
5 tahun sudah Zeya berada dalam pelariannya, tapi ternyata Tuhan belum selesai dengannya.
Ps : Typo always on me
Happy reading
IG : Geeestory
——-
5 tahun kemudian
Sebuah Mobil sedan hitam memasuki basement parkir pada sebuah gedung apartemen, suara bannya berdecit ketika pedal rem mobil diinjak lalu berbelok untuk mengambil posisi parkir dan perlahan bergerak mundur hingga terhenti ketika badan mobil selaras dengan marka. Di dalam mobil itu, Zeya yang duduk di kursi penumpang tampak sibuk melepas sabuk pengamannya, setelahnya ia menatap laki-laki di sampingnya yang duduk dibalik kemudi.
“Makasih ya, Kak.” Ucap Zeya pada laki-laki yang sudah beberapa bulan ini menjadi kekasihnya.
“Sama-sama sayang.” Dion, laki-laki itu tersenyum pada Zeya yang hanya membalas dengan senyuman tipis. “Besok jadi ketemu sama Papi kamu?”
Zeya mengangguk pelan. “Kalau Papi nggak sibuk, atau nggak ada acara mendadak.” Zeya menghela napas pelan mengingat sudah lima tahun ia tinggal di Jakarta namun di dua tahun terakhir semenjak ia duduk dibangku kuliah ia jarang sekali bertemu dengan kedua orang tuanya secara bersamaan bahkan Zeya belum pernah kembali lagi ke rumahnya di Tangerang karena kedua orang tuanya yang sibuk bekerja dan iapun mulai sibuk dengan kegiatan kuliahnya sebagai mahasiswa baru.
“Kayaknya terakhir ketemu tiga bulan yang lalu ya? Dan itu cuman ketemu Mami kamu kan?”
”Ia Kak, terakhir ketemu sama Papi sekitar lima atau enam bulan lalu, deh.” Jawab Zeya sambil mengedikkan bahunya terlihat tidak yakin.
”Ze, ngobrolnya sambil jalan yuk, aku anter sampe apart.” Dan Zeyapun mengangguk mengingat malam sudah semakin larut, merekapun keluar dari mobil dan berjalan memasuki gedung melalui pintu masuk basement.
”Semoga kali ini pertemuan dengan Papi kamu berjalan lancar ya.” Ucap Dion saat langkah mereka terhenti di depan pintu elevator setelah menekan tombol pada dinding di samping pintu.
“We’ll see, not expecting too much though.” Zeya mengangkat wajahnya menatap layar di atas pintu elevator hingga layarnya menampilkan huruf B diiringi bunyi dentingan dan pintu dihadapannya terbuka, Zeya dan Dionpun masuk ke dalamnya lalu Zeya menekan tombol lantai 15 membuat elevator bergerak naik.
”Jangan bete gitu dong sayang. Kamu harus tetap optimis dan senang dong mau ketemu Papi kamu.” Dion mengusap puncak kepala Zeya mencoba menghiburnya namun Zeya bergeming tidak merespon bahkan tanpa sepengetahuan Dion gadis itu mengernyit ketika ia merasakan sentuhan di puncak kepalanya bukan karena ia tidak suka dengan sikap Dion yang memperlakukannya dengan manis dan mencoba menghiburnya namun Zeya merasa tidak nyaman setiap mendapatkan sentuhan darinya maupun laki-laki lain.
“Mungkin karena love language lo bukan physical touch, Ze. Jadi lo risih aja kalo kena kulit cowok, hahaha.” Itu adalah ledekan Nadine yang diberikan pada Zeya namun Zeya meyakini teori yang Nadine berikan padanya karena memang itulah yang kini Zeya alami.
“Itulah kenapa aku lebih milih tinggal jauh dari rumah karena rasanya sama aja, Kak.” Zeya kembali menghela napas, rasanya selalu terasa berat jika sudah membicarakan orang tuanya namun suara dentingan membuatnya teralihkan dan pintupun terbuka membuat Zeya dan Dion bergegas keluar dari elevator menelusuri lorong menuju unit apartemen Zeya yang berada di paling ujung sementara di sisi kanan mereka terdapat dinding kaca di sepanjang lorong memperlihatkan pemandangan malam kota Jakarta dengan gemerlap lampu kota dan sibuknya lalu lintas kendaraan.
