
Empat
Anita tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya, dia telah membayar uang muka pada Edo, memberikan kartu kredit dan fasilitas lainnya. Tapi bagi dia yang sempurna, akting Edo tadi singgung mengecewakan. Bagaiamana bisa Edo menunjukkan wajah kebingungan saat dia dicecar pertanyaan oleh ayahnya? Seharusnya dia mencari cara untuk menjawab, bukan meminta pendapat padanya sambil menatap bodoh.
Edo bukannya tidak tau, wanita yang tengah mengemudi di sampingnya itu sangat kesal. Tapi mau bagaimana lagi, Edo tak berbakat menjadi pembohong.
"Ayo turun!" katanya lebih dulu membuka pintu mobil. Edo mengiringi Anita berjalan ke sebuah kafe out door itu. Kafe cantik yang dikelilingi oleh taman bunga.
Anita memilih duduk agak terpencil dari meja-maja yang agak ramai oleh tamu.
Edo duduk di depannya. Bahkan dia tersenyum miris pad jam tangan mahal yang kata Anita nilainya mencapai belasan juta. Sebentar lagi benda itu akan dikembalikan pada Jenny.
Anita menatapnya dingin, tanpa senyum. Apa pun itu, Edo siap menerima ungkapan ketidak puasan Anita.
"Aku tau, kamu takkan bisa melakukannya."
Edo tak merespon, jika wanita itu tau dia memang tak bisa, kenapa mempercayakan kepura-puraan itu padanya? Aneh.
"Yang kuharapkan, kau menegakkan bajumu di depan ayahku, bukan menunduk seperti seperti bawahan yang berhadapan dengan atasan, astaga, apa itu tadi, kamu bertanya padaku melalui tatapanmu, dan saat itu ayahku langsung curiga. Ya ampun, semua telah selesai."
Edo menaikkan wajahnya, dia tau semua orang kaya pada umumnya bersikap pongah dan sombong. Edo mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah amplop yang masih utuh, segelnya belum terbuka. Serta sebuah benda pipih kecil, yaitu kartu kredit.
"Saya kembalikan."
Anita melotot, mulutnya menganga. Dia tau betul, amplop itu tersegel dengan baik.
"Sepeser pun, saya belum menggunakan uang Anda, belum menggunakan kartu kredit Anda. Saya kembalikan."
"Hei, aku tidak bermaksud begitu." Anita memaksakan senyum kaku.
"Semua pakaian dan aksesoris akan saya kembalikan ke toko Mbak Jenny, permisi."
Edo bangkit, meninggalkan Anita yang masih memandangnya tak percaya.
"Anak itu ... Apa dia pikir, Jenny akan menerima barang bekas pakai?"
Anita semakin kesal.
***
Anita hanya bisa pasrah menghadapi ayahnya itu, usaha pertama gagal sudah. Dia tak mau lagi memakai jasa Edo, Edo tak ada bakat sedikit pun, hanya bisa mengacaukan rencana.
Ayahnya bukan orang yang bodoh, setelah tatapan ragunya pada Edo kemaren, Anita yakin, tak ada lagi kesempatan untuknya.
"Jadi, kalian telah berpacaran selama bertahun-tahun?"
Anita tau, ayahnya takkan berhenti sampai di sana, dia tipe orang yang persis seperti detektif, menggali sumber ke akar-akarnya.
"Benar, Ayah."
"Ayah baru tau, seleramu aneh, dia bukan tipe laki-laki yang bisa diharapkan."
"Dia laki-laki yang baik."
"Baik saja tidak cukup. Apa benar dia seorang pemilik hotel? Apa dia tak menipumu? Karena saat ayah menanyakan masalah saham, dia kebingungan menjawab, ayah tak mau, kamu malah dimanfaatkan oleh pria yang salah."
"Aku tak mengerti."
"Dia bisa saja berpura-pura kaya, demi mendapatkan harta darimu."
Bibir Anita gatal untuk menjawab, bahwa Edo tidak seperti itu, buktinya, dia mengembalikan semua uang dan segala fasilitas tanpa berkurang sedikit pun. Tapi, jika dia mengatakan itu, sama saja membongkar kebohongan pada ayahnya.
"Jadi, ayah tak merestuinya?"
"Tidak." Ayah Anita menjawab santai, sambil menyesap kopinya. Anita sudah tau ini akan terjadi, mata wanita itu menatap kilauan air kolam renang yang ditempa cahaya matahari pagi.
Sebenarnya tidak masalah, hanya saja, ada perasaan bersalah di hati Anita pada Edo. Seharusnya pria itu mengambil bayarannya, bagaimana pun, Edo telah mengorbankan waktu dan tenaganya, dia berhak untuk mengambil uang itu, Anita bukan orang yang pelit.
"Besok, Taksa ke sini."
Anita terperanjat, menoleh cepat pada sang Ayah. Sudah lama dia tak mendengar kabar pria itu, pria yang menjadi cinta pertamanya tapi tak pernah terbalas. Laki-laki itu, lebih memilih menganggapnya sebagai seorang adik dari pada lawan jenis yang patut dicintai. Buktinya, Taksa menikah dengan orang lain, orang yang menurut Anita bukanlah pasangan yang sepadan untuk Taksa.
"Mas Taksa?"
"Iya, dengan istrinya, dia meminta izin untuk menginap di rumah selama beberapa hari ke depan, ada urusan pekerjaan yang harus di selesaikannya."
"Kenapa tak di hotel saja? Kenapa harus di rumah?" Anita sengit.
"An, dia sudah seperti kakak bagimu. Tak seharusnya kau bicara begitu."
Anita terdiam, dia tak mampu membantah, yang dia rasakan, ada perasaan sesak yang tak bisa dimengerti. Dia rindu, tapi tak ingin bertemu laki-laki itu.
***
"Jadi, misimu gagal?" kata Jenny sambil menata letak jas mahal di dalam lemari kaca. Tidak seperti biasa, Anita betah berlama-lama di butiknya.
"Dia yang menggagalkannya," sahut Anita lesu, pada akhirnya dia menceritakan juga masalahnya pada Jenny. Dia butuh Jenny untuk bercerita.
"Seharusnya kau tak melakukan itu, kau terlalu banyak membaca novel, idemu sangat konyol. Saranku, jika ayahmu memintamu bertemu dengan laki-laki pilihannya, maka tolak saja secara halus."
"Ayahku tidak sesederhana itu, Jen. Dia begitu malu, karena aku tak kunjung menikah. Padahal aku merasa bahagia dengan kondisiku yang sekarang."
"Ya, aku percaya, terkadang, orang menilai, bahagia itu harus menikah. Oh ya, mau aku apakan stelan ini?" Jenny menunjukkan baju yang dipakai Edo kemaren.
"Dia mengembalikannya?"
"Iya, bahkan aku telah menjelaskan bahwa baju ini telah dibayar, dia tak mau tau, dia meletakkan di meja kasir, lalu pergi begitu saja, baju ini seperti selesai dilaundry." Jenny mengendus bau parfum loundry murahan yang menguar tajam.
"Aku titip sama kamu dulu," sahut Anita, dia baru tau, Edo keras kepala juga. Lagi pula, untuk apa dia mengembalikan baju itu, kalau dia tak butuh, dia bisa saja membuangnya ke dalam tong sampah, bukan? Begitu pikir Anita.
"Jen, Taksa kembali." Wajah Anita berubah sendu. Jenny meletakkan jas yang dipegangnya ke dalam etalase, wajahnya berubah serius. Dia tau betul, siapa Taksa itu, dan apa hubungannya dengan Anita di masa lalu.
"Apa? Maksudmu, dia kembali ... Bercerai?"
Anita menggeleng. "Bukan, dia menginap di rumah kami, saat aku ke kantor tadi, supir kami tengah menjemputnya di bandara, aku yakin saat ini mereka telah berada di rumah."
"Oh, Anita." Jenny memeluk sahabatnya itu. Dia masih ingat, bagaimana Anita curhat setiap hari padanya saat pertama kali jatuh cinta pada Taska, tepatnya di masa putih abu-abu mereka. Namun sayang, cinta bertepuk sebelah tangan, Taksa tahan dengan pesona Anita.
"Aku harus bagaimana?" tanya Anita putus asa.
"Tunjukkan bahwa kau baik-baik saja, tunjukkan bahwa kau bahagia walaupun tak berhasil mendapatkan cintanya. Tunjukkan bahwa dirimu adalah Anita dewasa idola para pria, bukan Anita kecil yang mengejar-ngejar Taksa di masa lalu."
***
Lima
Dia masih Taksa yang sama, wajah rupawan yang murah senyum. Tak ada yang berubah bahkan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Taksa bahkan tak memperlihatkan kerutan di wajahnya, di usia yang hampir menuju akhir tiga puluh.
Sementara, wanita yang berstatus sebagai istri pria itu, telah berubah banyak, tubuh langsingnya telah berubah gendut, walau pun mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Anita heran, bagaimana seorang Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, yang bahkan menurut Anita hanya wanita kampung biasa yang tak pandai berdandan. Wanita itu tengah sibuk dengan tepung dan bahan-bahan kue lainnya, Irma dan ibu Anita begitu cocok. Sedangkan Anita tengah duduk di ruang tamu dengan Taksa, dan ayahnya.
"Apakah tak ada laki-laki yang mengalahkan gantengnya Mas di kota ini? Sampai saat ini kau belum juga menikah."
Guyonan yang bagi Anita begitu memuakkan. Dia masih Taksa yang sama, menjengkelkan, dan juga ... Taksa yang masih menghadirkan debaran di hatinya.
"Anita wanita yang terlalu pemilih, padahal tak ada lagi yang kurang darinya," sahut ayahnya, pria tua itu begitu gembira dengan kedatangan Taksa.
Taksa menatap lekat Anita yang dari tadi menghindari tatapannya.
"Dia masih Anita yang dulu," sahut Taksa. Anita tak merespon ucapan pria itu, dia bangkit dari duduknya, dia merasa pembicaraan Taksa akan semakin memojokkannya.
Anita memilih untuk naik ke lantai atas, kamarnya, dia lebih baik mengurung diri dari pada berbasa basi dengan pria itu. Sedangkan tadi, dia hanya menghormati perintah ayahnya saja.
Baru saja Anita memejamkan matanya, pintu kamar terbuka. Pria itu, kenapa masih lancang masuk ke dalam kamarnya.
"Seharusnya minta izin dulu sebelum masuk." Anita berkata ketus.
"Ini kamar adikku, apa salahnya?" sahutnya santai, bahkan tak malu meletakkan pantatnya di pinggir ranjang Anita. Anita tak nyaman.
"Mas tau sendiri, kita tak punya pertalian darah."
Taksa tersenyum lebar.
"Apakah memiliki adik itu harus memiliki pertalian darah terlebih dahulu?"
"Mas," ucap Anita menatap Taksa lelah. "Keluarlah! Jangan menimbulkan kesalah pahaman, saat ini, bukan lagi situasi sepuluh tahun yang lalu."
"Jika bukan lagi situasi sepuluh tahun yang lalu, kenapa kau belum juga menikah, An? Seharusnya kau sudah punya anak, aku tak ingin rasa bersalah terus bercokol di hatiku padamu."
Anita berusaha menenangkan jantungnya yang mulai berdetak tak karuan karena emosi.
"Berhenti mencampuri urusanku, bisa?"
***
"Wah, ini enak," puji Ayah Anita. Saat ini, mereka tengah menikmati hasil keterampilan memasak Irma, istri Taksa. Wanita itu betah seharian di dapur, membuat aneka masakan dan cemilan, bahkan untuk makan malam.
Semua orang makan dengan lahap, bahkan ayahnya mengusap keringat di dahinya karena sangat menikmati kepiting saus pedas yang tersaji cantik di meja makan.
Anita belum menyuapkan nasi ke mulutnya, hanya dia satu-satunya orang yang seperti patah selera.
Irma, lihatlah dia, dia telaten melayani Taksa, mulai dari mengambilkan nasi, memasukkan lauk, dan mengambilkan segelas air, apa Irma mencoba untuk memanas-manasinya? Tapi yang Anita tau, wanita itu tidak sejahat itu. Dia terlalu sederhana, tak suka mencampuri urusan orang lain dan bersikap apa adanya.
Anita kembali berpikir, kenapa Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, wanita itu bahkan tak memoleskan lipstik ke bibirnya, dia memakai daster rumahan yang Anita tau, harganya sangat murah.
"Nggak makan, An?" sapa ibunya, menyentak lamunan Anita. Sejujurnya, ras lapar sudah surut.
"Ya," sahut Anita mencicit, suaranya memancing perhatian Taksa, pria itu melempar senyum tipis.
Sementara di sudut kota, seorang pria muda duduk di halte sambil memeluk tasnya, di sampingnya duduk seorang gadis kecil berambut panjang memakai jaket biru tua dan rok selutut bewarna hitam. Mereka memutuskan berhenti, setelah mengamen ke berbagai tempat, karena hujan, mereka hanya mendapatkan uang sepuluh ribu, hanya bisa untuk mengganjal perut saat makan malam.
