
Hidup dan kehidupan, sebuah misteri besar yang tidak akan pernah bisa dipecahkan….
Perjalanan kehidupan terkadang menyisakan sebuah cerita tersendiri. Senang, sedih, nestapa dan bahagia, akan selalu membawa sebuah pelajaran berharga baik bagi yang mengalami atau sebagian orang yang menge- tahuinya…
Inilah ceritaku, sebuah cerita tentang kebodohan dan kecerobohan. Cukup aku saja yang mengalami, jadikan saja cerita ini sebagai pengingat bahwa jalan takdir itu benar-benar ADA….
Chapter I
Perjalanan
Anak gue nangis bro...”
“Minta di beliin jajan...”
“Orang tua mana yang tega liat anaknya nangis, mungkin kalau sehari dua hari kita masih bisa nahan. Tapi ketika tangisan itu semakin sering dan semakin menjadi, laki-laki manapun pasti bakal gak tega”
“Gue udah lama keluar dari dunia hitam, dan waktu itu kerja sebagai kuli bangunan. ”
“Sebenernya Gue udah gak mau balik lagi bersahabat dengan barang haram, cuma gue gak tau dimana dan gimana cara cari uang yang cepet. Akhirnya gue putusin buat balik lagi ke dunia hitam, apapun resikonya, dan sesuai dugaan, gue kembali ketangkep.”
“Bini gue marah besar.
Iya. gue tau gue salah, dan alasan apapun gak ada yang bisa menjadi pembenaran.
Tapi setidaknya gue berjuang buat keluarga, walaupun cara gue salah”
“Bro... gue tau lo orang baik, dan nggak seharusnya lo ada di tempat ini.
Gue cuma minta tolong satu hal, tolong selepas lo dari tempat ini, cari Rena, seberapapun rejeki yang lo punya tolong kasih ke dia sambil sebut nama gue. Cuma itu satu-satunya cara dan harapan biar anak gue tetep inget sama Bapaknya.”
“Tolong Bro. Lo udah gue anggep sodara sendiri disini”
Sejenak aku memandang nanar dari sosok sangar yang ada dihadapanku saat ini.
Dia adalah Bang Keling, salah satu orang yang disegani di tempat ini. Mungkin jika bukan karena dia yang menjagaku, bisa jadi aku sudah gepeng jadi bubur di tempat ini. Ironis rasanya mendengar ceritanya di malam ini, sosok dengan perawakan yang mungkin jika hanya dengan melihat orang akan segan, ternyata merupakan sosok yang sangat sayang terhadap keluarganya, walaupun dia menunjukkan rasa sayang dengan cara yang salah.
“Iya Bang, gue janji selepas dari sini, gue cari Rena...” jawabku singkat mengakhiri pembicaraan emosional malam itu.
*****
“Gak boleh kurang lagi mas?”
tanya sesosok orang muda di hadapanku saat ini. Kutaksir umurnya tidak jauh berbeda dariku.
“Wah...maaf mas, udah mentok segitu, udah termasuk murah juga, pasarannya sekarang jauh di atas itu. Lagian ini kan tahun muda, mesin juga gak ada kendala. Tadi udah ngerasain sendiri kan gimana tarikannya? Hehehhe....” jawabku mencoba meyakinkan orang ini.
“Iya sih mas, siapa tau boleh kurang lagi. Yaudah kalau gitu, mau cash atau saya transfer aja?” sambil mengeluarkan gadget dari saku dan membuka aplikasi mobile banking ia menjawab.
“Transfer aja mas, ngeri bawa cash banyak-banyak sekarang” ucapku bersemangat.
Walaupun jujur, ada sedikit rasa berat untuk melepas kuda besi yang aku beli dengan keringat sendiri dan sudah menemani hari-hariku selama beberapa tahun terakhir ini.
“Udah ya mas” seraya menunjukkan tulisan
“TRANSAKSI BERHASIL, DANA SUDAH DIKIRIMKAN KE REKENING XXXXX”
“Selamat tinggal motorku sayang, baik-baik sama majikan baru, terima kasih sudah menemani selama ini” batinku sambil melihat motor kesayangan menjauh dibawa sang pemilik baru.
Sambil berjalan ke arah kontrakan, sejenak aku merenung tentang naik turun kehidupan beberapa tahun terakhir ini. Rasanya jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang mampu menghalangi ketetapan-Nya. Banyak orang bisa mendadak kaya, tapi tidak sedikit juga yang bisa kehilangan banyak hal dalam waktu sekejap. Apa yang kurang dari hidupku saat ini? Kehilangan cinta, karir, harta, dan mungkin masa depan hanya dalam waktu sekejap. Naif mungkin, tapi aku sadar, sekalipun banyak yang hilang dari hidupku, masih ada dua hal yang aku miliki. Aku masih punya MIMPI dan HARAPAN.
Aku sadar dengan statusku saat ini sebagai mantan tahanan, pasti akan sulit untuk mencari pekerjaan seperti sebelumnya. Dari sisa uang hasil menjual motor, aku harus bisa berhemat sampai aku menemukan pekerjaan untuk menyambung hidup. Dimana teman-temanku yang dulu biasa bareng ya ? Kok rasanya aneh, begitu mereka tau aku jatuh, mereka semua hilang satu per satu. Ahhhh. mungkin mereka itu bukan teman, hanya sebatas partner bersuka ria, karena bagiku, teman itu akan selalu ada dalam kondisi apapun. Dan terkadang teman terbaik tidak pernah mau menampakkan muka saat kita bahagia, tapi justru mereka datang saat kita sedang terpuruk.
“Lumayan.... sembilan juta tiga ratus. ” gumamku.
Aku harus segera mencari Rena dan memberikan kepadanya sebagian rejeki ini.
Biar gimanapun, Bang Keling udah banyak membantuku menghindar dari bogem mentah di dalam sana, tempat dimana aku bisa makan gratis tapi tidak bisa hidup tenang dan tidur nyenyak. Jangan sampai aku kembali ke tempat terkutuk itu, jangan sampai.
“Alhamdulillah broooooo. akhirnya lo keluar juga !!” seru Jamil,
temanku nongkrong di sekitar kontrakan petak yang aku tinggali. Aku baru bertemu lagi dengannya setelah satu minggu keluar dari penjara.
“Iya bro, untungnya gak kelamaan disana, walaupun makan gratis tapi tetep aja enakan disini” jawabku sambil menyambut pelukannya.
“Trus rencana lo sekarang gimana? Lo pasti gak gawe di tempat kemaren lagi kan habis ini” ucapnya.
“Entahlah, belom kepikiran juga mau ngapain” jawabku singkat
“Lo ikut gue kerja mau gak?”
“Yahhh... emang bukan kerja kantoran sih, tapi lumayan lah kalau buat makan sehari-hari”
“Seriusan lo? Yakin ada yang mau nerima orang yang pernah dikandangin?”
“Kerja apaan emang?” dengan pesimis aku menjawab, tapi tetap sambil menyiratkan sebuah harapan.
“Yaelah broo... ada lah, ikut gue jadi kuli, kebetulan ditempat gue masih kurang orang. Lumayan sehari 75 ribu, dapet rokok sama makan siang”
“Kalau lo bagus, nanti bisa jadi tukang, bayarannya beda lagi, cepek kalau tukang”
“Gimana?” jelasnya singkat.
“Wahh... boleh tuh.. dimana?”
“Kapan bisa mulai kerja?”ujarku mulai antusias.
“Kalau lo mau, besok udah bisa mulai. Jam 7 gue jemput disini.”
“Yaudah gue cabut dulu,mau ada urusan bentar di Pulogadung”
“Besok jangan lupa jam 7, bawa baju bersih sama baju buat kotor- kotoran” ucap Jamil sambil menyalakan motor matic-nya dan berlalu meninggalkanku.
Hmm..... Buruh pabrik, di tarik ke office, pindah jadi supervisor di restoran, dan sekarang berakhir jadi kuli bangunan. Tapi setidaknya aku bersyukur, tidak perlu menunggu lama untuk mendapat rejeki yang halal lagi, walaupun duniaku yang sekarang jauh sekali dari kemewahan dan glamornya kehidupanku di masa lalu. Biarlah ini jadi jalanku, sebuah tamparan untuk menjadikan diri ini lebih baik lagi.