“Tapi kamu tahu kan kalau kamu punya orang tua yang hebat?” Dion mengiringi Zeya yang melangkah dengan perlahan seakan setiap langkah itu mengiringi lamunannya.
“Hm, harusnya. Just call me a bad kid, whatever.” Dion terkekeh mendengar jawaban Zeya.
“You’re adorable!” Dion merangkul pundak Zeya membuat tubuh mereka merapat dan seharusnya Zeya balas merangkul laki-laki itu bukan? Tapi, ia tidak pernah melakukannya ia hanya terus berjalan dengan pundaknya yang terasa kaku hingga mereka sampai di depan pintu unit apartemen Zeya dan gadis itu berbalik menghadap Dion membelakangi pintu apartemennya dan Dionpun melepaskan rangkulannya lalu menarik satu tangan Zeya untuk ia genggam.
“Aku masih kangen kamu sebenarnya. Tapi kamu sibuk banget. Kamu nggak capek dengan semua kegiatan kamu?” Tanya Dion namun Zeya menggeleng. “Jangan terlalu capek, kamu juga butuh waktu buat diri sendiri dan aku juga ingin punya waktu lebih lama sama kamu.” Dion menatap lekat manik mata Zeya yang kini terpaku pada Dion dan dalam diam diantara keduanya, Dion melangkah mendekat dengan satu tangannya yang bebas terangkat pada sisi wajah Zeya, jemarinya menyisir lembut helaian rambut Zeya yang menutupi satu sisi wajahnya lalu menyisipkannya ke belakang telinga memperlihatkan bingkai wajah kekasihnya membuatnya terbuai untuk membelai lembut garis rahang Zeya, cantik sekali, ucapnya dalam hati namun ia tahu tidak mudah untuk menaklukkan gadis cantik dihadapannya, Zeya tidak pernah menolak atas sentuhan yang Dion berikan namun Zeya juga tidak pernah membalasnya bahkan seingat Dion gadis itu tidak pernah dengan sengaja menyentuhnya terlebih dahulu sampai saat ini selama hampir delapan bulan mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, maka kini Dion mencoba kembali peruntungannya ketika ia melangkah menghapus jejak diantara keduanya dan ia menarik tengkuk Zeya mendekatkan wajah cantik itu kearahnya dan Dion menilik mata indah Zeya, menangkap keraguan di manik matanya namun kali ini Dion akan meyakinkan gadis itu, ia perhatikan bibir Zeya yang selama ini selalu membuatnya penasaran akan rasanya maka ia semakin mendekatkan wajahnya kini ia dapat merasakan embusan napas Zeya menyapu wajahnya namun selanjutnya gadis itu memejamkan matanya dan bibirnya mengatup rapat-rapat, Dion bisa merasakan tubuh Zeya menegang dan gadis itu seakan menahan napas dalam bahkan kedua tangannya mengepal kuat. Dion tertahan, ia tidak bisa memaksakan keinginannya melihat bagaimana Zeya yang tidak siap menerima perlakuannya itu, maka untuk kesekian kalinya Dion menarik tubuhnya menjauh melepaskan kedua tangannya dari tubuh Zeya membuat gadis dihadapannya kini perlahan membuka matanya dan menghela napas lega, melihat reaksi itu Dion merasa terganggu. Apakah ia seburuk itu? Pikir Dion karena untuk kali ini Dion merasa kecewa.
“Hmm, Kak - .” Zeya menatap Dion dengan rasa bersalah dan laki-laki itu menggeleng sambil tersenyum tipis.
“Kayaknya kita berdua sama-sama capek. Kamu cepat istirahat. Aku pulang ya.”
“Makasih ya, Kak. Kabari aku kalau udah sampe.” Zeya masih merasa bersalah namun Dion kembali tersenyum padanya seakan menenangkan Zeya meskipun sebenarnya Dion sedang menenangkan dirinya sendiri. Dion pun melambaikan tangan dan Zeya membalasnya lalu berjalan meninggalkan gadis itu di balik punggungnya namun di tengah lorong ia berpapasan dengan seorang gadis berambut pendek, gadis itu Nadine yang tinggal bersama dengan Zeya dan beberapa langkah di belakangnya seorang laki-laki yang baru saja memasuki unit apartemennya tentu saja dua orang itu sudah pasti melihat apa yang Dion dengan Zeya lakukan sebelumnya namun Dion tidak mau ambil pusing, maka ia hanya menyapa Nadine sekadarnya dan berlalu begitu saja.
Zeya melihat kepergian Dion hingga laki-laki itu menghilang dibalik pintu elevator dan bersamaan dengan itu Nadine sudah berada di hadapannya.
“Siap-siap bentar lagi lo di putusin, Ze. Hahaha.” Dan Zeya hanya menunduk mendengar kelakar Nadine dan merekapun memasuki unit apartemen.
“Kalau emang dia udah ngerasa nggak cocok, gue nggak akan memaksakan hubungan ini, buat apa juga kan?” Zeya menjatuhkan tubuhnya pada sofa sedangkan Nadine sudah menegak habis minuman di gelasnya yang kini ia taruh di atas meja pantry lalu bergabung dengan Zeya duduk disampingnya.
“Tapi Ze. Ini udah ketiga kalinya kan lo pacaran? Dan yang sebelumnya berakhir gitu aja, lo kayak nggak pernah mengusahakan hubungan lo. Menurut gue sih sikap lo yang silent treatment itu juga salah satu yang bikin hubungan lo nggak baik termasuk hubungan lo sekarang sama Kak Dion.” Nadine duduk dengan kedua kaki bersila menghadap Zeya memperhatikan Zeya yang termenung dengan air mukanya yang tenang, Nadine mengingat selama lima tahun mereka bersahabat dan tinggal bersama, ia jarang sekali melihat Zeya mengekspresikan sesuatu, sedih, marah, senang, ia selalu bisa mengendalikan diri dengan baik namun itu membuatnya seakan membatasi diri dan membuat orang-orang di sekitarnya segan untuk mendekat padanya kecuali Nadine. Nadine si manusia berisik yang memiliki sifat bertolak belakang dengan Zeya, dia selalu terlihat ekspresif dan bisa mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan dengan jujur tanpa basa-basi tapi sifat itulah yang Zeya sukai dari Nadine.
“Usaha?” Gumam Zeya lebih kepada dirinya sendiri, gadis itu kini tenggelam dalam pikirannya sendiri, ia masih tidak mengerti bagaimana menjalin suatu hubungan dengan segala usaha yang harus ia lakukan, yang ia yakini adalah dua orang yang memutuskan untuk menjalin suatu hubungan harus berkomitmen dimana mereka akan saling mengerti, menghargai dan tidak mengkhianati pasangannya, mudah bukan? Lalu jika diantara mereka sudah merasa tidak nyaman maka ia akan mengakhiri hubungan itu tanpa berpikir ulang agar pasangannya tidak merasa tersakiti.
“Ze, sekarang apa yang lo rasain ketika seorang cowok ngajak lo pacaran? Karena dua tahun terakhir ini lo nggak pernah nolak mereka kan?” Nadine menatap lekat sahabatnya itu yang masih duduk tenang menyilangkan kaki dan kedua tangan yang saling bertaut diatas bantal sofa dipangkuannya.
“Mereka menyatakan suka, ya gue menerima dengan senang hati, gue menghargai perasaan mereka dengan baik.” Jawab Zeya dengan kepala mengangguk pelan.
“Dan ketika lo putus Apa yang lo rasain?”
“Gue menerima keputusan mereka, mungkin mereka udah ngerasa nggak nyaman, jadi sebelum kita akhirnya saling menyakiti dan membawa hubungan kita ke keadaan yang sulit gue lebih milih putus.” Jawab Zeya dengan lugas namun Nadine memutar matanya nampak kesal dengan jawaban Zeya.
“Harusnya yah, Ze. Ketika lo dapat pernyataan cinta, lo harusnya menimbang dulu perasaan lo, apa lo senang berdebar gitu hati lo? Atau biasa aja? Kalau lo ngerasa deg degan, gelisah, tapi senang artinya lo suka, lo bisa tuh terima dan pacaran. Tapi kalau lo ngerasa biasa aja ya ngapain lo terima? Lo tolak dong!”
