
Deskripsi
Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi ( Best Seller )
64
24
7
Selesai
Naima, 30 tahun, seorang dosen yang cerdas didesak untuk menikah oleh kedua orang tuanya. Rangga, Mahasiswa Abadi terancam DO dari kampus karena tidak lulus-lulus.Bagaimana jika keduanya menikah?
Naima membantu Rangga untuk menyelesaikan kuliahnya dan Rangga membantu Naima menanggalkan cap perawan tua yang disandangnya.Apa jadinya pernikahan mereka?
4,597 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi
Selanjutnya
Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi Bab 16-22
8
4
16. Rumah PohonHari hati Naima kembali sepi, tak ada lagi celotehan Rangga di rumahnya, tak ada lagi yang mengekorinya ketika di kampus. Semuanya terasa janggal dan aneh, karena dia sudah terbiasa.Naima tidak menyangka Rangga akan setersinggung itu, dia tidak berniat mengusirnya, dia cuma takut mereka bertindak lebih jauh. Hasrat yang baru mereka kenali akan membakar mereka tanpa sisa dan membuahkan penyesalan di kemudian hari.Tiga hari, tiga hari Rangga tidak menampakkan batang hidungnya di depan Naima, Naima tidak tau keberadaannya, tidak tau nomor telponnya, jika Rangga begini maka tujuan mereka tidak akan tercapai.Naima cukup pusing, Rangga adalah tanggung jawabnya, jika saja dia gagal membina laki-laki itu maka kualitasnya akan dianggap menurun, dia tidak mau itu terjadi, bertahun- tahun dia tertatih untuk mencapai karir setinggi ini, menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar di Universitas.Naima tidak boleh kehilangan semangat, anggap saja semua ini bukan untuk Rangga, tapi untuk dirinya sendiri.Naima berjalan di taman kampus, wanita cantik itu jadi pusat perhatian, terlebih lagi setelah insiden keributan yang terjadi tiga yang hari lalu.Naima tau, ada seseorang yang sering terlihat sering bersama dengan Rangga. Zaki, mahasiswa cerdas yang selalu duduk dibawah pohon dengan buku tebalnya, dia sampai diberi gelar penghuni pohon itu karena tak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk duduk di sana.Tepat sekali, Naima memang mendapati Zaki tengah duduk di sana, sebagian mahasiswa yang berada di situ membungkukkan badannya dengan hormat pada Naima, dan dibalasnya dengan senyum tipis.Zaki? Betul namamu Zaki?Zaki mengalihkan pandangan dari bukunya, kemudian bangkit menundukkan kepalanya, dia heran ada apa dosen hebat itu sampai mencarinya ke sini, pasti ada hal yang sangat penting.Iya, betul, Bu. Saya Zaki.Anak muda yang ramah, pikir Naima.Saya mau berbincang sebentar boleh?Boleh, Bu. Silahkan.
Zaki mempersilahkan Naima duduk di sampingnya, bangku taman itu cukup lebar dan panjang.Kamu kenal Rangga? Saya sempat melihat beberapa kali dia bersama kamu.Iya, kenal. Abang Rangga pernah satu kos sama saya, tapi dia udah pindah beberapa hari yang lalu.Kamu tau nggak di mana dia sekarang? Naima menunggu jawaban Zaki penuh harap.Saya tau, Bang Rangga sering menghabiskan waktu di suatu tempat.Naima lega, dia akhirnya menemukan titik terang.Mau ngantar saya ke sana?Boleh, Bu. Kebetulan jam saya lagi kosong. Zaki sangat bersemangat.Naima tersenyum, menemukan Rangga lebih mudah dari dugaannya.Oke, saya akan mengikuti kamu dari belakang.Iya, Bu. Siap.Naima berjalan dengan semangat menuju parkiran.Sejenak Naima berpikir sendiri, benarkah yang sudah dilakukannya ini? satu sisi dia membenarkan karena Rangga adalah tanggung jawabnya, tapi di sisi lain terasa salah, dia sedikit merindukan pria itu.Naima memantapkan pemikirannya, bahwa semua sudah benar.Jalan yang mereka lalui cukup jauh, buktinya sudah lebih dari tiga puluh menit belum juga motor Zaki berhenti.Sepuluh menit berikutnya jalanan mulai sepi, sekeliling kiri dan kanan di penuhi rumput liar dan ilalang, juga beberapa pohon besar yang sudah tua.Naima mengurangi kecepatannya, ketika motor Zaki berbelok ke jalan tanah yang cukup lebar. Beberapa meter di depan mereka, sebuah pemandangan menakjubkan terlihat, bangunan unik yang terlihat seperti di film film, rumah pohon yang terletak beberapa meter dari atas tanah,memiliki tangga kayu yang berbentuk tak kalah unik.Naima takjub, di sinikah pria bandel itu bersembunyi? Tentu saja dia tidak keluar dari sarangnya, Naima pun akan betah tinggal di sini.Bu, maaf ya... saya gak nemenin, habis ini saya ada acara seminar. Zaki tidak turun dari motornya.Oke makasih banyak, ya.Zaki mengacungkan jempol, kemudian memacu motornya cepat.Bising kendaraan memancing yang punya rumah untuk menengok keluar, mata Rangga membesar kaget. Dosen itu kenapa bisa sampai di sini.Dia sengaja pergi untuk menghindari Naima, sekarang yang dihindari malah datang sendiri, entah siapa yang memberitahunya keberadaan tempat ini.Saudara Rangga, begitukah caramu menyambut tamu?Rangga tersenyum kecut. Akhirnya dia tidak punya pilihan lain selain turun menyambut wanita itu.
*** 17. Naima Dan PerintahnyaNaima mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kenapa tuhan menciptakan manusia secara tidak adil, laki-laki di depannya memiliki ketampanan yang kelewatan, apalagi tanpa senyuman bodoh di wajahnya, cukup! Naima menghentikan pikirannya yang mulai melantur.Rambut Rangga berantakan ditiup angin sore, sebagian menutup separuh wajahnya, kaos tanpa lengan dan celana robek, ciri khas yang tidak pernah lepas dari pria itu. Rambut gondrongnya diikat asal, menyisakan anak rambut yang menjuntai di bagian lehernya.Ini tempat persembunyianmu? Naima mendongak melihat rumah pohon dengan mata berbinar.Begitulah. Rangga sedikit heran, kemaren dia ditampar oleh Naima, sekarang Naima malah tersenyum dan berbinar. Dia terlihat bahagia, bahkan Rangga masih merajuk karena ulah wanita itu.Kau tidak sopan. Naima melipat tangannya.Bu, saya tidak.... Rangga masih penasaran kenapa wanita itu sampai di sini. Tapi ucapannya langsung disela olehnya.Aku ingin naik ke atas. Naima tidak menghiraukan protes Rangga. Rangga menghela nafas lelah, Naima kembali menjadi dosen tukang perintah.Bagaimana caranya? Naima memegang sisi tangga kayu yang terbuat dari jalinan rotan dan tali tambang, dia berfikir bagaimana cara untuk menaikinya, jarak antara tangga pertama dan kedua cukup jarak, sementara rumah pohon terletak hampir sepuluh meter dari tanah.Pegang sisi kiri kanan tangga ini, lalu pijakkan kaki ibuk ke tangga pertama.Naima mengikuti insruksi Rangga, menyingsingkan rok panjangnya, memijakkan kaki kanan di tangga pertama, melanjutkan menginjak tangga kedua, saat tangga ketiga dia kesulitan, dia tetap berusaha menggapai dengan kaki jenjangnya.Rangga mengalihkan perhatiannya, rok panjang yang berkibar dan tersingkap, Naima bahkan tidak sadar, kenekatannya kali ini sangat berbahaya, dia tidak memikirkan laki-laki dewasa yang berada dibawahnya yang berusaha mengendalikan diri.Rangga! bantu aku, kakiku tidak sampai ketangga terakhir. Naima berseru melawan suara angin.Rangga menggeleng, ujian apa lagi ini. Dia memanjat tangga satu persatu, kondisi tangga yang tergantung, membuat dia mau tak mau menempel pada Naima. Rangga baru sadar, jarak tangga terakhir memang agak jarak dengan tangga sebelumnya.Naik ke punggung saya!Apa? Mata Naima membelalak heran.Ibu mau dibantu atau tidak? Rangga berubah jengkel. Naima cemberut, secara berlahan dia memindahkan tangannya dari sisi tangga ke leher Rangga, melingkarkan kakinya kepinggang kokoh itu. Rangga mulai merayap naik ke atas.Naima memejamkan matanya, dia sangat malu sekarang. Dia geli sendiri, seolah sedang syuting film layar lebar, berada di punggung Rangga, memanjat tangga yang tergantung. Naima mengeratkan pegangannya, tidak sadar kalau mereka sudah berada di lantai rumah pohon.Bu! Rangga menyadarkan Naima,Oh... maaf. Naima melepaskan pegangannya, wajahnya memerah malu.Naima bangkit ke jendela rumah pohon itu, merentangkan kedua tangannya, menikmati angin yang bertiup kencang mengibarkan jilbabnya. Dia sangat suka di sini. Pemandangan di luar yang indah, hamparan ilalang yang menguning serta pohon-pohon besar berdaun rindang dan lebat, tidak ada rumah penduduk, tidak ada listrik.Rangga membiarkan Naima yang sibuk sendiri, menyandarkan punggungnya ke dinding papan. Menata nafasnya, tubuh kecil Naima lebih berat dari apa yang dia bayangkan.Baru kali ini Rangga melihat ekspresi lepas Naima, dia tak ubahnya seperti anak-anak yang di belikan mainan baru, wajahnya ceria dan bahagia.Kenapa tidak dari kemaren kau membawa ku ke sini? Naima menoleh sambil berkacak pinggang, Rangga tertawa kecil, sekarang pun bukan dia yang membawa wanita itu kesini, dia yang datang sendiri.Datang tiba-tiba dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.Bu, saya di sini bukan untuk pergi liburan.Oh ya? Naima tidak tertarik, matanya menjelajah ke isi rumah pohon dengan mulut terbuka.Ukurannya tidak lebih dari tiga kali tiga meter, dinding papan dan lantai papan juga, melekat ke dahan pohon.
Tidak ada perabotan, hanya selembar kasur tipis, selimut dan bantal santai, juga ada rak kecil yang berisi tumpukan komik, di sudut lain ada botol besar berisi air minum.Dindingnya dipenuhi lukisan sketsa hitam putih, banyak hal yang di lukis disana, pemandangan alam, binatang serta...wajah seorang gadis.Naima lebih tertarik dengan sketsa terakhir, dia mendekati dan menyipitkan matanya,menggali memori karena wajah itu tampak tak asing.Siapa dia? Naima mengelus permukaan lukisan, merasakan teksturnya, dia baru tau Rangga memiliki bakat spesial.Mantan kekasih saya. Suara Rangga tidak semangat, dia belum mood untuk bicara panjang lebar dengan Naima.Ooh, mantan kekasih? Kalian putus? Naima memandang Rangga penuh selidik.Begitulah.Rangga menjawab malas, kemudian bangkit membuka lukisan itu dan meletakkannya di atas tumpukan lukisan yang baru ditanggalkan dari dinding.Kenapa ditanggalkan?Tak ada gunanya lagi memajangnya.Naima tersenyum geli.Kau sedang patah hati, itu makanya kau bersembunyi di sini, kau tak ingin melanjutkan perjuanganmu.Rangga capek dengan mulut mungil yang suka melontarkan pertanyaan serta mengambil kesimpulan sendiri.Anggap saja begitu, lalu ibu sendiri ngapain kemari?Kita harus kembali ke tujuan kita, kau lulus dan kita bercerai. Naima menjawab begitu enteng.Kenapa kau selalu sesuka hatimu Naima? Rangga jengkel, tak ada lagi embel-embel ' buk ' disebutkannya.Rangga mencekal lengan lembut itu, membalikkan tubuh Naima sehingga membentur tubuhnya.Mulut Naima terkatup rapat, wajahnya menengadah ke atas, menantang mata Rangga dengan berani.Lepaskan tanganmu!
*** 18. HujanNaima memandang ke luar, hujan sudah turun sejak dua jam yang lalu, bahkan tidak ada tanda-tanda akan berhenti, langit semakin kelam.Naima melirik jam tangannya, jam enam lewat sepuluh, hampir malam.Untung saja, rumah pohon ini dibuat dengan tingkat keamanan yang tinggi, hanya saja udara basah terus saja menerjang masuk sehingga suhu teramat dingin.Naima melihat mobilnya yang sudah berkubang lumpur, air hujan menggenang di sekelilingnya dengan ketinggian dua puluh senti meter.Rangga betah dengan kesunyiannya, Naima pikir, laki-laki itu tipe pendendam, bahkan dia sudah memancingnya bicara berulang kali, dan ditanggapi Rangga dengan acuh tak acuh.Naima tidak lagi memaksa Rangga, patah hatinya cukup mempengaruhi mood-nya, dia tak seperti biasanya. Laki-laki itu tak menanggapi apapun yang dikatakannya, dia sibuk menghisap rokok di tangannya, bahkan puntung rokok itu sudah memenuhi asbak.Ini sudah hampir magrib, bagaimana caranya aku pulang, ya? Naima terdengar seperti tengah bertanya pada dirinya sendiri.Seharusnya ibu tidak ke sini.
Akhirnya suara menyebalkan itu keluar juga.Ya ampun, kalau aku bisa memutar waktu, aku takkan ke sini, bahkan Tuan rumah terlihat enggan menerima tamu. Naima menyindir Rangga. Rangga tidak peduli, dia menghisap rokoknya dalam.Sejak kapan kau menjadi pecandu rokok?Sejak kemaren.
Rangga membelakangi Naima, menunjukkan kalau dia tidak ingin bicara lagi.Naima bosan dengan badmood-nya Rangga. Laki-laki itu tidak bisa dibujuk.Naima meraih tasnya, perlahan mencoba turun dari rumah pohon, dia sudah tak tahan lagi, memangnya siapa laki-laki itu? Seenaknya saja mengacuhkannya.Naima tidak peduli dengan bajunya yang basah karena hujan, perlahan dia mengeluarkan kunci mobilnya dan masuk ke dalam mobil itu. Dia ingin pulang, lalu berbaring dalam selimut hangatnya, persetan dengan laki-laki itu.Rangga yang sedang merenung baru sadar kalau Naima tak lagi berada di rumah pohon, dia beranjak berdiri, melihat ke bawah, Naima sudah masuk ke dalam mobilnya.Rangga memijit kepalanya, dia bukan benci dengan istrinya itu, tapi dia hanya ingin sendiri... itu saja, kenapa wanita itu tidak paham dan tetap memaksakan kehendak.Naima memukul stir dengan kesal, sedikit pun roda mobil tidak beranjak dari lumpur, walaupun dia berusaha lagi dan lagi, mobil ini butuh seseorang untuk mendorong, tapi siapa? Rangga?? Dia muak dengan ke angkuhan pria itu, dia menyesal telah memujinya selama ini.Naima memejamkan matanya, apa yang akan dilakukannya sekarang, mau ditaruh di mana mukanya saat ini jika dia memutuskan kembali naik ke rumah pohon itu, lalu bagaimana cara pulang dengan mobil sialan yang rodanya terus berputar di tempat yang sama.Kaca mobil diketuk dari luar, Rangga juga sudah basah kuyup, wajah datar tampak lelah dan putus asa.Ada apa? Naima berkata dingin tanpa menatapnya.Ini hampir malam? Kau mau ke mana? Rangga menguatkan suranya mengalahkan suara hujan.Aku mau pulang, ketusnya.Turunlah, Naima! kita bicarakan apa yang perlu kita bicarakan!Naima emosi, dia turun dari mobil, membanting pintu itu keras, tak peduli dengan dirinya yang basah kuyup.Lalu kau pikir dari tadi aku ngapain? Jika kau tak suka kedatanganku, aku akan pergi.Rangga mengusap air hujan yang mengalir di wajahnya, dia pusing dengan semua wanita di dunia ini, mereka tidak bisa dipahami apa maunya.Sekali gerak, dia menangkap tubuh Naima, mengangkat ke gendongannya, Naima terkesiap, apa apaan ini.Pegangan! kita harus naik, atau kau lebih memilih dimakan singa di bawah ini.Naima menutup mulutnya, mau tidak mau dia naik ke punggung itu, memeluk leher itu dengan canggung.Jangan pikirkan harga dirimu sekarang.Rangga mengangkat tubuh itu dengan sebelah tangannya, dan sebelah tangan lagi digunakan untuk merayap menaiki tangga.Naima mengumpat, bebebapa kali sentuhan tak sengaja Rangga dirasakannya, jika saja tidak dalam kondisi darurat, dia akan membunuh pria itu.Rangga terus fokus dengan tangga di depannya, menghalau pikiran kotor tentang Naima, tak ada yang salah dengan sentuhan ini karena mereka terikat tali pernikahan dan status yang halal.Sore yang berkesan, kemarahan, rasa kesal, kerinduan dan hasrat yang meledak berbaur di bawah hujan.Naima... istri kaku yang bisa membuatnya gila.
*** 19. Kejujuran NaimaNaima meringkuk menghangatkan dirinya sendiri dengan pakaian basah, dia memeluk lututnya, menumpukan dagunya yang bergetar kedinginan, tak ada percakapan karena Naima sengaja membelakangi Rangga, menyembunyikan tubuhnya karena baju basah yang lengket di kulit.Rangga menghidupkan lentera kecil, meletakkannya di dinding berdekatan dengan lukisan pegunungan, cahaya temaram berpendar ke penjuru ruangan, hujan belum juga berhenti, malah angin semakin kuat menerpa ke dalam rumah pohon.Rangga menarik tali penutup jendela, mengurangi angin yang masuk dan membuat mereka menjadi beku. Naima semakin mengigil, meremas lengannya sendiri.Rangga mendekatinya, meraih bahu bergetar itu berlahan. Mata Naima agak membesar kaget, tapi dengan cepat dia kembali menguasai diri.Ibu, lapar?Naima menggeleng, kemudian mengetatkan lagi tangannya untuk memeluk kakinya sendiri.Maafkan saya, lirih Rangga, ke adaannya juga tak kalah basah, tapi dia kuat dan tidak terlihat kedinginan sama sekali.Hujan terus turun deras, petir sesekali menggelegar, Naima menutup telinganya. Memejamkan matanya dengan cemas, dia takut jika saja romah pohon ini terkena amukan petir.Hm, saya tidak punya pakaian di sini, kalau ibu tidak keberatan, yang ada hanya sarung, yang biasa saya pakai untuk sholat. Saya takin pakaian ibu takkan kering, ibu bisa terserang demam.Naima mendengar ada ketulusan di sana, dia menimbang-nimbang, apakah menerima tawaran itu atau menolaknya. Baju basah ini membuatnya semakin menggigil.Ibu, jangan khawatir, setelah memakai ini, ibu bisa langsung menutupnya dengan selimut.Rangga murni ingin menolong gadis itu, meluruskan supaya Naima tidak salah faham.Baiklah, balikkan badanmu. Naima menerima sarung yang diulurkan Rangga.Rangga membalikkan badannya, menatap dinding papan yang memantulkan bayangan Naima yang disinari cahaya lampu lentera.Kenapa suasana tidak mendukung pertahanan dirinya, sudah satu jam dia menghalau pikiran kotor di kepalanya, namun sekarang lihatlah! Dia bisa melihat dengan nyata apa yang tengah dilakukan Naima. Dia terlalu indah.Rangga menahan nafasnya, memejamkan matanya, dia tidak berani lagi membuka mata, mengamati bayangan sempurna yang memantul di dinding papan.Dia bersumpah... jika saja pernikahan ini betulan, dia tidak akan menunggu Naima selama itu, mengesahkan pernikahan mereka sekarang juga. Tapi kenyataan tidak seperti itu.Rangga tersadar dan membuka matanya, saat Naima berdehem memberikan kode bahwa dia sudah selesai.Ujian kedua, Naima yang bersinar di bawah lentera dan rambut basahnya, kulit yang putih mulus tak ada cacat. Rangga merasa sudah tidak tertolong, sebelum semuanya kacau, dia berdiri menuju jendela, membuka tirai sedikit. Menyalakan rokok dan menghisapnya dalam.Naima sudah masuk ke dalam selimut lusuh itu, meringkuk menciptakan kehangatan untuk dirinya sendiri.Rangga menghembuskan asap rokok dengan keras, apa yang paling sulit dari seorang laki-laki, yaitu memiliki istri yang halal tapi tidak bisa di sentuh.Kau baik-baik saja? Kulihat kau gelisah. Naima mengangkat kepalanya sedikit mengintip Rangga.Rangga sudah cukup tenang, kondisi Naima sudah tertutup dan hanya menyisakan kepalanya. Rangga kemudian duduk, menata rambut gondrongnya yang sempat kusut di tiup angin.Sekarang saya mau tanya, apa tujuan ibu kemari?Naima bangkit, menjaga selimut agar tetap melekat di bahunya.Kita lanjutkan tujuan kita.Kenapa? Suara Rangga dingin.Bukankah itu tujuan kita menikah? Agar kau bisa lulus sebelum benar-benar di DO.Rangga diam, benar, wanita itu benar. Tapi hatinya merasa tidak puas dengan fakta itu.Apa hanya sekedar itu? Rangga tidak tau kenapa pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.Naima berfikir sejenak, lalu mengangguk mantap.Tentu, lalu apa lagi?Rangga mengusap lengannya, apa lagi yang diharapkannya. Jujur, dia nyaman dengan Naima, walaupun dia tukang perintah. Tapi hubungan mereka tidak melibatkan perasaan apapun.Saya hanya punya ini, setidaknya bisa bertahan sampai besok pagi. Rangga mengalihkan topik, mengeluarkan roti sobek yang sudah dimakan sebagian.Aku tidak lapar. Naima menolak, Rangga kembali diam.Beberapa menit kemudian Rangga melontarkan pertanyaan, dia ingin tau sedikit tentang asmara wanita itu.Apa ibuk pernah jatuh cinta?Kenapa? Naima tidak habis fikir kenapa Rangga menanyakan itu.Jawab saja!Pernah, sudah sangat lama sekali. Naima tersenyum masam, matanya berkaca-kaca.Lalu?Hubungan kami tidak berhasil, karena dia lebih memilih berselingkuh dengan temanku dan meminta putus.Saya tidak menyangka, ternyata ibu pernah mengalaminya.Tentu saja, tapi... sudahlah! mungkin laki-laki bajingan berpasangan dengan wanita murahan. Ada kemarahan di sana, Rangga baru mengetahui, bahwa mereka senasib.Rangga mengamati mata Naima yang menunduk memandang lantai dengan mata kosong. Inikah alasannya dia tidak lagi memiliki kekasih dan tidak kunjung menikah di usia tiga puluh tahun? Rangga merasa sedikit simpati merambat ke hatinya.
*** 20. BerdamaiMalam merangkak larut, hujan sudah berhenti menyisakan gerimis dan suara binatang penghuni malam yang berbunyi bersahut sahutan. Padang ilalang disekitar rumah pohon ini lebih cocok digunakan untuk berkemah, melihat tidak adanya falisitas apapun di rumah pohon ini, menandakan bahwa yang punya tidak tidur disini dimalam hari.Rangga sibuk dengan pensil dan sebuah kertas di tangannya, dia mengalihkan kebosanan dengan menghasilkan karya, Naima mengamatinya, lengan kokoh berotot yang menjanjikan perlindungan.Pada dasarnya hubungan mereka baik, sebelum insiden penghinaan yang di lakukan Alex dan tragedi patah hati Rangga.Naima bangun dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Mereka harus memulihkan komunikasi yang beku selama beberapa hari ini.Apa cita citamu?Rangga menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke arah Naima.Menjadi pelukis handal.Lalu kenapa kau mengambil jurusan bisnis? tanya Naima penasaran.Karena menurut bapakku melukis bukanlah pekerjaan dan dianggap tak berguna.Mungkin itu alasannya kenapa kau tidak menaruh minat terhadap kuliahmu. Naima megambil kesimpulan.Aku tak berani menentang Bapak, beliau segalanya bagiku. Mata Rangga menerawang, jelas saja dia anak yang berbakti.Aku bangga padamu.Tak ada yang bisa dibanggakan dariku. Rangga mengedikkan bahunya. Kalau boleh memilih, lebih baik terlahir dengan rupa biasa saja tapi memiliki otak cemerlang.Menurutku, kau hanya belum mengenali dirimu sendiri.Maksudnya? Rangga tertarik, ia meletakkan pensilnya dan berbalik menatap Naima.Kau hebat, di bidang seni. Seharusnya kau bangga dengan itu.Rangga merenungi ucapan Naima.Menurut ibu bakat seni bisa di banggakan?Tentu saja, kalau kau menyalurkannya ke tempat yang benar, malah seni bisa dijadikan sebagai ladang uang, contoh kecilnya bisa dimulai dengan membuka galeri kecil-kecilan dulu, jika kau dapat kepercayaan, maka akan banyak orang memakai jasamu, harganya tidak main-main, satu pesanan bisa bernilai jutaan.Rangga semakin tertarik. Wanita di depannya memandang hobinya dari sudut berbeda.Aku juga pernah memikirkannya. Tapi... semua perlu modal.Aku akan memodalimu. Naima tersenyum lembut, anggap saja ini tanda perdamaian.Aku takut tak bisa membayarnya. Rangga melipat bibirnya.Di situ kelemahanmu, kau kurang percaya diri.Apa menurut ibu, lukisanku layak untuk dijual? Matanya berbinar harap.Tentu, lukisanmu unik dan sangat detil, kalau kau tidak keberatan, aku bersedia dilukis olehmu. Naima berkomentar dengan semangat.Tapi Rangga menangkap dan mengartikan kalimat itu sebagai sebuah tawaran, sekarang ini, bahkan dia mampu melukis Naima bahkan hanya dengan memejamkan mata. Rangga menarik nafas, mengusir bayangan siluet Naima yang memantul di dinding papan.Aku akan membantumu, mewujudkan mimpi bapakmu dan mewujudkan mimpimu sendiri. Naima berkata penuh keyakinan, Rangga takjub, wanita di depannya memiliki hati yang baik.Menurut Ibu, aku bisa?Tentu, manajemen bisnis sangat berkaitan dengan usaha, dua duanya dibutuhkan, jadi tidak akan ada yang sia-sia.Rangga merasa semangatnya kembali terpacu. Semangat langsung membuncah di hatinya.Kita akan mulai besok, aku punya ruko sederhana di pusat kota, kau bisa gunakan itu untuk memulai usahamu, kulihat sudah banyak yang bisa dijual, termasuk lukisan mantan kekasihmu. Naima mengulum senyum, dia sengaja menggoda Rangga, dia rindu senyum konyol Rangga saat ini.Rangga hanya bersungut-sungut, ia mengusap tengkuknya.Kalau lukisannya dipajang, aku akan bernasib sial, jangankan untung, yang ada malah bangkrut.Ha ha ha, kau lucu. Naima tertawa lepas, kemudian menutup mulutnya. Rangga heran, rasanya tidak ada yang lucu dari ucapannya, wanita ini memang aneh.Kalau itu lukisan Ibu Prof. Dr.Naima Salsabila, M. Pd, aku akan memajangnya, karena Ibu adalah jimat keberuntungan.Rangga tersenyum merekah. Naima mencibir, memajukan bibir bawahnya yang... fokuslah Rangga, rutuknya dalam hati.Jadi kapan kau akan melukisku? Naima sangat bersemangat, dia tidak menyadari, selimut melorot kepinganggnya, memamerkan bahunya yang putih.Rangga bersumpah, dia merekam semua pemandangan ini, wanita yang dibalut sarung seperti kemben, rambut berantakan dan basah, serta cahaya temaram lentera yang menyiram wajahnya, dia terlihat misterius dan panas secara bersamaan.Rangga menghela nafas, membalikkan tubuhnya, Naima tersadar kemana arah mata Rangga beberapa saat yang lalu, dia membenarkan letak sarungnya yang simpulnya mulai longgar, memungut kembali selimut lusuh yang ada di pinggangnya.Naima, aku ingin berbicara serius. Rangga kembali menoleh setelah keadaan Naima kembali tertutup.Kalau kau menyebut namaku seperti itu, aku jadi was was. Naima tersenyum kecil, sekarang mereka lebih mirip seperti sepasang teman.Apa karena insiden ciuman itu?
Rangga tersenyum geli ketika melihat pipi Naima bersemu merah, dia lebih mirip seperti anak SMA dari pada seorang wanita berumur tiga puluh tahun.Kau memang tidak sopan, aku tak pernah menyangka ciuman pertamaku dirampas secara paksa.Pertama? Benarkah? Rangga heran, begitu hebatnya Naima menjaga dirinya.Kau kira aku mau dicium pacarku? Yang benar saja, tak ada sentuhan jika belum menikah. Naima mengikat rambutnya.Aku setuju dengan kalimatmu, tidak ada sentuhan sebelum menikah, kalau kita posisinya di mana? Kilat mata Rangga mulai berubah.Kau, anak nakal, jangan berniat macam-macam.. Naima waspada, dia mulai mengeratkan selimutnya.Kau harus bertanggung jawab dengan ucapanmu, tak ada sentuhan sebelum menikah, kita sudah menikah... Jadi,Ya Tuhan, aku lupa siapa lawan bicaraku kali ini.Aku memahami apa maksudmu, jadi kita? Rangga semakin tersenyum jahil.Menyentuhku dan kau mati.
Naima mendelik marah. Rangga semakin tertarik mengerjainya.Aku tidak percaya kalau belum mencobanya. Rangga maju, beringsut ke kasur tipis yang diduduki Naima.Apa maumu? Naima kawatir, wajah Rangga semakin dekat dengan wajahnya.***21. Menghitung Detak JantungSetelah berdamai, mereka melanjutkan dengan makan malam yang hanya diganti dengan sepotong roti dan segelas air mineral. Naima melihat mood Rangga mulai membaik, dia sudah kembali dengan raut konyol di wajahnya.Aku akan sangat terlambat besok, kau tau? Tempat persembunyianmu sangat terpencil, siapa yang membuat rumah ini?Aku sendiri, dibantu sama Zaki, Ibu suka?Sangat, aku juga ingin punya rumah pohon di dekat rumah, bisa kau buatkan? tanya Naima penuh harap.Tentu saja, asalkan bayarannya cocok.Kau ternyata perhitungan, ya. Naima mendecakkan lidah.Bercanda, Bu. Rangga tersenyum konyol.Kapan mulai dikerjakan? Aku akan sediakan peralatan dan bahannya, kita bisa gunakan rumah pohon di dekat rumahku untuk belajar.Besok, boleh, sepulang dari kampus.Aku tidak sabar menunggunya. Naima menerawang, matanya berbinar bahagia. Rangga....Hm?Malam hari kau tidur di mana?Di bengkel teman lumayan jauh dari kampus, ke sini cuma buat menenangkan diri.Patah hatimu sangat parah, ya.Rangga menghela nafas, ia menundukkan wajahnya.Aku sudah menjaganya selama ini, mencintainya tulus, memberikan perhatian berupa materi dan kasih sayang, selalu setia kepadanya... tapi apa yang aku dapatkan, dia berselingkuh karena aku tak mau menyentuhnya selama ini, alasan apa itu.Naima menemukan fakta baru.Parahnya, dia tidur berkali-kali dengan Alex, padahal dia tau Alex adalah musuhku. Rangga menghembuskan nafasnya kasar, Naima mengulurkan tangan, mengusap punggung tangan Rangga untuk menguatkan.Aku turut prihatin mendengarnya, alasan yang sangat bodoh.Aku selalu menjaga diri selama ini, supaya juga mendapatkan istri yang juga terjaga diri dan kehormatannya, tapi mungkin kami memang tidak berjodoh.Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih indah dari apa yang kau bayangkan, secara teori, penghianat akan berjodoh dengan penghianat juga, itu sudah hukum alam.Naima menyelipkan rambutnya ketelinga, mereka senasib sepenanggungan. Sama-sama menyedihkan dalam kisah asmara.Kalau kau memang menjaga dirimu, kenapa kau menciumku waktu itu? Naima bertanya penasaran.Rangga menatapnya cepat.Menciummu tidak akan membuatku kotor, kau istriku, aku berhak melakukan yang lebih dari itu, terlepas apakah pernikahan ini palsu di mata kita, tapi dalam agama dan negara kita sah.Naima mengeratkan selimutnya. Aku jadi takut kau berkata begitu.Rangga tertawa geli.Kemaren itu aku emosi, mulutmu tidak berhenti mengoceh, itu makanya aku menutupnya.Naima semakin jengkel, jadi cuma karena dia mengoceh makanya Rangga menciumnya? Naima lebih memilih mencium batu jika itu kenyataannya.Ini sudah jam sebelas malam, aku mengantuk. Mood Naima langsung turun drastis. Kenapa dia terlalu mengambil hati ciuman itu.Menit berlalu, malam semakin dingin ditemani suara jangkrik dan burung padang ilalang. Rangga bergerak gelisah mencari posisi ternyamannya, dia meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, mengabaikan bajunya yang basah.Semua itu tak lepas dari penglihatan Naima, apakah dia harus bersimpati dengan menawarkan tempat dan selimut yang sama??Itu terkesan murahan.Naima mencoba tak peduli, dia menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut. Tapi sisi kemanusiaannya memberontak, tidak seharusnya dia setega itu. Bagaimanapun Rangga adalah suaminya, jika mereka tidur bersama takkan dihitung dosa.Rangga belum tidur, punggungnya bergetar kedinginan. Tapi mulutnya tidak mengatakan sepatah kata pun, dia bertahan dalam kondisi paling parah di hidupnya.Tidurlah di sini! Kita tidak akan berdosa melakukannya. Tegas dan tak terbantah, pernyataan itu lebih cocok untuk dirinya sendiri.Apa tidak apa-apa? Maksudku....Tidak apa-apa kalau hanya sekedar tidur. Naima menjawab ketus.Rangga tersenyum, melepas kaosnya yang basah.A... apa yang kau lakukan? Kenapa kau membuka bajumu? Naima menjadi kaget dan marah.Prof. Naima. Ini basah, secara teori kesehatan....Jangan mengajariku. Naima memotong.Rangga tersenyum menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perlahan dia mendekati kasur itu, Naima memberinya tempat di sampingnya, tidur menghadap dinding dan membelakangi pria itu.Rangga bersumpah, selimut dan Naima benar-benar hangat. Kenapa tidak dari tadi istri palsunya itu memberikan tawaran.Apa kau menahan nafasmu? Rangga berbisik tepat di telinga Naima.Kau tak perlu tau.Rangga menghela nafas.Sejujurnya, aku gugup, entah kenapa.Naima setuju dengan komentar Rangga, itu juga yang tengah dirasakannya saat ini.Terkadang aku heran, kenapa laki- laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan begitu santai tidur dalam satu ranjang, kita saja sudah menikah, terasa aneh berdekatan begini.Aku tidak tau. Naima menjawab pelan, oh jantungnya, seakan meloncat keluar tubuh, ketika merasakan dada liat Rangga menempel di punggungnya yang halus.Sejujurnya, jantungku berdebar. aku Rangga, Naima ingin langsung tidur saja, kenapa malam ini mereka malah membahas perasaan.Naima! menghadaplah ke sini! aku butuh teman bicara.Rangga meraih bahu itu pelan, Naima menurut tapi membuang mukanya.Dari tadi kita sudah bicara, sekarang saatnya tidur. Naima menghindari tatapan Rangga, nafas hangatnya menyapu pipinya saat ini.Pantas saja kau tak menikah, kau sangat galak, tidak ada manisnya sedikit pun pada laki-laki.Naima diam saja, tak tahukah Rangga nafasnya berubah sesak dan otaknya tidak berfikir jernih.Rangga merasakan hal yang sama, aroma mawar lembut bercampur strowberry menguar kuat dari tubuh lembut di sampingnya. Naima, lirihnya dengan suara berat.Apalagi? Naima menoleh, tanpa memperhitungkan jarak, hidungnya malah berbenturan dengan hidung milik Rangga, sekarang dia dan Rangga sama-sama tertegun.Tak ada tempat untuk berbalik, tak ada ruang untuk melarikan.
***22. Ini Tidak BenarNaima mendongak menatap mata menggelap milik Rangga,menyelam ke dalam telaga itu, mencari apa saja yang bisa ditemukannya di dalam sana, sedikit pun dia tidak bisa bergerak. Naima terkunci, terikat pasrah dalam pelukan hangat itu.Dia bisa merasakan gemuruh jantung Rangga yang bertarung dengan jantungnya, jantung itu... berlomba- lomba mengalirkan darah dengan cepat, membuat tubuh Naima bergetar dan nafasnya sesak.Aku berbohong tentang aku menciummu untuk menghentikanmu bicara. sebenarnya....Rangga terdiam, apa yang akan dia ucapkan ini sangat susah di keluarkan, ada duri yang tersangkut di tenggorokannya, jakunnya turun naik, susah payah menelan air liurnya sendiri. Bolehkah dia melakukannya lagi?Kenapa?Naima ingin mengetahuinya, berharap bahwa ciuman pertama itu tidak hanya berkesan hanya baginya saja. Dia tak ingin hanya dia yang mengingatnya.Karena, aku juga menginginkannya, jawabnya lirih, seiring dengan nafas yang dikeluarkan secara tersengal.Jelaskan!Naima tak sadar, pertanyaannya akan menjerumuskan dirinya sendiri.Rangga mengunci tatapan itu, meyakinkan Naima bahwa apa yang akan mereka lakukan ini benar dan bukan sebuah kesalahan.Rangga menggeram, dia tidak menyangka akan diterima secepat ini, rasa gadis ini, sangat memabukkan, tak ada yang mengalah di antara mereka, Naima bukan perempuan yang cepat puas, Rangga mendapatkan lebih dari apa yang dikiranya.Udara mendadak panas sehingga Naima menyingkirkan selimut yang menutupi mereka. Entah berapa lama, mereka larut dalam suasana intim ini, suasana saling menyentuh dan menikmati tanpa ragu. Tiba-tiba Naima tersadar, ia mengembalikan logikanya.Tidak, ini tidak benar, ini tidak benar. Naima mengusap wajahnya panik.Naima bangkit, memungut sarung di kakinya dan memasangnya kembali. Nafasnya masih tersengal, mereka hampir melakukannya, hasrat membara yang akan membakar mereka menjadi abu.Rangga ikut bangkit, rambut kusut dan bibir bengkak, menatap kepanikan Naima dengan bingung. Dia pun tidak mengerti kenapa bisa sejauh itu, kenapa bisa terjadi. Dia yang salah di sini, niatnya hanya ingin mencoba peruntungan, tapi dia tak menyangka Naima malah membalasnya.Ma... ma... maafkan aku!Lupakan!Naima mengambil baju basahnya yang tersangkut di dinding, memakai pakaiannya secara tergesa-gesa.Antarkan aku malam ini juga!Naima berucap dingin, dia tidak marah kepada Rangga, tapi benci kepada dirinya sendiri yang tak bisa menahan diri. Dia telah membuka hatinya yang telah lama lumpuh, dan itu berbahaya.Kau marah? Rangga menelan ludah, cemas dan takut.Tidak, aku cuma terkejut, sudahlah! Naima semakin gusar.Naima mengambil kunci mobilnya, menyerahkan kepada Rangga, kemudian menuruni tangga tanpa mempedulikan jilbabnya belum terpasang dengan benar.Ya Allah. Rangga mendesah putus asa, kemudian mengambil bajunya dan menyusul wanita itu.Sepanjang perjalanan, Naima dan Rangga tidak berbicara, Naima lebih memilih memandang ke luar kaca, tidak sedikit pun menghadap kepada Rangga.Naima masih merasakan lututnya lemas, Rangga pria yang tidak bisa ditampik pesonanya, dia bagaikan dewa yang selalu menjanjikan kehangatan, Naima memejamkan mata, meremas lututnya sendiri.Aku benar benar minta maaf, ucap Rangga penuh penyesalan.Sudah kukatakan, lupakan! seperti yang kau bilang waktu itu. Nada Naima sedikit membentak.Naima....Aku dosenmu, panggil aku dengan sebutan yang benar, tegas Naima.Ya Tuhan, bahkan kita sudah.... Rangga memandang tak percaya.Ucapan Rangga langsung dipotong. Ciuman dan sentuhan barusan tidak akan mengubah apa pun.Naima memandang Rangga, dia mengusap wajahnya, bingung dengan dirinya sendiri. Aku tidak ingin jadi pelarianmu. Suara Naima bergetar.Naima kemudian mengangkat wajahnya, menatap lurus wajah Rangga.Bahkan, aku tidak pernah berfikir begitu, jawab Rangga seadanya. Dia tiba-tiba menepikan mobil.Kenapa kau berhenti?Kita harus selesaikan semua ini, baru kita pulang.Semuanya selesai, apa lagi? Kita sepakat tidak akan ada sentuhan fisik di perjanjian awal, apa kau lupa?Jangan sepicik itu, Naima! kita tidak berdosa, kau bertindak seolah-olah aku memperkosamu. Rangga mulai emosi.Rangga, kau tak ingat kenapa pernikahan ini terjadi? kau tak mencintaiku, aku tidak mencintaimu, kita akan bercerai setelah kau wisuda, akan sangat menyedihkannya diriku memberikan kesucianku padahal aku tau sebentar lagi aku akan menjadi janda... Ya Tuhan. Naima menutup wajahnya, dia menangis pelan. Kenapa semua menjadi rumit.Maafkan aku! Rangga menarik Naima ke pelukannya, mengusap punggung itu berlahan.Naima mengusap wajahnya, menjauhkan diri dari Rangga, mengusai dirinya kembali.Nyalakan mobilnya! aku harus mandi.Rangga tidak bisa berbuat apa-apa, apa yang dikatakan wanita itu benar, pernikahan ini tidak seserius itu, hingga membolehkan mereka melakukannya.Mobil melaju kencang, membelah kesunyian malam, hujan gerimis kembali turun.Rangga mengakui, dia hampir kebablasan, sedikit lagi... sebelum Naima menghentikannya saat dia menyadari apa yang terjadi.Mereka seperti daun kering yang cepat terbakar, sangat berbahaya jika memulainya. Rangga tidak habis fikir, ternyata dirinya dan Naima memiliki sesuatu yang tidak pernah mereka duga, ini baru tahap pengenalan, dan mereka sudah melakukannya sejauh itu.Rangga menghela nafas. Membuangnya perlahan, ke depannya akan lebih sulit.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan