(Zeya dan Ben) 11 : Satu Kecupan

1
0
Deskripsi

Penantian panjang seorang Benjamin Hardijaya akhirnya bertemu dengan perempuan yang selama ini selalu dalam pengawasannya.

Pagi itu, Zeya duduk dibalik meja makan dengan semangkok chicken cream soup yang sudah Nadine siapkan untuknya.

“Thanks, Nad.”

“Lo yakin nggak konsul dulu sama Om Radit?” Nadine duduk bersebrangan dengan Zeya, ia perhatikan kondisi Zeya yang terlihat membaik dengan wajahnya yang masih sedikit pucat.

“Nggak. Gue hanya butuh sendirian aja kok.”

“Ze, gue percaya banget sama lo, lo bisa menjaga diri lo sendiri, tapi semalam itu pertama kalinya gue liat lo semarah itu.” Nadine bicara sangat hati-hati sembari menilik air wajah Zeya yang tampak tenang, tapi bagi Nadine tenangnya Zeya adalah hal yang sangat ia takuti, terkadang Nadine tidak tahu apa yang sebenarnya Zeya simpan dalam dirinya entah itu sedih atau senangnya, gadis itu seperti air sungai yang tenang dengan pusaran arus mematikan di dalamnya. 

“Nadine, makasih ya.” Zeya tersenyum sambil menatap dalam Nadine di hadapannya sedangkan Nadine kini terlihat menahan tangis.

“Zeya, gue nggak tahu apapun tentang apa yang lo simpan selama ini, tapi lima tahun ini lo selalu nemenin gue, selalu ada saat gue butuh, saat gue sakit dan jauh dari orang tua gue, lo tuh udah gue anggap keluarga sendiri. Tapi Ze, harus ada orang yang bisa sembuhin luka lo. Kalau itu bukan gue, gue harap suatu saat lo bisa menemukan orang itu.” Nadine menyapu air mata yang menggenang di sudut matanya, semalam ia takut dan sedih melihat keadaan Zeya, ia teringat malam yang Zeya lewati di tahun pertama mereka tinggal bersama saat menginjak kelas satu SMA, gadis itu hampir tidak bisa tidur setiap malam, dia diserang rasa panik dalam tidurnya seakan mimpi buruk selalu menghantuinya dan disana Nadine menemani Zeya dalam tidurnya melewati masa-masa sulit itu.

“Nadine, cuman lo yang gue punya sekarang dan cuman lo yang tau keadaan gue. Gue bersyukur ada lo di sisi gue. Gue punya lo, gue rasa cukup untuk gue.” Zeya kembali tersenyum meyakinkan Nadine sedangkan Nadine kembali menelisik manik mata Zeya beberapa saat seakan mencari sesuatu disana.

“Ben? Lo menguhubungi dia semalam?” Tanya Nadine dan kini Zeya mencoba mengalihkan tatapannya. Nadine melihat pertahanan diri Zeya melemah ketika satu nama ajaib itu selalu bisa membuat Zeya kalah. Zeya lebih memilih menunduk menatap mangkuknya dengan tatapan kosong dari pada menjawab pertanyaan Nadine.

“Ze, seberengsek apa sih si Ben sampai bikin lo kayak gini? Dia tuh kekanakan banget kalau sampe musuhin lo cuman gara-gara hal sepele.” Cecar Nadine, kini emosinya tersulut.

“Dia nggak salah kok Nad. Karena memang gue yang ninggalin dia sejak awal padahal gue tahu dia peduli banget sama gue. I’m definitely the troublemaker.” Zeya terlihat pasrah dan Nadine menghela napas kasar merasa frustasi dengan kerumitan hubungan Zeya dan Ben, karena Nadine tahu bagaimana Ben selalu menjaga dan membersamai Zeya dulu, bagaimana Ben menentang rencana kepergian Zeya ke Jakarta, membayangkan bagaimana persahabatan mereka terjalin selama hidup mereka dan tumbuh bersama, Ben hanya terlalu menyayangi Zeya hingga ia bersikap overprotective. 

“Udah deh, Nad. Gue udah baik-baik aja kok sekarang. Lo tau kan gue cuman butuh sendiri, butuh tenang.” Ucap Zeya dengan senyum  meyakinkan dan Nadine mengangguk. 

“Oke, terus gimana handphone lo? Ancur kayak gitu. Musti dibenerin hari ini nggak sih?” 

Zeya teringat akan handphonenya yang hancur semalam, tentu saja dia butuh handphone baru namun hari ini dia hanya ingin beristirahat di dalam kamarnya seharian.

“Gue masih pengen istirahat sih, besok aja deh beres kuliah.”

“Atau mau gue cariin? Gue bisa minta tolong Bima bantu cari juga.”

“Bilang aja mau pacaran, ya udah sanaaaa.”

Nadine terkekeh kecil saat Zeya meledeknya namun akhirnya bisa membuat Zeya terlihat lebih santai.

“Ih, Ze. Kok lo tau sih?” Zeya mendelik tajam saat melihat Nadine dengan cengiran lebarnya.

“Lo mah pinter nyari kesempatan.” Ujar Zeya.

“Hehehe, ya udah, gue mending berangkat sekarang aja kali yah, biar nanti siang gue udah balik sini sekalian bawa makan siang buat lo.”

“So sweet banget sih, Nad. Gue rela loh nikah sama lo, meskipun jadi yang kedua setelah Bima.”

“Sinting nih lama-lama.” Ucap Nadine sembari menggelengkan kepalanya dan iapun beranjak dari meja makan menuju kamarnya sedangkan Zeya kembali menyantap soupnya.

Tidak lama kemudian Nadine sudah siap dengan mengenakan tshirt dan celana culotte dipadukan sepatu keds juga sling bagnya.

“Ze, gue berangkat ya, janji nggak akan lama.” Sahut Nadine yang langsung bergegas menuju pintu.

“Hati-hati!” Balas Zeya dan Nadinepun menghilang di balik pintu apartemen mereka.

Zeya telah menghabiskan semangkuk soupnya, iapun segera membersihkan alat makan dan setelahnya ia mengambil sebotol minuman isotonik di dalam kulkas namun ketika ia hendak membuka botol tersebut, suara bel apartemennya berbunyi, iapun akhirnya menaruh minumannya pada meja dapur dan beranjak menuju pintu, sebelum membukanya, Zeya mengamati layar monitor kecil pada dinding di samping pintu memperlihatkan seorang wanita dengan pakaian jas formal menunggu disana. Zeya memperkirakan umurnya mungkin sekitar tiga puluh tahun dan ia tidak mengenali wanita itu, maka selanjutnya Zeya menekan tombol pada layar monitor.

“Pagi. Maaf, dengan siapa Mbak?” Tanya Zeya pada layar monitor.

Pagi, Maaf mengganggu. Perkenalkan saya Vira asisten Ibu Maria Edwin, saya mau bertemu dengan Zeya, apa betul ini unit apartemen Zeya?” 

Jawaban dari wanita bernama Vira itu membuat Zeya bingung, karena ia tidak bisa menebak apa yang ingin wanita itu sampaikan kepadanya bahkan dalam beberapa waktu belakangan, Mami-nya Maria Edwin sama sekali tidak memberitahu apapun perihal rencana kedatangan Vira hari ini. Maka, Zeyapun membuka pintu apartemennya.

“Hai, Mbak Vira. Aku Zeya, silahkan masuk.” Zeya mengulurkan tangannya sembari mengucapkan salam dan Vira menjabat tangan Zeya yang terulur dan tersenyum singkat.

“Pagi, Zeya. Saya Vira. Terima kasih sebelumnya.” 

Zeya mempersilahkan Vira masuk dan mereka duduk saling bersebrangan di meja makan.

“Mbak, mau minum apa?”

“Apa saja, Ze. Terima kasih.”

“Santai aja sih, Mbak. Tadi Mbak bilang asisten nya Mami, kan?” Tanya Zeya sembari membuka kulkas dan mengambil satu botol minuman isotonic yang sama dengan dirinya, sedangkan Zeya mengambil minumannya yang sebelumnya ia simpan di meja dapur.

Vira menerima minuman tersebut saat Zeya kembali duduk di hadapannya.

“Kok, tumben ya Mami nggak ngabarin aku kalau Mbak Vira mau kesini.” Ucap Zeya membuka pembicaraan.

“Maaf, karena ini mendadak dan…. urgent-.” Jawab Vira terlihat gusar.

“Urgent? Ada apa Mbak? Apa semalam Mami hubungi aku? Karena handphone-ku rusak jadi aku nggak bisa menghubungi siapa-siapa dari semalam.”

“Ya, Zeya. Mbak berusaha menghubungi kamu dari semalam karena itu Mbak harus segera menemui kamu.”

Zeya menangkap ada kekhawatiran yang terlihat dari wanita di hadapannya itu membuat Zeya mendapatkan firasat yang kurang baik atas kedatangan Vira menemuinya pagi itu.

“Ada apa memang Mbak?” Vira terdiam beberapa saat ia seakan bingung ingin memulai pembicaraannya dari mana.

“Sebelumnya, Mbak mau menyampaikan satu hal yang Ibu Maria pesan untuk kamu. Ibu mau kamu jangan memberitahu siapapun tentang kondisi beliau.”

“Maksudnya? kondisi apa?” kening Zeya berkerut ia terlihat bingung.

“Kesehatan ibu saat ini lagi nggak baik, dan Ibu ingin ketemu dengan Zeya, tapi ingat pesan Ibu sebelumnya, Ibu nggak mau orang lain tahu tentang kondisi Ibu kecuali Zeya.”

“Mami sakit? Sakit apa?” Dan Zeya benar-benar merasa khawatir karena selama ini ia selalu melihat Maminya sehat.

“Zeya, bisa ikut Mbak pulang ke Tangerang?”

“Aku butuh penjelasan yang lebih Mbak.” Desak Zeya mulai panik dan Virapun menunjukkan satu foto di handphonenya kepada Zeya disana terlihat foto Maria sedang berbaring di ranjang rumah sakit dengan berbagai alat bantu terlasang pada tubuhnya dan seketika tubuh Zeya lemas, air matanya langsung berdesakan mengalir membasahi pipinya.

“Maaf, Zeya. Untuk saat ini Mbak hanya bisa memperlihatkan foto ini karena sesuai pesan Bu Maria, beliau ingin bertemu langsung dengan kamu.”

“Aku mau ketemu Mami sekarang Mbak. Antar aku sekarang.” Zeya menghapus jejak air mata di pipinya dengan punggung tangan.


 

——

4 bulan kemudian

Ben kembali menegak habis tequila pada gelas sloki nya dalam sekali teguk entah untuk keberapa kalinya meskipun cairan itu terasa kuat menyengat indra perasanya namun masih saja sulit mempengaruhi Ben seakan tubuhnya sudah imun terhadap cairan tersebut, maka ia kembali meraih botol don julio nya lalu menuangkan minuman beralkohol itu pada gelas sloki sebelum akhirnya botol itu direbut dari genggamannya. Ben mendongak menatap sinis seorang perempuan yang kini berdiri di hadapannya, ia meletakan botol minuman di atas meja jauh dari jangkauan Ben yang kini duduk bersandar pada sofa bersama dengan beberapa teman yang duduk di sisi kanan dan kirinya.

“You’ll be six feet under before you even lay eyes on her.” Nadine memperingatkan Ben yang mendelik tajam padanya.

“It’s been four months.” Ucap Ben lirih, Nadine melihat bagaimana Ben mengucapkannya dalam perih.

“Ya, dan lo harus merelakan dia, Ben!” Bentak Nadine frustasi, kini mereka berdua menjadi pusat perhatian semua orang yang berada dalam sebuah  ruangan VIP dengan dinding kaca yang memperlihatkan suasana dance floor di bawah sana dimana orang-orang menikmati gemerlapnya dunia malam diiringi musik elektronik yang di mainkan oleh seorang DJ di area elevated booth.

“Kenapa? Apa Karena lo pengen lepas dari pengawasan gue?” Tanya Ben meneleng pada Nadine yang terlihat semakin marah.

“Lo Jangan ngerasa paling menderita disini.” Nadine mengangkat telunjuknya di depan wajah Ben membuat laki-laki itu berdiri dengan menatap tajam Nadine yang kini mendongak membalas tatapan Ben tidak mau kalah. “Berhenti bersikap bodoh, lo minum kayak gini nggak akan menyelesaikan apapun!”

“Guys, bisa tenang dulu nggak sih? Disini kita memang buat ngelepas penat, kan?” Bastian meletakan low ball glassnya di atas meja dan berdiri dengan kedua tangannya melerai jarak antara Ben dan Nadine. 

“Tapi yang di bilang Nadine itu benar, Ben. Lo harus berhenti nyari tuh cewek.” Bianca perempuan yang sebelumnya duduk disamping kanan Ben itu berdiri lalu melangkah menuju meja billiard yang berada di sisi lain ruangan mengambil stik yang bersandar pada meja lalu melakukan break membuat cue ball meluncur menembak bola target hingga menyebar pada meja billiard.

Ben menyugar rambut dengan jemarinya sembari mendengus kasar dan akhirnya kembali duduk membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada pahanya.

“Inget, Ben! Lo yang terakhir dia hubungi dan lo tetap mengabaikan dia.” Desis Nadine membuat Ben termenung karena sebelum orang lain mencaci maki ia sudah lebih dulu menghukum dirinya sendiri atas kebodohannya selama ini. 

Nadine membawa low ball glassnya dan bergabung dengan Bianca di meja billiard.

“Ben, kita tahu nggak semudah itu lo ngelepas Zeya, tapi ini demi diri lo sendiri sih. Lo kacau banget, mau sampai kapan lo minum minum kayak gini?” Pertanyaan Marsya yang duduk disamping kekasihnya Bastian itu membuat Ben semakin menundukkan kepalanya karena bagaimanapun dia menyadari segala usahanya yang sia-sia mencari Zeya selama empat bulan belakangan itu, gadis itu hilang jejak begitu saja tidak meninggalkan pesan kepada siapapun termasuk pada Nadine sekalipun.

“Ternyata konglomerat juga manusia ya. Bisa ngerasain siksa hidup terus-terusan kayak begini.” Sahut Egi yang langsung menerima lemparan ice cube dari Bastian.

“Euh, emangnya lo! dapet siksa kubur aja kayaknya masih bisa santai sambil nyebat!” Sambar Bastian sembari mendelik sekilas, kelakar kedua laki-laki itu mencairkan suasana diantara mereka yang sebelumnya terasa sedikit tegang.

“Kalau suatu saat nanti kita ketemu si Zeya Zeya itu, gue bakal sembah tuh cewek.” Ucapan ambigu dari Niko membuat Ben, Egi, Bastian dan Marsya menatapnya heran.

“Maksud lo? Kalo ngomong tuh yang jelas anjing.” Egi akhirnya angkat bicara mewakili teman-temannya yang lain.

“Lo bayangin, dia bisa ngilang gitu aja dari mata seorang Benjamin Hardijaya! Selingkuhan mantannya mantan lo semua aja bisa dia dapetin dalam hitungan menit, nah si Zeya ini di telen bumi kali sampe nggak ada jejak sama sekali.” Jawaban Niko itu malah membuat lelucon baru diantara mereka.

“Iya juga sih, hahahaha.” Egi dan Bastian tertawa sedangkan Ben hanya berdecik kesal dan kembali duduk bersandar.

“Mungkin nih mungkin. Si Zeya tuh sebenarnya tahu kalau lo stalking-in dia selama lima tahun ini, nah sekarang tuh kayaknya dia sengaja mau nge-prank lo, Ben.” Pernyataan Niko itu membuat yang lain terpengaruh karena mungkin alasan itu bisa menjadi salah satu alasan dibalik hilangnya seorang Zeya Maria Edwin.

“Kalau emang benar keren juga sih dia, pantas untuk kita sembah karena bisa mengelabui seorang Ben.” Timpal Egi sedangkan Ben hanya menggelengkan kepala atas kelakuan teman-teman brengseknya itu, namun tentu saja Ben pernah memikirkan kemungkinan tersebut bahwa selama ini Zeya menyadari jika Ben tidak pernah lepas mengawasinya dan perempuan itu sengaja menghilangkan jejak untuk lepas darinya.

“Andai si Zeya tahu ya, gimana si bangsat ini memutar balikkan bumi buat nyari dia sampai-sampai si Nadine udah jadi sandera, kampus sama apartemennya tiba-tiba aja dipindahin sekejap mata takut-takut tuh cewek tiba-tiba ngehubungin Nadine.” Tambah Bastian sembari mengacungkan telunjuk asal ke arah Ben. 

“Ya gitu lah kalo lo jadi horang kaya, semua bisa lo dapetin, kecuali Zeya ya kan Ben?.” Dan ucapan Egi membuat mereka tertawa meledek Ben yang hanya menunduk menerima ledekan teman-temannya yang minim simpati itu mengingat kembali moto dari pertemanan mereka adalah “kita pasti bantu, tapi nanti, ketawa dulu”.

Di area sofa itu Niko, Egi, Bastian dan Marsya masih tertawa meledek Ben, namun perhatian mereka tiba-tiba tertuju pada seorang laki-laki yang masuk ke dalam ruangan mereka termasuk Nadine dan Bianca yang kini menghentikan permainan mereka di meja billiard memperhatikan laki-laki yang masih berdiri di tengah ruangan .

“Bang.” Sahutnya memanggil ke arah Ben dan membuat Ben segera berdiri dan mendekat padanya. Ben tentu saja mengenal Laki-laki itu, ia adalah Farhan salah satu orang kepercayaan Ben, Farhan berbisik lalu memperlihatkan sesuatu di layar ponselnya kepada Ben membuat laki-laki itu menatap serius layar ponsel Farhan dengan kening mengkerut.

“Lo udah hubungi nomor ini?” Ben mempertanyakan nomor telepon yang tercantum dalam foto formulir pada layar ponsel Farhan.

“Ya, tapi ternyata ini nomor kerabat Zeya namanya-Vira.” Jawab Farhan semakin membuat Ben mengerutkan kening karena nama itu belum pernah ia dengar sebelumnya. “Gue juga belum dapat informasi lebih lanjut tentang perempuan ini selain informasi dasar kayak gini.”

Penjelasan Farhan membuat Ben mengangguk pelan lalu mulai tenggelam dengan pikirannya sendiri hingga ia tidak menyadari Nadine yang kini sudah berdiri menghampirinya.

“Kenapa, Han?” Tanya Nadine.

“Zeya apply formulir perpindahan ke kampus kita.” Ben menjawab pertanyaan Nadine dengan tenang namun membuat semua orang berdiri menghampiri Ben dengan raut wajah yang tampak tidak percaya.

“Semudah itu?” Tanya Niko.

“Wah, ini beneran lo lagi di prank sih, Ben.” Ucap Bastian sembari menepuk pundak Ben yang nampak masih sibuk dengan isi kepalanya sendiri.

“Dia memang mempermainkan gue selama ini.” Ada kilat marah dari cara bicara dan tatapan mata Ben.

“Lo yakin?” Pertanyaan Nadine membuat Ben menatapnya tajam.

“Menurut lo? Alasan apa yang tepat dari seorang Zeya yang beberapa bulan ini hilang, tiba-tiba dengan mudahnya dia muncul di depan muka gue? Asal lo tahu, Nad. Zeya adalah orang yang paling tahu tentang gue dan dia nggak akan sebodoh itu untuk pindah ke kampus yang sama dengan kita.”

Nadine menghela napas kasar, dia merasa kecewa saat mengetahui Zeya yang tiba-tiba menghilang dan muncul tanpa menghubunginya sama sekali, ia kini mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang Ben yang tentu saja rasa kecewa dan marahnya lebih besar dibandingkan dirinya.

“Bang, gue baru dapat info, Vira itu asisten pribadinya Ibu Maria.” Sahut Farhan setelah mendapatkan sebuah pesan baru di ponselnya.

“Thanks, Han.” Ben menepuk pundak Farhan dan membawa laki-laki itu duduk di sofa. “Lo bisa lanjut disini, gue balik duluan.” Dan Ben pun berbalik meninggalkan ruangan.

“Wow. Plot twist macam apa ini?” Bastian begitu juga yang lain kembali duduk di sofa mengelilingi meja yang sudah tersaji dengan berbagai macam minuman dan makanan ringan.

“Han, gue minta nomornya Vira, gue harus nemuin Zeya secepatnya.” Desak Nadine namun Farhan menggeleng cepat.

“Farhan, Ben enggak tahu semua hal tentang Zeya selama ini, dan gue harus ketemu dia secepatnya.”

“Maaf, Kak. Lo kalau mau minta nomornya bisa minta ke Bang Ben aja langsung.” Jawab Farhan dengan sopan, iapun menegak satu gelas sloki tequila dan wajahnya mengernyit.

“Wah, benar-benar lo Han. Lo sama Ben emang punya kesamaan ya, cocok.” Ucap Nadine sarkas.

“Kesamaan apa?” Tanya Bianca.

“Sama-sama enggak punya hati!”

Dan semua orang pun tertawa kecuali Farhan.

—-
 

Ben menutup pintu mobilnya dan menyalakan mesin mobil sembari sibuk mengetik pesan pada ponselnya, kemudian ia melakukan sebuah panggilan menunggu sambungan telepon di ponselnya terhubung.

Hallo, Benjamin.”

Ben menyeringai dengan dengus kecil mendengar sapaan seorang wanita di seberang sana.“Oh, sepertinya Anda memang lebih tahu tentang saya lebih dari yang saya perkirakan.”

Ya, mungkin. Tapi tenang, Ben. Saya tahu apa yang kamu mau dan ternyata benar setelah mengisi dokumen perpindahan itu kamu dengan cepat menghubungi saya.”

“Then quit the damn small talk and get to the point. Where is she?” Suara Ben mendesis dengan marah tertahan disana.

Just take it easy, saya akan bantu kamu. Tapi sebelumnya, saya harap kamu bisa memperlakukan dia dengan baik saat kamu bertemu dia nanti karena beberapa bulan ini dia melewati waktu yang sangat sulit. Tapi saya tahu dia sangat membutuhkan kamu.”

Rasa bersalah tiba-tiba  menyerang Ben, dadanya terasa nyeri, ia menyadari sikap bodohnya selama ini yang terlalu egois, terlalu mementingkan marah dan kecewanya sendiri tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi pada Zeya.

Saya akan kirimkan alamatnya. Semoga dengan kehadiran kamu nanti bisa mengobati mimpi-mimpi buruk dia selama ini.”

Dan Vira memutuskan telepon tersebut sedangkan Ben membeku dengan ponsel yang masih ia genggam erat hingga ia tersadar dari lamunannya ketika sebuah pesan masuk berisikan informasi alamat lengkap dan nomor handphone, maka dengan degup jantungnya yang cepat, iapun segera menginjak pedal gas dalam-dalam membuat mobil yang ia kendarai melaju cepat meninggalkan area parkir.

Ben tiba di sebuah gedung apartemen, ia bergegas menuju sebuah unit bernomor 107 di lantai sepuluh, dengan langkah tergesa ia keluar dari elevator hingga tiba di depan pintu unit yang ia tuju. Ben menatap pintu di depannya, memastikan bahwa benar ia berada di unit apartemen sesuai dengan informasi yang ia dapat dari Vira. Ben menghela napas perlahan mengatur degup jantungnya yang terasa kencang berkejaran, ia rasakan nyeri di dadanya, sebentar lagi ia akan bertemu dengan perempuan yang selama ini selalu ia tunggu hadirnya sejak dua tahun terakhir mereka bertemu dan malam-malam suram selama empat bulan yang menyiksa dirinya ketika kehilangan jejak perempuan itu. Sekali lagi, Ben menghembuskan napas panjang meyakinkan diri, ia mengangkat tangannya untuk menekan tombol didekat pintu hingga geraknya terhenti ketika pintu di hadapannya perlahan terbuka dan Ben melihat perempuan itu-Zeya Maria Edwin berdiri di balik pintu mengenakan chemise satin sebatas lutut dengan tali tipis yang menggantung di kedua pundaknya menampilkan tulang selangkanya yang melekuk sempurna dan potongan V-neck berpotongan rendah yang bebas memperlihatkan bagian atas dadanya. Ben membeku dengan tatap yang memaku pada perempuan di hadapannya namun perlahan ia rasakan bagaimana aliran darah mengaliri tubuhnya dengan rasa panas yang mendidih, Ben mendapati semua rasa itu berkecamuk dalam dirinya, marah, bahagia, kecewa, takut, sedih namun ada satu yang paling dominan diantara semuanya.