“Kenapa harus gitu sih, Nad?” Kini Zeya menoleh pada Nadine yang sedang menatapnya frustasi. “Lo kan nggak tahu nanti kedepannya hubungan itu akan berjalan seperti apa. Lo hanya tinggal mencari orang yang tepat buat lo kan?”
“Ya, pandangan lo nggak salah sih , Ze. Tapi lo tuh kayak textbook banget gitu ngejalanin suatu hubungan dan rasanya kalau lo terus kayak gini lo nggak akan ngerasain yang namanya jatuh cinta yang sebenarnya dan bahagia, Ze.” Nadine masih terus mencecar Zeya.
“Dimana-mana jatuh itu sakit, Nad. Gue nggak mau sakit sakitan.” Dan Zeya melempar bantal sofanya kearah Nadine yang langsung menepisnya.
“Ih si pea emangan! Percuma lo pinter tapi kalo urusan cinta lo bego! Zeya kalo gue kasih nasehat tuh dengerin sih di cerna dulu jangan langsung lo mentahin gitu!” Lihat bagaimana Nadine dengan tidak sungkan mengomeli Zeya yang berlalu begitu saja meninggalkannya lalu masuk ke dalam kamar.
Zeya duduk di balik meja riasnya, ia menatap lekat air mukanya, dalam pikirannya terdengar perkataan Nadine. “Kalau lo ngerasa deg degan gelisah, tapi senang, artinya lo suka.” Dan Zeya tidak pernah merasakan hal itu karena dia selalu menjaga emosinya, dia tidak mau dikendalikan oleh emosi sesaat dimana di kemudian hari mungkin saja ia akan menyesalinya maka sebisa mungkin ia harus berpikir dan bersikap logis. Zeya kembali meyakinkan dirinya bahwa apa yang kini ia jalani adalah yang terbaik untuk dirinya sendiri. Zeyapun meraih perlengkapan skincare nya untuk membersihkan wajah namun ia mendapati handphone nya berdering tanda sebuah panggilan masuk, Zeya pun meraih handphonenya dan melihat nama Papi disana membuat Zeya kembali mengingat akan janji temunya besok dengan Papinya-Zevan Edwin, meskipun sudah lima tahun ini Zeya mencoba menguatkan diri menghadapi kedua orang tuanya tapi nyatanya Zeya masih saja terganggu akan kejadian lima tahun lalu. Zeya kembali menarik napas dalam lalu perlahan melepasnya, beberapa kali hingga membuang resah dalam dirinya hingga akhirnya ia menerima panggilan tersebut..
“Hay, Pi.”
“Hay, sayang. Papi kira kamu udah tidur. Tadinya Papi mau hubungi kamu besok.”
“Belum, Pi. Aku baru sampe juga ini.”
“Malem banget sayang. Kegiatan kamu itu dikurangin lah dikit, Papi dan Mami khawatir kamu kecapean lihat jadwal kamu itu, masa cuman kosong di hari minggu itupun kamu masih ada kegiatan pagi sampe siang. Ini kapan kamu pacarannya coba kalau jadwal kamu sepadat ini?”
“Aku kasih tau semua kegiatanku ke pacarku, kalau dia nggak suka ya udah, putus aja.” Jawab Zeya sekenanya.
“Nggak gitu dong sayang. Kamu kalau kayak gitu egois namanya nggak menghargai perasaan pasangan kamu.”
Rasanya Zeya ingin sekali menutup telepon itu. Mendengar bagaimana cara Zevan Edwin bicara. Menghargai perasaan katanya? Dia pasti bercanda bukan? Ucap Zeya mengolok dalam hati.
“Kenapa? Dia yang masuk ke dalam hidup aku, dan bukannya sebuah hubungan harus saling menghargai dan mengerti? Kalau dirasa dia nggak sanggup ya aku nggak keberatan kalau putus dari pada dia ngerasa kecewa, marah atau mungkin nantinya malah selingkuh lebih baik putus kan? Ya kan Pi?” Zeya tidak menyadari dengan cara bicaranya yang terdengar mencecar itu dan Zevan tidak bersuara selama beberapa saat.
“Hmm, anak Papi sekarang sudah lebih dewasa ya, kamu punya pendirian yang kuat persis Mami kamu. Yang penting Papi dan Mami cuman mengingatkan aja jangan terlalu capek, meskipun semenjak SMA kamu terbiasa dengan kegiatan yang padat tapi tetap harus jaga kesehatan dan istirahat yang cukup.”
“Tentu, Papi nggak perlu khawatir, karena aku nggak akan kecewain Papi dan Mami.”
“Terima kasih, sayang. Tapi Papi dapat kabar dari Om Radit katanya minggu lalu kamu bolos infus immune.”
“Oh, ia aku lupa ngabarin Papi sama Mami, minggu lalu kan ulang tahun Nadine Pi, jadi aku ganti jadwal.”
“Oh, kalau gitu nanti Papi dan Mami belikan hadiah buat Nadine deh. Telat nggak apa-apa ya?”
“Nggak apa-apa Pi. Makasih ya Pi. Lagian Papi kenapa nelpon malam-malam gini? kan besok ketemu, lanjut besok aja ya, Pi. Aku mau istirahat.”
“Sayang, maaf ya. Papi kecewain kamu terus, karena besok Papi nggak bisa penuhi janji dengan kamu. Malam ini Papi masih di Singapure dan negosiasi hari ini belum berhasil jadi Papi harus ngurus beberapa kendala disini.” Zeya tersenyum kecut mendengar Papinya yang lagi-lagi membatalkan janji temu dengannya.
“Oke, aku ngerti kok, Pi.” Tidak ada nada kecewa yang terdengar dari Zeya ia menjawab dengan tegas.
“Maafkan, Papi, ya. Kalau kamu butuh apapun bilang Papi ya sayang. Papi akan belikan apapun yang kamu mau.”
“Aku nggak butuh apa-apa kok, Pi. Makasih ya, Pi, besok aku bisa istirahat full nih karena Papi batalin janji.”
“Hahahah, oke sayang. Salam buat Nadine ya. Sekarang kamu istirahat ya sayang, love you.”
“Oke, Pi. Selamat istirahat.” Zeya menunggu Zevan menutup telepon lebih dulu namun Papinya belum juga mengakhiri panggilan tersebut dan hanya terdengar suara berisik tidak jelas membuat Zeya mengerutkan kening tapi kemudian ia mendengar kembali Zevan berbicara.
“Akhirnya bisa istirahat.” Suara Zevan terdengar jauh dan Zeya berpikir bahwa Papinya lupa untuk mengakhiri panggilan tersebut.
“Halo, Pi?” Zeya mencoba memanggil memastikan tapi tidak ada jawaban, sepertinya memang Zevan tidak menyadari bahwa sambungan telepon mereka belum terputus, Zeya pun memutuskan panggilan tersebut namun geraknya terhenti ketika ia mendengar satu suara disana.
“Udah nelponnya, Mas?” Suara wanita itu berhasil membuat Zeya penasaran karena jelas itu bukanlah suara Maminya-Maria, maka ia kembali menajamkan pendengarannya.
“Udah, sini peluk dong.” Dan ucapan Zevan itu sukses membuat Zeya membeku, Zeya bahkan tidak berani membayangkan apa yang sedang Zevan dan wanita itu lakukan disana dan dengan tangan yang gemetar Zeya memutus sambungan telepon itu lalu ia pandangi dirinya pada cermin di hadapannya, wajahnya pucat pasi dan napasnya tercekat terasa nyeri-sesak sekali, tubuhnya seperti dihantam habis-habisan membuatnya tidak berdaya, Zeya diserang rasa panik seperti dejavu, dan hal pertama yang ia lakukan adalah menekan panggilan cepat pada handphonenya, Zeya menunggu seseorang diseberang sana menerima panggilan teleponnya namun tidak ada jawaban, tidak berhenti disitu, iapun mengirim pesan dan pesan itupun diabaikan membuat Zeya putus asa, hilang arah tidak ada lagi tempat berlindung baginya dan Zeya berdiri dari duduknya, tubuhnya limbung hingga ia berpegangan pada meja riasnya, handphonenya ia genggam kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih namun sakitnya tidak terasa sama sekali ketika rasa bersalah, marah, takut, kecewa terlalu menyelimutinya hingga rasanya ingin meledak, Zeya dengan tubuhnya yang gemetar melangkah gusar dengan keringat dingin mulai menyerangnya, ternyata Tuhan belum selesai menghukumnya, pelariannya selama lima tahun kembali sia-sia, Tuhan seperti sedang menamparnya kembali, menyadarkannya akan dosa-dosa yang terus membayanginya bahkan dalam tidurnya, seolah mengejarnya hingga Zeya merasa lelah dan akhirnya kini ia kembali terperangkap. Zeya menatap handphone di dalam genggamannya itu penuh dengan amarah, kenapa ia harus mendengar semua dosa-dosa itu? Kenapa? Zeya menjerit dalam hati dan benda di tangannya itu terlempar begitu saja memecahkan cermin di meja riasnya hingga hancur berkeping-keping sementara handphonenya tidak terselamatkan.
“Ze!” Teriakan Nadine terdengar bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka, seketika Nadine berlari menghampiri Zeya memeluk tubuhnya yang dingin. “Ze, ze! Disini ada gue Ze. Zeya….” Nadine terus memeluk Zeya dengan erat sembari menuntunnya duduk di tepi ranjang menjauh dari pecahan cermin di lantai kamarnya, Zeya hanya terdiam dengan tatapan kosong sedangkan Nadine dengan panik membuka laci nakas di samping ranjang dan menemukan sebotol obat disana yang segera ia ambil.
——
Ben baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk ketika melihat handphonenya yang berada di atas nakas menyala dengan nada dering tanda panggilan masuk, ia pun menaruh handuknya pada keranjang di samping pintu kamar mandi dan mendekat ke arah nakas, disana ia mendapati layar handphone nya menampilkan nama Naya Basyila membuat Ben duduk di tepi ranjangnya sambil mendengus kesal mengingat wanita itu menghubunginya ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“I thought I told you not to hit me up at night?” Ben menjawab panggilan itu dengan tidak ramah.
“Beb, kita kan seharian nggak ketemu, kamu juga nggak telepon atau balas chat aku, kamu nggak kangen?” Ben mendelik ketika mendengar suara merajuk itu.
“Aku capek, aku harus istirahat sekarang dan sekali lagi aku ingatkan jangan pernah hubungi aku di malam hari, atau-..”
“Oke-oke! Aku minta maaf, aku bakal nurutin semua mau kamu tapi ja-..”
“You just broke that.” Ben kembali memotong ucapan Naya membuat gadis itu terdengar geragapan. “I’m hanging up now.” Dan Ben memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu balasan Naya. Merepotkan sekali. Pikir Ben tapi bagaimanapun ia dan Naya sudah membuat sebuah kesepakatan sejak tiga bulan lalu sebagai sepasang kekasih, dengan begitu Ben tidak perlu repot-repot untuk mengusir wanita lain yang mencoba mendekatinya karena disampingnya sudah ada Naya si gadis paling populer di kampus dan Naya tentu saja mendapatkan apa yang sudah menjadi obsesinya terhadap Benjamin Hardijaya seorang anak konglomerat sejak mereka duduk di bangku SMP.
Ben baru saja akan membaringkan tubuhnya diatas ranjang dan handphonenya kembali berdenting-beberapa kali tanda pesan masuk, namun kali ini Ben langsung membuka pesan dengan nama pengirim Farhan itu karena ia membuat nada dering khusus untuk kontak tersebut. Ben menerima lima foto lengkap dengan informasi geotagging di masing-masing fotonya dimana semua potretnya menampilkan seorang perempuan sedang melakukan aktifitas kesehariannya, mulai dari berangkat kuliah, pulang kuliah, mengikuti pelatihan di sebuah studio mode, workout di sebuah fitness center dan pulang ke apartemen di temani oleh seorang laki-laki yang sudah beberapa bulan ini selalu tertangkap bersama dengan perempuan itu namun Ben terhenti di foto terakhir, ia menatap lekat layar handphonenya dimana si laki-laki mencoba memberikan ciuman kepada perempuan itu di depan pintu apartemen.
“Bangsat!” Umpat Ben dan segera ia menekan tombol panggilan lalu mengangkat handphone ke telinganya, tidak lama menunggu panggilan tersebut terhubung.
