah.


 

Beberapa menit ia terhanyut pada rupanya. Tiba-tiba ada perasaan ingin menangis sejak pertama kali melihatnya. Ia tak tahu kenapa. Apakah mungkin ia mengagumi keindahannya? Ia benar-benar frustasi dan kelewat sedih. Sontak ia sadar dan sepenuhnya membawa diri.


 

"Aaaakh! Kau siapaaaa?!"


 

Suara Shada nyaris teriak, namun nyatanya tercekat di kerongkongannya sendiri.

Tak ada jawaban, sosok yang dilihatnya cuma diam, menatap skeptis lawannya.


 

"Shada.."


 

Shada tergegau. Bagaimana mungkin pria asing yang di hadapannya sekarang sudah tahu namanya. Ia ingin sekali bertanya, tapi tetap tidak bisa mengeluarkan suaranya.


 

"Shada, jangan takut." Suara berat dan lembutnya membelai telinga Shada.


 

Sedetik berikutnya, Shada justru menatapnya marah, dengan ketakutan yang tak berkurang tentunya. Bagaimana bisa ia tak takut, sementara pria yang di depannya ini muncul tiba-tiba, dan apa? Ia berada di atas pohon! Shada merengut dalam hati.


 

Ia meraup banyak udara di sekitarnya dan dengan kasar mengembuskannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak pingsan mendadak. Ia lalu mencubit pipinya.


 

"Aduh! Ternyata ini bukan mimpi." Shada bergumam pelan, nyaris seperti bisikan pada diri sendiri.


 

"Lalu kau siapa? Kenapa kau ada di sini?" Akhirnya Shada berhasil mengumpulkan keberaniannya kembali. Ia menatap nyalang pria itu.


 

"Aku Demian. Kau tidak ingat denganku, Shada?" sanggahnya lembut sambil melihat nanar Shada.


 

Shada menelan salivanya dengan susah payah. Ia mengingat mimpinya dengan pria itu. Dan parahnya, ia menyukainya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan dirinya? Shada tertawa getir.


 

"Sejak kapan kau ada di mimpiku?" Shada merasa pertanyaannya kurang tepat, lalu meralatnya, "Eh tidak, sejak kapan kau datang ke rumahku?"


 

Shada menatap lurus Demian. Berusaha menemukan sedikit jawaban atas kejanggalan di sana. Demian membalas memandangnya juga. Namun, dengan tatapan sedih.


 

"Kau benar-benar melupakanku, ya?" Suara Demian sedikit bergetar. Ia seperti menertawakan dirinya sendiri. Sedangkan Shada dirayapi oleh perasaan gelisah.


 

"Tentu saja aku ingat," kata Shada berusaha membela diri. Demian menatapnya senang, sedetik kemudian berubah menjadi curiga.


 

"Apa yang kau ingat?" tanya Demian tak percaya. Ia menyelidiki penuh ekspresi Shada yang mulai bergerak kebingungan.


 

"Ya, tentu saja. Ingat saat kita tidur bersama," cicitnya segera mematikan seluruh kesenangan Demian tadi.


 

"Sudahlah, kau memang tidak ingat. Kau ingin tidur?" Suara lembut Demian membelai kembali.


 

Shada mengerjapkan mata menatapnya. Ini sungguhan, dan sekarang ia benar-benar bertemu dengan sosok di mimpinya. Ketampanannya tidak nyata. Tapi, ia bukan manusia, bodoh! Sadarlah! Shada lalu menampar pipi kanannya sendiri.


 

"Kau bukan manusia. Lalu apa?" sanggah Shada tak menjawab pertanyaan Demian.


 

Namun, Shada tak mendengar suara apapun. Demian bungkam dengan pandangan yang tetap tajam. Nyali Shada lantas menciut dibuatnya.


 

"Kau hanya perlu mengingatku," desis Demian lalu menghilang di tengah gelapnya malam.


 

Shada termangu melihat kepergian Demian. Ia berdecak kesal lalu kembali ke kamar, berusaha untuk tidur.




 

♡♡♡



 

Paginya, Shada segera mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor. Ia terpaku pada pantulan wajahnya di depan cermin. Terdapat lingkaran hitam tepat di garis bawah kedua matanya. Ini pasti karena semalam ia tidak bisa tidur. Ia sibuk memikirkan siapa itu Demian dan bagaimana ia bisa mengetahui namanya.


 

Shada mengeluarkan concealer dari laci meja riasnya, lalu ia bubuhkan pada garis bawah kedua matanya. Berhasil sedikit menyamarkan mata panda tersebut.


 

Tak berselang lama ada suara klakson mobil di depan rumahnya, disusul oleh bunyi singkat ponsel Shada. Ia lalu memeriksa pesan masuk dan mengernyit ketika membaca nama Max di sana.


 

Aku sudah di depan rumah. Hari ini kau berangkat bersamaku.

-Max


 

"Wah, tumben sekali," gumam Shada senang lalu segera turun menemui Max.


 

Shada langsung memasuki mobil mewah Max. Ia memandang Max dengan sumringah.


 

"Kau senang, Sayang?" Max menggoda Shada sambil menaikkan kaca mata hitam yang sedari bertengger di kedua matanya. Aroma clean musk yang maskulin menyeruak memenuhi penciuman Shada.


 

"Hmm, yeah. Tentu." ucap girang Shada. Pagi ini ia terpesona sepenuhnya pada Max. Ia menyadari betapa kerennya tunangannya itu.


 

Tangannya lalu membelai pipi Max. Ia mendekat dan mengecup singkat bibir Max. Seketika Max terperanjat dengan ciuman yang didaratkan oleh Shada. Namun, karena kecupan Shada terlalu singkat, maka ia dengan lincah menepikan mobilnya dan berhenti. Ia mendekap wajah Shada yang merona, mencium bibir merah Shada lalu menikmatinya. Ada perasaan rindu pada wanita cantik itu.


 

Setelah keduanya memasuki area kantor, beberapa pasang mata melihat mereka berdua. Tak terkecuali Ruth, yang diam-diam mencuri pandang.


 

Shada berhenti pada ruangan terbuka khusus staff lalu mendudukkan dirinya di sana. Sedangkan Max terus berjalan menjauhi area ruangan staff menuju ruangan pribadinya.


 

Ruth langsung menyambut kedatangan sahabatnya itu dengan sumringah. Baginya, sehari saja Shada libur sudah membuat harinya terasa sepi. Ia hanya bisa terbuka dengan Shada.


 

"Shadaaa! Tumben sekali kau berangkat bersama Max?" Ruth bertanya sambil cengengesan.


 

"Iya, aku juga kaget. Tiba-tiba tadi ia sudah ada di depan rumahku." balas Shada tak kalah bungah. Membayangkan ciumannya dengan Max tadi membuat dirinya kelewat senang seperti orang gila.


 

"Tapi, Shada.. kau kelihatan kelelahan. Kau yakin sudah istirahat dengan cukup?" Raut wajah Ruth kini berubah menjadi khawatir. Ia tamati wajah Shada namun menemukan kantung mata menghitam yang terlihat kontras dengan kulit putih temannya itu.


 

Shada refleks mengambil ponselnya lalu menyalakan kamera depannya untuk melihat riasan wajahnya. Padahal ia yakin bahwa tadi concealernya telah menyamarkannya sempurna.


 

"Ruth, kau ingat perkataanmu kemaren? Aku sudah melakukannya. Sampai akhirnya aku tidak bisa tidur sama sekali." Shada melihat Ruth tercekat, lalu pelan-pelan berubah menjadi khawatir.


 

"Lalu, bagaimana hasilnya, Shada?" Ruth sengaja melajukan kursi putarnya mendekat kepada Shada, tangannya menepuk pelan bahu kiri Shada. Ia tak sabar menunggu kabar dari Shada, perasaan cemas menyelimuti dirinya.


 

Shada menarik napas dalam-dalam.