Keesokan harinya aku memulai profesi baru sebagai kuli bangunan, tugasku disini sebagai awalan hanya membantu mengangkat dan memindah bahan material, serta menyiapkan adukan semen. Sebuah rumah yang pastinya akan menjadi sangat megah ketika jadi nanti, dengan durasi penyelesaian pekerjaan kutaksir sekitar tiga bulan kedepan. Pekerjaan yang menuntut fisik prima, melelahkan, tetapi entah mengapa justru aku merasakan kedekatan tanpa kepalsuan disini. Mungkin karena kami sesama orang susah, tidak ada yang perlu dipamerkan, tidak ada yang bisa dibanggakan, semua sama, semua lelah, tetapi kami masih bisa tertawa bersama diantara adukan semen dan debu-debu yang masuk ke mata. Makan siang bersama dengan sayur dan lauk seadanya terasa sangat nikmat, rasanya aku belum pernah makan seenak ini sebelumnya. Bahkan jika aku ingat dulu, sering aku merasa bosan dengan menu makanan yang begitu begitu saja, tapi kini sayur asem dengan sepotong tempe goreng merupakan sebuah perpaduan yang sempurna untuk mengisi tenaga ditengah teriknya siang.
Disini hari terasa begitu cepat, mungkin karena pekerjaan ini benar-benar menyita konsentrasi dan tenagaku, sehingga tanpa terasa tiba-tiba hari sudah sore. Di malam hari pun aku biasanya langsung terlelap tidur setelah makan, aku sangat menikmati pekerjaan ini nampaknya. Tidak ada waktu sama sekali untukku memikirkan masalah-masalah yang sempat hadir beberapa waktu lalu. Mungkin pekerjaan ini menjadi sebuah pelampiasan yang tepat. Tapi sampai kapan aku harus seperti ini? Apakah mungkin aku bisa kembali menjalani kehidupan seperti dulu lagi? Ahh... setidaknya aku tidak pusing memikirkan kemewahan. Aku bersyukur bisa makan dan tidur nyenyak setiap hari.
****
Enam bulan berlalu begitu saja tanpa terasa, kehidupan sebagai kuli benar-benar mengalihkan pikiranku. Suatu sore aku menerima telepon dari sahabat baikku saat dulu masih bekerjadi PT, dia yang mengajak untuk mengadu nasib di tempat yang sama sekali belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah pulau yang masih belum padat penduduk, tapi mungkin ada harapan untuk merubah nasib disana.
Borneo. harii ni aku menuju kesana.
Semalam suntuk aku tidak tidur, selain memikirkan keberangkatanku hari ini, aku juga mengadakan perpisahan kecil- kecilan bersama rekan-rekan sesama kuli bangunan. Perpisahan sekaligus ajang “bagi warisan”. Ya.... aku pergi merantau hanya berbekal beberapa potong baju, sedangkan sisa barang yang aku miliki semuanya aku bagikan ke rekan dan tetangga. Memang tidak banyak, hanya sebuah kasur lantai, galon air dan beberapa peralatan makan. Menikmati kebersamaan terakhir dengan kopi, kepulan asap rokok dan sekarung cerita tentang harapan. Lagi- lagi aku bisa merasakan indahnya kebersamaan yang tidak aku temukan sebelumnya. Dulu ketika aku masih berjaya, aku juga sering menghabiskan waktu bersama rekan-rekan, entah karaoke, nobar di kafe, atau berkelana mencari kuliner hingga keluar kota. Tapi tetap saja, sekalipun dulu kami bersama, tapi kami seperti pergi sendiri-sendiri, tidak banyak canda tawa yang bisa terlontar, karena masing-masing sibuk dengan gadget di tangannya. Pertemanan diukur dari sebatas materi, atau sejauh mana manfaat yang bisa diberikan satu sama lain, setelah itu. hanya nol besar. Aku akhiri obrolan di malam panjang itu dengan mengemas barang-barang yang nantinya akan aku bawa merantau. Tidak banyak, hanya sebuah tas berisi pakaian dan dokumen-dokumen yang mungkin nanti akan berguna. Pagi ini aku diantar oleh Jamil, orang yang sama yang mengajakku bekerja sebagai kuli dulu.
“Ati-ati di jalan ya bro, semoga sukses di tanah orang”
ucap Jamil yang mengantarkanku ke Terminal Bus Bandara di Kayuringin.
“Makasi yak udah di anter Mil, doain nasib gue bisa berubah disana” jawabku seraya memeluk teman seperjuangan.
Waktu di ponselku menunjukkan pukul 04.00, sedangkan penerbangan sekitar jam 7 nanti, lumayan bisa buat tidur sejenak di jalan pikirku. Jalanan terasa begitu lengang di pagi ini, masih dengan udaranya yang pengap khas kota metropolitan, terbantu dengan sejuknya pendingin di dalam bus ini, aku mencoba terpejam. Baru sejenak terlelap, aku dibangunkan dan diberitahu bahwa bus sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Setibanya disana, dengan percaya diri dan sedikit petantang petenteng aku berjalan menuju Terminal Keberangkatan.
“Pak... pak.... Maaf, mau kemana?” tanya seorang petugas kepadaku yang nyelonong begitu saja.
“Mau kesitu pak” jawabku sambil menunjuk ke arah dalam
“Ini tiket saya” imbuhku
“Waaahhh..... penerbangan ini bukan disini mas”
“Terus dimana Pak?”
“disana Mas, disini terminal internasional, sedangkan penerbangan mas lokal, disana terminalnya” jawabnya seraya menunjuk ke arah atas
DEG....
Kalau dekat, dia harusnya nunjuk lurus, kalau posisi tangannya begitu......
“ASSUUUUUUUUU....” Teriakku sambil berlari menuju terminal yang seharusnya.
Ternyata keputusanku untuk tidur di bis tadi merupakan kesalahan besar, karena aku turun terlalu jauh dari terminal keberangkatan yang seharusnya. Dan sekarang aku harus olahraga pagi di bandara karena terminal yang aku tuju jaraknya lumayan jauh dari tempatku saat ini. Takut ketinggalan pesawat, hanya itu yang ada di pikiran saat itu.
Setelah lumayan berkeringat akibat berolahraga pagi menuju terminal keberangkatan, aku yang sama sekali belum pernah naik pesawat lagi-lagi masuk begitu saja, tapi kali ini tidak asal nyelonong seperti sebelumnya. Dan sebuah kebodohan terjadi saat aku melewati alat pemeriksaan, tiba-tiba alat itu berteriak menandakan ada yang salah saat aku melewatinya. Muka petugas pun berubah, apalagi dengan potongan muka kuli ini, mungkin mereka mengira aku tergabung dalam sindikat kejahatan tertentu.
Akupun di geledah, ponsel dan korek api yang menjadi biang kerok di alat pendeteksi tadi. Bajuku di angkat dan badanku di geledah seperti penjahat di film-film, hanya yang membedakan, jika di film para penjahat memakai gesper keren, sedangkan aku hanya menggunakan tali rafia sebagai ikat pinggang. Celana jeans yang aku pakai adalah celana yang sama yang aku gunakan saat bekerja menjadi kuli, otomatis kancing dan resleting pun sudah rusak, itu kenapa aku menggukanan tali rafia sebagai ikat pinggang, agar resleting bisa aku kaitkan dengan sempurna, sehingga benda pusaka ini tidak melongok keluar jendela.
Selesai dari tragedi alat pendeteksi, aku masuk ke ruang tunggu dengan rasa malu. Beberapa pasang mata sesekali memandangiku sambil mengulum senyum.
“Aaaakkkhhh...masih pagi udah kena apes aja” batinku.
Kulihat jam masih menunjukkan pukul enam, masih ada waktu satu jam sebelum keberangkatan. Tiba-tibaaku merasa lapar, wajar, karena dari semalam hanya kopi dan asap rokok yang masuk ke tubuh ini. Kemudian aku putuskan untuk makan di salah satu kedai soto di ruang tunggu.
“Soto sama teh manis anget satu bu” ucapku memesan makanan.
Kunikmati sarapanku pagi itu, ditemani dengan segelas teh manis panas, padahal aku memesan teh hangat, entah kenapa air mendidih ini yang ia suguhkan.
Aku menikmati suap demi suap makanan sambil mengamati orang yang lalu lalang disini, sambil menerka apakah satu diantara mereka ada yang senasib denganku. Apakah ada diantara mereka yang sedang mencoba peruntungan ditempat baru pikirku. Baru setengah porsiaku lahap soto ini, dan minuman pun belum seperempat gelas aku teguk, tiba-tiba aku dengan suara seorang wanita lewat pengerassuara
“Penumpang pesawat Walet Air dengan tujuan akhir Balikpapan diharap segera masuk ke pesawat.”
suara wanita tersebut memanggil para calon penumpang.
Sontak aku yang notabene belum pernah bepergian menggunakan pesawat langsung panik, soto yang masih tersisa setengah aku tinggalkan begitu saja dan berdiri menuju kasir.
“Berapa Bu?” tanyaku pada petugas kasir
“Total sembilan puluh delapan ribu mas” jawabnya
“Haaaaaaaaaa…… “ aku melongo mendengar harga yang harus aku bayar.
Gila…….di Bekasi, harga segitu bisa untuk makan empat bahkan lima hari. Awalnya aku pikir paling mentok lima puluh ribu untuk sekali makan disini. Dengan berat hati kubayar makanan itu sambil menghitung sisa uang di dompet.
“sisa lima puluh dua ribu”
“sableng.... ini gue ke kalimantan, masa iya cuma bawa segini” gumamku sambil berjalan memasuki pesawat.
Sesampainya di dalam pesawat, tidak banyak yang bisa aku lakukan, sebisa mungkin aku berusaha tidur walaupun perut ini rasanya seperti di kocok dan di aduk seperti adonan semen. Ditengah perjalanan sekilas pikiranku kembali ke masa-masa yang sudah lalu, memikirkan tentang sesuatu yang biasa orang sebut sebagai takdir. Takdir merupakan sebuah misteri terbesar bagi seorang anak manusia. Ya..... tidak ada yang tau apa yang akan terjadi esok, dan takdir apa yang akan menimpa diri. Serasa baru beberapa menit, tetapi banyak sekali kejadian yang terjadi dan memberi perubahan besar dalam diri dan kehidupanku. Masih jelas hari-hari ketika aku di uji dengan kesuksesan dunia, keluarga kecil yang bahagia, dengan sebuah bangunan mungil tempat aku melepas penat setiap malam. Sekarang aku benar-benar sadar, tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak. Sekuat apapun, sesehat apapun, sekaya apapun, akan dengan mudah sirna dalam sekejap dengan izin-Nya.
Merantau.... mungkin itu memang jalan yang telah digariskan untukku. Aku yakin, disetiap tempat pasti ada jalan rezeki untukku, ada peluang dan harapan baru bagi kehidupanku yang mungkin sedang berada di titik nadir. Tanah yang tidak terbayangkan sama sekali olehku. Semoga semua bisa jadi lebih baik disana. Aku adalah sosok yang selalu percaya pada takdir, aku percaya bahwa semua kejadian yang aku alami selama ini memang sudah digariskan dan sudah seharusnya. Ini saatnya aku melupakan semua yang telah berlalu. Dengan senyum simpul aku mengakhiri lamunanku, mencoba sejenak memejamkan mata untuk mengobati pening dan mual yang aku rasakan.
“ndeso... ” gumamku pada diri sendiri
Dua jam tiga puluh menit aku berada dalam kapsul terbang ini, sebuah moda transportasi yang sangat asing bagiku. Ironisnya justru aku bisa mencicipi kapsul terbang ini setelah semuanya hilang, setelah kehidupan ini di reset oleh Sang Pemilik Kehidupan.
“Hoeeeeeeeekkkkkkkkkkk.... ”
“Sembilan puluh delapan ribuku....”
batinku sambil melihat makanan “mahal” yang tadi tidak habis aku makan, kini harus berakhir di kantong kertas ini. Akhirnya aku kalah juga, aku muntah saat pesawat hendak turun. Malu? Jelas. Apalagi di sampingku duduk seorang wanita cantik.
****
“TANAAAHHH!!!”
Aku berteriak kegirangan saat menjejakkan kaki pertama kali setelah turun dari kapsul terbang yang sukses mempermalukan baik sebelum, saat di dalam maupun setelah turun. Itulah luapan kegembiraan ketika menjejakkan kaki ini untuk pertama kali di bandar udara Sepinggan, Balikpapan, yang saat ini sudah berganti nama menjadi bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan. Ini adalah pengalaman pertama bagiku menggunakan maskapai udara. Tubuh ini masih saja bergetar hebat juga lemas sampai tak sanggup berdiri. Pemandangan itu tak ayal mengundang perhatian penumpang lainnya yang juga berangkat bersama dari Jakarta.
Malu? Persetan dengan itu. Sensasi kala berada di pesawat tadi masih tersisa, dan yang jadi perhatianku adalah para pramugari yang masih berada di dekat pintu pesawat sambil tertawa geli melihatku. Dengan bodohnya aku membalasnya dengan cengir kuda.
“Bodo amat. Toh gue gak bakal ketemu mereka dalam waktu deket ini. Hehe...” gumamku.
Aku buru-buru mengikuti rombongan terakhir penumpang menuju pintu keluar. Khawatir tersesat seperti di Bandara Soekarno Hatta sebelumnya. Maklum...Wong cilik.
Brrr... Brrr...
“Bro. Gue nyampe sono jam 2. Tunggu aja di warung sekitaran parkiran. Jangan kemakan rayuan supir travel ya. Tungguin aja!!”
Sebuah pesan singkat langsung masuk di ponsel ku begitu di aktifkan. Pesan singkat dari Rian, teman lama saat di Jakarta dulu. Dia yang mengajakku merantau ketempat ini, sekaligus menjemput di bandara.
“IYEEEEE...”
Aku sedikit kesal saat membalas pesannya, bagaimana tidak? Jam tangan masih menunjukkan pukul 12.30 yang artinya aku harus menunggu kurang lebih satu setengah jam. Mau tidak mau aku lebih baik mengikuti kata-katanya. Tapi setidaknya aku tenang karena Rian sudah konfirmasi akan menjemput.
“Lumayan, duit sisa yang tadi bisa buat makan” aku mengucap dalam batin sambil mataku menyisir sekitar area parkir mencari warung yang Rian katakan, sampai akhirnya aku menemukan......
Warung?
“Ini mah pedagang kaki lima.” Gumamku
Warung yang dikatakan Rian ternyata hanya sekedar seorang ibu- ibu paruh baya yang menjajakan dagangan di bangku tunggu parkiran. Sebuah tempat yang mungkin juga belum layak dikatakan sebagai warung, hanya sebuah bangku kecil dan sekotak peralatan tempur, ditambah sebuah payung besar dengan merk minuman kemasan untuk bernaung dari teriknya matahari.
“Kapal titanic nya satu, bude” ucapku seraya menyalakan sebatang rokok pelipur rasa asam di mulut.
“Ah si mas bisa aja becandanya, bentar ya” balas bude PKL.
Selagi aku menunggu bude membuatkan secangkir kopi, ada seorang bapak tua yang terlihat ramah meminta izin duduk di samping ku.
“Permisi mas, saya numpang duduk di sini.”
“Monggo Pak, bukan punya saya juga bangkunya. Hehe...” balasku sedikit bergurau.
“Mau kemana mas?” tanya bapak itu basa basi. Sekejap aku teringat pesan Rian, mungkin saja dia seorang supir travel.
“Mau ke Bontang, pak” jawabku seadanya ditambah seutas senyum palsu.
“Orang baru ya?” lanjutnya lagi bak wartawan mencari berita.
“Nggih Pak, ini pertama kalinya saya ke Kalimantan”
Entah kenapa dengan polos aku menjawab semua pertanyaannya.
“Ada keluarga di sini?”
“Ada pak. Ini saya lagi nunggu di JEMPUT!” Saking kesalnya, aku agak menekankata terakhir agar dia berhenti bertanya.
“Kuat ya keluarga mas, bolak balik Bontang. Perjalanannya jauh lho, bisa enam, paling lama delapan jam sekali jalan. Bolak balik berarti dua belas jam lebih”
Bapak ini memang berhenti bertanya, tapi tidak berhenti bicara. Hanya saja senyuman kecil di wajahnya itu seperti menyiratkan sesuatu.
“Ini Kalimantan mas.... Kalau masih baru... Biasanya banyak yang ngajak kenalan.”
“Seriusan nih orang? Enak dong kalau banyak yang ngajakin kenalan, apalagi cewek. Pantes aja Rian betah di mari” pikirku.
“Saran saya mas... Diemin aja ya, daripada nanti kecantol. Hehe...” lanjutnya dengan tawa yang cukup menakutkan.
Entah kenapa, pandanganku tentang apa yang beliau sampaikan berubah begitu saja. Aku hanya mengangguk, mengiyakan kata-katanya. Delapan jam memang waktu yang lama, bisa dipastikan ini akan menjadi perjalanan terjauh seumur hidupku. Setelah Jakarta-Balikpapan, akan segera dilanjut Balikpapan-Bontang. Tapi apa hubungannya sebuah perkenalan dan sikap acuh? Bukan seperti diriku saja. Lalu kenapa aku memikirkan kata-katanya itu? Perlahan kekhawatiranku hilang ditelan obrolan santai dengan bapak tadi, bude, juga pengunjung lainnya. Sampai pesan lainnya dari Rian masuk dan memberitahu bahwa dia ada di depan bandara. Mengingat perjalanan akan memakan waktu lama, aku berpikir untuk membeli sesuatu untuk bekal di jalan nanti, setidaknya bisa untuk mengganjal perut aku dan Rian jika lapar nanti.
“Gak ada cemilan kah, bude?”
“Adanya itu aja, mas.”
****
“SERIUS LU!!! NAEK MOTOR UDZUR GITU!!!???”
Aku terkejut mendapati Rian yang sedang duduk di atas sebuah Astrea Grand tahun 90an. Untuk sebuah perjalanan jauh, dia memilih kendaraan itu sebagai tunggangan?
“Yee... Jangan ngeremehin si mbah, Kalo dia ngambek, kita juga yang susah.” ucap Rian agak jengkel dengan pernyataan yang baru saja aku ucapkan.
“Cepet amat lu. Baru jam berapa ini...” ucapku seraya melihat jam tangan.
Sebelumnya Rian mengatakan baru tiba pukul dua siang. Sedangkan sekarang jam menunjukkan pukul satu. Terakhir kali aku melihat jam masih pukul setengah satu. Mana mungkin Rian berkendara lebih cepat satu jam?
“Kagak usah bingung gitu kaliii... Atur dulu jam lu, WIB beda sejam sama WITA. Gitu aja kagak ngarti”
jelas Rian seraya mengendurkan otot-ototnya yang kaku akibat perjalanan jauh.
Bisa-bisanya aku tidak menyadari jika sudah melewati zona waktu yang berbeda.
“Bro... Katanya perjalanan bakalan 6 ampe 8 jam yee?”tanyaku agak penasaran.
“Ho oh... Gue berangkat jam 6 dari Bontang, istirahat 2 kali di jalan. Yang bikin lama tuh gara-gara musti balapan ama mobil travel” jelasnya datar. Tampak sekali dia kelelahan.
“Jalan yuk... Nanti kemaleman. Kalo ngebut, kita bisa sampe Samarinda sekitar jam lima” ucap Rian seraya menaikkan salah satu tas ke bagian depan tempat duduknya.
“Sejauh apa sih?” pikirku.
Sudah tiga jam lebih Rian memaksa motor tuanya melintasi hutan, belum lagi naik turun jalan berbukit. Baru satu kali dia berhenti untuk mengisi bahan bakar kendaraan dan membakar sebatang rokok. Satu hal yang mengganggu pikiran sedari tadi adalah kondisi jalan ini yang sangat sepi. Hanya satu dua kendaraan yang kami lewati atau melewati kami. Di beberapa rest area yang jaraknya cukup berjauhan, kendaraan terlihat ramai beristirahat dari perjalanan melelahkan ini. Hal itu sempat aku tanyakan pada Rian di tengah nostalgia kami selama di Jakarta dulu. Rian memilih waktu dimana mobil-mobil travel, bis antar kota, atau truk perusahaan jarang melintas. Akan sangat berbahaya jika kami harus berhadapan dengan mereka.
“Jam6 sama jam 12 mereka mulai jalan. Di luar jam itu jalan lebih aman” jelas Rian.
Memang benar yang dikatakan Rian,
saat ada satu truk yang berlawanan arah dengan kami saja, jantung hampir copot mengetahui kecepatan lajunya, mungkin sang supir merasa jalan sempit ini bagai jalan tol.
“Bro... Bro... Kalo kita masuk jurang nih, ada yang bakal nolongin kagak?” Spontan pertanyaan itu keluar dari mulutku.
“Kagak usah mikir yang aneh-aneh deh. Berdoa aja biar kita selamet” jawab Rian sambil menarik gasnya dalam-dalam. Harus di akui, motor ini cukup laju untuk ukuran motor tua. Bahkan dengan beban yang lebih berat karena adanya aku dan barang bawaan.
Walaupun mungkin kita sama-sama mengerti, secepat apapun motor tua ini, kecepatannya ya segitu-segitu aja.
Langit mulai gelap. Perantauan ini harus menjadi babak baru dalam hidupku. Tapi tunggu...
Aneh rasanya teringat itu sekarang. Kenapa tidak sejak awal aku tiba di bandara tadi? Mungkin saja hidayah baru tiba sekarang karena pesawatnya terkena delay.
“Bro... Udah maghrib nih. Shalat dulu yuk sekalian istirahat. Pinggang gue pegel nih” pintaku sambil menunjuk sebuah mushala yang berjarak 100 meter didepan. Rian menyetujui, lalu memarkirkan motornya di depan mushala. Tapi entah kenapa dia seperti orang kebingungan.
“Kayaknya di Samarinda kita musti ke bengkel deh. Cop lampu gue longgar Ndra” ujar Rian sambil memukul-mukul batok motornya.
“Emang masih jauh ya?” tanyaku sambil melepas sepatu.
“Udah deket sih seharusnya. Ya paling lambat sejam lah.” Rian menyandarkan tubuhnya di dinding kayu mushala. Aku tahu dia pasti kelelahan, tapi dia bersikeras tidak mengizinkan aku membawa si mbah karena belum mengetahui kondisi jalan di sini.
“Abis sholat gue aja ya yang bawa” pintaku sekali lagi
“Emang lu tau daerah sini monyong? Siang aja gue masi mikir- mikir, apalagi ini malem”
“Jalanan disini banyak yang rusak, lubang dimana-mana”
“Gue masih sayang nyawa, gue masih pengen kawin dan punya anak” jawab Rian sambil bersungut-sungut
Suasana mushala cukup sepi. Seharusnya di jam-jam shalat seperti ini ramai, setidaknya ada penjaga, penerangan juga terlalu minim. Pun biasanya di daerah asalku, entah di jawa maupun di Bekasi, biasanya mushala persinggahan seperti ini pasti ada warung di dekatnya. Sempat terbersit siapa yang begitu baik membangun mushola di tengah hutan ini, dan darimana mereka dapat listrik untuk penerangan. Rasa takut mulai menggerayangi, tapi tetap aku paksa melawan rasa takut. Setelah mengambil wudhu, kami memasuki mushala dan...
SYUUURRR
Suara keran air terbuka dari tempat wudhu mengagetkan kami.
“Si... Siapa Yan? Kan gak ada orang lain selain kita” ucapku mulai panik.
“Udah... Matiin aja, abis shalat kita cabut” balas Rian yang berusaha untuk tetap tenang.
Aku memberanikan diri kembali ke tempat wudhu untuk mematikan keran air yang menyala dengan sendirinya itu.
“Mungkin kerannya udah jelek makanya gak kuat nahan tekanan dari tandon” Aku berusaha berpikiran baik dan menggunakan logika agar rasa takut ini berkurang.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”
Salam Rian yang setelahnya langsung ku susul dengan salam yang sama menjadi akhir dari ibadah shalat maghrib kami.
“ASTAGFIRULLAH!!!” Reaksi spontan keluar dari mulutku cukup keras.
Wajah Rian pun sempat memucat. Di sudut ruangan ada seorang kakek-kakek yang mengenakan gamis dan sorban putih seputih wajah pucat dan jenggotnya sedang duduk bersila. Tampaknya beliau sibuk berdzikir karena suara keras yang aku teriakkan tadi sama sekali tak mengalihkan perhatiannya. Kami keluar dari mushala secara perlahan agar tidak mengganggu. Selain kakek itu, ada hal lain yang mengganggu pikiran selama shalat tadi. Aku putuskan untuk mengelilingi mushala dan memeriksanya.
Benar saja!! Tak ada satu kabel listrik yang mengarah ke mushala ini. Lalu dari mana lampu-lampu ini menyala?
“Gile Yan... Ngagetin aja tuh kakek, dateng gak ada suaranya sama sekali. Btw... Naek apa dia? Kok gak ada motor laen?” ujarku membuka pembicaraan lain pada Rian selagi mengenakan helm.
“Udah... Cuekin aja!!! Ayo jalan. Kita bakal lama nyampe Samarinda, lampunya mati. Kita gak bisa ngebut. Bisa berabe kalo velg si mbah kena lobang” sahutnya agak kalut mengetahui kondisi buruk yang kami hadapi.
“Tapi Ndra... Seinget gue... Di sini gak ada mushala. Gue inget tuh plang.” lanjut Rian seraya menunjuk sebuah papan pengumuman bertuliskan...
TURUNKAN KECEPATAN
SERING TERJADI KECELAKAAN DI JALUR INI
Rian mulai panik, berkali-kali dia mencoba menyalakan motornya namun tidak berhasil. Ternyata kunci kontaknya belum dia putar ke arah ON.
“Yaelah bro” Aku dengan tenang memutar kunci dan...
BRUUUMMMMM
Sesaat setelah itu, sebuah mobil melaju dengan cepat melewati kami yang masih berdiri di pinggir jalan. Cahaya lampunya sempat menyilaukan mata kami yang mulai terbiasa dengan kegelapan. Benar... Kondisi di sekitar kami menjadi gelap gulita sesaat setelah mobil itu melintas.