“Jelasin foto terakhir lo.” Cecar Ben saat panggilan telepon terhubung.
“Aman, Bang. Sama kayak sebelumnya. Mereka nggak berhasil melakukan apapun, maksudnya ciuman itu-dia akhirnya mundur.” Jawab Farhan menjelaskan dengan tenang.
“Apapun?” Ben tampak geram. “Gue bahkan nggak terima dia disentuh sedikitpun dan lo bilang si bangsat itu nggak melakukan apapun?!” Suara Ben mendesis tajam penuh penekanan.
“Oke, sorry. Gue nggak mungkin melakukan tindakan gegabah saat itu. Jadi, apa perintahnya?” Tanya Farhan kembali masih tetap tenang menghadapi Ben yang rasanya ingin meledak.
“Anjing!” Ben berdiri dan melampiaskan marahnya dengan menendang nakas di samping ranjang. Ben bisa saja meminta Farhan untuk menyeret laki-laki brengsek itu dan menghajarnya habis-habisan karena saat ini itulah yang ingin dilakukannya namun ia harus tetap bersih mengingat nama besar di belakangnya, maka ia mencoba menahan diri. Ben berjalan mondar-mandir dengan gelisah sambil berpikir apa yang akan dia lakukan terhadap laki-laki itu.
“Gue minta semua informasinya, pantau dia, dan gue minta report nya setiap hari.”
“Alright, I’m on it.”
Ben mengakhiri sambungan telepon sembari duduk di tepian ranjang dan ia kembali memperhatikan foto pada handphonenya dimana seorang perempuan dan laki-laki yang akan berciuman, dan ya, tentu saja mereka adalah Zeya dan Dion yang menurut informasi laki-laki itu adalah kakak tingkat Zeya, Ben bisa mengartikan hubungan keduanya kini sebagai sepasang kekasih karena sebelumnya Ben masih menilai bahwa Dion mungkin sedang melakukan pendekatan dengan Zeya. Selama dua tahun terakhir gadis itu terlihat memulai sebuah hubungan dekat dengan beberapa laki-laki, seharusnya wajar saja di usia mereka untuk menjalani sebuah hubungan, tapi Ben tidak mempercayai Zeya, Ben ingin Zeya tidak berhubungan dengan laki-laki yang mendekatinya, ia terlalu khawatir namun sikapnya itu malah membuat hubungan keduanya memburuk, Zeya mulai mendebat Ben hingga akhirnya Ben sama sekali tidak pernah menghubungi Zeya, malam itu isi kepala Ben terasa sangat berisik dan mengganggunya dengan rasa marah yang menyelubungi namun handphone dalam genggamannya itu kembali berdering tanda panggilan masuk dengan nada khusus yang membuat Ben langsung mengenali si penelpon-Zeya Maria Edwin, Ben terdiam mengabaikan dua panggilan diikuti sebuah pesan masuk.
Zeya Maria Edwin
Ben, may I call you? I need you.
Ben tertawa sinis, lihat? Bagaimana wanita picik itu menghubunginya dan berkata bahwa ia membutuhkan Ben sedangkan ia baru saja bertemu dengan kekasih barunya, bukankah ia terlalu serakah? Namun tak lama Ben mendapatkan satu pesan baru.
Zeya Maria Edwin
Ben, I know you’re there. Apa kamu nggak ngerasa sikap kamu terlalu kekanakan? Dua tahun kamu mengabaikan aku. You’re making our friendship look like a joke. Ben, Fr, I need you.”
Ben meringis sembari menyugar rambut dengan jemarinya, pertahanan dirinya selalu saja melemah jika menghadapi seorang Zeya namun ia akan selalu mendahulukan amarah dibanding akal sehatnya dan seperti yang sudah-sudah Ben menekan tombol handphonenya hingga layarnya mati dan menaruh benda itu di atas nakas, Benpun merebahkan diri di atas tempat tidurnya menatap langit-langit kamar dengan sinar lampu kamar yang redup lalu ia memejamkan matanya menggumamkan mantra yang setiap malam ia ucapkan sebelum tidur seperti sebuah doa.
“You left me first, you have to pay the price.”
——-
Ada pesan buat Ben? Si tukang aambekan?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