"Bang, setelah ini kita akan pulang ke mana?" tanya gadis kecil itu.
Pria yang tak lain adalah Edo itu mengusap rambut adiknya. Siang tadi, mereka baru saja diusir dari kontrakan kumuh, apa lagi alasannya kalau bukan karena tak mampu membayar sewa.
"Sabar ya, Rin. Kita pikirkan dulu solusinya."
"Sampai kapan kita akan kaya gini, Bang?" Rini melipat kakinya, dia memeluk lututnya kerena kedinginan.
Edo menatapnya terenyuh, dia mungkin bisa bertahan dengan hidup menjadi gelandangan, tapi Rini? Bahkan dia juga putus sekolah, seharusnya dia sudah duduk di kelas enam SD. Sebentar lagi adiknya itu akan menjelma menjadi remaja, kehidupan sebagai pengamen tak baik baginya.
Andai saja, orang tua mereka masih ada, andai saja, mereka punya sanak saudara yang memiliki sifat belas kasih, Edo hanya berandai-andai, dia menengadahkan wajahnya ke atas langit. Memejamkan matanya sejenak, dia ... Rindu ibunya.
"Bu ...." Suara Edo parau, jika menangis, siapa yang akan menenangkannya.
***
Anita memandang tajam Taksa. Apa lagi kali ini? Dua hari di rumahnya, laki-laki itu semakin leluasa keluar masuk ke dalam kamarnya.
Taksa menutup pintu kamar Anita. Tak peduli dengan tatapan protes wanita itu.
"Mas? Kenapa masuk?"
"Aku ingin berbincang denganmu, boleh?"
"Tunggu di tepi kolam renang," sahut Anita ketus. Taksa mengangguk, sebelum berbalik, dia melempar senyum terlebih dulu.
Seharusnya Taksa berlaku seperti orang asing, tak baik jika dia bertingkah seperti tak terjadi apa-apa pada mereka. Tapi, laki-laki itu masih seenaknya menarik ulur hatinya bahkan saat dia telah punya istri.
Anita duduk di tepi kolam renang, Taksa menggulung celananya, mencelupkan kakinya ke sana.
"Ada apa?" tanya Anita sinis.
"Kenapa berwajah begitu? Aku hanya ingin mengajakmu bicara, tidak boleh?" Wajah Taksa begitu ceria.
"Mana Mbak Irma?" Anita tak mau kedekatan mereka membuat Irma salah faham, bagaimana pun wanita itu adalah wanita yang baik.
"Dia pergi dengan ibumu, kursus memasak."
"Oh, dia memang koki yang handal."
"Tapi tak secantik dirimu."
Anita terkesiap, dia menatap cepat wajah Taksa. Apa pria tadi baru saja mencaci istrinya sendiri di depan orang lain?
"Apa?" Anita memastikan pendengarannya.
"Lupakan!" Taksa tersenyum hambar, dia mengalihkan perhatiannya ke arah kolam renang.
"Dia wanita yang baik, jarang-jarang ibu bisa akrab dengan seseorang."
"Lalu, bagaimana dengan dirimu?"
"What?" sahut Anita, keningnya berkerut.
"Apa kau bahagia, An? Hidup sendiri tanpa pendamping."
"Apa peduli Mas, aku bahagia atau tidak, kita telah menjalani hidup masing-masing."
"Sejujurnya aku tak bahagia." Begitu lancar ucapan itu keluar dari mulut Taksa. Anita tak mampu mengedipkan matanya, mencari kebenaran pada pancaran mata Taksa.
"Apa?"
"Aku tak bahagia."
"Aneh," sahut Anita sambil tersenyum miris.
"Aku serius, aku tak bahagia dengan Irma, bahkan setelah belajar mencintainya selama sepuluh tahun, aku tak berhasil."
"Tunggu, tunggu!" Anita mengusap rambutnya sendiri, menggenggam rambut panjangnya itu untuk menjernihkan pikirannya. "Semua ucapan Mas tak masuk akal."
"Selain dia tak cantik, dia juga mandul, kami ke kota ini, untuk mengurus perceraian kami." Anita terkesiap.
Mereka tak tau, seseorang tengah menutup mulutnya agar tangisnya tak meledak. Irma, sengaja pulang lebih dulu, karena tiba-tiba kedatangan tamu bulanan dan tak memakai pembalut.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