“Yan... Gue saranin kita langsung cabut deh. AYOOOO!!!” ucapku panik seraya melompat ke jok belakang.
Tanpa sepatah kata pun, Rian langsung menarik gasnya dalam- dalam, tak peduli motornya melaju tanpa penerangan.
Semua karena...
Mushala yang kami tinggalkan... Tidak lain dan tidak bukan melainkan sebuah bangunan kayu tua yang sepertinya telah lama ditinggalkan. Kondisinya sangat berbeda dengan tadi, sebuah mushala kecil dari kayu usang tapi masih terlihat terawat. Sedangkan kini yang kami lihat hanya bangunan kayu lapuk yang sudah lama tidak di jamah manusia.
“YAAANNN!!!! APAAN TUH TADI YAAANNN??!!” tanyaku panik.
Bagaimana tidak, Mushala yang kami singgahi beserta kakek tuadi dalamnya, hilang! Berganti sebuah gubuk reyot yang bentuknya sudah tak karuan lagi.
“KAGAK TAOOO!!!!UDAH GAK USAH DIBAHAS!!!!” bentak Rian padaku, sambil masih berusaha untuk tetap menjaga fokusnya kala melintasi jalan yang gelap ini.
Perpaduan antara tidak ada penerangan jalan, lampu motor yang mati, jalan berlubang dan kondisi medan yang naik turun pasti akan menyulitkan pengendara motor, ditambah jenis motor yang sangat tidak sesuai untuk medan seperti ini.
Aku yakin, bahkan rider sekelas Valentino Rossi pun bisa jatuh mengendarai si Mbah dijalan ini.
BRUAAAKKK.. BRUAAAKKK.. BRUAAAKKK..
Suara ban Mbah menghantam lubang terdengar begitu keras sampai kepala ini manggut-manggut terkena goncangannya. Tanganku berpegang erat pada behel belakang, mengantisipasi supaya tidak terlempar dari atas motor, sambil sesekali menahan helm agar tidak terpental dan jatuh. Menurutku, berhenti di tengah belantara seperti ini merupakan pilihan terbodoh yang bisa dibuat, apalagi hanya karena helm yang terjatuh.
“ANJRIIIT.. SORRY MBAAAH!!!” teriak Rian spontan.
Diapun mengurangi laju motornya agar Mbah yang layaknya kuda liar bisa dikendalikan. Selambat apapun Rian melaju, kondisi jalan tanpa penerangan dari lampu jalan dan lampu motor cukup membuat ia kalang kabut saat ban motornya masuk ke lubang jalan. Entah apakah itu masih layak disebut sebagai “lubang”, mengingat setidaknya “lubang” tersebut berdiameter sekitar 50 cm dengan kedalaman seukuran mata kaki orang dewasa. Aku rasa hanya motorcross yang mampu melewati jalan ini tanpa halangan berarti.
“Eh Yan.. Warung noh!! Mampir yaa.. Tarik napas dulu kita” sambil telunjukku mengarah ke warung yang berada sekitar 100 meter di depan.
“ALHAMDULILLAH...” teriak Rian lega mengetahui kekhawatirannya telah berlalu.
Akhirnya kami sepakat untuk berhenti di sebuah warung. Keramaian di tempat itu menjadi angin segar bagi kami, sebuah tanda-tanda kehidupan lainnya selain aku dan Rian. Melihat keramaian di warung tersebut seolah membuat kami lupa kerjadian di mushala maghrib tadi.
“Estehnya mbak. Lu minum apa Ndra?” ujar Rian memesan kesegaran lainnya pada salah satu pelayan di warung tersebut.
“Sama...” jawabku singkat masih mencoba mengatur nafas.
Walau aku melihat raut kebingungan dari wajah si pelayan, tapi peduli setan dengan apa yang dipikirannya. Begitu pesanan datang,kami pun langsung minum dengan cepat. Benar-benar hari dan perjalanan panjang yang melelahkan bagiku, lelah fisik dan juga mental. Bayangkan, lebih dari 1000 kilometer aku tempuh hari ini, dan tes mental sudah dimulai sejak aku salah masuk terminal. Sekilas aku berpikir, rejeki apa yang menantiku di tanah ini, sampai- sampai aku mendapat ujian mental dari manusia dan dari bangsa yang tak kasat mata.
“Semvaakkkk!!! Gue belom pernah ngalamin yang sevulgar ini Ndra. Kelewat gila ini mah” ujar Rian mengutarakan isi hati yang sempat ia pendam. Tetapi sekarang dia sudah mulai tenang dari kepanikan.
“Tadi di tempat ngopi waktu di bandara sih ada bapak-bapak yang bilang ama gue kalo pertama kali dateng biasanya banyak yang ngajak kenalan, terus gue disuruh ngediemin aja. Kagak tau gue kalo gini kejadiannya”
“Gue kira yang banyak ngajak kenalan tuh gadis-gadis sini, maklumlah, secara gue kan tamvan” ujarku sambil menghabiskan apa yang tersisa di gelas.
“Monyet yeeee.... masi aja sempet narsis, gak inget tadi muka udah kek baju seragam anak SD”
“Tau lah. Untung aja gak ketemu ama tentara jepang”
“Udah Ndra. Jangan lama-lama, lanjut lagi, keburu kemaleman” Rian pun berjalan menuju ke meja kasir.
“Maksud lu?? Tentara jepang??” tanyaku bingung sambil mengikuti Rian.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Rian berlalu begitu saja ke arah motor sambil memakai helm. Kami kembali melaju di kegelapan malam. Setelah istirahat di warung tadi, kondisi penerangan jalan sudah tidak seminim sebelumnya, bukan karena keberadaan lampu penerangan jalan, akan tetapi kami tertolong oleh penerangan mobil yang sesekali melintas dengan kecepatan tinggi. Perlahan Rian mencoba sesekali mengimbangi kecepatan mobil-mobil tersebut, tapi apa daya motor tua bersilinder kecil ini tak akan pernah mampu mengimbangi mobil empat silinder. Sampai di suatu tikungan aku merasakan laju motor Rian semakin berkurang.
“Ndra.. Mogok Ndra..” ujar Rian lesu, sadar keadaan kembali memburuk.
“Jangan bilang keabisan bensin” ujarku sedikitketus.
“Mana ada!! Si mbah ni motor paling irit di muka bumi.” balas Rian tidak terima, dia terus mencoba menyalakan sepeda motornya dengan harapan Mbah mengerti situasi kami.
Sejenak aku termangu, memikirkan apa yang bisa kami lakukan. Kepalaku celingukan dan mata jelalatan kesana kemari sambil berharap ada orang yang bisa membantu kami. Walaupun aku kini sadar, itu adalah pikiran ter absurd yang pernah terlintas bagi orang yang motornya mogok di tengah hutan. Pandanganku terus beredar ke sekeliling, sampai akhirnya mata ini tertuju pada salah satu pohon besar yang ada di seberang jalan. Mataku melihat jika pohon tersebut tiba-tiba bergoyang dengan sendirinya.
“Yan... Pohonnya goyang...” ujarku lirih karena bulu kuduk di sekujur tubuh terasa berdiri.
“Daoon ketiup angin...” jawab Rian setengah membentak tanpa memandangku.
“Bukan daoon cooook!!! POHOOONNN!!!!!!” jawabku emosi sambil memegang kepalanya dan mengarahkan ke pohon itu.
“ANJRIIITT!!! Gue gak liat apa-apa. Gue gak LIAAATTT!!!!!!” racau Rian tak karuan dan langsung kembali berusaha menyalakan motor.
Walau gelap, aku masih dapat melihat dengan jelas di belakang pohon itu berdiri sosok hitam yang sangat besar dengan tangan yang berbulu mencoba menyibak pohon di depannya. Entah makhluk apa yang tertangkap oleh pandanganku saat ini, yang jelas hati kecil mengatakan bahwa sebaiknya kami segera pergi dari tempat ini.
“Lari?” itu yang sempat aku pikirkan, tapi lari kemana? Pun misal kami berlari, dengan ukuran makhluk yang sebesar itu pasti akan dengan sangat mudah menyusul kami. Begitu saja pikiran demi pemikiran berkecamuk dalam otak ini.
“JANGAN BENGOOONG COOOKK!!” umpat Rian padaku yang mematung karena pemandangan mengerikan di depan mata.
Tanpa menjawab aku, langsung mendorong Mbah dengan sekuat tenaga. Ya. aku tak jadi lari, hanya kembali berolahraga sambil mendorong motor tua ini.
“TURUN LU NYEEETT!!! BERAAATT!!!” bentakku pada Rian yang masih duduk di atas motor sambil meracau tak karuan.
“Ayo Ndra... Cepet Ndraaaa. ”
Tak sadar sudah berapa jauh kami berlari dengan mendorong Mbah menyeberangi hutan, rasanya kegelapan ini seperti tak berujung. Aku sudah tidak merasakan lelah, rasa takut lebih menguasai saat ini, hingga akhirnya di sebuah jalan menuju tanjakan Rian berhasil menyalakan motornya.
“AYO NDRAAA.NAEEEKK!!”
Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung melompat ke jok tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Nyali sudah terlanjur ciut, aku sudah tidak memikirkan apa yang ada dibelakang, apakah ia mengejar atau tidak aku sudah tidak peduli. Hanya satu hal yang ada di otak ini sekarang, aku harus segera pergi dari hutan ini.
“Yan.. Lu ngerasa ada yang aneh gak?” tanyaku mulai penasaran.
“YANG MANA DARI YANG KITA LIAT BARUSAN YANG KAGAK ANEH BEGOOO!!!” bentak Rian.
“Bukan.. Bukan.. Kok tiba-tiba terang ya???”ujar ku sambil menunjuk lampu depan yang tiba-tiba sudah menyala kembali.
“EH... EH... EH...”
GRUSUUUUUK
Rian secara mendadak menginjak rem dalam-dalam dan membanting kemudi ke kiri. Sangat terasa jika motor ini sudah hilang keseimbangan. Setelah kurasakan kecepatannya melambat, laju motor ini menjadi sempoyongan, akhirnya kami berdua dengan sukses finish di pinggir jalan, diantara bahu jalan dan semak-semak di pinggirnya dengan posisi tengkurap.
“NAPA LU BEGOOO!!” bentakku pada Rian yang terus menerus memeluk ban depan motornya yang terjerumus ke semak-semak. Matanya terpejam,badan gemetar, serta bibir seperti komat kamit entah mengucapkan apa.
“Itu naaa... Itu naaa... ITUUUUU!!!” ujar Rian gemetaran sambil menunjuk ke arah depan masih dengan mata terpejam.
Benar saja, sekitar lima meter di depan kami muncul sesosok wanita berambut panjang dengan pakaian putih compang- camping sedang merayap pelan meyebrangi jalan yang sepi.
Ya....Dia merayap! Dan terlihat jelas jika kedua kakinya hancur. Samar -samar tercium bau yang sangat busuk menusuk hidung. Perlahan dia menoleh ke arah kami dan tersenyum memperlihatkan giginya yang hitam dengan mata yang menjorok ke arah dalam. Aku tidak bisa menggambarkan lagi kengerian yang ada dihadapanku sekarang. Jangankan dengan bentuk hancur seperti ini, kejadian di mushala maghrib tadi saja sudah cukup membuat dengkul ini lemas, dan sekarang makhluk dengan bentuk tidak jelas muncul didepanku.
“Gue gak liat apa-apa. Gue gak liat apa-apa...” racau Rian seperti dukun yang komat kamit membaca mantra.
Tangannya masih mendekap ban motor dengan sangat mesra, bahkan mungkinpacarnya belum pernah ia dekap semesra ini. Tak ada yang bisa ku lakukan, akhirnya aku pun menyembunyikan wajah ku di balik punggung Rian sambil membacasemua ayat suci yang aku hafal.
KREEESEEEKK.. KREEESEEKK..
Suara benda terseret semakin mendekat ke arah kami. Tapi tak ada satu pun dari kami yang berani membuka mata. Suara seretan yang berat, seperti sekarung penuh beras diseret di permukaan lantai yang kasar. Aku hanya berharap ketika nanti membuka mata, aku sudah berada di atas kasur empuk yang nyaman, dibalut selimut hangat, dengan secangkir kopi tersaji disamping serta seutas senyuman manis dari Paris Hilton. Hanya pikiran konyol itu yang terlintas untuk menghibur diri.
BRRRRUUUUUMMMM
Suara mobil yang melintasi kami dengan kecepatan tinggi memecah kesunyian, hal itu cukup untuk membuatku memberanikan diri membuka mata. Entah nekat, atau terlalu berani, hanya saja aku sadar tidak mungkin aku memejamkan mata dan tertidur ditempat seperti ini.
“Yan... Udah ilang Yaaann...” ujarku pada Rian, masih dengan posisi yang sama, memeluk ban depan motor dengan gemetaran.
“Mimpi apa gue semalem.Padahal gue niatnya cuma bantuin temen...”
“Berasa rugi gue ambil cuti buat beginian.” gumam Rian lemah, dia mulai kembali membuka matanya.
“Lah ya... Napa lu kaga ngijinin gue naek angkutan?”
ujarku saat sadar bahwa dia ingin melimpahkan semua kesalahan padaku.
“Duit gue sekarat cuuukk, ini aja gue irit-irit biar nyampe akhir bulan. Mau makan apa kita nanti??” gerutu Rian.
“Kalo tau gini mah gue kagak berangkat kemari...” timpalku sambil berusaha meredam tangan yang masih gemetaran.
“Hadeeehh... Ya udah. Kita lanjut aja. Kayaknya si Mbah juga kagak napa-napa. Ntar lama-lama di sini dia malah nongol lagi” jelas Rian sembari mencoba menarik motornya dari semak-semak. Tanpa diminta, Aku membantunya mengeluarkan kendaraan itu. Setelah berhasil menyalakan, Rian langsung menarik gas dalam-dalam.
“Yaelah... Napa musti kayak gini sih”
“Apes kok gak abis-abis”
“Gapapa deh hari ini diabisin semua apesnya, besok tinggal mujurnya”
****
Kami kembali melanjutkan perjalanan tanpa mendapat gangguan lagi. Entah untuk berapa lama, yang jelas saat ini kami sudah sedikit lebih tenang. Dari kejauhan aku mulai melihat cahaya lampu kota, dan itu merupakan pandangan yang cukup menenangkan hati saat ini.
“Yan... Kita udah masuk Samarinda kan? Gue gak mimpi ya kan??” tanyaku penuh harap pada Rian.
Rasanya aku hampir putus asa jika mengingat perjalanan hari ini. Benar-benar perjalanan yang sangat jauh dari apa yang ada di benakku sebelumnya. Entah, apa pemikiranku yang terlalu menganggap enteng sebelumnya, atau memang hari ini bukan hari baik untukku, atau lebih ekstrim lagi keputusanku untuk datang ketempat ini adalah sebuah kesalahan besar.
“Iya. Kita udah masuk Samarinda seberang, habis nyebrang jembatan kita nyampe di Tepian” jawab Rian tampak tak begitu peduli.
Tak bisa kugambarkan betapa leganya saat melihat keramaian di sekeliling kami. Kesibukan orang yang lalu lalang, rasanya semua kengerian yang baru saja kami alami hilang begitu saja. Dan pemikiran-pemikiran pesimis yang sempat timbul tadi, sudah menguap entah kemana. Kembali secercah harapan muncul di hati ini.
“Kita ke bengkel dulu, Ndra. Kayaknya ban depan si mbah peyang nih” ajak Rian.
“Oke!!” ucapku sependapat.
Rian tahu saja bengkel yang masih buka di daerah Tepian. Wajar saja, mengingat karakternya yang supel, pasti akan sangat mudah beradaptasi di perantauan. Aku melihat dia menjelaskan detail kondisi Mbah pada mekanik, cukup lama mereka berdiskusi, sampai akhirnya Rian kembali menghampiri dengan wajah lesu. Aku hanya berharap bukan keapesan lagi yang menanti kami di sisa perjalanan ini.
“Bontang masih jauh kah Yan dari sini??” tanyaku yang mulai lelah.
“Lumayan Ndra, dua jam lah kalo kita ngebut Samarinda-Bontang” jawabnya sambil memberikan sebotol air mineral padaku.
“Masih jauh banget ya... Gimana kalo kita istirahat di Samarinda dulu Yan?? Besok pagi kita lanjut” bujukku sambil berharap Rian menyetujuinya.
“Istirahat dimana??” tanya Rian balik dengan nada yang cukup tinggi.
“Hotel... Hehehe...” jawabku ringan dengan senyum tanpa dosa.
“Duit gue udah nipis, ini aja kita musti ganti velg, enteng banget lu minta nginep di hotel. Ada duit lu? kagak kan? AMpun dahhhh…” ujar Rian lemas
“Yaudah... Kita cari masjid aja, kita tidur di sana” ujarku dengan memberikan pendapat.
“KAGAAAKK!! Lu lupa tadi kita sholat maghrib gimana?” jawab Rian yang mulai emosi.
“berati kita lanjut Yan?” tanyaku mulai pasrah.
“Kita gak bisa ngebut Ndra, Poros Samarinda-Bontang parah, banyak lobangnya” lanjut Rian tanpa menanggapi perkataanku barusan.
“Tapi rame aja kan? Banyak rumahnya kan?”
“Yaaa... Gak jauh beda ama yang tadi” jawabnya lesu.
Akhirnya motor Rian sudah selesai diperbaiki. Kemudian terjadi kembali diskusi antara Rian dan pemilik bengkel. Sepertinya Rian mencoba menawar ongkos jasa perbaikan si Mbah, walaupun akhirnya percakapan mereka berdua harus diakhiri dengan langkah gontai Rian dan tatapan lesu. Wajahnya kembali murung sambil menatapku. Ternyata velg si mbah rusak parah dan harus di ganti. Kebetulan pemilik bengkel masih memiliki persediaan velg, walaupun bekas tapi kondisinya masih cukup bagus.
“Sial!! Abis 600 ribu!! Bosnya cuma ngasih kortingan dikit. Ayok Ndra jangan ampe kita kemaleman” ujar Rian emosi sambil menyalakan motor.
“Buseeeeeet…. Serius lu!! Kita gebugin nyok. Bisa-bisanya ambil untung gak kira-kira.” Sahutku mulai terpancing emosi juga.
“Jangan aneh-aneh Ndra!! Disini beda kaya di Jakarta, salah dikit runyam urusan. Lagian wajar aja dah malem, ongkos ketok pintu. Dah cepetan naek!!” balas Rian mengingatkanku.
Sungai Mahakam yang terkenal di sisi jalan kini tidak terlihat lagi. Perjalanan kami lanjutkan dengan menerobos gemerlap lampu dari kota pelabuhan yang dipanggil dengan nama Samarinda. Baru kali ini aku pergi dari Pulau Jawa, dan mendapat pengalaman serta “sambutan” langsung yang tak lazim.
“Padahal baru jam tujuh, tapi udah sebegini gila gangguanya. Gimana kalo tengah malem??” gerutuku dalam hati membayangkan bagaimana perjalanan kami selanjutnya menuju Bontang. Kami menyempatkan mampir di sebuah pom bensin untuk memberi minum Mbah. Masih jelas sekali kejadian demi kejadian yang aku alami sejak matahari berhenti bersinar tadi, dan kembali tengkuk ini meremang mengingatnya. Kegelapan hutan ini di malam hari benar-benar pekat. Menyambut kami saat mulai meninggalkan Samarinda. Hampir satu jam berlalu dan semua tampak baik-baik saja.
“Banyak-banyak dzikiran lu, udah terlalu banyak cerita ni jalan” ujar Rian mengingatkan.
“Maksud lu apaan?” tanyaku yang tidak mengerti maksud ucapannya.
“Kebun karet Ndra” ujar Rian terdengar pasrah.
Tiba - tiba tak jauh di depan kami terlihat ada pengendara motor juga sama seperti kami sedang berhenti di pinggir jalan. Tampak mereka sedang mengalami masalah dengan tunggangannya. Sisi kemanusiaanku pun muncul ketika aku lihat pengendaranya sepasang bapak dan ibu paruh baya dengan anaknya yang masih kecil.
“Yan... Berenti Yan... Kasian tuh Yan, bawa anak kecil motornya mogok. Gelap-gelapan lagi” bujukku pada Rian yang mencoba mengacuhkan saat kami melewati mereka.
“Hadeeeeeeeeeh... Iya... Iya...” jawab Rian kesal. Walau begitu, Rian mungkin juga masih memiliki rasa iba. Dia akhirnya memutar balik motor dan menghampiri mereka.
“Kenapa pak? Mogok kah? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku selembut mungkin pada bapak-bapak yang sedang mengotak - ngatik motornya.
“Ndak papa mas. Kehabisan bensin aja.” jawabnya dengan suara yang sangat berat.
“Oh... Tadi saya ngisi full di Samarinda pak, kita tap aja. Saya ada selangnya di jok” tawar Rian sembari membuka jok motornya. Sekitar 1 liter bensin telah dipindahkan dari motor Rian ke motor Bapak tersebut.
“Tujuanya kemana pak?” aku bertanya pada si bapak.
“Ke depan” jawab si Bapak singkat.
“Daerah mana pak??” tambah Rian penasaran.
“Depan mas” ujar istri dari bapak itu menjawab pertanyaan Rian.
Saat aku ingin bertanya lebih lanjut Rian mencegahku dengan isyarat tangannya.
“Makasih banyak ya mas, tapi saya gak punya uang” tambah istri dari bapak itu sambil menggendong anaknya.
“Gak usah bu.... Gapapa...” jawab Rian tersenyum.
“Bapak duluan aja, biar saya ikutin dari belakang. Jaga-jaga kalo motornya mogok lagi kan bisa kita bantu lagi” tawar Rian mempersilahkan keluarga itu berjalam lebih dahulu.
“Ndra... Ayo buruan... Kita ikutin, lumayan jadi ada temen” lanjut Rian langsung menyalakan motor sambil tersenyum licik.
“Emang dah akal-akalannya si Rian. Pinter juga caranya” pikirku setuju.
Kami mengikuti pasangan tadi dengan jarak sekitar sepuluh meter di belakang. Mereka melajukan kendaraanya tidak terlalu kencang, nafas tua si mbah masih bisa mengimbangi kecepatan kendaraan mereka yang berusia jauh lebih muda. Hanya saja aku agak merasa aneh dengan cara bapak itu mengendarai motor, entah apa, tapi aku merasa ada yang tidak beres dengan pasangan itu, hingga pada sebuah tanjakan, tiba-tiba mereka menambah kecepatan. Mungkin terdengar wajar, tapi rasanya dengan beban sebanyak itu tidak mungkin menambah kecepatan secara drastis.
Sesampainya kami di ujung tanjakan, tiba-tiba kami kehilangan jejak mereka. Kondisi jalan yang sepi tak berkelok harusnya memudahkan kami untuk melihat mereka, sekalipun mereka melaju dengan kecepatan tinggi.
“Yan... Kemana orang tadi?” tanyaku panik.
“Gak tau Ndra. Masa iya di turunan langsung ngebut, Sengebut- ngebutnya tuh orang masa iya udah gak keliatan” jawab Rian yang langsung memberhentikan kendaraanya.
“Masa iya pake NOS??” sahutku asal.
Kami mencari bapak dan ibu tadi di sepanjang pinggir jalan tempat mereka menghilang, tapi tak menemukan tanda-tanda apapun. Tidak ada tikungan disini, tidak ada gang, jalan masuk, ataupun bangunan untuk mereka bersembunyi. Sangat tidak masuk akal menurutku.
“Perasaan gue gak enak Yan” ujarku yang mulai merinding.
“Lu nyium bau gak Ndra?”tanya Rian dengan nada bergetar.
“Iya...Bau melati tapi amis Yan”
“Mending kita jalan dah Yan” lanjutku lemas dengan tangan gemetar memegangi pegangan belakang motor.
Tanpa menjawab akhirnya Rian kembali menarik gas sepeda motornya.
“GILA... GILA... GILAAAAA!!!”teriak Rian tak karuan sambil menarik gas dalam-dalam.
“Ndra Jangan lepas dzikir Ndra. Kita masuk Bukit Tengkorak, banyak kecelakaan di sini”
ujar Rian makin berkonsentrasi pada jalan.
“Yaelah... Napa sih ngasih nama kagak seksian dikit!!!”
gerutuku saat mendengar nama daerah yang telah kami masuki sambil mengira-ngira arti dari namanya.
“Lu kira tempat mangkal???!!!”
GUK!!! GRRRRR... GUK!!! GUK!!! AUUUUUUUU!!!
Suara anjing hutan melolong terdengar mengerikan di tengah kegelapan malam. Menambah suasana semakin mencekam, persis seperti di film horor, hanya saja yang membedakan kali ini adalah ini bukan film. Tidak ada crew yang menemani, tidak ada kamera, dan yang sewaktu-waktu bisa muncul juga bukan artis ataupun peran pembantu.
“Di Kalimantan ada serigala kah Yan??” pertanyaan kuajukan sambil merasakan bulu kuduk yang mulai berdiri.
“Setau gue anjing hutan aja. Paling banter anjing kampung sini, serigala belom pernah denger gue. Rasanya gak mungkin deh” jelas Rian begitu serius.
“ANJIIIIIIIIIIIIING!!!”lanjut Rian mendadak berteriak karena di depan kami muncul sesosok anjing hitam besar yang duduk di tengah jalan.
“Jangan berenti, Yan!!! Pliss Yan... Jangan berenti... Pliss...” Akhirnya dzikirku mulai kacau dan berubah menjadi racauan, sedangkan Rian menarik gas dalam-dalam hingga kami melewati anjing itu.
DEG
Jantung serasa berhenti saat aku menatap anjing hitam besar yang kami lewati. Sorot lampu motor menampakkan dengan jelas wujud anjing itu.
Normal?
Gak!!!! Kepalanya kepala manusia!!!
“Demi apa dah... mana ada anjing model kayak gitu!!!
Mana jelas banget menatapke kita. Parah!!!” dalam batin aku bergumam.
“YAN... DIE NYENGIIIR... NYENGIIIRRR!!!!” ujar ku sambil mengeplak-ngeplak kepala Rian.
“IYYEEE BANGSAAAAT!!! GUE TAOOO!!! GUE JUGA LIAT COOOOOKKKKK!!!” sahut Rian emosi dan menarik gas motornya semakin dalam.
Lolos dari yang satu, bertemu dengan yang lain. Ini perjalanan paling nggilani yang pernah aku alami. Hampir 30 menit kemudian, kami memasuki area jalan berpasir hingga kami tak bisa melaju kencang.
“Didepan... Jalanan masih dibaikin, Ndra. Namanya Gunung Menangis.” ujar Rian menerangkan keadaan jalan yang akan kami lewati.
“Kayaknya gue gak mau tau alasan kenapa tu gunung dinamain begitu, Yan” balasku lemas.
SREEEEEKK
Saat ban depan motor yang kami tumpangi hampir masuk ke dalam lubang yang cukup besar, Rian menghindar secara refleks. Tapi jalan berdebu membuat motor kami slip dan terseret sekitar satu meter. Sontak saja kami berdua jatuh terguling-guling bak pebalap Moto GP, hanya saja disini kami terjatuh karena pasir dan jalan berlubang, dan bukan dengan mengendarai motor sport.
“Duuuhh... Lu gak papa, Yan?” tanyaku pada Rian yang tampak begitu gemetaran.
“Uuugghhh... Gak papa, Ndra” jawab Rian yang langsung mencoba bangun dan kembali mendirikan motornya. Semilir bau melati kembali muncul di sekitar kami dan membuat merinding. Ini provinsi kebun melati apa???!!!
“Saya bantuin mas.” Tiba-tiba suara seorang wanita terdengarbegitu lembut di dekat kami.
Tak ada seorangpun dari kami yang berani menoleh ke arah suara tersebut. Entah dari mana datangnya tiba-tiba seorang wanita muda yang sangat cantik berpakaian rapih muncul di samping kami. Lega? Untukku, tapi tidak dengan Rian.
“Enggak papa mbak. Ini udah bisa lanjut lagi kok” balas Rian yang gemetarnya semakin menjadi.
“Saya bantuin mas. Tapi habis itu saya minta...” lanjut wanita itu dengan suara yang sangat pelan.
“Minta apa mbak?” dengan bodohmya aku bertanya karena penasaran. Ada sedikit pikiran nakal saat memperhatikannya. Aku memperhatikan wajah.....
HHIHIHIHIHIHIHI
Seketika itu pula wajah dari wanita tadi berubah menjadi hancur dan penuh darah dengan mata yang terjuntai keluar sambil menunjuk ke arahku. Tubuh ini tak bisa digerakkan sama sekali dan Rian memeluk stang motornya sambil membaca ayat kursi dengan kencang. Tak pernah kubayangkan dalam hidupku akan melihat sosok kuntilanak yang sangat mengerikan dengan jarak kurang dari satu meter hingga aku tak kuasa menahankesadaranku. Perlahan otak ini seperti komputer dengan RAM kecil yang sudah overload, segala macam pikiran berkecamuk, hingga akhirnya berefek kepada melemasnya otot-otot di tubuh. Pelan tapi pasti mataku mulai buram, kelopak mata menutup dan tingkat kesadara mulai menurun. Walaupun samar aku masih bisa melihat sosok itu ada disana, dengan bentuknya yang bisa dibilang hampir abstrak karena hancur. Diantara kesuraman dan keheningan yang mulai menjalar ditubuh, sayup aku mendengan suara yang semakin lama semakin kencang.
“NDRAAA... BANGOOON NDRAAA... JANGAN MATI DULUU
NDRAAA!!!” teriak Rian sambil menampar-nampar wajah ku berulang kali.
“UDAAAHH NYOONG. UDAH SADAAR GUE!!!SAKIT SEMUA MUKA GUE NAH!!!” ujarku pada Rian sambil menutupi wajah yang jadi sasaran kepanikannya. Ternyata suara yang aku dengar tadi adalah teriakan Rian yang mencoba mengembalikan kesadaranku. Mungkin dia sadar jika hanya aku yang pingsan, tentu akan menambah kerepotannya.
“Udah ilang belom,Yan?” lanjutku bertanya dengan suara lirih.
“Ilang udah. Duuuhh.. Mana masih di sini lagi kita, Ndra. Hhh... Bingung gue, lima taon gue tinggal disini, bolak balik juga udah biasa, gak pernah gue digangguin sebegininya” jelas Rian lesu.
“Rasanya seharian ini gue gak ada aneh-aneh...
Tunggu!!!” tambahnya sambil berlagak seperti pemeran utama sinetron emak-emak.
“Lu bawa apa aja sih dari Jakarta?” lanjut Rian sambil membongkar tasku.
“Baju doang Yan, ama gue tadi beli telor asin dua biji di tempat ngopi depan bandara buat kita makan di jalan” jelasku santai masih dengan suara lesu.
“JADI LU NYANGU TERUS LU KAGAK NGOMONG KE GUE???!!!”
“NDRAAA!!! DI KALIMANTAN TU KALO LU NYANGU MUSTI LU TINGGALIN SEBAGIAN BEGOO!!!” bentak Rian sambil menepak kepalaku cukup keras.
“Hadeeehh... Pantes aja.... Gebleeekk.. Gebleeekk...” lanjutnya masih sambil menepak kepala ini.
“Ya kan gue pikir buat kita nyemil di jalan !! “ aku menjawab ucapan sekaligus tepakannya dengan tidak kalah keras.
“Lu napa nepak kepala gue monyeeett??” seru Rian emosi diiringi dengan tinjunya yang mendarat di pipi ini.
Aku tidak menerima disalahkan begitu saja, apalagi cara dia menegur dengan menepak kepalaku. Akhirnya karena kami sama- sama emosi, terjadilah pergumulan yang cukup sengit di tengah gelapnya malam. Kami sejenak lupa akan teror mistis yang ada di sekitar lokasi tersebut. Jual beli pukulan, saling memiting dan mengunci tak terelakkan. Hingga tanpa komando tiba-tiba kami berhenti, akupun berkata
“Yan. kan serem ya disini,napa malah jadi berantem?”
“Toh tujuan gue kan baik, buat kita berdua juga. Gue pikir daripada laper di jalan jadi gue bawa ini telor,gue juga beliin lu kok. Nih ada dua, lu mau??” balasku dengan wajah tanpa dosa.
“KAGAAAKK!!! BUANG AJA!!”ujar Rian masih kesal.
“Kan ditinggalin sebagian, berarti gue buang satu trus satunya gue makan gak papa kan Laper gue Yan...” ucapku dengan mengiba.
“TERSERAH LU DAH!!!GUE MAU PULANG!!!” ujar Rian kesal sambil menyalakan motornya.
“Berarti kenapa kita daritadi digangguitu gara-gara telor asin ini?” tanyaku pada Rian, dan hanya di jawab dengan anggukan kepala.
“Woooooo..... ndok asssuuuuuuu”
“Buajingaaaannn... nek pengen ndok mbok ngomong coookkk, ora usah nganggo meden-medeni”
“dhemit ora aturan, dhemit ora duwe sopan, mentang-mentang iso medeni wong”
“ngganggu ae gaweanmu”
“iki nek pengen ndok asin, pangano, emploookkk sak kulite!!!!”
Aku memaki dan berteriak kesal karena megetahui bahwa yang menjadi sumber masalah adalah dua buah telur asin yang aku beli di bandara tadi. Aku lemparkan sekuat tenaga satu butir telur ke arah semak ilalang di pinggir jalan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, sambil aku memakan satu butir sisa telur yang aku bawa. Lapar, itu yang aku rasakan saat ini. Karena jika diingat, memangperut ini belum terisi apa-apa sejak pagi, hanya setengah porsi soto, itupun sudahaku muntahkan di pesawat tadi. Kami melanjutkan perjalanan kembali, dan memang, setelah aku membuang telur tadi, sudah tidak ada gangguan yang kami alami. Rian juga tak banyak bicara lagi. Tidak berselang lama sampailah kami ke suatu tempat...
“Lu Liat langityang merah itu, Ndra?”
“Itu flare Badak sama PKT, disitu Bontang.”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