Rindu.
Ya, rasa rindu itu menyesakkan dadanya hingga nyeri, Ben rasakan kedua rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat ketika ia menahan diri namun semuanya sia-sia, iapun melangkah melewati ambang pintu memasuki unit apartemen sembari meraih handle dan menutup rapat pintu di balik punggungnya, kini ia mendapati perempuan itu juga menatapnya dalam diam, wajahnya yang cantik itu terbingkai indah oleh rambut panjangnya yang tergerai dan dengan tubuh mereka yang hanya berjarak satu langkah itu membuat Ben dapat menghirup aroma manis yang lembut dari tubuh perempuan di hadapannya seakan menenangkannya, namun reaksi tubuh Ben semakin menggila, nyeri di dadanya terasa semakin kuat menyiksa bahkan ia sempat berpikir bahwa semua ini tidak nyata, ia bertanya bagaimana semua ini bisa terjadi? bagaimana penantian panjangnya berakhir pada titik ini? Dan untuk mendapatkan jawaban semua pertanyaan itu, Ben melangkah menghapus jejak diantara mereka, satu tangannya terulur memeluk pinggang Zeya menariknya hingga tubuh mereka merapat sedangkan satu tangan lainnya memeluk melingkari pundak Zeya hingga jemarinya menekan keras pada lengan kurus perempuan itu dan Ben menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Zeya menghirup dalam-dalam aroma manis yang menguar lembut disana, Ben memeluk Zeya dalam satu rengkuhan utuh mengantarkan sengatan hebat mengalir dalam dirinya, Ben merasakan bagaimana reaksi tubuhnya yang menggila, nyeri, panas dan menyiksa maka ia eratkan lagi pelukan itu mengantarkan semua rasa dalam dirinya pada perempuan dalam peluknya yang kini bergerak dengan kakinya yang berjinjit dan kedua tangan terangkat untuk melingkar memeluk leher Ben. 

“I miss you, and it’s killing me.”

Suara serak Ben yang lirih terdengar 

“I swear, I’ll always be here for you, just….don’t go, not again.”

Bisik Ben tepat di telinga Zeya, bisa ia rasakan perempuan itu mengangguk di balik pundaknya  dan Ben pun tersenyum lalu memberikan satu kecupan pada leher perempuan itu.


 

——-

Ben baru ketemu udah bikin hareudang yah..


 

Btw lama banget ini baru posting lagi karena kerjaan yang lagi riweuh pisan. 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya (Zeya dan Ben) 12 : Hot as Hell
0
0
Zeya Maria Edwin Zeya selalu melihat punggung lebar pria itu, Ben yang selalu berada di hadapannya meskipun Zeya tidak pernah bisa meraihnya bahkan selama mereka bersama menaiki tangga kehidupan mereka sejak kecil hingga kini dewasa.YSeharusnya Zeya sadar-Oh ya dia tahu, bahkan semua orang tahu dan percaya bahwa Zeya dan Ben adalah dua mata magnet yang tidak akan pernah bersatu, seperti hitam dan putih, air dan api, semuanya terlalu bertolak belakang. Lalu apa yang wanita itu tunggu dan harapkan? Hingga di 28 tahun kehidupannya, bagaimanapun ia mencoba mengalihkan pandangannya tapi ia tidak akan bisa berpaling dari pria yang selalu memunggunginya itu. Benjamin Hardijaya Zeya-Pintar, berprestasi, berpendidikan tinggi. Ya-semua ada pada gadis itu selain parasnya yang cantik, ia selalu berada di puncak tertinggi. Segala hal yang baik selalu ada padanya seolah ia sedang mencetak nilai disegala aspek kehidupannya dengan angka sempurna. Tapi apa gunanya semua pencapaian itu? Karena dimata Benjamin seorang Zeya tetaplah gadis bodoh-naif yang tidak tahu apa-apa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan