
Eksanti adalah teman lamaku sekaligus mantan bawahanku dulu di sebuah kantor. Tak bisa dipungkiri bahwa dia snagat cantik dan membuat lelaki manapun yang mendekatinya akan berfantasi macam-macam. Sekarang ia akan bertunangan dan segera menikah dengan rekan bisnisku, Yoga. Karena auranya yang begitu mempesona, aku akhirnya menjerat Eksanti dengan alasan menitip proposal untuk diberikan kepada Yoga.
Dari pertemuan itulah aku mulai menggoda Eksanti dengan alasan sering ketemu dia dalam mimpi....
BAB 1 : Eksanti, Tunangan Temanku
Kejadian ini terjadi sekitar 5 bulan lalu dan yang aku ingat hubungan Eksanti dan Yoga sudah membaik dan mereka merencanakan sebuah tunangan dan sebentar lagi akan melakukan pernikahan dalam waktu yang singkat ini. Ketika itu mereka tinggal dalam sebuah rumah kos yang sama di daerah Selatan - Jakarta, meskipun berbeda kamar, karena saat itu Yoga sedang mendapat pelatihan di Jakarta selama 6 bulan.
Sebagai bekas teman dan atasan Eksanti, aku memang pernah kenal dengan Yoga. Yoga ternyata begitu cemburuan. Memang harus aku akui kalau Eksanti memang cantik, bahkan terlalu cantik untuk ukuran Yoga itu. Padahal kalau menurutku sih, adalah hal yang biasa kalau seorang lelaki yang penampilan fisiknya biasa saja, ternyata memiliki seorang pacar yang cantik.
Aku mengatakan Eksanti cantik, bukan merupakan penilaianku yang subyektif. Banyak teman- tanya yang lain juga berpendapat begitu. Bahkan beberapa di antaranya berpendapat bahwa Eksanti memiliki daya tarik yang luar biasa tinggi. Bagi kaum lelaki, jika memandang mata Eksanti, boleh jadi langsung akan berfantasi macam-macam.
Percaya atau tidak, mata Eksanti begitu sayu seolah-olah pasrah ditambah lagi dengan bibir yang seksi dan suka digigit-gigit, kalau Eksanti sedang gemes. Sungguh suatu ciptaan Tuhan yang sangat eksotis dan sensual. Ketika aku sempat bertemu dengan Yoga hari minggu, secara tidak sengaja kami menemukan suatu peluang bisnis yang mungkin bisa dikerjakan bersama antara kantorku dengan kantornya. Pikiranku segera jalan dan meminjam untuk dagang, menitipkan sebuah proposal kepada Yoga untuk dibahas oleh tim kantornya di Malang.
Siang itu, sehabis pertemuan dengan salah satu klienku di sebuah kantor di daerah Kuningan, aku berencana mampir ke rumah kos Yoga yang juga rumah kos Eksanti - untuk menitipkan proposal yang aku janjikan. Aku mengendarai mobil menuju tempat kos Yoga. Sesampainya di sana, aku melihat garasi tempat mobil Yoga biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Yoga sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Yoga. Setelah aku memarkir mobil di depan halaman rumah kos itu, aku masuk menuju ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan terbuka, dan langsung menuju ke kamar Yoga. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Yoga yang paling pojok, berhadapan dengan kamar Eksanti.
Masing-masing kamar tampak pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu. Aku ingin menulis pesan di pintu kamar Yoga karena memang aku sangat perlu dengannya. Sementara aku sedang menuliskan pesan, samar-samar terdengar suara televisi dari dalam kamar Eksanti, di depan kamar Yoga, pertanda ada seseorang di dalam kamarnya. Aku memastikan kalau yang di kamar itu adalah Eksanti, bukan orang lain. Aku ketuk pintu sambil memanggil nama Eksanti.
Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka kira-kira sekepalan tangan dan aku melihat wajah Eksanti tampak dari celah pintu yang terbuka.
"Eh, Mas.. cari Mas Yoga yaa.. Tadi pagi sih ditungguin, tapi Mas Yoga buru-buru berangkat Mas."
Sebelum aku bertanya. Entah mengapa, ketika membocorkan mata Eksanti yang sayu itu, pikiranku jadi masa-masa indah yang pernah kami alami dulu. Aku sambil tersenyum sambil bertanya, "Kamu nggak ke kantor hari ini?"
"Lagi kurang enak badan nih, Mas, tadi Santi bangunnya kesiangan, jadi males banget ke kantor", sahutnya singkat, sambil menggigit bibir bawahnya.
Ada rasa ingin tahu mengapa dia harus membolos ke kantor hari ini.
"Terus, Yoga biasanya jam berapa pulangnya, Santi?", bertanya-tanya basa-basi.
"Mestinya sih jam 5 nanti, tapi mungkin bisa lebih lama, soalnya Mas Yoga hari ini ada tugas kelompok bersama teman-teman trainingnya", agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 1 siang berarti Yoga pulang kira-kira 4 atau 5 jam lagi, pikiranku mulai nakal. Aku mencoba mencari bahan pembicaraan yang kira-kira bisa memperpanjang obrolan kami agar aku bisa lebih dekat dengan Eksanti. Agak lama aku terdiam. Aku memandang, memandang yang basah. Bibirnya yang dipoles warna merah menambah sensual bentuk yang tipis dan memang sangat indah itu. Semakin lama aku semakin aku berfantasi macam-macam. Sungguh, jantungku deg-degan saat itu.
Sebuah desiran hangat mengalir keras di dadaku, dan aku sungguh yakin Eksanti pun masih memiliki getar rasa yang sama denganku. Setelah agak lama kami terdiam.
"Teman-teman kamarmu yang lain pada ke mana semua, Santi?", dengan mata membocorkan sekeliling aku bertanya sekenaku, menanyakan keberadaan anak-anak kost yang lain.
"Mas ini mau nyari Mas Yoga atau..", kata-katanya terputus tapi aku menerjemahkan terjemahan kalimatnya dari senyuman. Akhirnya aku memutuskan untuk to the point aja.
"Aku juga pengin ketemu kamu, Santi!", jawabku jujur.
Dia tertawa pelan, "Mas, kenapa sih?", ia memandangku lembut.
"Boleh aku masuk, Santi? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," jawabku lagi.
"Sebentar, ya.. Mas, kamar Santi lagi berantakan nih!"
Eksanti lalu menutup pintu di depanku. Tidak beberapa lama membuka pintu terbuka kembali, lalu masuk ke dalam kamarnya. Aku duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai.
Eksanti masih sibuk merapikan pakaian yang bertebaran di atas sandaran kursi sofa. Aku memandangi tubuh Eksanti yang membelakangiku. Saat itu dia mengenakan kaos ketat warna kuning yang luasnya mulus. Aku memandang pinggulnya yang ditutup oleh celana pendek. Tungkainya panjang serta pahanya bulat dan mulus. Kejantananku menjadi tegang memandang semua keindahannya, ditambah dengan fantasiku dulu, ketika aku memiliki kesempatan untuk membelai-belai kedua pangkalnya itu. Kemudian Eksanti duduk di sampingku. Lututnya ditekuk sehingga celananya agak naik ke atas membuat pahanya semakin terpampang lebar. Dia mencoba menarik turun ke ujung celananya untuk menutupi sedikit pahanya yang sedang aku nikmati.
"Mas, mau bicara apa, sih?"
Saat itu otakku berpikir cepat, aku takut kalau-kalau aku tidak punya bahan pembicaraan yang berhubungan dengannya. Soalnya dalam pikiranku saat itu hanya khayalan-khayalan untuk bercinta dengannya.
"Mmm.. San.. aku beberapa hari ini sering bermimpi,", kataku berbohong.
Entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu tetapi aku merasa agak tenang dengan pernyataan itu.
"Mimpi tentang apa, Mas?", penjelasannya begitu serius menanggapiku dilihat dari caranya memandangku.
"Tentang kamu, San", jawabku pelan.
Bukannya kaget, malah sebaliknya dia tertawa mendengar bualanku. Sampai-sampai Eksanti menutup mulut agar suara tawanya tidak terdengar terlalu keras. "Emangnya Mas, mimpi apa sama aku?", tanyanya penasaran.
"Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu", jawabku sambil tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku benar-benar terkejut lalu menoleh ke arahnya. "Mas ini ada-ada saja, Mas 'kan sekarang sudah punya yang di rumah, lagian aku juga 'kan sudah punya pacar, masa masih mau mimpi-mimpiin orang lain?"
"Makanya aku juga bingung, Santi. Lagian kalaupun bisa, aku tidak ingin bermimpi tentang kamu, Santi", jawabku pura-pura memelas.
Kami sama-sama terdiam. Aku duduk di posisiku agar lebih dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya. Mata kami berpandangan. Wajahku perlahan mendekati wajahnya, mencari tahu, semakin dekat dan tiba-tiba menghadap ke depan sehingga mulutku mendarat di pipinya yang mulus.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
