
Taehyung-Keika
03 | Rangup
Putih cukup mendominasi; dinding, meja, ranjang, selimut, termasuk perasaannya, entah mengapa begitu bertendensi pada putih. Taehyung selalu berpikir bahwa putih adalah ketulusan, dan ia menyukai putih sebab Soora mengajarkannya banyak hal soal itu. Taehyung menatap kekasihnya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan sendu, tubuh perempuan cantik itu berbalutkan selimut peresih bergaris biru muda, piyama khas rumah sakit melilid di seluruh tubuh, biru tetapi terlalu terang sehingga terlihat serupa putih. Rambut panjang Soora menjerambai di atas bantal, tidak ada yang berkerumun di leher sebab Taehyung benar-benar telah menyingkirkan apa-apa yang dirasanya dapat membuat sang kekasih merasa tidak nyaman. Kanta Soora tetap cantik kendati selasarnya terutup rapat, hidung kecil lucunya terlihat menggemaskan, dan bibir merah jambu di sana tetap manis kendati terlihat lesi. Taehyung bisa merasakan dadanya bergemuruh tak amikal menyadari bahwa kekasih hatinya berakhir di atas brankar karena kebodohan si iblis kecil.
Taehyung menelan ludah, matanya sekarang terpejam, tidak melihat putih dinding dan semua putih di penglihatannya, ia ganti menjadi gelapnya sendiri. Pikiran-pikiran penuh kekhawatiran memenuhi kepalanya, mengganggu. Soora nampak lemah seperti itu, dan jelas sekarang perasaannya acak-acakkan—sebab perempuan kesayangannya ini mengalami kecelakan setelah insiden memuakkan di kantor tiga hari yang lalu. Ya, masalah ribut dengan Keika sialan waktu itu. Taehyung tahu persis, bahwa Soora mengalami kecelakaan karena menangis saat mengemudi, perempuan keturunan Park itu pasti tidak berkonsentrasi karena kejadian memalukan di kantor waktu itu—ah, ingin rasanya Taehyung membunuh Keika, tapi sayang sekali, si iblis itu kabur, sampai sekarang bahkan belum pulang.
Taehyung membuka mata, di hadapannya Soora kelihatan nyaman dengan menutup rapat beranda netranya, napas teratur—sungguh masih cantik—dan andai tidak ada perban di dahi perempuan itu, Taehyung yakin perasaannya hanya akan berwarna merah jambu, yang artinya cinta, tanpa embel-embel kebencian karena teringat Keika. Ia membelai jemari Soora lembut, berharap bisa menetralisir rasa marah yang selalu begitu mudah berduyun-duyun mengguyur ubun-ubunnya acap kali mengingat Keika. Ia tidak ingin marah, palinng tidak sampai Soora bangun dan menghentikan perasaan khawatir dalam dadanya bersemayam berkepanjangan. Tidak habis pikir, Taehyung sungguh merasa buntu ketika berusaha mengikuti jalan pikiran istrinya si Jeon Keika itu. Begitu saja menyerang Park Soora tanpa ingat urat malu, membuat keributan di kantor, kemudian menjadi penyebab utama Soora kecelakaan, lantas kabur begitu saja. Taehyung tidak tahu bahwa ternyata Keika, selain begitu iblis, ternyata juga sangat pengecut. Sekarang putihnya lebih dari pada abu-abu, sudah hitam, pekat sekali. Ada Keika di sela-sela warna hitam itu, terasa amat merah seperti rasa marahnya sendiri, memantik-mantik suam di dada seolah perempuan itu titisan neraka yang membawakannya segenggam api amarah.
Dada Nam Taehyung nampak naik turun karena kemarahannya yang mendadak kembali menyerang, menyemayami poros perasaannya yang penuh kebencian. Harus kemana ia mencari Keika? Tangannya entah kenapa terasa gatal ingin menampar pipi si Jeon itu, atau lebih dari itu, ingin sekali ia menyiksanya dengan kekerasan—oh, Taehyung tidak menemukan akal sehat di sela pikirannya. Tetapi ia benar-benar tidak memahami bagaimana mengendalikan perasaan, baginya Keika sudah keterlaluan. Terkadang ketika istrinya itu dengan nekat melakukan hal-hal yang merugikan dan menyakiti Soora, Taehyung masih bisa menahan diri karena Soora membuatnya tidak melewati demarkasi, tetap di lingkar aman. Tetapi setelah kepetang itu, di depan mata kepalanya sendiri ia lihat si perempuan Jeon mengguncang-guncang Soora seperti orang kesetanan, menjeritkan kata ‘jalang’ teramat gamblang, kemudian kabur dan membuat kekasihnya mematung seolah shock dengan apa yang telah terjadi, rasa-rasanya garis limit telah hancur lebur. Taehyung memendam tantrum yang siap meledak kapan pun ketika ia menemukan Keika nanti, ia tidak bisa menanggulangi hasrat ingin membalaskan dendamnya pada si anak Jeon itu. Persetan dengan rasa hormatnya pada Tuan Jeon Jeongjae.
“Aku … benci sekali dengan gadis itu, Ra. Aku … harus bagaimana?” Taehyung membelai lembut surai kekasihnya yang kecoklatan itu. Ia tidak sadar kalau air matanya sudah menyembul di ujung mata, siap jatuh, bahkan, pada akhirnya benar-benar jatuh dua detik kemudian. Tangannya yang membelai kelihatan bergetar. Mungkin emosi sebenarnya memupuk di raga dan otaknya, namun tentu saja tertahan, tidak punya pelepasan. Ia menyangkan garis takdirnya dengan Soora harus menikung-nikung begitu tajam, terlalu banyak persimpangan, terlalu banyak kelokan, sehingga rasanya sulit sekali untuk kembali pada jalan lurus dan berbahagia.
“Atau kubunuh saja dia? Sooraku, bangunlah. Kalau kau terus berbaring di sini, aku juga tidak bisa berhenti merasakan emosi pada perempuan sialan itu.” Taehyung menghapus air matanya kasar dengan perbatasan bahu, tangannya terus membelai, bergerak tremor karena kemarahan yang membeludak. Sooranya mengalami kecelakaan yang cukup hebat, sampai saat ini, setelah tiga hari, belum juga sadarkan diri—lantas, kalau Taehyung sudah tahu betul bahwa semua penyebabnya adalah Keika, bagaimana ia bisa berhenti merasakan kebenciannya? Meminimalisir amuknya saja ia tidak bisa, malah sepanjang waktu berjalan, perasaannya yang gelap ini makin menjadi. Mungkin ia tidak bisa menyalahkan Keika secara langsung, tetapi betapa pun ia mencari ujung dari perkara ini, entah mengapa selalu berakhir pada perempuan Jeon itu. Andai Keika tidak tandang ke perusahaan, membuat keributan sampai menjadikan Soora bahan tontonan dan gunjingan satu kantor, kecelakaan ini tidak akan terjadi. Semua orang tahu bahwa Soora dan dirinya telah putus sejak pernikahan paksaan itu diadakan, lantas setelah semua ini, apa yang akan orang pikirkan tentang Sooranya? Jalang? Taehyung menggigit bibir, ia sadar mengapa kekasihnya sampai mengalami kecelakaan hebat, sudah pasti pikiran jahat beranak pinak sore itu di kepalanya.
Juga, hanya karena itu Taehyung mendakwa Keika di dalam dirinya sendiri. Ia jelas tahu betul bagaimana sifat Soora, bagaimana cara perempuan keturunan Park itu menyikapi masalah, bagaimana perempuan yang sekarang terbaring lemah di hadapannya ini menghadapi tekanan hidup. Taehyung mengenal Soora, dan ia tahu betul tentangnya; perempuan itu terlalu lembut, terlalu payah untuk mendapatkan kekacauan seperti yang selama ini dilalui karena Keika. Ia masih mengingat dengan basah, setelah insiden keributan di kantor itu, Soora berlari dan kabur mengendarai mobilnya. Taehyung melihat jelas pipi anak Park itu yang basah, dan kejadian selanjutnya, tentang kecelakaan itu, Taehyung menjatuhkan sebabnya pada Keika. Ya, karena istrinya yang sialan itu Soora jadi begini. Soora memendam begitu banyak rasa sakit karena Keika, dan ia bahkan tidak tahu bagaimana bisa menanggulangi semua permasalahan ini.
Taehyung mungkin bodoh untuk terus memenjarakan Soora dalam urusan hidupnya yang sudah berantakan. Tapi ia juga tidak bisa menipu diri, bahwasannya ia bukan hanya mencintai Sooranya, ia juga membutuhkan perempuan itu. Oh, persetan dengan pepatah yang bilang bahwa cinta tak harus memiliki, pada kenyataannya Taehyung bahkan menjadi begitu terpuruk ketika ia jauh dari Soora dalam jangka waktu yang cukup lama, apalagi kalau perempuan itu meninggalkannya? Taehyung tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Park Soora, hanya perempuan itu kekuatannya. Dan dari seluruh rasa cintanya yang amat gigantis, apa ia harus merelakan mimpinya demi cintanya dengan Soora? Meninggalkan kehidupan bisnis dan menceraikan Keika? Mengecewakan tuan Jeon yang sudah seperti ayahnya sendiri?Jelas ini gila! Taehyung mau mati saja memikirkan kesulitan dalam perjalanan hidupnya ini.
Bangkit, akhirnya sepasang tungkai jenjang itu melangkah lunglai keluar ruang rawat inap. Sedikitnya ingin terisak sendirian di kamar mandi, melepas semua penderitaan yang tidak pernah orang lain mengerti, apalagi Keika pahami. Taehyung benci, ia marah sampai rasanya mau meledak, ketika menyadari bahwa semua masalah dalam hidupnya adalah kerena Si Jeon sialan itu, karena istrinya itu. Ia membiarkan rasa marah mengundang dengan manis air matanya, ia biarkan rasa sesak berkepanjangan memetal-metal dadanya, perayaan luka ini harus dilalui dengan khidmat bersama Keika di kepala, dan bayang-bayang memusnahkan perempuan itu.
Ya, sekarang Taehyung tahu, bahwa ia harus mencari Keika, kemudian memberitahu bahwa ia membencinya, secara absolut.
***
“Hey, jangan bertingkah seperti seorang penjahat kelas kakap, Sayang. Taehyung yang aku kenal tidak pernah punya sisi gelap.” Soora duduk di pinggir ranjang, memperhatikan Nam Taehyung yang sibuk membereskan barang-barangnya, ya, ia sudah boleh pulang setelah sepuluh hari di rawat di rumah sakit, sebenarnya hanya gegar otak ringan, baginya tidak ada yang perlu di kahawatirkan. Ini jelas berbeda kalau dilihat lewat kacamata perasaan Nam Taehyung. Ia jadi sedikit khawatir pada lelaki itu, sejak awal pertama ia bangun dari tidur panjangnya, Taehyung tidak berhenti menangis dan meminta maaf, lelaki itu terisak-isak sambil memeluknya, menceracau hal-hal mengenai ketidakadilan dalam hidup yang terus-terusan tandang pada kisah cintanya. Taehyung bahkan melirih, mengatakan bahwa lelaki Nam itu tidak pernah menyakiti siapa pun di masa lalu, tetapi mengapa Tuhan menyisipkan Keika ke dalam takdirnya.
“Kalau aku dipenjara, itu benar-benar hanya karena aku membunuh Keika sialan itu. Tolong jangan malu jadi kekasihku, Ra,” Taehyung kelihatan menggebu ketika menimpali perkataan Soora. Yang diajak bicara akhirnya tertawa cukup geli. Soora benar-benar tidak habis pikir, Taehyung selalu berlebihan kalau menyangkut Keika—pria itu bertingkah seperti seorang pendendam, atau memang iya. Jujur saja, terkadang ia benar-benar lelah ada di dalam fase yang sama terus-menerus selama setahun ini. Berkali-kali ia berusaha melepaskan diri dari Taehyung, memberikan advis dan pemahaman pada lelaki itu, bahwa memang mungkin Tuhan tidak menciptakan benang merah antara dirinya dan si Nam itu. Soora juga lelah, ia harus menangis di banyak waktu karena ketakutan, Keika tidak berhenti mengancamnya, yang paling menyebalkan kalau sudah membawa-bawa pekerjaan; pemecatanlah, kekuatan untuk membuatnya menjadi pengangguran selama-lamanyalah, apa pun itu. Hanya saja sulit untuk meninggalkan Taehyung, selain karena perasaannya dengan lelaki itu sudah terikat amat kuat, juga karena Taehyung bisa menggila jika ia memutuskan untuk pergi. Itu sudah pernah terjadi.
“Nam, kemarilah,” Soora merentangkan tangan, yang kemudian hanya dipandangi ragu oleh kekasihnya. Tawanya mereda cepat—memang karena tidak terlalu lucu, hanya persoalan Taehyung yang sangat berlebihan—kemudian raut wajahnya melembut. Taehyung menarik napas, lalu melangkah lemas menghampiri Soora, berdiri di hadapan gadisnya untuk dipeluk. Taehyung memang menyukai keseluruhan dari Soora, tapi persoalan perempuan itu yang terlalu baik kadang membuatnya geram. “Keika juga manusia, Sayang. Aku … tidak mau kau jadi sama sepertinya. Kita hanya perlu bersabar. Lagi pula kecelakaanku bukan sepenuhnya salah Keika, aku—“
“Aku kadang benci saat-saat kau terus bersabar, Ra,” Taehyung memotong. Tangannya balas memeluk Soora yang duduk di pinggir ranjang, menyembunyikan wajah di perutnya. Taehyung serius soal ini, ia benar-benar benci ketika Soora bahkan bertingkah sok kuat untuk menahan amarahnya pada Keika, padahal, dalam masalah ini, Taehyung tahu betul bahwa yang paling tersiksa adalah perempuan dalam pelukannya ini. Malaikat mana yang sering merasuki Park Sooranya? Terkadang Taehyung ingin sekali Soora mengungkapkan kekesalannya pada Keika dengan gamblang, bukannya terus-terusan bertingkah sabar seperti ini, Taehyung sampai tidak tahu harus bersyukur atau menyesal memiliki kekasih sebaik Soora.
“Astaga, Nam Taehyung, ayolah…,” Soora menyahuti dengan intonasi gemas, Taehyungnya tidak juga mengerti bahwa maksudnya adalah baik, ia hanya tidak ingin Taehyung menjadi sama seperti Keika—kalau wanita itu sudah jahat, kenapa harus dibalas dengan kejahatan juga, kan? Lagi pula tidak terbayangkan di kepalanya, ketika Taehyung melakukan hal-hal buruk pada Keika, apalagi secara fisik. Mau bagaimana pun, Keika tetap hanya manusia, dan perempuan itu bahkan tidak berotot, sekali libas, jelas bisa langsung tumbang. Tidak ada pertahanan yang ekuivalen andai dikomparasi dengan kekuatan Taehyung. Tidak setimpal. Membalaskan dendam dengan menyerang fisik bukan pilihan bijak.
“Dia bahkan sudah mencelakakanmu, Soora.” Taehyung menunduk untuk mendapati Soora yang kini mendongak dengan tatapan memohon. Astaga, apa perempuan itu mau ia bersikap baik pada seseorang yang bahkan perangainya lebih buruk dari pada anak setan? Taehyung bahkan begitu ingin menyingkirkan si jahat Keika dari hidupnya dengan terus memperlakukan si menyebalkan itu dengan buruk, tapi kekasihnya ini malah ingin dirinya berlaku baik—apa yang salah dengan si Soora ini, Tuhan? Taehyung tidak tahu harus bagaimana membuat Soora paham, bahwa menyakiti orang-orang jahat bukanlah sebuah dosa, tetapi teknik resistensi diri. Yang memulai perang dari awal jelas Keika, ia hanya mencoba meresponnya dengan sedikit lebih kejam.
“Heol, kau kelihatan seperti penjahat, Tae. Kau bahkan sibuk mencarinya ke sana-kemari hanya untuk balas dendam. Mengerikan, tahu.” Soora pasang wajah pura-pura sebal, meski sebenarnya ia sebal betulan, tapi ia bukan seseorang yang sering menunjukan emosinya dengan gamblang, lebih tepatnya tidak suka melukai orang lain. Ia tidak bisa juga memberikan advis secara serius, sebab ia berusaha menempatkan diri menjadi Taehyung, perasaan marah pasti menggebu-gebu di dalam dada lelaki Nam itu, tidak bisa disiasati untuk lebih reda, dan bersemayam apik setiap hari. Ia tidak mau menyalahkan rasa marah Taehyung, itu repon yang cukup logis atas semua tindakan Keika. Kekasihnya si Nam ini, telah begitu lama menderita di bawah kekuasaan relasi, di balik bayang-bayang hutang budi, dan jalan keluarnya terlalu kecil untuk bisa dilewati. Jadi, Soora tidak mau memaksa Taehyung, apalagi sampai mengomeli lelaki itu karena tujuan mengerikannya. Tetapi ia berusaha untuk mengingatkan, mencegah dengan cara-cara lembut, terkadang Taehyung lebih mampu dikendalikan dengan ini.
Taehyung membungkuk, mendekatkan wajahnya pada wajah sang kekasih yang tengah mendongak sebal padanya. “Tapi kau cinta, kan?” tanyanya bercanda, berusaha mengalihkan rajukan kekasihnya. Soora mendengus, napasnya membuat Taehyung mengerutkan wajah jenaka, seolah ia gemas pada segala yang ada di diri perempuan itu, dan bahkan hanya sekedar napas pun.
“Kalau kau jahat aku tidak cinta lagi.” Soora tidak mau Taehyung menjadi orang lain, lupa diri saat marah, toh garis takdirnya dan pria ini memang begini, tanpa perlu menjadi jahat, ia tetap bisa mendapatkan kebahagiaan. Karena pada kenyataannya ia tetap bisa memiliki Nam Taehyung secara keseluruhan, apa yang perlu diurusi dengan susah payah lagi? Soora memang terkadang lelah dengan keadaan ini, tetapi selama Taehyung masih ada di sisinya, hidup bahagia, tertawa, semua rasa sakit dan cemas itu binasa. Meskipun ia tidak tahu kapan semua kesulitan ini akan langis, tetapi ia percaya hal-hal baik akan dibalas dengan hal-hal baik pula.
Taehyung melepas pelukan, tangannya berpindah pada kedua pipi Soora yang menirus—karena di rawat di rumah sakit dan nafsu makan perempuan itu menurun drastis—kemudian menangkupnya penuh cinta. “Aku melakukan hal yang rasional, Sayang,” Taehyung bilang, berbisik, menghangatkan wajah Soora dengan napasnya yang sarat akan kekeraskepalaan. “Kau hanya tinggal diam, atau, mengadu padaku kalau nanti-nanti Keika itu akan kembali dan melukaimu lagi, oke?” lanjutnya serius, yang dibalas oleh Soora dengan rengutan imut, kemudian hening sesaat sebelum akhirnya Soora menyahut pendek, “Sejujurnya aku tidak suka kau hilang kendali begini.” Taehyung tersenyum, memahami sifat Soora yang lembut dan tidak suka kekerasaan. Sebenarnya ia juga tidak tahu apakah akan benar-benar melakukan hal-hal serupa serangan fisik pada Keika atau tidak, rasa marahnya belum menemukan wadah pembuangan yang tepat, meraka terus-terusan memintanya melampiaskan itu pada Keika. Taehyung menarik napas, berusaha tetap berpikir tenang.
“Aku tidak janji, tapi aku akan berusaha tetap terkendali. Jangan khawatir, ya, Ra?”
“Oke, semua keputusan milikmu sendiri,” Soora menyahut pelan.
“Cha, cium aku sekarang,” Taehyung berbisik dengan ekspresi tak tahu malu, bibirnya dimajukan lucu, melupakan atmosfer tidak enak yang barusan mengudara di ruangan ini. Soora memutar bola mata sembari menyahuti malas, “Apa-apaan, tidak mau.” Yang kemudian justru mengundang Taehyung menyerang perempuan itu dengan ciuman kupu-kupu di seluruh wajah, membiarkan rasa geli dan tawa girang Soora bertamu dengan bebas, menumpas semua ketakutan, rasa sesak, dan hal-hal di luar cinta yang tumbuh subur di antara dirinya dan kekasihnya.
Arkian, si putih kembali pada Nam Taehyung setelah berhari-hari menjelaga. Putih-putih yang lain juga nampak lebih terang, dan mereka menyaksikan si Nam yang menyebalkan itu menyerang bibir kering kekasihnya. Mencium Soora penuh cinta—sesuatu yang tidak akan pernah Taehyung lakukan pada wanita manapun lagi, termasuk istrinya.
Satu lagi, Keika masih betah kabur, tapi Nam Taehyung melupakan fakta itu sekarang, ya, saat Soora menyambut ciumannya dengan lembut, ini manis, hanya Keika yang terasa begitu pahit.
***
Taehyung mengaduk kopinya dengan satu sumpit yang ia ambil sembarangan di dapur sembari bersenandung kecil, tidak jelas nadanya, terlalu rancu. Setelah mengantar Soora pulang, mengobrol dengan keluarga hangat perempuan itu, kemudian bermanja-manjaan sebentar dengan sang kekasih, akhirnya tepat tengah malam, Taehyung kembali ke apartemennya. Acap kali menginjakkan kakinya di sini, Taehyung jelas selalu teringat Keika, perasaannya bergemuruh marah tiap perempuan itu mampir dan mengacak-ngacak kesabarannya secara alami di semua sudut otaknya. Dan sekarang ini, Taehyung hanya mensyukuri satu hal dari menghilangnya Keika; kedamaian.
Semuanya memang terasa damai, Taehyung tidak punya kesulitan sama sekali sepuluh hari belakangan ini, kecuali masa-masa terpuruknya menunggu Soora bangun dari lelapnya di atas ranjang pasien sebab perkara kecelakaan itu, usahanya dalam meredakan rasa marah yang tak jua mau sudah. Taehyung senang bisa memiliki waktu yang penuh oleh manis-manis rasa dengan Soora, bahkan tanpa harus khawatir Sooranya akan kena tampar Keika ketika ia tidak di sisi perempuan Jeon itu. Semuanya terasa damai ketika Keika tidak ada, terlepas di mana perempuan itu, Taehyung masih belum tahu, satu-satunya hal yang membuatnya begitu ingin tahu keberadaan Keika hanya karena tidak sabar ingin memaki, memberi satu tamparan pada si sialan itu, itu saja.
Halimun dari kopi yang tidak terlalu panas itu kelihatan tipis-tipis, mengepul sedikit di genangannya. Cangkir putih digenggam untuk menghangatkan tangan, meskipun kenyataannya ia menjadi begitu dingin di dalam hatinya. Taehyung melangkah pelan ke ruang tamu, berdiri di sana, diam saja sembari mengingat presensi Keika yang biasanya duduk di sofa sembari menonton televisi. Dadanya menyempit tiba-tiba, ia seperti merasa banyak hal tentang gadis Jeon itu menyesakkan dadanya, tentu soal kebencian. Sekarang ini, Taehyung malah berharap Keika tidak usah lagi kembali. Ia menginginkan, di dalam hatinya yang paling esoteris, kematian Keika yang jauh dari pengetahuannya. Diam-diam ia membayangkan Keika juga mengalami kecelakaan seperti Sooranya, kemudian mati tanpa diketahui jasadnya, semoga tenggelam di dasar laut, atau jatuh ke jurang, Taehyung tersenyum kecil membayangkannya.
Ia tidak mau bersikap sejahat ini pada Keika, tetapi perempuan itu bukan saja memiliki perangai yang bikin ia muak, seperti sombong dan congkak, tetapi juga semua obsesi si anak Jeon itu padanya merugikan kekasihnya. Taehyung ingin berdamai dengan Keika andai saja perempuan itu mau mengerti bahwa perasaan bukan serupa air yang mengalir mengikuti arus, perasaan tidak pernah pasif, perasaan selalu rumit, dan perasaan bukan kekuasaan orang lain. Taehyung sejak dulu berusaha untuk memberikan pengertian pada Keika, tetapi perempuan itu terlalu keras kepala, caranya berbicara bukan lagi nadir membuat emosinya terlunta-lunta, tatap mata yang selalu merendahkan itu menjadi hal yang cukup Taehyung tahu, bahwa kedamaian tidak akan pernah mampu menyisip di antara kening si anak setan itu. Dan setelah semua itu, Keika justru makin menjadi-jadi dengan mempermalukannya di hadapan karyawan lantai 12, membuatnya harus menjelaskan kepada tuan Jeon Jeongjae bahwa kejadian itu diluar kendalinya, dan meminta maaf atas tindakan Keika—sebagai istrinya—atas kelakukan tidak beretika itu. Hidupnya semakin rumit, ia tidak memiliki alasan untuk berdamai dengan perempuan Jeon itu.
Kaburnya Keika dari semua kekacauan waktu itu sama sekali tidak membaik, rasa marahnya terus meronta-ronta meminta dilepaskan, ia marah pada Keika yang lari dari tanggung jawab, ia marah pada Keika yang hanya bisa membuat keributan tanpa menyelesaikan masalah yang ada. Taehyung sebenarnya takut, ia tidak ingin menyakiti wanita, tetapi Keika benar-benar merusak kewarasannya. Kalau perempuan itu kembali, Taehyung tidak bisa menurut pada Soora untuk sabar, mungkin ia akan lepas kendali. Sebab sekarang saja, mengingat kembali sosok sialan itu, Nam Taehyung terpancing, rangsangan emosinya membakar cepat kalau soal Keika.
Mungkin beberapa saraf otaknya ada yang menyadari gelapnya perasaan teruntuk Keika, tapi ia tidak menyesal sama sekali. Taehyung tidak merasa kebenciannya adalah sesuatu yang salah, sebaliknya, itu adalah hal yang benar. Ia bahkan merasa semesta restu pada perasaannya, pikirannya seolah mengambil banyak fakta dari segala yang terjadi, Keika memang pantas dibenci. Menghilangnya perempuan itu selama hampir dua minggu ini, bahkan tidak dihiraukan oleh ayah perempuan itu sendiri. Apa kurang sebagai bukti? Bahwa bahkan, kandungnya saja tidak lantas memberi afeksi. Ya Tuhan, Keika, rasa-rasanya Taehyung berani bertaruh pada bulatnya bumi ini, bahwa gadis Jeon itu memang tidak pantas untuk diperlakukan dengan layak, ketika dirinya sendiri melakukan orang lain seperti sampah dengan suka-suka. Taehyung bahkan bersyukur tuan Jeon Jeongjae tetap berlaku adil padanya dan Keika, tidak subjektif menyalahkan, justru melihat permasalahan secara utuh.
Tangan Taehyung mengepal saat ia menyadari banyak ketidak mungkinan tentang prospeknya. Entah kenapa, Taehyung berharap banyak perihal Sooranya, ingin perempuan Park itu menjadi orang yang sering duduk di sofa ini, bukannya Jeon Keika. Taehyung ingin punya rumah tangga yang manis dengan kekasihnya, tetapi tahu betul tidak akan pernah bisa selama Keika masih ada. Oh, Tuhan, Taehyung berani membayar mahal, bahkan jika diharuskan ia menjadi hamba yang taat, maka ia akan melakukannya, asal doanya dikabulkan; ia tidak ingin Keika kembali.
Lima menit berlalu, pikiran Taehyung berkecamuk dengan segala perasaannya yang berantakan, membentuk banyak sekali sub-sub benci yang lama-kelamaan miskin akan labelisasi, tidak bernama, tanpa alasan. Keika, Keika, Keika, Taehyung tidak ingin perempuan itu kembali, ia benar-benar ingin Keika tetap bersembunyi dalam kepengecutannya, jangan pernah menunjukan presensi lagi. Sebab Taehyung tidak ingin merasa tenang hanya dalam sepuluh hari—ia ingin esok, lusa, dan selamanya bahagia. Sederhananya, ia mungkin akan bahagia jika Keika tidak ada.
Tapi semua harapannya pecah berserakan saat pintu apartemennya terbuka.
Dan Keika berdiri di sana.
***
Ruang ini senyap, keheningan lebih akrab dengan napas ketimbang hal-hal ramai lainnya seperti untaian kata atau sedikit saja sapa basa-basi. Dari pada itu, justru angkara berenang-renang manja di udara, mengelilingi seluruh daksa, secara kanonis berkuasa di atas segalanya, bahasa, komunikasi, penjelasan. Rasa sesak berduyun-duyun tandang, mengeringkan apa yang sebelumnya sudah terlanjur kemarau. Dinding-dinding diam di tempat, merasakan tantrum di permukaan dirinya sendiri, begitu akrab seperti hari lalu, yang sudah-sudah sebelum ini, hanya saja, sekarang terasa jauh lebih mencekam.
Taehyung menatap tajam Keika yang berdiri di depan pintu. Tidak ia hiraukan apa pun dari Keika, padahal perempuan itu kelihatan sedikit kacau, bibirnya kering dan pucat, rambutnya tidak serapih biasanya, dan dia bahkan pakai kemeja biru kebesaran, seperti kemeja pria—kemarahan menyita seluruh atensinya, direbut untuk meledak-ledak sebagai pelepasan. Ia tidak bisa menahan diri setelah harap-harap cemas membayangkan Keika mati di suatu tempat dan tidak pernah kembali lagi dalam hidupnya, dan detik ini justru disuguhi daksa perempuan itu yang masih saja menatapnya dingin, seolah kepetang minggu lalu itu, tidak ada kejadian menyakitkan apa pun yang diperbuatnya.
Keika menatap Taehyung tidak mengerti, tenggorokannya kering karena rindu pada pria itu. Meski tak bisa dipungkiri kejadian waktu itu kembali berputar, mengacak-ngacak lukanya. Taehyung yang melemparnya seringan itu terasa masih saja nyeri, bukan di daksanya, tapi letaknya tepat bagian ulu hati. Ia memandangi roman Taehyung yang sempurna, kulit lelaki itu tidak terlalu putih, bagaimana kumis-kumis muda belum dicukur menambah kesan tegas. Ia selalu terpesona pada suaminya, di dalam rahasianya sendiri, acap kali menemukan tahi lalat di antara garis kelopak mata bawah si Nam itu, dipadu dengan alis hitam tebal yang terasa tepat ada di antara radas wajah sana. Juga hidung bangir dengan titik kecokelatan di pucuknya, Keika mengagumi keindahan itu kendati ia tidak pernah mengatakannya sekali pun.
Keika berusaha tidak hirau pada tatap mata Taehyung yang terlihat sangat mencekam, sebelumnya sudah sering ia ditatap demikian, tapi entah kenapa yang satu ini seperti terlalu gamblang, atau itu disebab hening? Taehyung menusuknya dengan garis tatap mata tajam, Keika dapat merasakan kemarahan yang jelas di kedua pupil gelap lelaki Nam itu. Keika tidak tahu mengapa jantungnya merespon berlebihan, di dalam dadanya, bend aitu bergerak kacau, mengarik rasa sakit yang sebelumnya sudah coba ia tekan-tekan supaya juga tidak terlalu terlihat. Tetapi berkian-kian detik selanjutnya, Taehyung justru terlihat sangat marah, netra lelaki itu memerah lambat laun, jeda alisnya menyatu seolah kebencian lelaki itu terhadapnya sedang terpentas bebas-bebas, Keika tidak tahu harus apa.
Langkah kaki akhirnya menjadi sesuatu pertama yang bergerak. Keika mau tidur saja, pikirannya banyak terjebak dalam fragmentasi reka ulang kejadian di kantor waktu itu, atau yang sudah-sudah, dengan judul yang sama, pemicu kesakitan. Kepalanya pening dan ia merasa tidak baik sama sekali, menyesali sesuatu yang membuat amarahnya tidak pernah surut—pasang, tinggi seperti ombak, menubruk dinding kekuatannya yang rapuh sekali. Keika ingin tidur, ia mengalami hari-hari sulit setelah pergi karena usiran ayahnya di lantai 12 itu, juga karena Taehyung mendorongnya begitu kencang, membentaknya, juga kejadian-kejadian menyebalkan lain.
Nam Taehyung dengan gerak cepat meletakkan cangkir kopinya di atas sofa, ia menahan banyak emosi dalam tiap embusan napasnya. Urat-urat leher yang menonjol mulai bicara, menunjukkan eksistensi diri, mengindikasikan sebuah kemarahan yang tak dibatasi, langit harusnya melindungi anak itu, si Nam itu, dia mungkin bisa saja membunuh Keika karena gelap nuraninya ditutup halimun benci.
“Wah, rupanya tidak punya malu untuk kembali, ya.” Taehyung membuka suara, sarkas seperti menahan gejolak gencatan di baliknya. Nada remeh terdengar jelas dari mulutnya, tapi siapa sangka, lelaki itu sedang menahan diri untuk tidak mengambil pisau dapur dan menusukkannya pada Keika, benar-benar ingin perempuan itu lenyap. Yang dimaksud malah menatapnya tanpa ekspresi, meski bibir ditipiskan, jadi indikasi ketakutan.
Taehyung bersuara, Keika merasa ia akan mati karena sakit kepala.
“Setelah membuat kekacauan, kemudian melarikan diri begitu saja. Astaga, Jeon sialan Keika, aku merasa jijik padamu,” Taehyung mengartikulasi dengan intonasi berat, lebih dari itu, kata-katanya terdengar seperti merendahkan, mengejek. Menyuarakan kalimat dengan radif yang sinkron sekali, jijik katanya, dan nada bicaranya juga seperti itu. Tatap matanya meremehkan, kekehan kedengaran seram di rungunya sendiri setelah ia menatap Keika dari atas sampai bawah, seolah sedang menilai sesuatu hal yang tidak berharga. Kakinya melangkah, mendekat pada pusat kebenciannya yang masih bergeming jauh di sana, diam saja setelah berjalan tiga langkah kedepan, kiranya tadi mau kabur, tapi ia keburu menahan gadis itu.
Keika menghentikan langkahnya saat Taehyung bersuara, ia tidak bisa mendengar banyak apa yang pria itu katakan. Kepalanya berdenyut menyakitkan, dadanya sesak dalam konotasi paling sialan, terlalu penuh oleh entah apa. Tenggorokannya terasa kering, satu-dua kalimat Taehyung masuk ke indra pendengarannya dan terjun langsung ke dada, jantungnya juga, naik ke kepala, menyerang banyak saraf di sana. Rasanya perih di berbagai titik, tapi sekarang ini fisiknya seperti juga merasa begitu, ini bukan hanya soal perasaannya. Sepasang kakinya lemas, seolah apa yang Taehyung katakan telah merampas kekuatan ototnya, ia takut tidak bisa mengendalikan diri. Keika ingin tidur, tetapi tahu bahwa meladeni Nam Taehyung adalah satu kewajiban terutama ketika si Nam itu terlihat seolah mau menelannya hidup-hidup. Kabur bukan opsi yang bagus.
“Kenapa kau kembali? Bukankah akan lebih baik kalau kau pergi saja dari hidupku?” Taehyung memiringkan kepala, bertingkah seperti seorang psikopat. Ada senyum menyeramkan di wajahnya yang meledek Keika. Amarahnya berkumpul dan sembunyi dalam dada, atau juga di balik tempurung kepala. Ah, perasaannya yang merah seperti api neraka itu memang bergemul di banyak tempat di tubuhnya, menguasai. Taehyung tidak tahu, tapi ia merasa benar untuk terus menyerang Keika, apalagi sekarang perempuan itu diam saja, padahal biasanya akan membalas tak mau kalah. Ia akan membuat perempuan itu tahu betul perasaannya yang penuh oleh bendera kebencian. Ia tidak akan menahan diri lagi apalagi mengatas namakan relasi, ambisi, dan hutang budi. Bila Keika akan mengadu pada tuan Jeon Jeongjae, kemudian karirnya seketika hancur, Taehyung siap menerima itu semua. Masa depan tidaklah lebih penting ketimbang perasaan marahnya yang memohon-mohon minta dilepaskan.
Keika bisa mendengar jelas yang terakhir, pertanyaan kedua Nam Taehyung. Ia tidak bereaksi apa-apa, kakinya lemas, ia hanya ingin tidur. Pertanyaan suaminya berputar seperti angin ribut di kepalanya, merusak pikiran yang seharusnya masih menyisakan sedikit saja kewarasan. Sekarang Keika tidak bisa berpikir, kepalanya makin sakit, dadanya makin sempit, tubuhnya lemas dan ia tak mampu berkelit. Semuanya terasa menyakitkan dalam garis yang sama, dalam lingkaran yang sama. Menyerangnya tanpa ampun. Keika sungguh merasa ia tidak bisa mengendalikan semuanya dengan baik. Apakah setelah ini ia akan meledak? Apakah ia akan berubah menjadi kepingan daging, dan hancur terkominusi? Keika berusaha menghentikan cara kepalanya bekerja, ia menunduk, tidak mau menatap Taehyung.
Bukankah akan lebih baik kalau kau pergi saja dari hidupku?
Bukankah akan lebih baik kalau kau pergi saja dari hidupku?
Bukankah akan lebih baik kalau kau pergi saja dari hidupku?
Keika hampir gila karena bising di kepalanya menghantam sisa pertahananya, melumpuhkan kewarasannya. Keika lupa diri, ia bingung, nyeri kepalanya menyerang tanpa ampun, suara Nam Taehyung berkerumun, suara setan mengalun, tubuhnya hampir limbung. Keika hanya ingin tidur, melupakan semuanya, termasuk juga jawaban dari pertanyaan Nam Taehyung yang sudah berkeriau di otaknya. Tidak, Keika tidak mau melihat Nam Taehyung dengan keadaan payah seperti ini. Ia rindu pria itu, tapi tidak tahan atas kesakitan di seluruh saraf perasaannya—Keika hanya ingin tidur, ingin ke kamar. Ia tidak ingin terlihat lemah, selutuh tubuhnya terasa sakit. Kepalanya terus berdenyut tanpa ampun. Keika merasa harus pergi dari hadapan Taehyung sebelum ia benar-benar menunjukkan ketololannya yang selama ini selalu ia sembunyikan.
Dan akhirnya Keika benar-benar melangkah, sedikit berlari, hampir mencapai kamarnya andai saja Nam Taehyung tidak menyusul dengan langkah besar-besar, menarik lengannya yang kecil dengan kasar, memutar tubuhnya, dan benar-benar melimbungkannya dengan tamparan berkekuatan serius. Keika tidak menikmati perasaan ini, ia membiarkan tubuhnya limbung ke sisi kanan setelah Taehyung melibas pipinya begitu kuat, ia biarkan semua bisik dikepalanya bercampur dengan teriakan marah Taehyung.
“AKU BICARA PADAMU, SIALAN! APA KAU MAU KABUR BEGITU SAJA SAAT AKU BAHKAN INGIN SEKALI MENAMPARMU, HAH?! KAU IBLIS, KEIKA! KAU PENGECUT PAYAH YANG MENJIJIKAN! AKU MEMBENCIMU! SANGAT!! AKU MEMBENCIMU SAMPAI RASANYA HAMPIR GILA! KAU MEMBUAT HANCUR SOORAKU! KAU IBLIS, KEIKA! KAU TOXIC!!”
Apartemen yang biasanya dihuni oleh hening, sekarang terasa sempit karena teriakan Nam Taehyung yang tergelenang di seluruh udara. Pria itu bicara menunduk, menunjuk Keika yang barusan jatuh terduduk ke samping karena tamparannya yang kelewat kencang, sampai wanita itu terbanting. Urat-urat leher memamerkan diri hampir menembus kulit, ototnya semua bertonjolan, di pelipis, di bawah rahangnya, di lengannya. Taehyung kalap, amuk mengendalikannya dengan begitu hebat. Ia tidak bisa mengendalikan diri. Melihat Keika berwajah pucat, terdiam memandangi lantai apartemen abu-abu muda, membuat nafusnya ingin membunuh semakin besar. Ia ingin melihat perempuan itu menangis meminta ampun padanya, memasang wajah kesakitan sebagaimana selama ini ia menahan diri, juga ia ingin melihat Keika setidaknya menderita tepat di depan kedua bola matanya, sebagai penghibur angkara yang terus mencuat-cuat tidak kenal lelah.
Taehyung tidak pernah punya pelepasan yang bagus setahun ini, karena itulah emosinya meledak dan pecah dengan sempurna sekarang. Ia benci melihat Keika, dan kemarahnnya makin melambung kala perempuan itu begitu saja mau menghindar kabur darinya. Tidak, Nam Taeyung tidak akan membiarkan perempuan sialan itu lepas dari jerat kebenciannya. Keika harus merasa terluka, harus tahu rasanya dihancurkan, harus menerima dengan baik dendamnya, Taehyung mau itu. Kini, setelah berteriak, Nam Taehyung langsung melangkah pergi, keluar dari apartemennya. Ia masih punya sedikit titik terang dalam dada, dan itu yang menuntunnya untuk pergi—kalau masih saja di sana, Taehyung tidak yakin ia benar-benar bisa menahan diri untuk tidak membunuh istrinya itu. Meski jujur saja, bisikan itu tersuara manis sekali di dekat nuraninya, menggelapkan. Ia tidak berharap Keika berani memancing-mancing rasa marahnya seperti ini, tetapi perempuan itu jelas terlalu gila untuk bisa disebut sebagai manusia. Taehyung berjanji dalam dirinya, bahwa ia tidak akan kalah oleh perempuan payah seperti Keika, apa pun yang terjadi.
Nam Taehyung pergi meninggalkan Keika yang kesakitan. Perempuan itu sekarang sedang bersusah payah bernapas, tangannya memukul-mukul dada dengan lemah, mulutnya terbuka untuk banyak-banyak menghirup oksigen, meski kenyataannya ia tidak bisa merasa lega sama sekali, tidak banyak udara yang bisa masuk ke paru-parunya. Kepala terasa terus berdenyut, perasaan nyeri dan sebangsanya menyerang dengan begitu angkuh, menghantam seluruh sisa-sisa pertahanannya yang payah. Keika mau bangkit dan masuk ke kamar, tapi ia masih sibuk dengan napasnya yang putus-putus. Ketakutan dan rasa panik menyerangnya tanpa permisi, ia ingin masuk ke dalam selimut dan membayangkan seseorang memeluknya, menenangkannya, tetapi rasa benar-benar sulit. Tubuhnya lemas bukan main, seolah ragang-ragangan tidak ada di antara daging daksanya. Mulutnya senantiasa meraup udara dengan kekuatannya yang sudah menjadi sisa-sisa saja, terlalu payah, sekarang malah merah mulutnya itu, dihiaskan darah dari hidung yang mengalir begitu saja. Keika tidak bisa lagi menahan diri, ia jatuh setelah di rasa tidak ada udara sama sekali yang bisa dihirup.
Keika tak sadarkan diri, tapi anehnya suara Nam Taehyung tak mau berhenti memaki.
***
Tidak ada suara yang menginterupsi, padahal. Tapi perempuan yang berhiaskan darah kering di bawah hidung dan mulut itu tetap saja bangun setelah melewati pingsan atau hampir matinya itu. Jam di dinding menunjukan pukul lima, sinar mentari yang jingga tembus dari tirai dan kelihatan begitu nyata. Keika pikir ini sore. Kemungkinan terbesarnya Keika pingsan dari tadi malam, dan baru bangun sore hari begini, tidak lama-lama amat, atau cukup lama? Keika tidak tahu, dan ia tidak mau ambil pusing tentang itu. Sekarang ia merasa mulutnya kaku karena darah yang mengering, tubuhnya lemas sekali, tapi bagusnya kepala sudah tidak sesakit tadi malam. Keika masih bisa bernapas, meski terus saja sesal menuntunnya untuk berpikir; kenapa aku tidak mati saja?
Keika tahu, kalau ia memikirkan kejadian tadi malam, maka sakit kepalanya akan muncul lagi, jadi dengan tenaga yang payah sekali—sedikit tertatih—akhirnya Keika bangkit dan melangkah ke kamarnya, ia harus mandi, baru ingat kalau ia punya kelas malam di kampus, jadi jangan pikirkan Nam Taehyung. Ia tidak menyesal untuk mengambil tawaran profesor di kampusnya tentang menjadi dosen pengganti SNU, di jurusan yang sama dengannya, tentu saja. Bekerja seperti orang miskin rasanya tidak sulit, semoga itu bisa membuatnya lupa dengan banyak pikiran-pikiran yang melukainya. Walaupun tidak memiliki pengalaman yang bagus soal berhubungan dengan manusia, Keika berharap pekerjaannya ini dapat mengalihkan rasa perih yang tidak pernah mau pergi dari sekujur badannya. Ia akan berusaha untuk hidup dengan baik, membiarkan rasa marah Taehyung dan tamparan lelaki itu melekat di kepala. Setidaknya dengan pekerjaan bodoh ini, Taehyung tidak lagi menyebutnya pengangguran dengan nada meremehkan. Keika benci diremehkan.
Mengenai Nam Taehyung, Keika sungguh tidak mau memikirkan pria itu meski sebenarnya ia tidak bisa melakukanya, tidak bisa tidak memenuhi kepalanya dengan presensi pria Nam itu. Taehyung penuh di balik keningnya, suara lelaki itu yang menggema gegap resonansi kebencian masih jelas di telinga, reka ulangnya terasa terlalu persis. Lukanya akan selalu terasa sama, semenyakitkan ini, seperih ini. Tapi Keika berusaha untuk tidak terlalu larut, ia harus menjernihkan pikiran dengan air hangat. Satu lagi, sejujurnya karena rindu, Keika jadi begini terluka tentang Taehyung yang belum pulang juga—ah, menyebalkan, lagi pula, kapan Taehyung pernah pulang Sore? Dan setelah amuk pria itu, apakah Taehyung akan pulang? Keika merasakan ketakutan yang selintas tandang ketika memikirkan kepergian Taehyung. Ia tidak tahu harus apa kalau Taehyung pergi dari hidupnya, apakah itu lebih buruk, atau tetap saja sama sepi?
Cukup, lupakan.
Keika melepas kemaja yang dikenakannya, menggantung di dekat pintu kamar mandi, kemudian ia melangkah ke bawah Shower. Biasanya ia akan berendam di bathup tiap rasa sakit mendublir seperti tanggal pada almanak, tetapi ia tidak melakukan itu karena tubuhnya masih lemas. Ingin segera selesaikan kegiatannya membersihkan diri dan membeluk daksa di atas kasur setelah ini.
Tatap mata Keika kini menuju ke kemeja yang digantung—kemeja yang ia kenakan barusan—ketika air hangat dari shower mengguyurnya. Oh, kemeja itu milik orang asing yang paling Keika benci, namanya Shin Seokjin, nama yang entah kenapa ketika hanya mengingatnya saja sudah membuat Keika mau ngamuk. Sungguh, pria itu begitu sialan, menambah beban hidupnya saja.
Keika memejamkan mata, banyak mimpi buruk yang terjadi dalam hidupnya, terlebih ia memang tidak punya pekerjaan apa-apa yang bisa mengalihkan pikirannya. Tadinya Keika bukan orang yang suka memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan, tapi jelas, saking banyaknya hal yang mengganggu otaknya, jadi mau tak mau semua jadi kepikiran. Dan payahnya, hampir sembilan puluh sembilan persen ia temukan luka di dalam isi kepalanya. Ini gila, tapi Keika mulai sadar, kalau ia punya banyak lubang yang dulu-dulu mungkin tertutupi oleh defensinya sendiri. Akhir-akhir ini sulit membangun dunia eskapisme, tidak mudah menghayalkan hal-hal indah di kepala, terlebih memang kenyataan selalu merampas imajinasinya dengan kasar. Biasanya ia akan menguatkan diri dengan kata-kata penuh ilusi, membuatnya percaya bahwa kesempurnaan adalah kekuatan satu-satunya yang ia miliki. Tetapi semakin banyak masalah, semakin ia tidak bisa kembali pada hal-hal tak nyata itu. Sebab itulah ia pergi jauh beberapa hari ini.
Hampir sadar secara penuh, Keika tahu persis kalau kesempurnaannya tak berguna, tapi ia harus bagaimana? Keika berharap shower memang hanya air saja, tidak ada campur air matanya sama sekali. Hey, Keika masih enggan menjadi payah, camkan itu. Seberapa pun hidupnya menjadi brengsek dan menyebalkan, Keika tidak akan menangis. Hanya orang-orang payah yang menangis, sedang ia adalah salah satu perempuan kuat yang memiliki banyak hal di mana semua orang menginginkan itu. Ia punya harta, ia punya ayah yang kaya raya, ia punya apartemen mahal dan mewah, ia punya kulit terawat yang halus, ia memiliki rambut yang selalu dibawanya ke salon tiap minggu, ia memiliki beratus-ratus pasang sepatu mahal, juga tas, jam tangan, perhiasan, Keika punya semua itu. Dan ia tidak pernah mengizinkan dirinya menjadi lemah hanya karena tidak berhasil membuat Taehyung mencintainya, perjalanan masih panjang.
Keika berharap, dengan menjadi dosen pengganti, ia bisa lebih fokus pada pekerjaannya dan sedikit teralihkan dari permasalahan hidup. Ia selalu mendapati dirinya kesakitan acap kali kepalanya berpikir terlalu dalam, dan ketika ia memiliki kegiatan yang membutuhkan perhatian penuh, mungkin hal itu bisa menjadi siasat yang bagus. Nanti-nanti, kalau kepalanya sudah tidak sering sesakit ini lagi ketika memikirkan masalah, maka Keika akan kembali memperjuangkan Nam Taehyung. Ya, meskipun rasanya ia seperti si dungu yang tidak paham bahasa manusia, tapi jelas ia akan tetap berjuang. Sebab untuk saat ini Keika hanya tahu kalau ia bisa bahagia, jika Nam Taehyung mencintainya. Toh selama ia hidup di dunia, Taehyung adalah ,manusia pertama yang membuat dadanya berdentum manis untuk pertamakali, mengingatkannya, bahwa perasaan semacam itu bisa ia miliki setiap hari andai Taehyung menjadi miliknya. Walaupun sampai detik ini justru yang terjadi sebaliknya, tetapi Keika tidak akan menyerah. Shit, lupakan Taehyung—barusan padahal bahas pekerjaan. Terbukti kalau kepala Keika isinya Taehyung melulu.
Sambil buru-buru menyelesaikan mandinya, Keika akhirnya berusaha acuh dari pikiran yang menyakitkan. Banyak Taehyung di dalam sana, kepalanya, dan ia akan terus merasa terluka kala si pria Nam itu berkeliaran di pikirannya. Sudah cukup, Keika tidak tahu sudah berapa kali kata cukup yang tertulis di sini. Ia malah makin memikirkan Nam Taehyung. Hebat, sekarang dadanya sesak dan kepalanya pening lagi.
Keika berharap ia bisa sedikit bersenang-senang dengan pekerjaan barunya. Selama ini ia tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu karena harta yang dilimpahkan ayahnya sudah lebih dari cukup, bahkan untuk dihambur-hamburkan setiap hari. Walaupun ini jelas akan menjadi pengalaman pertamanya, tetapi Keika tetap berusaha untuk memberikan kesan bagus di depan para mahasiswa. Rasa cemas dengan cepat memenuhi kepalanya sekarang ini, sebab melihat dari hal-hal sebelumnya, ia tidak pernah berhasil melinting hubungan yang baik dengan seorang pun. Bolehkah ia berharap prosesi belajar mengajarnya akan terlaksana dengan sempurna? Keika benci mengalami kegagalan, tetapi hidupnya penuh dengan hal itu, dan ia harap, meski hanya sebagai dosen pengganti, mahasiswa tetap menghormatinya. Sudah cukup Keika gagal berkali-kali dalam hal membuat Taehyung mencintainya. Ia tidak ingin kembali seperti hari kemarin, di mana keputusannya menyerah digagalkan oleh orang lain.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