 

"Aku sudah bertemu dengannya. Dan kau tahu, ternyata itu bukan mimpi. Namanya Demian, dan dia bukan manusia." Tiba-tiba suaranya tercekat di akhir kalimatnya. Perasaan tegang berhasil menggerayanginya kembali.


 

"Hah! Apa? Kau serius Shada?" pekik Ruth lalu dengan sadar segera menutup mulutnya, takut orang lain mendengar percakapan mereka.


 

"Mungkin kau tak percaya, Ruth. Aku pun begitu. Tapi aku yakin, dia nyata." jelas Shada sambil memandang lekat wajah sahabatnya itu lalu melanjutkan, "Dan, malam ini aku berharap akan menemuinya lagi."




 

- Bersambung..




 

BAB 4. Terpatri Pikirannya Sendiri



 

"Seperti apa rupanya, Shada?"


 

Sekarang Ruth benar-benar penasaran dengan sosok yang diceritakan oleh Shada. Bagaimana mungkin keyakinannya bahwa Shada akan bertemu dengan orang yang ada di mimpinya bakal terbukti? Ia menatap lawan bicaranya sekarang dengan tak sabar.


 

"Ia tinggi dan gagah, dari otot-ototnya terlihat kuat." Shada menjawab rasa penasaran Ruth dengan berusaha keras mengingat kejadian semalam yang tetap rasanya seperti mimpi.


 

"Lalu? Kau bisa tidak menjawab langsung semuanya sekaligus?!" sergah Ruth kesal, ia benar-benar bisa mati sekarang juga karena penasaran.


 

"Husss.. pelankan suaramu, Ruth!" Bagaimana pun suara Ruth semakin lama semakin tak terkontrol.


 

"Ups! Maaf, jadi silahkan melanjutkan sampai selesai. Dan jangan berhenti!" perintah Ruth tegas. Shada melihatnya ngeri. Matanya hampir copot dari rongganya, Ruth mulai serius.


 

"Ia sangat tidak nyata, Ruth. Sangat tampan, aku sampai terpesona dengannya. Lalu ia juga berkulit putih pucat, seputih kulitmu ini." Shada menjelaskan sambil menunjuk lengan Ruth yang sedang bersedekap, lalu melanjutkan. "Rambutnya hitam pekat. Dan matanya, eh, sekarang seperti matamu!" Shada hampir tercekat menyelesaikan akhir kalimatnya sendiri. Ruth juga tak kalah kaget. Iya benar, Shada baru ingat bahwa mata sahabatnya itu sering terlihat bermata hitam dan kadang juga terang. Seperti perunggu.


 

"Kau yakin matanya sepertiku?" Ruth mengerjapkan matanya cepat. Berusaha meyakinkan diri dengan pernyataan yang dilontarkan Shada.


 

"Iya, hmm aku tak yakin. Mungkin mirip. Ya seperti itulah," sanggah Shada pelan. Ia mengamati manik merah kecoklatan milik Ruth. Sedangkan Ruth mulai salah tingkah diperhatikan seperti itu.


 

"Shada, kita ke kantin yuk. Aku lapar," rengek Ruth diikuti oleh anggukan setuju Shada.


 

Mereka berdua beriringan berjalan menuju kantin. Setelah sampai, mereka lalu menengok menu-menu yang ready hari itu.

Mereka mengantre dan menyebutkan beberapa makanan untuk mengisi nampan mereka. Shada tak sengaja melihat Ruth yang pandangannya terpaku pada sudut kantin. Matanya lalu mengikuti arah yang sempat menyita perhatian Ruth.


 

"Eh, itu varian mie baru yang barusan meluncur di pasar ya?" seru Shada terpegun.


 

"Kita coba juga yuk!" Shada mengajak Ruth untuk mencicipi mie baru yang dilaunchingkan beberapa hari yang lalu oleh perusahaannya tempat ia bekerja. Dengan antusias, Ruth mengikuti langkah Shada, mengekor di belakangnya.


 

Mereka memilih meja, lalu mendudukkan diri di salah satu bangkunya.


 

"Oh iya, Shada. Kau tahu, beberapa bulan ke depan perusahaan akan mengadakan rekrutmen karyawan." Ruth memulai berbicara kala mereka sibuk mengisi perut mereka masing-masing.


 

"Benarkah? Di divisi apa, Ruth?" tanggap pelan Shada yang masih dipenuhi makanan di mulutnya.


 

"Di divisi kita, Shada. Marketing dan distribusi," tukas Ruth yang mulai serius lalu melanjutkan, "Richard akan memimpin tim HRD dalam perekrutan itu."


 

"Richard? Kau serius? Aku harap ia tak memilih karyawan yang cantik saja, tapi setidaknya harus berotak," gerutu Shada, menelan pelan makanan yang sedari ia kunyah.


 

"Aku juga berharap begitu. Semoga saja tidak menambah beban kita," desis Ruth bersamaan dengan ponsel Shada yang berdering.


 

"Halo, Mom. Ada apa?" Shada memutar bola matanya malas.


 

"Iya, ini aku sedang sarapan dengan temanku di kantin."


 

"Apa? Iya, Mom."


 

Ruth melirik Shada sekilas yang terlihat manggut-manggut. Lalu kembali berkutik pada makanannya.


 

"Bagaimana kabar Daddy?" Shada menaikkan wajahnya sejenak. "Ah, kau sudah lama tak berkomunikasi dengannya? Kenapa?!"


 

"Tentu saja aku tidak menghubunginya! Aku takut mengganggu kesibukan Daddy." Shada hampir teriak, ia sadar sedang berada di tempat umum, lalu menunduk lagi.


 

"Ya sudah, Mom. Habis ini aku kembali bekerja dulu. Bye." potong cepat Shada. Ia memutus sambungan teleponnya sepihak. Ia kesal, namun ponselnya segera berbunyi kembali.


 

"Apa la-" decak Shada, diikuti oleh kernyitan di dahinya. Ternyata bukan ibunya yang meneleponnya lagi, tetapi Max. Wajahnya kembali sumringah. Ruth hampir terkekeh karena perubahan mood Shada yang begitu cepat.


 

"Halo, Max." ucapnya antusias.


 

"Ini aku sedang di kantin, kenapa?"


 

"Tentu saja aku makan hanya dengan Ruth, siapa lagi?" Shada mengernyit dengan brondongan pertanyaan tunangannya itu. Sejak kapan ia peduli waktu, tempat dan dengan siapa ia makan.


 

"Cuma itu saja, Max? Kau tidak ingin bergabung dengan kami?"


 

"Baiklah, selamat bekerja." tandas Shada penuh penekanan, namun masih bisa menahan dirinya. Ia sangat kesal dengan ibunya dan Max saat ini. Moodnya langsung meluncur jatuh bebas tak terkendali.



 

♡♡♡



 

Sementara itu, Max tenggelam di tengah kesibukan tumpukan dokumennya. Dari tadi ia hanya membolak-balikan beberapa lembar kertas di dalam map, tak bisa fokus membaca bahkan mempelajarinya. Lantas ia banting keras map tersebut ke meja depannya. Ia lalu menarik napas gusar dan membuangnya kasar.


 

Sejak kejadian hari itu, tiap malam ia tak bisa tidur memikirkan bagaimana bisa Shada mengkhianatinya. Ia telah mengenal gadis itu sejak berusia 11 tahun, dimana Shada pertama kali menginjakkan dirinya di Toronto ini. Lalu mereka memulai berpacaran waktu kelas 1 sekolah menengah atas, saat mereka akhirnya memiliki kesempatan bersekolah di satu gedung yang sama.


 

Ia sangat geram dengan sikap Shada yang justru malah menutupinya. Padahal, ia tahu, ia sangat mencintai Shada. Di hidupnya selama ini hanya ada Shada, tidak ada yang lain. Itulah alasan kenapa ia segera memberanikan diri untuk melamar Shada dua bulan yang lalu. Hari-hari dimana aksi bertunangan Shada belum mendapat dukungan sepenuhnya dari kedua orang tuanya, meskipun mereka sangat memberikan support baginya untuk bersama Shada. Hal ini dikarenakan, ayahnya ingin Max fokus pada perusahaannya. Tak bisa dipungkiri jika suatu saat nanti ia akan diangkat menjadi presdir di Holy Food, menggantikan posisi ayahnya. Selain itu, kedua orang tua Shada yang semakin hilang komunikasi dari mereka juga menjadi salah satu alasan kenapa Max dinilai terlalu terburu-buru bertunangan dengan Shada.


 

Tak bisa seperti ini, ia harus segera bertindak untuk mengawasi Shada. Ia ingin tahu sejauh mana ia telah mempermainkan hubungan ini. Dengan lincah ia mengambil ponselnya. Ia mengetikkan sebuah nama yang akan ia hubungi.


 

"Halo, aku butuh kau."



 

♡♡♡



 

Langit semakin petang. Shada tak sabar untuk menunggu gelapnya malam. Tidak, lebih tepatnya ia tak sabar menunggu sosok itu kembali. Ia lalu segera turun dari bednya, ia menyusuri dinginnya lantai kamar dan sengaja membuka pintu yang berhubungan langsung dengan balkon minimalisnya kembali.


 

Setelah itu, ia menyibukkan dirinya terpaku pada layar monitor laptopnya. Angin berembus memeluk kulit Shada yang meremang. Berhasil meliukkan korden di kamarnya dengan kencang.


 

"Shada.. "


 

Suara berat, dalam dan maskulin ini. Demian. Shada terkesiap lalu menoleh pada sumber suara.


 

"Kau sedang menungguku?" suara lembut Demian kembali menghanyutkan Shada. Ia tengah berdiri di bibir pintu.


 

Shada tercekat dengan suaranya sendiri, tenggorokannya kering seketika. Demian semakin melangkah tegas menghampirinya yang diam terpaku di atas bednya.


 

Sedangkan Max dengan lincah memutar kemudi mobilnya. Petang ini ia berencana untuk pergi ke rumah Shada. Sudah lama ia tak melihat ke dalam rumah Shada. Dan tentu saja, ia akan mencari bukti untuk menguatkan statementnya. Kini tinggal beberapa meter lagi untuk sampai di rumah kekasihnya itu.


 

Demian semakin mendekat, sekarang jarak wajah mereka hanya 15 cm saja. Bahkan, Shada bisa merasakan sapuan napas hangat Demian. Ia semakin terpesona melihatnya dari jarak yang sedekat ini.


 

Demian lalu menempelkan bibirnya pada bibir Shada, menatap jauh ke dalam manik mata Shada, ingin melihat bagaimana reaksinya. Namun, Shada bergeming, karena ia memang menginginkan itu.


 

Demian mengulum bibir tipis Shada, menikmati setiap lumatannya. Sedangkan Shada memejamkan kedua mata, merasakan bagaimana candunya bersatu dengan bibir sosok tidak nyata ini. Ia lalu membalasnya sampai tak dengar ada suara deruman mobil di bawah kediamannya.


 

Ponsel Shada berdering keras. Demian merasa terganggu, dengan cepat diraihnya ponsel yang kebetulan berada di dekatnya. Ia mengernyit melihat nama Max di layarnya. Dengan kesal menerima panggilan itu.


 

"Halo, Sayang. Aku sekarang sudah ada di depan rumahmu."



 

- Bersambung..


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [21+] Terjerat Pesona Vampir Tampan (Bab 5-8)
4
1
“Bermimpi perihal seseorang yang belum kita kenal, sederhana namun cukup mengusik pikiran sehari.”  BAB 5. Hasrat yang MenyatuBAB 6. Ingin Lebih MengenalmuBAB 7. Bukan ManusiaBAB 8. Perihal Dusta dan Curiga Ini karya pertama author, loh! Yuk, ikuti terus lika-liku kisah Shada White bersama Demian Elliot dan Max Burton! Untuk visualnya bisa check di:IG reels: https://instagram.com/glorybella.writesTiktok: https://www.tiktok.com/@glorybellawrites  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan